Anda di halaman 1dari 17

WSBB

MASYARAKAT BAHARI

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Masalah yang kami bahas dalam makalah ini adalah
masalah tentang kehidupan Masyarakat Bahari.

Terimah kasih juga kami haturkan sebanyak-banyaknya kepada


seluruh pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan
makalah ini baik itu berupa dukungan moril maupun materil.

Makalah ini tentu tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu kami
dari kelompok 7 membukakan pintu yang selebar-lebarnya untuk
menerima saran dari pembaca agar dapat menjadi pelajaran bagi kami
unuk penulisan-penulisan selanjutnya kelak.

Sekian, Terimah kasih


Makassar, 14 November, 2008
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Luas negara Indonesia yang 70% adalah lautan, menjadikan


Indonesia sebagai negara bahari yang kaya akan sumberdaya hayati
laut. Kekayaan lautan Indonesia dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir
sebagai mata pencarian mereka. Begitu luasnya peraiaran Indonesia
menggambarkan pula persebaran masyarakat pesisir. Masyarakat
pesisir dicirikan dengan struktur ekonomi atau sektor-sektor mata
pencaharian heterogen, kesatuan asal-usul dan pemukimannya terutama
pada daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Masyarakat bahari, khususnya di Indonesia, ditandai dengan
beberapa ciri social, yang dalam beberapa hal jauh lebih kompleks dan
menyolok daripada yang mencirikan masyarakat perkotaan dan
pedesaan di darat. Fenomena sosial budaya bahari di Indonesia adalah
kompleks. Ini dicirikan dengan lima fenomena menyolok: kompleksnya
kategori atau kelompok sosial terlibat dalam kehidupan kebaharian,
tumbuh dan berkembangnya sektor-sektor dan sub-sub sektor ekonomi
dan aktivitas lainnya berkaitan dengan laut, keterlibatan secara tidak
langsung kategori-kategori dan hirarki sosial dalam aktivitas
kebaharian, saling keterkaitan antar sektor-sektor kehidupan dan
internal antar unsur-unsur budaya bahari, sifat homogen dan diversiti
unsur-unsur budaya, dan proses dinamika, perubahan dan persisten dari
unsur-unsur budaya bahari tersebut.

Untuk studi budaya bahari yang kompleks relevan menerapkan konsep


“tiga wujud kebudayaan” dari Koentjaraningrat, konsep “kreasi dan
dinamika budaya” dari Sanjek, dan metode penjelasan progresif
kontekstual” dari Vayda sebagai model deskripsi, penjelasan dan
analisis secara empirik. Wujud budaya bahari nelayan ialah sistem
budaya (meliputi terutama sistem-sistem pengetahuan, gagasan,
keyakinan, dan daftar kebutuhan serta cita-cita dalam kognitifnya),
kelembagaan (organisasi, kelompok kerjasama nelayan, hak-hak
pemilikan/kontrol atas wilayah dan sumberdaya laut), dan teknologi
(sarana/prasarana transportasi laut, sarana penggerak berupa layar,
mesin, alat-alat tangkap, perlengkapan fisik lainnya).

Selain faktor-faktor internal, fenomena dinamika, perubahan atau


bertahannya unsur-unsur budaya bahari juga sangat ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan eksternal terutama pasar regional, nasional dan
pasar global, inovasi teknologi, kebijakan-kebijakan pemerintah,
intervensi perguruan tinggi, LSM, lembaga donor, dan lain-lain.

Proses dinamika yang tidak atau kurang terarahkan seperti dialami


selama ini banyak berdampak negatif terhadap kondisi kehidupan
ekonomi, konflik sosial, kemerosotan sumberdaya dan degradasi
lingkungan laut. Itulah sebabnya ke depan proses dinamika budaya
bahari mustinya diarahkan secara bijak dengan pendekatan-pendekatan
community-based management, co-management dan lain-lain.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latarbelakang diatas, maka yang menjadi


permasalahan dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana cikal bakal dan kesatuan-kesatuan masyarakat
bahari di Indonesia?
2. Bagaimana karakteristik masyarakat bahari ?
BAB II
GAMBARAN UMUM

Masyarakat, menurut Koentjaraningrat (1980), adalah kesatuan


hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistm adat istiadat
tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas
bersama. Identitas tersebut adalah kebudayaan masyarakat itu sendiri
sebagai suatu kesatuan kelompok, golongan, komunitas, etnis/suku
bangsa atau masyarakat bangsa.

Masyarakat bahari merupakan kesatuan-kesatuan hidup manusia


berupa kelompok-kelompok kerja, kampung, desa, suku bangsa,
komuniti-komuniti, kesatuan-kesatuan administratif berupa kecamatan,
provinsi bahkan bisa merupakan negara atau kerajaan yang sebagian
besar atau sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya baik
secara langsung ataupun tidak langsung pada pemanfaatan
sumberdaaya hayati atau non hayati laut serta jasa-jasa laut, yang
dipedomani oleh dan dicirikan bersama dengan kebudayaan baharinya.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Cikal bakal dan Kesatuan-kesatuan Masyarakat Bahari di


Indonesia

Suatu bangsa dicirikan dengan struktur ekonomi atau sektor-


sektor mata pencaharian heterogen, maka kesatuan-kesatuan
masyarakat bahari dimaksudkan ialah kesatuan asal-usul dan
pemukimannya terutama pada daerah pesisir dan pulau-pulau kecil,
tetapi tidak sedikit juga berasal dari penduduk kota-kota dan desa-desa
pedalaman. Meraka yang bermukim secara kolektif di daerah pesisir
dan pulau-pulau sebagaian besar atau pada umumnya merupakan
masyarakat nelayan, sedangkan yang berasal dari tempat-tempat
tersebar di kota-kota dan desa-desa pedalaman adalah anggota-anggota
dari kelompok pelayar/saudagar dan pekerja usaha transportasi laut,
dan kelompok-kelompok pemanfaat seperti pertambang, pengelolah,
dan karyawan industri masyarakat bahari, penyelam dan olahragawan
laut, kelompok-kelompok pecinta lingkungan laut (LSM), pemerintah
dan kalangan akademisi yang membidangi kelautan secara praktis dan
keilmuan.
Sejak beberapa dekade terakhir, bukan hanya kelompok
masyarakat Bajo, Bugis, Makasar, Mandar, Buton, dan Madura yang
dianggap sebagai pewaris dan pendukung kebudayaan maritim di
Indonesia, tetapi semua penduduk pantai dan pulau-pulau yang
dianggap menggagas dan mengembangkan sektor-sektor ekonomi/mata
pencarian berkaitan sumberdaya dan jasa-jasa laut di sekelilingnya.
Mereka ini sebagian besar berasal dari penduduk pesisir dan pulau-
pulau juga, dan sebagian lainnya dari keluarga-keluarga penduduk
kota-kota dan desa-desa pedalaman yang memperoleh akses ke
berbagai sektor ekonomi kebaharian karena memiliki pendidikan dan
keterampilan formal. Ada kecenderungan kelompok-kelompok
masyarakat bahari tersebut terakhir ini bersikap lebih dinamis daripada
bagian kelompok mayoritas masyarakat pesisir dan pulau-pulau yang
mengandalkan pengetahuan dan keterampilan kerja dari pengalaman
dan warisan generasi tua semata.

3.2 Karakteristik Sosial Masyarakat Bahari

Masyarakat bahari, khususnya di Indonesia, ditandai dengan


beberapa ciri social, yang dalam beberapa hal jauh lebih kompleks dan
menyolok daripada yang mencirikan masyarakat perkotaan dan
pedesaan di darat. Sekurang-kurangnya terdapat lima karakteristik
menyolok, seperti (1) ketergantungan pada dan keterkaitannya secara
fisik dan emosional yang ketat kepada lingkungan alamnya, (2)
kebutuhan pada dan keterkaitan secara mutlak dalam kelembagaan
lokal, (3) ketergantungan secara mutlak pada pasar (lokal, regional,
global), (4) keterlibatan pihak-pihak lain secara berkelompok maupun
individual dalam aktifitas dan usaha-usaha nelayan, dan (5) konflik
sosial antar kelompok-kelompok pemangku kepentingan, khususnya
antar kelompok-kelompok nelayan dari berbagai kesatuan etnis, dan
melibatkan pemerintah dan berbagai instansi terkait mulai dari tingkat
desa, kecamatan, provinsi, bahkan antarnegara.
Masyarakat bahari, terutama nelayan dan pelayar merupakan
kategori sosial yang sekali merupakan nelayan atau pelayar, akan sulit
meninggalkan lingkungan laut dan pekerjaannya untuk bergeser ke
sektor-sektor ekonomi lainnya di darat. Sebab adaptasi dan bersatunya
dengan lingkungannya sekaligus melibatkan adaptasi fisiologi,
psikologi, social, dan budayanya. Adaoatasi fisiologi berupa
penyesuaian perassan bau, penglihatan, pendengaran, ukuran rongga
pernafasan, mungkin juga tekanan darah. Adaptasi psikologi berupa
penyesuaian berupa perasaan-perasaan dengan karakter laut, dan
bahkan mungkin dengan perilaku biota laut. Adaptasi sosial dan budaya
dengan lingkungan laut mereproduksi sikap-sikap dan pandangan
menjadikan laut sebagai lingkungan habitat dan biota dari berbagai
sepsis di situ sebagai subyek-subyek dengan mana mereka berinteraksi,
jadi bukan semata sebagai objek yang dipelajari kemudian
dieksploitasi. Pola-pola adaptasi yang kompleks dan ekstrim tersebut
akan menyulitkan orang-orang laut/manusia perahu keluar dari dunia
baharinya. Atau mereka akan kebingungan ketika diperhadapkan
dengan berbagai bentuk usaha ekonomi di darat.
Kalau pada satu katup msyarakat bahari, khususnya nelayan,
mutlak bergantung kepada lingkungan dan sumber daya alam lautnya,
pada katup lain ialah ketergantungannya pada dunia pasar di darat. Bagi
masyarakat nelayan, hasil laut atau tangkapan harus dipertukarkan atau
dipasarkan, kemudian uangnya dibelikan berbagai macam kebutuhan
pokok, sekunder atau social. Misalnya, ikan-ikan segar dijual di pasar-
pasar lokal dan pedalaman; produksi ikan kering ke pulau-pulau lain;
sedangkan teripang, telur ikan, lobster, ikan hidup, sirip hiu, agar-agar,
dan lain-lain diekspor ke negara tetangga. Demikian juga masyarakat
nelayan tergantung sepenuhnya kepada segmen-segmen masyaraktal
kota dan pedesaan di pedalaman dengan mana mereka memperoleh
hampir seluruh komponen kebutuhan, terutama bahan-bahan
kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan.

Pertama, kelompok-kelompok sosial kebaharian seringkali bukan


sekedar berupa kelompok-kelompok kerja yang merupakan sub-sub
komuniti desa, tetapi dalam banyak ukuran bisa dikategorikan sebagai
suatu sub-sub etnik (seperti berbagai desa-desa nelayan Bugis, Mandar,
Makassar, Madura di kawasan pesisir dan pulau-pulau); bisa relatif
merupakan kelompok-kelompok etnik sepenuhnya (seperti berbagai
desa nelayan Bajo di Kepulauan Riau, NTT, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah), bahkan suatu negara atau kerajaan seperti antara lain
Kerajaan Goa hingga abad ke-17 (Mukhlis Paeni 1995), Kesultanan
Buton (Schoorl, 1984) yang semasa dengan kalau bukan lebih tua dari
Kerajaan Bahari Goa. Di Eropa dan negara-negara pantai dan
kepulauan maju lainnya selain pelayar, nelayan, pengangkut barang
dengan berbagai kategorinya, dan marinir, juga dikenal kelompok-
kelompok awak kapal pengeruk dasar sungai dan perairan pantai kota-
kota, kelompok-kelompok olah ragawan laut antara lain seperti
peselancar dan penyelam, kelompok organisasi pencinta lingkungan
laut yang anggota-anggotanya berasal dari kota-kota bahkan dari
negara-negara berlainan (Ginkel dan Verrips, 1988). Setiap kategori
dan level sosial tersebut mempunyai atau dicirikan dengan pola-pola
budaya konteks lokal dan global.

Kedua, munculnya sedemikian banyaknya kategori-kategori sosial


bahari tersebut tentu dikondisikan oleh tumbuh dan berkembangnya
jenis-jenis usaha ekonomi terkait laut cukup banyak dan kaya dengan
variasi dan tingkatan skalanya masing-masing. Termasuk dalam sektor-
sektor ekonomi kebaharian utama antara lain perikanan,
pelayaran/usaha transportasi laut, industri maritim, pertambangan,
parawisata bahari, jasa pengamanan wilayah laut dan isinya, dan lain-
lain. Terhadap sektor-sektor dan sub-sub sektor ekonomi maritim
tersebut oleh pelaku dan pengelolanya (komuniti, kelompok, keluarga,
individu atau pengusaha privat) seringkali melakukan berbagai gaya
menejemen berupa ekstensifikasi dengan strategi diversifikasi,
intensifikasi dengan usaha tunggal, osilasi di antara berbagai sektor
ekonomi terkait laut dan dengan sektor-sektor lain. Di Indonesia
misalnya selama ini, dalam rangka pengembangannya yang melibatkan
pemerintah, ini seringkali diacukan pada kerangka pengembangan
terpadu yang ideal yang menguntungkan setiap sektor, tetapi seringkali
juga dilakukan secara parsial yang menjurus pada gejala persaingan dan
konflik kepentingan yang pada gilirannya berdampak pada sektor-
sektor usaha kecil milik rakyat dengan gaya menejemen tradisionalnya.
Ketiga, bahwa selain pelaku dan pengguna langsung, ada banyak
kategori-kategori sosial dengan tingkatan-tingkatan sosialnya masing-
masing terlibat secara tidak langsung dalam setiap sektor ekonomi
kebaharian (pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut). Sektor
perikanan misalnya -- ini merupakan sektor ekonomi cukup banyak
jenisnya menurut spesis sumberdaya laut diusahakan dan tipe-tipe
teknologi eksploitasi digunakan serta bertingkat-tingkat menurut skala
investasi modal usaha -- melibatkan nelayan sebagai pelaku dan
pengguna langsung, para pembuat perahu dan alat tangkap, pedagang,
pengusaha dan rentenir, koperasi dan bank, pasar dan TPI,
pemerintah/instansi terkait, keamanan laut, peneliti dan praktisi dari
lembaga perguruan tinggi, pihak donor pembangunan, ornop, dan lain-
lain. Kategori-kategori sosial dari luar yang tidak terlibat secara
langsung dalam pengelolaan dan aktivitas kemaritiman tersebut justru
merupakan kekuatan-kekuatan eksternal yang memberi pengaruh pada
atau menentukan tatanan dan dinamika kehidupan sosial budaya
komuniti-komuniti atau kelompok-kelompok sosial kebaharian utama
seperti nelayan dan pelayar. Karena itu fenomena masyarakat dan
budaya bahari harus dipahami juga dalam konteks eksternalnya.

Keempat, fenomena sosial budaya maritim bukan hanya tampak pada


aspek-aspek budayanya (sistem-sistem pengetahuan, gagasan,
kepercayaan, nilai, norma, bahasa, organisasi sosial, ekonomi,
teknologi, pola pemukiman, kesenian) dengan kategori-kategori dan
hirarki sosial pendukungnya yang berbeda-beda. Fenomena tersebut
yang dicirikan dengan saling keterkaitan internal antara unsur-unsur
serta sifat homogeniti dan difersitasnya merupakan kerumitan
tersendiri. Fenomena budaya dari setiap kategori atau sub-sub kategori
sosial dicirikan dengan karakter kepribadian kebahariannya masing-
msing. Setiap kategori sosial sebagai nelayan, kelompok awak kapal
angkutan, komuniti pembuat perahu/kapal, kelompok olahragawan laut,
satuan marinir, dan sebagainya bisa menunjukkan karakter budaya
bahari berbeda-beda. Bahkan di antara kelompok-kelompok nelayan
rumpon (Mandar), nelayan bagang (Bugis), penyelam tripang (Bajo,
Bugis, Makassar) dan pemburu hiu (Bajo) dari Sulawesi Selatan bisa
mencerminkan sikap kepribadian budaya bahari berbeda-beda.

Kelima, kompleksitas fenomena sosial budaya bahari ditunjukkan pula


dalam proses dinamikanya. Di sana ada perubahan sepenuhnya seperti
motorisasi perahu nelayan yang menggantikan fungsi layar dan dayung;
ada proses transformasi struktural mengenai kelompok-kelompok kerja
nelayan dan pelaut serta jaringan pemasaran; ada proses perkembangan
internal seperti perubahan tipe bagang tancap ke bagang perahu melalui
bentuk-bentuk transisi bagang rakit/apung di Sinjai (Sulawesi Selatan);
dan proses difusi (persebaran) yang menyolok seperti persebaran
rumpon dari Majenne (Sulawesi Selatan), bubu dari Buton (Sulawesi
Tenggara), sebuah bentuk perahu tradisional dari Kalimantan
dimodifikasi menjadi tipe jolloro‘ di Bira (Bulukumba) kurang lebih
dua dekade terakhir; dan bahkan seringkali ada manipulasi identitas
etnis secara sementara atau permanen seperti dilakukan oleh sebagian
besar kelompok-kelompok masyarakat Bajo di mana-mana dalam
rangka adaptasi sosial budayanya; bertahannya tradisi seperti
pengetahuan kelautan, pembuatan perahu, dan aturan bagi hasil. Lebih
lanjut dalam konteks Indonesia misalnya, di sana ada wacana tentang
kearifan lokal (local indigenious) tetapi banyak kali kontradiksi dengan
fenomena eksploitasi sumberdaya secara berlebih dan komersialisasi
dengan segala dampak negatifnya bagi kondisi sosial ekonomi,
lingkungan dan sumberdaya laut (berdasarkan pandangan etik dan
emik). Di sana ada juga fenomena paternalisme yang melibatkan
pemerintah, kalangan akademisi dan organisasi non-pemerintah
(Ornop) di samping berpengaruh positif juga negatif bagi tatanan dan
dinamika sosia budaya lokal.

Pengkajian masyarakat dan budaya bahari yang demikian kompleks


tersebut di muka menuntut diperlukannya (1) pendekatan studi/kajian
multi dan atau interdisipliner yang melibatkan bukan hanya antropologi
tetapi juga disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora lainnya, bahkan
non-sosial (seperti perikanan dan kelautan, biologi, ekologi, teknik
perkapalan) yang relevan dengan fenomena sosial budaya dan
fenomena fisik yang bisa saling interkoneksi dan dikontekskan; dan (2)
konsep budaya, model/kerangka penjelasan/analisis yang empirik serta
metode koleksi data lebih aplikatif. Pada kesempatan ini penyajian
berikut dibatasi pada upaya menentukan perangkat konsep budaya yang
relevan dengan studi sosial budaya bahari yang kompleks, gambaran
wujud budaya bahari komuniti-komuniti nelayan di Indonesia, konteks
eksternal dan modern, dan mengarahkan dinamika serta perubahan
secara bijak sebagai penutup. Penulisan ini menggunakan berbagai
laporan penelitian, bahan etnografi komuniti-komuniti nelayan di
Indonesia terutama dari Sulawesi Selatan, dan dokumen-dokumen.

BAB IV
PENUTUP

5.1 Kesipmulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Kesatuan-kesatuan masyarakat bahari dimaksudkan ialah kesatuan
asal-usul dan pemukimannya terutama pada daerah pesisir dan pulau-
pulau kecil, tetapi tidak sedikit juga berasal dari penduduk kota-kota
dan desa-desa pedalaman. Meraka yang bermukim secara kolektif di
daerah pesisir dan pulau-pulau sebagaian besar atau pada umumnya
merupakan masyarakat nelayan, sedangkan yang berasal dari tempat-
tempat tersebar di kota-kota dan desa-desa pedalaman adalah anggota-
anggota dari kelompok pelayar/saudagar dan pekerja usaha transportasi
laut, dan kelompok-kelompok pemanfaat seperti pertambang,
pengelolah, dan karyawan industri masyarakat bahari, penyelam dan
olahragawan laut, kelompok-kelompok pecinta lingkungan laut (LSM),
pemerintah dan kalangan akademisi yang membidangi kelautan secara
praktis dan keilmuan.

2. Sekurang-kurangnya terdapat lima karakteristik menyolok, seperti


(1) ketergantungan pada dan keterkaitannya secara fisik dan emosional
yang ketat kepada lingkungan alamnya, (2) kebutuhan pada dan
keterkaitan secara mutlak dalam kelembagaan lokal, (3) ketergantungan
secara mutlak pada pasar (lokal, regional, global), (4) keterlibatan
pihak-pihak lain secara berkelompok maupun individual dalam aktifitas
dan usaha-usaha nelayan, dan (5) konflik sosial antar kelompok-
kelompok pemangku kepentingan, khususnya antar kelompok-
kelompok nelayan dari berbagai kesatuan etnis, dan melibatkan
pemerintah dan berbagai instansi terkait mulai dari tingkat desa,
kecamatan, provinsi, bahkan antarnegara.

DAFTAR PUSTAKA
Musni Lampe. 2008. Wawasan Sosial Masyarakat Bahari. Makasar
Musni Lampe. 2007. Budaya Bahari dalam Konteks Global dan
Modern. (Online).
(www.kongresbud.budpar.go.id. Diakses 2 November 2008)

Anda mungkin juga menyukai