Anda di halaman 1dari 20

WARISAN BUDAYA MARITIM NUSANTARA

TUGAS : WAWASAN KEMARITIMAN

OLEH
FITRAYADI
G31MN21035

PROGRAM DOKTOR ILMU MANAJEMEN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3. Tujuan........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1 Kondisi Aktual..........................................................................................3
2.2 Faktor-Faktor Penyebab Masalah..............................................................5
2.3 Dampak Permasalahan Warisan Budaya Maritim.....................................6
2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis.....................................................................8
2.5 Beberapa Solusi Mengatasi Masalah Menegakkan Kedaulatan Negara
Maritim Indonesia..............................................................................................10
2.6 Rekomendasi Pilihan...............................................................................12
BAB III PENUTUP...............................................................................................15
1.1 Kesimpulan..............................................................................................15
1.2 Saran........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Narasi mengenai kemaritiman adalah sebuah perjalanan panjang bagi

bangsa Indonesia, bahkan beberapa ahli mengatakan kemaritiman di Indonesia

bukan sebatas “sejarah” tetapi merupakan sebuah peradaban. Kemaritiman

sebagai aktifitas telah berlangsung sejak jaman prasejarah di wilayah kepulauan

ini, yang terekam dalam tapak arkeologi berupa gambar perahu dan fauna air di

beberapa gua prasejarah di Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Pada fase

berikutnya, aktifitas kemaritiman pun terus berlanjut dan menjadi identitas bagi

Indonesia sebagai bangsa Maritim.

Secara terminologi kemaritiman memiliki kata dasar maritim, yang dalam

KBBI (2011:879), maritim adalah (1) segala sesuatu yang berkenaan dengan laut

dan (2) berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Selanjutnya,

kemaritiman bermakna hal-hal yang menyangkut masalah maritim atau sifat

kepulauan Indonesia. Istilah maritim sering disinonimkan dengan kata bahari yang

bermakna (1) dahulu kala; kuna, (2) indah; elok sekali, dan (3) mengenai laut;

bahari (KBBI 2011:115). Dengan demikian, sejarah maritim adalah studi tentang

aktivitas manusia di masa lampau yang berkaitan dengan aspek-aspek

kemaritiman, khususnya pelayaran dan perdagangan (Poelinggomang, 2001, p. 1).

Horridge (1981) dalam tulisannya menyebutkan bahwa Nusantara sarat

dengan sejarah peradaban maritim. Tradisi perikanan laut di samping usaha

transportasi laut banyak dilakoni oleh komunitas-komunitas nelayan etnis pelaut

1
2

Mandar, Bajo, Buton, Madura dan Bugis-Makassar. Budaya serta etnis

masyarakat bahari masih tetap eksis hingga saat ini.

Posisi dan kondisi Indonesia menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan

salah satu negara maritim. Karakter dan jiwa bahari Bangsa Indonesia sudah

tercermin sejak zaman kerajaan . Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit menjadi cikal

bakal berdirinya negara maritim. Kedua kerajaan tersebut mampu mensinergikan

tradisi pelayaran dan perdagangan dengan menguasai lalu lintas perdagangan

melalui laut dan sungai (Ardiwidjaja, 2016).

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah: Bagaimana Warisan

Budaya Maritim Nusantara?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui Warisan

Budaya Maritim Nusantara.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Aktual

Pada awal kemerdekaannya, pengaturan batas-batas teritorial Republik

Indonesia masih mengacu pada Territiarle Zee en Maritime Kringen-Ordonantie

1939 (TZMKO 1939), yang dalam Pasal 1, ayat 1 ditetapkan bahwa batas-batas

laut teritorial adalah selebar 3 mil dari pantai. Tentu saja pasal ini tidak sesuai

bagi sebuah negara kepulauan, karena dalam sebuah negara kepulauan semua

pulau serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan

yang utuh.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957

pemerintah Republik Indonesia yang pada waktu itu berada di bawah Kabinet

Djoeanda, mengeluarkan sebuah pernyataan ketentuan mengenai wilayah perairan

Indonesia, yang dikenal dengan nama Deklarasi Djoeanda 1957. Isinya adalah:

”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau

bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan

tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada

wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan

bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak

daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan

pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak

bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.

3
4

Dicermati dari sisi suku bangsa dan budaya, keberadaan laut bebas di

antara pulau-pulau di Negara Republik Indonesia sangat janggal. Bagaimana pun

penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa. Bagaimana

mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai

pembatasnya. Sejak awal kedatangan manusia di bumi Nusantara ini, pulau-pulau

besar seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian telah dihuni manusia.

Bahkan pulau-pulau kecil seperti Nusa Tenggara (dahulu disebut Kepulauan

Sunda Kecil) juga telah dihuni. Beberapa penelitian arkeologi di Flores

menemukan sisa-sisa kehidupan dari 80.000 tahun yang lalu.

Fenomena sosial bahari sangatlah kompleks yang ditunjukkan dalam

bentuk banyaknya aktivitas kebaharian di lingkungan masyarakat, adanya

hubungan sektor dan sub-sektor yang pada perekonomian di laut, adanya

keterlibatan dan maupuan hirarki pada aktivitas kebaharian, adanya keterikatan

antara unsur budaya maritim dengan unsur kehidupan masyarakat, dan komponen

budaya maritim terdapat kehomogenan dan diversitas unsur budaya. Oleh sebab

itu perlu adanya peran aktif pemerintah, aktivitas akademisi, LSM, tokoh

masyarakat, dan lembaga donor yang menemukan solusi dalam pengelolaan

pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan laut secara berkelanjutan, berwawasan

lingkungan dalam mewujudan kesejahteraan bersama masyarakat

Sudut pandang sosial budaya banyak sekali hal hal yang menarik untuk

dikaji termasuk didalamnya adalah sistem budaya. Perkumpulan dari beberapa

nelayan mempunyai budaya yang unik jika dibandingkan dengan komunitas yang

dimiliki oleh masyarakat agraris. Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh


5

komunitas laut merupakan perwujudan dari adaptasi mereka selama bertahun-

tahun terhadap lingkungan mereka yang berada di wilayah pesisir dan laut.

Pengetahuan nelayan dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam kegiatan

menangkap ikan mencerminkan kehidupan mereka yang berada di wilayah pesisir

tempat nelayan hidup dan sebagai mata pencaharian dalam mencari rezeki.

Pengetahuan-pengetahuan ini muncul akibat berasal dari gagasan yang

menunjukkan kondisi laut yang berbahaya dan kondisi sumberdaya laut yang

tidak dapat dikelola, sehingga menimbulkan gagasan bahwa pekerjaan di

lingkungan laut penuh dengan resiko dan bahaya untuk keselamatan jiwa manusia.

Pada dasarnya terdapat hubungan antara manusia denganlingkungannya. Hal

tersebut sering sekali disebut dengan kearifan local.

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Masalah

Secara geografis, Indonesia terdiri dari beribu pulau yang sebagian besar

wilayahnya (62%) merupakan perairan laut, selat dan teluk; sedangkan 38 %

lainnya adalah daratan yang didalamnya juga memuat kandungan air tawar dalam

bentuk sungai, danau, rawa, dan waduk. Demikian luasnya wiliyah laut di

Indonesia sehingga mendorong masyarakat yang hidup di sekitar wilayah laut

memanfaatkan sumber kelautan sebagai tumpuan hidupnya. Ketergantungan

masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan identitas tersendiri sebagai

masyarakat pesisir dengan pola hidup yang dikenal sebagai kebudayaan pesisir

(Geertz, H., 1981: 42).

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang

dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang
6

"budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan

kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan'

sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini,

kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu

kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Pada akhir abad ke-19,

para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih

luas.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan-kelompok dengan perilaku yang sedikit

berbeda dari kebudayaan induknya-mulai dijadikan subyek penelitian oleh para

ahli sosiologi. Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan, yaitu

sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan

kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh

beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik,

agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender.

Berbicara masalah budaya, Indonesia mempunyai berbagai macam suku

ras, adat, dan budaya serta alam lainnya. Indonesia juga kaya akan budaya.

Namun seiring dengan perkembangan jaman era globalisasi. Kebudayaan

Indonesia mulai luntur. Hal ini dikarenakan semakin berkembangnya teknologi.

Dengan demikian pola pikir Indonesia menjadi terpengaruh kehidupan barat atau

pola budaya Barat, sehingga mereka melupakan kebudayaannya sendiri.

2.3 Dampak Permasalahan Warisan Budaya Maritim

Masyarakat yang berada di pesisir atau kepulauan yang berjiwa Maritim

diperlukan kepandaian dalam menaklukkan lautan luas serta pandai mengarungi


7

lautan dengan melakukan pelayaran ke berbagai daerah lainnya baik untuk

berdagang maupun untuk mencari ikan. Pada hakekatnya jauh sebelum

masyarakat Indonesia memperjuangkan hak-hak kebebasan demi mencapai

kemerdekaan dari imperialisme barat, pada mulanya pengenalan dan penerapan

sistem pelayaran dan perdagangan merupakan salah satu mata pencaharian yang

utama dan hingga saat ini terus mengalami perkembangan. Masyarakat pesisir

pada saat itu tidak hanya mampu mengarungi perairan Nusantara, akan tetapi

lebih dari itu bahwa orang Indonesia telah mampu berlayar sampai pada jarak

terjauh seperti Madagaskar yang terletak di Samudera Hindia.

Problem utama yang mengakar dalam masyarakat kepulauan dan

mengancam pembangunan adalah kemiskinan struktural. Perspektif struktural

melihat kemiskinan disebabkan oleh faktor luar dimana individu tidak dapat

memanipulasi faktor-faktor tersebut (Davids, 2010), sehingga dapat berpengaruh

pada kondisi dimana orang miskin hidup: pengangguran, setengah pengangguran,

pendidikan yang buruk, dan kesehatan yang buruk (Elesh, 1970).

Dalam kategori masyarakat kepulauan sudah tergambar jelas bahwa

masyarakat kategori ini secara sengaja atau tidak telah termarjinalkan oleh adanya

keterbatasan akses terhadap transportasi, teknologi komunikasi, juga kurangnya

ketersediaan bahan dasar lokal dan infrastruktur untuk mendukung pembangunan

bersama. Kemiskinan masyarakat kepulauan yang belum berkembang dapat

dilihat dari penyebab faktor-faktor kerentanan (vulnerability), tantangan geografis,

dan kebijakan pembangunan nasional yang sangat eksploitatif daripada

rekonstruktif. Faktor-faktor seperti ini mengganggu keseimbangan alam yang,


8

pada gilirannya, mengacaukan sistem tata kosmologis masyarakat nusantara

(Gaspersz.et.al, 2018). Untuk itu, kehadiran peran Indonesia dalam skala domestik

dan regional Asia Tenggara sangat penting untuk “membebaskan” Indonesia dari

karakter kemiskinan struktural sehingga dapat memenuhi pembangunan nasional

secara komprehensif dan pembangunan regional sesuai dengan kapasitasnya

sebagai negara maritim berdasarkan atas kekuatan geografis, demografis, dan

kemampuan leadership regional melalui penguatan budaya maritim.

2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis

Dalam perspektif elisionistik yang dimotori oleh Anthony Giddens

ataupun Pierre Bourdieu, hubungan timbal balik tak henti antara individu dan

strukturlah yang menjadi dasar dari realitas sosial yang muncul di dalam

masyarakat. Menurut mereka, pemisahan secara ketat antara perspektif fakta

sosial dan interaksionisme simbolik dianggap kurang mumpuni untuk bisa

menjelaskan masalah yang terjadi pada masa modernisasi lanjut seperti sekarang

ini. Meminjam perspektif keduanya, kebudayaan bisa dimaknai sebagai satu arena

sosial dalam sebuah tatanan sosial yang di dalamnya terjadi proses redefinisi dan

restrukturisasi terus-menerus. Masyarakatlah yang melahirkan kebudayaan. Oleh

karena itu, untuk memahami kebudayaan maritim, kita mesti memahami apa yang

dimaksud dengan masyarakat maritim.

Merujuk pada Janizewski (1991) dalam Bartlomiejski (2011: 48),

masyarakat maritim merupakan representasi masyarakat lokal yang memiliki tipe

sosial yang unik. Menurutnya, masyarakat maritim memiliki makna yang jauh

lebih besar daripada masyarakat nelayan. Mereka bukan saja tinggal di tepi pantai
9

dan mencari ikan di laut, tetapi juga memiliki norma serta obligasi sosial yang

berangkat dari relasi panjang mereka dengan lautan. Kemudian, identitas mereka

sebagai masyarakat maritim diperoleh melalui proses sosial berbagi pemaknaan

dan pengalaman bersama dalam berhubungan dengan laut. Sementara itu

Cameron (1986), mempersoalkan sebuah kenyataan sosiologis tentang keragaman

orientasi sosio-kultural masyarakat terhadap laut meskipun mereka memiliki

kesempatan fisik dan kebutuhan ekonomi yang sama. Menurutnya, tidak semua

masyarakat yang tinggal dekat laut memiliki keterikatan yang kuat terhadap laut,

termasuk dalam menentukan pembagian kerja di antara mereka.

Lapian (2011:80) menjelaskan bagaimana kebudayaan maritim bukanlah

satu bentuk dominasi antara yang pesisir terhadap yang daratan. Kebudayaan

maritim Nusantara diperkuat oleh proses tukar-menukar barang antara wilayah

pesisir dan pedalaman. Meskipun dalam hal perdagangan antarpulau, pelaksanaan

perhubungan memerlukan kemampuan berlayar, baik kemahiran membuat perahu

atau kapal sebagai alat angkutan maupun pengetahuan navigasi untuk mencapai

tujuan.

Pada akhirnya, kalau kita meminjam penjelasan Giddens (1984) dalam

menerangkan praktik sosial di masyarakat maka melaut bisa dilihat sebagai

sebuah pertemuan antara structural constraint yang agak longgar dengan lapisan

kesadaran yang muncul dari individu ketika ia berinteraksi dengan struktur yang

melingkupi dirinya. Ringkasnya, secara sosiologis, melaut adalah tuntutan

ekonomi sekaligus jalan hidup yang harus dipenuhi. Kebudayaan melaut atau

kebudayaan maritim bisa dimaknai sebagai satu arena sosial di mana terjadi
10

interaksi antara 1) skema interpretatif yang melibatkan pengetahuan mengenai

laut; 2) aturan sosial yang meliputi sanksi dan institusi sosial yang ada dalam satu

masyarakat maritim; serta 3) bentuk-bentuk fasilitas yang bisa dikategorikan

sebagai sumber daya yang menjadi modalitas seseorang untuk pergi melaut.

2.5 Beberapa Solusi Mengatasi Masalah Menegakkan Kedaulatan Negara

Maritim Indonesia

Dalam menjalin kerjasama dengan sesama negara maritim di Asia

Tenggara, maka yang diperlukan adalah membangun hubungan yang konstruktif

berdasarkan bilateral antara Indonesia dan negara tetangga di kawasan Asia

Tenggara. Kemunculan isu-isu atau konflik dianatara negara-negara tetangga

sebenarnya disebabkan oleh ketiadaan shared dan common knowledge yang

membentuk identitas kolektif yang tercantum pada empat faktor seperti

interdependence, common fate, homogeneity, dan self restraint. Persengketaan


11

perbatasan di pulau Ambalat merupakan akibat dari ketiadaannya self restraint

dari kedua negara dan mengutamakan kepentingan nasional khususnya pada

sumber kekayaan alam yang terdapat di pulau tersebut dan kesatuan teritorial.

Begitu juga dengan isu tenaga kerja Indonesia (TKI), dan penangkapan

ikan secara illegal yang kedua negara tidak mempunyai rasa collective identity

(identitas kolektif), khususnya ketidaksamaan dalam melihat ketergantungan

(interdependence) antara kedua negara dalam isu TKI. Indonesia melihatnya

sebagai usaha menciptakan ketergantungan yang sehat, dimana masyarakat

Indonesia boleh kerja dan dapat uang untuk menghidupi keluarganya, dan diwaktu

yang sama, seperti Malaysia mendapatkan kemajuan dari hasil buruh Indonesia.

Berbeda dengan harapan di Indonesia, masyarakat Malaysia justru melihat TKI

(legal maupun illegal) menjadi sebuah ancaman terhadap keamanan dan

kestabilan politik di Malaysia hingga terdapat usaha-usaha untuk memberhentikan

pengambilan tenaga kerja dari Indonesia (Liow, 2003).

Perselisihan faham antara masyarakat kedua negara pada sekarang ini,

tidak lain dan tiada bukan, diperkuat hanya karena pengaruh media-massa dan

internet, khususnya, melalui website and blog yang memprovokasi masyarakat

kedua negara dalam isu-isu mulai dari pengakuan perbatasan, dan budaya

maritim. Media sebetulnya dijadikan alat oleh pihak tertentu untuk menjadikan

hubungan antara masyarakat khususnya dalam level keadaan yang tidak harmoni,

dan turut menjadikan hubungan pemerintahan juga terlibat dalam perselisihan.

Maka dari itu, akan ada pihak-pihak yang bertepuk tangan riang sambil

menyaksikan dan bahkan meraih manfaat dari keadaan yang tidak harmoni
12

diantara kedua negara. Media seharusnya tidak dijadikan instrument yang

mengganggu hubungan masyarakat kedua negara maritim. Sebaliknya, media-

massa harus menjadi instrument dalam membina hubungan yang harmoni melalui

pembentukan ”collective identity” yang dapat pula terbentuk melalui penggunaan

efektif media. Begitu juga dengan negara-negara maritim yang lainnya di Asia

Tenggra.

2.6 Rekomendasi Pilihan

”Collective Identity” sebagai penguat budaya maritim di Asia Tenggara

Salah satu kerangka yang muncul pada zaman post-positivisme ini adalah

apa yang dikenal dengan “collective identity” yakni usaha untuk memahami

identitas dan kepentingan. Pendekatan ini diajukan oleh Alexander Went dalam

konstruksi sosial pada tingkat politik internasional (Went, 1999). Dalam

pendekatan ini, Went menggagas pendekatan konstruktivis sebagai alternative

untuk memahami hubungan internasional baik secara bilateral maupun

multilateral. Menurut Went, norma-norma dalam politik dan hubungan

internasional sebenarnya terbentuk dari pemahaman identitas sebuah masyarakat

di sebuah negara. Sehingga norma anarkis yang dipahami oleh realist sebenarnya

adalah tidak terwujud, dan akan terwujud dengan hanya bergantung pada apa yang

dilakukan oleh negara, dan bagaimana masyarakat disebuah negara

mengidentifikasikan diri mereka dengan masyarakat di negara lain. Dengan

terbentuknya sebuah identitas kolektif maka dengan itu akan muncul sebuah

kepentingan bersama atau yang dikenal shared interest.


13

Dengan adanya identitas kolektif menurut Went, ada empat faktor penting

yang harus dibina oleh setiap masyarakat. Faktor-faktor tersebut adalah

’interdependence’, ‘Common Fate’, ‘Homogeneity’, dan ‘Self-Restraint’ (Went,

1999). Konsep interdependence atau saling ketergantungan adalah konsep yang

sangat popular pada pendekatan liberalisme dalam menggalang kerjasama di

tingkat internasional. Namun pada liberalisme, ketergantungan antara negara

hanyalah sebatas ketergantungan kepentingan dan tidak mempelajari bagaimana

aktor-aktor saling bergantung apabila perubahan pada satu aktor atau negara akan

mempengaruhi actor lain dan hasil perubahan itu juga sebenarnya bergantung

pada pilihan aktor lain. Menurut Went, saling ketergantungan menyebabkan para

aktor, baik masyarakat atau negara, untuk terlibat dalam “ideological labour” –

berbentuk perbincangan, diskusi, pendidikan, dan sosialisasi- untuk menciptakan

representasi bersama tentang saling ketergantungan dan rasa kekitaan (Went,

1999). Untuk meniadakan adanya unsur eksploitasi dalam ketergantungan, Went

menyarankan agar masyarakat harus kembali pada budaya Lockean (Lock, 1980).

Common fate (nasib yang sama) meliputi tingkah laku (behaviour) dan

identitas. Dalam hubungan internasional, common fate selalu disebut dalam

pendekatan realist sebagai kepentingan bersama (common interest). Oleh karena

itu, kerjasama akan mudah untuk dicapai tatkala kepentingan beberapa aktor itu

sama. Dalam pendekatan konstruktivis, common fate meliputi dua elemen baik

dalam tindakan maupun identitas. Oleh karena itu, common fate merupakan

elemen penting untuk membentuk identitas kolektif di dalam negeri maupun

tingkat internasional.
14

Homogeneity atau kesamaan antara beberapa aktor juga sangat penting

dalam membangun identitas kolektif. Untuk membentuk adanya persamaan, tidak

cukup hanya dengan budaya, bahasa, agama dan tatanan sosial yang sama, tetapi

perlu adanya persamaan dalam nilai dan praktek kehidupan sehari-hari. Lebih dari

itu, kesamaan akan mudah membentuk identitas kolektif meskipun aktor-aktor

politik internasional baik dalam skala bilateral atau multilateral mampu

menyamakan ideologi dan nilai pada tingkat identitas dan juga tindakan.

Self-Restraint (daya kontrol terhadap diri sendiri) diperlukan untuk

menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu terbentuknya

identitas kolektif. Ini karena telah banyak usaha kerjasama dan saling

ketergantungan telah berubah menjadi sistem eksploitasi yang disebabkan karena

tidak adanya daya kontrol untuk tidak menjadi aktor yang rakus. Pendekatan

konstruktifis ini dalam menjelaskan hubungan bilateral, multilateral antara

Indonesia dan negara negara maritim lainnya seperti Malaysia di Kawasan Asia

Tenggara diharapkan mampu menjelaskan akar permasalahan perselishan faham

dan mampu memberikan solusi alternative dalam menyelesaikan berbagai

permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara tersebut yang seharusnya

mempunyai identitas kolektif sebagaimana telah terjadi dalam sejarah.


BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Wawasan Nusantara melihat negara kita bukan sebagai wilayah yang

hanya terdiri dari pulau-pulau, melainkan sebagai sebuah negara kepulauan

(archipelagic states), termasuk laut di antaranya (laut pedalaman). Dari pandangan

ini dapat ditegaskan bahwa laut merupakan pemersatu, bukan sebagai pemisah.

Sejarah bangsa ini telah membuktikan bahwa sejak awal aktivitas bangsa ini

berada di laut. Sejarah Nusantara bukanlah sejarah yang hanya membicarakan

masa lampau pulau demi pulau, akan tetapi meliputi seluruh wilayah kepulauan.

Dalam memperkuat budaya maritim di Kawasan Asia Tenggara, Indonesia

sepatutnya membuat koordinasi dan kerjasama dengan negara di Asia Tenggara

untuk menunjukkan, mendorong, dan membentuk identitas bersama (collective

identity) agar semua negara menyadari akan pentingnya kerjasama dan

keterlibatan bersama dikalangan negara maritim. Untuk selanjutnya supaya lebih

kokoh lagi Indonesia dalam membawa one ASEAN identity yang dimulai dengan

kesamaan budaya maritim di kawasan Asia Tenggara. Peran yang harus

dimainkan oleh Indonesia sebagai negara maritim terbesar adalah menyatukan

identity ASEAN yang dimulai dengan penyebaran dan penguatan budaya maritim

yang dikenal open-minded positive-thinking, gotong royong dan mampu

membangunkan kesadaran collective identity di negara negara Asia Tenggara

yang lainnya.

15
16

1.2 Saran

Direkomendasikan kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk

apat melihat potensi dan realita kemaritiman Indonesia, mengajak bahkan

memaksa kita segera berbenah untuk membangun kembali jejak sejarah yang

terhapus.
DAFTAR PUSTAKA

Arnakim, L.Y. and Dewi, G.D.P., 2018. Peranan Indonesia dalam Memperkuat

Budaya Maritim di Asia Tenggara. Prosiding Vennas AIHII, 9, p.7.

Chairunnisa, I., Rijanta, R. and Baiquni, M., 2019. Pemahaman Budaya Maritim

Masyarakat Pantai Depok Kabupaten Bantul. Media Komunikasi

Geografi, 20(2), pp.199-210.

Heriyawati, Y., Herdiani, E. and Dimyati, I.S., 2020. Kearifan Lokal Hajat Laut

Budaya Maritim Pangandaran. Journal: Panggung.

Kambey, M.A., Aling, D.R. and Dien, C.R., 2020. Eksistensi Budaya Maritim

Kelompok Nelayan Kelurahan Malalayang Dua, Kota Manado, Provinsi

Sulawesi Utara. Akulturasi: Jurnal Ilmiah Agrobisnis Perikanan, 8(1),

pp.136-146.

Mukhlis, S. and Setyadiharja, R., 2017. Community Development Dengan

Internalisasi Nilai Budaya Maritim Di Provinsi Kepulauan Riau Untuk

Memperkuat Provinsi Berbasis Kemaritiman. JIP (Jurnal Ilmu

Pemerintahan): Kajian Ilmu Pemerintahan dan Politik Daerah, 2(1), pp.37-

51.

Mulyadi, Y., 2016. Kemaritiman, Jalur Rempah dan Warisan Budaya Bahari

Nusantara. Talkshow Pekan Budaya Indonesia.

Rahardja, S., 2018. Warisan Budaya Maritim Nusantara.

Soetjipto, A.W., Yuliestiana, A.T.D., Suryani, D.P.S., Kinanthi, D.K., Tamzil,

C.F., Parameswari, P. and Waworuntu, A., 2019. Transnasionalisme:

17
18

peran aktor non negara dalam hubungan internasional. Yayasan Pustaka

Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai