Anda di halaman 1dari 15

PAPER ANTROPOLOGI PERIKANAN DAN KELAUTAN

“KEBUDAYAAN DAN DINAMIKA MASYARAKAT PESISIR”

DISUSUN OLEH :

Andi Fayola Zahira (L041191027)

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN

DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................1
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. Masyarakat Pesisir.....................................................................................................................2
B. Dinamika Masyarakat Pesisir....................................................................................................4
C. Kebudayaan Masyarakat Pesisir................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................14

1
PEMBAHASAN

A. Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan melakukan aktivitas
sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya wilayah pesisir dan lautan.
Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang
cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumber daya pesisir dan lautan. Masyarakat
pesisir adalah sekumpulan masyarakat (nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan,
dan lan-lain) yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan
memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada
pemanfaatan sumber daya pesisir.

Secara geografis, masyarakat pesisir atau nelayan adalah masyarakat yang


hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi
antara wilayah darat dan laut. Secara sosiologis, mereka memiliki karakteristik sosial
yang berbeda dengan masyarakat lainnya, karena perbedaan karakteristik sumberdaya
yang dimiliki. Kesejahteraan secara ekonomi masyarakat pesisir sangat bergantung
pada sumberdaya perikanan baik perikanan tangkap di laut maupun budidaya, yang
hingga saat ini aksesnya masih bersifat terbuka (open access), sehingga kondisi
lingkungan wilayah pesisir dan laut menentukan keberlanjutan kondisi sosial ekonomi
mereka.

Secara teoritis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal dan


melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki
ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan
lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan
sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa
mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait
dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.

Masyarakat pesisir itu sendiri dapat didefinisikan sebagai kelompok orang


atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan
perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan
pesisir. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan

2
organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi
perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual
jasa transportasi dan lain-lain. Yang harus diketahui bahwa setiap komunitas memiliki
karakteristik kebudayaan yang berbeda-beda.

Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan melakukan aktivitas


sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya wilayah pesisir dan lautan.
Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang
cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumber daya pesisir dan lautan. Masyarakat
pesisir adalah sekumpulan masyarakat (nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan,
dan lan-lain) yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan
memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada
pemanfaatan sumber daya pesisir.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 tahun 1964


tentang Bagi Hasil Perikanan (LNRI No. 97 tahun 1964, TLN No. 2690), pengertian
nelayan dibedakan menjadi dua yaitu: nelayan pemilik dan nelayan penggarap.
Nelayan pemilik ialah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa
atas sesuatu kapal atau perahu yang dipergunakan dalam usaha penangkapan ikan dan
alat alat penangkapan ikan. Nelayan penggarap ialah semua orang yang sebagai
kesatuan dengan menyediakan tenaganya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di
laut. Nelayan dibedakan menjadi: nelayan pemilik (juragan), nelayan penggarap
(buruh/pekerja) dan nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan gendong (nelayan
angkut), dan perusahaan/industri penangkapan ikan.

Secara sosiologis, karakteristik masyarakat nelayan berbeda dengan


krakteristik masyarakat petani, seiring dengan perbedaan karakteristik sumber daya
yang dihadapi. Masyarakat petani menghadapi sumber daya terkontrol, yakni
pengelolaan lahan untuk produksi suatu komoditas dengan output yang relatif bisa
diprediksi. Dengan sifat produksi yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi
produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan elemen
risiko pun tidak besar. Karakteristik tersebut berbeda sama sekali dengan nelayan.
Nelayan menghadapi akses sumber daya yang hingga saat ini masih bersifat open
access. Karakteristik sumber daya seperti ini menyebabkan nelayan mesti berpindah
pindah untuk memperoleh hasil maksimal, yang dengan demikian elemen risiko

3
menjadi sangat tinggi. Kondisi sumber daya yang berisiko tersebut menyebabkan
nelayan memiliki karakter keras, tegas, dan terbuka.

B. Dinamika Masyarakat Pesisir


Wilayah Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau, suku, etnis dan budaya.
Sebagai negara yang memiliki struktur wilayah perairan yang luas tentu mendorong
kepada suatu aktifitas yang bersumber dari atau di air. Dalam konteks ini adalah
perdagangan. Perdagangan menjadi opsi pertama mengapa orang-orang dari berbagai
belahan dunia mau mengembara ke negeri seberang atau wilayah orang, tidak lain
karena faktor keuntungan. Untung menjadi tujuan utama kebanyakan orang. Untung
di sini tentu dalam arti luas. Artinya tidak hanya materi tetapi non-materi juga
termasuk.

Jalur air berupa laut menjadi jalan utama adanya relasi atau hubungan dengan
masyarakat luar. Dengan terbangunnya jalur perdagangan laut maka bermunculan
pelabuhan-pelabuhan dan kota-kota dagang di pesisir pantai di berbagai wilayah di
Indonesia. Dunia perdagangan sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu ketika zaman
Hindu-Budha (abad ke-1) bahkan saya berasumsi sudah ada sejak zaman prasejarah
(manusia belum mengenal tulisan). Dalam sejarah kemaritiman, banyak kita temukan
dunia perdagangan dan pelabuhan semasa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindhu-Budha
maupun Islam.

Hubungan atau relasi dagang yang terjadi tidak hanya antar masyarakat lokal
setempat melainkan antara wilayah atau pulau dan skala internasional yaitu dengan
para pedagang (saudagar) Asing dari berbagai belahan dunia. Hubungan yang
awalnya terbentuk sebagai hubungan dagang lama-kelamaan menjadi semakin
kompleks dan variatif. Tidak hanya dalam urusan berdagang saja melainkan sudah
mulai merambah ke sektor-sektor lain seperti pendidikan yang berbarengan dengan
misi agama.

Banyak masyarakat (khususnya para pedagang/saudagar) dari luar yang mulai


menetap dan kemudian tinggal berbaur dengan masyarakat setempat atau tinggal
berkelompok (komunitas) di daerah pesisir di sepanjang pantai di Indonesia seperti di
pesisir Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Tentu kita pernah
mendengar Kampung Arab, Kampung Eropa atau Kampung Cina. Kampung-

4
kampung tersebut dihuni oleh komunitas sesuai namanya. Jadi sebagian ada yang mau
tinggal berbaur dengan masyarakat pribumi setempat dan ada pula yang lebih suka
tinggal bersama dengan orang-orang yang sama asalnya (se-suku, se-etnis, se-agama
atau se-negara) terbukti dengan dibuatnya kampung komunitas mereka masing-
masing.

Dalam sejarah perkembangan pendidikan masyarakat pesisir tentu pelabuhan


menjadi suatu tempat yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya. Pengaruhnya
begitu sangat terasa bagi mereka yang tinggal di pesisir-pesisir pulau. Pelabuhan-
pelabuhan menjadi tempat yang paling utama dikunjungi oleh para pedagang dari
berbagai penjuru karena disitulah pangkal kegiatan (transaksi) jual beli, tukar-
menukar barang, maupun aktifitas lainnya dilakukan. Jika dianalogikan maka
pelabuhan adalah terminal dimana berbagai alat transportasi darat keluar masuk.
Pelabuhan-pelabuhan dalam sejarah Indonesia sudah ada sejak masa kerajaan-
kerajaan Hindu-Budha berdiri. Biasanya selain memiliki pelabuhan dagang juga
memiliki seperangkat armada laut yang kuat untuk mengarungi luasnya lautan lepas
dimana sewaktu-waktu dapat dibajak atau diserang kapal musuh.

Sejarah perkembangan pendidikan di masyarakat pesisir tidak terlepas dari


faktor biofisik wilayah. Ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir dan laut
serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya
intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang
signifikan, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan air
laut yang menghasilkan beberapa ekosistem khas dan lain-lain. Ditinjau dari aspek
kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya
sering memiliki sifat terbuka (open access). Hal tersebut menyebabkan masyarakat
pesisir seperti nelayan cenderung memiliki karakter yang tegas, keras, dan terbuka.

Kondisi tersebut berbeda dengan sifat kepemilikan bersama (common


property) seperti yang terdapat di beberapa wilayah di Indonesia seperti Ambon
dengan kelembagaan Sasi, NTB dengan kelembagaan tradisional Awig-Awig dan
Sangihe, Talaud dengan kelembagaan Maneeh yang pengelolaan sumberdayanya
diatur secara komunal. Dengan karakteristik open access tersebut, kepemilikan tidak
diatur, setiap orang bebas memanfaatkan sehingga dalam pembangunan wilayah dan
pemanfaatan sumberdaya sering menimbulkan konflik kepentingan pemanfaatan

5
ruang dan sumberdaya serta peluang terjadinya degradasi lingkungan dan problem
eksternalitas lebih besar karena terbatasnya pengaturan pengelolaan sumberdaya.

Masyarakat pesisir pantai berbeda dengan masyarakat di wilayah pedalaman.


Masyarakat pesisir secara struktur dihuni oleh masyarakat yang heterogen yaitu
beragam suku, etnis, agama dan budaya. Karena struktur masyarakat pesisir sangat
plural, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang merupakan
akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur
masyarakatnya.

Sedangkan masyarakat pedalaman cenderung homogen yaitu tunggal atau asli


masyarakat setempat. Masyarakat pesisir pantai pada umumnya lebih bersifat terbuka
dengan pengaruh budaya luar. Hal itu berkebalikan pula dengan masyarakat yang
tinggal di wilayah pedalaman yang mana pada umumnya lebih bersifat tertutup dan
tidak suka menerima tamu luar. Masyarakat pesisir lebih menunjukkan
modernitasnya.

Masyarakat pedalaman atau desa pada umumnya memiliki tingkat keeratan,


kekeluargaan, kegotongroyongan lebih tinggi dari pada masyarakat kota. Dalam
konteks ini masyarakat pesisir masuk dalam kategori masyarakat kota karena secara
kriteria hampir sama. Dalam masyarakat pedalaman atau desa, kebanyakan masih
bersifat saudara atau menganggap saudara sehingga mereka masih mengenal satu
sama lain dalam lingkup masyarakatnya. Hal itu tampaknya berkebalikan dengan
tipikal masyarakat kota pesisir atau kota pada umumnya yang cenderung kurang
mengenal satu sama lain. Sehingga tingkat kegotongroyongannya pun juga jauh lebih
rendah.

Sifat masyarakat pesisir yang cenderung terbuka membawa pengaruh yang


cukup besar dalam perkembangan pendidikanya. Banyak masyarakat dari luar baik
luar pulau maupun luar negeri yang kemudian datang untuk tujuan tertentu. Bagi
mereka sifat atau karakter terbuka tersebut menjadi peluang atau pintu masuk dalam
mencapai tujuan.

Kompleksitas sosial budaya yang terjadi pada masyarakat nelayan (masyarakat


pesisir), terutama berkaitan dengan beragamnya kelompok dan kategori sosial terlibat
secara langsung atau tidak langsung dalam pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan
laut serta beragamnya sektor mata pencaharian terkait laut. Fenomena budaya bahari

6
akan mencakup semua fenomena dan untuk pembatasan dan penyederhanaan subjek
kajian kiranya dilakukan fokus-fokus studi pada setiap atau beberapa fenomena sosial
budaya yang kompleks tersebut. Hal tersebut telah memunculkan dinamika pranata
sosial yang sangat mempengaruhi kepada kearifan lokal mereka. Kearifan lokal
merupakan strategi adaptasi yang memang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri
dalam membenahi masalah-masalah sosial yang berkenaan dengan kehidupan
masyarakat. Kearifan lokal ini tumbuh dari hasil interaksi antara masyarakat dan
lingkungannya.

Secara struktur sosial masyarakat di Desa Lihunu dapat dibagi menjadi 3


bagian status dalam kemasyarakatan, yaitu masyarakat pemerintah (baik dari
penduduk lokal/asli maupun penduduk dari luar Desa Lihunu), masyarakat pendatang
(para investor dan orang yang berkunjung ke Desa Lihunu untuk tujuan tertentu), dan
masyarakat biasa yang merupakan penduduk asli yang secara turun-temurun telah
mendiami lingkungan di Desa Lihunu atau lebih dikenal dengan sebutan masyarakat
lokal.

Hubungan antar individu dalam kelompok masyarakat tersebut saling berelasi


dalam segala aktivitasnya sehari-hari. Salah satu individu dari kelompok tidak dapat
saling lepas dalam beraktivitas. Dalam kehidupan kemasyarakatan sehari-hari,
masyarakat lokal dengan statusnya sebagai petani, nelayan, pedagang, dan bahkan
sebagai PNS (guru), ruang lingkup aktivitasnya masih terbatas pada pekerjaan
masing-masing. Belum ada pemikiran yang lebih luas untuk pengembangan potensi
yang tersedia khususnya ke sektor perikanan-pariwisata. Individu yang berstatus
sebagai masyarakat pemerintah desa juga hanya terbatas pada relasi mereka sebagai
pejabat desa dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan pemerintah desa.
Artinya belum ada relasi yang lain yang mengarah pada pengembangan sektor
perikanan dan pariwisata yang dikombinasikan, bersama-sama kelompok masyarakat
lainnya dengan memanfaatkan potensi yang ada. Dari data yang berhasil dihimpun
peneliti ditemukan bahwa sebagian besar dari pemerintah desa masih terpusat pada
instruksi daerah (kabupaten) dalam pelaksaan program, belum memiliki relasi
tersendiri dalam pengembangan potensi yang ada. Sehingga terkesan hanya sebagai
pelaksana teknis program khususnya pengembangan pariwisata. Masyarakat yang
termasuk kelompok masyarakat pemerintah desa ini akan kembali pada status seperti
kelompok masyarakat lokal atau masyarakat biasa jika sudah terlepas atau selesai

7
melaksanakan kegiatan pemerintahan sesuai jabatan masing-masing. Mereka
melalukan aktivitas rutin sebagi petani, nelayan, berdagang, dan sebagainya.

C. Kebudayaan Masyarakat Pesisir


Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayan.
Dengan demikian tanpa adanya masyarakat sebagai wadah tumbuh kembangnya
budaya maka kebudayaan tidak akan ada. Unsur-unsur kebudayaan adalah (a)
peralatan dan perlengkapan hidup manusia sehari-hari; (b) sistem mata pencaharian
dan sistem ekonomi; (c) sistem kemasyarakatan; (d) bahasa sebagai media
komunikasi, bahasa lisan dan tulisan; (e) ilmu pengetahuan dan kesian dan (f) sistem
religi.

Indonesia termasuk salah satu negara maritim, disebut demikian karena


sebagian besar wilayah Indonesia berupa lautan. Hal inilah yang menjadikan
masyarakat Indonesia memanfaatkan dan menggantungkan hidupnya pada sumber
hasil laut. Ketergantungan masyarakat terhadap sektor laut memberikan identitas
tersendiri sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup yang dikenal sebagai
kebudayaan pesisir

Salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya kebudayaan adalah


lingkungan alam fisik seperti situasi dan kondisi yang secara tidak langsung akan
membentuk watak kepribadian serta budaya masyarakat yang tinggal di lingkungan
itu. Berbicara lingkungan alam, Indonesia mempunyai berbagai lingkungan alam dari
mulai perkotaan, pedesaan, dan pesisir. Dengan berbagai macam karakteristik alam
Indonesia, tentu budaya juga berbeda-beda, baik itu masyarakat kota, desa, dan pesisir
mempunyai karakteristik dan kebudayaan yang berbeda pula.

Masyarakat pesisir merupakan suatu kumpulan manusia yang memiliki pola


hidup, tingkah laku, dan karakteristik tertentu yang tinggal di wilayah perbatasan
antara daratan dan lautan. Masyarakat pesisir cenderung bertahan hidup dan
memenuhi kebutuhanya dari sumber hasil laut yakni perikanan, sehingga masyarakat
pesisir membentuk budaya sendiri yaitu budaya masyarakat pesisir. Selanjutnya,
budaya pesisir juga dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan yang berisi konsep,
teori, metode, atau teknik yang digunakan untuk melangsungkan dan memenuhi
kebutuhan hidupnya baik fisik maupun sosial. Budaya pesisir diantaranya berupa

8
bahasa, seni, kepercayaan, pengetahuan, organisasi sosial (politik), teknologi, dan
ekonomi.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah


bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Menurut bahasa Inggris kebudayaan disebut culture
yang berasal dari kata latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan terkadang kata
culture juga sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai kultur.

Budaya adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian
dimana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan
memberikan penilaian- penilaiannya, suatu pola makna yang ditransmisikan secara
historis, diwujudkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-
orang mengkomunikasikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan, karena
kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik maka haruslah dibaca, diterjemahkan
dan diinterpretasikan.

Linton (dalam Tasmuji, 2011:151) memberikan definisi kebudayaan adalah


seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara
hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Guru besar antropologi
Indonesia Koentjaraningrat (1993:9) berpendapat bahwa kebudayaan berasal dari kata
sansekerta buddhayah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal, sehingga
menurutnya kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan
budi dan akal, ada juga yang berpendapat sebagai suatu perkembangan dari majemuk
budi-daya yang artinya daya dari budi atau kekuatan dari akal.

Sementara Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi (dalam Ranjabar,


2006:21) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan
atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam
sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kebudayaan, menurut penulis adalah semua hasil karya
cipta manusia baik yang berupa benda maupun jasmaniah yang diakui dan masih
diabadikan oleh masyarakat.

Kebudayaan mempunyai tiga unsur, yaitu pertama sebagai suatu ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya, kedua sebagai suatu aktifitas

9
kelakuan berpola dari manusia dalam sebuah komunitas masyarakat, ketiga benda-
benda hasil karya manusia.

Kebudayaan yang ditemukan pada semua bangsa di dunia dari sistem


kebudayaan yang sederhana seperti masyarakat pedesaan hingga sistem kebudayaan
yang kompleks seperti masyarakat perkotaan. Kluckhon membagi sistem kebudayaan
menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau disebut dengan kultural universal
(Tasmuji, 2011:160-165). Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah: Pertama, sistem
bahasa; Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya
untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi,
studi mengenai bahasa disebut dengan istilah antropologi linguistik. Kemampuan
manusia dalam membangun tradisi budaya, menciptakan pemahaman tentang
fenomena sosial yang diungkapkan secara simbolik, dan mewariskannya kepada
generasi penerusnya sangat bergantung pada bahasa. Dengan demikian, bahasa
menduduki porsi yang penting dalam analisa kebudayaan manusia.

Kedua, sistem pengetahuan; Sistem pengetahuan dalam kultural universal


berkaitan dengan sistem peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan
bersifat abstrak dan berwujud di dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas
batasannya karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang
digunakan dalam kehidupannya. Banyak suku bangsa yang tidak dapat bertahan hidup
apabila mereka tidak mengetahui dengan teliti pada musim-musim apa berbagai jenis
ikan pindah ke hulu sungai. Selain itu, manusia tidak dapat membuat alat-alat apabila
tidak mengetahui dengan teliti ciri-ciri bahan mentah yang mereka pakai untuk
membuat alat-alat tersebut. Setiap kebudayaan selalu mempunyai suatu himpunan
pengetahuan tentang alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, benda, dan manusia yang ada
di sekitarnya.

Ketiga, sistem sosial; Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi
sosial merupakan usaha antropologi untuk memahami bagaimana manusia
membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat
tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan dimana dia hidup dan
bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah
kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya,

10
manusia akan digolongkan ke dalam tingkatan-tingkatan lokalitas geografis untuk
membentuk organisasi sosial dalam kehidupannya.

Keempat, sistem peralatan hidup dan teknologi; Manusia selalu berusaha


untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu membuat peralatan
atau benda-benda penunjang hidup. Perhatian awal para antropolog dalam memahami
kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu masyarakat
berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan
teknologi yang masih sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang unsur
kebudayaan yang termasuk dalam peralatan hidup dan teknologi merupakan bahasan
kebudayaan fisik.

Kelima, sistem mata pencaharian hidup; Mata pencaharian atau aktivitas


ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting etnografi. Mata pencaharian
suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian masyarakat untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya menjadi unsur kebudayaan karena dari mata pencaharian suatu
masyarakat dapat membedakan kebudayaan wilayah tersebut dan tingkat pengetahuan
masyarakatnya.

Keenam, sistem religi; Asal mula permasalahan fungsi religi dalam


masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu
kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan
mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari
hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Usaha untuk
memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab lahirnya asal mula religi
tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi suku-suku bangsa yang ada di
dunia adalah sisa dari bentuk- bentuk religi kuno yang dianut oleh seluruh umat
manusia pada zaman dahulu ketika kebudayaan mereka masih primitif.

Ketujuh, kesenian; Dalam hal ini adalah segala aktivitas kesenian suatu
masyarakat tradisional. Bisa berupa benda-benda atau artefak yang memuat unsur
seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Unsur seni pada kebudayaan manusia lebih
mengarah pada teknik-teknik dan proses pembuatan benda seni tersebut.

Kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di


Indonesia sangatlah beragam. Perkembanagan sosial budaya ini secara langsung
maupun tidak langsung dipengaruhi oleh faktor alam.

11
Adat istiadat suku yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
sangatlah beragam. Di beberapa tempat sering dijumpai adanya budaya pengaturan
lahan laut atau sering disebut Hak ulayat laut. Aturan-aturan semacam ini merupakan
satu kearifan lokal yang perlu dihargai sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18B ayat 2
yang disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dengan Undang-Undang.

Kebudayaan masyarakat pesisir dapat diartikan sebagai keseluruhan


pengetahuan atau sistem kognisi yang ada dan berkembang pada masyarakat pesisir,
yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat
digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi untuk
mendorong dan menciptakan kelakuan-kelakuan yang diperlukan.

Masyarakat pesisir memerlukan bentuk kegiatan nyata yang dapat membangun


ekonomi mereka tanpa menghilangkan kultur dan karakteristik dari masyarakat pesisir
tersebut. Maka diperlukan bentuk kegiatan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan
Undang-Undang no.22 tahun 1999 tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang
memberikan wewenang kepada daerah untuk mengurus sendiri segala urusan
daerahnya. Begitu juga dengan wilayah pesisir, ketua masyarakat atau kepala suku
dapat bekerjasama dengan penduduk untuk mengurus pesisir dan lautnya sesuai
dengan adat mereka.

Tradisi masyarakat pesisir sangat kental dengan aktivitas bahari, jauh sebelum
teknologi mesin modern digunakan pada perahu-perahu nelayan. Bagi masyarakat
daerah pesisir, menangkap ikan dengan cara yang tradisional selain untuk
melestarikan budaya pendahulu juga dianggap sebagai cara yang tepat untuk tetap
bisa bersahabat dengan alam sekitar yang telah menjadi tempat penghasilan
kehidupan nelayan.

Potensi budaya dan karya seni yang dimiliki masyarakat salah satu wilayah
yaitu di Pulau Bangka meliputi upacara adat/budaya dan seni yang dimiliki dan
makna dari upacara adat tersebut serta atraksi seni yang menyertai pelaksanaannya.
Adapun jenis budaya/seni yang dimiliki Masyarakat Pulau Bangka adalah sebagai
berikut:

12
1. Pesta Adat Tulude

Pesta Adat Tulude adalah suatu acara adat yang dilaksanakan


masyarakat Pulau Bangka setiap tahun yaitu setiap tanggal 31 Januari atau
dikenal juga dengan sebutan "pesta adat pisah tahun". Kata "Tulude" berasal
dari bahasa Sangihe "sulude" atau 'me-nulude', yang berarti "menolak",
maksudnya menulude atau menolak tahun yang lama dan menyambut tahun
yang baru. Oleh karena itu, makna pesta adat Tulude adalah menolak
(melepas) tahun yang lama sambil memanjatkan puji syukur dan ungkapan
terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai sumber kehidupan yang
sudah memelihara dan memberi berkat sepanjang tahun yang berlalu dan
"menerima" tahun yang baru disertai permohonan akan pemeliharaan dan
berkat Tuhan pada tahun yang baru dijalani. "Menolak" tahun yang lama
sekaligus bermakna menolak semua hal buruk khsususnya bencana-bencana
yang telah terjadi pada tahun yang lalu dan memohon agar semua hal yang
buruk tersebut tidak terjadi pada tahun yang baru dijalani.

2. Acara Masamper

Acara masamper merupakan rangkaian pesta adat Tulude yang


dilaksanakan pada keeesokan harinya yaitu tanggal 1 Pebruari. Masamper
merupakan salah satu kesenian khas suku Siau yaitu suatu tarian yang
menceritakan tentang aktivitas masyarakat nelayan yang sedang mencari ikan
dengan cara menarik jalah (soma). Masamper ini dibawakan oleh kelompok
laki-laki yang beranggotakan 18-20 orang, sesuai dengan kebiasaan pada saat
mencari ikan dengan cara menggunakan soma, para nelayan melakukannya
dengan cara bekelompok 18-20 orang dalam satu perahu. Sebagai rangkaian
pesata Tulude, biasanya Masamper ini dapat ditampilkan hingga dua hari dua
malam sebagai bentuk ucapan syukur atas suksesnya pelaksanaan pesta adat
Tulude.

13
DAFTAR PUSTAKA

Budianto, P. F., Susilo, E., & Indrayani, E. (2013). Implementasi Pengembangan Pariwisata
di Pulau-Pulau Kecil terhadap Masyarakat Pesisir Desa Lihunu, Kecamatan
Likupang, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. ECSOFiM
(Economic and Social of Fisheries and Marine), 1(1), 1-10.

Fajrie, M. (2017). Gaya Komunikasi Masyarakat Pesisir Wedung Jawa Tengah. INJECT
(Interdisciplinary Journal of Communication), 2(1), 53-76.

Kurniawan, A. (2016). Sejarah Pendidikan Masyarakat Pesisir Nusantara. Jurnal Tamaddun:


Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, 1(2).

Marnelly, T. R. (2018). Dinamika Sosial Budaya Masyarakat Melayu Pesisir (Studi


Pengelolaan Madu Sialang di Desa Rawa Mekar Jaya). Jurnal Antropologi: Isu-Isu
Sosial Budaya, 19(2), 149-154.

Satria, A. (2015). Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

Zamzami, L. (2016). Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal Masyarakat


Nelayan Dalam Melestarikan Budaya Wisata Bahari. Jurnal Antropologi: Isu-Isu
Sosial Budaya, 18(1), 57-67.

14

Anda mungkin juga menyukai