Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbanyak di dunia.


Pulau – pulau di kepulauan Indonesia dipisahkan oleh samudra, laut maupun selat. Namun
demikian, luas wilayah lautan lebih luas bila dibandingkan dengan wilayah daratan, oleh
karena itu negara Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Selain disebut negara maritim ,
negara Indonesia dikenal pula sebagai negara agraris.
            Penduduk di kepulauan Indonesia sangat heterogen, terdiri dari bermacam - macam
suku, ras, agama dan masyarakat. Berdasarkan kondisi geografisnya masyarakat Indonesia
dapat dibagi menjadi dua, yaitu masyarakat pesisir dan masyarakat agraris. Masyarakat
pesisir mendiami di wilayah – wilayah sekitar pantai, sedangkan masyarakat agraris
mendiami di daerah pedalaman pulau yang ada di Indonesia. Kondisi yang demikian
menjadikan masyarakat pesisir dan pedalaman mempunyai perbedaan dalam berbagai aspek
kehidupannya.
            Masyarakat pesisir atau dapat pula disebut masyarakat laut adalah sekumpulan
manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dekat daerah pantai dengan ikatan – ikatan
tertentu. Masyarakat laut umumnya mendiami daerah – daerah di sekitar pantai yang ada di
pulau – pulau di kepulauan Indonesia. Wilayah kepulauan Indonesia sebagian besar terdiri
dari wilayah perairan yang didalamnya terdapat ribuan pulau.[1] Atau dengan kata lain,
secara geografis Indonesia berbentuk kepulauan dengan wilayah laut lebih besar dari pada
wilayah daratan. Hal ini memungkinkan peran dari masyarakat laut atau pesisir tidak bisa
dilepaskan dari berbagai segi kehidupan di Indonesia.
            Indonesia sebagai negara yang dikelilingi oleh laut hampir semua provinsinya
memiliki wilayah perairan, kondisi geografis yang demikian menjadikan Indonesia negara
maritim yang mempunyai daerah perikanan laut tak kurang dari 6,85 juta km2 dan
diperkirakan daerah tersebut memiliki kandungan produksi ikan 10juta ton pertahunnya.
Namun sayangnya dengan potensi kelautan yang berlimpah itu masyarakat Indonesia belum
dapat memaksimalkan potensi tersebut. Hal ini diakibatkan oleh paradikma pembangunan
yang lebih memprioritaskan masyarakat perkotaan dan pertanian di pedalaman sehingga
kurang memperhatikan kehidupan masyarakat di daerah pesisir. Sebab lain yang
mengakibatkan kurang diperhatikannya masyarakat didaerah pesisir dari segi historis karena
1
masih kurangnya para sejarawan yang melakukan penelitian dibidang kemaritiman. Perhatian
para sejarawan pada aspek maritim seperti perdagangan, pelayaran, perkapalan, perikanan,
perompakan, dan sebagainya masih sangat kurang proporsinya jika dibandingkan dengan
aspek-aspek lainnya seperti bidang pertanian, industri, perhubungan politik dan sebagainya.
Hal tersebut mungkin berkaitan dengan pengalaman sebagai bangsa Indonesia yang semenjak
memproklamirkan kemerdekaannya lebih banyak di warnai dengan persoalan-persoalan
kebaratan daripada persoalan-persoalan kebaharian, inilah yang menyebabkan bangsa
Indonesia naluri kebahariaannya semakin tumpul sehingga kurang mampu melihat apalagi
bertindak untuk memanfaatkan dunia kebahariaan.
            Secara geografis wilayah Indonesia merupakan kawasan kepulauan yang
menempatkan laut sebagai jembatan penghubung bukan sebagai pemisah. Dengan demikian,
penguasaan terhadap laut merupakan suatu keharusan bagi penduduk yang menghuni pulau –
pulau yang ada di Indonesia.  Kondisi semacam ini, membentuk mereka sebagai manusia
yang akrab dengan kehidupan laut. Selain itu, pulau – pulau yang ada di Indonesia letaknya
sangat strategis dalam konteks perdagangan laut internasional antara dunia barat dan dunia
timur.

 B.      Rumusan masalah


                   1.  Masyarakat laut
                   2.  Sikap kelompok sosial dan negara terhadap laut
C.      Tujuan penulisan
            Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang
kehidupan dan permasalahan yang ada di masyarakat pesisir, sehingga diharapkan dapat
memberikan tambahan wawasan kepada para pembaca tentang hal – hal yang berhubungan
dengan masyarakat laut dan permasalahan yang ada di dalamnya, yang nantinya akan
memberikan kontribusi terhadap penentuan kebijakan – kebijakan yang bersangkutan dengan
masalah-masalah kemaritiman.

D.      Metode Penulisan


Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah menggunakan metode
tinjauan pustaka, yakni dengan cara mengumpulkan sumber – sumber referensi yang
berhubungan dengan masyarakat laut dan sikap kelompok sosial dan negara. Sumber –
sumber itu berupa buku, essay, dan artikel serta tesis yang berhubungan dengan topik yang
dibahas dalam makalah ini.
2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masyarakat Laut atau Pesisir

1. Pengertian Masyarakat Laut

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, masyarakat berarti sekumpulan manusia yang
hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan – ikatan tertentu, sedangkan pesisir
diartikan sebagai tanah dasar berpasir ditepi laut.
lingkungan pesisir dan laut, misalnya nelayan, pembudidaya ikan. Masyarakat pesisir adalah
kelompok orang yang bermukim di wilayah pesisir, mempunyai mata pencaharian dari
sumber daya alam dan jasa-jasa pedagang, pengelola ikan, pemilik atau pekerja perusahaan
perhubungan laut, pemilik atau pekerja pertambangan dan energi di wilayah pesisir, pemilik
atau pekerja industri maritim misalnya galangan kapal.
Kegiatan kemaritiman bangsa Indonesia setua usia bangsa indonesia itu sendiri. Hal ini
bisa dipahami karena asal mula nenek moyang bangsa Indonesia dari daratan Asia. Mereka
datang ke kepulauan Indonesia secara bergelombang. Ada dua jalur yang mereka tempuh
yaitu jalan barat dan jalan timur. Jalur barat berawal dari Asia daratan kemudian dengan
melewati semenanjung Malaya, mereka menyeberang ke pulau Sumatera, Jawa, Bali,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara. Sementara itu kelompok yang lewat jalur timur
setelah meninggalkan daratan Asia mereka menuju Filipina, Sulawesi, Maluku,  Nusa
Tenggara, Irian dan kepulauan di Samudera Pasifik.
Sudah barang tentu mereka datang dari daratan Asia dengan cara berlayar karena tidak
ada alternatif transportasi lainnya. Dengan demikian kemampuan berlayar mengarungi lautan
merupakan ketrampilan inheren yang mereka dimiliki oleh nenk moyang bangsa Indonesia.
Dengan perahu-perahu yang sederhana mereka dapat mengarungi laut luas. Batas-batas
pelayaran nenek moyang bangsa Indonesia: utara: Pulau Formosa, selatan: Pantai Australia,
barat: Madagaskar, timur: kepulauan micronesia.
Hal ini bisa dipahami karena sejak awal abad masehi bangsa indonesia sudah terlibat
secara aktif dalam pelayaran dan perdagangan internasional antara dunia Barat (Eropa)
dengan dunia Timur (Cina) yang melewati selat Malaka. Dalam hal ini bangsa Indonesia

3
bukan menjadi obyek aktivitas perdagangan itu tetapi telah mampu munjadi subyak yang
menentukan. Suatu hal yang bukan kebetulan jika berbagai daerah di Nusantara memproduksi
berbagai komoditi yang khas agar bisa ambil bagian aktif dalam aktivitas pelayaran dan
perdagangan itu. Bahkan pada jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, selat Malaka yang
merupakan pintu gerbang pelayaran dan perdagangan dunia dapat dikuasai oleh bangsa
Indonesia.
Pada masa selanjutnya, yaitu pada jaman kerajaan-kerajaan Islam, ketika perdagangan
rempah-rempah sangat ramai, jalur-jalur perdagangan antar pulau di Indonesia, misalnya
antara Sumatera-Jawa, Jawa-Kalimantan, Jawa-Maluku, Jawa-Sulawesi, Sulawesi-Maluku,
Sulawesi-Nusa Tenggara, dan sebagainya menjadi bagian yang inheren dalam konteks
perdagangan internasional. Bahkan negeri Cina bukan tujuan utama perdagangan
internasional, tetapi Indonesia. Hal ini berkembang pesat lagi ketika orang-orang Eropa mulai
datang sendiri ke Indonesia untuk mencari komoditi rempah-rempah. Indonesia mampu
bertindak sebagai besi sembrani yang menarik para pedagang dari seluruh penjuru dunia.
Sebagai konsekuensinya jalur perdagangan dunia yang menuju ke Indonesia bahkan hanya
rute tradisional lewat selat Malaka saja tetapi juga rute yang mengelilingi benua Afrika, untuk
selanjutnya menyeberangi Samudera Hindia langsung menuju Indonesia. Di samping itu
bangsa Spanyol dengan gigihnya juga berusaha mencapai Indonesia dengan menyeberangi
Atlantik dan Pasifik.

2.  Karakteristik Masyarakat Pesisir

Pertama, masyarakat pantai tersebut menggantungkan mataa pencahariannya dari


eksploitasi laut. Artinya bahwa mereka hidup dari sumber daya dan alam ynag masih
berlimpah di dekat sekitar pantai. Dalam perkembangannya, hasil sumber daya laut yang
antara lain dari hasil ikan, kerang dan sebagaainya. Kedua, ciri khas yang menonjol
masyarakat maritim adalah sifat keterbukaan dalam menerima unsur-unsur dari luar. Sebagai
contoh berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16 di Indonesia atau Nusantara,
adalah melalui daerah-daerah atau kota-kota pelabuhan seperti Samudra Pasai, Aceh, Malaka,
Demak, Gresik, Tuban dan lain-lain. Ketiga, dalam hal religi yang berorientasi kepada
kepercayaan adanya dunia roh dan lebih khusus lagi penghormatan kepada roh nenek moyang
mereka. Pada masyarakat pantai, terutama masyarakat nelayan atau pelaut, upacara-upacara
semacam itu juga ditujukan kepada tokoh-tokoh mistis penjaga laut, seperti Ratu Pantai
Selatan dan Pantai Utara, agar mereka diberi keselamatan dalam menjalankan pekerjaan

4
sebagai nelayan atau pelaut. Keempat, ciri masyarakat penduduk pantai suka melakukan
hubungan interaksional dengan penduduk pantai lainnya maupun terhadap masyarakat
pedalaman. Kalau masyarakat pantai dengan masyarakat pantai lainnya yaitu dalam bentuk
perdagangan dan pelayaran. Sedangkan dengan masyarakat pedalaman yaitu dengan tukar-
menukar hasil laut dengan bahan makanan pokok seperti beras.

B. SIKAP KELOMPOK SOSIAL DAN NEGARA TERHADAP LAUT

1. Sikap Kelompok Sosial atau Masyarakat terhadap Laut

Sebagian masyarakat Indonesia masih bersikap memandang sebelah mata terhadap laut
dalam benak mereka, mereka lebih mengidentifikasikan negaranya sebagai negara agraris
bukan negara maritm yaitu negara yang sebagaian besar kehidupan rakyatnya
menggantungkan diri pada bidang pertanian. Mereka mengolah tanah pertanian, hidup di
desa-desa, memiliki kegotong-royongan yang kuat dan sebagainya. Memang betul bahwa
mayoritas penduduk Indonesia hidup di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada saat ini gambaran massyarakat Indonesia sebagai
masyarakat maritim, bangsa pelaut, bukan merupakan gambaran umum. Dengan demikian
hal ini merupakan bentuk pengingkaran kondisi obyektif bangsa Indonesia baik secara
geografis maupun historis. Kepulauan yang menempatkan sebagai jalur penghubung bukan
jalur pemisah. Dengan demikian penguasaan terhadap laut merupakan suatu keharusan bagi
penduduk yang menghuni pulau-pulau yang ada disekitarnya. Kondisi seperti ini membentuk
mereka sebagai manusia yang akrab dengan kehidupan laut.  Laut dengan segala
dinamikanya bukan merupakan hal yang asing bagi mereka.
Pandangan yang dapat merubah sikap masyarakat tentang kondisi geografis negara
Indonesia sebagai negara agraris menuju negara maritim dapat pula dibuktikan dengan letak
kepulauan nusantara yang strategis dalam konteks perdagangan laut internasional antara
dunia Barat dan dunia Timur. Dunia Barat dalam hal ini mencakup kawasan dagang yang
berada di sebelah barat Selat Malaka seperti India, Persia, Mesir, dan negara-negara Eropa,
sedangkan dunia Timur mencakup kawasan di sebelah timur Selat Malaka seperti Cina,
Jepang, Filipina, dan sebagainya. Dalam hal ini Indonesia memiliki letak strategis karena
berada di tengah-tengah kawasan ini dan sekaligus selama berabad-abad mengontrol Selat
Malaka yang merupakan kunci perdagangan laut antara Barat dan Timur, misalnya pada masa
Sriwijaya dan Majapahit. Dengan demikian penelitian yang lebih luas dan detail di bidang
5
sejarah maritim akan dapat mengubah pandangan yang kurang sesuai dengan kondisi
obyektif itu.

2. Sikap Negara terhadap Laut

Menyadari betapa pentingnya bidang maritim untuk memperkuat integrasi nasional,


pemerintah berusaha untuk mewujudkan kesatuan wilayah secara utuh. Pada tahun 1957,
pemerintah mengeluarkan Deklarasi Djuanda dengan menawarkan konsep Negara Kepulauan
(Archipelagic State) dengan batas laut teritorial sejauh 12 mil. Meskipun tuntutan ini ditolak
oleh PBB(Perserikatan Bangsa-Bangsa), pemerintah Indonesia terus berupaya di berbagai
forum internasional. Pada tahun 1982, International Conference on Sea Law yang
diselenggarakaan di Caracas meratifikasi konsep Indonesia mengenai Zone Ekonomi
Eksklusif (ZEE) inilah wilayah teritorial Indonesia menjadi utuh, baik meliputi wilayah darat
maupun laut. Dengan deklarasi ini wilayah teritorial Indonesia membentang dari barat ke
timur sejauh 6.400 km dan dari utara ke selatan 2.500 km. Garis pantai terluar yang
melingkari wilayaah teritorial Indonesia memiliki panjang sekitar 81,000km dan kawasan 
laut ini terdiri dari 80%. Dengan prestasi untuk mencapai kesatuan wilayah ini diharapkan
bahwa integrasi nasional sebagai negara maritim akan dapat segera dicapai.
Upaya Indonesia untuk kembali membangkitkan kejayaan Indonesia sebagai negara
kepulauan melalui tiga pilar utama yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober, Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Deklarasi Djoeanda 1957 tidak mudah untuk dilakukan.
Di masa pemerintahan Sukarno, Indonesia telah mendeklarasikan Wawasan Nusantara.
Wawasan Nusantara memandang wilayah laut merupakan satu keutuhan dengan wilayah
darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya, serta seluruh kekayaan yang
terkandung di dalamnya yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Di era Pemerintahan Presiden
Soeharto, Indonesia berupaya memperoleh pengakuan internasional tentang Negara
Nusantara, yang kemudian berhasil mendapat pengakuan internasional dalam forum konvensi
PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 82) serta berlaku efektif sebagai hukum
internasional positif sejak 16 November 1984. Di masa Pemerintahan B.J Habibie kembali
Indonesia mendeklarasikan visi pembangunan kelautan dalam ‘Deklarasi Bunaken”. Inti
deklarasi tersebut adalah pemahaman bahwa laut merupakan peluang, tantangan dan harapan
untuk masa depan persatuan bangsa Indonesia. Dilanjutkan oleh Pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid melalui komitmen Pembangunan Kelautan dengan dibentuknya

6
Departemen Kelautan dan Perikanan dan dikembangkannya Dewan Maritim Indonesia yang
kemudian menjadi Dewan Kelautan Indonesia.
Di era Reformasi saat ini, dalam PJPN 2005-2025 Pemerintah telah membuat kebijakan
untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan
berbasis kepentingan nasional. Diantaranya dengan kembali memantapkan budaya bahari
dalam RPJMN 2004-2009.
Namun telah tumbuh kerancuan identitas, sebab meski mempunyai persepsi
kewilayahan maritim namun kultur yang kemudian terbangun adalah sebagai bangsa agraris.
Paradigma masyarakat Indonesia tentang laut cenderung berbeda dengan realitas, sehingga
arah kebijakan pembangunan selanjutnya menjadi kurang tepat karena lebih condong ke
pembangunan berbasis daratan, sektor kelautan menjadi sektor pinggiran.
Menurut Mahan, ada enam syarat sebuah negara menjadi negara maritim yaitu: lokasi
geografis, karakteristik dari tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter
penduduk, dan pemerintahan. Dari keenam unsur inilah seharusnya karakter penduduk dan
pemerintahan yang masih perlu ditingkatkan sifat kemartimannya melalui sosialisasi sejarah
dan nilai-nilai budaya bahari kepada segenap lapisan masyrakat dan sikap pemerintah yang
mampu memanfaatkan laut dan unsur-unsur maritim guna kemakmuran dan kejayaan bangsa
Indonesia sendiri. Unsur-unsur kekuatan maritim antara lain terdiri dari transportasi,
pemanfaatan sumber hayati dan nabati laut, pertambangan dasar laut, pemanfaatan energi
laut, wisata, unsur pengamanan laut, dan sebagainya.
Wacana pentingnya membangun negara maritim juga pernah muncul di tengah-tengah
krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1997, yang segera dibarengi oleh krisis-krisis di
bidang yang lainnya seperti krisis politik, krisis sosial budaya dan sebagainya. Rupanya
dengan adanya bencana yang timbul ini menyadarkan para pembuat kebijakan sadar bahwa
dengan mengeksplorasi kekayaan alam darat saja menimbulkan beban ekonomi yang sangat
besar dan membebani bangsa. Di tengah-tengah krisis ini muncul suatu inisiatif untuk
membangun Indonesia baru sebagai negara bahari yang memaksimalkan laut sebagai
potensinya untuk dasar kehidupan bangsa Indonesia. Pendayagunaan laut dan potensinya
akan menjadi tindakan eksploratif belaka tanpa adanya landasan pemahaman budaya bahari.
Negara bahari tidak akan terbentuk tanpa landasan budaya bahari. Dalam hubungan inilaah
sejarah bahari atau sejarah maritim menjadi bagian yang utama dalam menumbuhkan budaya
bahari untuk selanjutnya menjadi landasan bagi terbangunnya negara bahari.
Pengembangan negara maritim. Gagasan Negara Maritim Indonesia sebagai aktualisasi
wawasan nusantara untuk memberi gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak bangsa
7
Indonesia secara bulat dalam aktualisasi wawasan nusantara. Pengembangan konsepsi negara
maritim indonesia sejalan dengan upaya peningkatan kemampuan bangsa kita menjadi bangsa
yang modern dan mandiri dalam tekhnologi kelautan dan kedirgantaraan bagi kesejahteraan
bangsa dan negara. Bumi maritim Indonesia adalah bagian dari sistem yang merupakan satu-
kesatuan alami antara darat dan laut di atasnya tertata secara rapi dan unik menampilkan ciri-
ciri negara dengan karakteristik sendiri yang menjadi wilayah yuridksi Negara Republik
Indonesia.
Pengembangan negara maritim Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD 1945
karena dalam prikehidupan kebangsaan Indonesia Pancasila pada hakekatnya disusun secara
serasi dan seimbang untuk mewadahi seluruh aspirasi bangsa Indonesia. Landasan
konsepsionalnya adalah wawasan nusantara dan ketahanan nasonal. Dengan wawasan
nusantara bangsa Indonesia memandang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan politik,
ekonomi, social budaya dan  keamanan. Pada hakekatnya negara maritim Indonesia
merupakan  pengembangan dari konsepsi ketahahan nasional, maka konsepsi negara maritim 
Indonesia perlu dijadikan pedoman dan rangsangan serta dorongan bagi bangsa kita dan
upaya pemanfaatan dan pendayagunaan secara terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan. 
  

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan secara jelas dan panjang berkenaan dengan
masalah masyarakat laut dan sikap kelompok sosial dan negara terhadap laut, maka dapat
diambil kesimpulan atau garis diantaranya :
1. Masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang bermukim di wilayah pesisir, mempunyai
mata pencaharian dari sumber daya alam dan jasa-jasa pedagang, pengelola ikan, pemilik
atau pekerja perusahaan perhubungan laut, pemilik atau pekerja pertambangan dan energi
di wilayah pesisir, pemilik atau pekerja industri maritim misalnya galangan kapal.
2. Karakteristik masyarakat pesisir mempunyai bentuk yang khas dalam hal kepercayaan atau
religi, mata pencaharian (berhubungan dengan laut), bersifat terbuka yakni dengan
melakukan hubungan perdangangan dengan pulau lain dan masyarakat pedalaman,
mempunyai ketrampilan dalam hal teknik perkapalan serta navigasi.
3. Sebagian masyarakat Indonesia masih bersikap memandang sebelah mata terhadap laut
dalam benak mereka, mereka lebih mengidentifikasikan negaranya sebagai negara agraris
bukan negara maritm yaitu negara yang sebagaian besar kehidupan rakyatnya
menggantungkan diri pada bidang pertanian. Mereka mengolah tanah pertanian, hidup di
desa-desa, memiliki kegotong-royongan yang kuat dan sebagainya. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa pada saat ini gambaran massyarakat Indonesia sebagai masyarakat
maritim, bangsa pelaut, bukan merupakan gambaran umum.

B. Saran

Indonesia yang sebenarnya layak menyandang nama sebagai negara maritim tentu
saja harus mendayagunakan laut dengan berbagai potensi yang dikandungnya untuk
kemakmuran kehidupan bangsa Indonesia. Sudah sepantasnya sebagai negara maritim atau
bahari akan terbentuk jika dilandasi dengan pemahaman tentang budaya bahari. Maka dengan
sejarah bahari atau maritim menjadi bagian utama dalam menumbuh kembangkan budaya
bahari yang selanjutnya menjadi landasan terbangunnya sebuah negara maritim yang unggul.

9
DAFTAR PUSTAKA

A. M Djuliati Suroyo, dkk, Sejarah Maritim Indonesia 1 (Semarang : Jeda, 2007) hlm. 206.

10
MAKALAH
SEJARAH MARITIM

MASYARAKAT LAUT & SIKAP KELOMPOK SOSIAL DAN NEGARA

TERHADAP LAUT

Disusun Oleh:
Nama : Anggi Anggraeni
Kelas : VIII-G

SMP ARRAHMAN

11
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat
dan hidayahnya penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah
dengan judul “ Masyarakat Laut dan Sikap Kelompok Sosial dan Negara Terhadap Laut”
disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Maritim 1 serta
memberikan pengetahuan baru bagi penulis dan pembaca mengenai perilaku masyarakat laut
dan sikap negara akan pengembangan maritim yang luas ini.
Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman yang telah
membantu pada pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat membawa manfaat
khususnya bagi saya dan orang lain yang telah membaca makalah kami.
Kami menyadari bahwa makalah ini kami susun masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dengan tujuan
agar makalah ini selanjutnya akan lebih baik. Semoga bermanfaat.

12
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
B.      Rumusan masalah
C.      Tujuan penulisan
D.     Metode Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A. Masyarakat Laut atau Pesisir
1. Pengertian Masyarakat Laut
2.  Karakteristik Masyarakat Pesisir
B. SIKAP KELOMPOK SOSIAL DAN NEGARA TERHADAP LAUT
1. Sikap Kelompok Sosial atau Masyarakat terhadap Laut
2. Sikap Negara terhadap Laut

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

13

Anda mungkin juga menyukai