Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH MARITIM INDONESIA DARI MASA KERAJAAN

MARITIM NUSANTARA HINGGA MASA INDONESIA


MERDEKA

OLEH:

Nabila Ayu Umaera

D051211066

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2022
Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan luas wilayah yang sebagian besar adalah perairan
tidak dapat dipisahkan dari narasi kemaritiman. Segala peristiwa dan aktivitas masyarakat hampir
selalu bersinggungan dengan air, baik dalam konteks kelautan maupun dalam konteks yang lebih
luas, meliputi segala perairan yang membentang di tiap daerah. Peran air bagi masyarakat berkaitan
erat dengan fungsi air bagi kehidupan.

Indonesia memiliki pengaruh yang sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui
kekuatan maritim besar di bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Wilayah laut
Indonesia yang merupakan dua pertiga wilayah Nusantara mengakibatkan sejak masa lampau,
Nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam
bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu
mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan. Penguasaan lautan oleh
nenek moyang kita, baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan
Bugis-Makassar, lebih merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi
kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang
mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. Akan tetapi, oleh penjajah kolonial,
bangsa Indonesia didesak ke darat, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari.

Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri
Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat
Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand,
dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan.
Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu,
Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang
meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian
selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit. Selain
itu, banyak bukti prasejarah di pulau Muna, Seram dan Arguni yang diperkirakan merupakan hasil
budaya manusia sekitar tahun 10.000 sebelum masehi.

Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula peninggalan sejarah
sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan perantau dari Nusantara yang
ditemukan di wilayah Madagaskar. Tentu pengaruh dan kekuasaan tersebut dapat diperoleh bangsa
Indonesia waktu itu karena kemampuan membangun kapal dan armada yang layak laut, bahkan
mampu berlayar sampai lebih dari 4.000 mil.

Selain Sriwijaya dan bahkan sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari juga memiliki armada laut yang
kuat dan mengadakan hubungan dagang secara intensif dengan wilayah sekitarnya. Kita mengetahui
strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari
Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan dan
perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa
bahari yang besar. Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari, Indonesia terus mengalami
kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia.
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta
mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada
Belanda. Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseran
nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Namun demikian, budaya bahari Indonesia tidak
boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan terus menginduksi, membentuk
budaya bahari bangsa Indonesia. Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki
keunggulan aspek budaya bahari bentukan secara alamiah oleh aspek-aspek alamiah Indonesia.
Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya perhatian Pemerintah terhadap
pembangunan maritim

Pengembaraan Pelayaran Nelayan, Rute, dan Tempat Tujuan

 Perikanan dan pengembaraan nelayan  Sejak dahulu orang Bajo mengembara di laut
sebagai nelayan dan pelayar (sea nomaden).

 Sejak abad ke-16 atau 17, orang-orang Bugis, Makassar, Mandar, dan Buton dikenal
sebagai pelaut ulung (sebagai nelayan dan pelayar).
 Penyelam teripang dan kerang dari Bugis, Makassar, dan Bajo sudah sampai di perairan
pantai utara, barat dan timur Australian, dan hingga perairan pantai selatan Papua
Newguinea.
 Pelayar dari Nusantara sejak dahulu sampai di Madagaskar dan Cina Selatan.
 Nelayan Jawa, Madura dan Bawean: Kep. Natuna, Selat Makassar, Laut Arafuru, dan Laut
Banda (menangkap layang).
 Nelayan Mandar: Selat Makassar hingga laut Flores (mencari ikan terbang dan telur ikan).
 Nelayan Makassar dari Galesong sejak lama sampai ke perairan Maluku dan Pakpak (Irian)
(menangkap ikan terbang dan telur ikan).

 Infrastruktur dan Perdagangan Maritim (CPMK1,5)


 Sejak dahulu pembangunan infrastruktur berupa pelabuhan, industri kapal, pertahanan
dan keamanan, dan perdagangan maritim sudah dilakukan di Nusantara.
 Pada pusat-pusat kerajaan pembangunan infrastruktur kebanyakan dilakukan secara
terencana dan terprogram, sedangkan di daerah-daerah pedesaan justru cenderung secara
evolusionis.
 Telah berkembang ekonomi perdagangan maritim dengan rute-rute pelayaran lintas
kerajaan-kerajaan maritim Nusantara dan negara-negara maritim lainnya, terutama dengan
Asia tenggara, Asia Timur, Asia Barat, India, Timur Tengah, dan Eropah.
 Barang komoditi ekspor sangat kaya dan bernilai tinggi: produk perikanan, hasil pertanian
dan perkebunan, terutama kopra dan rempah-rempah, hasil hutan, ternak, besi, dan
sebagainya.
 Demikian halnya barang-barang lux inpor berbagai jenis terutama dari Cina, India, Arab,
dan negara-negara Eropah
 Tumbuh wawasan global dan sikap keterbukaan dari kaum pedagang.

Dari sisi pembangunan ekonomi maritim, Indonesia juga masih menghadapi banyak kendala. Sektor
perhubungan laut yang dapat menjadi multiplier effect karena perkembangannya akan diikuti oleh
pembangunan dan pengembangan industri dan jasa maritim lainnya masih dikuasai oleh kapal niaga
asing. Azas cabotage seperti yang diamanatkan oleh UU RI No: 17/2008 tentang Pelayaran masih
perlu diperjuangkan agar dapat diterapkan dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah masih
kurangnya kapasitas kapal nasional, sedangkan pembangunan kapal baru dihadang oleh tidak
adanya keringanan pajak dan sulitnya kredit serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang
maritim mengingat usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan slow yielding. Untuk angkutan
domestik, armada nasional baru mampu mengangkut sekitar 60 persen. Peranan armada nasional
dalam angkutan laut internasional baik ekspor maupun impor menunjukkan kenyataan yang lebih
memprihatinkan, karena pemberlakuan prinsip Freight on Board (FoB), bukan Cost and Freight (CnF).
Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia hanya kebagian jatah sekitar 10 persen,
mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40 miliar USD.Kita juga masih prihatin terhadap kondisi
pelabuhan nasional yang belum tertata secara konseptual tentang pelabuhan utama ekspor-impor
dan pengumpan. Selain itu, keamanan dan efisiensi pelabuhan Indonesia masih diragukan, terutama
bila dihadapkan pada pemenuhan persyaratan International Ship and Port Safety (ISPS) Code.
Sisi lain dari laut yang memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus buah
pertikaian pada masa depan adalah sumber daya laut dan bawah laut. Indonesia memiliki Zona
Ekonomi Eksklusif yang terbentang seluas 2,7 juta km persegi dan keberhasilan untuk
mengekploitasi wilayah ini dapat membantu mengangkat Indonesia keluar dari keterbelakangan
ekonomi. Namun disadari bahwa Indonesia kekurangan kemampuan teknologi untuk memanfaatkan
kekayaan bawah lautnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya survey, research dan sumber daya
manusia di bidang maritim. Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan untuk memanfaatkan
wilayah lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan.

Diperkirakan Indonesia membutuhkan sekitar 22.000 kapal ikan dengan kapasitas masing-masing di
atas 100 ton. Jumlah ini terlihat besar, namun sesungguhnya merupakan estimasi minimal. Sebagai
perbandingan, Thailand memiliki sekitar 30.000 kapal ikan yang resmi dan konon sekitar 20.000 yang
tidak terdaftar. Di Taiwan, usaha perikanan dapat memberikan penghidupan yang layak bagi tidak
kurang dari 300.000 keluarga. Sedangkan di Indonesia, terdapat sekitar 8.090 desa pesisir di 300
kabupaten dan kota di mana bermukim sekitar 16,42 juta warga yang bermata pencarian sebagai
nelayan, pembudi daya ikan, pengolah, pemasar dan pedagang hasil perikanan. Dari jumlah tersebut
32 persen masuk kategori miskin.

Dari uraian pembangunan ekonomi maritim ini terlihat jelas bahwa kekuatan armada pelayaran
niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi atau
industri maritim nasional. Asas cabotage yang telah secara tegas diatur untuk diterapkan adalah
kebijakan undamental untuk pembangunan industri maritim karena multiplier effect nya yang sangat
luas. Intinya, untuk membangun ekonomi atau industri maritim, pemerintah perlu segera
menerapkan kebijakan insentif kredit dan pajak untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan
kapal sebagaimana diterapkan oleh pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan
armada pelayaran niaga kita. Inpres V/2005 dan UU RI No.17/2008 tentang Pelayaran telah
mengatur masalah ini. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh oleh
pemerintah, pembangunan industri maritim akan segera menggeliat secara nyata.

SUMBER REVERENSI:

http://eprints.uny.ac.id/67095/1/Ilham%20Nur%20dkk.pdf

Anda mungkin juga menyukai