Anda di halaman 1dari 10

TUGAS WAWASAN MARITIM

STRATEGI MARITIM

DISUSUN OLEH :

NOFI FITRIANI (E1B122085)


PUTIH ANDRIYANI PURNAMA DEWI (E1B122087)
SHAFA SALSABILA SULTAN (E1B122089)
WAODE NURNAYAH ADSANAH SHALIHI (E1B122091)
WISNU AKBAR WICAKSONO (E1B122093)

JURUSAN S1 ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
2023
MATERI STRATEGI MARITIM

1. STRATEGI MARITIM

Pakar hukum laut internasionaf Prof Hasjim Djalal, menyatakan sudah sepatutnya
Indonesia memiliki konsep negara maritim (maritime policy). Menurut Hasyim, konsep
maritim yang dimaksud adalah negara mampu nremanfaatkan dan menjaga laut untuk
mensejahterakan rakyatnya. "Tapi, sayang kita sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia, negara belum mampu memanfaatkan potensi sumberdaya laut" kata Hasjim.

Secara hukum intemasional dan Undang-undang memang indonesia sebagai negara


kepulauan. Tapi belum maksimal memanfaatkan kekayaan yang ada di laut. Maka itu
diperlukan konsep strategi negara maritim yang tangguh dan berdaulat. Menurut tokoh
maritim ini negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan dan menjaga
lautnya. Banyak negara kepulauan tapi bukan negara maritim, ada negara yang lautnya
sedikit tapi memiliki predikat negara maritim. Hasjim memberi contoh seperti China dan
Amerika. Ada juga negara yang tidak memiliki laut tapi menguasai laut, seperti Belanda
menjajah indonesia 350 tahun karena mereka mampu menguasai laut.

Pakar keamanan Negara maritim, Laksa TNI Purnawirawan, Robert Mangindaan


dalam tulisannya di Quarterdeck, bahwa agenda Security Sector Reform tidak membawa
kepentingan pihak-pihak lain yang tujuannya adalah mengkerdilkan "otot" militer
Indonesia, yang sebetulnya sudah sedemikian "kerdil".

Masih dijelaskan oleh Robert, bahwa masalah kemanan maritim yang akan dihadapi
ke depan, masih akan berkisar pada sea robbery and piracy, illegal fishing, transnational
threat, illicit trafficking in weapon of mass destruction and related materials, pelanggaran
wilayah, lalu lintas di laut yang terkait dengan gerakan separatis dan sangat mungkin
ancaman maritime terrorism. Diperkirakan pula bahwa ancaman tersebut akan semakin
meningkat yang diukur dari intensitas, penggunaan teknologi maju dan pengembangan
modus operandi.

Karena Indonesia berada di wilayah ring of fire, dan tiga patahan benua, yaitu
Eurasia, Australia dan Pasifik Barat, maka ancaman bencana alam patut dihindari dan
diantisipasi. Tidak hanya itu penyelanggaran kemanan maritim, perlu bekerjasama
dengan pihak-pihak lain dengan berpegangan pada beberapa hal, yaitu wadah yang tepat,
saling menguntungkan, dan ada kesungguhan. Kesannya memang sederhana sekali akan
tetapi justru di sana ada titik terangnya.
2. ASPEK SOSIAL DAN BUDAYA

Dari aspek kehidupan sosial dan budaya, sejarah menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia pada masa lalu memiliki pengaruh besar, di wilayah Asia Tenggara. Terutama
melalui kekuatan maritim di bawah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Tak heran,
wilayah laut Indonesia dengan luas dua pertiga nusantara diwarnai banyak pergumulan
kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang
bangsa Indonesia menguasai lautan besar. Bahkan, mampu mengarungi samudera luas
hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan.
Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-1.5 terdapat lima jaringan
perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang
meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka Burma (Myanmar), serta pesisir
utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan
perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka Thailand, dan Vietnam
Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut China Selatan.
Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro,
Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima jaringan
Laut jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat
Kalimantan, jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di
bawah hegemoni Kerajaan Majapahit.
Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan, dibandingkan negara-negara
tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan budaya bahari secara
alamiah. Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya perhatian
pemerintah terhadap pembangunan maritim.
Kondisi tersebut berlangsung berabad-abad dan berlangsung dari generasi ke
generasi. Akibatnya, saat ini bangsa Indonesia masih sangat kental dengan paradigma
daratan bahkan orientasi pembangunan pun sangat kental dengan land base oriented.
Tentu kondisi ini tak boleh dibiarkan terus berlangsung, diperlukan berbagai upaya dari
semua lapisan masyarakat untuk segera merubah paradigma bangsa ini untuk kembali ke
cara pandang yang kental dengan strategi maritim. Pemerintah pun harusnya segera
memiliki kesadaran ruang bahwa kita hidup di sebuah negara yang dominan laut, sudah
sepantasnya jika negara ini dibangun dengan kebijakan yang berorientasi pada maritime
base oriented.
3. ASPEK EKONOMI

Laut Indonesia ditaksir menyimpan potensi kekayaan yang dapat dieksploitasi 156
miliar dolar AS per tahun atau sekitar Rp 1.456 triliun. Walau demikian, kontribusi sektor
kelautan terhadap PDB nasional dinilai masih rendah. Pada 1998 sektor kelautan hanya
menyumbang 20,06 persen terhadap PDB, itupun sebagian besar atau 49,78 persen
disumbang subsektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut. Ini menunjukkan
bahwa kekayaan laut Indonesia yang sangat besar masih disia-siakan. Berbeda dengan
negara maritim lain, seperti RRC, AS, dan Norwegia, yang sudah memanfaatkan laut
sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi di atas 30 persen terhadap PDB nasional
mereka.
Sebagai suatu negara dengan kekuatan ekonomi yang terus berkembang, kelanjutan
kemajuan Indonesia akan semakin bergantung pada perdagangan dan angkutan laut dan
ketersediaan energi, serta pada ekploitasi sumber daya laut dan bawah laut serta
membangun industri maritim yang tangguh. Karena itu, sangat jelas Indonesia rnemiliki
kepentingan nasional yang sangat besar di laut. Sebagai hal yang mendasari kepentingan
Indonesia di laut, lndonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan
laut wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai strategi
untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi.
Dari sisi pembangunan ekonomi maritim, Indonesia juga masih rnenghadapi banyak
kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi multiplier effect karena
perkembangannya akan diikuti pembangunan dan pengembangan industri dan jasa
maritim lainnya masih dikuasai kapal niaga asing. Asas cabotage seperti yang
diamanatkan UU RI No 17/2008, tentang Pelayaran masih perlu diperjuangkan agar dapat
diterapkan dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya kapasitas kapal
nasional, sedangkan pembangunan kapal baru dihadang tidak adanya keringanan pajak,
sulitnya kredit serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang maritim mengingat
usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan, slow yielding.
Sisi lain dari laut yang memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran,
sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber daya laut dan bawah laut.
lndonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang terbentang seluas 2,7 juta km persegi
dan keberhasilan untuk mengekploitasi wilayah ini dapat membantu mengangkat
Indonesia keluar dari keterbelakangan ekonomi. Namun disadari bahwa Indonesia
kekurangan kemampuan teknologr untuk memanfaatkan kekayaan bawah lautnya. Hal ini
disebabkan karena kurangnya survei, research dan sumber daya manusia di bidang
maritim.
Dari uraian pembangunan ekonomi maritim ini terlihat jelas bahwa kekuatan armada
pelayaran niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolak ukur keberhasilan
pembangunan ekonomi atau industri maritim nasional. Asas cabotage yang telah secara
tegas diatur untuk diterapkan adalah kebijakan fundamental untuk pembangunan ekonomi
industri maritim karena multiplier effectnya sangat luas. Intinya untuk membangun
ekonomi atau industri maritim, pemerintah harus segera menerapkan kebijakan insentif
kredit dan pajak untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal sebagamana
diterapkan pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan armada pelayaran
niaga. Inpres V/2005 dan LIU RI No 17/2008, tentang Pelayaran telah mengatur masalah
tersebut. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh pemerintah,
pembangunan industri maritim akan menggeliat.

4. ASPEK PERTAHANAN DAN KEAMANAN

Kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan memiliki empat dari sembilan
Sea Lines of Communication dunia mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban yang
sangat besar menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran intemasional di Selat
Malaka-Singapura, serta tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia belum
mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan laut yang memadai. Apalagi untuk
menjaga kedaulatan di seluruh wilayah laut yurisdiksinya.
Sepanjang berkaitan dengan kebijakan pertahanan nasional pada dasamya Indonesia
adalah negara yang cinta damai dan tidak memiliki ambisi menguasai negara atau wilayah
bangsa lain. Tetapi,indonesia memiliki pulau-pulau yang jauh terutama di Laut Natuna
dan Sulawesi, dan masih ada wilayah perbatasan yang belum ditetapkan serta wilayah
sengketa. Karena itu indonesia harus tetap mewaspadai adanya kemungkinan kontingensi.
Indonesia harus memiliki kesiagaan dan kemampuan untuk dapat mengendalikan lautnya
dan memproyeksikan kekuatannya melalui laut dalam rangka memelihara stabilitas dan
integritas Negara Kesatuan Republik indonesia.
Dalam kepentingan menjaga keselamatan keamanan dan pertahanan Negara di laut
TNI AL sebagai tulang punggung upaya pertahanan dan keamanan di laut masih belum
memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan penguasaan laut di bawah
yurisdiksi nasional. Kasus Ambalat dan yang terakhir, penangkapan petugas Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Riau oleh Polisi Laut Diraja Malaysia
hanyalah beberapa contoh, bagaimana resiko yang harus diterima bila Indonesia tidak
memiliki armada perang yang kuat dan kemampuan pengamanan laut yang handal. Dari
kebutuhan sekitar 300 kapal kombatan, TNI AL hanya memiliki sekitar 130 kapal dengan
komposisi dah kemampuan yang dirasa belum memadai. Kekuatan TNI AL tertinggal
dari negara-negara tetangga, terutama dari sisi teknologi, karena masih mengandalkan
kapal-kapal tua. Thailand saja memiliki kapal induk, sedangkan kapal kombatan
Indonesia masih terbatas sampai jenis Korvet.
Kepentingan mengamankan kegiatan ekonomi dan kedaulatan di laut yurisdiksi
Indonesia yang sangat luas membutuhkan sistem yang profesional efektif dan efisien.
Contohnya kewenangan menegakkan hukum dilaut yang ditangani 13 instansi perlu
ditinjau ulang. Untuk mencapai itu diperlukan strategi maritim yang mencakup berbagai
bidang.

5. ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Berdasarkan Deklarasi ]uanda 1957 wilayah laut Negara Kesatuan Republik


indonesia (NKRI) adalah sekitar 3,1 juta kilometer persegi. Setelah diterimanya Konvensi
Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 wilayah laut NKRI bertambah luas dari ZEE 2,7 juta
kilometer persegi menjadi total sekitar 5,8 juta kilometer persegi. Indonesia mendapatkan
hak-hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE sejauh 200 mil dari garis pangkal lurus
Nusantara atau sampai ke batas continental margin jika masih ada kelanjutan alamiah
pulau-pulau indonesia di dasar samudra.
Penetapan wilayah laut pedalaman ini membatasi ruang penetrasi kapal asing
kewilayah laut lndonesia karena semua pihak asing tidak boleh memasuki wilayah
perairan pedalaman tersebut tanpa izin Indonesia, termasuk untuk innocent passage atau
lewat secara damai.
Kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah laut Indonesia juga belum mampu
diinventarisasi secara baik. Banyak potensi sumber daya kelautan yang mungkin kita
miliki, tetapi sesungguhnya belum mampu dipahami nilai kemanfaatan ekonomi dan
ekologinya Lebih, ada kemungkinan bahwa sebagian potensi sumber daya kelautan
tersebut belum kita ketahui eksistensi keberadaannya di wilayah laut Nusantara.
Ketidakmampuan Indonesia memahami potensi apalagi untuk mengelola sumber
daya kelautan karena rendahnya tingkat penguasaan teknologi maritim. Ironis memang,
sebuah negara maritim seperti Indonesia tidak bisa memprioritaskan pengembangan
teknologi kelautan.
Ada tiga lapis persoalan yang dihadapi untuk membangun kemandirian indonesia
dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, yakni: (a) Mendorong agar peneliti/akademisi
indonesia agar mampu berperan lebih dominan dalam kegiatan riset kemaritiman di
wilayah NKRI, sementara ini lupakan dulu keinginan menjadi peneliti/akademisi kelas
dunia di bidang ini; (b) Meningkatkan intensitas dan produktivitas riset di bidang kelautan
agar lebih sebanding dengan riset di wilayah daratan; dan (c) Meningkatkan relevansi
riset dengan realita kebutuhan dan atau persoalan nyata di sektor kelautan agar dapat
meningkatkan peran dan dalam pembangunan ekonomi, sehingga berpeluang untuk ikut
mensejahterakan rakyat dan memakmurkan bangsa sebagaimana yang diamanahkan
konstitusi.
Keunikan geografis dan kekayaan biodiversitas ekosistem laut indonesia harus
dijadikan modal untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) Indonesia dalam
menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak asing. Tetapi tentunya modal alamiah ini perlu
dilengkapi dengan modal kecerdasan intelektual yakni penguasaan teknologi.
Potensi sumber daya laut indonesia meniadi modal dasar dalam upaya
mensejahterakan rakya! termasuk kekayaan sumber daya perikanan dan biota laut lainnya
sebagai bahan pangan atau untuk flora-fauna hias. Potensi lestari perikanan laut Indonesia
ditaksir sekitar 6,4 juta ton. Isu pokok dalam pengelolaan sumber daya kelautan dari
dahulu sampai sekarang masih berkutat pada persoalan yang sama, yakni penangkapan
ikan ilegal oleh nelayan asing tindakan perusakan atau ekploitasi berlebihan terhadap
sumber daya kelautan baik oleh nelayan lokal maupun asing pencemaran laut
penyelundupan, perdagangan ilegal di laut, dan sengketa batas wilayah teritorial dengan
negara tetangga maupun batas wilayah antar-provinsi atau kabupaten.

6. SDM MARITIM

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan bagian terpenting dalam menjalankan roda
perekonomian bangsa. sebagai negara dengan sumber daya laut yang besar, peningkatan
kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut mutlak
harus diprioritaskan dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor paling Penting dalam
menggerakkan roda ekonomi yang bersumber dari laut adalah ketidaktersediaan sumber
daya manusia yang andal dan profesional.
Laode Kamalauddin (Pembangunan Ekonomi Maritim di indonesia 2002)
menyebutkan, SDM yang bekerja di sektor maritim dapat dikelompokkan dalam tujuh
kategori yaitu (1) sebagai pelaut kapal niaga domestik maupun asing; (2) sebagai
penangkap ikan di kapal domestik maupun asing; (3) sebagai pelaut pada pelayaran
rakyat dan (4) nelayan; (5) tenaga kerja pada eksplorasi laut lepas pantai; (6) karyawan
yang bekerja di ekoturisme; dan (7) karyawan di bidang kepelabuhanan. Ditaksir total
pendapatan yang diperoleh dari seluruh kegiatan ini mencapai Rp 12,7 triliun. Namun,
pendapatan yang dihasilkan SDM masih akan meningkat dengan asumsi, pertama apabila
jumlah tenaga kerja profesional bertambah melalui pendidikan kepelautan dan pendidikan
kemampuan tenaga ahli dalam negeri pada eksplorasi laut. Kedua adanya penambahan
jumlah kapal penangkapan, kapal penumpang maupun kargo laut. Ketiga pengurangan
tenaga kerja asing. Keempat peningkatan kemampuan dan modemisasi peralatan nelayan
dan pelayaran rakyat. Kelima, pendidikan kepelautan yang profesional seperti penyiapan
nakhoda yang andal.
Indonesia bukan tidak mungkin dapat berkembang sebagai bangsa maritim yang
besar jika memiliki SDM berkualitas. Bahkan, data statistik Intemational Seafarers
Suppliers 2011, menempatkan Indonesia pada urutan ketiga dari sepuluh negara penyedia
pelaut dunia. Didorong asumsi pasar kerja di bidang maritim yang terus berkembang
mengingat sektor maritim memiliki keterkaitan multi sektoral yang sangat kuat, maka
potensi pengembangan SDM di bidang kemaritiman diharapkan berjalan lebih maksimal.
Perspektif ekonomi paling sederhana memberikan tuntunan tentang bagaimana suatu
ekonomi bekerja dari tiga kondisi dasar, yaitu apa yang harus diproduksi, bagaimana
berproduksi, dan untuk siapa produksi tersebut? jawaban dari kombinasi ketiga
pertanyaan tersebut dapat dikaitkan dengan kemampuan Indonesia sebagai negara
kepulauan, terutama membahas apakah pembangunan hari ini telah menempatkan sektor
kelautan sebagai modal pembangunan yang unggul. Dalam istilah lain, memampukan
bidang kelautan menjadi sektor pemimpin (leading sector) dalam kegiatan perekonomian
nasional.

7. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BERBASIS MARITIM

Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia seharusnya menjadi


kekuatan penting yang dapat dimaksimalkan dalam pembangunan. Kekayaan alam yang
terkandung di laut merupakan potensi ekonomi yang mampu rnemberikan kontribusi
besar bagi perekonomian Indonesia. Berbagai kekayaan laut ini telah dieksploitasi dan
dimanfaatkan sejak dahulu hingga sekarang baik melalui metode produksi tradisional
maupun berbasis teknologi. Namun lemahnya kebijakan pemerintah terhadap
pembangunan laut berbasis maritime policy menjadikan pembangunan ekonomi bangsa
Indonesia tidak maksimal.

Kekalahan dalam kompetisi ekonomi berbasis maritim juga terjadi di sektor industri dan
jasa kelautan mulai dari hulu (upstream) maupun hilir (downstream).
Pertama, belum adanya terobosan kebijakan yang mampu mengikat dan memayungi
instrumen ekonomi maritim, seperti sektor perikanan, pertambangan dan energi lepas
pantai, pariwisata bahari, transportasi laut dan kepelabuhanan, serta sumber daya manusia
di sektor maritim. Dampaknya, persepsi tentang ekonomi maritim secara kelembagaan
masih sangat parsial, sehingga tolak ukur ekonomi maritim dilihat hanya dari satu
organisasi kementerian, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Kedua, kebijakan maritirn (maritime policy) tidak menjadi payung politik bagi
pembangunan ekonomi sehingga kelembagaan yang terlibat dalam sektor maritim
mengalami disorientasi. Padahal, kepentingan kolektif maritim perlu diorganisir secara
terpadu. Untuk itu, negara perlu berani menegaskan kebijakan maritim sebagai platform
pembangunan ekonomi.
Ketiga, terjadinya backwash efek secara amassive yang menempatkan sektor maritim
khususnya perikanan sebagai sektor pengurasan sebagai akibatdari tingkat kebocoran
sektoral (sectoral leakages) yang terjadi sehingga menyebabkan sektor perikanan menjadi
kerdil dan marjinal. Kebocoran sektoral ini dimaknai dalam dua hal, yaitu (1) Hubungan
antara pemilik kapal dengan nelayan, yang cendbrung menempatkan pemilik kapal
sebagai pihak yang menikmati benefit lebih banyak dari pada nelayan yang hanya
memenuhi standar hidup minimum kebutuhannya; (2) Feedback nilai ekonomi perikanan
terhadap perbaikan infraskuktur publik di komunitas nelayan sulit terjadi
Keempat, faktor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diharapkan
menjadi saluran membagi kemakmuran secara adil nampaknya masih sulit diwujudkan
karena wajah APBN yang continentaloriented, dan selalu
menempatkansektormaritimtermasuk provinsi berbasis maritim dan pulau-pulau kecilnya
termarjinalisasi dalam pembagian saruma dan prasarana pembangunan.
Pembangunan ekonomi maritim dapat dimaknai secara paralel dengan tinjauan
perspektif yang diberikan di atas. Dalam definisi yang lebih kontekstual, pembangunan
ekonomi maritim ingin menjadikan kekayaan potensi kemaritiman sebagai landasan
untuk mengadakan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas terutama di sektor
kemaritiman sehingga iklim bisnis dan investasi maritim yang baik akan berkembang.
Rokhmin Dahuri berpendapat pembangunan kelautan hendaknya diarahkan untuk
meraih empat tujuan secara seimbang, yakni: (1) pertumbuhan ekonomi tingg secara
berkelanjutan; (2) peningkatan kesejahteraan seluruh pelakr usaha, khususnya para
nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat kelautan lainnya yang berskala kecil; (3)
terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya kelautan; (a) menjadikan laut
sebagai pemersatu dan tegaknya kedaulatan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai