“Untuk menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera, kita harus menjadi bangsa bahari,"
(Bung Karno).
Penggalan bait puisi karya Sutan Takdir Alisyahbana (STA) berjudul Menuju ke Laut di
atas secara jelas melukiskan betapa Indonesia memiliki keindahan alam yang lengkap,
baik daratan maupun lautan. Namun pada tataran makna, STA sejatinya tengah
menggelorakan sebuah konsep manusia baru dan menjadikan laut sebagai ruang
figuratif bagi masa depan kehidupan berbangsa (Kompas, 16 Oktober 2015).
Di masa sekarang, puisi STA masih relevan dan seperti menohok kesadaran kita
yang sudah cukup lama terlelap sembari ‘memunggungi’ lautan. Padahal dengan modal
geografis yang dimiliki, menjadi negara maritim adalah sebuah keniscayaan bagi
Indonesia.
Takdir sejarah
Kalau ditarik benang sejarahnya, sejak dahulu kala bangsa Indonesia sudah lekat
dengan tradisi kemaritiman yang hebat hingga memiliki kejayaan di laut. Lagu Nenek
Moyangku Orang Pelaut yang akrab di telinga kita semenjak kecil kiranya cukup
memberi gambaran bahwa menjadi bangsa maritim merupakan takdir sejarah bangsa
Indonesia.
Kerajaan-kerajaan awal yang mendiami Nusantara dikenal memiliki aktivitas yang
tidak jauh dari laut. Kerajaan Kutai di Kalimantan dan Kerajaan Tarumanagara di Jawa
telah menyajikan cerita bagaimana mereka senantiasa berlayar dan melakukan aktivitas
perdagangan lintas negara.
Memasuki sekitar abad ke-7, Kerajaan Sriwijaya menorehkan tinta emas sebagai
salah satu kerajaan maritim yang diperhitungkan secara internasional. Sriwijaya
terkenal dengan armada angkatan lautnya yang besar serta memutar roda ekonominya
melalui jalur laut. Tak heran bila kemudian Sriwijaya mampu menguasai lautan di
sekitar Pulau Sumatera dan Jawa sampai ke wilayah yang sekarang bernama Malaysia
dan Kamboja.
Ketika kejayaan Sriwijaya memudar, di wilayah Jawa Timur muncul Kerajaan
Majapahit (sekitar tahun 1293-1500) yang juga dikenal dengan kehebatan kemampuan
maritimnya. Armada laut yang besar ditambah pelaut-pelautnya yang ulung membuat
kekuasaan Majapahit membentang ke seluruh Nusantara. Dan pada zamannya,
Majapahit merupakan kerajaan maritim yang disegani di muka bumi. Masih di Jawa,
eksistensi peradaban maritim Nuasantara juga ditunjukkan oleh Kesultanan Demak di
Jawa Tengah dan Kerajaan Islam Banten di ujung barat Pulau Jawa.
Di bagian timur Indonesia, dunia maritim identik dengan Kerajaan Makassar
(Gowa-Tallo) yang terletak di Sulawesi Selatan. Kepiawaian para pelaut kerajaan yang
berjaya pada abad ke-17 ini tidak perlu diragukan. Salah satu bukti yang masih terus
bisa kita saksikan hingga saat ini adalah masih lalu lalangnya jenis kapal Phinisi yang
merupakan hasil karya rakyat Makassar.
Pada abad 16, petaka menimpa Nusantara. Kekuatan Eropa yang diwakili oleh
Portugis, Spanyol, dan Belanda mengubah geopolitik bangsa Indonesia. Laut, yang
awalnya merupakan sarana pemersatu, malah mencerai-beraikan bangsa. Strategi
devide et impera kongsi dagang Belanda (VOC) kian mempersempit gerak para pelaut.
Semua Bandar laut dikuasai VOC, dan kerajaan-kerajaan di Nusantara terdesak ke
daratan. Praktis, bangsa kita pun dipaksa berpaling dari laut.
Di masa kemerdekaan, Presiden Soekarno berupaya mengembalikan kejayaan
Indonesia sebagai negeri maritim dan menggagas poros maritim. Kekuatan Angkatan
Laut RI pun dibangun sehingga menjadi salah satu yang disegani dunia ketika itu.
Kegiatan ekonomi berbasis kelautan menggeliat seiring dengan bermunculannya
perusahaan pelayaran, dan tiap tahun selalu terjadi peningkatan jumlah kapal yang
melayani bisnis lintas negara.
Setelah itu, konsep negara kepulauan berdasarkan Deklarasi Djuanda, 13
Desember 1957, terus perjuangkan agar diterima oleh negara-negara lain agar
Indonesia bisa menggunakan pantai terluar sebagai batas teritorial. PBB akhirnya
menyetujui konsep tersebut melalui Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) pada 10
Desember 1982 dan diratifikasi ke dalam UU pada tahun 1987.
Menghadirkan kesejahteraan
Melihat potensi kekayaan laut dan luasnya sektor industri maritim diharapkan dapat
mendorong tumbuhnya sektor-sektor bisnis yang saling terkait. Dengan bentuk negara
kepulauan, Indonesia membutuhkan industri pelayaran (transportasi laut) yang mampu
menjadi infrastruktur dan penyangga bagi aktivitas antarpulau. Sektor bisnis pelayaran
berhubungan erat dengan ketersediaan kapal beserta galangannya.
Di sektor perikanan, kesempatan bisnis ada pada peningkatan nilai melalui
industri dari hulu ke hilir, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Menurut perhitungan
Kementerian Kelautan dan Perikanan, perikanan hasil tangkapan memiliki nilai ekonomi
USD8 miliar per tahun. Jika ditingkatkan pada industri primer, nilai ekonominya menjadi
USD60 miliar, dan kalau sampai industri sekunder akan mencapai USD120 miliar.
Industri maritim juga terkait dengan sektor wisata bahari yang mampu menyerap
tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, mendatangkan devisa bagi
negara, serta mendorong konservasi lingkungan. Potensi wisata bahari selama ini belum
sepenuhnya dilirik oleh investor, padahal merupakan peluang besar bagi perusahaan-
perusahaan yang berniat mengembangkan bisnisnya. Menurut Kementerian Pariwisata,
sebanyak 60% dari wisata bahari adalah wisata pantai, 25% mencakup wisata bentang
laut, seperti cruise dan yacht, sedangkan 15% lagi wisata bawah laut, yaitu snorkeling
dan diving. Selain itu, pengembangan pariwisata bahari diharapkan mampu
membangkitkan jiwa dan budaya bahari yang akan mendorong negara maritim yang
tangguh.
Dari dasar laut, kandungan tambang yang cukup besar masih bisa dieksplorasi
untuk peningkatan ekonomi. Kendala investasi dan teknologi yang selama ini terjadi
sesungguhnya membuka peluang bagi investor di sektor pertambangan. Belum lagi
ditambah dengan potensi energi terbarukan yang masih terus dikembangkan.
Kekayaan yang luar biasa dari laut Indonesia sudah sepantasnya mampu
menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dan untuk meraih kesejahteraan
tersebut, maka kita harus kembali ke jati diri sebagai bangsa bahari. Dalam istilah
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, kita harus mulai membiasakan diri
untuk menjadikan laut sebagai teras rumah dan bukan bagian belakangnya (majalah
dewi edisi Maret 2015).
Beruntung, asa untuk “kembali ke laut” mulai digemakan lagi setelah sekian lama
meredup. Cita-cita membentuk poros maritim dunia merupakan narasi besar dalam
program kerja Presiden Joko Widodo beserta kabinetnya. Tentunya, political will dari
pemerintah juga menuntut sinergi dan peran serta segenap lapisan masyarakat.
Dalam pidatonya pada tahun 1953, Presiden Sukarno mengatakan, ”Usahakanlah
agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya.
Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti
kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa
pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut
menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Jalesveva jayamahe…!