1. Latar Belakang
Dalam sejarah Islamisasi di Indonesia, kata pesisir tidak pernah bisa diabaikan. Sebab,
sebagaimana telah diketahui, sejarah masuknya Islam di Indonesia selalu berawal dari komunitas
nelayan dan para pedagang yang sebagian besar terkosentrasi di daerah-daerah pantai sekitar wilayah
lautan Nusantara. Dalam perspektif kepentingan Dakwah Islamiyah maka sepanjang rentang
penulusuran naskah ini tidak ada salahnya memori historis tersebut tetap dijadikan referensi ilustratif.
Kata pesisir dalam tulisan ini digunakan untuk dua maksud yang berlainan. Pertama,
masyarakat pesisir, dimana istilah ini sebutan yang diatribusikan kepada kelompok masyarakat yang
bertempat tinggal di tepi pantai, atau berdekatan dengan laut. Terkadang, masyarakat pesisir (coastal
community) juga diterjemahkan dengan ciri-ciri utama tidak memproduksi barang ataupun jasa
tertentu, mengandalkan penghidupan dari sumber daya laut, dan jikalau ada alat produksi biasanya
berupa perahu, dengan sistem ekonomi yang hierarkis seperti ada juragan kapal, tengkulak, buruh,
nelayan tradisional.
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran.
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama
mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait
dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Satria, 2004).
Secara teoritis, masyarakat pesisir didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal dan
melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan
lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang
cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian,
secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal
secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas
sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan.
Desa pantai tipe bahan makanan, yaitu desa-desa pantai yang sebagian
besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani
sawah khususnya sawah padi.
Desa pantai tipe tanaman industri, yaitu desa-desa pantai yang sebagian
besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai petani
tanaman industri terutama kelapa.
Desa pantai tipe nelayan / empang, yaitu desa-desa pantai yang sebagian
besar atau seluruh penduduknya bermata pencaharian pokok sebagai
penangkap ikan laut / pemeliharaan ikan darat.
Desa pantai niaga dan transportasi, yaitu desa-desa pantai yang sepanjang
tahun dapat ditempati oleh perahu-perahu layar.
Adapun konsep pengertian masyarakat pesisir yang digunakan dalam studi ini adalah
konsep masyarakat pesisir di perkotaan tipe nelayan dimana sebagian besar penduduknya
bermata-pencaharian pokok sebagai nelayan.
3.5 Sistem Kekerabatan
Hubungan-hubungan sosial antar kerabat dalam masyarakat pesisir masih cukup kuat.
Perbedaan status sosial ekonomi yang mencolok antar kerabat tidak dapat menjadi
penghalang terciptanya hubungan sosial yang akrab di antara mereka.
3.6 Ekonomi Lokal
Sumber daya laut adalah potensi utama yang mengerakan kegiatan perekonomian
desa. Secara umum kegiatan perekonomian tinggi-rendahnya produktivitas perikanan.
Jika produktivitas tinggi, tingkat penghasilan nelayan akan meningkat sehingga daya beli
masyarakat yang semakin besar nelayan juga akan meningkat. Sebaliknya, jika
produktivitas rendah, tingkat penghasilannya nelayan akan menurun sehingga tingkat
daya beli masyarakat rendah. Kondisi demikian sangat mempengaruhi kuat lemahnya
kegiatan perekonomian desa.
3.7 Konsep Masyarakat Maritim
Sudah menjadi suatu mitos yang berkembang ditengah-tengah masyarakat bahwa
Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik sumber hayatinya maupun non
hayatinya, walaupun mitos seperti itu perlu dibuktikan dengan penelitian yang lebih
mendalam dan komprehensif. Terlepas dari mitos tersebut, kenyataannya Indonesia adalah
negara maritim dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun sangatlah ironis sejak 46 tahun
yang lalu kebijakan pembangunan kesehatan masyarakat tidak pernah mendapat perhatian
yang serius dari pemerintah.
Munculnya tatanan masyarakat maritim sebagai suatu komunitas tradisional berawal
dari kebangkitan kerajaan maritim di Sulawesi Selatan yang sangat berpengaruh di Kawasan
Timur Indonesia pada abad XV XVII. Setidaknya, ada tiga ciri utama pola dasar
pembentukan kehidupan budaya masyarakat maritim yaitu kultur laut, tradisi agraris dan
mobilitas pasar atau pedagang. Ketiga pola ini erat hubungannya dengan ekologi, letak
geografis dan tatanan sosial-budaya masyarakat maritim.
Bila kultur laut dominan dalam aktivitas masyarakat, maka pranata-pranata yang
tumbuh dalam masyarakat mengarah ke kultur laut. Dalam suasana seperti ini, ritual-ritual
yang erat hubungannya dengan laut tumbuh dan menjadi pesat. Ilmu pengetahuan, seni,
arsitektur, adat, mistik, hukum yang erat hubungannya dengan dunia kemaritiman tumbuh
dengan pesatnya.
Secara historis pertumbuhan masyarakat semacam ini dapat ditemukan pada daerahdaerah pesisir Sulawesi Selatan yang mendapat pengaruh dari kerajaan Gowa, kerajaan
Makassar pada abad XVI XVII. Bila aktivitas tradisi agraris mewarnai kegiatan
masyarakat, maka pranata-pranata yang tumbuh pun merujuk ke tradisi agraris. Pada
masyarakat ini ditemukan ritual-ritual agraris. Ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, adat, mistik,
hukum dan lain-lainnya yang berkaitan erat dengan pertanian tumbuh pesat. Basis agraris ini
dipengaruhi oleh kerajaan Bone, Sidenreng dan Soppeng yang merupakan kerajaan agraris
Bugis dan sangat berpengaruhi di daerah pedalaman Sulawesi Selatan pad abad ke XV
XVII.
Bila aktivitas mobilitas pasar lebih dominan dalam masyarakat maritim, maka aturanaturan atau adat istiadat yang menyangkut perdagangan/jual beli menjadi ketentuan yang
sangat dipatuhi oleh masyarakat. Kondisi masyarakat semacam ini berada di bawah pengaruh
kerajaan Wajo yang hingga sekarang dikenal sebagai negeri asal para pedagang Bugis.
Konsep budaya maritim, tidak hanya terbatas pada masalah kultur laut tetapi juga
sangat erat hubungannya dengan mobilitas pasar yang dilakukan melalui pelayaran dan lintas
laut. Corak niaga semacam ini disebut perniagaan laut.
Kompleksitas perwujudan budaya yang berhubungan dengan laut, dapat dilihat dari dua
sisi.
Pertama, tradisi besar kemaritiman, diwakili kaum bangsawan, orang-orang baik, dan
orang- orang kaya, para pemilik modal, serta penduduk perkotaan di pesisir pantai.
Kedua, tradisi kecil kemaritiman diwakili rakyat biasa atau nelayan, para sawi (klien).
Pada tradisi besar kemaritiman ditemukan kompleksitas budaya yang mencakup; ide-ide
gagasan-gagasan, nilai-nilai, aturan-aturan, tindakan-tindakan, dan aktivitas serta bendabenda hasil karya yang berhubungan dengan laut, baik secara langsung atau tidak langsung.
Secara harfiah dapat dikatakan bahwa filsafat, seni, mistik, arsitektur, birokrasi, perang dan
lain-lain bersumber dari tradisi besar. Dengan demikian, tampak adanya perbedaan antara
kebudayaan maritim dan kebudayaan nelayan.
Nelayan acap kali diasosiasikan dengan kemiskinan dan karenanya budaya nelayan
atau kebiasaan masyarakat pesisir diidentikkan dengan kemiskinan atau budaya orang miskin.
Meskipun tak dapat disangkali bahwa pendukung kebudayaan maritim adalah kaum nelayan,
tetapi nelayan hanyalah kelompok masyarakat pemangku dari masyarakat bahari. Jaringan
aktivitasnya sangat terbatas pada penangkapan ikan, sistem pengetahuan yang berkembang
pun berhubungan erat dengan penangkapan ikan dan sumberdaya laut, sementara jaringan
sosial-nya sangat terbatas pada network pinggawa-sawi (patron-klien). Sedangkan Badan
Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian (BPLPP) Departemen Pertanian mengartikan
nelayan sebagai pengelola usaha penangkapan ikan yang sebagian atau seluruh
pendapatannya diperoleh dengan jalan melakukan penangkapan ikan di laut atau perairan
umum.
D. Adanya kebanggaan dari masyarakat kalau mereka sebenarnya mampu menemukenali masalah, dan lain-lainnya, bahkan mereka mampu mengelola sehingga
menunjukkan hasil.
E. Dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat sudah mampu berperan sebagai
pengawas dan melakukan kordinasi dengan instansi terkait demi kesuksesan tersebut.
5. Faktor
Yang
Mempengaruhi
Perubahan-Perubahan
Sosial
Dan
Kebudayaan
Dalam suatu kehidupan, masyarakat akan mengalami perubahan. Perubahanperubahan yang terjadi bisa disebabkan oleh suatu yang dianggap sudah tidak
memuaskan lagi, dan ada faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai
pengganti faktor yang lama, ada juga yang masyarakatnya yang menggadakan
perubahan karena terpaksa untuk menyesuaikan sesuatu dengan keadaan.
Sebab-sebab terjadinya perubahan sosial
a. Bertambahnya penduduk
Bertambahnya penduduk yang sangat cepat, menyebabkan terjadinya
perubahan struktur masyarakat. Masyarakat yang mata pencaharian utamanya adalah
nelayan, akan tergantung pada alam dan cuaca. Maka masyarakatnya akan sering
berpindah-pindah profesi sesuai keahlian.
b. Penemuan-penemuan baru
Penemuan baru meliputi proses, ada inovasi yang menjadikan kebudayaan
baru
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan secara umum bahwa karakteristik masyarakat
pesisir ialah :
I.
II.
III.
IV.
V.
DAFTAR PUSTAKA
Kusnadi. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Cet. 1. Bandung: Humaniora
Utama Press, 2000.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Edisi Baru Ketiga. Jakarta: Rajawali Press,
1987.