Anda di halaman 1dari 25

Karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di wilayah pesisir dan kepulauan

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis diapit oleh dua benua

dan samudra yaitu benua Asia dan benua Australia serta samudra Hindia dan samudra

Pasifik. Posisi Indonesia menjadikan Indonesia dikaruniai kekayaan dan sumber daya

laut yang sangat berlimpah. Sumber daya yang berlimpah baik sumber daya hayati atau

nonhayati, yang dapat berupa lingkungan di sekitar laut. Dengan demikian Indonesia

memiliki karakter yang unik yaitu terdapatnya jutaan potensi sumber daya alam yang

dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kesejahteraan mereka (Dewi, 2018)

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Jumlah pulau di Indonesia,

menurut data statistik yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan

Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2015 adalah sebanyak 17.504 buah (Direktorat

Jendral Pemerintahan Umum Dan Kementrian Dalam Negeri, 2015). Luas daratan

pulau tersebut adalah 1.910.932,32 km2, selain memiliki daratan atau pulau Indonesia

juga memiliki laut dengan luas 3.273.810 km2. Jika ditotalkan jumlah daratan dan

lautnya maka luas Indonesia adalah 5.184.742 km2. Jumlah garis pantai sepanjang

pulau, baik pulau kecil dan pulau besar di Indonesia adalah 81.000 km (Amanah, 2007,

3).

Daerah sepanjang garis pantai disebut wilayah pesisir. Wilayah pesisir merupakan

daerah peralihan laut dan daratan. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah pesisir

mendapatkan tekanan dari berbagai aktivitas dan fenomena di darat maupun di laut.

Fenomena yang terjadi di daratan antara lain abrasi, banjir dan aktivitas yang dilakukan
oleh masyarakat yaitu pembangunan pemukiman, pembabatan hutan untuk persawahan,

pembangunan tambak dan sebagai yang pada akhirnya memberi dampak pada

ekosistem pantai. Demikian pula fenomena-fenomena di laut, seperti pasang surut air

laut, gelombang badai dan sebagainya (Hastuti, 2012 dalam Pinto, 2015).

Secara umum, aktivitas masyarakat pesisir meliputi aktivitas ekonomi berupa

kegiatan perikanan yang memanfaatkan lahan darat, lahan air dan laut terbuka; kegiatan

pariwisata dan rekreasi yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan objek di bawah

air; kegiatan transportasi laut yang memanfaatkan lahan darat dan alokasi ruang di laut

untuk jalur pelayaran, kolam pelabuhan dan lain-lain; kegiatan industri yang

memanfaatkan lahan darat; kegiatan pertambangan yang memanfaatkan lahan darat dan

laut; kegiatan pembangkit energi yang menggunakan lahan darat dan laut; kegiatan

industri maritim yang memanfaatkan lahan darat dan laut, pemukiman yang

memanfaatkan lahan darat untuk perumahan dan fasilitas pelayanan umum; dan

kegiatan pertanian dan kehutanan yang memanfaatkan lahan darat. Aktivitas ekonomi

yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan

ketergantungannya terhadap kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang ada

disekitarnya, pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam,

lembaga sosial aktivitas, ekonomi pendidikan kesehatan dan lain-lain (Pinto, 2015).

Setiap manusia memiliki perilaku yang berbeda tergantung dari bagaimana

manusia atau individu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kaitannya dengan

lingkungan hidup, perilaku manusia dapat menentukan keberlanjutan kondisi

lingkungan. Perilaku pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kerangka pendekatan yang

digunakan dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah pendekatan keterpaduan dalam


mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut. Menurut Zamlawi (1997)

menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah suatu upaya terpadu untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup, meliputi (1) penataan, (2) pemanfaatan, (3)

pemulihan, (4) pengawasan, dan (5) pengendalian yang terus menerus dilakukan untuk

pelestarian keseimbangan ekologi lingkungan. Keseimbangan ekologi akan menjamin

tercapainya keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan (Pinto, 2015).

2. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas terdapat masalah yang akan dibahas adalah “Bagaimana

karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di wilayah pesisir dan

kepulauan ?”.

3. Tujuan dan Manfaat

3.1. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini untuk mengetahui karakteristik sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat di wilayah pesisir dan kepulauan.

3.2. Manfaat

1. Mahasiswa dapat mengetahui tentang karakteristik sosial masyarakat di

wilayah pesisir dan kepulauan.

2. Mahasiswa dapat mengetahui tentang karakteristik ekonomi masyarakat di

wilayah pesisir dan kepulauan.

3. Mahasiswa dapat mengetahui tentang karakteristik budaya masyarakat di

wilayah pesisir dan kepulauan.


BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Wilayah Pesisir

Menurut UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil menjelaskan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem

darat & laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat & laut. Kemudian menurut Kay dan

Alder (1999) menyatakan bahwa pesisir merupakan wilayah yang unik, karena dalam konteks

bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Lautetu et

al., 2019)

Berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu,

wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang

saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga

dari wilayah laut itu (kewenangan provinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas

administrasi kabupaten/kota.

2. Batas Wilayah dan Zonasi Wilayah Pesisir

Setiap penggunaan pesisir pada wilayah pesisir memiliki pengelolaan yang

berbeda-beda, sehingga penentuan batas pesisir pun harus dilihat dari tujuan penggunaan

pesisir tersebut (Kay, Alder: 2002). Menurut Dahuri, dkk (2013) wilayah pesisir adalah suatu

wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastal line),

maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas tegak lurus terhadap garis pantai

(cross-shore). sejauh ini belum ada kesepakatan, hal ini karena setiap pesisir memiliki

karakteristik lingkungan, sumber daya dan sistem pemerintahan tersendiri (khas) (Lisa

Meidiyanti Lautetu, 2019)


Gambar 1. Zona Wilayah Pesisir
(Sumber: Beatly, Brower dan Schwab. Hal: 14. 2002 dalam Lisa Meidiyanti
Lautetu; 2019)

Adapun penetapan arahan pemanfaatan kawasan pesisir berdasarkan kategori

zona pesisir sebagai berikut.

Tabel 1. Kawasan dan Zonasi Wilayah Pesisir

Zona Zona (Kawasan) UU Kategori Zona


(Kawasan) UU Pengelolaan Pesisir dan Berdasarkan Peraturan
Tata Ruang No. Pulau-Pulau Kecil No. 1 Menteri Kelautan dan
26 Tahun 2007 Tahun 2014, Pasal 11 Perikanan No.
PER.16/MEN/2008 pasal
15

Kawasan Rencana Kawasan 1. Pariwisata


Budidaya Pemanfaatan 2. Pemukiman
Umum 3. Pertanian
4. Hutan
5. Pertambangan
6. Perikanan Budidaya
7. Perikanan Tangkap
8. Industri
9. Infrastruktur umum
10. Pemanfaatan Terbatas
sesuai dengan karakteristik
biogeofisik lingkungan

Kawasan Rencana Kawasan 1. Konservasi Perairan


Lindung Konservasi 2. Konservasi Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil
3. Konservasi Maritim
4. Sempadan Pantai

Kawasan Khusus Rencana Kawasan Strategis 1. Pertahanan Keamanan


Nasional Tertentu 2. Situs Warisan Dunia
3. Perbatasan dan Pulau-
Pulau Kecil Terluar

Rencana Alur 1. Alur Pelayaran


2. Alur Sarana Umum
3. Alur Migrasi Ikan
4. Pipa dan Kabel Bawah
Laut

(Sumber : Suparno; 2009 dalam Lisa Meidiyanti Lautetu; 2019)

Kawasan Pemanfaatan Umum (Multiple/General Use Zone). Didefinisikan

sebagai kawasan dimana aktivitas yang dilakukan manusia ditekankan pada yang

berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya (lahan). Oleh karena itu, pemanfaatannya

tidak terbatas hanya pada satu aktivitas saja. Contoh aktivitas pemanfaatan yang timbul di

dalam zona ini adalah konsesi pemanfaatan hutan yang berkelanjutan, usaha penangkapan

ikan skala komersial, taman/kawasan industri yang bergerak dalam pembangunan

infrastruktur (misalnya: jaringan rel kereta/jalan raya, fasilitas pengolahan limbah,

penerangan listrik, dan sebagainya), kegiatan di bidang pertanian (penanaman kelapa sawit,

padi sawah dengan sistem irigasi ekstensif, dan sebagainya). Sifat dan intensitas aktivitas

manusia di dalam wilayah ini dikontrol melalui sistem perizinan.

Kawasan Konservasi. Didefinisikan sebagai wilayah yang memiliki atribut

ekologi yang khusus atau luar biasa, karena memiliki biodiversitas yang tinggi, dan biasanya

memiliki spesies-spesies endemik, langka maupun yang terancam punah. Wilayah tersebut

terdiri dari habitat yang belum terjamah atau masih asli yang luas yang memiliki posisi yang

penting baik dalam skala lokal, regional, nasional atau bahkan dunia.
Seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Konservasi Alam dan

Ekosistem (UU No. 5, 1990), enam sub-zona telah ditetapkan di dalam klasifikasi umum

Zona Konservasi. Daerah suaka laut, suaka alam maupun daerah perlindungan ikan

merupakan prioritas tertinggi untuk diproteksi, sedangkan sub-sub zona yang lainnya

mendapatkan proteksi yang lebih rendah tergantung pada kondisi maupun kasusnya.

Dengan demikian memungkinkan pemanfaatan oleh manusia secara terkontrol

(misalnya: pengembangan wisata dan rekreasi yang ramah lingkungan, kegiatan perikanan

pada skala tradisional). Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Kawasan yang dimanfaatkan

untuk zona pertahanan keamanan, situs warisan dunia, perbatasan dan pulau-pulau kecil

terluar. Kawasan Alur. Kawasan ini khususnya diperuntukkan bagi perairan yang wilayahnya

merupakan alur pelayaran, alur sarana umum, alur migrasi ikan, pipa dan kabel bawah laut.

Kedudukan Rencana Zonasi. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah suatu

pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem,

sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu (integrated) guna mencapai

pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Dalam kontek ini, keterpaduan

mengandung tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan

secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab

antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal

integration); dan antar tingkat pemerintahan mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten,

provinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan dari sudut pandang

keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan

atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi,

teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan.

Definisi Dokumen Rencana- Rencana Pengelolaan Pesisir (UU no 27 tahun

2007). Rencana Strategis: Rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk kawasan
perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta

target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional.

Rencana Zonasi: Rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap tiap satuan

perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan

yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang

dapat hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Rencana Pengelolaan: Rencana yang

memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka rangka

mengoordinasikan pengambil keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah

mengenai kesepakatan penggunaan sumberdaya atau kegiatan pembangunan di zona yang

ditetapkan. Rencana Aksi: Tindak lanjut rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau

kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa yang

diperlukan oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya

guna mencapai hasil pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau pulau kecil di setiap kawasan

perencanaan.
Gambar 3. Framework Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu
(Sumber : Suparno, 2009)

Klasifikasi Kawasan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan UU

No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dapat dilihat

pada ilustrasi gambar di bawah ini.

Gambar 2. Contoh Ilustrasi Klasifikasi Kawasan dan pembagian kawasan


menjadi zona di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(Sumber: Subandono, 2008 dalam Lisa Meidiyanti Lautetu, 2019)

3. Karakteristik Masyarakat Pesisir


Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan melakukan aktivitas

sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Dengan

demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi

dengan potensi dan kondisi sumber daya pesisir dan lautan. Masyarakat pesisir adalah

sekumpulan masyarakat (nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, dan lan-lain) yang

hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang

khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Dewi

Fatmasari)

Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada

dalam posisi marginal. Selain itu banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh orang

luar tentang karakteristik masyarakat pesisir. Mereka mempunyai cara berbeda dalam aspek

pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, dan struktur sosialnya. Sementara itu di balik

kemarjinalan masyarakat pesisir tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah

yang hadir (Dewi Fatmasari)

Ciri khas wilayah pesisir jika ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir

dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya

intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan,

seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan air laut yang

menghasilkan ekosistem yang khas. Ditinjau dari aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut

serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering memiliki sifat terbuka (Dewi

Fatmasari)

Karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir yaitu bahwa sebagian besar pada

umumnya masyarakat pesisir bermata pencaharian di sektor kelautan seperti nelayan,

pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut. Dari segi tingkat pendidikan

masyarakat pesisir sebagian besar masih rendah. Serta kondisi lingkungan pemukiman
masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh.

Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraan

rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar

guna pemenuhan kebutuhan masyarakat pesisir (Dewi Fatmasari)

Masyarakat di kawasan pesisir Indonesia sebagian besar berprofesi sebagai

nelayan yang diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Karakteristik

masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamis sumberdaya yang digarapnya,

sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal, nelayan harus berpindah-

pindah. Selain itu, resiko usaha yang tinggi menyebabkan masyarakat nelayan hidup dalam

suasana alam yang keras dimana selalu diliputi oleh adanya ketidakpastian dalam

menjalankan usahanya (Dewi Fatmasari)

Kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir merupakan kelompok

masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial (khususnya dalam hal akses

pendidikan dan pelayanan kesehatan), dan kultural dibandingkan dengan kelompok

masyarakat lain. Kondisi masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan di berbagai kawasan

pada umumnya ditandai oleh adanya beberapa ciri, seperti kemiskinan, keterbelakangan

sosial-budaya, rendahnya sumber daya manusia (SDM) (Dewi Fatmasari)

Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan,

ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang

surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (Beatly et. al., 1994 dalam Dahuri et.

al.,1996). Wilayah ini merupakan tempat menumpuknya berbagai bahan baik berasal dari

hulu atau setempat akibat berbagai macam aktivitas manusia. Oleh karena itu, dengan adanya

pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut secara intensif, optimal dan terkendali dapat

mendorong adanya pertumbuhan ekonomi lokal yang tinggi serta dapat memberikan efek

keuntungan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat pesisir. Namun pada kenyataannya,
sampai sekarang wilayah pesisir dan laut belum menjadi prioritas utama bagi pertumbuhan

ekonomi secara nasional dan belum dapat untuk memberikan kesejahteraan bagi

masyarakatnya, sehingga pada saat ini dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat pesisir

masih berada dibawah garis kemiskinan (Dewi Fatmasari)

4. Ciri-ciri Masyrakat Pesisir

Pada umumnya masyarakat yang hidup di daerah pantai biasa disebut sebagai

masyarakat pesisir. Sebagai masyarakat yang hidup dekat dengan wilayah perairan maka

mata pencaharian mereka pada umunya adalah nelayan. Karakteristik masyarakat pesisir pada

umumnya adalah keras dan bersifat terbuka.

Fachrudin (1976) dalam Kusnadi (2010) dalam Safitri (2013), sebagai suatu

kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau

wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di wilayah pesisir, masyarakat nelayan

merupakan bagian dari kinstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa

di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermata-pencaharian sebagai seorang nelayan.

Secara sosial budaya dijelaskan bahwa masyarakat pesisir tersebut memiliki ciri-

ciri yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Adapun ciri-ciri tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Terdapat interaksi sosial yang intensif antara warga masyarakat, yang ditandai

dengan efektifnya komunikasi tatap muka sehingga terjadi hubungan yang

sangat erat antara satu dan lainnya. Hal tersebut membangun hubungan

kekeluargaan yang berdasarkan atas simpati dan bukan berdasarkan kepada

pertimbangan rasional yang berorientasi kepada untung dan rugi;

b. Dalam mencari nafkah mereka menonjolkan sifat gotong royong dan saling

membantu. Hal tersebut ditandai dengan mekanisme menangkap ikan baik


dalam cara penangkapan maupun dalam penentuan daerah operasi (Dirjen

Kebudayaan Depdikbud , 1997 dalam (Fama, 2016)).

5. Ketergantungan pada Musim

Karakteristik lain yang sangat menyolok di kalangan masyarakat pesisir,,

khususnya masyarakat nelayan, adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan

pada musim ini semakin besar bagi para nelayan kecil. Pada musim penangkapan para

nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi

berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.

Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi sosial ekonomi

masyarakat pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu

membeli barang-barang yang mahal seperti kursi-meja, lemari, dan sebagainya. Sebaliknya,

pada musim paceklik pendapatan mereka menurun drastis, sehingga kehidupan mereka juga

semakin buruk.

Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari.

Pada satu hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya

bisa saja “kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga sangat

dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan (fishing

ground). Di daerah yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa, misalnya,

sudah terjadi kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil tangkapan

para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan

mereka.

Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang

sangat umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani tambak, yakni pola hubungan

yang bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil,
buruh nelayan, petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang

dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang

pengumpul (tauke). Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak

juragan atau pedagang. Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya

kepada pedagang atau juragan tersebut. Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja

sangat mudah berubah menjadi alat dominansi dan eksploitasi.

Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani

tambak adalah stratifikasi yang berdasarkan penguasaan alat produksi. Pada masyarakat

nelayan, umumnya terdapat tiga strata kelompok yaitu :

1) Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor

lengkap dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar

atau modern. Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan

kepada orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa

sampai dua atau tiga puluhan.

2) Strata kedua adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor tempel. Pada strata

ini biasanya pemilik tersebut ikut melaut memimpin kegiatan penangkapan. Buruh

yang ikut mungkin ada tapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.

3) Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan kecil bisa juga

merangkap menjadi buruh, tetapi banyak pula buruh ini yang tidak memiliki sarana

produksi apa-apa, hanya tenaga mereka itu sendiri.

Seringkali nelayan besar juga merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun

demikian, biasanya ada pula pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang

ini merupakan kelas tersendiri. Mereka biasanya menempati posisi yang dominan ketika

berhadapan dengan para nelayan kecil. Dalam masyarakat petani tambak, stratifikasi sosial

berdasarkan penguasaan alat produksi ini juga menonjol. Mirip dengan strata sosial yang ada
pada masyarakat nelayan, masyarakat petani tambak juga terdiri dari 3 strata sosial yang

dominan, yaitu :

1. Strata atas adalah mereka yang menguasai tambak yang luas,

2. Strata menengah yang memiliki luas tambak sedang/kecil, dan

3. Strata paling bawah adalah para pengelola/buruh.

Bagi para nelayan, penguasaan alat produksi tadi sangat berhubungan dengan

daya jelajah mereka dalam melakukan penangkapan. Mereka yang beroperasi dengan

menggunakan kapal motor, misalnya, dapat melakukan penangkapan dan sekaligus

pemasaran di daerah-daerah yang sangat jauh. Sementara nelayan kecil yang menggunakan

perahu tanpa motor hanya mampu beroperasi di daerah yang dekat atau daerah pantai/pesisir

saja.

Sifat usaha penangkapan juga menyebabkan munculnya pola tertentu dalam hal

kebersamaan antar anggota keluarga nelayan. Bagi para nelayan kecil, misalnya, seringkali

mereka berangkat sore hari kemudian kembali besok harinya. Ada juga yang berangkat pagi-

pagi sekali, kemudian kembali pada sore atau malam harinya. Sementara mereka yang

beroperasi dengan kapal motor bisa meninggalkan rumah berminggu-minggu bahkan

berbulan-bulan.

Aspek lain yang perlu diperhatikan pada masyarakat pantai adalah aktivitas kaum

wanita dan anak-anak. Pada masyarakat ini, umumnya wanita dan anak-anak ikut bekerja

mencari nafkah. Kaum wanita (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai

pedagang ikan (pengencer), baik pengencer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga

melakukan pengolahan ikan, baik kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai

buruh pada pengusaha pengolahan ikan. Sementara itu, anak laki-laki seringkali sudah

dilibatkan dalam kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anak-anak nelayan

banyak yang tidak sekolah.


6. Aspek Budaya

Dalam kajian budaya atau masyarakat terdapat satuan yang disebut sebagai sistem

budaya, serta beragam konsep yang mendasari perilaku dan hasil perilaku. Sistem budaya

inilah yang mendasari seluruh kehidupan manusia. Melakukan pengkajian terhadap perilaku

dan karya suatu komunitas masyarakat perlu dilakukan untuk memahami sistem budaya yang

dianut (Tajrid, 2012). Kajian perilaku meliputi pengenalan terhadap semua komponen

budaya, baik berupa peralatan dan hal lain yang dipercaya membawa kebaikan untuk

kelangsungan hidup.

Budaya dapat dipahami sebagai hasil kegiatan manusia dalam hubungannya

dengan kehidupan, karya, waktu, alam lingkungan, dsb. Kebudayaan adalah keseluruhan

sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang

dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat 2009) dalam (Trahutami,

2013).

Hampir semua tindakan oleh manusia adalah bentuk kebudayaan, karena hanya

sedikit tindakan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan

belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, tindakan refleks, dan kelakuan membabi buta

(Trahutami, 2013).

Maran (2007) dalam Disnawati (2013) berpendapat bahwa kebudayaan sebagai

ciptaan manusia adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Manusia dan kebudayaan

memiliki interaksi dan menjadi pondasi atau dasar segala yang bersangkutan dengan proses

kehidupan manusia. Manusia yang menciptakan kebudayaan namun kemudian kebudayaan

yang membentuk manusia) (Fama, 2016).

7. Karakteristik Permukiman Nelayan


Secara umum permukiman nelayan dapat digambarkan sebagai suatu suatu

permukiman yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat yang memiliki

pekerjaan sebagai nelayan. Sedangkan pekerjaan nelayan itu sendiri adalah pekerjaan yang

memiliki ciri utama adalah mencari ikan di perairan. Sedangkan menurut Keputusan

Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Nomor 43/KPTS/CK/1999

tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Perumahan Nelayan, perumahan nelayan merupakan

kelompok rumah suatu kawasan dengan luas tertentu yang dihuni dihuni oleh masyarakat

yang sebagian besar masyarakatnya menangkap ikan. Kawasan perumahan nelayan ini

dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memadai untuk kelangsungan hidup dan

penghidupan para keluarga nelayan

Kawasan permukiman nelayan merupakan merupakan bagian dari sistem

permukiman perkotaan atau perdesaan yang mempunyai akses terhadap kegiatan

perkotaan/perdesaan lainnya yang dihubungkan dengan jaringan transportasi. Kawasan

permukiman nelayan tersusun atas satuan-satuan lingkungan perumahan yang dilengkapi

dengan prasarana dan sarana lingkungan yang sesuai dengan besaran satuan lingkungan yang

sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kawasan perumahan nelayan haruslah mempunyai ataupun memenuhi prinsip-

prinsip layak huni yaitu memenuhi persyaratan teknis, persyaratan administrasi, maupun

persyaratan lingkungan sesuai dengan undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang

Perumahan Dan Permukiman serta biaya perumahan dapat dijangkau oleh masyarakat.

Persyaratan teknis berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan bangunan dan keandalan

sarana serta prasarana lingkungannya. Persyaratan ekologis berkaitan dengan keserasian dan

keseimbangan baik antara lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial budaya,

termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Persyaratan administratif

berkaitan dengan pemberian usaha, izin lokasi dan izin mendirikan bangunan serta pemberian
hak atas tanah. Persyaratan lingkungan meliputi pemantauan lingkungan dan pengelolaan

lingkungan. Pemantauan lingkungan bertujuan untuk mengetahui dampak negatif yang terjadi

selama pelaksanaan pembangunan rumah atau perumahan, sedangkan pengelolaan

lingkungan bertujuan untuk dapat mengambil tindakan koreksi bila terjadi dampak negatif

dari pembangunan rumah atau perumahan.

Berdasarkan karakteristik tersebut diatas maka dapat disimpulkan karakteristik

permukiman nelayan secara umum seperti Tabel berikut:

Tabel 2. Karakteristis Permukiman Nelayan

No. Parameter Karakteristik

1. Umum Merupakan permukiman yang terdiri dari satuan-satuan


perumahan yang memiliki berbagai sarana dan prasarana
yang mendukung kehidupan dan penghidupan
penghuninya.

2. Lokasi Geografis Berdekatan atau berbatasan langsung dengan perairan


dan memiliki akses yang tinggi terhadap kawasan
perairan.

3. Pekerjaan Penduduk mayoritas dari jumlah penduduk adalah nelayan dan


pekerjaan lainnya yang terkait dengan pengolahan dan
penjualan ikan

4. Sarana Memiliki berbagai sarana yang mendukung kehidupan


dan penghidupan penduduknya sebagai nelayan
khususnya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan
eksplorasi ikan dan pengolahan ikan

5. Prasarana Memiliki berbagai prasarana yang mendukung


kehidupan dan penghidupan penduduknya sebagai
nelayan khususnya dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan
eksplorasi ikan dan pengolahan ikan

Sumber : DPU Kabupaten Padang Paripurna; 2007 dalam Masri 2010

Kondisi rumah dilingkungan permukiman nelayan dapat dikelompokkan menjadi

tiga macam yaitu :


1) Rumah Permanen dengan ciri-cirinya

a. Atap rumah memakai genteng beton, genteng biasa, asbes, seng, kayu dan sirap.

b. Dinding rumah terbuat dari bahan batu bata atau batako yang diplester.

c. Lantai rumah memakai ubin biasa, keramik, semen/plester.

2) Rumah Semi Permanen dengan ciri-cirinya

a. Atap rumah terbuat dari genteng, beton, asbes, seng, dan kayu

b. Dinding terbuat dari setengah dinding batu bata baik diplester atau tidak

c. Lantai rumah memakai beton rabat atau beton biasa

3) Rumah temporer dengan ciri-cirinya

a. Atap rumah memakai seng, daun rumbia dan sejenisnya

b. Dinding memakai bambu atau papan kayu

c. Lantai rumah terbuat dari bahan kayu atau bambu atau tanah yang dipadatkan.

Fasilitas penunjang di lingkungan nelayan adalah sebagai berikut :

a) Prasarana lingkungan meliputi jalan kendaraan bermotor dan jalan lingkungan,

saluran air kotor, air bersih dan MCK

b) Fasilitas sosial meliputi balai desa, gardu jaga, peribadatan, perbelanjaan,

pelayanan kesehatan, tempat bermain, dan tempat berolahraga.

c) Fasilitas perekonomian meliputi tempat penjemuran ikan, tempat pemrosesan

ikan, dermaga pelabuhan kapal.

d) Fasilitas pendukung meliputi fasilitas pariwisata dan sebagainya.

Dilihat dari geografis menunjukkan permukiman nelayan merupakan daerah yang

mempunyai hasil potensi ikan yang cukup tinggi. Adapun kondisi lingkungannya cukup

mempunyai karakteristik tertentu dengan unsur utama berupa :

1. Tempat penjemuran ikan

2. Tempat penambatan perahu


3. Tempat penjualan/pelelangan ikan

4. Tempat permukiman masyarakat nelayan.

Kondisi tersebut berbeda-beda hal ini berkaitan dengan pembinaan suatu daerah.

Namun demikian perlu diketahui bahwa nelayan didalam melakukan kegiatan sehari-hari

masih tradisionil yaitu masih tergantung pada alam sehingga dampaknya terlihat pada siklus

kehidupannya yang khas bagi masyarakat nelayan.

8. Kehidupan Sosial Masyarakat Nelayan

Sebagian besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dan

nelayan buruh. Mereka adalah penyumbang utama kuantitas produksi perikanan tangkap

nasional. Walaupun demikian, posisi sosial mereka tetap marginal dalam proses transaksi

ekonomi yang timpang dan eksploitatif sehingga sebagai pihak produsen, nelayan tidak

memperoleh bagian pendapatan yang besar. Pihak yang paling beruntung adalah para

pedagang ikan berskala besar atau pedagang perantara. Para pedagang inilah yang

sesungguhnya menjadi penguasa ekonomi di desa-desa nelayan. Kondisi demikian terus

berlangsung menimpa nelayan tanpa harus mengetahui bagaimana mengakhirinya (Dewi

Fatmasari)

Hal ini telah melahirkan sejumlah masalah sosial ekonomi yang krusial pada

masyarakat nelayan. Namun demikian, belenggu struktural dalam aktivitas perdagangan

tersebut bukan merupakan satu-satunya faktor yang menimbulkan persoalan sosial di

kalangan nelayan, faktor-faktor lain yang sinergi, seperti semakin meningkatnya kelangkaan

sumberdaya perikanan, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta keterbatasan kualitas dan

kapasitas teknologi penangkapan, rendahnya kualitas sumber daya manusia, ketimpangan

akses terhadap sumberdaya perikanan, serta lemahnya proteksi kebijakan dan dukungan

fasilitas pembangunan untuk masyarakat nelayan masih menjadi faktor yang menimbulkan

persoalan (Dewi Fatmasari)


Kondisi kesejahteraan sosial yang memburuk di kalangan nelayan sangat

dirasakan di desa-desa pesisir yang perairannya mengalami overfishing (tangkap lebih)

sehingga hasil tangkap atau pendapatan yang diperoleh nelayan bersifat fluktuatif, tidak pasti,

dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Dalam situasi demikian, rumah tangga nelayan

akan senantiasa berhadapan dengan tiga persoalan yang sangat krusial dalam kehidupan

mereka, yaitu (1) pergulatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, (2) tersendat-

sendatnya pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anaknya, dan (3) terbatasnya akses mereka

terhadap jaminan kesehatan (Dewi Fatmasari)

Ketiga akses diatas merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar dalam

rumah tangga nelayan, yang sering tidak terpenuhi secara optimal. Dengan realitas kehidupan

yang demikian, sangat sulit merumuskan dan membangun kualitas sumberdaya masyarakat

nelayan, agar mereka memiliki kemampuan optimal dalam mengelola potensi sumber daya

pesisir laut yang ada. Ketiadaan atau kekurangan kemampuan kreatif masyarakat nelayan

untuk mengatasi sosial ekonomi di daerahnya akan mendorong mereka masuk perangkap

keterbelakangan yang berkepanjangan sehingga dapat mengganggu pencapaian tujuan

kebijakan pembangunan di bidang kelautan dan perikanan. Untuk itu, perlu dipikirkan solusi

strategi alternatif untuk mengatasi persoalan kehidupan sosial-ekonomi yang dihadapi oleh

masyarakat nelayan. Dalam hal ini, program jaminan sosial (social security) yang dirancang

secara formal merupakan salah satu strategi yang patut dipertimbangkan untuk mengatasi

kemelut sosial ekonomi yang menimpa kehidupan dari masyarakat nelayan (Dewi Fatmasari)

Sekalipun negara atau pemerintah telah mengimplementasikan sejumlah

kebijakan untuk membangun sektor perikanan tangkap dan pemberdayaan ekonomi produktif

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai masih belum

maksimal. Kalau kita perhatikan, selama ini spirit kebijakan nasional dalam pembangunan

perikanan sejak awal 1970-an dan masih terus diberlakukan hingga saat ini yang
mengutamakan peningkatan produksi, mengakibatkan kelangkaan sumberdaya perikanan,

kerusakan ekosistem pesisir laut, kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Kebijakan demikian

tidak disertai atau dikawal dengan kebijakan pembanding tentang bagaimana masyarakat

nelayan harus menjaga keberlanjutan sumberdaya kelautan. Sebenarnya, kebijakan ini

memberi keuntungan ekonomi bagi para nelayan bermodal besar yang secara kuantitatif

berjumlah sedikit, namun pada akhirnya semua nelayan dari berbagai kategori usaha

menghadapi persoalan yang sama (Dewi Fatmasari)

Demikian juga kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan yang

selama ini diterapkan. Kalau dianalogikan dengan orang memancing, kebijakan tersebut

hanya memberi ikan kepada nelayan, tetapi tidak memberikan jaminan keberlanjutan

bagaimana seandainya alat pemancing itu rusak. Hal ini dapat ditunjukkan dengan lemahnya

dukungan kebijakan lembaga-lembaga perbankan resmi untuk penyaluran kredit dengan

bunga rendah kepada masyarakat nelayan secara berkesinambungan dan konsisten. Pada

dasarnya, dukungan ini sangat dibutuhkan nelayan untuk menjaga kelanjutan usaha

perikanannya (Dewi Fatmasari)

Gejala fluktuasi diatas mencerminkan belum adanya payung kebijakan

pemberdayaan yang bersifat nasional dan menjadi referensi para penentu keputusan setingkat

menteri sehingga hal demikian memberikan rasa aman bagi lembaga perbankan untuk bekerja

sama dengan nelayan dalam transaksi bantuan kredit (Dewi Fatmasari)

Disamping itu, tidak adanya pihak-pihak yang membantu secara total dan

bersungguh-sungguh dalam membangun masyarakat nelayan, mendorong masyarakat

nelayan mengembangkan strategi kemandirian berdasarkan kemampuan sumberdaya yang

dimiliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi Kemandirian ini

membangkitkan sikap-sikap otonom di kalangan nelayan merupakan modal sosial yang

sangat berharga sebagai basis kelangsungan hidup mereka. Manifestasi dari sikap-sikap
otonom nelayan terwujud dalam konstruksi pranata sosial, seperti perkumpulan simpan

pinjam, arisan, dan jaringan sosial berfungsi untuk menggalang kemampuan sumberdaya

ekonomi kolektif dalam relasi timbal balik sehingga eksistensi masyarakat nelayan tetap

terjamin (Dewi Fatmasari)

Jaringan patron-klien merupakan wadah dan sarana yang menyediakan sumber

daya jaminan sosial secara tradisional untuk menjaga kelangsungan hidup nelayan. Kekuatan

hubungan patron-klien ini dapat dilihat pada pola-pola relasi sosial antara (1) nelayan pemilik

dan nelayan buruh, (2) nelayan pemilik dengan penyedia modal usaha, (pedagang

ikan/pedagang perantara, (3) nelayan (nelayan pemilik dan nelayan buruh) dengan pemilik

toko yang menyediakan kebutuhan hidup dan kebutuhan melaut. Jika hasil tangkapan nelayan

diberikan dalam bentuk ikan, biasanya hubungan patron-klien antara nelayan buruh dan

pedagang ikan juga intensif (Dewi Fatmasari)

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
2. Saran
Daftar Pustaka

Amanah, S. (2007). Kearifan Lokal dalam Pengembangan Masyarakat Pesisir,. CV


Citra Praya.
Dewi, A. A. I. A. A. (2018, Juni 21). Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis
Masyarakat: Community Based Development, 18, 163-182.
Direktorat Jendral Pemerintahan Umum Dan Kementrian Dalam Negeri. (2015). Data
BPS.
Fama, A. (2016, Desember). KOMUNITAS MASYARAKAT PESISIR DI TAMBAK
LOROK, SEMARANG, 11, 65-75.
Fatmasari, D. (2015). Analisis Sosial Ekomomi Dan Budaya Masyarakat Pesisir Desa
Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupatem Cirebon.
Lautetu, L. M., Kumurur, V. A., & Warouw, F. (2019). Karakteristik Permukiman
Masyarakat Pada Kawasan Pesisir Kecamatan Bunaken, 6, 126-136.
Pinto, Z. (2015, Desember 30). Kajian Perilaku Masyarakat Pesisir yang
Mengakibatkan Kerusakan Lingkungan, 3, 163-174.

Anda mungkin juga menyukai