BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis diapit oleh dua benua
dan samudra yaitu benua Asia dan benua Australia serta samudra Hindia dan samudra
Pasifik. Posisi Indonesia menjadikan Indonesia dikaruniai kekayaan dan sumber daya
laut yang sangat berlimpah. Sumber daya yang berlimpah baik sumber daya hayati atau
nonhayati, yang dapat berupa lingkungan di sekitar laut. Dengan demikian Indonesia
memiliki karakter yang unik yaitu terdapatnya jutaan potensi sumber daya alam yang
menurut data statistik yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan
Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2015 adalah sebanyak 17.504 buah (Direktorat
Jendral Pemerintahan Umum Dan Kementrian Dalam Negeri, 2015). Luas daratan
pulau tersebut adalah 1.910.932,32 km2, selain memiliki daratan atau pulau Indonesia
juga memiliki laut dengan luas 3.273.810 km2. Jika ditotalkan jumlah daratan dan
lautnya maka luas Indonesia adalah 5.184.742 km2. Jumlah garis pantai sepanjang
pulau, baik pulau kecil dan pulau besar di Indonesia adalah 81.000 km (Amanah, 2007,
3).
Daerah sepanjang garis pantai disebut wilayah pesisir. Wilayah pesisir merupakan
daerah peralihan laut dan daratan. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah pesisir
mendapatkan tekanan dari berbagai aktivitas dan fenomena di darat maupun di laut.
Fenomena yang terjadi di daratan antara lain abrasi, banjir dan aktivitas yang dilakukan
oleh masyarakat yaitu pembangunan pemukiman, pembabatan hutan untuk persawahan,
pembangunan tambak dan sebagai yang pada akhirnya memberi dampak pada
ekosistem pantai. Demikian pula fenomena-fenomena di laut, seperti pasang surut air
laut, gelombang badai dan sebagainya (Hastuti, 2012 dalam Pinto, 2015).
kegiatan perikanan yang memanfaatkan lahan darat, lahan air dan laut terbuka; kegiatan
pariwisata dan rekreasi yang memanfaatkan lahan darat, lahan air, dan objek di bawah
air; kegiatan transportasi laut yang memanfaatkan lahan darat dan alokasi ruang di laut
untuk jalur pelayaran, kolam pelabuhan dan lain-lain; kegiatan industri yang
memanfaatkan lahan darat; kegiatan pertambangan yang memanfaatkan lahan darat dan
laut; kegiatan pembangkit energi yang menggunakan lahan darat dan laut; kegiatan
industri maritim yang memanfaatkan lahan darat dan laut, pemukiman yang
memanfaatkan lahan darat untuk perumahan dan fasilitas pelayanan umum; dan
kegiatan pertanian dan kehutanan yang memanfaatkan lahan darat. Aktivitas ekonomi
ketergantungannya terhadap kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang ada
disekitarnya, pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam,
lembaga sosial aktivitas, ekonomi pendidikan kesehatan dan lain-lain (Pinto, 2015).
kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi
menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah suatu upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup, meliputi (1) penataan, (2) pemanfaatan, (3)
pemulihan, (4) pengawasan, dan (5) pengendalian yang terus menerus dilakukan untuk
2. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas terdapat masalah yang akan dibahas adalah “Bagaimana
kepulauan ?”.
3.1. Tujuan
3.2. Manfaat
PEMBAHASAN
Menurut UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil menjelaskan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem
darat & laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat & laut. Kemudian menurut Kay dan
Alder (1999) menyatakan bahwa pesisir merupakan wilayah yang unik, karena dalam konteks
bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Lautetu et
al., 2019)
wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga
dari wilayah laut itu (kewenangan provinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas
administrasi kabupaten/kota.
berbeda-beda, sehingga penentuan batas pesisir pun harus dilihat dari tujuan penggunaan
pesisir tersebut (Kay, Alder: 2002). Menurut Dahuri, dkk (2013) wilayah pesisir adalah suatu
wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastal line),
maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas tegak lurus terhadap garis pantai
(cross-shore). sejauh ini belum ada kesepakatan, hal ini karena setiap pesisir memiliki
karakteristik lingkungan, sumber daya dan sistem pemerintahan tersendiri (khas) (Lisa
sebagai kawasan dimana aktivitas yang dilakukan manusia ditekankan pada yang
tidak terbatas hanya pada satu aktivitas saja. Contoh aktivitas pemanfaatan yang timbul di
dalam zona ini adalah konsesi pemanfaatan hutan yang berkelanjutan, usaha penangkapan
penerangan listrik, dan sebagainya), kegiatan di bidang pertanian (penanaman kelapa sawit,
padi sawah dengan sistem irigasi ekstensif, dan sebagainya). Sifat dan intensitas aktivitas
ekologi yang khusus atau luar biasa, karena memiliki biodiversitas yang tinggi, dan biasanya
memiliki spesies-spesies endemik, langka maupun yang terancam punah. Wilayah tersebut
terdiri dari habitat yang belum terjamah atau masih asli yang luas yang memiliki posisi yang
penting baik dalam skala lokal, regional, nasional atau bahkan dunia.
Seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Konservasi Alam dan
Ekosistem (UU No. 5, 1990), enam sub-zona telah ditetapkan di dalam klasifikasi umum
Zona Konservasi. Daerah suaka laut, suaka alam maupun daerah perlindungan ikan
merupakan prioritas tertinggi untuk diproteksi, sedangkan sub-sub zona yang lainnya
mendapatkan proteksi yang lebih rendah tergantung pada kondisi maupun kasusnya.
(misalnya: pengembangan wisata dan rekreasi yang ramah lingkungan, kegiatan perikanan
pada skala tradisional). Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Kawasan yang dimanfaatkan
untuk zona pertahanan keamanan, situs warisan dunia, perbatasan dan pulau-pulau kecil
terluar. Kawasan Alur. Kawasan ini khususnya diperuntukkan bagi perairan yang wilayahnya
merupakan alur pelayaran, alur sarana umum, alur migrasi ikan, pipa dan kabel bawah laut.
pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem,
mengandung tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan
secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab
antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal
integration); dan antar tingkat pemerintahan mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten,
provinsi, sampai tingkat pusat (vertical integration). Keterpaduan dari sudut pandang
atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu yang melibatkan bidang ilmu: ekonomi, ekologi,
2007). Rencana Strategis: Rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk kawasan
perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta
target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional.
Rencana Zonasi: Rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap tiap satuan
perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan
yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang
dapat hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Rencana Pengelolaan: Rencana yang
memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka rangka
ditetapkan. Rencana Aksi: Tindak lanjut rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa yang
diperlukan oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya
guna mencapai hasil pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau pulau kecil di setiap kawasan
perencanaan.
Gambar 3. Framework Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu
(Sumber : Suparno, 2009)
No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dapat dilihat
sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Dengan
demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi
dengan potensi dan kondisi sumber daya pesisir dan lautan. Masyarakat pesisir adalah
sekumpulan masyarakat (nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, dan lan-lain) yang
hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang
khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir (Dewi
Fatmasari)
dalam posisi marginal. Selain itu banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh orang
luar tentang karakteristik masyarakat pesisir. Mereka mempunyai cara berbeda dalam aspek
pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, dan struktur sosialnya. Sementara itu di balik
kemarjinalan masyarakat pesisir tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah
Ciri khas wilayah pesisir jika ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang pesisir
dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya bersifat khas sehingga adanya
intervensi manusia pada wilayah tersebut dapat mengakibatkan perubahan yang signifikan,
seperti bentang alam yang sulit diubah, proses pertemuan air tawar dan air laut yang
menghasilkan ekosistem yang khas. Ditinjau dari aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut
serta sumberdaya yang terkandung di dalamnya sering memiliki sifat terbuka (Dewi
Fatmasari)
Karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir yaitu bahwa sebagian besar pada
pembudidaya ikan, penambangan pasir dan transportasi laut. Dari segi tingkat pendidikan
masyarakat pesisir sebagian besar masih rendah. Serta kondisi lingkungan pemukiman
masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh.
Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif berada dalam tingkat kesejahteraan
rendah, maka dalam jangka panjang tekanan terhadap sumberdaya pesisir akan semakin besar
nelayan yang diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Karakteristik
sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal, nelayan harus berpindah-
pindah. Selain itu, resiko usaha yang tinggi menyebabkan masyarakat nelayan hidup dalam
suasana alam yang keras dimana selalu diliputi oleh adanya ketidakpastian dalam
masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial (khususnya dalam hal akses
masyarakat lain. Kondisi masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan di berbagai kawasan
pada umumnya ditandai oleh adanya beberapa ciri, seperti kemiskinan, keterbelakangan
Wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan,
ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang
surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (Beatly et. al., 1994 dalam Dahuri et.
al.,1996). Wilayah ini merupakan tempat menumpuknya berbagai bahan baik berasal dari
hulu atau setempat akibat berbagai macam aktivitas manusia. Oleh karena itu, dengan adanya
pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut secara intensif, optimal dan terkendali dapat
mendorong adanya pertumbuhan ekonomi lokal yang tinggi serta dapat memberikan efek
keuntungan yang besar bagi kesejahteraan masyarakat pesisir. Namun pada kenyataannya,
sampai sekarang wilayah pesisir dan laut belum menjadi prioritas utama bagi pertumbuhan
ekonomi secara nasional dan belum dapat untuk memberikan kesejahteraan bagi
masyarakatnya, sehingga pada saat ini dapat dilihat bahwa sebagian besar masyarakat pesisir
Pada umumnya masyarakat yang hidup di daerah pantai biasa disebut sebagai
masyarakat pesisir. Sebagai masyarakat yang hidup dekat dengan wilayah perairan maka
mata pencaharian mereka pada umunya adalah nelayan. Karakteristik masyarakat pesisir pada
Fachrudin (1976) dalam Kusnadi (2010) dalam Safitri (2013), sebagai suatu
kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau
wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di wilayah pesisir, masyarakat nelayan
merupakan bagian dari kinstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa
Secara sosial budaya dijelaskan bahwa masyarakat pesisir tersebut memiliki ciri-
ciri yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Adapun ciri-ciri tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Terdapat interaksi sosial yang intensif antara warga masyarakat, yang ditandai
sangat erat antara satu dan lainnya. Hal tersebut membangun hubungan
b. Dalam mencari nafkah mereka menonjolkan sifat gotong royong dan saling
pada musim ini semakin besar bagi para nelayan kecil. Pada musim penangkapan para
nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut menjadi
Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu
membeli barang-barang yang mahal seperti kursi-meja, lemari, dan sebagainya. Sebaliknya,
pada musim paceklik pendapatan mereka menurun drastis, sehingga kehidupan mereka juga
semakin buruk.
Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari.
Pada satu hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya
bisa saja “kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga sangat
dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan (fishing
ground). Di daerah yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa, misalnya,
sudah terjadi kelebihan tangkap (overfishing). Hal ini mengakibatkan volume hasil tangkapan
para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan
mereka.
Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang
sangat umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani tambak, yakni pola hubungan
yang bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil,
buruh nelayan, petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang
dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para pedagang
pengumpul (tauke). Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terikat dengan pihak
juragan atau pedagang. Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan menjual produknya
kepada pedagang atau juragan tersebut. Pola hubungan yang tidak simetris ini tentu saja
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani
tambak adalah stratifikasi yang berdasarkan penguasaan alat produksi. Pada masyarakat
1) Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor
lengkap dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan besar
atau modern. Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan diserahkan
kepada orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa
2) Strata kedua adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor tempel. Pada strata
ini biasanya pemilik tersebut ikut melaut memimpin kegiatan penangkapan. Buruh
yang ikut mungkin ada tapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.
3) Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan kecil bisa juga
merangkap menjadi buruh, tetapi banyak pula buruh ini yang tidak memiliki sarana
demikian, biasanya ada pula pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga pedagang
ini merupakan kelas tersendiri. Mereka biasanya menempati posisi yang dominan ketika
berhadapan dengan para nelayan kecil. Dalam masyarakat petani tambak, stratifikasi sosial
berdasarkan penguasaan alat produksi ini juga menonjol. Mirip dengan strata sosial yang ada
pada masyarakat nelayan, masyarakat petani tambak juga terdiri dari 3 strata sosial yang
dominan, yaitu :
Bagi para nelayan, penguasaan alat produksi tadi sangat berhubungan dengan
daya jelajah mereka dalam melakukan penangkapan. Mereka yang beroperasi dengan
pemasaran di daerah-daerah yang sangat jauh. Sementara nelayan kecil yang menggunakan
perahu tanpa motor hanya mampu beroperasi di daerah yang dekat atau daerah pantai/pesisir
saja.
Sifat usaha penangkapan juga menyebabkan munculnya pola tertentu dalam hal
kebersamaan antar anggota keluarga nelayan. Bagi para nelayan kecil, misalnya, seringkali
mereka berangkat sore hari kemudian kembali besok harinya. Ada juga yang berangkat pagi-
pagi sekali, kemudian kembali pada sore atau malam harinya. Sementara mereka yang
berbulan-bulan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan pada masyarakat pantai adalah aktivitas kaum
wanita dan anak-anak. Pada masyarakat ini, umumnya wanita dan anak-anak ikut bekerja
mencari nafkah. Kaum wanita (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja sebagai
pedagang ikan (pengencer), baik pengencer ikan segar maupun ikan olahan. Mereka juga
melakukan pengolahan ikan, baik kecil-kecilan di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai
buruh pada pengusaha pengolahan ikan. Sementara itu, anak laki-laki seringkali sudah
dilibatkan dalam kegiatan melaut. Ini antara lain yang menyebabkan anak-anak nelayan
Dalam kajian budaya atau masyarakat terdapat satuan yang disebut sebagai sistem
budaya, serta beragam konsep yang mendasari perilaku dan hasil perilaku. Sistem budaya
inilah yang mendasari seluruh kehidupan manusia. Melakukan pengkajian terhadap perilaku
dan karya suatu komunitas masyarakat perlu dilakukan untuk memahami sistem budaya yang
dianut (Tajrid, 2012). Kajian perilaku meliputi pengenalan terhadap semua komponen
budaya, baik berupa peralatan dan hal lain yang dipercaya membawa kebaikan untuk
kelangsungan hidup.
dengan kehidupan, karya, waktu, alam lingkungan, dsb. Kebudayaan adalah keseluruhan
sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat 2009) dalam (Trahutami,
2013).
Hampir semua tindakan oleh manusia adalah bentuk kebudayaan, karena hanya
sedikit tindakan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan
belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, tindakan refleks, dan kelakuan membabi buta
(Trahutami, 2013).
ciptaan manusia adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Manusia dan kebudayaan
memiliki interaksi dan menjadi pondasi atau dasar segala yang bersangkutan dengan proses
pekerjaan sebagai nelayan. Sedangkan pekerjaan nelayan itu sendiri adalah pekerjaan yang
memiliki ciri utama adalah mencari ikan di perairan. Sedangkan menurut Keputusan
kelompok rumah suatu kawasan dengan luas tertentu yang dihuni dihuni oleh masyarakat
yang sebagian besar masyarakatnya menangkap ikan. Kawasan perumahan nelayan ini
dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memadai untuk kelangsungan hidup dan
dengan prasarana dan sarana lingkungan yang sesuai dengan besaran satuan lingkungan yang
prinsip layak huni yaitu memenuhi persyaratan teknis, persyaratan administrasi, maupun
Perumahan Dan Permukiman serta biaya perumahan dapat dijangkau oleh masyarakat.
Persyaratan teknis berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan bangunan dan keandalan
sarana serta prasarana lingkungannya. Persyaratan ekologis berkaitan dengan keserasian dan
keseimbangan baik antara lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial budaya,
berkaitan dengan pemberian usaha, izin lokasi dan izin mendirikan bangunan serta pemberian
hak atas tanah. Persyaratan lingkungan meliputi pemantauan lingkungan dan pengelolaan
lingkungan. Pemantauan lingkungan bertujuan untuk mengetahui dampak negatif yang terjadi
lingkungan bertujuan untuk dapat mengambil tindakan koreksi bila terjadi dampak negatif
a. Atap rumah memakai genteng beton, genteng biasa, asbes, seng, kayu dan sirap.
b. Dinding rumah terbuat dari bahan batu bata atau batako yang diplester.
a. Atap rumah terbuat dari genteng, beton, asbes, seng, dan kayu
b. Dinding terbuat dari setengah dinding batu bata baik diplester atau tidak
c. Lantai rumah terbuat dari bahan kayu atau bambu atau tanah yang dipadatkan.
mempunyai hasil potensi ikan yang cukup tinggi. Adapun kondisi lingkungannya cukup
Kondisi tersebut berbeda-beda hal ini berkaitan dengan pembinaan suatu daerah.
Namun demikian perlu diketahui bahwa nelayan didalam melakukan kegiatan sehari-hari
masih tradisionil yaitu masih tergantung pada alam sehingga dampaknya terlihat pada siklus
Sebagian besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dan
nelayan buruh. Mereka adalah penyumbang utama kuantitas produksi perikanan tangkap
nasional. Walaupun demikian, posisi sosial mereka tetap marginal dalam proses transaksi
ekonomi yang timpang dan eksploitatif sehingga sebagai pihak produsen, nelayan tidak
memperoleh bagian pendapatan yang besar. Pihak yang paling beruntung adalah para
pedagang ikan berskala besar atau pedagang perantara. Para pedagang inilah yang
Fatmasari)
Hal ini telah melahirkan sejumlah masalah sosial ekonomi yang krusial pada
kalangan nelayan, faktor-faktor lain yang sinergi, seperti semakin meningkatnya kelangkaan
sumberdaya perikanan, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta keterbatasan kualitas dan
akses terhadap sumberdaya perikanan, serta lemahnya proteksi kebijakan dan dukungan
fasilitas pembangunan untuk masyarakat nelayan masih menjadi faktor yang menimbulkan
sehingga hasil tangkap atau pendapatan yang diperoleh nelayan bersifat fluktuatif, tidak pasti,
dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Dalam situasi demikian, rumah tangga nelayan
akan senantiasa berhadapan dengan tiga persoalan yang sangat krusial dalam kehidupan
mereka, yaitu (1) pergulatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, (2) tersendat-
sendatnya pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anaknya, dan (3) terbatasnya akses mereka
Ketiga akses diatas merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar dalam
rumah tangga nelayan, yang sering tidak terpenuhi secara optimal. Dengan realitas kehidupan
yang demikian, sangat sulit merumuskan dan membangun kualitas sumberdaya masyarakat
nelayan, agar mereka memiliki kemampuan optimal dalam mengelola potensi sumber daya
pesisir laut yang ada. Ketiadaan atau kekurangan kemampuan kreatif masyarakat nelayan
untuk mengatasi sosial ekonomi di daerahnya akan mendorong mereka masuk perangkap
kebijakan pembangunan di bidang kelautan dan perikanan. Untuk itu, perlu dipikirkan solusi
strategi alternatif untuk mengatasi persoalan kehidupan sosial-ekonomi yang dihadapi oleh
masyarakat nelayan. Dalam hal ini, program jaminan sosial (social security) yang dirancang
secara formal merupakan salah satu strategi yang patut dipertimbangkan untuk mengatasi
kemelut sosial ekonomi yang menimpa kehidupan dari masyarakat nelayan (Dewi Fatmasari)
kebijakan untuk membangun sektor perikanan tangkap dan pemberdayaan ekonomi produktif
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai masih belum
maksimal. Kalau kita perhatikan, selama ini spirit kebijakan nasional dalam pembangunan
perikanan sejak awal 1970-an dan masih terus diberlakukan hingga saat ini yang
mengutamakan peningkatan produksi, mengakibatkan kelangkaan sumberdaya perikanan,
kerusakan ekosistem pesisir laut, kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Kebijakan demikian
tidak disertai atau dikawal dengan kebijakan pembanding tentang bagaimana masyarakat
memberi keuntungan ekonomi bagi para nelayan bermodal besar yang secara kuantitatif
berjumlah sedikit, namun pada akhirnya semua nelayan dari berbagai kategori usaha
selama ini diterapkan. Kalau dianalogikan dengan orang memancing, kebijakan tersebut
hanya memberi ikan kepada nelayan, tetapi tidak memberikan jaminan keberlanjutan
bagaimana seandainya alat pemancing itu rusak. Hal ini dapat ditunjukkan dengan lemahnya
bunga rendah kepada masyarakat nelayan secara berkesinambungan dan konsisten. Pada
dasarnya, dukungan ini sangat dibutuhkan nelayan untuk menjaga kelanjutan usaha
pemberdayaan yang bersifat nasional dan menjadi referensi para penentu keputusan setingkat
menteri sehingga hal demikian memberikan rasa aman bagi lembaga perbankan untuk bekerja
Disamping itu, tidak adanya pihak-pihak yang membantu secara total dan
dimiliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi Kemandirian ini
sangat berharga sebagai basis kelangsungan hidup mereka. Manifestasi dari sikap-sikap
otonom nelayan terwujud dalam konstruksi pranata sosial, seperti perkumpulan simpan
pinjam, arisan, dan jaringan sosial berfungsi untuk menggalang kemampuan sumberdaya
ekonomi kolektif dalam relasi timbal balik sehingga eksistensi masyarakat nelayan tetap
daya jaminan sosial secara tradisional untuk menjaga kelangsungan hidup nelayan. Kekuatan
hubungan patron-klien ini dapat dilihat pada pola-pola relasi sosial antara (1) nelayan pemilik
dan nelayan buruh, (2) nelayan pemilik dengan penyedia modal usaha, (pedagang
ikan/pedagang perantara, (3) nelayan (nelayan pemilik dan nelayan buruh) dengan pemilik
toko yang menyediakan kebutuhan hidup dan kebutuhan melaut. Jika hasil tangkapan nelayan
diberikan dalam bentuk ikan, biasanya hubungan patron-klien antara nelayan buruh dan
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
Daftar Pustaka