PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
Bioindikator berasal dari dua kata yaitu bio dan indicator, bio artinya mahluk hidup
seperti hewan, tumbuhan dan mikroba. Sedangkan indicator artinya variable yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi keadaan atau status dan memungkinkan dilakukannya
pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Menurut
Kovacs (1992), Bioindikator adalah komponen biotik (mahluk hidup) yang dijadikan
sebagai indicator, yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi, maupun kondisi alam
(bencana alam), serta perubahan kualitas lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas
manusia. Bioindikator sendiri bisa disebut sebagai kelompok atau komunitas organisme
yang keberadaannya ata u perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan,
Apabila terjadi perubahan kualitas air, udara, maupun tanah maka akan berpengaruh
terhadap keberadaaan dan perilaku organisme tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai
penunjuk kualitas lingkungan.
Menurut Kristanto (2002), Bioindikator dapat dibagi menjadi dua, yaitu bioindikator
pasif dan bioindikator aktif. Bioindikator pasif adalah suatu spesies organisme, penghuni
asli di suatu habitat, yang mampu menunjukkan adanya perubahan yang dapat diukur
(misalnya perilaku, kematian, morfologi) pada lingkungan yang berubah di biotop
(detektor). Bioindikator aktif adalah suatu spesies organisme yang memiliki sensitivitas
tinggi terhadap polutan, yang mana spesies organisme ini umumnya diintroduksikan ke
suatu habitat untuk mengetahui dan memberi peringatan dini terjadinya polusi.
Bioindikator dapat dikatakan sebagai petunjuk kondisi alam, ketika bioindikator itu
sendiri mampu menggambarkan kondisi alami dari lingkungan yang ada disekitarnya.
Kondisi alami ini dapat berupa bencana alam. Sebagai contoh adalah pada prilaku buaya
yang memindahkan sarang dan telur-lelurnya ketempat yang relatif tinggi dan jauh dari
badan air atau sungai. Jika hal ini dilakukan buaya maka dapat diindikasikan bahwa air
sungai tersebut akan meluap dan terjadi banjir di daerah tersebut. Sebelum terjadinya suatu
bencana, hewan akan cenderung bertingkah laku abnormal. Therapy hewan yang normal
sering digunakan untuk memprediksi bencana alam. Menurut Fahrul (2006), selain untuk
2
bencana alam, hewan juga bisa digunakan sebagai bioindikator pencemaran lingkungan.
Lingkungan yang tercemar mengakibatkan gangguan makhluk hidup dan lingkungan
sekitarnya. Perubahan yang terjadi dapat menunjukkan terjadinya pencemaran.
Bioindikator dapat digunakan untuk mengidentifikasi lingkungan terhadap pencemaran
udara, udara, dan tanah.
1. Tumbuhan
Tumbuhan berperan penting dalam dekomposisi atau transformasi bahan
organik. Tumbuhan dapat hidup dengan baik di lingkungan yang menguntungkan.
Suatu tumbuhan dapat berperan sebagai pengukur kondisi lingkungan ditempat
tumbuhnya. Banyaknya tumbuhan yang tumbuh dengan jumlah yang melimpah,
mampu digunakan sebagai indikator yang penting karena mereka sudah sangat erat
hubungan dengan habitatnya. Tumbuhan dapat berfungsi sebagai indikator kondisi
lingkungan. Berikut adalah beberapa jenis tumbuhan yang dapat dijadikan indikator
pencemaran lingkungan, antara lain sebagai berikut:
- Lumut Kerak (Lichen) : Lumut ini dapat digunakan sebagai indikator polusi
udara alami dengan cara membandingkan jumlah tumbuhan lumut kerak
(Lichen) yang terdapat pada batang pepohonan di suatu daerah. Semakin
sedikit tumbuhan lumut kerak (Lichen) yang tumbuh pada pepohonan di suatu
lingkungan, maka tingkat polusi di lingkungan tersebut semakin tinggi. Begitu
pula sebaliknya, semakin banyak tumbuhan lumut kerak (Lichen) yang
tumbuh, maka tingkat polusi si lingkungan tersebut rendah. Polusi udara
mengakibatkan kondisi suhu udara di lingkungan menjadi meningkat, serta
tanah dan tumbuhan dilingkungan yang terkena polusi udara menjadi kering.
- Alga : Alga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator logam berat karena
dalam proses pertumbuhannya, alga membutuhkan berbagai jenis logam
sebagai nutrien alami, sedangkan ketersediaan logam dilingkungan sangat
bervariasi. Suatu lingkungan yang memiliki tingkat kandungan logam berat
yang melebihi jumlah yang diperlukan, dapat mengakibatkan pertumbuhan
3
alga terhambat, sehingga dalam keadaan ini eksistensi logam dalam
lingkungan adalah polutan bagi alga.
- Lamun sebagai Bioindikator Timbal (Pb) : Tumbuhan Lamun dapat digunakan
sebagai bioindikator logam berat Pb di wilayah pesisir, di mana kandungan
logam Pb adalah sebesar (biomass lamun/m2 x kandungan Pb mg/kg)/1000
dengan mangakumulasi dari sedimen. Selain itu bagian daun lamun dapat
berfungsi sebagai bioakumulator terakhir sehingga dapat digunakan untuk
menentukan sebaran kandungan logam berat Pb dalam suatu perairan besar.
Lamun juga dapat digunakan untuk membantu mengurangi toksisitas logam
berat Pb.
2. Hewan
4
dalam batas ekosistem terkelola, untuk mendukung produktivitas biologi, memelihara
kualitas lingkungan dan mendorong kesehatan hewan dan tumbuhan.
Kualitas tanah adalah kemampuan tanah untuk berfungsi dalam batas-batas
ekosistem yang sesuai untuk produktivitas biologis, mampu memelihara kualitas lingkungan
dan mendorong tanaman dan hewan menjadi sehat (Magdoff, 2001). Secara lebih terinci
kualitas tanah didefinisikan sebagai kecocokan sifat fisik, kimia, dan biologi yang
bersamasama: (1) menyediakan suatu media untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas
biologi; (2) mengatur dan memilah aliran air dan penyimpanan di lingkungan; serta (3)
berperan sebagai suatu penyangga lingkungan dalam pembentukan dan pengrusakan
senyawa-senyawa yang meracuni lingkungan.
Komunitas organisme tanah selain berperan penting dalam proses ekologi, seperti
siklus hara juga respon terhadap gangguan pada lingkungan tanah seperti kontaminasi
terhadap logam berat dan pestisida. Singkatnya sistem biologi sangat sensitif terhadap
degradasi yang baru terjadi sekalipun, sehingga perubahan status biologi dari sistem
tersebut dapat menjadi peringatan dini atas kemunduran lingkungan. Bioindikasi
didefinisikan sebagai penggunaan suatu organisme baik sebagai bagian dari suatu individu
suatu kelompok organisme untuk mendapatkan informasi terhadap kualitas seluruh atau
sebagian dari lingkungannya (Hornby 1998). Menurut Doran (1998), tedapat lima kriteria
yang harus dipenuhi oleh suatu indikator termasuk bioindikator untuk dapat menilai kualitas
tanah, yaitu:
5
2.4 Pengaruh Bioindikator di Air
Kebutuhan air yang sangat krusial untuk kehidupan mahluk hidup, membuat kualitas
dari perairan sungai tersebut harus dijaga dan dilakukan kontrol untuk mengatahuinya.
Secara umum kontrol kualitas fisik dan kimia air lebih sering dilakukan. Hal itu
dikarenakan begitu praktis, mudah dan cepat akan tetapi hanya mampu
menginterprestasikan kondisi perairan di saat pengukuran saja. Sebenarnya kontrol air
secara biologis mutlak harus dilakukan karena memiliki beberapa kelebihan, yaitu mampu
merekam kondisi perairan di masa lalu. Hal itu dibuktikan dengan adanya perubahan pola
hidup, morfologi, histologi dan aspek lain dari mahluk bioindikator. Ellenberg (1991)
membedakan indikator biologik ekosistem sungai menjadi dua kelompok yaitu:
1. Indikator yang sangat baik, terdiri atas tumbuhan yang hidup dalam air, perifiton,
jamur dan bakteri.
2. Indikator yang baik, terdiri atas alga hijau (Chlorophyceae), fitoplankton dan
zoobenthos.
Berikut adalah penejlasan mengenai penggunaan organisme air sebagai Indikator Biologik :
a) Plankton sebagai indikator biologic
Plankton terdiri dari seluruh organisme perairan yang bergerak pasif atau yang daya
geraknya tidak cukup untuk memungkinkan organisme tersebut bergerak melawan
gerakan arus massa air (Barnes dan Mann 1982). Plankton terdiri dari tumbuhan,
hewan, jamur dan bakteri yang berukuran kecil. Berdasarkan fungsinya dalam
ekosistem plankton dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: fitoplankton (produsen),
zooplankton (konsumen) dan saproplankton (pengurai) (Ismail dan Mohamad 1992).
Palmer (1959) dalam Shubert (1984) menyatakan bahwa komunitas alga dapat
digunakan sebagai indikator air bersih atau tercemar. Palmer (1969) mempublikasikan
bahwa suatu nilai gabungan organisme seperti Euglena, Oscillatoria,
Chlamydomonas, Scenedesmus, Chlorella, Stigeoclonium, Nitzschia dan Navicula
merupakan kelompok organisme yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa
suatu perairan telah tercemar. Kelompok organisme lain seperti Lemanea,
Stigeoclonium dan jenis-jenis tertentu Micrasterias, Staurastrum, Pinnularia, Meridion
dan Surirella dapat menunjukkan bahwa suatu sampel berasal dari badan air yang
bersih
b) Bentos sebagai indikator biologic
Bentos meliputi organisme, khususnya hewan yang hidup atau aktif di dasar perairan.
6
Organisme yang bersifat bentonik dapat berupa cacing Oligochaeta, Nematoda, dan
Turbellaria, Mollusca (Gastropoda dan Bivalvia), Crustacea, dan larva Insecta.
Hellawell (1978) dalam James dan Evison (1979) menyarankan penggunaan
makroinvertebrata atau makrozoobentos air sebagai indikator biologik kualitas air.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bioindikator merupakan indikator biotis yang dapat menunjukkan waktu dan lokasi,
kondisi alam (bencana alam), maupun kondisi lingkungan serta perubahan kualitas
lingkungan yang telah terjadi karena aktifitas manusia. Bioindikator dapat dibagi menjadi
dua jenis yakni bioindikator hewan dan tumbuhan, keduanya memiliki kemampuan toleran
tersendiri. Bioindikator dapat digunakan dalam kondisi lingkungan tanah, air maupun
udara.
3.2 Saran
Setelah mengetahui pengertian dan penggunannya, diharapakan mahasiswa mampu
menganalisis kerusakan lingkungan dengan baik agar memiliki solusi tersendiri untuk
menanggulangani bencana alam dan berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi disekitar
kita dengan memanfaatkan bioindikator tersebut.
8
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, S. 2011. Perbaikan Kulaitas Pupuk Kandan Sapi dan Aplikasinya Terhadap Tanaman
Jagung Manis (Zea mays Saccharata Strurt), Jurnal Fakultas Pertanian Universitas
Muria Kudus : 4 (2) :164-175
Barnes, R. S. K., Hughes, R. N. 1982. An Introduction to Marine Ecology. Australia:
Whitefriars Pressh
Conti, M. E., Caccheti,G,. 2001. Biological Monitoring: lichens as biondicator of air
pollution assesment. Review. Environmental Pollution Vol. 144 pp: 471-49
Doran, J.W. 1998. Defining and Assessing Soil Health and Suistainable Productivity.
Biological Indicators of Soil Health. CAB Internasional
Ellenberg,1991. Biologcal Monitoring Signal From The Environment .Fried Vieweg and
John Verlago Sellcsharft Brounchweig.Germany
Fachrul, M. F. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta : Bumi Aksara
Hornby, D & G.L. Bateman. 1998. Potential Use of Plant Root Pathogens as Bioindicators of
Soil Health. CAB Internasional
James A dan Evison L. 1979. Biological Indications of Water Quality. John Wiley & Sons
Chichester, New York
Kovacs, M. 1992. Biological Indikator in Environmental Protection. New York: Ellis
Horwoord
Kristanto, Philip. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta : Andi Offset
Loopi, S., Ivanov D, B. R. (2002). Biodiversity of Epiphytic Lichens and Air Pollution in the
Town Siena(Central Italy). Environmental Pollution ,16(16),123-128
Magdoff, F. 2001. Concept, Components, and Strategies of Soil Health in Agroecosystems.
Journal Of Nematology 33(4):169-172
Pratiwi, M. E., 2006. Kajian lichen sebagai bioindikator kualitas udara studi kasus: kawasan
industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Skripsi.
IPB, Bogor
Primack, Richard. B. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Palmer, T. 1985. Understanding enzyme. Ellishorwood Publisher.
Ratna Rima Melati. (2012). Kamus Biologi. Surakarta : PT Aksara Sinergi Media.
Samsuddin 2012. Bioindicators: Using Organisms to Measure Environmental Impacts.
Nature Education Knowledge Project, 2(2):8
Sinaga, T. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos sebagai Indikator Kualitas Perairan
Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir. Medan : Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
9
Shubert, E. L. 1984. Algae Ecologigal Indicators. Academic Press Inc, London.
10