Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat pesisir terdiri atas nelayan, pembudidayaan ikan, pengolahan dan
pedagang hasil laut, serta masyarakat lainnya yang kehidupan sosial ekonominya
tergantung pada sumberdaya perikanan dan kelautan. Jumlah masyarakat pesisir
berdasarkan hasil studi Semeru (2003) adalah 16,48 juta jiwa. Jumlah ini
diperkirakan meningkat mencapai 20 juta jiwa yang saat ini tersebar di lebih dari 10.666
desa pesisir di seluruh Indonesia. Poverty Headcount Index (PHI) masyarakat pesisir
adalah 0,3214. Artinya, lebih dari 32% dari penduduk di wilayah pesisir masih
tergolong miskin atau dua kali rata-rata tingkat kemiskinan nasional (KKP,2009).
Wilayah pesisir dan laut Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati
(biodiviersity) terbesar di dunia, yang tercermin pada keberadaan ekosistem pesisir seperti
hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berjenis-jenis ikan, baik ikan hias
maupun ikan konsumsi. Kondisi tersebut tentu sebuah ironi, di tengah gemerlapnya kekayaan
alam nan melimpah ternyata Indonesia belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan
masyarakat disekitarnya yaitu masyarakat pesisir. Besarnya potensi sektor kelautan
seharusnya mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia
namun kenyataannya masyarakat pesisir masih merupakan masyarakat miskin baik secara
kultural maupun struktural.
Masyarakat pesisir hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan
tradisional, yang pada umumnya mempunyai ciri yang sama yaitu berpendidikan yang
rendah. Hal ini terjadi karena pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang berat,
seseorang yang menjadi nelayan sulit membayangkan pekerjaan lain yang lebih mudah
dan yang sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Selain itu pekerjaan sebagai
nelayan merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman,
oleh karena itu setinggi apa pun tingkat pendidikan masyarakat pesisir tidak akan
mempengaruhi kemahiran mereka dalam melaut (Sudarso, 2005). Dengan penghasilan
yang selalu tergantung pada kondisi alam, maka hal tersebut membuat sulit bagi
masyarakat pesisir untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kondisi yang
memprihatinkan tersebut yang menyebabkan rendahnya kemampuan dan ketrampilan
masyarakat pesisir sehingga membuat mereka hidup dalam kemiskinan (Winengan, 2007).
Berdasarkan pernyataan diatas bahwa sebagian masyarakat pesisir masih membutuhkan
pemberdayaan masyarakat sehingga dapat memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari seperti
kebutuhan fisiologi, psikologis, social dan ekonomi.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definisi daerah pesisir
1.2.2 Apa komunitas daerah pesisir
1.2.3Bagaimana karakter masyarakat daerah pesisir
1.2.4 Bagaimana perilaku masyarakat terhadap kesehatan
1.2.5 Apa saja penyakit dan masalah kesehatan pada masyarakat daerah pesisir
1.2.6 Bagaiamana peran perawat komunitas di daerah pesisir

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami definisi daerah pesisir
1.3.2 Untuk mengetahui komunitas daerah pesisir
1.3.3 untuk mengetahui dan memahami karakter masyarakat daerah pesisir
1.3.4 Untuk mengetahui perilaku masyarakat terhadap kesehatan
1.3.5 Untuk mengetahui penyakit dan masalah kesehatan pada masyarakat daerah pesisir
1.3.6 Untuk mengetahui dan memahami peran perawat komunitas di daerah pesisir
























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi daerah pesisir
Perairan pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat dapat
meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh
sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut. Ke arah laut, perairan
pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan benua yang masih dipengaruhi
oleh proses-proses alami yang terjadi didarat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar.
Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini masih belum ada definisi wilayah pesisir yang
baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah
suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.

2.2 Definisi komunitas daerah pesisir
Soekanto (2002) mengartikan community sebagai masyarakat setempat. Masyarakat
setempat menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa yang mana para
anggotanya hidup bersama sehingga merasakan bahwa kelompoknya dapat memenuhi
kepentingan-kepentingan hidup yang utama. Keterikatan secara geografis merupakan suatu
ciri dasar yang sifatnya pokok sebagai suatu komunitas, tetapi hal ini tidaklah cukup, karena
suatu community harus memiliki apa yang dinamakan dengan community sentiment atau
perasaan komunitas. Perasaan sebagai suatu komunitas memiliki beberapa unsur, yaitu
seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan.

Komunitas pulau-pulau kecil adalah masyarakat yang jumlahnya maksimal 200.000
jiwa, hidup pada pulau-pulau yang secara geografis terpisah dengan pulau induknya dengan
luas maksimal 10.000 Km dan secara spesifik memiliki kesamaan dan ikatan yang
menyatukan mereka. Komunitas pulau-pulau kecil didalamnya juga terdapat beragam sub
komunitas, namun sub komunitas yang paling umum (dominan) ditemukan adalah komunitas
pesisir.

Pada komunitas pesisir umumnya dihuni komunitas nelayan yang memang identik
dengan karakteristik ekologisnya. Komunitas pesisir merupakan suatu kesatuan hidup
manusia yang menempati wilayah pesisir. Sedangkan menurut Viktor (2001), populasi
masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan
sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan
sumberdaya laut dan pesisir. Namun untuk lebih operasional, definisi populasi masyarakat
pesisir yang luas ini tidak seluruhnya diambil tetapi hanya difokuskan pada kelompok
nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan.

2.3 Karakter Masyarakat daerah pesisir
a. Pekerjaan
Masyarakat pesisir bergantung pada sumberdaya laut. Ketergantungan
masyarakat pesisir terhadap sumberdaya laut secara langsung menyebabkan
mereka berupaya menjaga kelestarian lingkungan, yaitu memanfaatkan
sumberdaya laut yang tersedia sesuai dengan kebutuhan disertai upaya untuk
memperbaikinya. Sebaliknya, mereka yang datang hanya untuk memanfaatkan
sumberdaya laut akan melakukan eksploitasi sumberdaya laut yang tersedia tanpa
disertai tanggung jawab untuk memulihkannya, kalaupun dilakukan bukan karena
adanya kesadaran , namun sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban yang
dibebankan.
Masyarakat pesisir terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya
ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, dan supplier factor
sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa
terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok
masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir
untuk menyokong kehidupannya.
Sebagian besar penduduk pesisir bekerja sebagai nelayan, pembudidaya ikan
serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan
dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya.
Sebagian masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan
menengah. Namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten, menjalani
usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala
yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
jangka waktu sangat pendek. Komunitas masyarakat yang didimonasi pekerja kelas
bawah ini menjadikan daerah pesisir tergolong sebagai daerah miskin. Akibatnya
sering muncul permasalahan dalam bidang pemukiman, pendidikan dan kesehatan.

b. Perilaku sosial
Sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, masyarakat pesisir memiliki ciri-ciri
perilaku sosial yang dipengaruhi oleh karakteristik kondisi geografis dan
matapencaharian penduduknya. Sebagian dari ciri-ciri perilaku sosial tersebut
adalah sebagai berikut :
1) Etos kerja tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran.
2) Kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan.
3) Apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian.
4) Terbuka dan ekspresif, sehingga cenderung kasar.
5) Solidaritas sosial yang kuat dalam menghadapi ancaman bersama atau
membantu sesama ketika menghadapi musibah.
6) Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi
7) Bergaya hidup konsumtif .
8) Demonstratif dalam harta-benda (emas, perabotan rumah, kendaraan, bangunan
rumah, dan sebagainya) sebagai manifestasi keberhasilan hidup.
9) Agamis, dengan sentimen keagamaan yang tinggi.
10) Temperamental, khususnya jika terkait dengan harga diri.

c. Ikatan norma sosial (adat istiadat)/budaya
Bagi masyarakat pesisir, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau system
kognitif yang berfungsi sebagai pedoman kehidupan, referensi pola-pola
kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai
berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Setiap gagasan dan praktik
kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak,
kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah
membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu
terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi
warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara
yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial.
Ciri-ciri kebudayaan mereka seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-
pola perilaku dalam mengeksploitasi sumber daya perikanan, serta kepemimpinan
sosial tumbuh karena pengaruh kondisi-kondisi dan karakteristik-karakteristik yang
terdapat di lingkungannya.

2.4 Perilaku Masyarakat terhadap kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan
serta lingkungan (Soekidjo : 2007).
Batasan ini mempunyai 2 unsur pokok, yaitu respon dan stimulus atau perangsangan.
Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun
bersifat aktif (tindakan yang nyata atau praktis).Sedangkan stimulus dan rangsangan terdiri
dari 4 unsur pokok, yaitu sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan.
Dengan demikian, secara rinci perilaku kesehatan mencakup: .

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakitnya, yaitu bagaimana manusiaberespon,
baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsikan penyakit dan rasa sakit yang
ada di dirinya dan luar dirinya), maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan
penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai
dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit, yakni :
a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health
promotion behaviour).
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour), adalah suatu respon
untuk melakukan pencegahan penyakit. Misalnya, tidur memakai kelambu untuk
mencegah gigitan nyamuk malaria. Termasuk juga perilaku tidak menularkan
penyakit.
c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking
behaviour),yakni perilaku untuk malakukan atau mencari pengobatan, misalnya
mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan ( health rehabilitation behaviour)
yakni perilaku yang berhubungan dengan usaha usaha pemulihan kesehatan
setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya mematuhi anjuran dokter dalam
rangka pemulihan kesehatan.

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respon seseorang terhadap sistem
pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional.perilkau
menyangkut respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, dll.

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour), yakni respon seseorang terhadap
makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku meliputi pengetahuan, persepsi,
sikap dan praktik kita terhadap makanan

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behaviour) adalah respon
terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Perilaku antara lain:

a. Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk komponen, manfaat dan
penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.
b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, menyangkut segi hygiene
pemeliharaan teknik dan penggunaannya.
c. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun cair. Termasuk
sistem pembuangan sampah dan air limbah.

Permasalahan kesehatan dapat dikatakan relatif rumit, karena sangat terkait dengan
lingkungan dan ekonomi. Dalam menjaga kesehatan para petani dan nelayan tidak melakukan
kegiatan khusus, karena kehidupan mereka yang cukup keras, artinya dalam setiap langkah
kehidupan mereka adalah untuk memperoleh penghasilan. Warga masyarakat dalam
mengatasi sakit yang dideritanya berbeda sesuai dengan karakteristik desa. Dengan alasan
ekonomi, mereka menganggap dirinya tidak mampu, maka mereka melakukan pengobatan
sendiri dengan obat-obatan yang dijual bebeas sampai batas. tertentu kemudian dilakukan
perawatan yang lebih baik jika sakit parah. Terlebih akibat penurunan pendapatannya, para
nelayan lebih memprioritaskan konsumsi pangan, sehingga sakit yang tidak parah akan
dilakukan pengobatan sendiri menggunakan obat bebas.

2.5 Penyakit dan masalah kesehatan
Hipertiroid
Makanan laut (seafood) dapat menjadi sumber yodium alami bagi
kelangsungan kerja kelenjar tiroid. Asupan yodium dapat ditemukan lewat makanan
dan minuman. Makanan-makanan dari laut , seperti ikan, dan rumput laut merupakan
sumber pangan beryodium tinggi. Mengkonsumsi seafood dapat membantu tubuh
menyediakan yodium yang cukup. Namun jika kadar yodium dalam tubuh terlalu
banyak, justru akan menghambat kerja kelanjar tiroid untuk mengeluarkan hormone
tiroid akibatnya terjadi penyakit gondok
Malaria
Penyakit malaria merupakan penyakit menular yang banyak diderita oleh
penduduk yang tinggal di wilayah tropis seperti Indonesia. Di Indonesia, penyakit
malaria bersifat endemis karena selalu menjangkiti beberapa orang pada suatu daerah.
Penyakit ini sudah lama diderita oleh banyak masyarakat yang tinggal di daerah
pantai, persawahan, perkebunan, serta hutan.

Penyakit Kulit
Berikut adalah beberapa jenis penyakit kulit yang umumnya sering menyerang
masyarakat di daerah pesisir diantaranya :
1) Eksim (ekzema)
2) Kudis (Scabies)
3) Kurap(tinea corporis)
4) Bisul (Furunkel)
5) Panau/panu
6) Kusta

Diare, muntaber, dan cacingan
Sebanyak 19,67 persen (data tahun 2007) warga daerah pesisir tidak memiliki
jamban. Mereka membuang kotoran/tinja di tempat terbuka seperti kebun, sawah,
ataupun sungai dan laut. Hal ini menjadi kebiasaan yang terutama disebabkan oleh
rendahnya tingkat pendidikan. Minimnya penghasilan dan sumber mata pencaharian
membuat sebagian besar mereka berpikir bahwa lebih baik mencari yang hemat dan
efisien dibanding harus mengeluarkan biaya untuk membuat jamban. Pembuangan
tinja perlu mendapat perhatian khusus karena merupakan satu bahan buangan yang
banyak mendatangkan masalah dalam bidang kesehatan dan sebagai media bibit
penyakit, seperti diare, typhus, muntaber, disentri, cacingan dan gatal-gatal. Selain itu,
dapat menimbulkan pencemaran lingkungan pada sumber air dan bau busuk.

2.6 Peran perawat komunitas di daerah pesisir
Perawat komunitas daerah pesisir menggambarkan perawat yang berada di daerah
pesisir dan berkonsentrasi dengan kesehatan, kesejahteraan, dan perawatan masyarakat di
daerah tersebut. Peran perawat komunitas daerah pesisir antara lain :

Sebagai Pendidik
Peran perawat di komunitas sebagai peran pendidik yaitu peran perawat untuk memberikan
informasi yang berupa pengajaran mengenai pengetahuan dan keterampilan dasar. Untuk
masyarakat pesisir yang di utamakan yaitu tentang hidup bersih, sanitasi yang baik, jamban
yang sesuai syarat, konsumsi dan penggunaan air bersih,dan lain-lain.

Sebagai Advokat
Peran perawat sebagai advokat yaitu tindakan perawat dalam mencapai suatu tujuan yang
bersifat untuk kepentingan masyarakat atau bertindak untuk mencegah kesalahan yang tidak
diinginkan ketika pasien sedang menjalankan pengobatan.Peran perawat advokat ini dapat
kita temukan saat pasien bingung dan berusaha memutuskan tindakan yang terbaik bagi
kesehatannya, untuk itu perawat dibutuhkan memberikan informasi lengkap bagi pasien dan
berusaha menolak bila tindakan itu membahayakan kondisi pasien dan melanggar hak-hak
pasien. Bila dihubungkan dengan teori kerangka kerja dari Milio (1976) tentang promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit, dan teori sosial kritis, hal ini mengharuskan perawat
untuk mengambil tindakan yang tepat dan berpikir kritis bagi kesehatan pasien,keluarga dan
masyarakat.

Sebagai Peneliti
Perawat sebagai peneliti yaitu peran perawat yang menerjemahkan temuan riset, bertanggung
jawab untuk melakukan penelitian, mengidentifikasi, menganalisis data, memecahkan
masalah klinis dengan menerapkan prinsip dan metode penelitian.Penelitian ini bermanfaat
untuk mengembangkan ilmu / pendidikan dan praktik keperawatan dan meningkatkan mutu
asuhan atau pelayanan keperawatan sesuai dengan masalah kesehatan yang ada di daerah
tersebut. Sehingga melalui penelitian ini, perawat bisa mengatasi permasalahan kesehatan di
daerah pesisir contohnya penelitian tentang hipertiroid atau diare ternyata setelah diteliti
karena konsumsi air kurang bersih dan jamban yang tidak layak menjadi penyebab
diare,muntaber,dll. Maka perawat bisa mengatasi permasalahan diare dimulai dari mengatasi
penyebabnya bersama masyarakat.

Sebagai Konsultan
Perawat sebagai konsultan yaitu peran perawat yang bertugas sebagai tempat konsultasi
pasien dalam pemberian informasi, dukungan atau memberi ajaran tentang tujuan pelayanan
keperawatan yang diberikan.Konsultasi yang diberikan tentu harus sesuai dengan
permasalahan kesehatan komunitas daerah pesisir tersebut seperti penyakit kulit,
permasalahan gizi buruk, konsumsi air bersih yang masih rendah, serta diare yang masih
menjadi perhatian dan membantu pemecahan masalah tersebut.

Sebagai Pemberi Perawatan
Perawat sebagai pemberi perawatan secara langsung yaitu peran perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan secara langsung kepada individu, keluarga dan kelompok dengan
menggunakan energi dan waktu seminimal mungkin. Perawat ini langsung mengkaji kondisi
kesehatan pasien, merencanaan, mengimplementasi dan mengevaluasi asuhan keperawatan.
Perawat secara langsung terlibat dalam proses penyembuhan pasien tidak hanya secara fisik
saja tapi holistic yaitu penyembuhan kesehatan emosi, spiritual, dan sosial. (Keeling dan
Ramos, 1995).


BAB III
TINJAUAN KASUS

Desa X dengan luas wilayah sekitar 564 km
3
dan terletak di daerah pesisir pantai.
Jumlah penduduk 4.900 jiwa, dengan rincian bahwa 30 % dari jumlah penduduk tergolong
dalam usia bayi/balita, sedangkan jumlah penduduk usila sebanyak 22,5 % dari jumlah
penduduk. Jenis pelayanan kesehatan yang tersedia adalah pustu dan posyandu, dengan
jumlah masing-masing satu jenis penyakit terbesar rheumatik, hipertensi, asma. Jumlah kader
kesehatan yang aktif sebanyak 2 orang dari 6 orang kader yang ada. Kepala keluarga bekerja
sebagai nelayan yang tidak mempunyai perahu untuk melaut sehingga mereka menjadi
penyewa perahu. Kehidupan nelayan disana cukup memprihatinkan karena kebutuhan
ekonomi mereka yang semakin berat. Penghasilan masyarakat disana hanya cukup untuk
member makan kepada keluarga. Mereka termasuk keluarga pra sejahtera.
Jumlah kepala keluarga yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah sebanyak
68,24 %, melakukan pembuangan tinja di sembarang tempat sebanyak 48,65 % dan
pembuangan air limbah di sembarang tempat sebanyak 68,92 %. Masyarakat disana banyak
yang menderita diare karena kekurangan air dan rata-rata penduduk tidak berKB, kurang
olahraga, dan makan makanan yang kurang bergizi.
Pada daerah tersebut sebanyak 62,58 % bayi/balita tidak memiliki KMS. Sementara
dari KMS yang ada, diperoleh gambaran bahwa berat badan bayi/balita yang berada pada
garis hijau sebanyak 45 %, garis kuning 42 %, garis merah 13 %, yang mendapat ASI sampai
usia 2 tahun 64,9 %, > 2 tahun sebanyak 21,1 %, tidak mendapat ASI 14 %. Usila yang
menderita penyakit dalam 3 bulan terakhir sebanyak 54 %, dengan penyakit yang sering
diderita yaitu hipertensi dan rheumatik. Vektor terbanyak nyamuk (31,88 %), lalat (30,54 %).

Pengkajian

1. Desa X dengan luas wilayah sekitar 564 km
3
dan terletak di daerah pesisir pantai.

2. Jumlah penduduk 4.900 jiwa, dengan rincian bahwa 30 % dari jumlah penduduk
tergolong dalam usia bayi/balita, sedangkan jumlah penduduk usila sebanyak 22,5 %
dari jumlah penduduk.

3. Jenis pelayanan kesehatan yang tersedia adalah pustu dan posyandu, dengan jumlah
masing-masing satu jenis penyakit terbesar rheumatik, hipertensi, asma. Jumlah kader
kesehatan yang aktif sebanyak 2 orang dari 6 orang kader yang ada. Kepala keluarga
bekerja sebagai nelayan yang tidak mempunyai perahu untuk melaut sehingga mereka
menjadi penyewa perahu. Kehidupan nelayan disana cukup memprihatinkan karena
kebutuhan ekonomi mereka yang semakin berat. Penghasilan masyarakat disana
hanya cukup untuk member makan kepada keluarga. Mereka termasuk keluarga pra
sejahtera.

4. Dari pengkajian data tentang kesehatan lingkungan diperoleh informasi bahwa jumlah
kepala keluarga yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah sebanyak 68,24 %,
melakukan pembuangan tinja di sembarang tempat sebanyak 48,65 % dan
pembuangan air limbah di sembarang tempat sebanyak 68,92 %. Masyarakat disana
banyak yang menderita diare karena kekurangan air dan rata-rata penduduk tidak
berKB, kurang olahraga, dan makan makanan yang kurang bergizi.

5. Dari pengkajian data bayi/balita didapatkan bahwa sebanyak 62,58 % tidak memiliki
KMS. Sementara dari KMS yang ada, diperoleh gambaran bahwa berat badan
bayi/balita yang berada pada garis hijau sebanyak 45 %, garis kuning 42 %, garis
merah 13 %, yang mendapat ASI sampai usia 2 tahun 64,9 %, > 2 tahun sebanyak
21,1 %, tidak mendapat ASI 14 %. Usila yang menderita penyakit dalam 3 bulan
terakhir sebanyak 54 %, dengan yang sering diderita yaitu hipertensi dan rheumatic.
Vektor terbanyak nyamuk (31,88 %), lalat (30,54 %).

Analisa Data

No Data Problem Etiologi
1. 1) jumlah kepala keluarga yang
tidak memiliki tempat
pembuangan sampah
sebanyak 68,24 %,
2) melakukan pembuangan tinja
di sembarang tempat
sebanyak 48,65 %
3) pembuangan air limbah di
sembarang tempat sebanyak
68,92 %.
4) Masyarakat disana banyak
yang menderita diare karena
kekurangan air.
5) Vektor terbanyak nyamuk
(31,88 %), dan lalat (30,54
%).

Resiko tinggi terjadinya
penyakit DBD dan diare
didesa X
Sanitasi yang buruk
2. 1) Dari 30 % bayi/balita di
dapatkan 62,58 % tidak
memiliki KMS.
2) Dari KMS yang ada
didapatkan berat badan anak
Resiko kurang gizi pada
bayu/balita sedang-berat
Kurangnya
pengetahuan keluarga
tentang gizi anak
42% berada di garis kuning
dan 13% berada digaris
merah.
3) Yang mendapatkan ASI
>2tahun 21,1%, < 2 tahun
64,9 %, tidak mendapatkan
ASI 14%.
3. Jumlah usila 22,5% dari jumlah
penduduk. Usila yang menderita
penyakit dalam 3 bulan terakhir
sebanyak 54 %, dengan yang
sering diderita yaitu hipertensi
dan rheumatik.
Resiko terjadinya penurunan
derajat kesehatan lansia
didesa X
Kurangnya kesadaran
masyarakat tentang
kesehatan lansia



Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi terjadinya penyakit DBD dan diare didesa X b/d sanitasi yang buruk d/d
jumlah kepala keluarga yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah sebanyak
68,24 %, melakukan pembuangan tinja di sembarang tempat sebanyak 48,65 %
pembuangan air limbah di sembarang tempat sebanyak 68,92 %, masyarakat disana
banyak yang menderita diare karena kekurangan air, vektor terbanyak nyamuk (31,88
%), dan lalat (30,54 %).
2. Resiko kurang gizi pada balita sedang-berat b/d kurangnya pengetahuan keluarga
tentang gizi anak d/d Dari 30 % bayi/balita di dapatkan 62,58 % tidak memiliki KMS,
dari KMS yang ada didapatkan berat badan anak 42% berada di garis kuning dan 13%
berada digaris merah, yang mendapatkan ASI >2tahun 21,1%, < 2 tahun 64,9 %, tidak
mendapatkan ASI 14%.
3. Resiko terjadinya penurunan derajat kesehatan lansia didesa X b/d kurangnya
kesadaran masyarakat tentang kesehatan lansia d/d usila yang menderita penyakit
dalam 3 bulan terakhir sebanyak 54 %, dengan yang sering diderita yaitu hipertensi dan
rheumatik.

Diagnosa Prioritas

No Masalah Pentingnya masalah
untuk dipecahkan :
1. Rendah
2. Sedang
3. tinggi
Kemungkinan
perubahan
positif jika
diatasi :
0. tidak ada
1. rendah
2. sedang
3. tinggi
Peningkatan
terhadap
kualitas hidup
bila diatasi :
0. tidak ada
1. rendah
2. sedang
Total
1. Resiko tinggi
terjadinya
penyakit DBD
dan diare didesa
X b/d sanitasi
yang buruk
3 2 2 7
2. Resiko kurang
gizi pada balita
sedang-berat
b/d kurangnya
pengetahuan
keluarga
tentang gizi
anak
3 3 2 8
3. Resiko
terjadinya
penurunan
derajat
kesehatan lansia
didesa X
2 2 2 6


Rencana Intervensi

No Diagnosa Tujuan Intervensi
1. Resiko kurang gizi pada
balita sedang-berat b/d
kurangnya pengetahuan
keluarga tentang gizi anak
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 5 minggu
diharapkan masyarakat
mampu mengerti tentang
pentingnya gizi anak
1. Penyuluhan gizi pada ibu
yang memiliki anak balita
2. Supervise kader dalam
mengoptimalkan fungsi 5
meja posyandu
3. Lomba kunjungan bayi
dan balita ke posyandu
dengan memperhatikan
KMS
2. Resiko tinggi terjadinya
penyakit DBD dan diare
didesa X b/d sanitasi yang
buruk
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 4 minggu
diharapkan masyarakat didesa
X terhindar dari penyakit yang
disebabkan oleh lingkungan
yang buruk
1. Mengadakan kerja bakti
masal.
2. Mengajarkan masyarakat
tentang prilaku yang sehat
3. Resiko terjadinya
penurunan derajat
kesehatan lansia didesa X
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 5 minggu
diharapkan angka kesakitan
lansia mulai menurun.
1. Penyuluhan tentang
kesehatan lansia
2. Bimbing kader dalam
memberikan penyuluhan
tentang pentingnya
perawatan lansia melalui
kunjungan rumah
3. Pemeriksaan fisik oleh
tenaga kesehatan dari
puskesmas
4. Pengajian dan ceramah
agama
5. Senam Lansia

Anda mungkin juga menyukai