Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KEPERAWATAN MENJELANG AJAL PALIATIF

TINJAUAN SOSIAL DAN BUDAYA TENTANG PERAWATAN PALIATIF

OLEH:

Kelompok 9/Kelas 5A

1. Ummu Risqa Abidah (1130017004)


2. Nisa Wahyu Dika Mila Sari (1130017010)

Fasilitator :

Siti Nurjanah, S. Kep.,Ns.,M. Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayahnya yang senantiasa dilimpahkan kepada kita semua. Dan tak lupa
pula kita mengirim salam serta salawat kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita kepada suatu ajaran yang benar yaitu agama Islam. Penulis merasa
bahagia dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Tinjauan
Sosial dan Budaya Tentang Perawatan Paliatif” dengan lancar.

Makalah ini berisi tentang tinjauan sosial dan budaya perawatan paliatif,
adapun tujuan penyusunan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Menjelang Ajal Paliatif.

Sebagai penulis, kami menyadari adanya kekurangan-kekurangan dalam


menyusun makalah ini, maka dari itu penulis mengharap kritik dan saran apabila
terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan mohon maaf. Semoga saja
makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Surabaya, 28 September 2019

Penyusun

2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Pada abad ke-19, antibiotik mulai dikkenal dalam dunia kedokteran. Tidak
lama setelah itu, ditemukan defibrillator pada tahun 1953, ketika seekor anjing
bernama Knowsy (diberi nama berdasarkan pengetahuannya mengenai dunia
seberang sana) berhasil diresusitasi. Sejak saat itu berkembanglah optimisme
bahwa segala sesuatu dapat disembuhkan. Prinsipnya adalah bahwa tubuh
manusia bagaikan sebuah rangkaian mesin yang dapat terus hidup apabila
masing-masing bagian dapat dipertahankan fungsinya, dan menggantinya
apabila ada kerusakan. Namun sayangnya hal ini terbukti salah.

Meskipun demikian, dunia kedokteran pada zaman itu menolak fakta


bahwa pasien bisa sekarat dan meninggal. Hal ini menyebabkan pasien-pasien
yang sekarat seringkali ditelantarkan dan dibiarkan mati dengan menderita.
Maka dari itu dibutuhan sebuah institusi khusus untuk menangani hal ini, dan
institusi tersebut dikenal dengan hospis.

Istilah hospis belum banyak dikenal dalam pelayanan kesehatan kita.


Hospice (Ind: Hospis) berasal dari kata latin hospitum, yang berarti tamu.
Secara praktis, hospis merupakan konsep untuk menerima penderita dan
memberikan pelayanan yang terbaik bagi mereka, sebagaimana layaknya
tamu. Gerakan hospis secara esensial lahir pada tahun 1967 dengan lahirnya
“The First Modern Hospis” yaitu “St.Christopher’s Hospice” di Sydenham,
London, oleh Dr. Cycely Saunders. Dua tahun kemudian, Elizabeth Kubler-
Ross mempublikasikan bukunya yang berjudul “On Death and Dying” yang
didasarkan pada pengalamannya berbicara dengan pasien sekarat di sebuah
rumah sakit di Chicago.

WHO pada tahun 1989 mencanangkan program “Palliative Care”, yang


menekankan keperawatan pada aspek fisik, psikologis, rohani, termasuk
pemberian dukungan kepada keluarga. Inilah yang nantinya dikenal juga
sebagai “palliative care” dan “supportive care”.

3
Sejak 2007 pemerintah Indonesia, melalui kementerian kesehatan telah
menerbitkan aturan berupa kebijakan perawatan paliatif (Keputusan MENKES
No.812?Menkes/SK/VII?2007). dimana dasar yang mewakili acuan
diterbitkannya peraturan tersebut yaitu: kasus penyakit yang belum dapat
disembuhkan semakin jumlahnya baik pada pasien dewasa maupun anak-
anak; untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien dengan
penyakit yang belum dapat disembuhkan selain dengan perawatan kuratif dan
rehabilitatif juga diperlukan perawatan paliatif bagi pasien dengan stadium
terminal.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa definisi perawatan paliatif?
2. Bagaimana tinjauan sosial tentang perawatan paliatif?
3. Bagaiamana tinjauan budaya tentang perawatan paliatif?
1.3 TUJUAN
1. Tujuan Umunm
Mahasiswa mampu memahami dam mengetahui bagaimana tinjauan
sosial dan budaya tentang perawatan paliatif.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui definisi perawatan paliatif.
b. Mahasiwa mampu mengetahui tinjauan sosial tentang perawatan
paliatif.
c. Mahasiswa mampu mengetahui tinjauan budaya tentang perawatan
paliatif.

1.4 MANFAAT
1. Bagi penulis
Melatih untuk mengembangkan keterampilan membaca yang efektif dan
melatih untuk menggabungkan hasil bacaan dari berbagai sumber.

2. Bagi pembaca
Pembaca dapat memahami konsep tinjauan sosial dan budaya tentang
perawatan paliatif.

4
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI PERAWATAN PALIATIF


Terdapat beberapa definisi perawatan paliatif, tetapi semuanya memiliki
konsep yang sama. Pernyataan dari The World Health Organization (WHO):
“Perawatan paliatif meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam nyawa, dengan memberikan
penghilang rasa sakit dan gejala, dukungan spiritual dan psikososial, sejak
tegaknya diagnosis hinga akhir kehidupan serta periode kehilangan anggota
keluarga yang sakit”.
Perawatan paliatif yang didefinisikan oleh the National Consensus Project
for Quality Palliative Care adalah sebagai berikut: Tujuan akhir dari
perawatan paliatif adalah mencegah dan mengurangi penderitaan serta
memberikan bantuan untuk memperoleh kualitas kehidupan terbaik bagi
pasien dan keluarga mereka tanpa memperhatikan stadium penyakit atau
kebutuhan terapi lainnya. Perawatan paliatif merupakan gabungan dari sebuah
filosofi perawatan dan pengorganisasian sistem yang sangat terstruktur dalam
memberikan pelayanan. Perawatan paliatif memperluas model pengobatan
penyakit tradisional ke dalam tujuan dalam peningkatan kualitas hidup pasien
dan keluarga, mengoptimalkan fungsi, membantu membuat keputusan, dan
meyiapkan keempatan pengembangan pribadi.
Dengan demikian, perawatan paliatif dapat diberikan bersamaan dengan
perawatan yang memperpanjang/mempertahankan kehidupan atau sebagai
fokus perawatan. Perawatan paliatif menyangkut:
1. Mengurangi atau menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang
mengganggu.
2. Membuat pasien mengerti bahwa proses hidup dan mati adalah suatu yang
wajar.
3. Tidak bermaksud untuk mempercepat atau menunda kematian.
4. Mengintegrasikan aspek psikologi dan spiritual dari perawatan pasien.

5
5. Menawarkan sistem pendukung untuk membantu pasien hidup seaktif
mungkin sampai saat kematian.
6. Menawarkan sistem pendukung untuk membantu keluarga agar dapat
menerima kenyataan dan menyikapi penyakit pasien dengan baik.
7. Menggunakan pendekatan kelompok untuk mengetahui kebutuhan pasien
dan keluarga, termasuk konseling.
8. Meningkatkan kualitas hidup, dan dapat juga mempengaruhi perjalanan
penyakit secara positif.
9. Dapat diterapkan dini saat perjalanan penyakit, digabung dengan terapi
lainnya yang berusaha untuk memperpanjang hidup, peperti kemoterapi
dan radioterapi, termasuk usaha untuk mengetahui dan mengatasi
komplikasi klinis yang mengganggu.

2.1 TINJAUAN SOSIAL TENTANG PERAWATAN PALIATIF


Sosiologi sering diidentikkan dengan disiplin ilmu social. Namun
sosiologi juga sering di kategorikan sebagai bagian dari berbagai disiplin
seperti psikologis, kebijakan social, antropologi, ilmu politik, dan ilmu
ekonomi. Namun secara sederhana, sosiologi dapat dibedakan dengan disiplin
ilmu lainnya dimana ilmu social dapat dibedakan dengan disiplin ilmu
lainnya dimana ilmu social berfokus pada bagaimana aspek keduniaan
manusia atau dunia buatan manusia sebagai bagian eksternal manusia yang
dapat memengaruhi manusia secara kolektif. Sosiologi juga sebagai disiplin
yang selalu focus pada berbagai isu social utama seperti isu pengangguran,
kemiskinan dan rasisme, yang mana hal tersebut dapat mempengaruhi proses
kehidupan manusia.
Sehat, sakit dan penyakit bukan hanya kondisi terkait biologis dan
psikologis namun juga terkait dengan status social (Clarke, 2010). Dimensi
social tersebut merupakan inti dari studi sosiologi mengenai sehat dan sakit.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa sekalipun para sosiologis memahami bahwa
factor biologis memiliki peran penting sebagai sebab kejadian penyakit,
namun para sosiologis juga meyakini bahwa factor social memberikan efek
terhadap kondisi sehat dan sakitnya terhadap seseorang, termasuk disaat

6
kondisi sakit factor social dapat menjadi salah satu factor yang memperburuk
kondisi pasien. Sehingga timbul suatu persepsi umum bahwa sehat dan sakit
merupakan produk social. Dengan kata lain bahwa pengalaman seseorang
terhadap kesehatan maupun kejadian sakit dipengaruhi oleh social, ekonomi,
dan karakteristik budaya dan suatu masyarakat dimana mereka tinggal.
Parson (1951 dalam Clarke, 2010) mengembangkan sebab konsep tentang
peran sakit yang menarik perhatian sehingga hal tersebut menjadi sebuah
fakta bahwa sakit bukanlah murni sebagai status biologis namun sakit juga
memiliki dimensi social.
Berbagai aspek social dengan berbagai isu mempengaruhi bidang kesehatan
di ilustrasikan pada gambar berikut:

Sociologi topical

Globalisation Power and the state


The media Gender Poverty and inequality
Religion Education Race and ethnicity Social class
Culture and identity Families and households Crime and deviance

Health and wellbeing

Critiques
of mental Deviance Illness
‘illness Doctor- and the behaviour
The experience
patient sick role
of chronic
relationship illness
Patterns of health
Social and illness
Social
experience Power and
ideas about Medical determinants
profesionalism
the body knowledge of health
in care
and dower
Gender and
ethnicity in
the health

Seiring dengan meningkatnya kasus penyakit kronis yang disertai dengan


penurunan kualitas hidup dalam berbagai kasus penyakit terutama pada
stadium lanjut atau terminal maka kebutuhan akan pelayan dalam tatanan

7
social pun turun meningkat. Bilah melihat catatan sejarah bahwa perawatan
paliatif dan hospis hadir sebagai bentuk respon terhadap ketidak mampuan
tatanan layanan kesehatan dalam memenuhi kebutuhan pasien menjelang
akhir kehidupan beserta keluarganya dengan baik. Mengingat akan kebutuhan
tersebut maka perawatan paliatif dinyatakan sebagai salah satu hak asasi
manusia. Lebih lanjut, perawatan paliatif juga telah menjadi sebuah isu
keadilan social dan semua anggota masyarakat harus dapat mengakses jenis
perawatan tersebut.

Bagi pasien-pasien yang mendekati akhir kehidupan, hubungan menjadi


suatu hal yang lebih penting. Bagi beberapa orang, ada suatu kebutuhan untuk
menyambung kembali hubungan yang renggang, meminta atau memberi
maaf, atau memulihkan hubungan. Hal ini bahkan menjadi kebutuhan yang
sangat penting jika pasien meninggal selama berada dalam perawatan di
rumah sakit. Kesempatan untuk berhubungan sosial menjadi terbatas saat
keinginan unyuk bersama semakin kuat. Dengan demikian, ini bukan saatnya
untuk membatasi kunjungan.
Kebanyakan rumah sakit menetapkan batasan kunjungan pasien, selain
untuk mengatur arus keramaian, memberikan waktu ke pasien untuk
beristirahat atau tidur, juga memberikan privasi selama dokter melakukan
visite. Namun selalu ada pengecualian pada kebijakan kunjungan, dan
perawatlah yang menjadi pengawas dengan pengontrol untuk memberikan
pengecualian pada kebijakan itu. pasien-pasien yang akan meninggal
sebaiknya jangan dibatasi untuk bertemu orang-orang yang penting bagi
mereka, termasuk anak mereka.
Kunjungan yang tidak dibatasi dapat diakomodasi dengan baik jika pasien
ditempatkan atau dipindahkan ke ruang pribadi. Mekanisme rumah sakit
untuk mengkomunikasikan pengecualian terhadap kebijakan kunjungan ini
juga berguna sehingga pasien atau keluarga tidak perlu mengulangi
permintaan kunjungan setiap hari atau setiap giliran jaga. Hal ini dapat di buat
dalam format tabel, cacatan dalam kardeks pasien, catatan dalam laporan
medis elektronik, atau sebuah daftar yang diletakkan di meja di mana
pengunjung dapat melewatinya.

8
Ketika pasien sudah mendekati kematian, satu atau lebih anggota keluarga
dapat berada di sisi pasien terusmenerus, hal ini kadang di sebut dengan
“berjaga-jaga dengan kematian”. Hal ini penting bagi pasien sesaat menjelang
kematiannya. Perawat-perawat dapat mengakomodasi kebutuhan ini dengan
memberikan ekstra kursi, idealnya satu atau lebih kursi dengan sandaran,
kedalam ruangan pasien. Air putih segar, cangkir-cangkir, jus atau kertas tisu
akan berguna dan diletakkan di ruangan, hal ini memberikan bukti kepedulian
perawat. Pengunjung pasien lainnya mungkin bertanya mengapa mereka
harus pulang ke rumah malam hari sementara mereka melihat para
pengunjung lain tinggal di situ seterusnya. Sebuah jawaban yang tidak
memaparkan kerahasiaan mengenai keadaan pasien tersebut adalah seperti
berikut ini. “Pasien di ruangan itu memiliki keadaan khusus yang
mengharuskan keluarganya berda di dekatnya. Seorang yang anda cintai tidak
memiliki keadaan khusus seperti itu. “Biasanya, para pengunjung dari pasien-
pasien lain akan mengerti mengapa pasien yang sekarat memiliki kebebasan
kunjungan.
Menyedihkan, beberapa pasien tidak memiliki keluarga atau teman-teman.
Hubungan sosial yang seperti ini mungkin di pilih oleh pasien atau
merupakan suatu akibat dari keadaan yang malang. Para sukarelawan,
pengasuh, staf perawat, dan pendeta atau ustadz di rumah sakit merupakan
sumber-sumber dukungan sosial bagi pasien yang kesepian.

2.3 TINJAUAN BUDAYA TENTANG PERAWATAN PALIATIF


Budaya didefinisikan sebagai jalan hidup, yang mana memberikan
pandangan dunia, dasar dalam memahami dan mencipta realitas hidup
seseorang, mengarahkan makna dan tujuan hidup dan sekaligus memberikan
dan menjadikan acuan hidup (Matzo & Sherman, 2010). Sedangkan Sobo &
Loustaunau (2010) mendefinisikan budaya sebagai bentuk berbagi yang
didasarkan pada pengetahuan yang telah dipelajari dan pola perilaku pada
suatu kelompok, dimana kelompok tersebut terdiri beberapa orang yang
saling berinteraksi.

9
Latar belakang budaya yang dimiliki oleh pasien sangat mempengaruhi
pasien terhadap bagaimana ia memilih atau merujuk sesuatu dan
menginginkan hal terkait mendiskusikan berita buruk, membuat keputusan,
serta bagaimana pengalamannya terkait kematian (Lum & Arnold, 2012)
maupun penanganan dan perawatan menjelang kematian (Clark & Philips,
2010).
Olehnya itu, memahami latar belakang budaya pasien merupakan hal yang
sangat dasar untuk membangun rasa percaya dan hubungan yang bersifat
supportif antara pasien, keluarga dan profesional kesehatan. selain itu
memahami budaya juga sebagai dasar untuk mengembangkan rencana
perawatan kesehatan yang mencakup harapan yang terkait budaya pasien, dan
kepercayaan yang terkait keehatan. Andrews and Boyle (1995) dalam Matzo
& Sherman, 2010) menjelaskan bahwa kepercayaan yang terkait dengan
kesehatan dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu:
1. Magico-religious, dalam perspektif ini seseorang berkeyakinan bahwa
Tuhan atau kekuatan supranatural yang mengontrol kesehatan dan sakit.
2. Biomedical, dalam perspektif ini seseorang meyakini bahwa sakit
diakibatkan oleh gangguan fisik dan proses biokimia dan hal tersebut
dapat dimanipulasi di pelayanan kesehatan.
3. Holistic, dalam pandangan ini bahwa kesehatan merupakan hasil
keseimbangan atau harmoni dari berbagai elemen alami, sehingga kondisi
sakit terjadi sebagai suatu kondisi ketidak harmonisan.
Perawatan pasien dengan model holistic lebih menekankan pada
pengalaman subyektif terhadap kondisi sakit dibandingkan dengan deskripsi
penyakit secara fisiologis. Jadi, jika perawatan yang dilakukan berpusat pada
pasien, maka memasuki dunia pasien merupakan hal yang penting untuk
dapat melihat penyakit dan kondisi sakit menurut pandangan dan persepsi
pasien (Selman, Speck, Barfield, Gysels, Higginson & Harding, 2014). Lebih
lanjut, berdasarkan fenomena tersebut maka di adopsi 3 prinsip yang
berkenaan dengan pengalaman sakit yaitu:
1. Prinsip pertama, sakit sebagai budaya.

10
Dua orang yang berbeda dengan penyakit yang sama boleh jadi memiliki
pengalaman yang berbeda tentang sakitnya. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh seberapa mengganggunya atau perhatiannya seseorang tersebut
terhadap sakit dan penyakitnya. Seberapa ragamnya pengalaman
seseorang dengan orang lain terhadap kondisi sakit yang alami tersebut,
dimana kondisi sakit tersebut sebagai suatu fenomena dan bagaimana
fenomena tersebut dikomunikasikan dan dijelaskan. Kedua hal yang
berkaitan dengan fenomena sakit tersebut mempengaruhi budaya yang
nampak pada seseorang. Begitu pula pengaruh bagaimana kita
menginterpretasikan dan memberi makna terhadap pengalaman kita, maka
budaya akan mempengaruhi bagaimana kita mengekpresikan pengalaman
kita terhadap dunia.
2. Prinsip kedua, makna, kematian dan sakit.
Prinsip ini menekankan bahwa peran suatu makna merupakan hal yang
sangat dasar terhadap pengalaman hidup seseorang, terutama pada kondisi
sakit serius. Sekalipun kebutuuhan akan makna secara universal
datangnya lebih dahulu daripada kondisi sakit, makna memiliki peran
penting terhadap peran manusia atau seseorang itu sendiri dan peran suatu
kumpulan secara umum. Makna juga dapat menjadi sebagai sebuah
konsekuensi dari suatu kejadian yang tidak dapat dihindari dan dielakkan
seperti kematian. Kematian memiliki peran penting dalam pengalaman
seseorang, dimana kematian selalu terjadi dan hadir dalam kehidupan, dan
eksistensi manusia adalah menjadi dan menuju kamtian. Kedua hal
tersebut menjadikan sesuatu yang dapat membatasi seseorang berdasarkan
pengalaman yang menjadi bagian dari kehidupan seseorang. Keterbatasan
tersebut dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu temporal finitude yang
menyangkut tentang kematian, dan the finitude of the possibility yang
mana sesuatu yang membatasi dalam hidup seperti sakit.
Menelusuri makna sakit dapat dipahami sebagai suatu kejadian yang
terjadi dalam dua dimensi yaitu: makna global, dimana berupa sistem
orientasi umum seseorang, mencakup kepercayaan, tujuan dan perasaan.

11
Makna situasional, dimana tergantung pada lingkungan dimana konteks
itu terjadi. Budaya dapat mempengaruhi kedua dimensi tersebut.
3. Prinsip ketiga, narasi tentang sakit.
Sakit yang dinarasikan menjadi sebuah jalan atau cara dimana manusia
atau seseorang menemukan sesuatu yang dapat diterima secara logika dan
sekaligus menemukan makna terkait dengan pengalamannya. Budaya
mempengaruhi bagaimana pasien menemukan sebuah makna dimana
narasi kondisi sakit secara budaya tergantung pada beberapa hal seperti
sumber mengenai asal, proses dan perkembangan serta hasil dari suatu
penyakit dan pengobatan itu sendiri dan makna tentang kematian.
Hasil dari proses integrasi dari ketiga prinsip di atas menjadikan
sebuah model yang melibatkan dan menjadikan budaya sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari pengalaman seseorang tentang sakit. Fenomena
sakit menjadikan sebuah konsep holistic hal tersebut menjadi sebuah
justifikasi bhawa sensitifitas terhadap budaya dan pengkajian holistic
pada pasien menjadi sebuah kebutuhan dalam praktik klinik. Schim dan
Miller mengembangkan model kompetensi budaya, dimana model
tersebut mencakup empat komponen yaitu:
1. Keragaman budaya, mengenal dan memahami keragaman populasi
dengan keunikan nilai dan kepercayaannya serta adat istiadatnya.
2. Kesadaran akan budaya, yang mana ditunjukkan dengan adanya
pertukaran pengetahuan dan informasi mengenai kesehatan,
kepercayaan, dan praktik khusus dalam berbagai komunitas serta
variasi budaya dalam grup.
3. Sensitifitas terhadap budaya, hal ini membutuhkan upaya untuk
mengenal perilaku atau tingkah laku dan kepercayaan, serta upaya
untuk menghindari beberapa hal yang terkait proses komunikasi dan
keterampilan komunikasi terutama yang berhubungan dengan
mendengar aktif, hening dan sentuhan, jarak dalam berkomunikasi,
pola bahasa atau aksen, penggunaan penerjemah bahasa.
4. Kompetensi budaya, hal ini melibatkan keragaman budaya sebagai
fakta, kesadaran akan budaya sebagai pengetahuan, dan sensitifitas

12
budaya melalui tingkah laku menjadi suatu praktik dan perilaku
keseharian.
Model kompetensi budaya yang dijelaskan di atas serupa dengan yang
dikemukakan oleh McGee& Johnson (2014) dimana mereka memperkenalkan
bahwa kompetensi budaya merupakan proses untuk mengembangkan sesuatu
yang mana hal tersebut tergantung pada kesadaran diri, pengetahuan dan
keterampilan. Ketiga poin tersebut dapat diaplikasikan dalam suatu organisasi
secara menyeluruh maupun secara individu.
Selaian model kompetensi budaya yang dikemukakan oleh Schim dan
Miller, berikut beberapa model kompetensi budaya yang juga sering
digunakan untuk pengajaran kompetensi budaya bagi para profesional
kesehatan, dan untuk mengkaji latar belakang budaya pasien, yaitu:
1. The model of cultural competency dari Campinha-Bacote.
2. A model of culturally competent health care practice dari Papadopoulos.
3. Taxonomy of culturally competent community care dari Kim-Godwin.
4. Transcultural model dari Giger and Davidhizar.
5. Four step approach to providing culturally sensitive patient teaching dari
Kittler and Sucher.
6. Model of cultural competence dari Purnell and Paulanka.
7. Sunshine model dari Leininger (Evans, Menaca, Koffman, Harding,
Higginson, Pool & Gysels, 2012).
Peran budaya sangatlah penting dalam perawatan paliatif dan hospis, dan
bagaimana budaya tersebut di konseptualkan dan di aplikasi dalam kehidupan
sehari-hari telah memberikan dampak yang sangat besar pada pasien,
keluarga dan penyedia layanan kesehatan (Bozma, Apland & Kazanjian,
2010). Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
kompetensi budaya dalam pelayanan kesehatan dan perawatan dapat
meningkatkan layanan perawatan, hasil akhir terhadap pasien, dan tingkat
kepuasan pasien beserta petugas kesehatan itu sendiri termasuk perawat
(Bhat, McFarland, Keiser, Wahbe-Alamah , Filter, 2015). Namun berbagai
faktor juga memiliki kontribusi terhadap kompleksitas budaya seperti sosial,
ekonomi, dan politik, dimana faktor-faktor tersebut melekat dan menjadi hal

13
permanen dalam suatu masyarakat yang dengannya pula akan merubah cara
pandang masyarakat terhadap sesuatu.

14
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Perawatan paliatif meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga
dalam menghadapi penyakit yang mengancam nyawa, dengan memberikan
penghilang rasa sakit dan gejala, dukungan spiritual dan psikososial, sejak
tegaknya diagnosis hinga akhir kehidupan serta periode kehilangan anggota
keluarga yang sakit. Tujuan akhir dari perawatan paliatif adalah mencegah
dan mengurangi penderitaan serta memberikan bantuan untuk memperoleh
kualitas kehidupan terbaik bagi pasien dan keluarga mereka tanpa
memperhatikan stadium penyakit atau kebutuhan terapi lainnya. Begitupun
tinjauan sosial dan budaya dalam perawatan paliatif sangat berpengaruh
terhadap perawatan yang akan di berikan pada pasien.

3.2 SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa maupun pembaca
dapat lebih memahami tentang perawatan paliatif dan juga pengaruh tinjauan
sosial dan budaya terhadap pemberian perawatan pada pasien paliatif/
terminal dan juga mengetahui apa yang harus di lakukan seorang perawat
dalam menangani permasalahan sosial maupun budaya yang terjadi pada
pemberian perawatan pasien.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bhat, A.M., McFarland, M., Keiser, M., WEhbe-Alamah, H., & Filter M. 2015.
Advancing Cultural Assesment in Palliative Care Using Web-Based
Education. Journal of Hospice and Palliative Nursing, 17(4).348-355.
Bosma, H., Apland, L., & Kazanjian, A. 2010. Cultural Conceptualizations of
Hospice Palliative Care; More Similarities than Differences. Palliative
Medicine, 24 (5). 510-522
Clark,K., & Philips,J. 2010. End of Life Care; The Importance of Culture and
Ethnicity. Australian Family Physician, 39(4).210-213.
Clarke, A. 2010. The Sociology of Healthcare Second Edition. Henry Ling ltd.
Essex, England.
Evans, N., Menca, A., Koffman, J., Harding, R., Higginson, I. Dkk. 2012.
Cultural Competence in end of Life Care, Terms, Definitions, and Conceptual
Models from the British Literature. Journal Palliative Medicine. 15(7). 812.
820.
Lum, H., Arnold, R.M. 2012. Asking about Cultural Beliefs in Palliative Care.
Journal of Palliative Medicine. 15(6). 714.715.
Matzo, M., Sherman, D.W. 2010. Palliative Care Nursing; Quality Care to the
end of Life Third Edition. New York USA: Springer Publishing Company.
McGee, P., Johnson, M.R.D. 2014. Developing Cultural Competence in
Palliative Care. British Journal of Community Nursing.
Rasjidi, Imam. 2010. Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri pada Kanker.
Jakarta: Sagung Seto.
Yodang. 2018. Buku Ajar Keperawatan Paliatif Berdasarkan Kurikulum AIPNI
2015. Jakarta Timur: Trans Info Media.

16
Pertanyaan:
1. Robi Is Maulana (1130017007): Kategori kelompok ada 3. Magico
religious, biomedical, dan holistic. Magico religious penyakit merupakan
kutukan /ujian dari tuhan. Bagaimana solusinya?
2. Siti Afifah (1130017164): Contoh peran perawat dalam meningkatkan
kualitas hidup dalam tinjauan budaya?
3. Fitria Diana Maghfirotul I. (1130017001): Sakit sebagai budaya. Ada 2
orang terkena penyakit yang sama, tapi menanggapi sakitnya berbeda,
bagaimana?

17

Anda mungkin juga menyukai