Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS POPULASI RENTAN :

PENYAKIT MENTAL UNTUK MEMENUHI TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH


KEPERAWATAN KOMUNITAS II

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Isnaeni 1219006051

Dhimas Firmansyah 1219006171

Fathimah Azzahro 1219006211

Sindhi Noviasari 1219006231

Widodo Utomo 1219006391

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEKALONGAN

2021

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi
kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson,
Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor
resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu,
gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka
berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya
berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan
kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan
untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia
memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok
Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang
sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi
masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum
sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi
perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang
merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi
hakhak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan
legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat
kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi
bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai
dampak bagi masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan populasi rentan?
2) Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?
3) Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat penyakit mental ?

C. Tujuan
1) Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan.
2) Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental.
3) Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat penyakit
mental.
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Populasi Rentan
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah
semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati
standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu
masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai
kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi
sosial yang sedang mereka hadapi.
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang
cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang
dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi pengelompokkannya, maka
penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang cacat
fisik, Penyandang cacat mental, Penyandang cacat fisik dan mental.
2. Gangguan Mental
Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder) Istilah gangguan mental (mental
disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi yang digunakan dalam
PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi gangguan
mental (mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah:
“Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola
perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara
khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment/disability) di adalm satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia.
Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi
perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di
dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, tth:7). Dari penjelasan di
atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan mental (mental
disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut:
a. Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola
perilaku Sindrom atau pola psikologik
b. Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain
berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi
organ tubuh, dll.
c. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk
perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan,
kebersihan diri, dll).
Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat
didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental
atau kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari
fungsifungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan ketegangan-ketegangan;
sehingga muncul gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang,
atau sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang 5 sejalan juga
dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu: “Gangguan mental
(mental disorder) ialah sebarang bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang
serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang mengakibatkan
ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat
psikogenis atau organis, mencakup kasuskasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi
neurotis yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental
disorder) adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi
baik secara fisik maupun phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam
jiwanya.
1) Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder).
Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental
disorder), penulis merujuk pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim,
tth:10), yang digolongkan sebagai berikut:
a) Gangguan mental organik dan simtomatik;Gangguan mental
organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit
atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di diagnosis secara
tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang
diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari penyakit atau
gangguan sistematik di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22).
b) Gangguan skizofrenia dan gangguan waham. Gangguan
skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya ditandai oleh
penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau
tumpul (blunted).” (Maslim, tth:46). Sedangkan gangguan waham
adalah gejala ganguan jiwa di mana jalan pikirannya tidak benar
dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal itu tidak betul;
suatu jalan pikiran yang tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272).
c) Gangguan suasana perasaan (mood/afektif). Gangguan suasana
perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan
(mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa
anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan
yang meningkat). (Maslim, tth:60).
d) Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres. Gangguan
neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan
dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis.
(Maslim, tth:72).
e) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
dan faktor fisik. Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan
mengurangi berat badan dengan segaja, dipacu dan atau
dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).
f) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi
klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap,
dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang
dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang lain
(Maslim, tth:102).
2) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental
Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang
mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder), maka
yang perlu ditelusuri pertama kali adalah faktor dominan yang dapat
mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis merujuk
pada pendapat 8 Kartini Kartono (1982:81), yang membagi faktor
dominan yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental
disorder) ke dalam tiga faktor, yaitu:
a) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak
dan proses dementia.
b) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis
dan reaksi psikotis pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan
lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan hati, depresi, dan
rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang
mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi
kepribadiannya. Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari
pengalaman-pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat
orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis
ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul
beban tersebut.
c) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha
pembangunan dan modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi
menyebabkan problem yang dihadapi masyarakat modern menjadi
sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat
sulit. Banyak orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik
terbuka dengan orang lain, serta menderita macam-macam
gangguan psikis.
3) Pencegahan gangguan mental
Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing
mental yangsakit agar menjadi sehat mental danmenjaga mental yang
sehat agar tetap sehat. Namun sebelumnya akan penulis paparkan
terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan gangguan mental. a)
Pengertian pencegahan gangguan mental
Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan sebagai
upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana dari
lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan atau kerugian.
(Prayitno, 1994:205). Sementara AF. Jaelani (2000:87),
berpendapat bahwa pencegahan mempunyai pengertian sebagai
metode yang digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri
dan orang lain guna meniadakan atau mengurangi terjadinya
gangguan kejiwaan. Dengan demikian pencegahan gangguan
mental didasarkan pada upaya individu terhadap diri dan orang lain
untuk menekan serendah mungkin agar tidak terjadi gangguan
mental sesuai dengan kemampuannya.
b) Upaya pencegahan
Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan
mulai dari faktor yang mempengaruhi sampai akibat yang
ditimbulkan. Pada dasarnya upaya pencegahan ialah didasarkan
pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsipprinsip yang
dimaksud adalah
a. Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri Orang yang
memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri
sendiri maupun hubungan dengan orang lain, hubungan
dengan alam lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan. Hal
ini dapat diperoleh dengan cara penerimaan diri, keyakinan
diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri (Yahya, 1993:83).
b. Keterpaduan atau integrasi diri Berarti adanya keseimbangan
antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan
pandangan (falsafah dalam hidup) dan kesanggupan
mengatasi ketegangan emosi (stres) (Yahya, 1993:84).
c. Pewujudan diri (aktualisasi diri) Merupakan sebuah proses
pematangan diri dapat berarti sebagai kemampuan
mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan
sikap yang baik terhadap diri-sendiri serta meningkatkan
motivasi dan semangat hidup. Oleh karena itu, agar terhindar
dari gangguan mental, maka sedapat mungkin
mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan dengan
baik dan memuaskan (Kartono, 1986:231). Dengan demikian
upaya pencegahan dapat berhasil apabila manusia dapat
berpotensi untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik
dan tidak hanya pasrah pada kemampuan dasar manusia
seperti menggembangkan bakat dan sebagainya.
d. Agama dan falsafah hidup. Dalam hal ini agama berfungsi
sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah dan terganggu. Selain
itu agama juga berperan sebagai alat pencegah (preventif)
terhadap kemungkinan gangguan mental dan merupakan
faktor pembinaan (konstruktif) bagi kesehatan mental.
(Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan beragama, berarti
seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan serta tekun
menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud kesehatan
mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup merupakan
wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai. Sehingga setiap
orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan
demikian apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka
akan dapat menghadapi tantangannya dengan mudah (Fahmi,
1982:92).
e. Pengawasan diri Agar dapat terhindar dari gangguan mental,
maka sedapat mukin melindungi diri dari dorongan dan
keinginan atau berbuat maksiat dengan mengawasi diri kita.
Secara umum orang yang wajar adalah orang yang mampu
mengendalikan keinginannya dan mampu menunda sebagian
dari pemenuhan kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan
kelezatankelezatan dengan segera, demi untuk mencapai
keuntungan (pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih
kekal. (Fahmi, 1982:114). Manfaat lain dari pengawasan diri
adalah menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan norma dan adat yang berlaku.
Berdasarkan pada eksplorasi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pencegahan gangguan mental dimaksudkan untuk
mewujudkan kesehatan mental yang didasarkan pada
kemauan dan kemampuan setiap pribadi untuk merubah dari
masalah yang buruk agar menjadi baik.
BAB III PENGKAJIAN

A. Kasus seorang perempuan Ny. M, usia 40 tahun, beragama islam yang tinggal dengan
dua orang anak perempuan berusia 19 tahun dan 15 tahun baru saja pulang dari rumah
sakit setelah 20 hari dirawat di rumah sakit, perempuan tersebut dirawat karena
marah-marah, tertawa, berbicara sendiri, merusak alat rumah tangga dan curiga
dengan suaminya. Diagnosa medis skizofrenia. Suami perempuan tersebut berusia 45
tahun dan bekerja sebagai buruh di kota dan pulang seminggu sekali. Perempuan
tersebut sudah 2 kali dirawat di rumah sakit. Dirumah ia hanya tinggal dengan kedua
anaknya, 1 minggu setelah pulang kader melaporkan keperawat puskesmas bahwa
perempuan tersebut mulai marah-marah, bicara dan tertawa sediri lagi dan tidak mau
minum obat.
B. Pengkajian
Nama : Ny. M
Umur : 40 tahun
Agama : Islam
Alamat :-
Jenis Kelamin : Perempuan
Diagnosa medis : Halusinasi
Data Demografi :
No Nama Anggota Umur Jenis Hubungan Agama Keadaan
Keluarga Kelamin Dalam Fisik
Keluarga
1 Pasien Ny. M 40 thn Perempuan Istri / Ibu Islam Baik
(Riwayat
gangguan
mental)

2 Suami 45 thn Laki - laki Suami /Ayah Islam Baik


3 Anak 1 19 thn Perempuan Anak Islam Baik
4 Anak 2 15 thn Perempuan Anak Islam Baik

C. Diagnosa keperawatan individu


Dx : Halusinasi
Resiko perilaku kekerasan
Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif
Keluarga
Kurang pengetahuan
Perencanaan
Tujuan jangka panjang
Individu
a. Halusinasi berkurang atau hilang
b. Perilaku mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan dapat di cegah
c. Patuh dalam penatalaksanaan regimen terapeutik
Keluarga
a. Mengenal masalah halusinasi, resiko perilaku kekerasan dan penatalaksanaan
regimen terapeutik
b. Memutuskan cara merawat perempuan tersebut
c. Memodivikasi lingkungan
d. Melakukan follow-up dan rujukan
D. Tindakan Individu
a. Melatih mengontrol halusinasi dengan 4 cara : menghardik, bercakap-cakap,
kegiatan terjadual dan patuh minum obat
b. Melatih mengontrol prilaku kekerasan dengan cara: fisik, sosial, spiritual,
deescalasi dan patuh obat
c. Mendiskusikan tentang manfaat obat
Keluarga
a. Melatih mengenal masalah
b. Melatih keluarga mengambil keputusan
c. Melatih keluarga cara memodivikasi lingkungan
d. Melatih keluarga cara merawat ODGJ dengan halusinasi, resiko perilaku
kekerasan dan ketidak efektifan penatalaksanaan regimen terapeutik

E. Evaluasi Individu
a. Halusinasi terkontrol atau hilang
b. Tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungsn
c. Patuh minum obat
d. Keluarga
e. Pengetahuan keluarga meningkat
f. Mampu merawat perempuan tersebut
F. Pencegahan
Primer : pendidikan kesehatan dan melatih cara manajemen setres untuk suami dan
anak-anak pasien tersebut
Sekunder : monitor kepatuhan minum obat dan memberikan perawatan
Tersier : meningkatkan kemampuan koping dan mengembangkan sistem pendukun

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi
kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson,
Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor
resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu,
gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka
berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya
berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan
kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan
untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia
memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok
Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang
sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi
masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum
sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi
perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang
merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi
hakhak dan kepentingankepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan
legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat
kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi
bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai
dampak bagi masyarakat.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk dapat mengaplikasikan
pada kehidupan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup.

Anda mungkin juga menyukai