Anda di halaman 1dari 16

MODERASI BERAGAMA DALAM PUSARAN RADIKALISME DAN

ANTI KEKERASAN

Disusun untuk memenuhi tugas


MataKuliah:ModerasiBeragama
DosenPengampu: Dr.Muhammad Jaeni M pd,M.Ag

Disusun oleh:
1. Saila Rizkiyati Saniyyah (20222066)
2. Fia Ismatul Maula (20222079)
3. Munaa Mujaahidah (20222078)
4. Ikhsan Maulana (20222072)
5. M.Naf’an Arya Shoma (20222090)

Kelas : C

KEMENTERIAN AGAMA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyusun dan menyelasaikan tugas makalah yang diberikan oleh dosen
pengampu dalam mata kuliah moderasi beragama tepat pada waktunya.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung
Muhammad SAW, nabi yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju jalan terang
benderang melalui ajaran adinulislam.
Makalah berjudul “Moderasi Beragama dalam Pusaran Radikalisme dan Anti
Kekerasan” ini kami buat untuk memberi pemahaman kepada pembaca mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan radikalisme, ekstrimisme, inklusivisme, dan eksklusivisme. Kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari
segi penulisan maupun dari segi yang lain sebagainya. Maka dari itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca. Khususnya dosen yang telah
membimbing penulis dalam makalah ini.
Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada bapak Dr.Muhammad Jaeni M pd,M.Ag
selaku dosen pengampu mata kuliah Moderasi Beragama yang telah memberikan arahan dan
pihak yang telah membantu dalam mendapatkan sumber-sumber materi dalam pembuatan
makalah ini serta para pembaca yang memberikan kritik dan saran pada penyusun makalah
ini.

Pekalongan, 12 Oktober 2022

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................................5
C. Tujuan Penullisan.........................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Radikalisme dan Ekstrimisme....................................................................6
B. Pengaruh Radikalisme dan Ekstrimisme dalam Hubungan Beragama........................7
C. Ciri-ciri Radikalisme dan Ekstrimisme dalam Umat Beragama..................................8
D. Tindakan Kaum Sufisme terhadap Radikalisme..........................................................10
E. Pengertian Inklusivisme dan Eksklusivisme................................................................11
F. Dasar Pemikiran Inklusivisme dan Eksklusivisme.......................................................12
G. Toleransi Dalam Inklusivisme dan Eksklusivisme Terhadap Umat Beragama...........13
H. Sikap Mencegah Terjadinya Radikalisme, Inklusivisme dan Inklusivisme.................14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................................16
B. Saran.............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Bangsa Indonesia memiliki keragaman yang begitu banyak, tidak hanya masalah
adat istiadat atau budaya seni, bahasa dan ras, tetapi juga termasuk masalah
agama.Walaupun mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, ada beberapa
agama dan keyakinan lain yang juga dianut penduduk ini. Kristen, Katolik, Hindu,
Budha dan Khonghucu. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat
keanekaragaman yang sangat kompleks, masyarakat dengan berbagai keanekaragaman
tersebut dikenal dengan istilah masyarakat multikultural.
Keanekaragaman agama yang dipeluk bangsa Indonesia menjadi bukti bahwa bangsa
Indonesia menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia. Karena kebebasan beragama
merupakan esensi dari hak kodrati manusia untuk berbakti kepada penciptanya, Tuhan
Yang Maha Esa menurut hati nuraninya. Setiap agama tentu punya aturan masing-
masing dalam beribadah. Namun perbedaan ini bukanlah alasan untuk berpecah belah.
Sebagai satu saudara dalam tanah air yang sama, setiap warga Indonesia berkewajiban
menjaga kerukunan umat beragama di Indonesia agar negara ini tetap menjadi satu
kesatuan yang utuh dan mencapau tujuannya sebagai negara yang makmur dan
berkeadilan sosial.
Sudah menjadi hal yang lumrah apabila semua agama lahir dan hadir lengkap
dengan “klaim kebenaran”. Hanya saja terdapat perbedaan dalam memandang
kebenaran tersebut di antara para penganut agama, seperti halnya eksklusivisme, yaitu
bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu dan tidak di dalam agama
lain. Klaim ini tidak memberikan alternatif apapun bagi agam alinnya. Adanya klaim
eksklusivisme dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep yuridis
tentang “keselamatan”, di mana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai
satu-satunya “ruang soteriologis” yang hanya di dalamnya manusia dapat mendapatkan
keselamatan (salvation) atau kebebasan (liberation) atau pencerahan (enlightenment).
Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran,
kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi
saja. Kristen Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya
menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada
pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan. Islam
dengan statemen dalam al-Qur’an surat Ali Imran : 85, yang artinya “hanya dengan
meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (ber-Islam) kepada Allah SWT sajalah
seseorang bisa mendapatkan keselamatan.” Maka dari itulah, di masa kemudian muncul
yang namanya paham inklusif. Paham tersebut diketahui muncul pertama kali dalam
wilayah theologi Kristen dengan latar belakang sebagai penengah antara paham
eksklusif dan pluralisme agama. Dalam makalah ini, akan dikupas mengenai paham
inklusivisme, termasuk juga konsepnya dalam beberapa agama.

4
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Radikalisme dan Ekstrimisme?
2. Apa pengaruh Radikalisme dan Ekstrimisme dalam hubungan beragama?
3. Apa ciri-ciri Radikalisme dan Ekstrimisme dalam umat beragama?
4. Bagaimana tindakan kaum sufisme terhadap Radikalisme?
5. Apa pengertian Inklusivisme dan Eklusivisme?
6. Apa dasar pemikiran Inklusivisme dan Eksklusivisme?
7. Bagaimana sikap toleransi dalam Inklusivisme dan Eksklusivisme terhadap umat
beragama?
8. Bagaimana sikap mencegah terjadinya radikalisme, inklusivisme, dan eksklusivisme?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian Radikalisme dan Ekstrimisme
2. Untuk mengetahui pengaruh radikalisme dan ekstrimisme dalam hubungan beragama
3. Untuk mengetahui ciri-ciri radikalisme dan ekstrimisme dalam umat beragama
4. Untuk mengetahui tindakan kaum sufisme terhadap radikalisme
5. Untuk mengetahui pengertian inklusivisme dan eksklusivisme
6. Untuk mengetahui dasar pemikiran inklusivisme dan eksklusivisme
7. Untuk mengetahui sikap toleransi dalam inklusivisme dan eksklusivisme terhadap
umat beragama
8. Untuk mengetahui sikap mencegah terjadinya radikalisme, inklusivisme, dan
eksklusivisme

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Radikalisme dan Ekstrimisme

a. Pengertian Radikalisme
Menurut Dr. Alex P. Schmid (2013), radikalisasi adalah proses dimana
Individu atau kelompok yang berubah dan memiliki kecenderungan menentang
dialog dan kompromi dengan pihak yang berbeda; mereka memilih jalan
konfrontasi dan konflik. Pilihan ini disertai oleh dukungan terhadap (i)
penggunaan tekanan dan strategi memaksa (coersion) dengan jalan kekerasan atau
non-kekerasan, (ii) legitimasi atau dukungan terhadap berbagai bentuk kekerasan,
selain terorisme, untuk mewujudkan tujuanya yang dianggap mulia, dan (iii) pada
ujungnya bisa berlanjut ke level tertinggi dalam bentuk kekerasasan ekstrim atau
terorisme. Proses ini biasanya diikuti oleh kecenderungan penguatan ideologi
yang menjauh dari arus utama (mainstream) dan mengarah kepada titik ekstrim
yang didasari oleh cara pandang dikotomis dan keyakinan bahwa kemapanan
sistem yang ada tidak lagi bisa menjadi jalan bagi terjadinya perubahan yang
diinginkan.
Proses perubahan seseorang dari radikalis menuju ekstrimis hingga melakukan
aksi teror tidak terlepas dari proses radikalisasi, sehingga mereka yang sudah
teradikalisasi tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan ekstrim untuk
mewujudkan perjuangannya, termasuk aksi teror.
Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, tahapan
radikalisasi adalah pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan jihadisasi.
Pra-radikalisasi merupakan kehidupan sebelum terjadi radikalisasi. Identifikasi
diri adalah individu mulai mengidentifikasi diri ke arah radikalisme. Indoktrinasi
adalah kondisi dimana individu mulai mengintensifkan dan memfokuskan
kepercayaannya, hal ini bisa dilakukan melalui pertemuan langsung (offline),
maupun tidak langsung atau melalui media (online). Tahap terakhir adalah
Jihadisasi, yaitu mulai mengambil tindakan atas keyakinannya seperti melalui aksi
kekerasan ekstrim seperti melakukan teror.

b. Pengertian Ekstrimisme
Menurut Merriam-Webster Dictionary, ekstremisme secara harfiah artinya
“kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem” atau “advokasi ukuran atau
pandangan ekstrim”. Saat ini, istilah tersebut banyak dipakai dalam esensi
politik atau agama, yang merujuk kepada ideologi yang dianggap (oleh yang
menggunakan istilah ini atau beberapa orang yang mematuhi konsensus sosial)
berada jauh di luar sikap masyarakat pada umumnya. Namun, ekstremisme
juga dipakai dalam diskursus ekonomi.
Menurut Dr. Alex P. Schmid (2014), kelompok ekstrimis merupakan
kelompok yang menganut paham kekerasan ekstrim atau ekstrimisme.
dibandingkan radikalis, ekstrimis cenderung berpikiran tertutup, tidak
bertoleransi, anti-demokrasi dan bisa menghalalkan segala cara, termasuk
penipuan, untuk mencapai tujuan mereka. Kelompok ekstrimis juga berpikiran
tertutup. Kelompok ini berbeda dengan kelompok radikalis, kelompok yang
menganut paham radikal atau radikalisme. (“Radicalisation, De-Radicalisation,
Counter-Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literature Review”,
2014: h. 56)
B. Pengaruh Radikalisme dan Ekstrimisme dalam Hubungan Beragama
6
Menurut Yusuf Qardhawi13 Radikalisme adalah sikap berebihan yang seseorang
miliki dalam beragama, ketidak sesuaian antara akidah dengan prilaku, antara yang
seharusnya dengan realitas, antara agama dengan politik, antara ucapan dengan tindakan,
antara yang diangankan dengan yang dialaksanakan, serta antara hukum yang di
syaratkan oleh Allah dengan produk hukum manusia itu sendiri.
Dari beberapa berita tentang terorisme, radikalisme dan lain sebagainya. Bahwa
fenomina ini terjadi sebab pergolakan perpolitikan serta ketidak puasan sebagian
kelompok terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah sehingga berimbas kepada
beberapa sector yang tidak ada sangkut pautnya dengan hal tersebut.
Beberapa kasus pengeboman, terorisme dan lain sebagainya merupakan akibat
daripada paham radikal yang telah meningkat menjadi sebuah tindakan yang sangat
merugikan banyak pihak, bahkan banyak orang yang tidak bersalah terkena imbasnya.
Radikalisme apabila dibiarkan akan membawa dampak negatif yang lebih besar terutama
bagi kehidupan beragama. sehigga untuk mengatasi hal tersebut perlunya diadakan
beberapa penanganan dari semua aparatur negara, yaitu, rakyat, tokoh agama, serta
penegak hukum juga diadakan deradikalisasi. sehingga dalam pemahaman agama
diajarkan keterampilan pemecahan masalah tanpa kekerasan, mampu berfikir kritis,
toleransi, dan pemahaman agama secara integratif tidak menimbulkan bias.
Radikalisme menurut Muzadi, adalah radikal dalam paham atau ismenya. Biasanya
mereka akan menjadi radikal secara permanen. Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh
secara demokratis, force (kekuatan) masyarakat dan teror.5 Dengan kata lain, radikalisme
adalah radikal yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Dalam pandangan
peneliti, setiap orang berpotensi menjadi radikal dan penganut paham radikal
(radikalisme), tergantung apakah lingkungan (habitus) mendukungnya atau tidak.
Sedangkan yang dimaksud dengan radikalisasi, menurut Muzadi adalah (seseorang
yang) tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketidakadilan di masyarakat. Biasanya
radikalisasi tumbuh berkaitan dengan ketikadilan ekonomi, politik, lemahnya penegakan
hukum dan seterusnya. Jadi, jangan dibayangkan ketika teroris sudah ditangkap, lalu
radikalisme hilang. Sepanjang keadilan dan kemakmuran belum terwujud, radikalisasi
akan selalu muncul di masyarakat. Keadilan itu menyangkut banyak aspek, baik aspek
hukum, politik, pendidikan, sosial, hak asasi, maupun budaya. Hukum itu berbeda dengan
keadilan.
Hukum adalah aspek tertentu, sedangkan keadilan adalah akhlak dari hukum itu
Potensi berpikir, bersikap dan bertindak radikal, berideologi radikal (radikalisme) dan
tumbuh reaktif menjadi radikal (radikalisasi) adalah modal awal seseorang menjadi
pelaku teror (teroris) atau orang yang berpaham terror (terorisme). Tidak ada teror tanpa
radikalisme. Sebaliknya penganut radikalisme belum tentu menyukai jalan kekerasan
(teror). Sekalipun demikian, terdapat kesamaan bahasa yang digunakan oleh radikalisme
maupun terorisme, yaitu bahasa militan atau bahasa perjuangan (language of militance).

C. Ciri-ciri Radikalisme dan Ekstrimisme dalam Umat Beragama


a. Ciri-ciri Radikalisme :
Radikalisme sangat mudah kita kenali. Hal tersebut karena memang pada
umumnya penganut ideologi ini ingin dikenal dan ingin mendapat dukungan lebih
banyak orang. Itulah sebabnya radikalisme selalu menggunakan cara-cara yang
ekstrim.
Berikut ini adalah ciri-ciri radikalisme:
1. Radikalisme adalah tanggapan pada kondisi yang sedang terjadi, tanggapan
tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk evaluasi, penolakan, bahkan
perlawanan dengan keras.
2. Melakukan upaya penolakan secara terus-menerus dan menuntut perubahan
drastis yang diinginkan terjadi.
7
3. Orang-orang yang menganut paham radikalisme biasanya memiliki keyakinan
yang kuat terhadap program yang ingin mereka jalankan.
4. Penganut radikalisme tidak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan
dalam mewujudkan keinginan mereka.
5. Penganut radikalisme memiliki anggapan bahwa semua pihak yang berbeda
pandangan dengannya adalah bersalah.
b. Ciri-ciri Ekstrimisme :
1. Merasa terancam atau terganggu eksistensinya, ekstremis yakin bahwa
keberadaanya sepenuhnya benar, serta akan berusaha keras untuk
mempertahankannya. Ketidakamanan yang mendasari yang menyertai
kepastian ini berasal dari ketakutan bahwa unsur keraguan dari pihak lain akan
meniadakan prinisip serta keberadaannya.
2. Berpikir bahwa pandangannya adalah yang paling benar, ketidakamanan
tersebut mendorong ekstremis untuk menyatakan bahwa bukan hanya
pandangannya yang benar, akan tetapi mereka berpikir bahwa pandangan
mereka adalah yang satu-satunya memiliki kebenaran yang mutlak
dibandingkan dengan yang lainnya.
3. Dapat melakukan hal yang membahayakan kepada siapa saja yang mengancam
eksistensinya, dalam bentuk yang paling ekstrem, ia akan membungkam, dan
bahkan membunuh, mereka yang menyajikan kemungkinan bahwa ia mungkin
salah, untuk menjaga agar tidak pernah mengungkapkan kerapuhan posisinya
sendiri.
4. Berusaha memaksakan pandangannya kepada negara, penganut Ekstremisme
menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar, meski harus
menghilangkan nyawa. Tujuan utama ekstremisme adalah menyamakan dan
menyatukan pandangan seluruh manusia khususnya negara berdasarkan
pandangan yang mereka anggap benar.
5. Menyerang siapa saja yang tidak setuju dengan sudut pandang mereka, ciri khas
seorang ekstremis adalah dalam penggunaan bahasa yang sering digunakan
untuk menyerang pihak-pihak yang tidak setuju atau memiliki sudut pandang
yang berbeda, khusunya menyalahkan pihak lain atas semua permasalahan
yang terjadi.
6. Mengabaikan kebenaran dari luar, merasa prinsip dan paham merekalah yang
paling benar. Semua hal yang bertentangan dengan ajaran mereka merupakan
suatu kesalahan dan harus ditiadakan. Secara faktual, mereka menolak
kebenaran yang bersumber di luar ajarannya.
7. Hanya bersikap terbuka kepada rekan satu kaum, kurangnya kepercayaan
terhadap ajaran dan paham lain mengakibatkan mereka memiliki karakter
tertutup. Kaum ekstremisme hanya percaya dan terbuka kepada orang-orang
yang merupakan anggota kelompoknya.
8. Memiliki jaringan yang tertutup baik di dalam maupun di luar negeri, ekstremis
biasanya bukan hanya hidup dalam satu negara. Banyak ekstremis yang berada
di berbagai negara yang terorganisir secara tertutup. Melalui jaringan di
berbagai negara, mereka memperluas anggota serta menghimpun dana demi
keberlangsungan kelompoknya.

8
D. Tindakan Kaum Sufisme terhadap Radikalisme
Peran Sufisme
Sufisme dalam pengertiannya telah dijelaskan di atas, namun alasan sufisme
sebagai bentuk dalam membendung arus terjadinya tindakan aksi kekerasan karena
berangkat dari dalam Penulis tidak lantas kemudian memberikan arahan yang pokok
terkait pentingnya pemahaman sufisme bagi mereka yang sudah berpaham radikal
(keras) dan intoleran, akan tetapi yang harus dilakukan adalah aspek pendidikan
yang mencerminkan nilai luhur Islam perlu disampaikan kepada mereka, terutama
kepada keluarga. sanak famili yang lain.
Pendidikan yang menjurus pada akhlaqul karimah sangat tergantung pada
lembaga pendidikan Islam swasta atau lembaga pemerintah Negeri tidaklah cukup
dalam mengurai pemahaman yang lebih jelas dan detail Karena beberapa faktor di
antaranya pertama, adanya sumber daya manusia yang kurang memadai dalam
memberikan pengajaran keagamaan yang sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
Kedua, menjadikan profesi pendidikan sebagai lahan menumbuhkan pundi pundi
kekayaan, terlebih lagi yang setatusnya sebagai ASN, yang dilatarbelakangi oleh
niat yang tidak tulus. Kenga, kurang perhatiannya masyarakat dan orang tua dalam
mengawasi anak-anaknya dalam menjalin pergaulan dengan dunia luar, terlebih
dengan pesatnya perkebangan teknologi yang tak terbatas. Keempat, pentingnya
mencari pembimbing rohaniawan yang mampu mengarhakan jalan menuju
kedamaian hidup.
Sufisme dalam kontekstualisasi menjadi faktor pokok dalam memberi aspek
"pencerahan" guna membendung -meminjam istilah Amir Yasraf Piliang" mesin
hasrat"- terwujudnya arus pemikiran dan pemhaman Islam secara radikal
Pencerahan dalam konteks ini berupa nilai spiritualitas yang mampu membebaskan
manusia dari rasa takut, kekuarangan, kelemahan Sehingga terbentuknya semangat
untuk mengubah diri kearah yang lebih produktif dan kreatif. Namun peran
spiritualitas, yang disuarakan oleh orang-orang suci, pejalan sunyi (talk), suara
suara moral suara lembut dari pujangga (seniman) sangat diperlukan dalam
mengaktifkan sebuah akal sehat. Namun suara suara mereka untuk konteks saat ini
mengalami kehilangan yang tak berbeas dilibas oleh arus mesin globalisasi, hilang
diseret keterpesonaan dan kegairahan.
Oleh karena untuk membendung arus radikalisme Islam diperlukan kiat kiat
yang memadai sebagaimana uraian Husein Muhammad bahwa Islam dapat
menjadi sarana untuk menyampaikan sosialisasi terkait dengan isu isu kerjasana
dan kerukunan antar umat beragama. Karena dalam konteks tersebut Islam mempu
menjadi pioner atau tulang punggung dalam mewujudkan peradaban manusia
sebagai realitas yang tidak bisa diganggu oleh siapapun dan apapun.
Membangun sikap toleransi dalam setiap narasi keagamaan diperlukan suatu
pemahaman yang penuh damai, sebagai yang daungkap oleh haidar bagir dalam
bukunya pentingnya menekankan memahamkan bahwa Islam sebagai agama Cinta
yang artinya kasih Sayang, agama yang penuh dengan rahmat bagi seluruh alam
9
Agama yang mencermakan keterbukaan dalam bersosialisasi, bagir menyebut para
sufi seperti Rabi'ah Adawiyah, Ibn Faridh, Ibn Arabi, yang kaya akan pengalana
cinta dan kerinduan yang tinggi kepada Tuhan istilahnya Agyik Maryug.
E. Pengertian Inklusivisme dan Eksklusivisme
a. Pengertian Inklusivisme
Inklusivisme merupakan satu dari tiga tipologi yang dikemukakan Alan
Race dalam diskursus teologi agama-agama. 26 adalah sikap atau pandangan yang
melihat bahwa agama-agama lain di luar kekristenan juga dikaruniai rahmat dari
Allah dan bisa diselamatkan, namun pemenuhan keselamatan hanya ada di dalam
Yesus Kristus
Inklusif adalah sikap berfikir terbuka dan merhargai perbedaan, baik
perbedaan tersebut dalam bentuk pendapat, pemikiran, etnis, tradisi-berbudaya
hingga perbeda-an agama (M. Ainul Yaqin, 2005:34). Sikap terbuka kemudian
menjadi prasyarat utama terjadianya dialog antar agama, tradisi atau dialog antar
peradaban dengan tujuan tidak lagi ada pembenaran absholut dan ekstrim dalam
berpendapat ataupun beragama, namun bukan hal ini yang dimaksud oleh penulis
sebagai paradigma inklusiv, melainkan sebuah tujuan untuk menemukan
kebenaran universal dalam setiap perbedaan atau sekedar tidak saling mencurigai.
Dalam tataran teologi, inklusif ini lawan dari eksklusif. Masalah inklusif dan
ekslusif dalam Islam merupakan kelanjutan dari pemikiran/ gagasan
neomodernisme kepada wilayah yang lebih spesifik setelah pluralisme, tepatnya
pada bidang teologi (Norcholis Madjid).
Inklusifisme Agama Islam, Di dalam Islam, tentu terdapat juga paham
inklusif. Di mana paham tersebut memberikan ruang yang sangat longgar kepada
orang-orang di luar keyakinannya, tidak menjustis apalagi menggap salah dan
sesat agama lain. Sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam al-Quran, Islam
sangat menekankan kerukunan dan tidak memberikan paksaan kepada non-Islam
untuk keluar dari keyakinannya, karena memang Allah SWT sudah memberikan
penjelasan agama yang bagaimana yang palig benar dan Dia memberikan
kelonggaran kepada kita untuk memilih sesuai apa yang diyakini oleh kita sendiri
b. Pengertian Eksklusivisme
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata eksklusivisme terdiri dari dua
kata, yaitu: “eksklusif” yang artinya terpisah dari yang lain, khusus, dan “isme”
yang berarti paham.8 Sedangkan KBBI mengatakan bahwa eksklusivisme berasal
dari kata “eksklusif” yang artinya terpisah dari yang lain atau dapat juga diartikan
sebagai paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari
masyarakat.

F. DASAR PEMIKIRAN INKLUSIVISME DAN EKSKLUSIVISME

Inklusivisme dalam suatu komunitas merupakan suatu kelompok yang


jumlahnya minoritas, karena pada kenyataannya eksklusivisme menjadi lebih besar dan
dominan dalam komunitas beragama tersebut. Eksklusivisme adalah suatu paham yang
menganggap bahwa hanya pandangan dan kelompoknya yang paling benar. Namun,
belajar dari pengalaman-pengalaman praktik keagamaan, eksklusivisme mempunyai

10
dampak yang kurang baik karena tidak terlepas dari pergulatan politik atas paham
tersebut.
Paham eksklusivisme dalam sejarahnya telah meninggalkan rekam jejak sejarah
yang kelam, yaitu peperangan dan konflik yang dipicu oleh sesuatu (tidak berdiri
sendiri). Konflik selalu disokong oleh pandangan keagamaan tertentu, dan konsekuensi
yang dihasilkan adalah paham keagamaan tidak bernuansa pencerahan dan pembebasan,
melainkan bercorak konflik dan kekerasan. Tidak ada kata lain dalah paham
eksklusivisme telah membentuk sebuah paham keagamaan yang tidak mampu
mengembangkan budaya dialog dan toleransi. Jangankan untuk konteks antar agama,
kontes intra agama sekalipun, eksklusivisme telah menjadi batu sandungan tersendiri.
Semua kelompok baik yang fundamentalis maupun liberalis sama-sama terjebak dalam
klaim kebenarannya masing-masing, karena paham eksklusivisme telah melahirkan
keresahan dan kegelisahan baru dalam konteks membentuk kehidupan beragama yang
damai dan toleran.
Paham eksklusivisme dalam penjelasan di atas tentu tidak dapat dijadikan
pilihan dalam wujud toleransi guna menghindarkan konflik, diperlukan persepsi sebagai
suatu kajian baru yang lebih menjanjikan bagi upaya menciptakan kehidupan yang
damai, yakni, inklusivisme yang menjadi alternatif pengganti untuk memecahkan
kebuntuan dan kerumitan yang dihadapi eksklusivisme. Inklusivisme merupakan sebuah
paham yang menganggap bahwa kebenaran tidak hanya terdapat pada suatu kelompok.
Hal ini berangkat dari suatu keyakinan bahwa setiap agama membawa ajaran
keselamatan. Semua agama pada substansinya adalah sama, namun memiliki syarat dan
ajaran yang berbeda-beda.

Raimundo Pannikar menyampaikan bahwa paham inklusivisme bukanlah suatu


paham yang instan, karena paham ini memerlukan rasionalitas dan kelanjutan terhadap
doktrin-doktrin keagamaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa penafsiran dibutuhkan oleh
paham inklusivisme ini, tafsir terhadap teks keagamaan tidak hanya dimaksudkan
mempunyai relevansi dengan pihak-pihak lain yang berbeda, tetapi juga berfungsi agar
pandangannya dapat diterima oleh pihak lainnya. Perbedaan dan keragaman dalam
penafsiran pada dasrnya bukan merupakan kontradiksi antara satu dengan lainnya,
melainkan sebuah bentuk kesatuan substansial yang tidak terpisahkan.

G. TOLERANSI DALAM INKLUSIVISME DAN EKSKLUSIVISME DALAM


UMAT BERAGAMA
  Perbedaan merupakan suatu bentuk keniscayaan, sekalipun demikian perlu ada
suatu titik temu yang bisa dipertemukan pada perbedaan tersebut, melalui suatu sikap
toleransi yang sama-sama harus meyakini bahwa segala sesuatu senantiasa mempunyai
dua unsur, yaitu dimensi universal dan partikular yang sama-sama harus dipahami
bahwa terhadap ke dua dimensi tersebut, maka semakin terbuka pula kesempatan kita
untuk menjadi inklusif terhadap kelompok (agama dan adat) lainnya. Artinya,
inklusivisme disini merupakan keniscayaan sosiologis, yang mana pemahaman terhadap
pihak lain tidak hanya mengandalkan aspek-aspek yang ada dalam komunitas masing-
masing, melainkan mencoba memahami hal-hal yang terdapat dalam komunitas lainnya.
11
Inklusivisme merupakan salah satu jalan untuk membangun peradaban
toleransi. Aspek yang paling penting dalam toleransi adalah kehendak kuat untuk
memahami pihak lain tanpa harus kehilangan jati diri sendiri. Mengenal dan memahami
pribadi orang lain akan memudahkan jalan untuk mengenali dan menjalin kerjasama.
Manusia akan semakin memperlakukan dan diperlakukan sebagai manusia,
sebagaimana slogan “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak pula toleran.”
Meniti kehidupan dengan paham inklusivisme ini akan mampu mengatasi
berbagai perbedaan pemahaman serta tindakan intoleran, dan mampu mengambil
langkah-langkah alternatif untuk menyelesaikan konflik secara adil dan beradab. Cak
Nur, juga memberikan gambaran yang menarik terkait paham inklusivisme, yaitu suatu
sikap yang bertujuan untuk menumbuhkan suatu sikap kejiwaan yang melihat adanya
kemungkinan orang lain itu benar. Orang yang sekalipun bersalah harus dibangun suatu
pemahaman kejiwaan tentang pra-duga tidak bersalah (presumption of innocence).
[3]Manusia diciptakan dalam keadaan fitrah, maka setiap orang pada dasarnya adalah
suci dan benar. Potensi untuk benar adalah primer.
Inklusivisme merupakan fitrah yang telah dititipkan Tuhan kepada setiap
manusia agar membangun kesetaraan, persamaan, kerukunan, dan keadilan. Mengingat
potensi benar adalah primer, maka hal ini memiliki potensi untuk berbuat baik.
Berdasarkan pemahaman terhadap keyakinan beragama yang memiliki sikap toleransi
dan perdamaian. Selain itu, esensi dari paham inklusivisme adalah dibawanya pesan-
pesan kemanusiaan yang bersifat universal dengan menumbuhkembangkan sikap-sikap
serta prasangka yang baik terhadap sesama. Tenda toleransi yang pada hakikatnya
memberikan pembelajaran dari paham inklusivisme senantiasa harus terus digelar dan
dibentangkan sebagai upaya membangun budaya inklusif, sehingga titik lemah dari
paham inklusivisme ini, yakni basis kultural akan mampu meredam
hegemoni eksklucontentsivismesebagai suatu paham yang memupuk dan menonjolkan
sikap intoleransi.

H. SIKAP MENCEGAH TERJADINYA RADIKALISME, INKLUSIVISME, DAN


EKSKLUSIVISME

a. Radikalisme
upaya pencegahan radikalisme di kampus setidaknya harus melibatkan
tiga unsur vital. Pertama, doktrin yang menjadi benihnya; kedua struktur sosial
yang menjadi lahannya; dan ketiga struktur kekuasaan yang menjadi
pemicunya.“Di Indonesia, radikalisme sudah merambah ke perguruan tinggi sejak
masa Orde Baru, tapi menjadi semakin massif pada dekade belakangan,” ujar
Khamami.

12
Ada tiga level yang disebutkan oleh dosen Fakultas Syariah dan Hukum
itu terkait peran penting berbagai pihak dalam upaya mencegah radikalisme, yakni
tanggung jawab ulama, kaum agamawan, dan kalangan akademisi.

Ia mengungkapkan bahwa ulama, kaum agamawan, dan kalangan lembaga


pendidikan memiliki kewajiban untuk melakukan pencerahan terus-menerus
bahwa agama tidak hanya berisi perang, tapi juga ajaran kasih sayang, toleransi,
dan kewajiban beramal saleh..

Lebih lanjut Khamami menyebutkan, bahwa level kedua adalah tanggung


jawab organisasi sosial (ormas). “Ormas adalah benteng untuk menjaga dan
melembagakan nilai-nilai dan moral sosial,” katanya.

Lalu pada level ketiga, kata Khamami, adalah tanggung jawab negara
untuk melindungi warganya. Tak hanya dari ancaman terorisme, tetapi juga dari
kesewenang-wenangan, kezaliman, dan ketidakadilan yang dapat menjadi pemicu
bagi meledaknya aksi-aksi radikalisme.

b. Inklusivisme

Sikap eksklusivisme akan melahirkan pandangan ajaran yang paling benar


hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis,
atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam
pandangan Tuhan.[2] Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman
ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini.[3] Tuntutan kebenaran yang
dipeluknya mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan eksklusivitas.
Artinya,kalau suatu pernyataan dinyatakan, maka pernyataan lain yang
berlawanan tidak bisa benar.

Menurut Nurcholish Madjid[4], sikap yang eksklusif ini ketika melihat


agama bukan agamanya, agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang
menyesatkan  bagi para pemeluknya. Paradigma ini merupakan pandangan yang
do-minan dari zaman ke zaman dan terus dianut hingga dewasa ini : “Agama
sendirilah yang paling benar, yang lain salah”.

Terlepas dari adanya kelemahan sikap eksklusivitas itu, biasanya


komitmen dan sikap tegas dalam memelihara dan mempertahankan kebenaran
agamanya adalah bisa dipandang positif. Sebab, sikap eksklusivitas itu tidak
selamanya bisa disalahkan atau dipandang negatif, tetapi sikap demikian lebih
banyak kepada faktor kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang agamanya,
atau, bahkan lingkungan sosial dan kultural dimana ia hidup, sangat
mempengaruhi dalam beragamnya.

c. Eksklusivisme
Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya
juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang
dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut
Nurcholish Madjid, sikap inklusif adalah yang memandang bahwa agama-agama
lain adalah bentuk implisit agama kita.
Paradigma itu membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific
presence) dan aktifitas Tuhan dalam tradisi-tradisi agama lain, dengan
13
penyelamatan dan aktifitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus Kristus. Menjadi
“inklusif” berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu
kepada Kristus. Paradigma ini, membaca agama orang lain dengan kacamata
sendiri. Sikap beragama inklusif pun bisa berarti memasukkan orang lain dalam
kelompok kita.
Sikap inklusivistik akan cenderung untuk menginterpretasikan kembali
hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi juga
dapat diterima. Sikap demikian akan membawa ke arah universalisme dari ciri
eksistensial atau formal daripada isi esensialnya. Suatu kebenaran doktrinal
hampir tidak dapat diterima sebagai yang universal jika ia sangat berkeras
mempertahankan isinya yang spesifik, karena pencerapan isi selalu mengandaikan
perlunya suatu ‘forma mentis’ yang khusus. Sikap menerima yang toleran akan
adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai.
Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah
mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.
Sikap inklusivitas memuat kualitas keluhuran budi dan kemuliaan tertentu.
Anda dapat mengikuti jalan anda sendiri tanpa perlu mengutuk yang lain. Ibadah
anda dapat menjadi konkrit dan pandangan anda dapat menjadi universal.

14
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pendidikan multikultural merupakan komponen penting dalam
menghadapi Era globalisasi. Untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan
pembinaan moral dan kemanusiaan bangsa yang didasarkan kepada ajaran agama.
Pendidikan agama berbasis multikultural merupakan proses penyadaran yang
bersendikan toleransi yang ditujukan sebagai usaha komprehensif dalam
mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme
agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif
positif terhadap pluralitas,inklusivisme dalam dimensi dan perspektif
apapun bukan mengedepankan eksklusivisme. Dengan demikian, titik tumpu
pendidikan multikultural inklusivisme ini sesungguhnya terletak pada adanya
pemahaman dan ikhtiar mujahadah untuk hidup bersama dalam konteks
perbedaan agama dan budaya.

B. SARAN
Dengan diselesaikannya makalah ini penulis berharap makalah ini dapat
menambah wawasan dan pengetahuan pembaca.Selain itu, penulis juga mengharapkan
kritik dan saran untuk peningkatan kualitas dalam penulisan.

15
DAFTAR PUSTAKA

H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis, Mereda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan
Antaragama (Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 229-231.
Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi – Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil Alamin, Pustaka
Oasis, Jakarta, Jakarta, 2010, hlm. 176-195.
https://buruhmigran.or.id/en/2018/10/09/%EF%BB%BFapa-itu-radikalisme-radikalisasi-
ekstrimisme-dan-terorisme/
https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-radikalisme.html
https://www.sosial79.com/2020/05/definisi-ekstremisme-ciri-penyebab-dan.html

16

Anda mungkin juga menyukai