Anda di halaman 1dari 13

HAKEKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Al-Islam Dan
Kemuhammadiyahan

Disusun Oleh :

1. Agustina Susanti (SNR20215029)


2. Enny Supniati (SNR20215045)
3. Erna Mardiono (SNR20215030)
4. Hestami (SNR20215032)
5. Rahmini Qadarsyih (SNR20215031)
6. Rena Lestari (SNR20215028)
7. Yogara Chaisar Rangkuti (SNR20215026)

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH PONTIANAK


TAHUN 2020

HAKEKAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM


A. Kajian Hakekat Kejadian Manusia
Para ahli mempunyai pemahaman yang beragam dalam memahami
hakekat tentang manusia, hal ini dapat kita lihat dari berbagai pendapat berikut :
1. Charles Robert Darwin (1809-1882) menetapkan manusia sejajar dengan
binatang, karena terjadinya manusia dari sebab-sebab mekanis, yaitu lewat
teori descendensi (ilmu turunan) dan teori natural selection (teori pilihan alam)
2. Ernest Haeckel (1834-1919) menyatakan manusia dalam segala hal
menyerupai binatang beruas tulang belakang, yakni binatang menyusui
3. Aristoteles (384-322) memeberikan devinisi manusia sebagai binatang yang
berakal sehat yang mampu mengeluarkan pendapatnya, dan berbicara
berdasarkan pikirannya (the animal than reasons). Disamping itu manusia
juga binatang yang berpolitik (zoon politicon) dan binatang yang bersosial
(social animal)
4. Harold H. Titus menempatkan manusia sebagai organisme hewani yang
mampu mempelajari dirinya sendiri dan mampu menginterpretasi terhadap
bentuk-bentuk hidup serta dapat menyelidiki makna eksistensi insani (Endang
Saifudin, dalam Muhaimin, 1993;31)
5. Ahli mantiq mendevinisikan manusia sebagai “al-insan hayawanun nathiq”
(manusia adalah hewan yang berbahasa)
Dalam Islam manusia dipandang sebagai manusia, bukan sebagai
binatang, karena manusia memiliki derajat yang tinggi, bertanggung jawab atas
segala yang diperbuat, serta makhluk pemikul amanah yang berat. Berikut
pemahaman para pemikir Islam tentang manusia :
1. Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd menyatakan bahwa hakekat manusia
itu terdiri dari dua komponen penting, yaitu :
a. Komponen jasad.
Menurut Farabi, komponen ini berasal dari alam ciptaan yang mempunyai
bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, serta berjasad dan
terdiri atas organ. Al-Ghazali memberikan sifat jasad manusia yang ada
dalam bumi ini yaiu, dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak gelap dan
kasar, dan ini tidak berbeda dengan benda-benda lain, sedangkan Ibnu
Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi.
(Ahmad Daudy, 1989:58-59)
b. Komponen jiwa.
Menurut farabi, komponen jiwa berasal dari alam perintah (alam kholiq)
yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad manusia. Hal ini karena jiwa
merupakan roh dari perintah Tuhan walaupun tidak menyamai Dzat-Nya.
Menurut al-Ghazali, jiwa ini dapat berfikir, mengingat, mengetahui, dan
sebagainya, sedangkan unsur jiwa merupakan unsur rohani sebagai
penggerak jasad untuk melakukan kerjanya yang termasuk alam ghaib.
Bagi Ibnu Rusyd jiwa adalah sebagai kesempurnaan awal bagi jasad alami
yang organik (Ahmad Daudy, 1989; 59)
2. Ibnu Miskawih, menambahkan satu unsur lagi disamping unsur jasad dan jiwa,
yaiu unsur hayah (unsur hidup). Hal ini karena pada diri manusia ketika dalam
bentuk embrio (perpaduan antara ovum dan sperma) sudah terdapat
kehidupan walaupun roh belum ditiupkan, sedangkan hayah sendiri terdapat
pada sperma dan ovum yang membuat embrio hidup dan berkembang.
Jadi hayah bukan komponen jasmanai yang berasal dari tanah dan bukan
pula komponen jiwa atau rohani yang ditiupkan oleh Allah.(Syahminan Zaini,
1984:23)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia pada dasarnya dapat
ditempatkan dalam tiga kategori, yaitu :
1. Manusia sebagai makhluk biologis (al-Basyar) pada hakekatnya tidak berbeda
dengan makhluk-makhluk biotik lainnya walaupun struktur organnya berbeda,
karena struktur organ manusia lebih sempurna dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain.
2. Manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti
fitrah, qolb, ‘aqal. Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk
yang tertinggi martabatnya, yang berbeda dengan makhluk lainnya, artinya
apabila potensi psikis tersebut tidak digunakan, manusia tak ubahnya seperti
binatang bahkan lebih hina.
3. Manusia sebagai mahluk sosial mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial
terhadap alam semesta, ini disebabkan karena manusia tidak hanya sebagai
Abdullah tetapi juga sebagai khalifatullah untuk mewujudkan kemakmuran,
kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akherat

B. Asal Usul Kejadian Manusia


Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang berbicara tentang proses kejadian
manusia, ada yang menerangkan secara global, seperti pada ayat : Qs.al-Insan
ayat 2, Qs. As-Sajdah ayat 8-9, Qs. An-Najm ayat 32, dan seterusnya. Kemudian
ada yang menerangkan secara rinci seperti Qs. Al-Mu’minun ayat 12-14, dan Qs.
Al-Hajj ayat 5.
Diantara ayat-ayat tersebut banyak yang memakai redaksi  “khalaqa” dari
pada “ja’ala”, hal ini mengandung makna tersendiri dalam konteks pembicaraan
penciptaan manusia. Kata “khalaqa” mengandung pengertian “ibda’ al-syai’ min
ghairi ashl, wa la ihtida” (penciptaan sesuatu tanpa asal/pangkal dan tanpa
contoh terlebih dahulu), sedangkan kata “ja’ala” yang biasa diartikan menjadikan,
merupakan lafadz yang bersifat umum yang berkaitan dengan semua aktivitas
dan perbuatan.
M.Quraish Syihab, mengatakan lafadz “khalaqa” memberikan aksentuasi
tentang kehebatan dan kebesaran atau keagungan Allah dalam ciptaan-Nya,
sedangkan “ja’ala” mengandung aksentuasi terhadap manfaat yang harus atau
dapat diperoleh dari sesuatu yang dijadikan itu. Seperti pada Qs. Ar-rum;21 dan
Ali Imran ; 190-191.
Secara umum manusia berasal dari tanah (thin, turab atau al-ardl), ini dapat
dipahami bahwa ternyata dalam tubuh manusia itu terdapat unsur kimiawi yang
ada dalam tanah. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dibentuk dari
komponen-komponen yang dikandung dalam tanah, yaitu komponen atom yang
membentuk molekul yang terdapat dalam tanah dan jasat manusia.
Kata thin dan turab, memiliki makna yaitu tanah yang mengandung air, dari
sinilah tumbuh segala tanaman yang sangat dibutuhkan oleh manusia sebagai
makanan. Intisari makanan tersebut sebagiannya akan membentuk
spermatozoa, yakni sel mani (ma’in mahin/ air yang hina) yang apabila masuk ke
dalam sel telor bisa menimbulkan pembuahan, inilah barangkali yang ditunjukkan
oleh ayat “min sulalah min thin”.
Selanjutnya proses penciptaan manusia, seperti yang ditunjukkan dalam
Qs.al-Mu’minun, dilakukan dalam dua fase, fase pertama, yaitu fase fisik / materi,
melalui tahapan : nuthfah, ’alaqah, mudlghah atau pembentuk organ-organ
penting, ’idham (tulang), dan lahm (daging). Dan fase kedua yaitu fase non-
materi / immateri, seperti yang ditunjuk oleh ayat “tsumma ansya’nahu khalqan
akhar”.
 Tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Nuthfah
Tahap atau periode ini biasa dinamakan “periode ovum” dimana pertemuan
antara sel kelamin bapak (sperma) dan sel kelamin ibu (ovum) bersatu kedua
intinya dan membentuk suatu zat baru dalam rahim ibu (fii qaraarin makiin).
Pertemuan antara kedua sel tersebut dalam al-Qur’an disebut “nuthfah
amsaj”, yakni percampuran air mani laki-laki dan sel telor perempuan, melalui
suatu proses sehingga memunculkan “ma’in da-fiq” atau air yang terpancar
ketika berkumpul (bersenggama).
2. ‘alaqah.
Para mufassir menerjemahkan ‘alaqah dengan segumpal darah atau darah
yang membeku, seperti al-Lusi, al-Maraghi, Ath-Thabathaba’I  HAMKA, dan
sebagainya. Tetapi sementara ahli kedokteran, antara lain Mauricce Bucaille
menyatakan bahwa terjemahan yang tepat untuk ‘alaqah adalah “sesuatu
yang melekat”, dan ini sesuai dengan penemuan sains moderen, bahwa
setelah proses nuthfah atau periode ovum terjadilah zat baru yang kemudian
membelah menjadi dua, empat, delapan dan seterusnya sambil bergerak
menuju ke kantong kehamilan dan melekat, berdempet serta masuk ke
dinding rahim, inilah yang kemudian disebut ‘alaqah. 
3. mudlghah. Ibnu Katsir mengatakan mudlghah sebagai “qit’ah ka al-bidl’ah min
al-lahm la syaki fiha wala takhthith”, yakni sepotong daging yang tidak
berbentuk dan tidak berukuran, mudlghah inilah yang kemudian membentuk
organ-organ penting dalam perkembangan selanjutnya.
4. ‘idham (tulang)
Dibentuk dari elemen-elemen atau bahan-bahan yang terdapat
dalam mudlghah,
5. lahm (daging)
Dibentuk dari elemen mudlghah. Setelah itu Allah menjadikannya makhluk
yang berbntuk lain (…tsumma ansya’naahu khalqan akhar”), yakni bukan
sekedar fisik/materi/jasad, tetapi juga non-fisik/immateri.

“al—insya’” disini mengandung arti “I-jad al-syai’ wa


tarbiyatuh” (mewujudkan/mengadakan sesuatu dan memeliharanya). Redaksi
ayat tersebut tidak memakai kata “al-khalq” yang berarti juga menciptakan, hal ini
menurut ath-Thabathaba’I, karena pemakaian kata “al-insya’” menunjukkkan
terjadinya sesuatu hal yang baru yang tidak dicakup dan tidak diiringi oleh materi
sebelumnya. Pada tahap inilah, menurut Sayyid Qutub, merupakan tahap yang
membedakan manusia dengan hewan atau makhluk lainnya, pada tahap
tersebut manusia memiliki ciri-ciri istimewa.
Dari uraian tentang proses kejadian manusia tersebut, maka dapat
ditemukan nilai-nilai pendidikan sebagai berikut :
1. Bahwa salah satu cara yang ditempuh oleh al-Qur’an dalam menghantarkan
manusia untuk menghayati petunjuk-petunjuk Allah ialah dengan cara
memperkenalkan jati diri manusia itu sendiri, bagaimana asal kejadiannya,
dari mana datangnya, dan seterusnya. Di sisi lain juga ditegaskan bahwa
mengenal manusia merupakan media untuk mengenal Tuhan-Nya (man ‘arafa
nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”).
2. Bahwa proses kejadian manusia menurut al-Qur’an pada dasarnya melalui
dua proses dengan enam tahap, yaitu proses fisik/jasad dan prodses non-
fisik/immateri. Secara fisik manusia berproses dari nuthfah,
kemudian ‘alaqah, mudlghah, ‘idham dan lahm yang membungkus
‘idham atau mengikuti bentuk rangka yang menggambarkan bentuk manusia.
Sedangkan secara non-fisik, yaitu merupakan tahap penghembusan/peniupan
roh pada diri manusia sehingga ia berbeda dengan makhluk lainnya. Pada
saat ini menusia memiliki berbagai potensi, fitrah dan hikmah yang hebat dan
unik, baik lahir maupun batin. Pendidikan dalam Islam antara lain diarahkan
pada pengembangan jasmani dan rohani manusia secara harmonis, serta
pengembangan fitrah manusia secara terpadu.
3. Bahwa proses kejadian manusia yang tertuang dalam al-Qur’an tersebut
ternyata semakin diperkuat oleh penemuan-penemuan ilmiah, sehingga lebih
memperkuat keyakinan manusia akan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu
Allah. Pendidikan dalam Islam antara lain juga diarahkan kepada
pengembangan semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran
ayat-ayat-Nya

C. Potensi-Potensi Manusia
Dalam diri manusia terdapat alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar
yang harus diperhatikan dalam pendidikan, Abdul fatah Jalal (1977;103),
mengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan alat-alat potensial yang
dianugerahkan Allah kepada manusia sebagai berikut :
1. Al-lams dan al-syum (alat peraba dab alat pembau), seperti dalam Qs. Al-
An’am;7, dan Qs.Yusuf; 94
2. Al-Sam’u (alat pendengaran), seperti; Qs. Al-Isra’;36, al-Mu,minun; 78
3. Al-Abshar (penglihatan) seperti; Qs.al-A’raf; 185, Yunus; 101 dan As-Sajdah;
27
4. Al-Aql (akal atau daya fikir), seperti; Ali Imran; 191, al-An’am; 50, Ar-Ra’d; 19,
dan Thaha; 53-54.
5. Al-Qalb (kalbu), seperti Qs. Al-Hajj; 46, Qs.Muhammad; 24, Asy-Syu’ara; 192-
194.
Dalam diskursus para filosof Islam, manusia mempunyai bermacam-macam
alat potensial yang mempunyai kemampuan yang sangat unik, menurut mereka
terdapat tiga macam jiwa dalam diri manusia yang didalamnya terdapat
beberapa potensi / daya yaitu :
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), mempunyai tiga daya yaitu;
daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak.
2. Jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah), mempunyai dua daya, yaitu; daya
penggerak (al-muharrikah) berbentuk nafsu (al-syahwah), amarah (al-ghadlab)
dab berbentuk gerak tempat (al-harkah al-makaniyah), dan daya mencerap
(al-mudrikah), berbentuk indera indera lahir (penglihatan, pendengaran,
penciuman, dst.) dan indera bathin (indera penggambar, indera pengreka,
indera pengingat, dst.)
3. Jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah), yang hanya mempunyai daya pikir yang
disebut dengan akal. Akal terbagi menjadi dua; akal praktis, yang menerima
arti-arti yang berasal dari materi yang sifatnya particulars, dan akal teoritis,
yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi, seperti
Tuhan, roh, malaikat, dst. Akal ini bersifat metafisis yang mencurahkan
perhatian pada dunia immateri dan menangkap keumuman.

Selanjutnya, dalam diri manusia juga terdapat potensi-potensi dasar antara


lain berupa fitrah. Fitrah mempunyai beberapa pengertian, dan para ahli di
kalangan Islam pun telah memberikan berbagai macam formulasinya tentang
fitrah, sehingga dapat disimpulkan bahwa fitrah adalah merupakan potensi-
potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk
menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan
kebenaran.
Disamping fitrah, terdapat juga potensi lainnya, yaitu nafsu yang
mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan (qs. 12:53), untuk itu
fitrah harus tetap dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan
berkembang apabila disuplay oleh wahyu, sebab itu diperlukan pemahaman al-
Islam secara kaffah (universal). Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang
kepada al-Islam, semakin baik pula perkembangan fitrahnya.
Dengan demikian komponen-komponen fitrah yang merupakan potensi-
potensi dasar manusia adalah meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Bakat dan kecerdasan, kemampuan pembawaan yang potensial mengacu
pada perkembangan kemampuan akademis (ilmiah), dan keahlian
(profesional) dalam berbagai kehidupan
2. Instink atau ghorizah, suatu kemampuan berbuat tanpa melalui proses belajar-
mengajar, misalnya instink melarikan diri karena perasaan takut, ingin tahu
(curiosity), merendahkan diri karena perasaan mengabdi, dst.
3. Nafsu dan dorongan-dorongan (drives), misalnya nafsu lawwamah yang
mendorong pada perbuatan tercela, nafsu amarah yang mendorong pada
perbuatan merusak, membunuh, nafsu birahi (eros) mendorong pada
pemuasan seksual, dan nafsu muthmainnah (religios) yang mendorong ke
arah ketaatan pada Yang Maha Kuasa.
4. Karakter atau tabiat, merupakan kemampuan psikologis manusia yang
terbawa sejak lahir, yang berkaitan dengan tingkah laku moral, sosial serta
etis seseorang, berhubungan dengan personalitas (kepribadian) seseorang.
5. Heriditas atau keturunan, merupakan faktor menerima kemampuan dasar
yang diwariskan oleh orang tua.
6. Intuisi, kemampuan psikologi manusia untuk menerima ilham Tuhan, biasanya
hanya dirasakan oleh orang yang bersih atau ahli sufi.
D. Kelemahan-Kelemahan Manusia
Kelemahan manusia yang disebutkan dalam Alquran bermacam-macam.
Beberapa di antaranya :
1. Manusia bertabiat zalim dan bodoh. Allah berfirman: "Sesungguhnya Kami
telah mengemukakan amanat (tugas keagamaan) kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (QS al-
Ahzab [33]: 72).
2. Manusia bertabiat membantah. Allah berfirman: "Dan sesungguhnya Kami
telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Alquran ini bermacam-macam
perumpamaan. Dan manusia adalah (makhluk) yang paling banyak
membantah." (QS al-Kahfi [18]: 54).
3. Manusia bertabiat tergesa-gesa. "Dan manusia itu berdoa untuk kejahatan
sebagaimana dia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia itu cenderung
tergesa-gesa." (QS al-Isra [17]: 11). Keempat, manusia bertabiat melampaui
batas.
4. Manusia bertabiat melampaui batas. Allah berfirman: "Dan apabila manusia
ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk,
atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu dari padanya, dia
(kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa
kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.
Begitulah orangorang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang
selalu mereka kerjakan." (QS Yunus [10]: 12).
5. Manusia bertabiat ingkar dan tidak berterima kasih kepada Tuhannya. Allah
berfirman: "Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar dan tidak berterima
kasih kepada Tuhannya" (QS al-'Adiyat [100]: 6).
6. Manusia bertabiat keluh kesah dan kikir. Allah berfirman: "Sesungguhnya
manusia itu diciptakan bertabiat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa
kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila dia mendapat kebaikan dia amat
kikir." (QS al-Ma'arij [70]: 19 – 21). Kedelapan, manusia bertabiat susah
payah. Allah berfirman: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
berada dalam susah payah." (QS al-Balad [90] : 4).
E. Sifat-Sifat Manusia
Ada banyak sifat manusia yang digambarkan dalam Alquran, diantaranya :
1. Manusia itu lemah. “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan
manusia dijadikan bersifat lemah” (Q.S. Annisa; 28)
2. Manusia itu gampang terperdaya “Hai manusia, apakah yang telah
memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha
Pemurah” (Q.S Al-Infithar : 6)
3. Manusia itu lalai. “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” (Q.S At-
takaatsur 1)
4. Manusia itu penakut. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-
buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S
Al-Baqarah 155)
5. Manusia itu bersedih hati. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin , siapa saja diantara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah , hari kemudian dan beramal
saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Q.S Al
Baqarah: 62)
6. Manusia itu tergesa-gesa. "Dan manusia mendoa untuk kejahatan
sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat
tergesa-gesa. (Al-Isra’ 11)
7. Manusia itu suka membantah. “Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-
tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” (Q.S. an-Nahl 4)
8. Manusia itu suka berlebih-lebihan. “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia
berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi
setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui
(jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami
untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-
orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka
kerjakan.” (Q.S Yunus : 12) “Ketahuilah Sesungguhnya manusia benar-benar
melampaui batas” (Q.S al-Alaq : 6)
9. Manusia itu pelupa. “Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia
memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya;
kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan
kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk
(menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu
bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah:
“Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu;
sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.” (Q.S Az-Zumar : 8 )
10. Manusia itu suka berkeluh-kesah. “Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah” (Q.S Al Ma’arij : 20) “Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika
mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.” (Q.S
Al-Fushshilat : 20) “Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia
niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan
apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa” (al-Isra’ 83)
11. Manusia itu kikir. “Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai
perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan
itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya.” Dan adalah manusia itu
sangat kikir.” (Q.S. Al-Isra’ : 100)
12. Manusia itu suka kufur nikmat. Dan mereka menjadikan sebahagian dari
hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya. Sesungguhnya manusia
itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat Allah). (Q.S. Az-
Zukhruf : 15) sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih
kepada Tuhannya, (Q.S. al-’Aadiyaat : 6)
13. Manusia itu zalim dan bodoh. “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim
dan amat bodoh, ” (Q.S al-Ahzab : 72)
14. Manusia itu suka menuruti prasangkanya. “Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S Yunus 36)
15. Manusia itu suka berangan-angan. “Orang-orang munafik itu memanggil
mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu
bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu
mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu
ragu- ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah
ketetapan Allah;dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat
penipu.” (Q.S al Hadid 72)

F. Kelebihan Manusia Atas Makhluk lain


Dibanding makhluk lainnya manusai mempunyai kelebihan-kelebihan.
Kelebihan-kelebihan itu membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang
bagaimanapun, baik didarat, dilaut, maupun diudara. Sedangkan binatang
bergerak diruang yang terbatas. Walaupun ada binatang yang bergerak didarat
dan dilaut, namun tetap saja mempunyai keterbatasan dan tidak bisa melampaui
manusia. Mengenai kelebihan manusia atas makhluk lain dijelaskan surat al-Isra’
ayat 70.
Disamping itu, manusia diberi akal dan hati, sehingga dapat memahami
ilmu yang diturunkan Allah, berupa al-Quran menurut sunah rasul. Dengan ilmu
manusia mampu berbudaya. Allah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-
baiknya (at-Tiin : 95:4). Namun demikian, manusia akan tetap bermartabat mulia
kalau mereka sebagai khalifah ( makhluk alternatif ) tetap hidup dengan ajaran
Allah ( QS. Al-An’am : 165 ). Karena ilmunya itulah manusia dilebihkan ( bisa
dibedakan ) dengan makhluk lainnya.
Jika manusia hidup dengn ilmu selain ilmu Allah, manusia tidak bermartabat
lagi. Dalam keadaan demikian manusia disamakan dengan binatang, “mereka itu
seperti binatang ( ulaaika kal an’aam ), bahkan lebih buruk dari binatang ( bal
hum adhal ). Dalam keadaan demikian manusia bermartabat rendah ( at-Tiin : 4).
DAFTAR PUSTAKA
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/17/07/28/otsgjo313-ini-
kelemahan-manusia-yang-disebutkan-alquran, diakses pada tanggal 10
Desember 2020 pukul 16.05 WIB
https://www.republika.co.id/berita/ner00l/ini-15-sifat-manusia-dalam-alquran, diakses
pada tanggal 10 Desember 2020 pukul 16.10 WIB
https://www.uin-malang.ac.id/hakekat-manusia-dan-implikasinya-dalam-
pendidikan.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2020 pukul 16.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai