Anda di halaman 1dari 30

A.

Konsep Promosi Kesehatan


Konsep promosi kesehatan merupakan pengembangan dari konsep
pendidikan kesehatan, yang berlangsung sejalan dengan perubahan paradigma
kesehatan masyarakat (public health). Perubahan paradigma kesehatan
masyarakat terjadi antara lain akibat berubahnya pola penyakit, gaya hidup,
kondisi kehidupan, lingkungan kehidupan, dan demografi. Pada awal
perkembangannya, kesehatan masyarakat difokuskan pada faktor-faktor yang
menimbulkan risiko kesehatan seperti udara, air, penyakit-penyakit bersumber
makanan seperti penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan kemiskinan
dan kondisi kehidupan yang buruk.
Dalam perkembangan selanjutnya, disadari bahwa kondisi kesehatan juga
dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat (Depkes RI., 2004). Deklarasi Alma Ata
pada tahun 1978 menghasilkan strategi utama dalam pencapaian kesehatan bagi
semua (health for all) melalui pelayanan kesehatan dasar (primary health care).
Salah satu komponen di dalam pelayanan kesehatan dasar itu adalah pendidikan
kesehatan, di Indonesia pernah juga disebut dengan penyuluhan kesehatan, yang
ternyata berfokus pada perubahan perilaku, dan kurang memperhatikan upaya
perubahan lingkungan (fisik, biologik dan sosial) (Depkes RI., 2004).
Sekitar tahun 80-an mulai disadari bahwa pendidikan kesehatan saja
tidak cukup berdaya untuk mengubah perilaku masyarakat. Pendidikan kesehatan
harus disertai pula dengan upaya peningkatan kesehatan. Kesadaran akan hal ini
menimbulkan munculnya paradigma baru kesehatan masyarakat, yang mengubah
pendidikan kesehatan menjadi promosi kesehatan. Pada tahun 1986 di Ottawa,
Kanada, berlangsung konfrensi internasional promosi kesehatan yang
menghasilkan piagam Ottawa (Ottawa Charter). Piagam ini menjadi acuan bagi
penyelenggaraan promosi kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Aktivitas
promosi kesehatan menurut Piagam Ottawa adalah advokasi (advocating),
pemberdayaan (enabling) dan mediasi (mediating).
Selain itu, juga dirumuskan 5 komponen utama promosi kesehatan yaitu:
1) membangun kebijakan publik berwawasan kesehatan (build healthy public
policy), 2) menciptakan lingkungan yang mendukung (create supportive
environments), 3) memperkuat gerakan masyarakat (strengthen community
action), 4) membangun keterampilan individu (develop personal skill), dan 5)
reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health services). Berdasarkan Piagam
Ottawa tersebut, dirumuskan strategi dasar promosi kesehatan, yaitu
empowerment (pemberdayaan masyarakat), social support (bina suasana), dan
advocacy (advokasi) (WHO, 2009). Sesuai dengan perkembangan promosi
kesehatan tersebut di atas, pada tahun 2009 WHO memberikan pengertian
promosi kesehatan sebagai proses mengupayakan individu-individu dan
masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka mengendalikan faktor-
faktor yang mempengaruhi kesehatan, sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatannya. Bertolak dari pengertian yang dirumuskan WHO tersebut, di
Indonesia pengertian promosi kesehatan dirumuskan sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk,
dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta
mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan
budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan
kesehatan (Depkes RI., 2004).
Promosi kesehatan di sekolah merupakan suatu upaya untuk menciptakan
sekolah menjadi suatu komunitas yang mampu meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat sekolah melalui 3 kegiatan utama yaitu: (a) penciptaan lingkungan
sekolah yang sehat, (b) pemeliharaan dan pelayanan di sekolah, dan (c) upaya
pendidikan yang berkesinambungan. Sebagai suatu institusi pendidikan, sekolah
mempunyai peranan dan kedudukan strategis dalam upaya promosi kesehatan.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar anak usia 5-19 tahun terpajan dengan
lembaga pendidikan dalam jangka waktu cukup lama. Dari segi populasi,
promosi kesehatan di sekolah dapat menjangkau 2 jenis populasi, yaitu populasi
anak sekolah dan masyarakat umum/keluarga. Sekolah mendukung pertumbuhan
dan perkembangan alamiah seorang anak, sebab di sekolah seorang anak dapat
mempelajari berbagai pengetahuan termasuk kesehatan (Depkes RI., 2008).
Lebih lanjut, menurut Departemen Kesehatan RI. (2008), masalah
kesehatan anak usia sekolah yang masih banyak terjadi di Indonesia antara lain
adalah sanitasi dasar yang memenuhi syarat kesehatan seperti jamban sehat dan
air bersih, meningkatnya pecandu narkoba dan remaja yang merokok, dan
kesehatan reproduksi remaja. Ruang lingkup kesehatan reproduksi salah satunya
mencakup pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi (ISR),
termasuk infeksi menular seksual (IMS) seperti HIV dan AIDS.
Berdasarkan laporan situasi perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia
10 tahun terakhir sampai dengan 30 Juni 2011, secara kumulatif jumlah kasus
AIDS yang dilaporkan adalah 26.483 kasus AIDS yang berasal dari 33 provinsi.
Tidak satupun provinsi yang luput. Kasus yang terbanyak terdapat di DKI Jakarta,
Papua, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi
Selatan, DIY, Sulawesi Utara, Sumatera Utara. Kasus tertinggi pada kelompok
umur 20-29 tahun (46,4%), kelompok umur 30-39 tahun (31,5%), kelompok
umur 40-49 tahun tahun (9,8%), sedangkan cara penularan kasus AIDS
dilaporkan melalui hubungan seks heteroseksual (54,8%), injecting drug user atau
IDU (36,2%), hubungan seks sesama lelaki (2,9%), dan perinatal (2,8%)
(Kemenkes RI., 2010a).
Berdasarkan pada profil Dinas Kesehatan Provinsi Lampung (2011)
terdapat 14 kabupaten/kota di Lampung dengan total jumlah penduduk 7.608.405
jiwa dan dengan jumlah layanan kesehatan untuk puskesmas sejumlah 270
puskesmas dan rumah sakit pemerintah dan swasta sejumlah 34 rumah sakit.
Kasus AIDS dilaporkan pertama kali pada tahun 2002 dari Kabupaten Lampung
Utara dengan faktor risiko penasun (pengguna napza suntik). Sampai dengan Juli
2012 seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung telah melaporkan kasus HIV
dan AIDS dengan jumlah kasus HIV dan AIDS kumulatif 979 kasus, dengan
kasus AIDS kumulatif sejumlah 252 kasus dan HIV sejumlah 727 kasus. Dilihat
per 5 tahun, yaitu: antara tahun 2002-2006 dan 2007-2011, terjadi perubahan
proporsi terbesar faktor risiko dari penasun pada tahun 2002-2006 menjadi
heteroseksual pada tahun 2007-2011.
Proporsi kasus HIV dan AIDS berdasarkan kelompok umur tahun 2002
sampai dengan 2006 tertinggi pada kelompok umur 25-49 tahun (59,8%) dan
20-24 tahun (33,5%), sedangkan pada tahun 2007 sampai dengan Juli 2011 pada
kelompok umur 25-49 tahun (71,79%) dan 20-24 tahun (18,81%). Berdasarkan
data tersebut, dapat diketahui usia terendah kasus HIV pada kelompok umur di
atas adalah 20 dan 25 tahun. Hal ini berarti jika sejak terinfeksi sampai masuk ke
kondisi AIDS lamanya 5 tahun, maka usia terendah saat terinfeksi sekitar 15-19
tahun (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2011).
Sejalan dengan derasnya arus globalisasi yang melanda berbagai sektor
dan sendi kehidupan, berkembang pula masalah kesehatan reproduksi remaja
yang terjadi di masyarakat. Masalah tersebut baik fisik, psikis dan psikososial
mencakup perilaku sosial seperti kehamilan usia muda, penyakit akibat hubungan
seksual dan aborsi, maupun masalah akibat pemakaian narkotika, zat adiktif,
alkohol dan merokok. Bila hal ini tidak ditanggulangi sebaik-baiknya, bukan
hanya menyebabkan masa depan remaja suram, akan tetapi dapat menghancurkan
masa depan bangsa.
Remaja sebagai generasi muda bangsa memerlukan perhatian yang
intensif dari orangtua, masyarakat dan pemerintah. Permasalahan remaja sangat
kompleks. Fenomena yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa perilaku
seks pranikah di kalangan remaja semakin meningkat. Perilaku seksual remaja
yang cenderung permisif dan berani disertai dengan keterbatasan pengetahuan
remaja tentang kesehatan seksual telah meningkatkan risiko kehamilan yang tidak
diinginkan (UNFPA, 2002).
Usia remaja adalah usia belajar, yaitu usia ketika remaja berhadapan
dengan hal-hal baru sekaligus menghadapi dan harus mengambil berbagai risiko.
Remaja di semua tempat memiliki otonomi yang lebih besar dibandingkan
dengan anak-anak. Demikian juga dalam menentukan perilakunya, mereka
seringkali mengambil keputusan sendiri. Yang menjadi masalah adalah,
seringkali keputusan-keputusan tersebut berdampak pada kehidupan selanjutnya,
bahkan mungkin seumur hidup. Dalam kesehatan, yang dilakukan di masa remaja
akan berdampak pada kesehatannya di masa depan.
Perilaku remaja dipengaruhi oleh faktor internal remaja (pengetahuan,
sikap dan kepribadian) maupun faktor eksternal remaja (lingkungan ia berada).
Biasanya, faktor eksternal lebih berpengaruh. Perilaku remaja sangat dipengaruhi
oleh lingkungan sosial tempat mereka hidup. Khusus di era globalisasi,
lingkungan sosial sangat dinamis dan terbuka. Konteks sosial remaja sangat
bervariasi di berbagai tempat di dunia, bahkan di dalam satu negara. Salah satu
yang dibawa dalam dinamika ini adalah perubahan gaya hidup remaja.
Kombinasi antara usia perkembangan remaja yang khas (usia belajar) dengan
dinamisnya lingkungan sosial dan budaya dewasa ini, membuat remaja masuk di
berbagai lingkungan atau dunia yang seringkali tidak bisa diikuti dan dipahami
lagi oleh generasi sebelumnya, termasuk orangtuanya sendiri (Moeliono, 2004).
Pada umumnya, anak-anak dan remaja dalam masa transisi merasa enggan untuk
mencari penjelasan kepada orangtua mereka mengenai permasalahan yang terjadi
dalam diri mereka dan secara nyata mereka hadapi. Sementara itu, dari pihak
orangtua, selain kurang memiliki pengetahuan yang memadai tentang aspek-
aspek perkembangan tersebut, juga merasa risih atau segan atau bahkan tidak
mengerti cara yang tepat untuk membicarakan perkembangan biologis dan
psikologis serta permasalahan kesehatan reproduksi tersebut dengan anak-anak
mereka (BKKBN 2007). Salah satu penyebab masalah, kemungkinan karena
faktor ketidaktahuan, karena remaja tidak mendapat informasi yang jelas, benar
dan tepat mengenai kesehatan reproduksi remaja serta permasalahannya.
Menyadari masalah yang dihadapi dalam upaya pencegahan dan pengendalian
HIV dan AIDS di Indonesia, khususnya kepada kaum muda usia 15-19 tahun,
serta laporan yang menunjukkan bahwa tidak satupun kabupaten/kota yang luput
dari kasus HIV dan AIDS, maka sangat tepat Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI) Provinsi Lampung melaksanakan berbagai kegiatan
pencegahan penularan HIV yang ditujukan kepada kaum muda/remaja. Salah satu
bentuk kegiatan tersebut adalah dance4life, atau yang lebih populer dituliskan
menjadi dance4life. Dance4life adalah gerakan global remaja (usia 13-19 tahun)
yang dilakukan di 30 negara di dunia, termasuk Indonesia. Dance4life Indonesia
mulai implementasi pada tahun 2004, namun program ini terhenti hingga mulai
dihidupkan kembali pada tahun 2010. Dance4life internasional di Amsterdam
Belanda memberikan kepercayaan kepada RugersWPF indonesia menjadi
national concept owner (NCO) yang bertanggung jawab penuh terhadap
implementasi dance4life di Indonesia. Dalam implementasinya, dibentuk steering
committe yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat yang telah bekerja untuk
isu remaja dan HIV dan AIDS yaitu PKBI Pusat, Yayasan Pelita Ilmu (YPI) dan
Yayasan Aids Indonesia (YAI). Hingga tahun 2011 dance4life Indonesia telah
berkembang dan bekerjasama dengan mitra lokal dilima provinsi, yaitu SIKOK
Jambi, PKBI Lampung, YPI, PKBI DKI Jakarta, PKBI DI Yogyakarta dan
YAPEDA Timika Papua (Rugers WPF Indonesia, 2012). Kegiatan dance4life ini
melibatkan para remaja berperan aktif mencegah penularan HIV serta
mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV.
Kegiatan dance 4 life cukup unik dan menarik, karena mengkombinasi aspek
edukasi HIV dan AIDS dengan seni musik terutama tarian kolosal.
Kegiatan dance4life ditujukan kepada remaja yang berusia 13-19 tahun
melalui empat tahap: inspire, educate, activate, celebrate. Dance 4 life
dilaksanakan di Provinsi Lampung, tepatnya di Kota Bandar Lampung dimulai
tahun 2011 dengan jumlah sekolah menengah pertama (SMP), sekolah
menengah atas/sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah (SMA/SMK/MA)
yang terlibat sebanyak 24 sekolah yang memasukkan kegiatan dance4life dalam
kegiatan tambahan, sedangkan pada tahun 2012 jumlah SMP, SMA/SMK/MA
yang terlibat juga sebanyak 24 sekolah. Adapun siswa dan siswi yang telag
tergabung dalam program ini sejak tahun 2011-2012 berjumlah + 2.400 orang.
Semakin banyak siswa dan siswi yang tergabung dalam program ini semakin
banyak pula agen perubahan yang dihasilkan.
Seiring dengan banyaknya sekolah yang mengaplikasikan program
dance4life, perlu diketahui keterlibatan remaja untuk berperan aktif mencegah
HIV serta mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi
HIV melalui program dance4life pada siswa dan siswi SMP, SMA/SMK/MA.
Jika program ini dapat berhasil sesuai harapan, maka pendidikan dengan
menggunakan metode ini bisa diaplikasikan ke banyak sekolah di wilayah
lainnya.
Berdasarkan wawancara pada tanggal 13 Februari 2013 pada pengelola,
didapatkan informasi bahwa program dance 4 life PKBI Provinsi Lampung
merupakan program uji coba yang telah dilaksanakan sejak tahun 2011-2012.
Selama ini evaluasi yang dilakukan baru pada tahap menilai keberhasilan proses
pelatihan menggunakan lembar pre test dan post test dengan 10 pertanyaan yang
meliputi pertanyaan tentang pengertian HIV, cara penularan, cara pencegahan,
faktor risiko, dan strategi komunikasi pada remaja. Menurut rencana pada tahun
2014, RutgersWPF Indonesia selaku national concept owner (NCO) akan
melaksanakan evaluasi program dance4life Provinsi Lampung dengan sasaran
evaluasi siswa dan siswi SMP, SMA/SMK/MA.
Evaluasi program dance 4 life yang telah dilakukan di Amsterdam oleh
Hermanns et al. (2009) bertujuan untuk mengetahui kualitas pelaksanaan
komponen dalam program dance4life, mengetahui peluang dan tantangan dalam
pelaksanaan program dance 4 life. Hasil penelitian menunjukkan program
dance4life dianggap sebagai program pencegahan kesehatan yang kuat oleh mitra
pelaksana dan peserta. Selanjutnya, kedua kelompok melaporkan terbentuknya
sikap positif terhadap konsep dance 4 life dan berbagai komponen program.
Berdasarkan kondisi di atas, peneliti ingin melakukan evaluasi terhadap program
dance4life dalam pencegahan HIV dan AIDS berdasarkan Precaution Adopting
Process Model (PAPM). Sasarannya adalah siswa dan siswi SMP,
SMA/SMK/MA di Kota Bandar Lampung. Teori PAPM digunakan untuk
menjelaskan proses seseorang mengambil keputusan bertindak dan bagaimana
menerjemahkan keputusan tersebut ke dalam tindakan. Adopsi tindakan
pencegahan baru atau penghentian suatu perilaku berisiko memerlukan
langkahlangkah yang disengaja mungkin terjadi di luar kesadaran. PAPM berlaku
untuk jenis tindakan, bukan untuk pengembangan secara bertahap dari pola
kebiasaan perilaku (Gibbons et al., 1998 cit. Glanz et al., 2008).

B. Program Promosi Kesehatan


Dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2004-2009), bahwa untuk
mencapai sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 maka
Departemen Kesehatan menetapkan visi Pembangunan Kesehatan adalah
INDONESIA SEHAT 2010, hal tersebut merupakan gambaran masyarakat
Indonesia di masa depan, yakni masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai
oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat,
memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu
secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan untuk mencapai
visi tersebut Promosi kesehatan sebagai bagian integral dari upaya pembangunan
kesehatan menetapkan Visi, misi, tujuan, sasaran, arah kebijakan dan program
promosi kesehatan.
Upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat
menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya
masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik
yang berwawasan kesehatan.
Program ini ditujukan untuk memberdayakan individu, keluarga, dan
masyarakat agar mampu menumbuhkan perilaku hidup sehat dan
mengembangkan upaya kesehatan berbasis masyarakat. Kegiatan pokok yang
dilaksanakan dalam program ini antara lain meliputi:
1. Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi
2. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE);
3. Pengembangan upaya kesehatan bersumber dari masyarakat(seperti
pos pelayanan terpadu, pondok bersalin desa, dan usahakesehatan
sekolah) ;
4. Peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat;
5. Peningkatan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JKPM)
secara kapitasi dan pra upaya terutama bagi keluarga miskin.
6. Peningkatan pendanaan operasional Puskesmas dan revitalisasi
Puskesmas sebagai Pusat Promotive dan Preventive bidang kesehatan;
Misi Promosi Kesehatan
1. Memberdayakan individu, keluarga, dan kelompok-kelompok dalam
masyarakat, baik melalui pendekatan individu dan keluarga, maupun
melalui pengorganisasian dan penggerakan masyarakat
2. Membina suasana atau lingkungan yang kondusif bagi terciptanya perilaku
hidup bersih dan sehat masyarakat
3. Mengadvokasi para pengambil keputusan dan penentu kebijakan serta
pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) dalam rangka :
Mendorong diberlakukannya kebijakan dan peraturan perundang-undangan
yang berwawasan kesehatan
Mengintegrasikan promosi kesehatan, khususnya pemberdayaan
masyarakat, dalam program-program kesehatan
Meningkatkan kemitraan sinergis antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, serta antara pemerintah dengan masyarakat
(termasuk LSM) dan dunia usaha.
Meningkatkan investasi dalam bidang promosi kesehatan pada
khususnya dan bidang kesehatan pada umumnya
Tujuan dan Sasaran Promosi Kesehatan
a. Individu dan keluarga
Memperoleh informasi kesehatan melalui berbagai saluran, baik
angsung maupun media massa
Mempunyai pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk
memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya
Memperaktikkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), menuju
keluarga atau rumah tangga sehat
Mengupayakan paling sedikit salah seorang menjadi kader kesehatan
bagi keluarga
Berperan aktif dalam upaya/kegiatan kesehatan.
b. Tatanan sarana kesehatan, institusi pendidikan, tempat kerja dan tempat
umum
Masing-masing tatanan mengembangkan kader-kader kesehatan
Mewujudkan tatanan yang sehat menuju terwujudnya kawasan sehat.
c. Organisasi masyarakat/organisasi profesi/LSM dan media massa
Menggalang potensi untuk mengembangkan perilaku sehat
masyarakat
Bergotong royong untuk mewujudkan lingkungan sehat
Menciptakan suasana yang kondusif untuk mendukung perubahan
perilaku sehat.
d. Program/petugas kesehatan
Melakukan integrasi promosi kesehatan dalam program dan
kegiatankesehatan
Mendukung tumbuhnya perilaku hidup bersih dan sehat di
masyarakat, khususnya melalui pemberdayaan individu, keluarga
atau kelompok yang menjadi kliennya
Meningkatkan mutu pemberdayaan masyarakat dan pelayanan
kesehatan yang memberikan kepuasan kepada masyarakat.
e. Lembaga pemerintah/politisi/swasta
Peduli dan mendukung upaya kesehatan, minimal dalam
mengembangkan lingkungan dan perilaku sehat
Membuat kebijakan dan peraturan perundang-undangan dengan
memperhatikan dampaknya dibidang kesehatan.

1. STRATEGI
Menyadari bahwa perilaku adalah sesuatu yang rumit. Perilaku tidak hanya
menyangkut dimensi kultural yang berupa sistem nilai dan norma, melainkan
juga dimensi ekonomi, yaitu hal-hal yang mendukung perilaku, maka promosi
kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna
(komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan
Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi
kesehatan yaitu :
1) Gerakan Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi secara terus-menerus
dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses
membantu sasaran agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu
atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan
dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek
practice).
Sasaran utama dari pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta
kelompok masyarakat.
Bilamana sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu
melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal
ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung, tetapi yang
seringkali dipraktikkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses
pengorganisasian masyarakat (community organisation) atau pembangunan
masyarakat (community development).
Untuk itu sejumlah individu yang telah mau, dihimpun dalam suatu
kelompok untuk bekerjasama memecahkan kesulitan yang dihadapi. Tidak
jarang kelompok ini pun masih juga memerlukan bantuan dari luar (misalnya
dari pemerintah atau dari dermawan). Disinilah letak pentingnya sinkronisasi
promosi kesehatan dengan program kesehatan yang didukungnya. Hal-hal
yang akan diberikan kepada masyarakat oleh program kesehatan sebagai
bantuan,hendaknya disampaikan pada fase ini, bukan sebelumnya. Bantuan
itu hendaknya juga sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

2) Binasuasana
Binasuasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang
mendorongindividu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku
yangdiperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan
sesuatuapabila lingkungan sosial dimana pun ia berada (keluarga di rumah,
orangorangyang menjadi panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama,
danain-lain, dan bahkan masyarakat umum) menyetujui atau mendukung
perilaku tersebut.
Oleh karena itu, untuk mendukung proses pemberdayaan
masyarakat,khususnya dalam upaya meningkatkan para individu dari fase
tahuke fase mau, perlu dilakukan Bina Suasana. Terdapat tiga pendekatan
dalam Bina Suasana, yaitu :
a. Pendekatan Individu
b. Pendekatan Kelompok
c. Pendekatan Masyarakat Umum

3) Advokasi
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait
(stakeholders). Pihak-pihak yang terkait ini bisa berupa tokoh masyarakat
formal yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintahan dan
penyandang dana pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat
informal seperti tokoh agama, tokoh pengusaha, dan lain-lain yang umumnya
dapat berperan sebagai penentu kebijakan (tidak tertulis) dibidangnya dan
atau sebagai penyandang dana non pemerintah.
Perlu disadari bahwa komitmen dan dukungan yang diupayakan
melalui advokasi jarang diperoleh dalam waktu singkat. Pada diri sasaran
advokasi umumnya berlangsung tahapan-tahapan, yaitu (1) mengetahui atau
menyadari adanya masalah, (2) tertarik untuk ikut mengatasi masalah, (3)
peduli terhadap pemecahan masalah dengan mempertimbangkan berbagai
alternatif pemecahan masalah, (4) sepakat untuk memecahkan masalah
dengan memilih salah satu alternatif pemecahan masalah, dan (5)
memutuskan tindak lanjut kesepakatan. Dengan demikian, maka advokasi
harus dilakukan secara terencana, cermat, dan tepat.
Bahan-bahan advokasi harus disiapkan dengan matang, yaitu :
Sesuai minat dan perhatian sasaran advokasi
Memuat rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah
Memuat peran si sasaran dalam pemecahan masalah
Berdasarkan kepada fakta atau evidence-based
Dikemas secara menarik dan jelas
Sesuai dengan waktu yang tersedia.
C. Konsep Perawatan di Rumah
Pelayanan keperawatan kesehatan di rumah merupakan sintesa dari
keperawatan kesehatan komunitas dan keterampilan teknikal tertentu yang
berasal dari spesialisasi keperawatan tertentu. Pelayanan keperawatan di rumah
mencakup pencegahan primer, sekunder, dan tersier yang berfokus pada asuhan
keperawatan individu dengan melibatkan keluarga atau pemberi pelayanan yang
lain (ANA, 1992).
Pelayanan keperawatan kesehatan di rumah adalah pelayanan
keperawatan yang diberikan kepada klien di rumahnya untuk menyembuhkan,
mempertahankan, memelihara, dan meningkatkan kesehatan memelihara, dan
meningkatkan kesehatan fisik, mental/ emosi klien (Rice, 1996).
Pelayanan keperawatan kesehatan di rumah merupakan pemberian
pelayanan keperawatan keluarga yang berkualitas terhadap klien di lingkungan
rumahnya yang disediakan secara intermitten atau part time.
Pendamping klien/ keluarga (care giver) dan Pendamping klien/ keluarga
(care giver) dan lingkungan rumah di pandang sebagai elemen utama yang
menentukan keberhasilan pelayanan.
1. Tujuan Perawatan di Rumah
Umum :
Meningkatkan kualitas hidup klien dan keluarga
Khusus :
Terpenuhinya kebutuhan dasar (biologis, psikologis,
sosiokultural dan spiritual) bagi klien secara mandiri
Meningkatnya kemandirian keluarga dalam pemeliharaan
kesehatan dan perawatan klien di rumah
Meningkatnya kualitas pelayanan keperawatan kesehatan di
rumah

2. Manfaat
Pelayanan akan lebih sempurna, holistik dan
Komprehensif
Pelayanan lebih profesional
Pelayanan keperawatan mandiri dapat diaplikasikan dengan di
bawah naungan legal diaplikasikan dengan di bawah naungan legal
dan etik keperawatan
Kebutuhan pasien akan dapat terpenuhi sehingga pasien akan lebih
nyaman dan puas dengan askep yang profesional.

3. Ruang Lingkup
Memberikan pelayanan asuhan keperawatan secara komprehensif
pada proses penyembuhan kesehatan, rehabilitasi, pemeliharaan,
dan peningkatan kesehatan
Melakukan pendidikan kesehatan kepada klien dan keluarganya
tentang kondisi yang dialami
Mengembangkan pemberdayaan klien dan keluarga dalam rangka
mencapai kualitas hidup yang lebih baik

4. Prinsip Perawatan
Pengelolaan pelayanan keperawatan kesehatan di rumah
dilaksanakan oleh perawat / Tim yang memiliki keahlian khusus
bidang tersebut
Mengaplikasikan konsep sebagai dasar mengambil keputusan dalam
praktik
Mengumpulkan dan mencatat data dengan sistematis, akurat dan
komprehensif secara terus menerus dan komprehensif secara terus
menerus
Menggunakan data hasil pengkajian untuk menetapkan diagnosa
keperawatan
Mengembangkan rencana keperawatan didasarkan pada diagnosa
keperawatan yang dikaitkan dengan tindakan-tindakan pencegahan,
terapi dan pemulihan.
Memberikan pelayanan keperawatan dalam rangka menjaga
kenyamanan, penyembuhan, peningkatan kesehatan dan pencegahan
komplikasi.
Mengevaluasi secara terus menerus respon klien dan keluarganya
terhadap intervensi keperawatan
Bertanggung jawab terhadap klien dan keluarganya akan pelayanan
yang bermutu melalui; manajemen kasus, rencana penghentian
asuhan keperawatan (discharge planning), dan koordinasi dengan
sumber-sumber di komunitas.
Memelihara hubungan di antara anggota tim untuk menjamin agar
kegiatan yang dilakukan anggota tim saling mendukung agar
kegiatan yang dilakukan anggota tim saling mendukung
Mengembangkan kemampuan profesional dan berkontribusi pada
pertumbuhan kemampuan profesional tenaga yang lain.
Berpartisipasi dalam aktifitas riset untuk mengembangkan
pengetahuan pelayanan keperawatan kesehatan di rumah.
Menggunakan kode etik keperawatan dalam melaksanakan praktik
keperawata

5. Peran Perawat
Manajer Kasus : Mengelola dan mengkolaborasikan dengan anggota
keluarga dan penyedia pelayanan kesehatan atau pelayanan sosial
yang lain untuk meningkatkan pencapaian pelayanan.
Pelaksana /Pemberi Asuhan : Memberikan pelayanan langsung dan
melakukan supervisi pelayanan yang diberikan oleh anggota
keluarga atau pembantu perawat.
Pendidik : Mengajarkan keluarga tentang sehat sakit dan bertindak
sebagai penyedia informasi kesehatan.
Kolaborator : Mengkoordinir pelayanan yang diterima oleh keluarga
dan mengkolaborasikan dengan keluarga dalam merencanakan
pelayanan.
Pembela (Advocate) Melakukan pembelaan terhadap klien melalui
dukungan peraturan.
Konselor : Membantu klien dan keluarga dalam menyelesaikan
masalah dan mengembangkan koping yang konstruktif.
Penemu Kasus dan Melakukan Rujukan : Melibatkan diri dalam
menemukan kasus di keluarga dan melakukan rujukan secara cepat.
Penata lingkungan rumah : Melakukan modifikasi lingkungan
bersama klien dan keluarga dan tim kesehatan lain untuk menunjang
lingkungan sehat.
Peneliti : Mengidentifikasi masalah praktik dan mencari jawaban
melalui pendekatan ilmiah.

D. Keperawatan di Rumah
a. Manajemen Kasus
Kegiatan manajemen kasus mencakup proses manajemen yang
meliputi langkah-langkah yaitu; seleksi kasus, pengkajian kebutuhan
pelayanan, perencanaan kebutuhan pelayanan klien, pelaksanaan
koordinasi pemenuhan kebutuhan pelayanan, dan berikutnya
pemantauan dan evaluasi penyediaan pelayanan pelaksanaan
koordinasi pemenuhan kebutuhan pelayanan, dan berikutnya
pemantauan dan evaluasi penyediaan pelayanan multidisiplin.
b. Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan yang diberikan pada klien di rumah
menggunakan metode proses keperawatan meliputi tahap pengkajian,
diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
c. Pencatatan dan Pelaporan
Adapun materi yang dilaporkan mencakup :
Jumlah klien yang dikunjungi dan pola penyakit berdasarkan
usia
Periode kunjungan untuk setiap kasus (frekuensi kunjungan
dan lama perawatan lama perawatan
Jumlah klien yang dapat pengobatan
Jumlah klien yang dirujuk ke pelayanan kesehatan lain
Jumlah klien yang meninggal dan penyebab kematian
Tingkat keberhasilan pelayanan yang diberikan (kemandirian
klien dan keluarga)
Tenaga kesehatan dan non kesehatan yang memberikan
pelayanan

E. Konsep Kesehatan Sekolah


a. Pengertian
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS) adalah upaya pembinaan dan pengembangan kebiasaan hidup
sehat yang dilakukan secara terpadu melalui program pendidikan dan
pelayanan kesehatan di sekolah, perguruan agama serta usaha-usaha yang
dilakukan dalam rangka pembinaan dan pemeliharaan kesehatan di
lingkungan sekolah (Efendi, 1998).
Sedangkan menurut Azrul Azwar, UKS adalah usaha kesehatan pokok
yang menjadi beban tugas puskesmas yang ditujukan kepada sekolah-sekolah
dengan anak beserta lingkungan hidupnya, dalam rangka mencapai keadaan
kesehatan anak sebaik-baiknya dan sekaligus meningkatkan prestasi belajar
anak sekolah yang setinggi-tingginya (Efendi, 1998).

b. Ruang Lingkup Kegiatan


Kegiatan utama UKS disebut Triase UKS, yang terdiri dari :
1. Pendidikan kesehatan
2. Pelayanan kesehatan
3. Pembinaan lingkungan kehidupan sekolah yang sehat

c. Sasaran
Sasaran pelayanan UKS adalah seluruh peserta didik dari tingkat pendidikan :
1. Sekolah taman kanak-kanak
2. Pendidikan dasar
3. Pendidikan menengah
4. Pendidikan agama
5. Pendidikan kejuruan
6. Pendidikan khusus (di luar sekolah)
Sasaran pembinaan UKS adalah:
1. Kepala sekolah
2. Pembina UKS (teknis dan non teknis)
3. Peserta didik
4. Orang tua siswa
5. Masyarakat
d. Kegiatan
1. Pendidikan kesehatan di sekolah
1) Kegiatan intra kurikuler
Pendidikan kesehatan yang masuk ke dalam kurikulum, meliputi ilmu
kesehatan atau disiplin ilmu seperti : olah raga dan kesehatan, dan
ilmu pengetahuan alam.

2) Kegiatan ekstra kurikuler


Yaitu pendidikan kesehatan yang dimasukkan ke dalam kegiatan-
kegiatan ekstra kurikuler dalam rangka menanamkan perilaku sehat
pada peserta didik.
3) Kegiatan-kegiatan dalam pendidikan kesehatan di sekolah dapat
berupa :
a. Hygiene perseorangan meliputi pemeliharaan gigi dan mulut,
kebersihan kulit dan kuku, mata, telinga dan sebagainya.
b. Pemeriksaan tumbang pada anak
c. Skrining
d. Lomba poster sehat
e. Perlombaan kebersihan kelas.
2. Pelayanan kesehatan sekolah
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memelihara, meningkatkan dan menemukan
secara dini gangguan kesehatan yang mungkin terjadi terhadap peserta didik
maupun gurunya. Pemeliharaan kesehatan sekolah dilakukan oleh petugas
puskesmas yang merupakan tim yang dibentuk di bawah koordinator UKS
yang terdiri dari, dokter, perawat, juru imunisasi dan sebagainya.
Kegiatan yang dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan kesehatan fisik
b. Pemeriksaan perkembangan kecerdasan
c. Pemberian imunisasi
d. Penemuan kasus-kasus dini
e. Pengobatan sederhana
f. Pertolongan pertama
g. Rujukan bila diperlukan untuk kasus yang tidak dapat ditanggulangi di
sekolah
h. Pemeriksaan dan pemeliharaan kesehatan guru.
3. Kesehatan Lingkungan Sekolah
Lingkungan kehidupan sekolah yang sehat mencakup :
a. Lingkungan fisik, kegiatannya meliputi :
1) Pengawasan terhadap sumber air bersih, sampah air limbah, tempat
pembuangan tinja dan kebersihan lingkungan sekolah.
2) Pengawasan kantin sekolah.
3) Pengawasan bangunan sekolah yang sehat.
4) Pengawasan binatang yang ada di lingkungan sekolah.
5) Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan tanah, air dan udara di
sekitar sekolah.
b. Lingkungan psikis, kegiatannya meliputi :
1) Memberikan perhatian pada perkembangan peserta didik.
2) Memberikan perhatian khusus pada anak didik yang bermasalah.
3) Membina hubungan kejiwaan antara guru dan peserta didik.
c. Lingkungan sosial, kegiatannya meliputi :
1) Membina hubungan yang harmonis antara guru dengan guru.
2) Membina hubungan yang harmonis antara guru dengan peserta didik.
3) Membina hubungan yang harmonis antara peserta didik dengan
peserta didik lainnya.
4) Membina hubungan yang harmonis antara guru, murid dan karyawan
sekolah serta masyarakat sekolah.

e.Pengelolaan
1. Yang terlibat dalam UKS adalah :
a. Kepala sekolah
b. Guru UKS
c. Peserta didik
d. Petugas kesehatan masyarakat sekolah (BP3)
e. Orang tua atau wali murid
f. Masyarakat disekitar lingkungan sekolah
2. Kegiatan lintas sektoral
Kegiatan UKS melibatkan berbagai departemen sesuai dengan surat keputusan
bersama, beberapa departemen sebagai berikut :
a. Departemen kesehatan
b. Departemen pendidikan dan kebudayaan
c. Departemen dalam negeri
d. Departemen agama
3. Tolok ukur keberhasilan pembinaan
a. Dilihat dari segi peserta didik
1) Sehat, tidak sakit-sakitan dan bebas dari narkotika.
2) Absensi sakit menurun.
3) Pertumbuhan dan perkembangan peserta didik sesuai dengan
golongan usia.
4) Peserta didik telah mendapatkan imunisasi.
b. Dilihat dari lingkungan sekolah
1) Semua ruangan, kamar mandi, jamban, dan pekarangan bersih.
2) Tidak ada sampah.
3) Adanya sumber air bersih.
4) Peran perawat dalam kegiatan UKS
c. Sebagai pelaksana
1) Mengkaji masalah kesehatan dan keperawatan peserta didik dengan
melakukan pengumpulan data, analisa data, dan perumusan masalah
dan prioritas masalah.
2) Menyusun rencana kegiatan UKS bersama Pembina UKS di sekolah.
3) Melaksanakan kegiatan UKS sesuai perencanaan
4) Penilaian dan pemantauan kegiatan UKS.
5) Pencatatan dan pelaporan sesuai dengan rencana kegiatan yang
disusun.
d. Sebagai pengelola
Perawat yang ditunjuk oleh pihak puskesmas, bertanggung jawab sebagai
koordinator dalam mengelola kegiatan UKS.
e. Sebagai penyuluh
Perawat bertugas memberikan penyuluhan kepada peserta didik yang
bersifat umum dan klasikal, atau secara tidak langsung pada saat
melaksanakan pemeriksaan fisik peserta didik secara perorangan.
f. Pengkajian Pada Area Sekolah
1. Dimensi Biofisikal
Faktor- faktor yang perlu dikaji adalah kematangan dan usia, warisan
genetik dan fungsi fisiologis.
2. Dimensi Psikologis
Lingkungan psikis dalam sekolah dapat memelihara kesehatan yang baik
atau sebaliknya. Sudut pandang ini dapat dikaji melalui komponen:
a. Pengorganisasian
Kegiatan keseharian sekolah meliputi: periode aktifitas fisik, waktu dan
pengembangan kemampuan, waktu makan, minum, maupun toileting.
b. Keindahan (Aesthetic)
Dapat dilihat dari kebersihan ruangan, suasana kondusif atau bahkan
tertekan dan gelap terang ruangan.
c. Hubungan kekeluargaan
Meliputi beberapa besar partisipasi siswa dalam aktivitas kelompok,
kepedulian dan hubungan dengan orang lain.
d. Hubungan guru dengan murid
Hubungan yang baik sangat mempengaruhi kondisi psikis di sekolah.
Dalam hal ini perawat komunitas mengidentifikasi sikap guru terhadap
murid serta penggunaan hukuman terhadap siswa yang salah dengan
layak/ mendidik.
e. Hubungan guru dengan guru
Hubungan antar guru yang efektif berupa saling sharing, mendukung,
kerjasama, dan memberi pedoman terhadap perkembangan guru.
f. Disiplin
Perawat dapat mengkaji, bagaimana suatu peraturan dapat
dikomunikasikan secara jelas dan nyata pada siswa.
g. Kebijakan peraturan
Dapat dikaji bagaimana standar peraturan dilaksanakan secara
konsisten.
h. Hubungan orang tua dengan sekolah
Hubungan antar orang tua yang efektif berupa saling sharing,
mendukung, kerjasama, dan memberi pedoman terhadap
perkembangan kemajuan prestasi anak
i. Hubungan masyarakat sekitar dengan sekolah
Hubangan antara masyarakat dengan sekolah berupa menjaga
keamanan dan kenyamanan berlangsungnya proses pembelajaran
3. Dimensi Fisik
a. Lingkungan Internal
1) Bahaya api
2) Sanitasi
3) Zat berbahaya
4) Peralatan laboratorium
5) Peralatan dapur
6) Bahan-bahan kimia
7) Binatang pengerat
8) Suara, cahaya, ventilasi
b. Lingkungan Eksternal
1) Lalu lintas
2) Air berbahaya
3) Pestisida
4) Binatang berbahaya
5) Bahaya industri
6) Polusi

4. Dimensi Sosial
Dapat dikaji melalui sikap masyarakat terhadap pendidikan dan perawatan,
faktor sosial orang tua dan sosial ekonomi keluarga.
5. Dimensi Perilaku
Meliputi kekakuan peraturan sekolah, perilaku nutrisi (makan pagi/siang),
rekreasi dan istirahat.
6. Dimensi Sistem Kesehatan
Dipengaruhi oleh idividu dan masyarakat
Individu : Perawatan kesehatan individu dan keluarga
Masyarakat : Pelayanan untuk perawatan kesehatan yang
diperlukan dalam populasi sekolah.
F. Konsep Asuhan Keperawatan Sekolah
Asuhan keperawatan anak sekolah adalah salah satu specialisasi dari
keperawatan komunitas atau Comunity Health Nursing (CHN) tujuannya
meningkatkan kesehatan masyarakat sekolah dengan keperawatan sebagai
salurannya. Asuhan keperawatan sekolah pada umumnya sama dengan asuhan
keperawatan pada sasaran lainnya, yaitu :
1. Pengkajian ditujukan kepada :
a. Lingkungan sekolah mulai dari :
1) Lingkungan Fisik (Halaman, kebun sekolah, bangunan sekolah :
meja, papan tulis, kursi, lantai, kebersihan, ventilasi, penerangan,
kebisingan, papan tuilis, kepadatan), Sumber air minum,
Pembuangan Air Limbah (PAL), Jamban Keluarga, Tempat cucu
tangan, kebersihan kamar mandi dan penampungan air, pembuangan
sampah, pagar sekolah, dan lain-lain.
2) Lingkungan Psikologis : hubungan guru dengan murid baik baik
formal maupun non formal terutama kenyamanan dalam beljar.
3) Lingkungan Sosial : hubungan dosen dengan orang tua murid,
Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG) dan masyarakat
sekitar.
b. Keadaan/pelaksanaan UKS, dokter/perawat kecil.
1) Pengetahuan anak sekolah tentang kesehatan (PHBS) dan
pelaksanaan PHBS
2) Kondisi kesehatan/fisik anak sekolah terutama screening test (BB,
TB, tenggorokan, telinga/pendengaran, mata/penglihatan),
2. Diagnosa Keperawatan yang Dapat Dirumuskan pada Anak Sekolah :
1) Defisiensi aktivitas pengalihan anak sekolah yitu penurunan
stimulasi dan atau minat/keinginan untuk rekreasi atau melakukan
aktivitas bermain faktor yang berhubungan lingkungan sekolah yang
sempit/fasilitas yang tidak mendukung/kurang sumber daya.
2) Gaya hdup monoton anak sekolahyaitu menyatakan suatu kebiasaan
hidup yang dicirikan dengan tingkat aktivitas yang rendah
berhungan dengan kurang pengetahuan tentang keuntungan latihan
fisik.
3) Perilaku kesehatan anak sekolah cenderung beresiko faktor yang
berhubungan merolok/mimun alkohol, stress menghadapi tugas atau
ujian/kurang dukungan dan lain-lain.
4) Ketidak efektifan pemeliharaan kesehatan anak sekolah faktor yang
berhubungan kurang ketrampilan motorik kasar/motorik/halus atau
ketidak cukupan sumber daya.
5) Kesiapan meningkatkan status imunisasi anak sekolah batasan
karakteristik menunjukkan keinginan untuk meningkatkan status
imunisasi/mengekspresikan keinginan untuk meningkatkan status
imunisasi
6) Ketidak efektifan perlindungan pada anak sekolah faktor yang
berhubungan penyalahgunaa zat/obat-obatan
7) Ketidak efektifan manajemen kesehatan masyrakat sekolah faktor
yang berhubungan kurang pengetahuan/kurang dukungan
sosial/ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak

3. Rencana Asuhan Keperawatan Anak Sekolah


Rencana asuhan keperawatan anak sekolah dibuat berdasarkan masalah
kesehatan/diagnosa keperawatan yang ditemukan, tetapi pada umumnya
dilakukan tindakan berikut ini :
a. Promosi Kesehatan tentang PHBS
b. Pelaksanaan Screening Test
c. Imunisasi DT/TT
d. Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
e. Pemeriksaan Kesehatan Gigi dan Mulut
f. Pelatihan dokter/perawat keci
g. Pelaksanaan UKS di sekolah setiap hari oleh guru UKS dan
dokter/perawat kecil dan lain-lain
G. Reviuw Program UKS
Program UKS yaitu untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat dan derajat
ksehatan peserta didik dilakukan upaya menanamkan prinsip hidup sehat sedini
mungkin melalui pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan pembinaan
lingkungan sekolah sehat (Trias UKS).
1. Pendidikan Kesehatan
a. Tujuan Pendidikan Kesehatan Tujuan pendidikan kesehatan ialah agar
peserta didik:
1) Memiliki pengetahuan tentang kesehatan,termasuk cara hidup sehat
dan teratur;
2) Memiliki nilai dan sikap yang positif terhadap prinsip hidup sehat;
3) Memiliki keterampilan dalam melaksanakan hal yang berkaitan dengan
pemeliharaan, pertolongan, dan perawatan kesehatan;
4) Memiliki perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS);
5) Mengerti dan dapat menerapkan prinsip-prinsip pencegahan penyakit.
6) Memiliki daya tangkal terhadap pengaruh buruk diluar (narkoba, arus
informasi, dan gaya hidup yang tidak sehat).
b. Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan Pelaksanaan pendidikan kesehatan
diberikan melalui:
1) Kegiatan Kurikuler Pelaksanaan pendidikan kesehatan melalui
kegiatan kurikuler adalah pelaksanaan pendidikan pada jam pelajaran.
Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan sesuai dengan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya pada standard isi yang telah
diatur dalam Peraturan Mendiknas nomor 22 tahun 2006 pada mata
pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan.

Materi pendidikan kesehatan mencakup:


(1) Menjaga kebersihan diri;
(2) Mengenal pentingnya imunisasi;
(3) Mengenal makanan sehat;
(4) Mengenal bahaya penyakit diare,demam berdarah dan influenza;
(5) Menjaga kebersihan lingkungan (sekolah/madrasah dan rumah);
(6) Membiasakan buang sampah pada tempatnya
(7) Mengenal cara menjaga kebersihan alat reproduksi;
(8) Mengenal bahaya merokok bagi kesehatan;
(9) Mengenal bahaya minuman keras;
(10) Mengenal bahaya narkoba;
(11) Mengenal cara menolak ajakan menggunakan narkoba;
(12) Mengenal cara menolak perlakuan pelecehan seksual.

H. Terapi Komplementer
Terapi komplementer dikenal dengan terapi tradisional yang
digabungkan dalam pengobatan modern. Komplementer adalah penggunaan
terapi tradisional ke dalam pengobatan modern (Andrews et al., 1999).
Terminologi ini dikenal sebagai terapi modalitas atau aktivitas yang
menambahkan pendekatan ortodoks dalam pelayanan kesehatan (Crips & Taylor,
2001). Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan
holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu
secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan
pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al., 2004).
Pendapat lain menyebutkan terapi komplementer dan alternatif sebagai
sebuah domain luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem
kesehatan, modalitas, praktik dan ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan
cara berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang umum di masyarakat atau
budaya yang ada (Complementary and alternative medicine/CAM Research
Methodology Conference, 1997 dalam Snyder & Lindquis, 2002).
Terapi komplementer dan alternatif termasuk didalamnya seluruh
praktik dan ide yang didefinisikan oleh pengguna sebagai pencegahan atau
pengobatan penyakit atau promosi kesehatan dan kesejahteraan.
Definisi tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai pengembangan terapi
tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang
mempengaruhi keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan
spiritual. Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut ada yang telah lulus uji
klinis sehingga sudah disamakan dengan obat modern. Kondisi ini sesuai dengan
prinsip keperawatan yang memandang manusia sebagai makhluk yang holistik
(bio, psiko, sosial, dan spiritual).
Prinsip holistik pada keperawatan ini perlu didukung kemampuan
perawat dalam menguasai berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk terapi
komplementer. Penerapan terapi komplementer pada keperawatan perlu mengacu
kembali pada teori-teori yang mendasari praktik keperawatan. Misalnya teori
Rogers yang memandang manusia sebagai sistem terbuka, kompleks, mempunyai
berbagai dimensi dan energi. Teori ini dapat mengembangkan pengobatan
tradisional yang menggunakan energi misalnya tai chi, chikung, dan reiki.
Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat dalam
mengembangkan terapi komplementer misalnya teori transkultural yang dalam
praktiknya mengaitkan ilmu fisiologi, anatomi, patofisiologi, dan lain-lain. Hal
ini didukung dalam catatan keperawatan Florence Nightingale yang telah
menekankan pentingnya mengembangkan lingkungan untuk penyembuhan dan
pentingnya terapi seperti musik dalam proses penyembuhan. Selain itu, terapi
komplementer meningkatkan kesempatan perawat dalam menunjukkan caring
pada klien (Snyder & Lindquis, 2002).
Hasil penelitian terapi komplementer yang dilakukan belum banyak dan
tidak dijelaskan dilakukan oleh perawat atau bukan. Beberapa yang berhasil
dibuktikan secara ilmiah misalnya terapi sentuhan untuk meningkatkan relaksasi,
menurunkan nyeri, mengurangi kecemasan, mempercepat penyembuhan luka,
dan memberi kontribusi positif pada perubahan psikoimunologik (Hitchcock et
al., 1999). Terapi pijat (massage) pada bayi yang lahir kurang bulan dapat
meningkatkan berat badan, memperpendek hari rawat, dan meningkatkan respons.
Sedangkan terapi pijat pada anak autis meningkatkan perhatian dan belajar.
Terapi pijat juga dapat meningkatkan pola makan, meningkatkan citra tubuh, dan
menurunkan kecemasan pada anak susah makan (Stanhope, 2004). Terapi
kiropraksi terbukti dapat menurunkan nyeri haid dan level plasma prostaglandin
selama haid (Fontaine, 2005).
Hasil lainnya yang dilaporkan misalnya penggunaan aromaterapi. Salah
satu aromaterapi berupa penggunaan minyak esensial berkhasiat untuk mengatasi
infeksi bakteri dan jamur (Buckle, 2003). Minyak lemon thyme mampu
membunuh bakteri streptokokus, stafilokokus dan tuberkulosis (Smith et al.,
2004). Tanaman lavender dapat mengontrol minyak kulit, sedangkan teh dapat
membersihkan jerawat dan membatasi kekambuhan (Key, 2008). Dr. Carl
menemukan bahwa penderita kanker lebih cepat sembuh dan berkurang rasa
nyerinya dengan meditasi dan imagery (Smith et al., 2004). Hasil riset juga
menunjukkan hipnoterapi meningkatkan suplai oksigen, perubahan vaskular dan
termal, mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, dan mengurangi kecemasan
(Fontaine, 2005).
Hasil-hasil tersebut menyatakan terapi komplementer sebagai suatu
paradigma baru (Smith et al., 2004). Bentuk terapi yang digunakan dalam terapi
komplementer ini beragam sehingga disebut juga dengan terapi holistik.
Terminologi kesehatan holistik mengacu pada integrasi secara menyeluruh dan
mempengaruhi kesehatan, perilaku positif, memiliki tujuan hidup, dan
pengembangan spiritual (Hitchcock et al., 1999).
Terapi komplementer dengan demikian dapat diterapkan dalam berbagai
level pencegahan penyakit.
Terapi komplementer dapat berupa promosi kesehatan, pencegahan
penyakit ataupun rehabilitasi. Bentuk promosi kesehatan misalnya memperbaiki
gaya hidup dengan menggunakan terapi nutrisi. Seseorang yang menerapkan
nutrisi sehat, seimbang, mengandung berbagai unsur akan meningkatkan
kesehatan tubuh. Intervensi komplementer ini berkembang di tingkat pencegahan
primer, sekunder, tersier dan dapat dilakukan di tingkat individu maupun
kelompok misalnya untuk strategi stimulasi imajinatif dan kreatif (Hitchcock et
al., 1999).
Pengobatan dengan menggunakan terapi komplementer mempunyai
manfaat selain dapat meningkatkan kesehatan secara lebih menyeluruh juga lebih
murah. Terapi komplementer terutama akan dirasakan lebih murah bila klien
dengan penyakit kronis yang harus rutin mengeluarkan dana. Pengalaman klien
yang awalnya menggunakan terapi modern menunjukkan bahwa biaya membeli
obat berkurang 200-300 dolar dalam beberapa bulan setelah menggunakan terapi
komplementer (Nezabudkin, 2007).
Minat masyarakat Indonesia terhadap terapi komplementer ataupun yang
masih tradisional mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
pengunjung praktik terapi komplementer dan tradisional di berbagai tempat.
Selain itu, sekolah-sekolah khusus ataupun kursuskursus terapi semakin banyak
dibuka. Ini dapat dibandingkan dengan Cina yang telah memasukkan terapi
tradisional Cina atau traditional Chinese Medicine (TCM) ke dalam perguruan
tinggi di negara tersebut (Snyder & Lindquis, 2002).
Kebutuhan perawat dalam meningkatnya kemampuan perawat untuk
praktik keperawatan juga semakin meningkat. Hal ini didasari dari
berkembangnya kesempatan praktik mandiri. Apabila perawat mempunyai
kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan akan meningkatkan hasil yang
lebih baik dalam pelayanan keperawatan.
1. MACAM TERAPI KOMPLEMENTER
Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif. Contoh terapi
komplementer invasif adalah akupuntur dan cupping (bekam basah) yang
menggunakan jarum dalam pengobatannya. Sedangkan jenis non-invasif seperti
terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, terapi suara), terapi biologis (herbal,
terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin, hidroterapi colon dan terapi
sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki, rolfing, dan terapi
lainnya (Hitchcock et al., 1999)
National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM)
membuat klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima
kategori. Kategori pertama, mind-body therapy yaitu memberikan intervensi
dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang
mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan (imagery),
yoga, terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai chi, dan terapi
seni.
Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan
kesehatan yang mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari
Barat misalnya pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika,
cundarismo, homeopathy, naturopathy. Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM
adalah terapi biologis, yaitu natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya
misalnya herbal, makanan).
Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini
didasari oleh manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi,
macam-macam pijat, rolfing, terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. Terakhir,
terapi energi yaitu terapi yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh
(biofields) atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya terapetik sentuhan,
pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong, magnet. Klasifikasi kategori kelima
ini biasanya dijadikan satu kategori berupa kombinasi antara biofield dan
bioelektromagnetik (Snyder & Lindquis, 2002).
Terapi komplementer ada yang invasif dan noninvasif. Contoh terapi
komplementer invasif adalah akupuntur dan cupping (bekam basah) yang
menggunakan jarum dalam pengobatannya. Sedangkan jenis non-invasif seperti
terapi energi (reiki, chikung, tai chi, prana, terapi suara), terapi biologis (herbal,
terapi nutrisi, food combining, terapi jus, terapi urin, hidroterapi colon dan terapi
sentuhan modalitas; akupresur, pijat bayi, refleksi, reiki, rolfing, dan terapi
lainnya (Hitchcock et al., 1999)
National Center for Complementary/ Alternative Medicine (NCCAM)
membuat klasifikasi dari berbagai terapi dan sistem pelayanan dalam lima
kategori. Kategori pertama, mind-body therapy yaitu memberikan intervensi
dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang
mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh misalnya perumpamaan (imagery),
yoga, terapi musik, berdoa, journaling, biofeedback, humor, tai chi, dan terapi
seni.
Kategori kedua, Alternatif sistem pelayanan yaitu sistem pelayanan
kesehatan yang mengembangkan pendekatan pelayanan biomedis berbeda dari
Barat misalnya pengobatan tradisional Cina, Ayurvedia, pengobatan asli Amerika,
cundarismo, homeopathy, naturopathy. Kategori ketiga dari klasifikasi NCCAM
adalah terapi biologis, yaitu natural dan praktik biologis dan hasil-hasilnya
misalnya herbal, makanan).
Kategori keempat adalah terapi manipulatif dan sistem tubuh. Terapi ini
didasari oleh manipulasi dan pergerakan tubuh misalnya pengobatan kiropraksi,
macam-macam pijat, rolfing, terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. Terakhir,
terapi energi yaitu terapi yang fokusnya berasal dari energi dalam tubuh
(biofields) atau mendatangkan energi dari luar tubuh misalnya terapetik sentuhan,
pengobatan sentuhan, reiki, external qi gong, magnet. Klasifikasi kategori kelima
ini biasanya dijadikan satu kategori berupa kombinasi antara biofield dan
bioelektromagnetik (Snyder & Lindquis, 2002).
Klasifikasi lain menurut Smith et al (2004) meliputi gaya hidup
(pengobatan holistik, nutrisi), botanikal (homeopati, herbal, aromaterapi);
manipulatif (kiropraktik, akupresur & akupunktur, refleksi, massage); mind-body
(meditasi, guided imagery, biofeedback, color healing, hipnoterapi). Jenis terapi
komplementer yang diberikan sesuai dengan indikasi yang dibutuhkan.
Contohnya pada terapi sentuhan memiliki beberapa indikasinya seperti
meningkatkan relaksasi, mengubah persepsi nyeri, menurunkan kecemasan,
mempercepat penyembuhan, dan meningkatkan kenyamanan dalam proses
kematian (Hitchcock et al., 1999).
Jenis terapi komplementer banyak sehingga seorang perawat perlu
mengetahui pentingnya terapi komplementer. Perawat perlu mengetahui terapi
komplementer diantaranya untuk membantu mengkaji riwayat kesehatan dan
kondisi klien, menjawab pertanyaan dasar tentang terapi komplementer dan
merujuk klien untuk mendapatkan informasi yang reliabel, memberi rujukan
terapis yang kompeten, ataupun memberi sejumlah terapi komplementer (Snyder
& Lindquis, 2002). Selain itu, perawat juga harus membuka diri untuk perubahan
dalam mencapai tujuan perawatan integratif (Fontaine, 2005).
PERAN PERAWAT
Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi
komplementer diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti,
pemberi pelayanan langsung, koordinator dan sebagai advokat. Sebagai konselor
perawat dapat menjadi tempat bertanya, konsultasi, dan diskusi apabila klien
membutuhkan informasi ataupun sebelum mengambil keputusan. Sebagai
pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi pendidik bagi perawat di sekolah
tinggi keperawatan seperti yang berkembang di Australia dengan lebih dahulu
mengembangkan kurikulum pendidikan (Crips & Taylor, 2001). Peran perawat
sebagai peneliti di antaranya dengan melakukan berbagai penelitian yang
dikembangkan dari hasilhasil evidence-based practice.
Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya
dalam praktik pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi terapi
komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). Perawat lebih banyak berinteraksi
dengan klien sehingga peran koordinator dalam terapi komplementer juga sangat
penting. Perawat dapat mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter yang
merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat berperan
untuk memenuhi permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin
diberikan termasuk perawatan alternatif (Smith et al.,2004).

Anda mungkin juga menyukai