Anda di halaman 1dari 14

MODUL III

PERMASALAHAN KESEHATAN PADA MASYARAKAT PESISIR


DAN PULAU KECIL

A. Deskripsi Singkat
Modul ini menjelaskan materi terkait permasalahan kesehatan pada masyarakat pesisir dan
pulau kecil. Materi yang terdapat dalam modul ini berisi tentang faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhi kesehatan pada masyarakat di kawasan pesisir dan pulau kecil, dampak
perubahan iklim terhadap masyarakat kawasan pesisir.

B. Relevansi
Modul ini memiliki relevansi yang signifikan untuk menunjukkan capaian pembelajaran mata
kuliah Kesehatan Masyarakat Pesisir dan Kepulauan khususnya CPL 3 yaitu mampu
menjelaskan permasalahan kesehatan pada masyarakat pesisir dan pulau kecil. Modul ini
diharapkan akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa khususnya dalam memahami
permasalahan kesehatan yang terjadi pada masyarakat kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

C. Strategi Pembelajaran
Untuk membantu anda dalam mempelajari dan memahami modul ini, ada baiknya
diperhatikan petunjuk belajar berikut :
1. Bacalah dengan cermat bagian deskripsi singkat modul ini sampai anda memahami
secara tuntas tentang materi dalam modul ini.
2. Baca sepintas bagian demi bagian dan temukan kata-kata kunci dari kata-kata yang
dianggap baru. Carilah dan baca pengertian kata-kata kunci tersebut dalam kamus yang
anda miliki.
3. Tangkaplah pengertian demi pengertian dari isi modul ini melalui pemahaman sendiri
dan tukar pikiran dengan mahasiswa lain atau dengan tutor anda.
4. Untuk memperluas wawasan, baca dan pelajari sumber-sumber lain yang relevan. Anda
dapat menemukan bacaan dari berbagai sumber, termasuk dari internet.

D. Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari materi dalam modul ini anda diharapkan akan memiliki kemampuan
untuk menjelaskan permasalahan kesehatan pada masyarakat pesisir dan pulau kecil.

E. Uraian Materi
1. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan masyarakat di kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil
Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks. Hal ini
saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan. Demikian pula
pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya
sendiri tetapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah
"sehat-sakit". Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu
maupun kesehatan masyarakat. Hendrik L. Blum seorang pakar di bidang
kedokteran pencegahan mengatakan bahwa status kesehatan masyarakat dipengaruhi
oleh 4 hal yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik (keturunan).
Faktor-faktor ini, berpengaruh langsung pada kesehatan dan saling berpengaruh satu
sama lainnya. Status kesehatan dapat tercapai secara optimal jika keempat faktor ini
secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal. Salah satu faktor saja berada
dalam keadaan yang terganggu (tidak optimal) maka status kesehatan dapat tergeser ke
arah di bawah keadaan optimal.
Kondisi lingkungan sebagai faktor risiko dengan kesehatan masyarakat pesisir
dan pulau kecil antara lain ketersediaan air bersih dalam jumlah yang tidak memadai dan
kualitas kurang baik, limbah cair dan padat, sanitasi dasar, serta perubahan iklim dan
cuaca yang tidak menentu menjadi faktor risiko berbagai kejadian penyakit di pulau-
pulau kecil. Selain itu, perilaku hidup tidak sehat masyarakat pulau seperti membuang
sampah di laut, buang air besar di sembarang tempat juga menjadi faktor lingkungan
yang mempengaruhi kesehatan masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk lebih
jelasnya, berikut dijelaskan tentang faktor-faktor lingkungan tersebut.
a. Air Bersih
Air merupakan sumber daya yang vital bagi kehidupan. Pada dasarnya air
digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti minum, mandi, memasak, maupun
mencuci. Oleh karena itu, ketersediaan air yang mencukupi sangat diprioritaskan baik
di perkotaan maupun di pedesaan. Ketersediaan air yang kurang mencukupi jika
dibandingkan dengan kebutuhan air bersih akan menimbulkan krisis dan kelangkaan
air yang tentu saja menyulitkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya
sehari-hari.
Dengan berkurangnya jumlah sumber air bersih di dunia khususnya di
Indonesia maka dampak terhadap kesehatan masyarakat semakin mengkhawatirkan
apalagi ditambah dengan banyaknya pencemaran terhadap sumber-sumber air
permukaan sehingga tambah memperburuk keadaan. Masyarakat banyak yang tetap
memilih untuk mengkonsumsi air yang telah tercemar tersebut karena mahalnya dan
sulitnya memperoleh air bersih dan sehat, dengan keadaan yang seperti ini maka
timbullah berbagai penyakit di masyarakat seperti diare, penyakit ginjal, penyakit
kulit.
Sarana air bersih yang tidak sehat sangat berisiko untuk menyebabkan
berbagai penyakit kulit (dermatitis), seperti penyakit gatal-gatal. Sebab, air yang tidak
sehat ketika digunakan di badan akan merangsang bakteri nonpatogenik yang ada
pada tubuh untuk berubah menjadi patogen dan tentunya akan menyebabkan gatal
pada tubuh manusia. Penyakit dermatitis merupakan penyakit berbasis lingkungan
yang menempati urutan ke-2 dalam 10 besar penyakit yang paling sering terjadi di
pulau-pulau kecil. Penyakit tersebut dapat terjadi dikarenakan kondisi sarana air
bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Air yang telah terkontaminasi oleh
bakteri digunakan untuk keperluan masak, mencuci dan lain sebagainya sehingga
dapat menyebabkan iritasi pada kulit.
Dalam memenuhi keperluan air minum keluarga, masyarakat pesisir sebagian
besar menggunakan air minum isi ulang yang di pasok dari perkotaan. Sebagian
lainnya menggunakan air tanah (air sumur) miliknya kemudian direbus hingga
mendidih untuk diminum. Air minum yang telah direbus sampai mendidih, akan
mematikan mikroorganisme yang ada dalam air tersebut, sehingga tidak
menimbulkan penyakit. Meskipun demikian, ada pula sebagian masyarakat yang
tidak merebus air sebelum diminum, melainkan langsung diminum tanpa pengolahan
apa-apa. Hal tersebutlah yang biasa dapat menimbulkan berbagai permasalah
kesehatan di masyarakat.
b. Limbah Cair
Masalah kesehatan lingkungan yang paling utama di daerah pesisir yaitu
bahwa adanya pembuangan air limbah rumah tangga ke sungai-sungai. Hal ini
menyebabkan tercemarnya air sungai dan air laut di daerah pesisir, sehingga diduga
menyebabkan gangguan lingkungan seperti manggangu jaring makanan pada
ekosistem sungai dan pesisir. Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan
daya dukung lingkungan terhadap kehidupan masyarakat menjadi berkurang, seperti
ketersediaan air bersih, udara berkualitas, dan lainnya. Padatnya penduduk juga
menyebabkan penularan penyakit berbasis lingkungan lebih cepat dan luas.
Tercemarnya lingkungan pesisir dengan limbah rumah tangga seperti sisa air cucian,
kotoran hewan, kotoran manusia, dan lainnya di air sungai, tanah, perairan pesisir,
dan daerah perumahan. Beberapa bakteri yang berasal dari limbah tersebut bisa
menjadi indikator pencemaran yaitu kelompok bakteri Koliform.
Akibat dari tercemarnya lingkungan pesisir oleh limbah dapat menimbulkan
berbagai dampak kesehatan. Dampak kesehatan yang timbul bervariasi dari ringan,
sedang, sampai berat bahkan sampai menimbulkan kematian, tergantung dari dosis
dan waktu pemajanan. Jenis penyakit yang ditimbulkan, pada umumnya merupakan
penyakit non infeksi antara lain: keracunan, kerusakan organ, kanker, hipertensi,
asma bronchioli, pengaruh pada janin yang dapat mangakibatkan lahir cacat (cacat
bawaan), kemunduran mental, gangguan pertumbuhan baik fisik maupun psikis,
gangguan kecerdasan dan lain-lain.
c. Limbah Padat (Sampah)
Sampah merupakan segala bentuk limbah yang ditimbulkan dari kegiatan
manusia maupun binatang yang biasanya berbentuk padat dan secara umum sudah
dibuang, tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan lagi. Sampah secara sederhana dapat
diartikan sebagai sesuatu yang tidak dapat difungsikan lagi sebagaimana mestinya.
Adapun ciri-ciri dari sampah yaitu: (1) merupakan bahan sisa, baik bahan-bahan yang
sudah tidak digunakan lagi (barang bekas) maupun bahan yang sudah tidak diambil
bagian utamanya; (2) merupakan bahan yang sudah tidak ada harganya; (3) bahan
buangan yang tidak berguna dan banyak menimbulkan masalah pencemaran dan
gangguan pada kelestarian lingkungan.
Sampah yang paling banyak ditemukan di wilayah pesisir saat ini merupakan
sampah plastik. Diperkirakan sekitar 10% sampah khususnya plastik dibuang di
wilayah perairan. Plastik merupakan konsumsi umum pada masyarakat modern,
sebagian besar konsumsi plastik hanya digunakan sekali. Akibatnya tumpukan
sampah plastik akan mencemari lingkungan dan menjadi sampah laut.
Peningkatan sampah laut di wilayah pesisir pada umumnya disebabkan oleh
aktifitas antropogenik. Sumber sampah laut berdasarkan aktivitas antropogenik
maupun pengaruh alam yaitu;
1. Wisata Pantai
Meningkatnya pengunjung yang berwisata di daerah pesisir, menjadi salah
satu faktor meningkatnya sampah laut. Hal ini dibarengi banyaknya pengunjung
yang tidak bertanggung jawab yang membuang secara sembarangan sampah
seperti makanan, botol, puntung rokok, dan lain sebagainya. Sampah yang
dibuang nantinya terbawa arus laut dan selanjutnya meningkatkan jumlah dan
volume sampah di perairan.
2. Nelayan
Aktifitas nelayan merupakan salah satu faktor meningkatnya sampah di
perairan laut. Hal ini dikarenakan banyaknya nelayan dengan sengaja membuang
alat tangkap yang tak terpakai di laut. Oleh karena itu, pemerintah Amerika
Serikat telah mengeluarkan larangan untuk membuang sampah di laut, hal ini
dikarenakan benyaknya sampah laut dari aktifitas nelayan mengganggu navigasi
di perairan.
3. Daratan
Sampah pemukiman yang dibuang secara sembarangan dapat berakhir di
laut, hal ini dikarenakan sampah akan terbawa oleh aliran hujan yang kemudian
masuk ke sungai dan akan terbawa ke laut. Sampah padat yang berasal dari
buangan rumah tangga biasanya berupa sampah anorganik seperti bekas botol
kemasan air minum, kantong plastik, bekas plastik kemasan, mang6. kok plastik,
kaleng alat semprot, kaleng minuman, botol dari gelas, karton, sandal plastik,
sepatu, dan bola lampu. Sedang sampah organik dari rumah tangga biasanya
berupa sisa-sisa makanan yang terbuang.
4. Industri
Salah satu sampah yang dihasilkan di bidang industri adalah plastik.
Plastik merupakan salah satu bahan baku yang sering digunakan dalam kegiatan
industri. Dalam pengelolaannya, tidak semuanya digunakan. Jika tidak adanya
tanggung jawab terhadap sisa bahan baku, maka pada akhirnya plastik akan
berakhir di perairan dan menjadi sampah laut.
Manusia yang hidup dilingkungan, tidak akan terhindar oleh adanya
sampah yang hadir dilingkungan. Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat
dikelompokkan menjadi efek yang langsung dan tidak langsung. Efek langsung
adalah efek yang disebabkan karena kontak langsung dengan sampah tersebut.
Efek tidak langsung yaitu dapat dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan,
pembakaran, dan pembuangan sampah.
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan
sampah yang tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa
organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat, tikus dan anjing yang
dapat menimbulkan penyakit. Potensi bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan
adalah sebagai berikut:
1) Penyakit diare, kolera, tifus menyebar dengan cepat karena virus yang berasal
dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum.
Penyakit demam berdarah (haemorrhagic fever) dapat juga meningkat dengan
cepat di daerah yang pengelolaan sampahnya kurang memadai.
2) Penyakit jamur dapat juga menyebar (misalnya jamur kulit).
3) Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya
adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita (taenia). Cacing ini
sebelumnya masuk ke dalam pencernakan binatang ternak melalui
makanannya yang berupa sisa makanan/sampah.
4) Sampah beracun: Telah dilaporkan bahwa di Jepang kira-kira 40.000 orang
meninggal akibat mengkonsumsi ikan yang telah terkontaminasi oleh raksa
(Hg). Raksa ini berasal dari sampah yang dibuang ke laut oleh pabrik yang
memproduksi baterai dan akumulator.
Pola perjalanan sampah yang mengandung bahan kimia dalam
mempengaruhi kesehatan manusia. Sampah yang mengandung bahan kimia
mempunyai pola perjalanan tertentu, secara garis besar sampah yang mengandung
bahan kimia tersebut akan memepengaruhi kesehatan manusia, dengan jalan
masuk melalui air minum, kontak melalui media, makanan, udara, kontak
langsung. Sedangkan pola perjalanan sampah yang mengandung bahan infeksius
dan mempunyai peran dalam mengembangkan vektor penyakit akan dapat
mempengaruhi kesehatan manusia. Pada prinsipnya bahwa sampah yang
mengandung bahan infeksius atau sebagai tempat berkembang biaknya vektor
penyakit melalui jalan masuk seperti tanah, binatang antropoda sebagai vektor,
kontak langsung, air untuk kebutuhan tertentu, binatang air sebagai tuan rumah
sementara.
Akhirnya secara garis besar sampah mempunyai lima pengaruh terhadap
kehidupan manusia yaitu:
1) Media penular penyakit
2) Menganggu estetika
3) Polusi udara
4) Berakibat banjir
5) Kebakaran
d. Sanitasi Dasar
Sanitasi dasar adalah sarana minimum yang diperlukan untuk
menyediakan lingkungan pemukiman sehat yang memenuhi syarat kesehatan
meliputi penyediaan air bersih, sarana jamban, pembuangan sampah dan
pembuangan air limbah. Sarana sanitasi dasar yang memenuhi syarat merupakan
sarana pendukung untuk meningkatkan kesehatan lingkungan. Masalah sanitasi
dasar khususnya pada wilayah pulau-pulau kecil merupakan masalah yang perlu
mendapat perhatian khusus dan perlu ditinjau lebih dalam sebab pada wilayah
terpencil seperti di pulau-pulau, fasilitas sanitasi yang dimiliki masih buruk dan
sangat terbatas dengan kualitas yang jauh dari standar kesehatan. Pengaruh dari
sanitasi dasar seperti kondisi jamban, kondisi saluran pembuangan air limbah,
kondisi tempat pembuangan sampah, dan kondisi rumah sehat yang belum
memenuhi syarat kesehatan dapat berdampak pada timbulnya penyakit seperti
diare, demam berdarah, tb paru-paru, dan lain-lain.
Secara nasional, sanitasi dasar atau bahaya yang muncul dari
permasalahan lingkungan dan faktor-faktor risiko kebersihan serta perilaku yang
tidak higienis atau berisiko, menyumbang 19% kematian di dunia akibat penyakit-
penyakit infeksi. Untuk Indonesia sendiri, masalah kesehatan lingkungan dalam
hal ini adalah sarana sanitasi pulau-pulau kecil masih sangat memprihatinkan.
Belum optimalnya sanitasi di Indonesia ini ditandai dengan masih tingginya
angka kejadian penyakit infeksi dan penyakit menular di masyarakat. Kondisi
sanitasi dasar manusia yang baik akan selalu dikaitkan dengan tersedianya air.
Persediaan air yang banyak dan dengan kualitas yang lebih baik akan lebih cepat
meningkatkan derajat kesehatan.
Pada umumnya di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil pengelolaan
pembuangan kotoran manusia masih tidak sesuai dengan syarat kesehatan. Hal
tersebut dapat menyebabkan terjadinya pencemaran pada sumber air. Kebiasaan
masyarakat desa pesisir dalam buang air besar di laut, menurut masyarakat sudah
menjadi hal yang biasa selain itu dengan pendapatan keluarga yang minim
membuat mereka agak kesulitan dalam membangun sebuah rumah dengan jamban
di dalamnya. Hal ini dapat terlihat pada pembangunan rumah-rumah yang baru di
desa dimana mereka lebih memfokuskan pembangunan rumah dengan
mendahulukan ruangan kamar dan tamu ketimbang membangun jamban keluarga.
Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan suatu masalah yang
pokok karena kotoran manusia (feses) adalah sumber penyebaran penyakit.
Penyebaran penyakit yang bersumber pada kotoran manusia dapat melalui
berbagai cara seperti melalui air, tangan, serangga dan tanah yang terkontaminasi
oleh tinja dan ditularkan melalui makanan dan minuman secara langsung atau
melalui vektor serangga (lalat dan kecoa). Salah satu pola penyakit yang
disebabkan oleh lingkungan adalah diare. Diare ditularkan melalui tinja yang
mengkontaminasi makanan secara langsung ataupun tidak langsung lewat
perantara vektor mekanik seperti lalat.
2. Dampak perubahan iklim terhadap masyarakat kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil
Perubahan iklim merupakan peristiwa dimana dalam jangka panjang terjadi
peningkatan secara perlahan terhadap unsur-unsur iklim yang berupa suhu udara, curah
hujan, tekanan udara. Sehingga perubahan iklim biasa diartikan berupa peristiwa
berubahnya unsur-unsur iklim dalam waktu yang sangat lama. Untuk mengamati
perubahan iklim, diperlukan data unsur iklim jangka panjang, minimal 20 tahun terakhir.
Dalam jangka panjang, perubahan iklim yang semakin ekstrem dikhawatirkan dapat
membahayakan kehidupan manusia.
Perubahan iklim merupakan fenomena global yang telah memberikan dampaknya
secara nyata belakangan ini. Ciri-ciri dari fenomena perubahan iklim yang terjadi secara
global, diantaranya adalah rata-rata uap air, dan curah hujan diproyeksikan meningkat.
Selain faktor tersebut, ciri perubahan iklim yang nampak belakangan ini adalah
pemanasan global yang menyebabkan es di kutub utara dan kutub selatan mencair
sehingga mengakibatkan naiknya permukaan air laut yang dapat berimplikasi pada
terjadinya rob di wilayah pesisir.
Perubahan iklim merupakan isu global akibat meningkatnya gas rumah kaca yang
dihasilkan dari aktifitas penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan fungsi lahan
(deforestasi). Hal ini memberikan pengaruh terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, berupa 1) Kenaikan muka air laut; 2) Perubahan suhu permukaan air laut; 3)
Perubahan keasaman air laut; dan 4) Peningkatan frekuensi dan intensitas terjadinya
iklim ekstrim. Kerentanan pada ekosistem pesisir akan menyebabkan perubahan
komposisi dan penyebaran geografis, peningkatan suhu air, berkurangnya luas daratan
dan hilangnya pulau kecil. Dampaknya antara lain matinya terumbu karang, pertumbuhan
mangrove menjadi terhambat, padang lamun menjadi stres, kematian fitoplankton hingga
akhirnya produksi ikan berkurang.
Perubahan iklim merupakan isu global yang disebabkan oleh meningkatnya gas
seperti CO2 (carbon dioxide), CH4 (methane), N2O (nitrous oxide), CFCs (chloro-
fluorocarbons) dan VOCs (volatile organic compounds) yang dihasilkan dari aktifitas
penggunaan energi BBF dan perubahan fungsi lahan (deforestasi). Meningkatnya
konsentrasi beberapa jenis gas ini di atmosfer bumi menyebabkan penyerapan energi
matahari dan refleksi panas matahari menjadi semakin tinggi. Kondisi ini meningkatkan
suhu udara di Bumi dan memicu terjadinya perubahan iklim.
Perubahan iklim berpengaruh pada seluruh sistem di Bumi yang meliputi
ekosistem, struktur komunitas dan populasi, distribusi organisme dan sebagainya.
Indikator perubahan iklim mulai nampak dengan bergesernya periode musim dari waktu
yang biasanya. Perubahan iklim ini secara langsung maupun tidak langsung
memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia.
Konsentrasi gas CO2 cenderung mengalami peningkatan dan secara langsung
kondisi ini juga menaikkan suhu Bumi. Peningkatan rata-rata suhu global dunia berkisar
antara 0,6±0,2ºC sejak akhir abad ke-19 dan rata-rata kenaikan permukaan laut berkisar
antara 10 dan 20 cm selama abad ke-20. Diprediksikan bahwa rata-rata permukaan laut
akan meningkat antara 9 dan 88 cm akan terjadi pada tahun 1990 hingga tahun 2100,
sejalan dengan peningkatan suhu bumi dengan kisaran antara 1,4 hingga 5,8ºC.
a. Kenaikan Muka Air Laut
Fenomena kenaikan muka air laut merupakan issue yang mengemuka, seiring
dengan terjadinya persoalan pemanasan global (global warming). Dampak
pemanasan global akan menyebabkan kenaikan suhu permukaan laut yang kemudian
mengakibatkan terjadinya pemuaian air laut. Pemanasan global juga akan
menyebabkan mencairnya es abadi di pegunungan serta di daerah Arktik dan
Antartik. Pemuaian air laut dan mencairnya salju-salju abadi akan menyebabkan
naiknya permukaan air laut.
Dampak perubahan iklim terhadap aspek kelautan sangat kompleks, hal ini
dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung, baik dalam jangka waktu pendek
dan yang umumnya pada masa waktu yang panjang. Naiknya suhu udara di Bumi,
berdampak pada meningkatnya suhu air, dan secara tidak langsung menambah
volume air di samudera dan menyebabkan semakin tinggi paras laut (sea level rise).
Naiknya paras laut memengaruhi formasi North Atlantic Deep Water (NADW) yang
akan sangat berpengaruh langsung pada sirkulasi global air laut. Pada Samudera
Pasifik, meningkatnya stratifikasi air laut akan meningkatkan frekuensi kejadian El
Nino/Southern Oscillation (ENSO) dan variasi iklim lebih ekstrim. ENSO
mengakibatkan suhu permukaan laut meningkat dan lapisan termoklin menipis.
Pengaruh yang paling nampak dijumpai pada wilayah-wilayah kepulauan di
Indonesia adalah pengaruh meningkatnya permukaan laut yang meningkatkan proses
perendaman pulau-pulau, terutama pulau-pulau kecil. Akibatnya, terjadi perubahan
pada garis pantai dan luasan wilayah pulau semakin kecil. Faktor ini juga
berpengaruh pada intrusi air laut yang semakin besar, sehingga berakibat pada
berkurangnya pasokan air tawar yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil.
Dalam laporan penilaian pertama dari jaringan Riset Pergantian Iklim Kota
menyebutkan bahwa pergantian iklim berpengaruh pada air. Berdasarkan studi-studi
literatur yang telah dilakukan didapatkan keseimbangan air tanah dipengaruhi oleh
ketersediaan air, curah hujan presipitasi dan evapotranspirasi, oleh karena itu
diperlukan data curah hujan sebagai faktor pendukungnya. Salah satu dampaknya di
wilayah pesisir, berkurangnya air tanah disertai kenaikan muka air laut juga telah
memicu intrusi air laut ke daratan mencemari sumber-sumber air untuk keperluan air
bersih dan irigasi. Banyak studi sebelumnya yang mengatakan bahwa perubahan
iklim akan meningkatkan temperatur dan berdampak negatif pada ketersediaan air.
Meningkatnya temperatur udara yang disebabkan oleh pemanasan global dalam
perubahan iklim menyebabkan semakin cepatnya penguapan/evaporasi sehingga
menyebabkan air tanah semakin cepat berkurang.
Secara umum dapat dibedakan 4 (empat) macam kemungkinan dampak
kenaikan permukaan air laut:
1. Dampak fisik berupa: peningkatan kerusakan karena banjir dan gelombang
pasang; erosi pantai dan peningkatan sedimentasi; perubahan kecepatan aliran
sungai; meningkatnya gelombang laut; dan meningkatnya keamblesan
(subsidence) tanah.
2. Dampak ekologis berupa: hilang/berkurangnya wilayah genangan (wetland) di
wilayah pesisir; intrusi air laut; evaporasi kolam garam; hilang/berkurangnya
tanaman pesisir; hilangnya habitat pesisir; berkurangnya lahan yang dapat
ditanami; dan hilangnya biomassa non-perdagangan.
3. Dampak sosio-ekonomis berupa: terpengaruhnya lingkungan pemukiman;
kerusakan/hilangnya sarana dan prasarana; kerusakan masyarakat/desa pantai;
meningkatnya kerusakan, korban manusia dan harta benda bila terjadi gelombang
pasang; perubahan kegiatan ekonomi di wilayah pesisir; peningkatan biaya
asuransi banjir; hilang/berkurangnya daerah rekreasi pesisir; dan meningkatnya
biaya penanggulangan banjir.
4. Dampak kelembagaan/hukum berupa: perubahan batas-batas maritim;
penyesuaian peraturan perundangan; perubahan praktek pengelolaan wilayah
pesisir; perlu dibentuknya lembaga baru untuk menangani kenaikan paras laut;
dan peningkatan pajak.
b. Kerentanan pada Ekosistem Pesisir
Pergerakan zona iklim akan menyebabkan perubahan pada komposisi dan
penyebaran geografis ekosistem. Setiap individu harus beradaptasi pada perubahan
yang terjadi, sementara habitatnya akan terdegradasi. Spesies yang tidak dapat
beradaptasi akan punah. Perubahan iklim juga menyebabkan matinya terumbu karang
akibat peningkatan temperatur laut walaupun hanya sebesar 2–3°C.
Peningkatan temperatur akan menyebabkan alga yang tumbuh pada terumbu
karang akan mati. Matinya alga yang merupakan makanan dan pemberi warna pada
terumbu karang, pada akhirnya juga akan menyebabkan matinya terumbu karang
sehingga warnanya berubah menjadi putih dan mati (coral bleaching). Coral
bleaching adalah suatu fenomena dimana memutihnya sebagian atau seluruhnya
tutupan karang yang disebabkan oleh menghilangnya simbiotik alga atau pigmennya.
Pemutihan karang menyebabkan punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai
ekonomi tinggi misalnya, ikan kerapu macan, kerapu sunu, napoleon, dan lain-lain,
karena tak ada lagi terumbu karang yang layak untuk dihuni dan berfungsi sebagai
sumber makanan. Padahal Indonesia mempunyai lebih dari 1.650 jenis ikan karang,
itupun hanya yang terdapat di wilayah Indonesia Bagian Timur, belum terhitung yang
berada di wilayah lainnya.
Peningkatan suhu air laut akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan
mangrove terganggu. Pertumbuhan daun akan terganggu pada suhu di atas 25°C.
Kenaikan suhu di atas 35°C akan memengaruhi struktur akar dari mangrove dan
kestabilan pertumbuhan mangrove. Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer akan
memberikan dampak secara tidak langsung terhadap keberadaan ekosistem
mangrove, yang disebabkan oleh terjadinya peristiwa pemutihan karang, yang selama
ini berfungsi sebagai pelindung ekosistem mangrove dari hempasan gelombang dan
badai. Berkurangnya curah hujan pada suatu daerah akan memberikan dampak
terhadap produktifitas mangrove, pertumbuhan dan kelangsungan hidup mangrove
yang tumbuh dan juga akan berpengaruh pada spesies dan biota laut yang tidak
memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas air laut. Rendahnya curah
hujan pada suatu daerah akan berpengaruh terhadap penurunan luas areal mangrove,
berkurangnya keanekaragaman hayati, dan diprediksikan akan terjadi penyempitan
daerah ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai preservasi dan pelindung wilayah
daratan.
Pemanasan berlebihan secara terbuka akan menyebabkan padang lamun
sangat rentan terhadap stres yang akan berakibat pada kematian. Terjadinya
peningkatan suhu air laut pada umumnya akan merubah kecepatan pertumbuhan dan
fungsi fisiologi serta perubahan pola reproduksi.
Perikanan merupakan salah satu isu penting yang terkait dengan perubahan
iklim global. Secara umum, perikanan dapat dikategorikan dalam perikanan rakyat,
perikanan komersil dan perikanan rekreasi. Ketiga jenis kategori ini dapat berdampak
negatif atau positif ditinjau dari aspek stok perikanan akibat perubahan iklim. Pada
akhirnya kondisi ini akan merubah aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Bila
perubahan terjadi pada stok perikanan (ikan, udang, dan lain-lain), maka sumber
protein dari laut akan semakin berkurang. Hal ini akan berpengaruh pada situasi
ketahanan pangan nasional, terutama untuk pemenuhan gizi masyarakat.
Peningkatan suhu juga memengaruhi fitoplankton yang berfungsi sebagai
produsen perairan. Meningkatnya konsentrasi CO2 akan mempercepat terjadinya
proses pengapuran, yang menyebabkan terjadinya kematian. Kondisi ini akan
memengaruhi produktifitas perairan laut.
Dalam 10 tahun terakhir paras laut meningkat setinggi 0,1-0,3 m, sedangkan
lewat model prediksi diperkirakan ada perubahan paras laut antara 0,3-0,5 m, dan
kemungkinan menutupi area seluas 1 juta km. Jika hal ini terus menerus terjadi, maka
hutan mangrove, estuaria dan wetlands yang terdapat di pesisir akan semakin
berkurang luasnya. Akibatnya, tingkat produktifitas perairan semakin menurun, dan
akan memengaruhi kehidupan biota laut yang berasosiasi dengan ekosistem pesisir.
Naiknya permukaan air laut ini berikutnya akan menyebabkan tergenangnya daerah-
daerah pantai dengan kelerengan yang kecil. Kenaikan permukaan air laut juga akan
meningkatkan abrasi pantai, merusak permukiman, tambak, daerah pertanian,
kawasan pantai, dan lain-lain, bahkan menenggelamkan pulau-pulau kecil.
c. Dampak Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Perubahan iklim berdampak luas terhadap jutaan nelayan pesisir. Saat ini
sekitar 42 juta penduduk Indonesia mendiami wilayah yang terletak 10 m di atas
permukaan laut. Umumnya penduduk sangat bergantung hidupnya pada ekosistem
pesisir yang rentan dengan perubahan kecil saja akan berdampak besar. Perubahan
suhu air yang merusak terumbu karang, akan menyebabkan kondisi buruk penurunan
populasi ikan.
Perahu-perahu penangkap ikan juga harus menghadapi cuaca yang tidak
menentu dan gelombang tinggi. Perubahan iklim juga sudah mengganggu mata
pencaharian masyarakat pulau. Di Maluku, para nelayan mengatakan mereka tidak
dapat lagi memperkirakan waktu dan lokasi untuk menangkap ikan karena pola iklim
yang sudah berubah. Kenaikan permukaan air laut juga dapat menggenangi tambak-
tambak ikan dan udang di pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi.

3. Pustaka
a. Tosepu, R., dkk. 2016. Kesehatan Masyarakat Pesisir. Penerbit Yayasan Cipta Anak
Bangsa (YCAB).
b. Susilawaty, A., dkk. 2016. Kerentanan Ketersediaan Air Bersih di Daerah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil Sulawesi Selatan Indonesia. Public Health Science Journal
Vol. 3 No. 2.
c. Putuhena, J.D. 2011. Perubahan Iklim dan Resiko Bencana Pada Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil. Prosiding Seminar Nasional : Pengembangan Pulau-Pulau
Kecil

Anda mungkin juga menyukai