Sebagai konsekuensinya, sumberdaya pesisir dan laut semakin banyak dieksploitasi mulai dengan menggunakan teknologi yang
paling sederhana sampai teknologi moderen. Fenomena ini memberikan indikasi bahwa semakin tinggi tingkat penggunaan
teknologi eksploitasi, maka semakin besar tekanan terhadap keberadaan sumberdaya tersebut. Bahkan tidaklah mengherankan
bilamana tingkat teknologi yang digunakan sangat ekstraktif dan cenderung destruktif, maka hal ini akan menjadi ancaman yang
sangat signifikan bagi keberlangsungnan sumberdaya pesisir dan laut Indonesia.Oleh karena itu, demi menjaga keberlanjutan
sumberdaya tersebut, maka perlu kiranya dirancang dan diimplementasikan rambu-rambu atau batasan-batasan eksploitasi
disesuaikan dengan keberadaan sumberdaya, zonasi dan karakteristik sumberdaya serta karakteristik daerahnya
(propinsi/kabupaten/kota) sebagai satuan wilaya pembangunannya. Dalam hal ini, karena implikasi pemanfaatan sumberdaya
dilakukan oleh masyarakat pesisir, maka perlu kiranya diketahui bagaimana sebenarnya karakteristik masyarakat pesisir, sehingga
kebijakan, strategi dan program pengelolaan sumberdaya dapat mengakomodasi karakter masyarakat pesisir yang memang sangat
dinamis dan sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya pesisir dan laut di sekitarnya.
karakteristik masyarakat pesisir
Untuk mengetahui karakteristik
masyarakat pesisir
Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan laut yang bagian lautnya masih dipengaruhi oleh aktivitas
daratan, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, dan bagian daratannya masih dipengaruhi oleh aktivitas lautan seperti
pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin (Ketchum,1972). GESAMP1 (2001) mendefinisikan wilayah pesisir
sebagai wilayah daratan dan perairan yang dipengaruhi oleh proses biologis dan fisik dari perairan laut maupun dari
daratan, dan didefinisikan secara luas untuk kepentingan pengelolaan sumber daya alam. Sehingga deliniasi wilayah
pesisir ini dapat berbeda tergantung dari aspek administratif, ekologis, dan perencanaan. Definisi wilayah pesisir seperti
yang sudah dijelaskan memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan
mempunyai kekayaan habitat yang tinggi dan beragam, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai
potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
Lebih lanjut, umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung, dapat berdampak buruk bagi
ekosistem pesisir.
Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat
dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.Dalam konteks ini, ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat
dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil menurut batas
yurisdiksi suatu negara.
Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara darat dan laut yang bagian lautnya masih dipengaruhi oleh aktivitas
daratan, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, dan bagian daratannya masih dipengaruhi oleh aktivitas lautan seperti
pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin (Ketchum, 1972). GESAMP1 (2001) mendefinisikan wilayah pesisir
sebagai wilayah daratan dan perairan yang dipengaruhi oleh proses biologis dan fisik dari perairan laut maupun dari
daratan, dan didefinisikan secara luas untuk kepentingan pengelolaan sumber daya alam. Sehingga deliniasi wilayah
pesisir ini dapat berbeda tergantung dari aspek administratif, ekologis, dan perencanaan.
Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa
kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan karakteristik masyarakat
perkotaan dan pedesaan. Karena, struktur masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai
budaya yang merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur masyarakatnya.
Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas/unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan
sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat dari usaha-usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga terpengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Secara umum pemukiman nelayan dapat digambarkan sebagai suatu permukiman yang Sebagian besar
penduduknya merupakan masyarakat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Sedangkan nelayan itu
sendiri adalah pekerjaan yang memiliki ciri utama adalah mencari ikan di perairan. Sedangkan menurut
Keputusan Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Nomor 43/KPTS/CK/1999
tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Perumahan Nelayan, perumahan nelayan merupakan kelompok
rumah Kawasan dengan luas tertentu yang dihuni oleh masyarakat yang sebagian besar masyarakatnya
menangkap ikan. Kawasan perumahan nelayan ini dilengkapi oleh sarana dan prasana yang memadai untuk
kelangsungn hidup dan penghidupan para keluarga nelayan.
Kawasan pemukiman nelayan merupakan bagian dari system permukiman perkotaan atau pedesaan yang
mempunyai akses terhadap kegiatan perkotaan atau pedesaan lainnya yang dihubungkan dengan jaringan
transportasi. Kawasan pemukiman nelayan tersusun atas satuan lingkungan yang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Pengertian mata pencaharian
adalah sumber nafkah utama dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan menangkap ikan. Sedangkan nelayan
menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan. Dalam UU Nomor 31 Tahun 2004, nelayan dan nelayan kecil mempunyai
definisi berbeda yaitu nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi pembuat undang-undang membedakan berdasarkan besar
kecil skala penangkapan tetapi dalam penegakan hokum hanya mengenal istilah nelayan, tidak membedakan
nelayan kecil atau besar.
o Nelayan dibagi menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi orientasi pasar dan
karakteristik hubungan produksi . Keempat tingkatan nelayan tersebut adalah:
1. Pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten).
2. Post-peasant fisher
3. Commercial fisherIndustrial fisher,
20XX presentation title 11
Perekonomian Keluarga nelayan
Strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat dilakukan melalui:
(1) Peranan Anggota KeluargaNelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumahtangga
nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup
mereka,
(2) Diversifikasi Pekerjaan, dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat melakukan kombinasi
pekerjaan,
(3) Jaringan Sosial, melalui jaringan sosial, individu-individu rumah tangga akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai atau
memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi
rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik.
(4) Migrasi, hal ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan nelayan pergi untuk bergabung
dengan unit penangkapan ikan yangada di daerah tujuan yang sedang musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk memperoleh
penghasilan yang tinggi dan agar kebutuhan hidup keluarga terjamin. Dalam waktuwaktu tertentu, penghasilan yang telah
diperoleh, mereka bawa pulang kampung untuk diserahkan kepada keluarganya.
Keidupan Sosial Masyarakat Nelayan
Sebagian besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dan nelayan buruh. Mereka adalah
penyumbang utama kuantitas produksi perikanan tangkap nasional. Walaupun demikian, posisi sosial mereka
tetap marginal dalam proses transaksi ekonomi yang timpang dan eksploitatif sehingga sebagai pihak produsen,
nelayan tidak memperoleh bagian pendapatan yang besar. Pihak yang paling beruntung adalah para pedagang ikan
berskala besar atau pedagang perantara. Para pedagang inilah yang sesungguhnya menjadi penguasa ekonomi di
desa-desa nelayan. Kondisi demikian terus berlangsung menimpa nelayan tanpa harus mengetahui bagaimana
mengakhirinya.
Hal ini telah melahirkan sejumlah masalah sosial ekonomi yang krusial pada masyarakat nelayan. Namun
demikian, belenggu structural dalam aktivitas perdagangan tersebut bukan merupakan satu-satunya factor yang
menimbulkan persoalan sosial di kalangan nelayan, faktor-faktor lain yang sinergi, seperti semakin meningkatnya
kelangkaan sumberdaya perikanan, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta keterbatasan kualitas dan kapasitas
teknologi penangkapan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, ketimpangan akses terhadap sumberdaya
perikanan, serta lemahnya proteksi kebijakan dan duakungan fasilitas pembangunan untuk masyarakat nelayan
masih menjadi faktor yang menimbulkan persoalan.
Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai
pedoman kehidupan, referensi pola-pola kelakukan sosial serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai
berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya.
Menurut Parsudi Suparlan, kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya.
Sebagai pedoman, kebudayaan harus berupa pengetahuan dan keyakinan-keyakinan. Kebudayaan kerap digunakan
sebagai instrumen untuk menginterpretasi lingkungan hidup. Ia menghasilkan tindakan-tindakan bermanfaat bagi
pengembangan sumber daya yang ada dalam sebuah lingkungan masyarakat. Bagi Suparlan, nilai budaya terdiri atas dua
kategori : (1) yang mendasar dan tidak terpengaruh oleh kehidupan sehari-hari dan pendukung kebudayaan tersebut. Ia
dinamakan world view, dan (2) yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari
para pendukung kebudayaan yang dinamakan etos (ethos)
Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat nelayan. Jika tidak,
kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival
masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan hidupnya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi
warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai
tujuan itu, yang disepakati secara sosial.
Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau keberhasilan
usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan, khususnya air. Keadaan ini mempunyai
implikasi yang sangat penting bagi kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Kehidupan
masyarakat pesisir menjadi sangat tergantung pada kondisi lingkungan itu dan sangat rentan terhadap
kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran, karena limbah industri maupun tumpahan minyak,
misalnya, dapat menggoncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Pencemaran
di pantai Jawa beberapa waktu lalu, contohnya, telah menyebabkan produksi udang tambak anjlok
secara drastis. Hal ini tentu mempunyai konsekuensi yang besar terhadap kehidupan para petani
tambak tersebut.
Karakteristik lain yang sangat menyolok di kalangan masyarakat pesisir khususnya masyarakat nelayan,
adalah ketergantungan mereka pada musim. Ketergantungan pada musim ini semakin besar bagi para
nelayan kecil, Pada musim penangkapan para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim
peceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur.Kondisi ini
mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pantai secara umum dan kaum
nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu membeli barang-barang yang mahal seperti kursi-
meja,lemari,dan sebagainya. Sebaliknya, pada musim paceklik pendapatan mereka menurun drastis, sehingga
kehidupan mereka juga semakin buruk.
Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pantai secara
umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin mampu membeli barang-barang yang mahal seperti
kursi-meja, lemari, dan sebagainya. Sebaliknya, pada musim paceklik pendapatan mereka menurun drastis,
sehingga kehidupan mereka juga semakin buruk.
Ketergantungan pada Pasar
Karakteristik lain dari usaha perikanan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir ini adalah ketergantungan pada
pasar. Tidak seperti petani padi, para nelayan dan petani tambak ini sangat tergantung pada keadaan pasar. Hal ini
disebabkan karena komoditas yang dihasilkan oleh mereka itu harus dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi
keperluan hidup. Jika petani padi yang bersifat tradisional bisa hidup tanpa menjual produknya atau hanya menjual
sedikit saja, maka nelayan dan petani tambak harus menjual sebagian besar hasilnya. Setradisional atau sekecil
apapun nelayan dan petani tambak tersebut, mereka harus menjual sebagian besar hasilnya demi memenuhi
kebutuhan hidup. Karakteristik di atas mempunyai implikasi yang sangat penting, yakni masyarakat perikanan
sangat peka terhadap harga. Perubahan harga produk perikanan sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi
masyarakat perikanan.
Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Pesisir
Terlihat bahwa sumber perubahan sosial yang terjadi pada komunitas nelayan di
keempat lokasi penelitian itu adalah teknologi. Perubahan teknologi telah menyebabkan
perubahan pada tiga tipe struktur sosial yang dikemukakan oleh Mouzelis (2008), yaitu
struktur normatif/institusional,interaktif/figurasional maupun distribusional.
Memang teknologi merupakan salah satu sumber perubahan sosial yang sangat
penting sejak lama. Seperti dijelaskan sebelumnya, perspektif materialistis menekankan
pentingnya peranan teknologi dalam proses perubahan sosial, dan Marx merupakan salah
satu tokoh yang menekankan peranan teknologi ini.
Mata pencaharian
Pendapatan
Ketergantungan Pada Kondisi Lingkungan