Anda di halaman 1dari 10

P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No.

2, Oktober 2017

ENTITAS PERMUKIMAN KUMUH


DI WILAYAH PESISIR
Putu Indra Christiawan, I Gede Budiarta

Jurusan Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Ganesha


Singaraja, Indonesia

Jurusan Survei dan Pemetaan, Universitas Pendidikan Ganesha


Singaraja, Indonesia

e-mail: indra.christiawan@undiksha.ac.id

Abstrak
Permukiman kumuh di wilayah pesisir memiliki entitas tersendiri yang tidak terlepas dari
kehidupan dan penghidupan masyarakat pesisir sebagai nelayan. Dalam rangka
membedah entitas permukiman kumuh tersebut, maka kajian ini bertujuan untuk
memahami kondisi permukiman kumuh masyarakat pesisir, serta mengkaji entitas
sosial-ekonomi dan lingkungan fisik permukiman kumuh di Desa Sangsit. Teknik
random sampling digunakan sebagai dasar pemilihan sampel subjek sebesar 100
masyarakat pesisir di 3 area sampel, dan dianalisis secara kualitatif. Secara sosio-
ekonomi masyarakat pesisir memliki kelemahan dari sisi demografi dengan kepadatan
penduduk dan jumlah anggota keluarga yang bersar, serta tingkat pendapatan, besaran
tabungan dan tingkat pendidikan yang rendah. Dari aspek fisik, sebagian besar
bangunan rumah masyarakat pesisir bersifat non-permanen ditinjau dari material
bangunan, memiliki keterbatasan sarana prasarana kebersihan dan berbagai pelayanan
publik serta lingkungan rumah dapat mengganggu kesehatan pemukim. Permukiman
kumuh merupakan bentuk nyata dari kemiskinan masyarakat nelayan yang bertempat
tinggal di wilayah pesisir.

Kata kunci: Permukiman Kumuh, Wilayah Pesisir, Masyarakat Pesisir, Sosio-ekonomi,


Lingkungan Fisik

Abstract
Slums in coastal areas have their own entities that are inseparable from the livelihoods
and life of coastal communities as fishermen. In order to dissect the slum entity, this
study aims to understand the slum conditions of coastal communities, as well as to
examine socio-economic entities and the physical environment of slums in Sangsit
Village. The random sampling technique was used as the basis for selecting subject
samples for 100 coastal communities in 3 sample areas, and analyzed qualitatively.
Socio-economically coastal communities have demographic weaknesses with
population density and large number of family members, as well as low income, savings
and education. From the physical aspect, most of the coastal community buildings are
non-permanent in terms of building materials, have limited cleanliness infrastructure and
various public services and home environment can bother the health. Slums are a
tangible form of the poverty of fishermen who live in coastal areas.

Keywords: Slum Areas, Coastal Areas, Coastal Communities, Socio-economic,


Physical Environment

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 178


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

PENDAHULUAN sifat laut meliputi pasang surut, angin laut


Sebagai negara maritim Indonesia dan perembesan air asin, sedangkan ke
memiliki potensi sumberdaya laut yang arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian
melimpah. Negara maritim adalah negara laut yang masih dipengaruhi oleh proses-
yang berada dalam kawasan/teritorial laut proses alami yang terjadi di darat seperti
yang sangat luas, memiliki banyak pulau, sedimentasi dan aliran air tawar, maupun
dikelilingi oleh wilayah laut dan perairan, yang disebabkan oleh kegiatan manusia di
dan sebagian besar penduduknya bekerja darat seperti penggundulan hutan dan
di wilayah perairan. Benua Maritim pencemaran (Poernomosidhi dalam
Indonesia (BMI) adalah wilayah dengan Supriharyono, 2007). Dengan kata lain,
hamparan pulau-pulau di dalamnya, ekspresi keruangan wilayah pesisir sangat
sebagai satu kesatuan alamiah antara dipengaruhi oleh interaksi dan aktivitas
darat, laut, dan udara dengan sudut manusia dengan sifat-sifat fisik lingkungan
pandang iklim, cuaca, keadaan airnya, dan sumberdaya yang ada di wilayah
tatanan kerak bumi, keberagaman biota tersebut. Pola kehidupan dan penghidupan
serta tatanan sosial budaya. Indonesia masyarakat pesisir yang bersinergi dengan
terdiri dari 13.667 pula dan memiliki luas lingkungan alam akan mempercepat cita-
laut mencapai 7,9 juta km2. Dalam potensi cita bangsa Indonesia sebagai poros
sumberdaya laut tersebut terdapat maritim dunia. Indikator yang paling mudah
keberlimpahan terumbu karang, ikan, untuk memantau pencapaian ini adalah
minyak bumi, biota laut, dan sumberdaya dengan melihat taraf kesejahteraan
lainnya. masyarakat nelayan, yang menjadikan
Secara absolut wilayah pesisir aktivitas melaut sebagai strategi
adalah wilayah yang paling dekat dengan penghidupan mereka.
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya Melaut adalah salah satu aktivitas
kelautan tersebut. Wilayah pesisir yang manusia tertua dalam mempertahankan
merupakan jembatan antara daratan dan hidup, terutama untuk memenuhi
lautan berperan sebagai ruang tempat kebutuhan konsumsi. Nelayan sebagai
perubahan lingkungan keduanya. Menurut pekerjaan yang mendominasi masyarakat
UU No. 27 Tahun 2007 wilayah pesisir di wilayah maritim tidak terlepas dari
adalah wilayah peralihan antara ekosistem kemudahan-kemudahan yang terdapat di
daratan dan laut yang ditentukan oleh 12 dalamnya. Berbagai kemudahan aktivitas
mil batas wilayah ke arah perairan dan melaut meliputi perlengkapan yang
batas kabupaten/kota kearah pedalaman. dibutuhkan relatif sederhana, waktu yang
Menurut Kesepakatan umum di dunia dubutuhkan relatif cepat dan komoditas
bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah tersedia langsung di perairan (Marimuthu &
peralihan antara daratan dan lautan. Valliammai, 2016). Secara teori nelayan
Wilayah pesisir merupakan tidak akan mengalami kesulitan dalam
interface antara kawasan laut dan darat memenuhi kebutuhan hidup, dan bahkan
yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi hasil tangkapan yang berlebih dapat dijual
satu sama lainnya, baik secara biogeofisik langsung, maupun diolah kembali menjadi
maupun sosial ekonomi. Wilayah pesisir produk yang bernilai tambah tinggi. Hal ini
mempunyai karakteristik yang khusus mengingat bahwa protein yang terdapat
sebagai akibat interaksi antara proses- pada jenis ikan tertentu sangat dibutuhkan
proses yang terjadi di daratan dan di lautan. dan diyakini bermanfaat sebagai suplemen
Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi untuk perkembangan kecerdasan otak
bagian daratan, baik kering maupun manusia. Kondisi ini menjadikan nelayan
terendam air, yang masih dipengaruhi sifat- sebagai profesi yang sangat

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 179


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

menguntungkan dan bersifat berkelanjutan, struktural yang saling berkaitan. Menurut


terutam di negara-negara maritim. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat
Wilayah pesisir yang memiliki Pesisir (2006) sebab-sebab pokok yang
potensi dan sumberdaya kelautan yang memunculkan kemiskinan nelayan secara
melimpah secara teoritis mampu mendetail adalah: (1) belum adanya
memberikan kesejahteraan bagi kebijakan, strategi dan implementasi
masyarakat, khususnya masyarakat program pembangunan kawasan pesisir
nelayan yang menjadi ujung tombak negara dan masyarakat nelayan yang terpadu di
maritim. Hal ini dikarenakan nelayan sangat antara para pemangku kepentingan
menggantungkan kehidupan dan pembangunan, (2) adanya inkonsistensi
penghidupan mereka pada sumberdaya kuantitas produksi (hasil tangkapan),
laut tersebut. Akan tetapi, realitas yang sehingga keberlanjutan aktivitas sosial
terjadi sangat ironis. Kemiskinan ekonomi perikanan di desa-desa nelayan
merupakan simbol yang melekat tidak terganggu, yang disebabkan oleh kondisi
hanya dari sisi sosial ekonomi, tetapi juga sumber daya perikanan telah mencapai
mencakup lingkungan hidup dan ruang kondisi “over fishing”, musim paceklik yang
tempat tinggal dari keluarga nelayan. berkepanjangan, dan kenaikan harga
Kemiskinan masyarakat nelayan di bahan bakar minyak (BBM), (3) masalah
desa-desa pesisir disinyalir lebih kronis isolasi geografis desa nelayan, sehingga
dibandingkan dengan kantong-kantong menyulitkan keluar-masuk arus barang,
kemiskinan masyarakat petani di desa-desa jasa, kapital, dan manusia, yang
agraris. Gambaran kemiskinan dapat mengganggu mobilitas sosial ekonomi, (4)
ditinjau dari sisi materi dan kebutuhan adanya keterbatasan modal usaha atau
sosial. Dari sisi materi, kemiskinan modal investasi, sehingga menyulitkan
digambarkan dengan adanya kekurangan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi
materi yang meliputi kebutuhan pangan perikanannya, (5) adanya relasi sosial
sehari-hari, sandang, perumahan dan ekonomi yang “eksploitatif” dengan pemilik
pelayanan kesehatan. Kemiskinan dari sisi perahu, pedagang perantara (tengkulak),
materi menekankan pada situasi atau pengusaha perikanan dalam
kelangkaan akan barang-barang dan kehidupan masyarakat nelayan, (6) adalah
pelayanan dasar. Dari sisi kebutuhan rendahnya tingkat pendapatan rumah
sosial, kemiskinan digambarkan dengan tangga nelayan, sehingga berdampak
keterbelakangan, ketergantungan dan negatif terhadap upaya peningkatan skala
ketidak-mampuan untuk berpartisipasi usaha dan perbaikan kualitas mereka.
dalam masyarakat. Kebutuhan ini juga Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat
termasuk informasi dan pendidikan. nelayan menjadikan mereka lemah. Salah
Kemiskinan menjadikan masyarakat satu bentuk kelemahan nelayan adalah
nelayan di wilayah pesisir harus dalam usaha menciptakan kondisi
menanggung beban penghidupan yang lingkungan tempat tinggal yang berkualitas.
berat, berkutat dengan perangkap hutang Kelemahan nelayan yang sama
dan dalam waktu yang sangat lama juga dialami oleh masyarakat nelayan di
(Suyanto, 2013). wilayah pesisir di Desa Sangsit. Desa
Kemiskinan nelayan tidak terlepas Sangsit merupakan salah satu desa yang
dari individu nelayan sendiri dan dari secara administratif berada di Kecamatan
pengaruh lingkungan sekitar. Retnowati Sawan, Kabupaten Buleleng. Desa Sangsit
(2011) menguraikan bahwa penyebab berbatasan langsung dengan Laut Bali di
kemiskinan nelayan sangat kompleks, sebelah utara, berbatasan dengan Desa
dengan mencakup variabel individual, Giri Emas, Desa Bungkulan dan Desa
keluarga, sub-budaya, agensi maupun Jagaraga di sebelah timur, berbatasan

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 180


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

dengan Desa Suwug dan Desa Jagaraga di • Sebagian besar saluran drainase non
sebelah selatan dan berbatasan langsung dan semi permanen yang terbuka
dengan Desa Kerobokan dan Desa dijadikan tempat membuang sampah
Sinabun di sebelah barat. Desa Sangsit sehingga ketika hujan sering terjadi
terbagi menjadi 7 dusun/banjar yaitu Banjar genangan bahkan banjir.
Dinas Pabeansangsit, Beji, Celuk, Sema, • Jalan pada kawasan permukiman
Peken, Tegal, dan Banjar Dinas Abasan. nelayan yang berupa jalan sirtu dan
Desa Sangsit memiliki luas 3,60 km2. jalan tanah saat hujan menjadi becek.
Secara astronomis Desa Sangsit terletak
pada posisi 08°04’23’’ LS - 115°07’15’’ BT - Kondisi permukiman nelayan yang kumuh
115°09’21’’ BT. dengan ketimpangan yang ada di dalamnya
Desa Sangsit yang merupakan dapat menjadi semakin buruk apabila tidak
bagian dari wilayah Kabupaten Buleleng ditangani secara tepat, dan akan berpotensi
yang memiliki sumberdaya kelautan yang mengancam pembangunan sektor
potensial, dan juga memiliki produktivitas perikanan dan pariwisata bahari yang
hasil tangkapan ikan yang tinggi. dirancang oleh pemerintah daerah. Dalam
Berdasarkan data (BPS Kabupaten rangka menciptakan penanganan yang
Buleleng, 2015) memperlihatkan bahwa tepat dalam mengatasi permasalahan
selama kurun waktu tahun 2013 – 2014 kekumuhan di wilayah pesisir Desa
produksi perikanan secara umum di Sangsit, maka dipandang penting untuk: (1)
Kecamatan Sawan mengalami trend yang memahami permukiman kumuh masyarakat
positif yaitu adanya peningkatan dari 316,2 nelayan di Desa Sangsit, serta (2) mengkaji
ton menjadi 368,4 ton. Meskipun entitas sosial-ekonomi dan lingkungan fisik
produktivitas hasil tangkapan ikan permukiman kumuh di Desa Sangsit.
meningkat, tetapi kondisi masyarakat
nelayan masih terkategori miskin. METODE
Manifestasi kemiskinan masyarakat Pendekatan yang dipergunakan
nelayan di Desa Sangsit ini mengambil dalam kajian ini adalah pendekatan
wujud dalam bentuk permukiman kumuh. geografi yang mencakup pendekatan
Permukiman kumuh nelayan keruangan (spatial approaches) dan
merupakan gambaran kualitas lingkungan kompleksitas wilayah (regional complex
tempat tinggal yang rendah. Kualitas yang approaches). Pendekatan keruangan
rendah tersebut tidak hanya pada rumah dimaksudkan untuk mengkaji kekhususan
tinggal nelayan, tetapi juga di lingkungan struktur keruangan permukiman kumuh,
pesisir. Mengingat ekspresi keruangan sedangkan pendekatan kompleksitas
wilayah pesisir adalah hasil interaksi antara wilayah dimaksudkan untuk mengkaji
aktivitas manusia dengan lingkungan variasi entitas permukiman kumuh yang
sekitar. Permasalahan kekumuhan yang meliputi entitas sosial-ekonomi dan
ditemukan pada permukiman nelayan lingkungan fisik.
adalah sebagai berikut (Nurcahyanti, Rancangan dalam penelitian ini
Surjono, & Kurniawan, 2010). menggunakan rancangan penelitian survei
analitik. Adapun objek dalam penelitian ini
• Permukiman nelayan terlihat kotor dan adalah permukiman kumuh, sedangkan
kumuh. subjek penelitian adalah masyarakat pesisir
• Intensitas bangunan tinggi, terutama di yang bermukim di wilayah pesisir Desa
bagian timur-selatan permukiman. Sangsit. Kajian ini berbasis data primer dan
• Sampah berserakan dan menimbulkan sekunder. Data primer yang meliputi entitas
bau tidak sedap. sosial-ekonomi dan lingkungan fisik
permukiman kumuh dikumpulkan dari

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 181


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

sampel area di 3 dusun sebagai wilayah Permukiman kumuh adalah


pesisir di Desa Sangsit. Teknik random sekelompok individu yang tinggal di
sampling digunakan sebagai dasar lingkungan rumah yang sama-sama
pemilihan sampel subjek sebesar 100 mengalami keterbatasan akses,
masyarakat pesisir sebagai responden. diantaranya adalah keterbatasan akses
Analisis data dalam kajian ini bersifat terhadap air bersih, akses terhadap
kualitatif. sanitasi, jaminan sosial, daya tahan rumah
dan kehidupan yang memadai (Uduak,
HASIL DAN PEMBAHASAN 2009 dalam Simon, Adegoke, & Adewale,
Permukiman Kumuh Masyarakat 2013). Permukiman kumuh mencakup
Nelayan di Desa Sangsit permukiman non-konvensional yang
Budihardjo (2009) mengemukakan menunjukkan kemiskinan dan
bahwa rumah sehat dan layak huni harus keterbelakangan suatu masyarakat di suatu
memenuhi kriteria berikut. wilayah.
Permukiman kumuh adalah
• Harus memenuhi kebutuhan fisiologis; lingkungan hunian yang mengalami
termasuk suhu optimal di rumah, penurunan kualitas fungsi sebagai tempat
pencahayaan, perlindungan terhadap hunian. Penurunan kualitas fungsi yang
kebisingan, ventilasi yang baik, serta dimaksud antara lain kepadatan bangunan
ketersediaan ruang untuk berolahraga sangat tinggi dalam luasan yang sangat
dan bermain untuk anak-anak. terbatas, rawan penyakit sosial dan
• Harus memenuhi kebutuhan psikologis; penyakit lingkungan, kualitas bangunan
Termasuk jaminan "privasi" yang cukup, yang sangat rendah, tidak terlayani
kesempatan dan kebebasan untuk prasarana lingkungan yang memadai dan
menjadi kehidupan keluarga yang membahayakan keberlangsungan
normal, hubungan yang harmonis antara kehidupan dan penghidupan penghuninya
orang tua dan anak, pemenuhan (Ilmy & Budisusanto, 2017).
persyaratan perilaku sosial, dan Permukiman kumuh nelayan di Desa
sebagainya. Sangsit dapat ditinjau dari kondisi rumah
• Dapat memberikan perlindungan yang kurang terpelihara dengan baik dan
terhadap penularan penyakit dan kondisi perumahan dengan kepadatan
kontaminasi; termasuk ketersediaan tinggi serta sangat rentan dalam
pasokan air yang memenuhi penyebaran berbagai penyakit. Secara fisik
persyaratan, fasilitas pembuangan permukiman kumuh nelayan juga tidak
limbah, ketersediaan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan
menyimpan makanan, hindari serangga psikologis pemukim, terutama rentan
atau hama lain yang mungkin berperan terhadap kebisingan dari deburan ombak,
dalam penyebaran penyakit. kurang pencahayaan sinar matahari dan
• Dapat memberikan perlindungan / sirkulasi udara tidak baik akibat minimnya
pencegahan terhadap risiko kecelakaan jendela, minimnya ruang bermain anak-
di rumah; termasuk konstruksi yang anak, khususnya halaman dan ruang
kuat, untuk menghindari bahaya terbuka serta kurang memadai kebutuhan
kebakaran, pencegahan kemungkinan pribadi pemukim.
kecelakaan jatuh atau kecelakaan Secara material permukiman nelayan
mekanis lainnya. yang termasuk kategori permukiman kumuh
ini bersifat semi-permanen atau temporer.
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Material bangunan rumah nelayan terbuat
wilayah pesisir adalah masyarakat nelayan dari campuran batako, kayu dan juga
dengan kondisi rumah yang kumuh. bambu. Sifat semi-permanen ini tidak

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 182


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

terlepas dari pengaruh pasang surut air mempengaruhi kondisi sanitasi lingkungan,
laut. Permukiman nelayan di Desa Sangsit pengelolaan persampahan, dan kondisi
menghadapi ancaman genangan (inundasi) drainase. Hal ini dikarenakan semakin
di setiap awal tahun, sehingga banyak besar jumlah penduduk, maka semakin
material bangunan rumah yang rusak, yang banyak limbah yang dihasilkan. Di sisi lain,
tidak diganti, atau diganti dengan material akan semakin besar juga ruang yang
seadanya. Inundasi adalah ancaman yang dibutuhkan untuk membentuk sanitasi,
dihadapi oleh banyak permukiman nelayan persampahan dan drainase. Limbah dan
di wilayah pesisir. Bahkan di tempat lain, di sampah penduduk yang belum dikelola
Tambak Mulyo, Semarang terdapat rumah dengan baik mengakibatkan tekanan
nelayan yang tenggelam akibat air pasang terhadap daya dukung fisik lingkungan
dan juga penurunan tanah (Setioko, Murtini, yang selanjutnya menyebabkan penurunan
& Pandelaki, 2011). Ketidak-mampuan kualitas lingkungan.
ekonomi mendorong nelayan untuk 2) Jumlah KK per rumah
mengganti material yang rusak dengan Jumlah anggota keluarga per rumah pada
material seadanya, dan sisanya permukiman nelayan Desa Sangsit secara
membiarkan kerusakan tersebut. Kondisi ini rata-rata adalah 5 orang/rumah.
mempercepat penurunan kualitas rumah Terdapatnya lebih dari 1 KK dalam 1 rumah
menjadi permukiman kumuh. mengakibatkan tingkat penggunaan luas
lantai bangunan dapat bernilai 2 m2/ orang.
Entitas Sosio-Ekonomi Permukiman 3) Tingkat pendapatan
Kumuh di Desa Sangsit Pendapatan rumah tangga merupakan
Entitas sosio-ekonomi pada pendapatan yang diperoleh rumah tangga
permukiman kumuh meliputi tingkat dari berbagai sumber pekerjaan (Fadilah,
kepadatan penduduk, jumlah anggota Abidin, & Kalsum, 2014). Mayoritas
keluarga per rumah, tingkat pendapatan, masyarakat pesisir di Desa Sangsit
besaran tabungan dan tingkat pendidikan. berpendapatan di bawah Rp 1.500.000,00
1) Tingkat kepadatan penduduk atau 79 % penduduk yang bekerja sebagai
Tingkat kepadatan penduduk pada nelayan berpendapatan di bawah UMK
permukiman di Desa Sangsit adalah 2747,5 Kabupaten Buleleng atau kurang dari Rp
jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk 1.800.000,00 seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat Pendapatan Masyarakat Pesisir Di Desa Sangsit


No Banjar Tingkat Pendapatan (000,00)
< 1.500 1.500-3.000 > 3.000 Total
N % N % N % N %
1 Beji 14 14 5 5 4 4 23 23
2 Pabean Sangsit 41 41 5 5 2 2 48 48
3 Tegal 24 24 4 4 1 1 29 29
Total 79 79 14 14 7 7 100 100

Tingkat pendapatan yang rendah pengaruh yang besar terhadap ketidak-


mengindikasikan rendahnya tingkat daya mampuan pemukim untuk memenuhi
beli masyarakat dan tingginya tingkat kebutuhan pemukim akan kondisi
kemiskinan. Tingkat pendapatan nelayan lingkungan tempat tinggal yang berkualitas
yang rendah merupakan gambaran dari dan layak huni. Kemampuan ekonomi yang
kemampuan ekonomi yang rendah. lemah menyebabkan keluarga nelayan
Kemampuan ekonomi yang lemah memiliki tidak mampu untuk memperbaiki fasilitas

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 183


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

dan bangunan rumah (Mudana, 2013). Tabungan adalah sejumlah uang yang
Fasilitas dan bangunan rumah yang disimpan dan dapat dimanfaatkan kembali
mengalami kerusakan tidak mampu untuk meningkatkan kualitas hidup jangka
digantikan dengan material baru. Tingkat panjang atau dapat digunakan untuk
pendapatan yang rendah mengakibatkan memenuhi kebutuhan yang mendesak.
nelayan hanya berfokus pada pemenuhan Mayoritas nelayan di Desa Sangsit tidak
kebutuhan primer, yang meliputi pangan memiliki tabungan dengan jumlah nelayan
dan sandang, sehingga nelayan melakukan sebesar 66%, sedangkan kepemilikan
pembiaran terhadap fasilitas dan bangunan tabungan terbesar ada pada angka di
rumah yang mengalami kerusakan. bawah Rp 500.000,00 di Banjar Tegal
4) Besaran tabungan sebesar 41,4%.

Tabel 2. Besaran Tabungan Masyarakat Pesisir Di Desa Sangsit


No Banjar Besaran Tabungan (000,00)
0 < 500 500-1.000 > 1.000 Total
N % N % N % N % N %
1 Beji 15 65,2 3 13 5 21,7 0 0 23 23
2 Pabean Sangsit 34 70,8 8 16,7 4 8,3 2 4,2 48 48
3 Tegal 17 58,6 12 41,4 0 0 0 0 29 29
Total 66 66 23 23 9 9 2 2 100 100

Kepemilikan tabungan yang rendah ini menghabiskan pendapatan mereka untuk


mengindikasikan bahwa pendapatan yang ditabung. Kepemilikan tabungan yang
dimiliki masyarakat pesisir sangat sedikit rendah ini adalah faktor lain yang
untuk ditabung. Hal ini sejalan dengan menunjukkan kemampuan masyarakat
penelitian Muflikhati, Hartoyo, Sumarwan, pesisir yang rendah dalam mengantisipasi
Fachrudin, & Puspitawati, (2010) yang adanya kebutuhan yang mendesak,
menyatakan bahwa meskipun keluarga khususnya dalam hal perbaikan fasilitas
nelayan memiliki pendapatan yang relatif dan bangunan rumah yang mulai menua
besar, penggunaan pendapatan nelayan dan rusak.
masih diprioritaskan pada kebutuhan dasar 5) Tingkat pendidikan
(pangan) dan bahkan untuk hal-hal yang Tingkat pendidikan terbesar yang
kurang bermanfaat seperti rokok, jajan, ditamatkan masyarakat nelayan adalah
atau minuman keras. Dengan kata lain, Tamat Sekolah Dasar sebesar 48%, yang
budaya menabung untuk kebutuhan tersebar paling banyak di Banjar Pabean
mendesak dan masa datang masih rendah Sangsit sebesar 66,7% seperti terlihat pada
di kalangan masyarakat pesisir. Hanya Tabel 3.
sebagian kecil yang menyisihkan dan tidak

Tabel 3 Tingkat Pendidikan Masyarakat Pesisir Di Desa Sangsit


No Banjar Tingkat Pendidikan
TS T.SD T.SMP T.SMA T.PT Total
N % N % N % N % N % N %
1 Beji 2 8,7 6 26,1 2 8,7 12 52,2 1 4,3 23 23
2 Pabean Sangsit 4 8,3 32 66,7 5 10,4 7 14,6 0 0 48 48
3 Tegal 2 6,9 10 34,5 6 20,7 8 27,6 3 10,3 29 29
Total 8 8 48 48 13 13 27 27 4 4 100 100

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 184


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

Tingkat pendidikan yang rendah 56% rumah sudah menggunakan keramik,


menunjukkan kemampuan masyarakat meskipun tidak pada seluruh lantai rumah.
yang rendah dalam mengakses berbagai Pada material atap sebagian besar atau
sumberdaya dan informasi untuk 56% rumah sudah menggunakan genting
peningkatan kualitas permukiman. Di sisi sebagai pelindung rumah dari hujan. Pada
lain, tingkat pendidikan yang rendah ini juga material dinding sebagian besar atau 86%
menjadi indikator pemahaman dan rumah masing menggunakan batako
kesadaran masyarakat yang rendah sebagai dinding.
terhadap dampak negatif dari permukiman 2) Aspek Sarana Prasarana
kumuh bagi kesehatan mereka dan Aspek sarana prasarana rumah terdiri dari
lingkungan di sekitar tempat tinggal parameter kondisi drainase, persampahan,
mereka. sumber air bersih dan sumber energi.
Sebagian besar kondisi drainase rumah
Entitas Lingkungan Fisik Permukiman masyarakat pesisir di Desa Sangsit baik,
Kumuh di Desa Sangsit yaitu hanya terdapat genangan kurang dari
Entitas lingkungan fisik pada 25% atau sebesar 99%, yang tersebar
permukiman kumuh meliputi aspek merata. Kondisi ini dipengaruhi oleh
bangunan rumah, kondisi sarana prasarana karakteristik tanah yang berpasir, sehingga
dan lingkungan. resapan air tinggi. Tanah pasir memiliki
1) Aspek Bangunan Rumah rongga yang besar sehingga pertukaran
Aspek bangunan rumah terdiri dari udara dapat berjalan dengan lancar. Selain
parameter sifat permanen bangunan itu tanah pasir tdak lengket jika basah
rumah, tutupan bangunan, jarak antar- sehingga menjadikan tanah pasir mudah
bangunan, material lantai, material atap untuk diolah.
dan material dinding. Dari sisi kondisi persampahan mayoritas
Sebagian besar bangunan rumah rumah masyarakat pesisir dilayani kurang
masyarakat pesisir di Desa Sangsit dari 50%. Kondisi ini mengakibatkan
didominasi oleh bangunan temporer atau masyarakat pesisir yang tidak dilayani
non-permanen sebesar 73%, yang tersebar pengelolaan sampah membuang sampah
merata dan terbesar di Banjar Beji dengan dan limbah rumah tangga tidak pada
angka 95,7%. Kondisi ini menunjukkan tempat sampah yang disediakan. Hal ini
bahwa rumah masyarakat pesisir sangat dikarenakan lokasi tempat penampungan
rentan terhadap berbagai kerusakan. Dari sementara (TPS) relatif jauh dari rumah
sisi tutupan bangunan sebagian besar masyarakat. Jarak yang relatif jauh ini
rumah menghabiskan 50%-70% lahan mendorong masyarakat pesisir membuang
untuk bangunan rumah atau sebesar 68%. sampah rumah tangga mereka di laut. Cara
Kondisi ini menunjukkan bahwa sangat masyarakat pesisir dalam membuang
sedikit lahan yang tersisa untuk digunakan sampah rumah tangga dengan membuang
sebagai halaman bermain anak ataupun dilaut ini dapat terus memperburuk kondisi
ditanami tanaman hijau. Jarrak antar- lingkungan menjadi lebih kumuh.
bangunan yang mendominasi adalah 1,5 Sumber air bersih yang digunakan untuk
m-3m. Kondisi ini menunjukkan kepadatan kebutuhan mandi dan minum sehari-hari
rumah relatif padat, tetapi masih terdapat rumah tangga masyarakat pesisir sebagian
ruang pemisah antara satu rumah dengan besar berasal dari air sumur atau sebesar
lainnya. 85%. Air sumur ini berasal dari air tanah.
Material penyusun rumah masyarakat Air tanah merupakan sumber air tawar
pesisir Di Desa Sangsit cukup bervariasi. terbesar di planet bumi, mencakup 24%
Pada material lantai sebagian besar atau dari total air tawar atau 10,5 juta km3. Air

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 185


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

tanah sering diambil, baik untuk sumber air Di sisi lain, permukiman kumuh masyarakat
bersih maupun maupun untuk irigasi, nelayan pada wilayah pesisir di Desa
melalui sumur terbuka, sumur tabling Sangsit memiliki permasalahan genangan
(sumur bor), bagi masyarakat pesisir yang akibat pasang air laut secara periodik.
bertempat tinggal di dekat pantai Upaya yang selama ini telah dilakukan
(Sahwilaksa & Kustini, 2014). masyarakat nelayan untuk meningkatkan
Sumber energi terbesar yang digunakan kualitas permukiman menjadi tidak optimal
oleh masyarakat pesisir di Desa Sangsit akibat pengaruh pasang air laut ini,
adalah bersumber dari pulsa listrik atau sehingga nelayan menjadi kehilangan
sebesar 46%. Kondisi ini mengindikasikan hasrat untuk memperbaiki kondisi rumah.
bahwa energi listrik sangat dibutuhkan oleh Dengan demikian permukiman masyarakat
masyarakat pesisir dalam menjalankan nelayan di wilayah pesisir selalu identik
aktivitas melaut, terutama dari sisi dengan permukiman kumuh.
perawatan mesin.
3) Aspek Lingkungan UCAPAN TERIMAKASIH
Aspek lingkungan rumah terdiri dari Kami ingin mengucapkan terima kasih
parameter kondisi sirkulasi udara dan kepada semua penulis yang tersurat dalam
halaman. kajian ini atas pemikiran mereka yang
Sebagian besar kondisi sirkulasi udara inspiratif dan konstruktif. Kami juga
rumah masyarakat pesisir di Desa Sangsit menunjukkan apresiasi kami kepada rekan
hanya terdiri dari 2-4 ventilasi atau sebesar kerja, teman, pejabat wilayah dan
59%, terutama di Banjar Pabean Sangsit. organisasi yang telah memberikan
Kondisi ini dipengaruhi oleh karakteristik kontribusi yang berharga dalam bentuk
angin yang berpasir, sehingga ketersediaan sumbangan informasi dalam penelitian
jendela sebagai tempat sirkulasi udara yang menjadi dasar penulisan artikel ini.
relatif sedikit. Dari jumlah ventilasi yang Hasil interpretasi dan kesimpulan yang
dimiliki, tidak semua difungsikan dengan diungkapkan secara keseluruhan adalah
baik. Dari sisi halaman, luasan vegetasi tanggung jawab penulis pertama. Penelitian
yang dimiliki lingkungan tempat tinggal ini dapat terlaksana atas bantuan dana
masyarakat nelayan sebagian besar kurang yang diterima dari Kementerian Riset
dari 30%. Kondisi ini sejalan dengan luas Teknologidan Pendidikan Tinggi, Indonesia
yang tersisa dari tutupan bangunan rumah dengan nomor surat kontrak penelitian
yang sedikit. Nomor: 192/UN48.15/LT/2017.

SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA


Permukiman kumuh masyarakat Budihardjo, E. (2009). Perumahan dan
pesisir, khususnya nelayan memiliki Permukiman Di Indonesia. Bandung:
keunikan terendiri dan berbeda dengan Alumni.
permukiman kumuh lainnya. Entitas Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng.
permukiman kumuh masyarakat nelayan (2015). Kabupaten Buleleng Dalam
tergambar dari entitas sosio-ekonomi yang Angka Tahun 2015.
didominasi dengan masyarakat dengan Fadilah, Abidin, Z., & Kalsum, U. (2014).
tingkat kepadatan dan jumlah anggota Pendapatan dan kesejahteraan rumah
keluarga yang tinggi serta tingkat tangga nelayan obor di kota bandar
pendapatan, tabungan dan pendidikan lampung. JIIA, 2(1), 71–76.
yang rendah, dan dari entitas lingkungan Ilmy, F. H., & Budisusanto, Y. (2017).
fisik dalam wujud keterbatasan atau Identifikasi Penentuan Prioritas
ketidak-tersediaan sarana prasarana Kriteria Kawasan Permukiman Kumuh
kebersihan dan pelayanan persampahan. Perkotaan Menggunakan Metode

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 186


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

AHP (Analytical Hierarcy Process). Ekosistem Sumberdaya Hayati Di


Jurnal Teknik ITS, 6(1), 19–21. Wilayah Pesisir dan Laut Tropis.
Marimuthu, L., & Valliammai, A. (2016). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Problem And Prospects Of Fisherman Suyanto, B. (2013). Anatomi Kemiskinan
In India With Special Reference To dan Strategi Penanganannya.
Nagapattinam. Asia Pasific Journal of Malang: Intrans Publishing.
Research, I(XXXVI), 218–225.
Mudana, I. W. (2013). Ideologi Nyegara
Gunung: Sebuah Kajian Sosiokultural
Kemiskinan Pada Masyarakat Pesisir
Di Bali Utara. Jurnal Ilmu Sosial Dan
Humaniora, 2(1), 138–149.
Muflikhati, I., Hartoyo, Sumarwan, U.,
Fachrudin, A., & Puspitawati, H.
(2010). Kondisi Sosial Ekonomi dan
Tingkat Kesejahteraan Keluarga:
Kasus di Wilayah Pesisir Jawa Barat.
Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumsi,
3(1), 1–10.
Nurcahyanti, E. E., Surjono, & Kurniawan,
E. B. (2010). Penataan Permukiman
Nelayan Puger Ditinjau Dari Aspek
Kekumuhan. Jurnal Tata Kota Dan
Daerah, 2(2), 41–48.
Pesisir, D. P. M. (2006). 6 Tahun Program
PEMP Sebuah Refleksi. Jakarta.
Retnowati, E. (2011). Nelayan Indonesia
Dalam Pusaran Kemiskinan Struktural
(Perspektif Sosial, Ekonomi dan
Hukum). Perspektif, 16(3), 149–159.
Sahwilaksa, J., & Kustini, I. (2014).
Pengaruh Air Laut Terhadap Kualitas
Air Tanah Dangkal Di Kawasan Pantai
Kota Surabaya. Rekayasa Teknik
Sipil, 3(3), 241–247.
Setioko, B., Murtini, T. W., & Pandelaki, E.
E. (2011). Conceptual Spatial Model
Of Coastal Settlement In Urbanizing
Area Case Study on Fisherman
Settlement , Tambak Mulyo-
Semarang City. International Journal
of Architectural Science, 8(3), 60–66.
Simon, R. F., Adegoke, A. K., & Adewale,
B. A. (2013). Slum Settlements
Regeneration in Lagos Mega-city : an
Overview of a Waterfront Makoko
Community. International Journal of
Education and Research, 1(3), 1–16.
Supriharyono. (2007). Konservasi

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 187

Anda mungkin juga menyukai