Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DI


KAWASAN STRATEGIS”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

1. NURFATIMAH
2. OSELYA MEIDY KOMBONG
3. RANGGA HARDIANTO
4. RISPAN BUNGA PASULU’
5. SRI ULINA MANIK
6. TALITA AL FITRAH
7. WAODE ANITA AMNA
8. WAODE DHIVA RAFIDAH PALAIDO
9. WA ODE SALEHA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul tentang
“Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Di Kawasan Strategis” ini dengan baik.

Kami menyadari masih terdapat ketidaksempurnaan dalam menyelesaikan makalah ini,


untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Dengan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
memberikan kontribusi berupa semangat dan motivasi dalam pembuatan makalah ini. Demikian
makalah ini kami buat semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan kami tentunya. Amiin.

Kendari, 23 November 2021

Hormat kami,

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................

A. LATAR BELAKANG.............................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................................
C. TUJUAN..................................................................................................................
D. MANFAAT.............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
BAB III PENUTUP.............................................................................................................
A. KESIMPULAN.......................................................................................................
B. SARAN....................................................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil memiliki arti strategis dalam membangun
bangsa dan mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan, kekayaan sumberdaya
alam yang terkandung di wilayah ini, baik sumberdaya hayati maupun sumberdaya non
hayati (Adrianto, 2015). Namun demikian dengan semakin meningkatnya pertumbuhan
penduduk dan pesatnya pembangunan di wilayah pesisir untuk pemukiman, perikanan,
pelabuhan, obyekwisata dan lain-lain juga memberikan tekanan ekologis dan dapat
mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan
pulau-pulau kecil di sekitarnya. 
Kekayaan sumber daya alam dan ekosistemnya ataupun gejala keunikan alam lainnya
yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa.Potensi sumber
daya alam dan ekosistemnya tersebut perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat sehingga tercipta keseimbangan antara
perlindungan,pengawetan dan pemanfaatan lestari.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam yang
Terkandung didalamnya dilaksanakan secara seimabang tetap memperhatiakan
Prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,berwawasan lingkungan,
Kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
Nasional.Kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui secara internasional
sebagaimana yang tertera dalam UNCLOS tahun 1982.Setelah pengakuan tersebut Indonesia
melakukan grativikasi melalui undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang konvensi
hukum laut.data UNCLOS 1982 menyatakan bahwa luas laut Indonesia sebesar 5,9 juta km 2
dengan 32 juta km2 perairan.Kondisi ini menjadikan Indonesia negara kepulauan terbesar di
dunia.Pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat meningkatkan kualitas
hidup dan menyediakan lapangan kerja.Karna itu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
harus dikelola secara terpadu dan berkelanjutan.Hal tersebut dicapai dengan memanfaatkan
sumber-sumber pertumbuhan yang sudah ada dan sumber-sumber pertumbuhan baru.
Sumber daya pesisir dan laut serta pulau-pulau kecil merupakan salah satu sumber daya
yang penting dan dapat dijadikan sebagai penggerakan utama perekonomian nasional.Hal ini
didasari pada kenyataan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya pesisir dan pulau-
pulau kecil yang tinggi dengan karakteristik wilayah yang beranekaragam.Sebagian besar
kegiatan industri pada kabupaten/kota berada di wilayah pesisir.
Wilayah pesisir merupakan basis sumberdaya local bagi industri perikanan.Wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil memiliki keunggulan yang tinggi sebagaimana dicerminkan dari
potensi sumber daya ikannya.

4
Diketahui, ekosistem di sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain terdiri dari
mangrove, terumbu karang, rumput laut, dan padang lamun. Wilayah pesisir Kendari,
sebagai salah satu contohnya, kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Kondisi Teluk
Kendari terus mengalami pendangkalan akibat abrasi dan menurunnya luasan hutan
mangrove.
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut,memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang
sangat kaya.Kekayaan sumber daya tersebut menimbulkan bagi berbagai pihak untuk
memanfaatkan sumber daya dan berbagai instansi mempunyai kebijakan untuk meregulasi
pemanfaatannya.
Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir telah menimbulkan ancaman
kelestarian ekosistem yang sangat kritis.Sebaliknya ada beberapa wilayah potensi sumber
daya belum dimanfaatkan secara optimal guna menjamin keberlanjutan dari sumberdaya
tersebut pengelolaannya harus terencana dilakukan secara terencana dan terpadu serta
memberikan manfaat yang besar terutama masyarakat pesisir.

1.2 Rumusan Masalah


1.Bagaimana Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir Laut dan Pulau-Pulau Kecil
2.Apa Permasalahan yang timbul di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
3.Bagaimana Permasalahan Hukum dan kelembagaan terkait dengan pengelolaan Wilayah
Pesisir Laut dan Pulau-Pulau Kecil.
4.Bagaimana Tahap pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

1.3 Tujuan

1.Mahasiswa dapat mengetahui potensi sumberdaya yang terdapat pada wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil.
2.Mahasiswa mampu mengidentifikasi permasalahan apasaja yang timbul pada wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
3.Mahasiswa mampu mengetahui permasalahan hukum dan kelembagaan terkait
pengelolaan pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
4.Mahasiswa mampu memahami bagaimana tahap pemanfaatan pada wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Potensi Sumber daya wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil

Sumber daya pesisir laut dan pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia sangat berguna
beragam baik jenis maupun potensinya.Potensi sumber daya tersebut ada yang dapat di
perbaharui seperti sumber daya perikanan(perikanan tanggap,budidaya),mangrove,energy
gelombang,pasang surut,angin dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) dan energy yang
tidak dapat di perbaharui seperti sumber daya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis
mineral.Selain dua jenis sumber daya tersebut,juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan
kelautan seperti pariwisata bahari,industry maritime,jasa angkutan,dan sebagainya.

Jenis ekosistem wilayah pesisir yang secara pernamen ataupun secara berkala tertutupi air dan
terbentuk melalui proses alami antara lain ekosistem terumbu karang, hutan mangrove, padang
lamun, pantai berpasir, pantai berbatu.Pulau-pulau kecil dan laut terbuka,esturia,laguna dan
delta.Sedangkan contoh dari ekosistem pesisir yang hamper tidak pernah tergenang air,namun
terbentuk secara alami adalah formasi pescaprai dan formasi baringtonia disamping ekosistem
yang terbentuk secara alami diatas,pada wilayah pesisir juga di jumpai ekosistem buatan,seperti
tambak,sawah pasang surut,kawasan pariwisata,kawasan industri dan kawasan permukiman.

Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis termasuk tertinggi di


dunia,seluruhnya tercatat 89 jenis,35 jenis berupa pohon,dan sebelihnya berupa terna 5
jenis,perdu 9 jenis,liana 9 jenis,efipit 29 jenis dan parasite 2 jenis.Beberapa jenis pohon yang
dapat di jumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau,api-api,pedada,dan tanjang.

Hutan Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting diwilayah


pesisir dan kelautan.Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota
perairan,tempat pemijahan dan asuhan berbagai biota,penahan abrasi pantai,amukan angina
topan dan tsunami,menyerap limbah,pencegah instrusi air laut dan lain sebagainya,hutan
mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang sangat tinggi,seperti sebagai penyedia
kayu,obat-obatan alat dan teknik penangkapan ikan,pupuk,bahan baku kertas,bahan
makanan,minuman,peralatan rumah tangga,bahan baku tekstil dan kulit,madu,lilin,dan tempat
rekreasi.

Padang lamun adalah tumbuhan berguna yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk
hidup terbenam di dalam laut.Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir sering juga di
jumpai di terumbu karang.Padang lamun ini merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas
organiknya.Padang Lamun di Indonesia terdiri dari 7 marga lamun. 3 marga lamun dari suku

6
hidrocaritaceae yaitu enhauls,thallssia dan halofila dan 4 marga dari suku pomato getonaceae
yaitu halodule,cymolocea,cyrinodium dan thalassodendrom.

2.2 Permasalahan yang Timbul Pada Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Daerah pesisir dan laut merupakan salah satu dari lingkungan perairan yang mudah
terpengaruh dengan adanya buangan limbah dari darat. Wilayah pesisir yang meliputi daratan
dan perairan pesisir sangat penting artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini
bukan hanya merupakan sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan
pertanian, tetapi merupakan pula lokasi bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan
minyak bumi serta pemandangan alam yang indah, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan
manusia, perairan pesisir juga penting artinya sebagai alur pelayaran.

Di daratan pesisir, terutama disekitar muara sungai besar, berkembang pusat-pusat


pemukiman manusia yang disebabkan oleh kesuburan sekitar muara sungai besar dan tersedianya
prasarana angkutan yang relatif mudah dan murah, dan pengembangan industri juga banyak
dilakukan di wilayah pesisir. Lingkungan pesisir terdiri dari bermacam ekosistem yang berbeda
kondisi dan sifatnya. Pada umumnya ekosistem kompleks dan peka terhadap gangguan. Dapat
dikatakan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangannya dimanapun juga di wilayah
pesisir secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi ekosistem di wilayah tersebut.
Rusaknya ekosistem berarti rusak pula sumber daya di dalamnya.

Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumber daya
pesisir dan lautan di Indonesia yaitu: pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi
sumber daya alam, abrasi pantai, konservasi Kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan
lainnya dan bencana alam. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan
laut, khususnya di Indonesia yaitu pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang, pengaruh
kegiatan manusia, dan pencemaran wilayah pesisir.

1. Pemanfaatan ganda
Konsep pemanfaatan ganda perlu memperhatikan keterpaduan dan keserasian
berbagai macam kegiatan. Sementara itu, batas kegiatan perlu ditentukan. Dengan
demikian pertentangan antar kegiatan dalam jangka Panjang dapat dihindari atau
diperkecil. Salah satu contoh penggunaan wilayah untuk pertanian, kehutanan,
perikanan, alur pelayaran, rekreasi, pemukiman, lokasi industry dan juga sebagai
tempat pembuangan sampah dan air limbah.
Pemanfaatan ganda wilayah pesisir yang serasi dapat berjalan untuk jangka
waktu tertentu, kemudian persaingan dan pertentangan mulai timbul dengan
berjalannya waktu, pemanfaatan telah melampaui daya dukung lingkungan. Untuk
beberapa hal, keadaan ini mungkin dapat diatasi dengan teknologi mutakhir. Akan

7
tetapi, perlu di jaga agar cara pemecahan itu tidak mengakibatkan timbulnya dampak
negative atau pertentangan baru.

2. Pemanfaatan tak seimbang


Masalah penting dalam pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir di
Indonesia adalah ketidakseimbangan pemanfaatan sumber daya tersebut, ditinjau dari
sudut penyebarannya dalam tata ruang nasional. Hal ini merupakan akibat dari
ketimpangan pola penyebaran penduduk semula disebabkan oleh perbedaan
keunggulan komparatif (comparative advantages) keadaan sumber daya wilayah
pesisir Indonesia.

3. Pengaruh kegiatan manusia


Pemukiman di sekitar pesisir menghasilkan pola-pola penggunaan lahan dan air
yang khas, yang berkembang sejalan dengan tekanan dan tingkat pemanfaatan, sesuai
dengan keadaan lingkungan wilayah pesisir tertentu. Tekanan penduduk yang besar
sering mengakibatkan rusaknya lingkungan, pencemaran perairan oleh sisa-sisa rumah
tangga, meluasnya proses erosi, Kesehatan masyarakat yang memburuk dan
terganggunya ketertiban dan keamanan umum. Karena itu, perlu diperoleh pengertian
dasar tentang proses perubahan yang terjadi di wilayah pesisir.
Selain bebrapa hal tersebut yang dapat memicu terjadinya kerusakan
lingkungan pesisir juga terdapat factor lain. Kegagalan pengelola SDA dan lingkungan
hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan dasar dari komponen perangkat dan
pelaku pengelolaan.
Pertama akibat adanya kegagalan kebijakan (lag of policy) yang menjadikan
aspek lingkungan hanya menjadi variable minor. Padahal, dunia internasional saat ini
selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti
green product, sanitariy safety, dan sebagainya. Salah satu contoh dari kegagalan
kebijakan tersebut adalah berkenaan dengan kebijakan penambangan pasir laut.
Kedua, adanya kegagalan masyarakat (lag of community) sebagai bagian dari
kegagalan pelaku pengelolaan local akibat adanya beberapa persoalan mendasar yang
menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat terjadi akibat kurangnya
kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak,
disamping kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan
masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan
melindungi lingkungan. Misalnya saja, kegagalan masyarakat melakukan
penanggulangan masalah pencemaran yang diakibatkan oleh kurang perdulinya public
swasta untuk melakukan internalisasi eksternalitas dari kegiatan usahanya. Contoh
kongkrit adalah banyaknya pabrik-pabrik yang membuang limbah yang tidak
diinternalisasi ke DAS yang pasti akan terbuang ke laut.
Ketiga, penanggulangan permasalahan lingkungan lingkungan yang ada masih
bersifat persial dan kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan co-existence
8
antar variable lingkungan yang menuju keharmonisan dan keberlanjutan antar variable
menjadi terabaikan. Misalnya solusi pembuatan tanggul-tanggul penahan abrasi yang
dilakukan di beberapa daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa secara jangka pendek
mungkin dapat menanggulangi permasalahan yang ada, namun secara jangka Panjang
persoalan lain yang mungkin sama atau juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah
lain karena karakteristik wilayah pesisir laut yang bersifat dinamis.

Sumber pencemaran perairan pesisir biasa terdiri dari limbah industry, limbah
cair pemukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater), pelayaran,
pertanian dan perikanan budaya. Bahan pencemar utama yang terkandung dalam
buangan limbah tersebut berupa: sedimen, unsur hara, logam beracun, pestisida,
organisme eksotik, organisme panthogen, sampah dan oxygen depleting substances
(bahan-bahan yang menyebabkan oksigen yang terlarut dalam air laut berkurang.

2.3 Permasalahan Hukum dan Kelembagaan Terkait Pengelolaan Terhadap Wilayah Pesisir Laut
dan Pulau-Pulau Kecil

Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan
secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang besar kepada semua
stakeholder’sterutama masyarakat pesisir. Saat ini terdapat UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1
Tahun 2014, dimana dalam Pasal 1 angka 2 UU tersebut mendefinisikan wilayah pesisir sebagai
daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan
laut. Pasal 2 menyebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan
di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh
12 (dua belas) mil laut di ukur dari garis pantai.

Persoalan mendasar adalah tidak efektifnya pengelolaan sumberdaya pesisir untuk


mengalokasikan dan memanfaatkan sumberdaya secara lestari. Jika kita perhatikan berbagai
permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dapat
disimpulkan beberapa halsebagai berikut:

1.Pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir belum diatur dengan peraturan


perundang-undangan, sehingga daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan sesuatu
kebijakan.

2.Pemanfaatan dan pengelolaan pesisir cendrung bersifat sektoral, sehingga kadangkala


melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu Sama lain.

9
3.Pemanfatan dan pengelolaan pesisir belum memperhatikan konsep daerah pesisir sebagai
suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan,
sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar daerah.

4.Kewenangan daerah dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara


komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan setiap sector timbul
berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan
daerah pesisir.

Saat ini terdapat UU No. 27 Tahun 2007 tentang PengelolaanWilayah Pesisir dan
Pulau-PulauKecil sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, namun dalam
implementasinya masih terdapat kendala misalnya terkait kelembagaan dalam pengelolaan
taman nasionalyang menurut pasal 78A UU No 1 Tahun 2014 sudah mengamanatkan bahwa
kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk suaka alam dan kawasan
pelestarian alam yangberada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam bentuk Taman
Nasional/Taman Nasional Laut, suaka Margasatwa, dlldiserahkan pengelolaannya dari
Kementerian Kehutanan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun dalam prakteknya di
lapangan masih dikelola oleh PHKA (KLHK); adapula konflik antara UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dengan UU No. 27 jo UU No.1 Tahun 2014 terkait Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RZWPPK) dimana dalam Pasal 24 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
menjelaskan bahwa rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3)
huruf b ditetapkan dengan peraturan daerah. Tata ruangwilayah yang dimaksud mencakup ruang
darat, ruang laut, danruang udara, termasuk ruang di dalam bumi. Sementara itu Pasal 9 ayat (5)
UU No. 27 tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil juga ditetapkan melalui Peraturan Daerah. Jangka waktu RTRW ataupun
RZWP-3-K berlaku selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-
kurangnya 5 (lima) tahun sekali, Pasal9 ayat (2) UU No 27 Tahun 2014 mengatur bahwa
RZWP-3-K juga harus diserasikan,diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRW
pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota, hal ini menegaskan bahwa keduanya
seharusnya tidak perlu dibuat dengan dua format hukum yang berbeda (dua Perda). RTRW dan
RZWPPK mengatur hal yang relatif Sama namun pada tataran teknis harus mengeluarkan
duaPeraturan Daerah yang berbeda. Meski tidak menimbulkanpermasalahan hukum, namun
Akan menumbulkan pembebanan anggaran.

Selain itu Pengesahan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang yang
merupakan pengganti dari UU No. 32 Tahun 2004 berdampak terhadap otonomi daerah dalam
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pasal 27 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014
menyebutkan bahwa Daerah Provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya
laut yang ada di wilayahnya. Pasal ini menggugurkan Pasal 18 ayat 1 UU No.32 Tahun 2004,
yang menyebutkan bahwa Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut. Dengan demikian, secara langsung Pasal 27 ayat (1) UU

10
No. 23Tahun 2014 mencabut kewenangan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber daya
laut.

2.4 Pemanfaatan Wilayah Pesisir Dan Pulau Pulau Kecil

Pemanfaatan kawasan (perumahan, industri, perdagangan dan jasa, pariwisata, pelabuhan,


budidaya dan lain-lain) di pesisir pantai untuk suatu aktifitas yang spesifik misalnya rencana
pembangunan kilang minyak di kawasan industri, perlu dikaji kemungkinan dampaknya terhadap
aktifitas lain, lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Masuknya suatu aktifitas baru di dalam
suatu ruang tentunya akan berinteraksi dengan aktifitas yang telah ada dan lingkungannya. Peran
manajemen estuari dan pesisir pantai untuk mengkaji keserasian atau gangguan yang akan
ditimbulkannya sangat diperlukan.

Teknologi pemodelan dapat membantu untuk memberikan masukan rencana desain seperti
apa yang perlu dibuat untuk mengakomodir aktifitas baru tersebut. Desain yang dimaksud adalah
misalnya perencanaan tata letak, manajemen buangan limbah yang telah diolah dan lain
sebagainya. Skenario pemodelan dibangun berdasarkan kemungkinan dampak yang akan
ditimbulkan aktifitas baru ini terhadap aktifitas lain, lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.
Penyesuaian-penyesuaian desain akan dilakukan untuk mengoptimalkan keserasian dan
meminimalkan gangguan atau dampak yang ditimbulkannya.

Modul modul model Hidrodinamika digunakan untuk mensimulasikan sirkulasi arus dan
tinggi muka laut. Modul model Adveksi-Dispersi digunakan untuk mensimulasikan bahan
pencemar terlarut. Sedimentasi dimodelkan dengan modul model Pergerakan Sedimen Dasar dan
Kolom Air dan Pergerakan Partikel. Modul model Morphologi Pantai dan Proses Litoral dan
Dinamika Garis Pantai digunakan untuk mensimulasikan perubahan struktur morphologi dan
garis pantai. Modul Model Analisis tumpahan minyak digunakan khusus untuk mensimulasikan
penyebaran minyak tumpah di perairan pesisir. Modul model Ekosistem digunakan untuk
mensimulasi proses interaksi ekologi berserta parameter yang menyertainya. Modul gelombang
yang digunakan terdiri dari Gelombang Spektral di Perairan Dangkal, Refraksi-difraksi
Gelombang, Gelombang Boussinesq dan Perangkat Analisis Gelombang. Modul model Aliran
sungai digunakan secara khusus di perairan pesisir yang terdapat muara sungai dan Modul GIS
Kelautan digunakan untuk mengintegrasikan hasil simulasi dengan pemetaan rencana tata ruang
berbasis spasial.

2.4.1. Kebijakan Penataan Ruang di wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil memiliki arti strategis dalam membangun bangsa
dan mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini dikarenakan, kekayaan sumberdaya alam yang
terkandung di wilayah ini, baik sumberdaya hayati maupun sumberdaya non hayati (Adrianto,
2015). Namun demikian dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya
pembangunan di wilayah pesisir untuk pemukiman, perikanan, pelabuhan, obyekwisata dan lain-

11
lain juga memberikan tekanan ekologis dan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan
ekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. (Rahmawati, 2004)

Pengelolaan wilayah pesisir dan laut sendiri telah diatur dalam undang-undang 27 tahun
2007 jo undang-undang no 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. Proses pengelolaan terdiri dari kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau-
pulau kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan menjaga keutuhan NKRI serta dilakukan dengan cara mengintegrasikan
kegiatan: antara Pemerintah-Pemerintah Daerah, antar Pemerintah Daerah, antar sektor, antara
Pemerintah,dunia usaha dan masyarakat, antara ekosistem daratan dan lautan; dan antara ilmu
pengetahuan dan manajemen.

Pemanfaatan wilayah pesisir harus sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan baik
oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah daerah berdasarkan kewenangannya. Oleh Undang-
undang 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah telah menjelaskan pembagian kewenangan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut dimana pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengkoordinasikan penggunaan sumber daya pesisir dalam batas 12 mil laut dari
garis pangkal kearah perairan Indonesia. Sedangkan pemerintah pusat memiliki kewenangan
diluar 12 mil laut dan di dalam 12 mil laut yang merupakan kawasan strategis nasional.

Sebagai bentuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut, Pemerintah Provinsi diwajibkan
menyusun dokumen Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang
mengatur alokasi ruang dan pemanfaatan ruang di wilayah laut dan ditetapkan melalui perda.
Dokumen RZWP3K ini merupakan amanah dari undang-undang 27 tahun 2007 dan setara
kedudukannya dengan dokumen RTRW di darat yang merupakan amanah undang-undang 26
tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Untuk memastikan kegiatan pembangunan tersebut sesuai
dengan perencanaan maka setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian
Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin
Lokasi Perairan yang mana izin lokasi ini menjadi dasar pemberian izin pengelolaan (UU no 1
tahun 2014 pasal 16).

2.4.2. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pemanfatan Ruang Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil

Pemanfaatan wilayah pesisir dari kegiatan pembangunan baik dalam bentuk usaha dan /
atau kegiatan pada dasarnya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan pesisir itu sendiri.
Oleh karena itu, penerapan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam proses
pelaksanaan pembangunan sangat penting dijadikan landasan utama pembangunan wilayah
pesisir. Untuk itu, telah diatur dalam peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor 24 tahun
2019 tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Perairan Dan Izin Pengelolaan Perairan Di
Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, dimana setiap orang yang akan melakukan pemanfaatan

12
ruang di wilayah pesisir harus memiliki izin lokasi perairan. Izin ini merupakan dasar pemberian
izin pengelolaan perairan dan atau izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik
yang menggunakan Perairan Pesisir secara menetap (pasal 5). Tidak hanya itu, selain izin lokasi,
kesesuaian dengan dokumen RZKSN dan RZWP3K (pasal 6) dan izin lingkungan (pasal 26 ayat
5) menjadi syarat dalam penerbitan izin pengelolaan perairan ini.

Oleh karena itu, dalam pemanfaatan wilayah pesisir, izin lingkungan menjadi penting
sebagai instrument yang memastikan penerapan prinsip keberlanjutan dan berwawasan
lingkungan menjadi koridor pembangunan. Izin Lingkungan adalah Izin yang diberikan kepada
setiap orang yang melakukan usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam
rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin
Usaha dan/atau Kegiatan (UU No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan).
Sehingga setiap orang yang akan mengajukan izin berusaha yang memanfaatkan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil dan termasuk dalam kegiatan yang wajib Amdal dan atau UKL-UPL harus
mengikuti mekanisme penerbitan izin lingkungan.

2.4.3. Penyesuiaan kebijakan pasca terbitnya UU no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Tanggal 2 november 2020 secara remsi UU cipta kerja ini disahkan dan diundangkan.
Beberapa UU sektoral pun mengalami penyesuaian baik itu merubah, menghapus, dan/atau
menetapkan pengaturan baru. Salah satu yang dilakukan penyesuaian yaitu Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2OO7 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penyesuaian ini untuk mendukung
penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha kaitannya dengan kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang.

Diantara penyesuaian tersebut antara lain terkait dokumen Perencanaan Pengelolaan yang
dulunya terdiri dari dokumen rencana strategis (RSWP3K), rencana zonasi (RZWP3K), rencana
pengelolan (RPWP3K) dan rencana aksi (RAPWP3K) dihapus dan dilakukan perubahan yaitu
dokumen perencanaan pengelolaan terdiri dari Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
kecil (RZWP3K), Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZKSN) dan Rencana Zonasi
Kawasan Strategis Nasional Tertentu (RZKSNT). Batas wilayah perencanaan RZWP3K,
RZKSN dan RZKSNT ditetapkan oleh pemerintah pusat dan Kemudian untuk dokumen
RZWP3K ini diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi. Dalam
hal ini, penerbitan izin berusaha di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih menjadi
kewenangan Pemerintah Provinsi sesuai batas wilayah kewenangan. Namun, secara teknis tetap
berkoordinasi dengan Pemerintah pusat dalam prosesnya.

Penyesuaian lainnya adalah penghapusan tentang izin lokasi perairan dan izin pengelolaan,
sehingga setiap kegiatan atau setiap orang yang akan melakukan pemanfaatan ruang di Perairan

13
Pesisir cukup menajukan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut dari pemerintah pusat
dan wajib dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang dan atau rencana zonasi. Perizinan
Berusaha terkait pemanfaatan di laut yang sebelumnya tidak dapat diberikan pada zona inti di
kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum, diubah menjadi hanya
tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi saja.

Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dan masih ada beberapa pasal lagi yang dilakukan
penyesuaian yang tidak sempat dijelaskan oleh kami dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
pasal 18 UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Potensi Sumber daya wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil Sumber daya pesisir laut
dan pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia sangat berguna beragam baik jenis maupun
potensinya.Potensi sumber daya tersebut ada yang dapat di perbaharui seperti sumber daya
perikanan(perikanan tanggap,budidaya),mangrove,energy gelombang,pasang surut,angin dan
OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) dan energy yang tidak dapat di perbaharui seperti
sumber daya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral.Selain dua jenis sumber daya
tersebut,juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata
bahari,industry maritime,jasa angkutan,dan sebagainya.

Jenis ekosistem wilayah pesisir yang secara pernamen ataupun secara berkala tertutupi air
dan terbentuk melalui proses alami antara lain ekosistem terumbu karang, hutan mangrove,
padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu.Pulau-pulau kecil dan laut terbuka,esturia,laguna
dan delta.Sedangkan contoh dari ekosistem pesisir yang hamper tidak pernah tergenang
air,namun terbentuk secara alami adalah formasi pescaprai dan formasi baringtonia disamping
ekosistem yang terbentuk secara alami diatas,pada wilayah pesisir juga di jumpai ekosistem
buatan,seperti tambak,sawah pasang surut,kawasan pariwisata,kawasan industri dan kawasan
permukiman.

Permasalahan yang Timbul Pada Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Daerah pesisir
dan laut merupakan salah satu dari lingkungan perairan yang mudah terpengaruh dengan adanya
buangan limbah dari darat.

Wilayah ini bukan hanya merupakan sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan
perikanan dan pertanian, tetapi merupakan pula lokasi bermacam sumber daya alam, seperti
mineral, gas dan minyak bumi serta pemandangan alam yang indah, yang dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan manusia, perairan pesisir juga penting artinya sebagai alur pelayaran. Di
daratan pesisir, terutama disekitar muara sungai besar, berkembang pusat-pusat pemukiman
manusia yang disebabkan oleh kesuburan sekitar muara sungai besar dan tersedianya prasarana
angkutan yang relatif mudah dan murah, dan pengembangan industri juga banyak dilakukan di
wilayah pesisir.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, khususnya di
Indonesia yaitu pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang, pengaruh kegiatan manusia, dan
pencemaran wilayah pesisir.

15
Pengaruh kegiatan manusia Pemukiman di sekitar pesisir menghasilkan pola-pola
penggunaan lahan dan air yang khas, yang berkembang sejalan dengan tekanan dan tingkat
pemanfaatan, sesuai dengan keadaan lingkungan wilayah pesisir tertentu.

Permasalahan Hukum dan Kelembagaan Terkait Pengelolaan Terhadap Wilayah Pesisir


Laut dan Pulau-Pulau Kecil Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut,
pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang
besar kepada semua stakeholder’sterutama masyarakat pesisir.

Pasal 2 menyebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan
di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh
12 (dua belas) mil laut di ukur dari garis pantai. Jika kita perhatikan berbagai permasalahan
yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dapat disimpulkan
beberapa halsebagai berikut: 1.Pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir belum diatur
dengan peraturan perundang-undangan, sehingga daerah mengalami kesulitan dalam
menetapkan sesuatu kebijakan.

1 Tahun 2014, namun dalam implementasinya masih terdapat kendala misalnya


terkait kelembagaan dalam pengelolaan taman nasionalyang menurut pasal 78A UU No 1
Tahun 2014 sudah mengamanatkan bahwa kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil termasuk suaka alam dan kawasan pelestarian alam yangberada di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil dalam bentuk Taman Nasional/Taman Nasional Laut, suaka
Margasatwa, dlldiserahkan pengelolaannya dari Kementerian Kehutanan ke Kementerian
Kelautan dan Perikanan, namun dalam prakteknya di lapangan masih dikelola oleh PHKA
(KLHK); adapula konflik antara UU No.

Pemanfaatan Wilayah Pesisir Dan Pulau Pulau Kecil Pemanfaatan kawasan (perumahan,
industri, perdagangan dan jasa, pariwisata, pelabuhan, budidaya dan lain-lain) di pesisir pantai
untuk suatu aktifitas yang spesifik misalnya rencana pembangunan kilang minyak di kawasan
industri, perlu dikaji kemungkinan dampaknya terhadap aktifitas lain, lingkungan dan
masyarakat di sekitarnya.

3.2 SARAN
 Perlu adanya kajian yang lebih detail, terkait dengan penyusupanan dan
penerapan aturan zonasi di wilayah pesisir di wilayah yang memiliki
perkembangan kegiatan budidaya, khususnya di wilayah pemukiman pesisir
 Perlu adanya promosi yg lebih jelas terhadap masyarakat pesisir agar lebih
memahami pemanfaatan laut dengan benar.

16
DAFTAR PUSTAKA

Wardana, D. J. (2019). POLITIK HUKUM PENGATURAN KEWENANGAN


PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL OLEH
PEMERINTAH DAERAH DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA. Jurnal Justiciabelen, 1(2), 208-218.

http://www.zonabmi.org/produk/jasa-studi-dan-kajian/manajemen-estuari-dan-
pesisir-pantai/pemanfaatan-kawasan-pesisir-pantai

https://kkp.go.id/djprl/lpsplsorong/artikel/25912-kebijakan-pemanfaatan-
wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil-kaitannya-dengan-pengelolaan-
lingkungan-hidup

https://www.academia.edu/39327110/PENGEMBANGAN_WILAYAH_PESIS
IR_DAN_PULAU_PULAU_KECIL

17

Anda mungkin juga menyukai