Disusun Oleh :
Dosen Pengampu :
Ahmad Ismail Guntur, S.Sos, MA
FAKULTAS TEKNIIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa,
karena pada akhirnya makalah yang kami susun dalam rangka memenuhi
tugas mata kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim yang berjudul “Sumber
Daya Laut Melimpah VS Nelayan Miskin ” telah penulis selesaikan.
Dalam makalah ini kami mengacu pada beberapa sumber bacaan dan
akses internet. Tulisan ini sebagian besar hanyalah kutipan-kutipan dari
beberapa sumber serta beberapa ulasan pribadi dari penulis. Penyusunan
laporan ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dan peran dari
beberapa pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih banyak
kepada :
1. Bapak Ahmad Ismail Guntur, S.Sos, MA selaku Dosen Mata Kuliah
Wawasan Sosial Budaya Maritim pada Program Studi S1 Teknik
Perencanaan Wilayah dan Kota.
2. Teman-teman pada Program Studi S1 Teknik Perencanaan Wilyah
dan Kota yang memberikan beberapa masukan-masukan dalam
penyusunan makalah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan karya tulis
ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari masih banyak kekurangan baik
dari segi penyusunan maupun cara penulisan. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan ini sangat kami
harapkan. Namun, kami juga berharap dari laporan ini kami dapat menambah
wawasan untuk teman-teman dan pihak lainnya.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................ii
BAB I PENDAHULAN...........................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................3
BAB II PENUTUP..................................................................................11
3.1 Kesimpulan...........................................................................11
3.2 Saran....................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
iii
2. Apa Regulasi dan Kebijakan yang mengatur mengenai Nelayan
Indonesia?
3. Faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan meskipun Sumber Daya Laut
Melimpah?
4. Bagaimana Kebijakan Pemrintah dalam Menanggapi Kemiskinan
Nelayan di Negara Maritim?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan makalah ini dibuat diantaranya:
1. Untuk Mengetahui Identifikasi Indonesia sebagai Negara Maritim
2. Untuk Mengetahui Regulasi dan Kebijakan yang mengatur mengenai
Nelayan Indonesia
3. Untuk Mengetahui Faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan meskipun
Sumber Daya Laut Melimpah
4. Untuk Mengetahui Kebijakan Pemrintah dalam Menanggapi Kemiskinan
Nelayan di Negara Maritim.
iv
BAB II
PEMBAHASAN
v
nilai tersebut naik 10.1% dari hasil ekspor tahun 2018. Hasil laut seperti udang,
tuna, cumi-cumi, gurita, rajungan serta rumput laut merupakan komoditas yang
dicari. Banyaknya hasil produksi perikanan di Indonesia perlu dipertahankan
dan dijaga. Tanpa pengelolaan dan pengawasan yang baik, perikanan di
Indonesia rentan terjadi pelanggaran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor hasil
perikanan Indonesia pada Maret 2020 mencapai USD427,71 Juta atau
meningkat 6,34 persen dibanding ekspor Februari 2020. Bahkan, bila
dibandingkan dengan Maret 2019, terjadi peningkatan 3,92 persen. Sementara
dari segi volume, pada Maret 2020, ekspor hasil perikanan Indonesia mencapai
105.200 ton atau meningkat 15,37% dibanding Februari 2020. Sementara jika
dibandingkan Maret 2019, terjadi peningkatan 4,89%.
Sebagai negara bahari dan kepulauan di dunia, Indonesia memiliki
kekayaan sember daya alam (natural resource endmen) di sektor kelautan dan
perikanan melimpah. Sayangnya potensi sumber daya laut yang luasnya
mencapai 70% (5,8 juta km persegi) luas teritorialnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan sumber daya darat (kehutanan) yang luasnya hanya 1,31
juta km persegi, belum dimanfaatkan secara optimal. Tidak hanya kaya
berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Laut Indonesia juga bersumber
mineral dan energi terbarukan. Lebih ironis, nelayan dan masyarakat pesisir,
adalah yang termiskin dalam strata sosial ekonomi masyarakat Indonesia.
Fakta ini menguatkan sinyalemen bahwa pembangunan Indonesia masih
berorientasi di darat.
2.2 Regulasi
Undang-Undang Perikanan, mengatur dan membedakan pengertian
nelayan menjadi dua yaitu nelayan dan nelayan kecil. Pasal 1 angka 10:
nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan
ikan, sedangkan pada pasal 1 angka 11: nelayan kecil adalah orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5
Gross Ton (GT).
vi
Ekspektasi bahwa seharusnya sumber daya alam pada bidang perikanan
dapat dijadikan sebagai salah satu sumber yang penting bagi hajat hidup orang
banyak dan juga memiliki potensi untuk dapat dijadikan sebagai penggerak
utama (prime mover) bagi perekonomian nasional. Hal ini berdasarkan kepada
kenyataan bahwa (Ramlan dan Erwinsyahbana, 2017):
1. Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang besar baik ditinjau dari
kuantitas maupun diversitasnya
2. industrI pada bidang sector perikanan memiliki keterkaitan dengan
sektor-sektor lainnya
3. industrI perikanan berbasis sumber daya nasional atau dikenal dengan
istilah national resources based industries
4. Indonesia memiliki keunggulan (comparative advantage) yang tinggi
pada sector perikanan sebagaimana dicerminkan dari potensi sumber
daya alam yang ada.
Namun, fakta bahwa turunnya jumlah rumah tangga nelayan, menjadi
pertanyaan yang mendasar apakah kesejahteraan nelayan di Indonesia telah
terjamin. Sehingga nelayan-nelayan yang dulunya menjadi profesi yang utama
menjadi beralih pada profesi yang lain. Salah satu faktor yang dapat menunjang
kesejahteraan nelayan adalah wadah hukum yang bertujuan untuk melindungi
dan memberdayakan nelayan. Pada dasarnya, ada empat payung hukum bagi
nelayan di Indonesia yaitu:
1. UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam
2. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan perubahannya UU No.
45 Tahun 2009 (UU Perikanan)
3. UU No. 32 Tahun 2014 tentang kelautan
4. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dan perubahannya UU No. 1 Tahun 2014
UU No. 7 Tahun 2016 berfungsi sebagai payung hukum utama untuk
mewujudkan kesejahteran nelayan. UU No. 7 Tahun 2016 mengatur mengenai
perlindungan dan pemberdayaan nelayan dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, pendanaan dan pembiayaan, dan pengawasan disertai dengan
vii
sanksi pidana. Perlindungan bertujuan untuk membantu nelayan menghadapi
kesulitan berkaitan dengan usaha perikanan. Sementara pemberdayaan
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan nelayan dalam melaksanakan
usaha perikanan. Masyarakat juga diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, pendanaan dan pembiayaan, serta pengawasan.
Ketika berbicara tentang nelayan, tentunya tidak terlepas dengan isu
perikanan. Terwujudnya perikanan yang berkelanjutan tentunya akan
meningkatkan taraf hidup nelayan. Perlindungan hukum bagi nelayan dalam
konteks perikanan tercermin dalam UU Kelautan dan UU Perikanan. UU
Kelautan mengatur tentang perlunya perluasan kesempatan kerja dalam
industri perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Sebagai
kelompok yang paling rentan, nelayan kecil dan nelayan tradisional
membutuhkan perhatian khusus dan perlindungan hukum lebih. Hal ini telah
diakomodir dalam UU Perikanan dimana nelayan kecil diberikan kebebasan
untuk tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), tidak
dikenakan pungutan perikanan, dan adanya kewajiban pemerintah untuk
memberdayakan nelayan kecil dalam bentuk skim kredit, pendidikan, pelatihan,
penyuluhan, dan penumbuhkembangan. Akan tetapi, UU Perikanan tidak
mengatur terkait nelayan tradisional sehingga ketiga bentuk perlindungan
hukum tersebut tidak berlaku bagi nelayan tradisional. Perlindungan hukum
terhadap nelayan tradisional terdapat di UU No. 1 Tahun 2014.
viii
garis kemiskinan (Kompas.com, 2019). Masyarakat nelayan yang sumber
pendapatannya berbasis perairan merupakan bagian integral dari bangsa ini
yang dapat menjadi ujung tombak pemberdayaan sumber daya sub sektor
perairan dan kelautan dalam mengisi pembangunan ekonomi nusantara. Peran
sebagai ujung tombak dalam mengisi pembangunan tersebut hanya dapat
terwujud jika peranannya diberdayakan, diakui, dilindungi, dan ada jaminan
kepastian hukum yang berpihak kepada mereka yang sumber utama
penghidupannya dari perairan.
Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan bukanlah suatu independen,
melainkan akibat kebijakan masa lalu yang terlalu terkonsentrasi pada
pembangunan wilayah darat (maritime orientation) sehingga menjadikan
kelautan dan perikanan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector). Penyebab
kemiskinan nelayan di Indonesia sangatlah komplek, penyebab individual,
keluarga, subbudaya, agensi maupun struktural saling berkaitan. Sebab-sebab
pokok yang menimbulkan kemiskinan pada nelayan adalah :
1. Ketergantungan terhadap musim sangat tinggi yang tidak
menguntungkan nelayan secara riil rata-rata pendapatan perbulan
semakin kecil.
2. Kemampuan modal yang lemah, disebabkan rendahnya tingkat
pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga berdampak negatif
terhadap upaya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas
mereka.
3. Permainan harga jual ikan
4. Terbatasnya daya serap industri pengelolaan ikan
5. Kekuatan canggih armada tangkap nelayan asing yang menangkap
ikan secara ilegal
6. Terbatasnya penguasaan pengetahuan dan teknologi pengelolaan hasil
tangkap
7. Belum adanya kebijakan pemerintah yang berpihak kepada mereka
dalam daya saing antara nelayan kecil dan tradisional hingga hari ini
ix
8. Terjadinya pelanggaran hukum regulasi perikanan dan sumber daya
laut yang secara langsung merugikan nelayan. Berikut ini adalah
penyebab pelanggaran hukum perikanan :
a) Kurangnya fasilitas, infrastruktur dan biaya operasional penyidik
perikanan dalam menangani kasus-kasus penangkapan ikan
ilegal.
b) Tidak adanya dermaga yang disediakan khusus untuk tambatan
Kapal Penangkap Ikan yang ditangkap asing, sehingga
ditempatkan di dermaga Pendaratan Ikan (PPI) yang ada yang
memengaruhi aktivitas rutin pangkalan / dermaga.
c) Tidak tersedianya tempat khusus untuk menampung Anak-anak
Buah Kapal non- Yustisia sambil menunggu deportasi, sehingga
mereka ditempatkan di lokasi terbuka dan kondisi ini dapat
menyebabkan penerbangan mereka karena kesulitan
pengawasan.
d) Lamanya masa penahanan Anak-anak di Kapal-Kapal Asing
menimbulkan masalah sosial di antara penduduk dan petugas
setempat, seperti kekhawatiran tentang wabah penyakit
berbahaya yang dapat mereka tular
e) Daerah tidak memiliki cukup dana untuk biaya penjatahan selama
penahanan dan tidak memiliki biaya untuk mendeportasi orang
asing ke negara asal mereka.
f) Implementasi Deportasi Kapal Buah warga negara asing sampai
saat ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Kantor Imigrasi
sebagai lembaga yang berwenang, sehingga menjadi tanggung
jawab lembaga yang menangani kasus ini.
x
memang ada pengabaian baik oleh pemerintah maupun industri yang
melakukan percemaran di laut. Kedua ada yang disebut dengan praktek
pengusiran. Ini jelas sekali dilihat di kawasan industri pariwisata dimana
nelayan-nelayan tidak boleh menangkap ikan dengan alasan wilayah
pariwisata. Nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber
daya perikanan dengan perlengkapan tangkap tradisional, modal usaha yang
kecil dan organisasi penangkapan yang relativ sederhana. Kehidupan sehari-
hari mereka lebih beriorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri, hasil yang
dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari,
khususnya pangan dan bukan diinvestasikan kembali untuk mengembangkan
skala usaha.
Sesungguhnya terdapat dua dimensi kemiskinan (Prayitno dan Budi
Santoso, 1996) yaitu :
1. Kemiskinan multidimensional, berupa miskin akan aset-aset,
pengetahuan/keterampilan, tidak memiliki sumber dana dan akses
informasi. Kemiskinan ini memanifestasikan diri dalam bentuk kurang
gizi, air dan perumahan yang tidak sehat, perawatan kesehatan yang
kurang baik serta pendidikan yang sangat rendah
2. Aspek kemiskinan yang muncul dari faktor manusianya, baik secara
individu dan kolektif. Kedua jenis kemiskinan tersebut tampaknya yang
dialami nelayan hingga saat ini karena kemiskinan nelayan Indonesia
sangat dipengaruhi perlakuan pengelolaan resource yang
menempatkan sektor perikanan/kelautan nelayan sebagai areal
pengurasan (massive backwash) dari sektor lain atau penduduk lainnya
yang tidak berdomisili di kawasan pesisir/pantai, karena faktor
penguratan wilayah/pesisir inilah yang menyebabkan wilayah fisik
nelayan selamanya kumuh dan pemukiman penduduknya juga sangat
tidak memenuhi standar kualitas hidup yang sehat.
3. Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Kemiskinan pada Masyarakat
Nelayan, Program pemerintah yang sedang berjalan yaitu kebijakan
pro-poor yang tentunya juga diarahkan pada perbaikan hidup nelayan
dan keluarganya, pemerintah mengklaim jumlah penduduk miskin di
xi
negeri ini mencapai 25,95 juta orang atau 9,82% dari jumlah penduduk
keseluruhan.
Terdapat 4 juta kepala keluarga masyarakat pesisir yang bermukim di
8.090 desa, ternyata 32 % hidup dengan pendapatan kurang dari Rp 300 ribu
per bulan atau tergolong miskin. Meski disadari bahwa permasalahan nelayan
dan kemiskinan bukanlah terjadi hanya di negara berkembang. Di negara maju
sekalipun, kemiskinan nelayan akan timbul manakala terjadi kesalahan
manajemen pengelolaan sumber daya perikanan.
Tugas negara dan pemerintah pada masa sekarang dan masa mendatang
adalah merajut kembali secara intensif pola-pola hubungan fungsional dengan
nelayan, sehingga kebijakan-kebijakan pembangunan memperoleh respon
positif dan tanggung jawab dari masyarakat nelayan. Upaya demikian bisa
ditempuh dengan jalan:
a) merumuskan kebijakan-kebijakn pembangunan, khususnya pemerintah
daerah, yang lebih peduli dan memihak kepentingan masyarakat
nelayan serta,
b) merevitalisasi posisi dan peranan PPL perikanan di desa-desa nelayan
agar mereka lebih berdaya guna dan berwawasan luas untuk meretas
jalan pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan secara
terpadu dan berkelanjutan. Para PPL/PTL perikanan ini merupakan
develoment broker yang bertugas menjadi jembatan kepentingan
antara negara dan masyarakat nelayan dalam pembangunan
masyarakat pesisir.
xii
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia adalah negara kepulauan berbentuk maritim (negara
kepulauan) yang membentang sekitar 5 ribu kilometer di sepanjang garis
khatulistiwa. Ekspektasi bahwa seharusnya sumber daya alam pada bidang
perikanan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber yang penting bagi hajat
hidup orang banyak dan juga memiliki potensi untuk dapat dijadikan sebagai
penggerak utama (prime mover) bagi perekonomian nasional. Namun, fakta
bahwa turunnya jumlah rumah tangga nelayan, menjadi pertanyaan yang
mendasar apakah kesejahteraan nelayan di Indonesia telah terjamin. Sehingga
nelayan-nelayan yang dulunya menjadi profesi yang utama menjadi beralih
pada profesi yang lain. Tugas negara dan pemerintah pada masa sekarang dan
masa mendatang adalah merajut kembali secara intensif pola-pola hubungan
fungsional dengan nelayan, sehingga kebijakan-kebijakan pembangunan
memperoleh respon positif dan tanggung jawab dari masyarakat nelayan.
3.2 Saran
Adapun saran untuk kedapannya adalah:
1) Pemerintah berkewajiban mendorong secara bertahap format kebijakan
pembangunan nasional pada masa mendatang untuk lebih berorientasi
pada pengembangan sektor kemaritiman nasional karena memiliki
keunggulan kompetitif dan komperatif dengan sumber daya yang lain.
Dalam hal ini DKP dapat mengambil peranan utama.
2) Perlu koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi program pembangunan antar
unit kerja di internal instansi departemental, lintas departemental, atau
antar pelaku pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan.
Hal ini dapat meminimalisir ego sektoral atau ego instantional/
departemental, sehingga proses pembangunan berjalan efektif dan
optimal.
xiii
3) Mendorong pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota pantai)
merumuskan cetak biru (blue print) kebijakan pembangunan kawasan
pesisir dan masyarakat secara terpadu dan berkesinambungan
xiv
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Z., & Wahyuni, W. (2019). Miskin Di Laut Yang Kaya: Nelayan
Indonesia
Dan Kemiskinan. Sosioreligius, 4(1).
Ilyasa, F., Zid, M., & Miarsyah, M. (2020). Pengaruh Eksploitasi Sumber Daya
Alam Perairan Terhadap Kemiskinan Pada Masyarakat Nelayan. Jurnal
Ilmiah Pendidikan Lingkungan dan Pembangunan, 21(01), 43-58.
Jawa Pos. (2020, 2 Juli). Bamsoet: Ini Paradoks, Sumberdaya Alam Melimpah
Tapi Nelayan Miskin. Diakses pada 16 Mei 2021 dari
https://www.jawapos.com/nasional/02/07/2020/bamsoet-ini-paradoks
sumberdaya-alam-melimpah-tapi-nelayan-miskin/.
xv
xvi