OLEH :
DOSEN PENGAMPU:
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas
Pengantar Ilmu Perikanan tentang “Manajemen Sumberdaya Perairan”. Tugas ini
mambahas tentang sumber daya perairan, kesesuaian habitat, pecegahan kesuburan perairan,
perbaikan habitat, serta konservasi sumber daya perairan pada wilayah peisisir pantai dan
wilayah teluk. sistem informasi geografis yang semakin berkembang pada saat ini dan
peranannya terutama dalam bidang perairan, perikanan dan kelautan.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Edison Harteman sebagai dosen
pengasuh mata kuliah Pengantar Ilmu Perikanan yang telah memberikan bimbingan dalam
penyusunan tugas ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
memberikan dukungan kepada penyusun. Demikianlah yang dapat penyusun sampaikan.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Hormat Saya
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................I
DAFTAR ISI..................................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................5
C. Tujuan...................................................................................................................5
D. Manfaat.................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................6
A. Kesimpulan............................................................................................................19
B. Saran......................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................20
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai perairan laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari perairan
kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) seluas 2,7 juta km2 dengan potensi lestari sumber daya ikan sebesar 6.11 juta ton per
tahun (Boer, etc, 2001).
Wilayah pesisir, adalah dimana daratan bertemu dengan lautan dan air tawar bertemu
dengan air asin. Wilayah ini merupakan system ekologi yang paling produktif secara
beragam dan serta nmemiliki kompleksitas yang tinggi. Zona ini berperan sebagai
penyangga, pelindung dan penyaring diantara daratan dan lautan. Sebagai daerah peralihan;
perairan pantai mempunyai kekayaan organisme yang relatif tinggi, sehingga sangat potensial
untuk dijaga agar kondisinya tetap dalam keadaan baik.
Pantai merupakan salah satu kawasan hunian atau tempat tinggal paling penting di
dunia bagi manusia dengan segala macam aktifitasnya. Awal tahun 1990 diperkirakan 50 %
sampai 70 % penduduk di dunia tinggal di daerah pantai. Bila pada saat itu penduduk di
dunia berjumlah kurang lebih 5,3 milyar maka 2,65 sampai 3,7 milyar tinggal di pantai
(Edgren, 1993).
Kondisi suatu perairan pantai maupun teluk dapat di ukur dengan berbagai metode dan
berbagai sudut pandang. Pendugaan kondisi perairan dapat dilakukan berdasarkan sifat fisika-
kimia air maupun berdasarkan data biotik penghuni perairan tersebut. Sifat-sifat ini akan
saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain secara kompleks;
sehingga kondisi fisik dan/atau kimiawi akan mempengaruhi kondisi biotik; demikian juga
sebaliknya, bahwa kondisi biotik juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan/atau kimiawi
suatu perairan.
Pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat, mengharapkan kesesuaian yang cocok
untuk setiap tujuan penggunaan sumberdaya tersebut. karena itu, pengemasan dan pengaturan
perlu dilakukan (Zonneveld et al, 1991).
B. RUMUSAN MASALAH
B. TUJUAN
teluk
D. MANFAAT
Dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi akademisi di bidang manajemen sumber
Sumber daya alam pesisir dewasa ini sudah semakin disadari banyak orang bahwa
sumber daya ini merupakan suatu potensi yang cukup menjanjikan dalam mendukung tingkat
perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Di sisi lain, konsekuensi logis dari sumber
daya pesisir sebagai sumber daya milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum
(open acces) maka pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dewasa ini semakin meningkat di
hampir semua wilayah. Pemanfaatan yang demikian cenderung melebih daya dukung sumber
daya (over eksploitatiton).
Wilayah pesisir dalam geografi dunia merupakan tempat yang sangat unik, karena di
tempat ini air tawar dan air asin bercampur dan menjadikan wilayah ini sangat produktif serta
kaya akan ekosistem yang memiliki keaneka ragaman lingkungan laut. Pesisir tidak sama
dengan pantai, karena pantai merupakan bagian dari pesisir.
Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif di
perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang dinamik dan unik, karena pada
mintakat ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu yang berasal daratan, perairan laut dan
udara. Menurut kesepakatan bersama dunia internasional, pantai diartikan sebagai suatu
wilayah peralihan antara daratan dan lautan, apabila ditinjau dari garis pantai maka suatu
wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu batas sejajar garis pantai (longshore), dan
batas tegak lurus pantai (crossshore), (Supriharyono, 2000 ).
Sebagai tempat yang strategis pantai dimanfaatkan untuk berbagai hal berupa
eksploitasi sumber daya perikanan, kehutanan, minyak, gas, tambang dan air tanah dan lain-
lain. Pantai sebagai daerah wisata, konservasi dan proteksi biodiversity. Pantai digunakan pula
sebagai tempat perkembangan dan peningkatan infrastruktur antara lain berupa transportasi,
pelabuhan, bandara yang kesemuanya untuk memenuhi peningkatan penduduk
Teluk merupakan salah satu wilayah pesisir yang unik karena kondisinya yang biasanya
semi tertutup sehingga kondisi ini memberi ciri kekhasan tersendiri. Aktifitas di daratan
sangat mempengaruhi kualitas teluk.
Tujuan pengelolaan sumber daya perairan yaitu agar keberadaan sumber daya tet ap
ada meskipun selalu di manfaatkan. Pengelolaan sumber daya perairan dilakukan berdasarkan
azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan
kelestarian yang berkelanjutan.
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman
sumber daya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih.
Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia,
contohnya ekosistem pesisir hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, yang sangat
luas dan beragam.
Jasa-jasa lingkungan
Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai
tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energy , sarana
pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim,
kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya. sumber
energy yang dapt dimanfaatkan antara lain.
OTEC merupakan salah satu bentuk pengalihan energy yang tersimpan dari sifat fisik
laut menjadi energy listrik. Suhu air laut akan menurun sesuai dengan bertambahnya
kedalaman. Perbedaan suhu air di permukaan dengan suhu air di bagian dalam dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik.
1. Energi dari gelombang laut
Gelombang laut sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai energi alternatif di
hampir seluruh wilayah dan lautan dunia.
2. Energi pasang surut
Pasang surut dapat dikonversi menjadi energi listrik , terutama pada daerah teluk yang
memiliki amplitudo pasang surut 5 sampai 15 m.
C. KESESUAIAN HABITAT
Pertumbuhan biota laut di daerah pasang surut sangat tinggi, disebabkan karena daerah
ini merupakan tempat hidup, tempat berlindung, dan tempat mencari makan. Selain itu,
kondisi lingkungan pada daerah ini sangat menguntungkan bagi pertumbuhan biota laut
karena adanya dukungan dari faktor fisika, kimia, dan biologis laut. Soemodhiharjo (1990)
mengungkapkan bahwa faktor fisik-kimia laut meliputi salinitas, pH, arus, suhu, dan
kecerahan yang selalu berubah-ubah sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme di
daerah pasang surut.
Adapun kesuburan suatu perairan ditentukan oleh kondisi biologi, fisika dan kimia
yang nantinya akan berpengaruh pada kegunaannya. Bentuk interaksi dari sifat – sifat dan
perilaku kondisi biologi, fisika dan kimia perairan akan ditentukan melalui parameter –
parameter yang saling mempengaruhi. Produksi awal yang dihasilkan dari interaksi ketiga
parameter tersebut salah satunya adalah Produktifitas Primer.
Kesuburan suatu perairan pada dasarnya akan mencerminkan tinggi rendahnya
produktivitas perairan setempat. Produktivitas primer suatu perairan sangat tergantung pada
kemampuan perairan tersebut dalam mensitesis bahan organik menjadi bahan organik melalui
proses fotosintesis. Dalam hal ini peranan organisme yang mengandung klorofil sangat besar.
Sebagaimana diketahui bahwa fitoplankton merupakan organisme yang mengandung klorofil-
a dengan group terbesar di lautan dan merupakan individu yang penting di laut karena
peranannya sebagai produsen utama (primary producer).
Fitoplankton mempunyai kemampuan menyerap langsung energi matahari untuk proses
fotosintesis yang dapat mengubah zat anorganik menjadi zat organik yang dikenal sebagai
prodiktivitas primer. Klorofil-a merupakan salah satu pigmen yang terkandung dalam
fitoplankton dan merupakan bagian yang terpenting dalam proses fotosintesis.
Klorofil-a sebagian besar dikandung oleh sebagian besar dari jenis fitoplankton yang hidup di
dalam laut (Carolita et. al., 1999).
Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di
dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang
berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Nikolsky (1963)
menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup
yaitu: 1) yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak, 3) cocok
untuk perkembangbiakan dan pemijahan.
Ekosistem perairan pantai dikenal sebagai zona pembiakan, pembesaran dan tempat
mencari makan. Kawasan ini sangat berperan penting dalam kelangsungan hidup berbagai
jenis ikan pada fase larva dan juvenil. Terumbu karang dan mangrove merupakan salah satu
ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan
lautan. Selain sebagai mata rantai makanan di dalam ekosistem terumbu karang, karang juga
menjadi menjadi kerangka terbentuknya terumbu karang sebagai rumah dan tempat tinggal
bagi semua biota asosiasi terumbu karang di sekitarnya, dan sebagai hewan yang
bersimbiosis dengan ganggang monoseluler untuk menghasilkan oksigen terlarut yang
diperlukan bagi biota laut (Gatra, 2006).
Perairan pantai yang terdiri dari daerah pasang surut, estuari, mangrove, padang lamun,
terumbu karang, maupun pantai berpasir merupakan nursery bagi berbagai jenis ikan. Melalui
mekanisme hidro-biologi larva ikan yang dilahirkan di daerah lepas pantai akan menuju
daerah habitat nursery yang kemudian keberhasilan hidupnya akan berpengaruh terhadap
rekrutmen
Salah satu negara yang telah melakukan perlindungan terhadap sebaran larva ikan di
suatu pantai adalah Jepang dengan cara mengidentifikasi pola sebaran larva ikan dan kapan
larva ikan masuk ke pantai sehingga pada saat musim tersebut pantai ditutup untuk umum
agar larva ikan dapat berkembang dengan baik. Sementara itu di Eropa ketika musim
penangkapan, para ilmuwan yang telah mempelajari tentang larva ikan dapat memperkirakan
stok ikan komersial yang ada di perairan tersebut (Najamuddin, 2004)
Larva ikan (ichthyoplankton) merupakan bentuk tahapan siklus hidup ikan yang sangat
rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan ketika kuning telur yang merupakan makanan
utamanya telah habis terserap. Amarullah (2008) menyatakan bahwa bagi berbagai jenis ikan
laut yang memanfaatkan sistem perairan pantai (coastal system) sebagai nursery, migrasi
telur, larva dan stadia awal juvenil dari tempat pemijahan (spawning area) dipengaruhi oleh
kondisi dan perubahan meteorologi perairan. Keberhasilan larva dan awal stadia juvenil ikan
mencapai nursery area akan sangat menentukan dalam tahapan proses rekrutmen stok ikan di
alam. Faktor hidrografi di perairan pantai atau habitat nursery yang
berpengaruh sebagai stimuli tingkah laku imigrasi larva diantaranya adalah aliran pasang
surut (tidal flux) termasuk di dalamnya kecepatan arus, salinitas (terutama perairan estuari),
kekeruhan, komposisi substrat dan juga pengaruh siklus bulan.
Pengelolaan pantai tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap
komunitas organisme laut dapat mengganggu kehidupan biota laut, diantaranya larva. Pada
ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan
mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi juga memiliki fungsi-fungsi ekologis
penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan (spawning ground), tempat
pengasuhan dan tumbuh besar (nursery ground), dan tempat mencari makanan (feeding
ground) bagi biota laut khususnya bagi larva ikan yang bermigrasi ke wilayah pantai dapat
terganggu akibat adanya pergerakan arus ataupun pasang surut yang begitu kuat di wilayah
itu sehingga menimbulkan akibat tersendiri terhadap ekologi daerah pantai tersebut.
Pengetahuan tentang spawning ground larva ikan di laut mempunyai kaitan erat dengan
berbagai segi aplikasi yaitu dapat menduga atau meramalkan musim benih (spatfall),
mengefisienkan pengumpulan benih tersebut, mendukung kemajuan di bidang budidaya,
mengetahui dimana kumpulan larva ikan yang bernilai ekonomis ini berasal dan mencari
makan, serta konservasi lingkungan pantai (Romimohtarto dan Juwana 1998).
E. PERBAIKAN HABITAT
Perbaikan habitat pada sumber daya perairan pesisir pantai dan teluk seperti terumbu
karang, hutan mangrove, atau padang lamun dapat dilakukan untuk memberi kendali terhadap
kerusakan sumber daya.
Perbaikan Terumbu Karang
Terumbu karang memiliki bentuk dan struktur yang membuatnya unik sebagai salah
satu ekosistem yang hidup di dalam laut. Ekosistem terumbu karang disusun oleh karang-
karang dari Kelas Anthozoa, Ordo Scleractinia (Tomascik et al., 1997).
Usaha pemulihan terumbu karang, salah satunya dengan budidaya karang dengan
memanfaatkan metode transplantasi karang menggunakan teknik fragmentasi. Transplantasi
karang pada prinsipnya adalah memotong cabang karang dari karang hidup, lalu ditanam
pada suatu daerah tertentu. Namun pelaksanaan tidak semudah yang dibayangkan, karena
harus pula diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transplantasi. Faktor
yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi karang dengan fragmentasi meliputi ukuran
fragmen, tipe substrat tempat fragmen diletakkan, dan jenis karang (Thamrin, 2006).
Transplantasi karang merupakan salah satu metode budidaya karang dengan memotong
sebagian dari koloni karang tertentu untuk ditanam di tempat yang baru. Berbagai macam
metode transplantasi karang telah dilakukan diantaranya dengan menggunakan substrat beton
hingga metode elektrolisis yang menggunakan aliran listrik. Berbagai macam metode tersebut
dilakukan untuk mendapat metode transplantasi yang paling efektif.
Merujuk pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguan utama dari
aktivitas manusia maka untuk rehabilitasinya dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan:
yakni: 1) rehabilitasi lunak (soft rehabilitation) dan 2) rehabilitasi keras (hard rehabilitation).
1) Rehabilitasi lunak
Rehabilitasi lunak berkenan dengan penanggulangan akar masalah, dengan asumsi jika
akar masalah dapat diatasi, maka alam akan mempunyai kesempatan untuk merehabilitasi
dirinya sendiri secara alami. Rehabilitasi lunak lebih menekankan pada pengendalian perilaku
manusia.
2. Rehabilitasi keras
Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus karena
lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas serta
fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air laut.
Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar-
walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah
pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda
lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove.
Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan
lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika
mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata.
Kawasan perlindungan laut didirikan untuk tujuan skala besar, termasuk melindungi
spesies laut dan habitatnya, menjaga keanekaragaman hayati laut, mengembalikan cadangan
perikanan, mengelola aktivitas pariwisata, dan meminimalkan konflik diantara berbagai
pengguna. Untuk mencapai tujuan ini, sasaran yang spesifik dan terukur harus ditentukan
dalam konteks keluaran dan hasil yang dicari. Pada gilirannya membutuhkan pengembangan
rencana pengelolaan yang ditentukan dengan baik, identifikasi ukuran keberhasilan dari
kawasan perlindungan laut, monitoring dan evaluasi dampak pengelolaan, danpada akhirnya
aktivitas tersebut menjadi masukan ke dalam proses perencanaan untuk memperbaiki tujuan,
rencana dan capaian. Dengan kata lain, kawasan perlindungan laut harus di kelola secara
adaptif.
Indonesia adalah negara kepulauan tersbesar di sunia dengan jumlah pulau sebanyak
17.508 pulau, garis pantai sepanjang 81.000 km, dan luas lautan 5,8 juta km (75% dari total
luas wilayah Indonesia). Di wilayah daratan terdapat perairan umum (sunagi, rawa, danau,
waduk dan genagnangan air lainnya) seluas 54 juta ha atau 0,54 juta km2 (27% dari total
wilayah daratan Indonesia). Dengan demikian, Indonesia adalah sebuah negara yang
dikelilingi oleh air. Sebagai negara bahari atau negara maritim, Indonesia memiliki potensi
pembangunan (ekonomi) kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam. Sedikitnya
terdapat sembilan sektor ekonomi yang dapat dikembangkan guna memajukan dan
memakmurkan Indonesia, yaitu: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri
bioteknologi kelautan, (4) pertambangan dan energi, (5) pariwisata bahari, (6) transportasi
laut, (7) industri dan jasa maritim, (8) pulau-pulau kecil, dan (9) sumber daya
nonkonvensional.
Penangkapan ikan secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan akan ikan akan
mengakibatkan terjadinya ”over fishing” yang berimbas pada penurunan populasi ikan,
sehingga hasil tangkapan ikan akan terus berkurang. Untuk itu pengembangan
budidaya merupakan salah satu strategi yang bisa ditempuh ditempuh dalam pembangunan
perikanan nasional karena perikanan budidaya dapat dijadikan sebagai andalan produksi di
masa depan untuk menggantikan peran perikanan tangkap.
Keanekaragaman hayati yang dimiliki bangsa Indonesia dan ketersediaan teknologi
memungkinkan dihasilkannya berbagai jenis produk hasil laut melalui akuakultur.
Akuakultur bisa diartikan sebagai budi daya jasad perairan, seperti ikan, kekerangan,
krustasea, dan tanaman air. Dalam budi daya tersebut ada intervensi dalam proses
pemeliharaan untuk peningkatan produksi, seperti penebaran, pemberian pakan, dan
pemberantasan hama penyakit.
Marikultur merupakan suatu kegiatan/usaha yang harus dikembangkan karena
beberapa alasan: (a) Tingkat penangkapan biota laut di beberapa daerah penangkapan (fishing
ground) telah mencapai padat tangkap (full fishing), bahkan telah mengalami tangkap lebih
(over fishing), sementara tingkat konsumsi hasil-hasil perikanan terus mengalami
peningkatan; (b) Biota laut yang potensial dibudidayakan adalah komoditas yang bernilai
ekonomi tinggi, baik di pasar domestik maupun pasar ekspor; (c) Adanya kampanye
internasional yang mengimbau kepada konsumen untuk menolak bahan pangan yang dalam
kegiatan produksinya menyebabkan kerusakan lingkungan. Penangkapan intensif yang
menyebabkan tangkap lebih, apalagi dengan menggunakan alat tangkap destruktif termasuk
kegiatan perusakan liongkungan; (d) Terkait dengan tangkap lebih, marikultur dapat menjadi
alternatif bagi peningkatan kesejahteraan nelayan; (e) Marikultur dapat menjadi bagian dari
upaya pemulihan dan peningkatan stock (stock enhancement) biota laut melalui restoking
(restocking).
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kondisi suatu perairan pantai maupun teluk dapat di ukur dengan berbagai metode dan
berbagai sudut pandang. Pendugaan kondisi perairan dapat dilakukan berdasarkan sifat fisika-
kimia air maupun berdasarkan data biotik penghuni perairan tersebut. Sifat-sifat ini akan
saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain secara kompleks;
sehingga kondisi fisik dan/atau kimiawi akan mempengaruhi kondisi biotik; demikian juga
sebaliknya, bahwa kondisi biotik juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan/atau kimiawi
suatu perairan.
Pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat, mengharapkan kesesuaian yang cocok
untuk setiap tujuan penggunaan sumberdaya tersebut. karena itu, pengemasan dan pengaturan
perlu dilakukan. Pengelolaan sumber daya perairan perlu di lakukan demi keberlanjutan
sumber daya dalam jangka yang panjang.
B. Saran
Sumber daya perairan merupakan karunia dari Allah, keberadaanya saat ini semakin
tergradasi akibat dari intervensi alam dan intervensi manusia. Pengelolaan sumber daya
perairan sebuah keharusan demi kepentingan jangka panjang. Semoga karunia itu tetap selalu
ada dan bisa di rasakan generasi yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Amarullah, M.H. 2008. Hidro-Biologi Larva Ikan dalam Proses Rekruitmen (tidak
dipublikasikan) .
Boer, M., K. A. Aziz, J. Widodo, A. Djamali, A. Ghofar dan R. Kurnia. 2001. Potensi,
Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.
Direktorat Riset dan Eksplorasi Sumberdaya Hayati, Direktorat Jenderal Penyerasian
Riset dan Eksplorasi Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan Komisi Nasional
Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut - Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan,
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49p
Carolita, I., B. Hasyim, D. Dirgahayu, S. Irwan, H. Noviar, I.W. Bagja dan Y. Noulita. 1999.
Analisis Kualitas Air di Sekitar perairan Surabaya Menggunakan Data Landsat-TM.
Majalah Lapan Edisi Penginderaan Jauh, 01(01) : 10-19.
Cervetto, G., Mesones, C., Calliari, D. 2002. Phytoplankton Biomass and its Realitionship to
Enviromental Variables in a Disturbed Coastal Area of The Rio De La Plata Uruguay,
before the New Sewage Collector System. Atlantica Rio Grande 24(1) : 45 – 54.
Edgren, G., 1993. Expected Economic and Demographic Development in Coastal World
Wide, National Institute for Coastal and Marine Management, Coastal Zone
Management
Centre, Noordwijk, Netherland.
Ghofar, A., 2004, PengelolaanSumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan,
Cipayung-Bogor.
Gatra Edisi Khusus. No. 08 Tahun XII, Januari 2006. Di Laut Kita Belum Jaya.
Hlm : 72 – 74.
Lee, G. F., and Jones-Lee, A. 2007. Role of Aquatic Plant Nutrients in Causing Sediment
Najamuddin A. 2004. Variasi Ukuran dan Kebiasaan Makan Larva Ikan dan Juvenil Ikan di
Pantai Tanjung Mangkok Kalimantan Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Nikolsky, G. V., 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. London. 352p.
Purwanto, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Direktorat Jendral Perikanan Tangkap,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta
Romomihtarto K, Juwana S. 1999. Plankton Larva Ikan Hewan Laut. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI.
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis, PT. Gramedia, Jakarta.
Soemodhiharjo. 1990. Teluk Ambon. Ambon: Balai Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut (LIPI) Ambon
Oxygen Demand Part II – Sediment Oxygen Demand, Report of G. Fred Lee & Associates,
El Macero, CA, June (2007).
Pauer, J.J., K. Taunt, W. Melendez, R.G. Kreis, and A. Anstead. 2007. Resurrection of the
Lake Michigan eutrophication model, MICH1. J. Great Lakes Res. 33:554-563.
Tomascik, T., A.J. Mah., A. Nontji. and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian
Seas. Periplus Edition. Republic of Singapore. 7: 192 – 221.
Thamrin. 2006. “Karang” Biologi Reproduksi dan Ekologi. Minamandiri Pres, Pekanbaru.
Wood, E. J. F. , W.E. Odum and J. C. Zieman. (1969), Influence of the seagrasses on the
productivity of coastal lagoons, laguna Costeras. Un Simposio Mem. Simp. Intern.
U.N.A.M. - UNESCO, Mexico,D.F., Nov., 1967. pp 495 - 502.
Zonneveld. N., E. A. Huisma dan J. H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Darseno.2010.Buku Pintar Budi Daya dan Bisnis Lele.Jakarta:AgroMedia Pustaka
Swadaya