Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PENGANTAR ILMU PERIKANAN TENTANG

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

OLEH :

DEARNI BINERENI PURBA

CDA 118 019

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Edison Harteman

PRODI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PALANGKARAYA
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya tugas
Pengantar Ilmu Perikanan tentang “Manajemen Sumberdaya Perairan”. Tugas ini
mambahas tentang sumber daya perairan, kesesuaian habitat, pecegahan kesuburan perairan,
perbaikan habitat, serta konservasi sumber daya perairan pada wilayah peisisir pantai dan
wilayah teluk. sistem informasi geografis yang semakin berkembang pada saat ini dan
peranannya terutama dalam bidang perairan, perikanan dan kelautan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Edison Harteman sebagai dosen
pengasuh mata kuliah Pengantar Ilmu Perikanan yang telah memberikan bimbingan dalam
penyusunan tugas ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
memberikan dukungan kepada penyusun. Demikianlah yang dapat penyusun sampaikan.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Hormat Saya

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................I

DAFTAR ISI..................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................5
C. Tujuan...................................................................................................................5
D. Manfaat.................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................6

A. Konsep Manajemen Sumberdaya Perairan............................................................6


B. Potensi Sumberdaya Perairan................................................................................7
C. Kesesuaian Habitat................................................................................................9
D. Pencegahan Penyuburan Perairan(Eutrofikasi).....................................................11
E. Perbaikan Habitat..................................................................................................13
F. Konservasi Sumberdaya Perairan..........................................................................16
G. Prinsip dan Praktik Marikultur dalam Perairan Indonesia....................................17

BAB III. PENUTUP.........................................................................................................19

A. Kesimpulan............................................................................................................19
B. Saran......................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................20
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia mempunyai perairan laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari perairan
kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) seluas 2,7 juta km2 dengan potensi lestari sumber daya ikan sebesar 6.11 juta ton per
tahun (Boer, etc, 2001).
Wilayah pesisir, adalah dimana daratan bertemu dengan lautan dan air tawar bertemu
dengan air asin. Wilayah ini merupakan system ekologi yang paling produktif secara
beragam dan serta nmemiliki kompleksitas yang tinggi. Zona ini berperan sebagai
penyangga, pelindung dan penyaring diantara daratan dan lautan. Sebagai daerah peralihan;
perairan pantai mempunyai kekayaan organisme yang relatif tinggi, sehingga sangat potensial
untuk dijaga agar kondisinya tetap dalam keadaan baik.

Pantai merupakan salah satu kawasan hunian atau tempat tinggal paling penting di
dunia bagi manusia dengan segala macam aktifitasnya. Awal tahun 1990 diperkirakan 50 %
sampai 70 % penduduk di dunia tinggal di daerah pantai. Bila pada saat itu penduduk di
dunia berjumlah kurang lebih 5,3 milyar maka 2,65 sampai 3,7 milyar tinggal di pantai
(Edgren, 1993).

Kondisi suatu perairan pantai maupun teluk dapat di ukur dengan berbagai metode dan
berbagai sudut pandang. Pendugaan kondisi perairan dapat dilakukan berdasarkan sifat fisika-
kimia air maupun berdasarkan data biotik penghuni perairan tersebut. Sifat-sifat ini akan
saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain secara kompleks;
sehingga kondisi fisik dan/atau kimiawi akan mempengaruhi kondisi biotik; demikian juga
sebaliknya, bahwa kondisi biotik juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan/atau kimiawi
suatu perairan.
Pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat, mengharapkan kesesuaian yang cocok
untuk setiap tujuan penggunaan sumberdaya tersebut. karena itu, pengemasan dan pengaturan
perlu dilakukan (Zonneveld et al, 1991).
B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam tulisan ini yaitu:

1. Bagaimana konsep sumber daya perairan?


2. Bagaimana potensi sumber daya perairan pada wilayah pesisir pantai dan teluk?
3. Bagaimana kesesuaian habitat pada wilayah pesisir pantai dan teluk?
4. Bagaimana pencegahan kesuburan perairan (eutrifikasi) pada wilayah pesisir pantai
dan teluk?
5. Bagaimana perbaikan habitat pada wilayah pesisir pantai dan teluk?
6. Bagaimana konservasi sumber daya perairan pada wilayah pesisir pantai dan teluk?

7. Bagaimana Prinsip dan Praktik Marikultur dalam Perairan Indonesia

B. TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini yaitu:

1. Dapat mengetahui konsep sumber daya perairan


2. Dapat mengetahui dan memahami potensi sumber daya perairan pada wilayah pesisir
pantai dan teluk
3. Dapat mengetahui kesesuaian habitat pada wilayah peisisir pantai dan teluk
4. Dapat mengetahui cara pencegahan kesuburan perairan (eutrofikasi) pada wilayah
pesisir pantai dan teluk
5. Dapat mengetahui perbaikan habitat pada wilayah pesisir pantai dan teluk
6. Dapat mengetahui konservasi sumber daya perairan pada wilayah pesisir panrai dan

teluk

7. Dapat mengetahui Prinsip dan Praktik Marikultur dalam Perairan Indonesia

D. MANFAAT

Dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi akademisi di bidang manajemen sumber

daya perairan dan semoga bisa di aplikasikan.


BAB II. PEMBAHASAN

A. KONSEP MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

Definisi Manajemen Sumber Daya Perairan

Sumber daya alam pesisir dewasa ini sudah semakin disadari banyak orang bahwa
sumber daya ini merupakan suatu potensi yang cukup menjanjikan dalam mendukung tingkat
perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Di sisi lain, konsekuensi logis dari sumber
daya pesisir sebagai sumber daya milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum
(open acces) maka pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dewasa ini semakin meningkat di
hampir semua wilayah. Pemanfaatan yang demikian cenderung melebih daya dukung sumber
daya (over eksploitatiton).

Ghofar (2004), mengatakan bahwa perkembangan eksploitasi sumberdaya alam laut


dan pesisir dewasa ini (penangkapan, budidaya, dan ekstraksi bahan-bahan untuk keperluan
medis) telah menjadi suatu bidang kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar (market
driven) terutama jenis-jenis yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mendorong eksploitasi
sumberdaya alam pesisir dalam skala dan intensitas yang cukup besar.
Sedangkan menurut Purwanto (2003), mengatakan bahwa ketersediaan (stok)
sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata
telah Dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam. Beberapa
spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris hilang dari perairan
Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan jumlah armada penangkapan,
penggunaan alat dan teknik serta teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan.

Wilayah pesisir dalam geografi dunia merupakan tempat yang sangat unik, karena di
tempat ini air tawar dan air asin bercampur dan menjadikan wilayah ini sangat produktif serta
kaya akan ekosistem yang memiliki keaneka ragaman lingkungan laut. Pesisir tidak sama
dengan pantai, karena pantai merupakan bagian dari pesisir.
Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif di
perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang dinamik dan unik, karena pada
mintakat ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu yang berasal daratan, perairan laut dan
udara. Menurut kesepakatan bersama dunia internasional, pantai diartikan sebagai suatu
wilayah peralihan antara daratan dan lautan, apabila ditinjau dari garis pantai maka suatu
wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu batas sejajar garis pantai (longshore), dan
batas tegak lurus pantai (crossshore), (Supriharyono, 2000 ).
Sebagai tempat yang strategis pantai dimanfaatkan untuk berbagai hal berupa
eksploitasi sumber daya perikanan, kehutanan, minyak, gas, tambang dan air tanah dan lain-
lain. Pantai sebagai daerah wisata, konservasi dan proteksi biodiversity. Pantai digunakan pula
sebagai tempat perkembangan dan peningkatan infrastruktur antara lain berupa transportasi,
pelabuhan, bandara yang kesemuanya untuk memenuhi peningkatan penduduk
Teluk merupakan salah satu wilayah pesisir yang unik karena kondisinya yang biasanya
semi tertutup sehingga kondisi ini memberi ciri kekhasan tersendiri. Aktifitas di daratan
sangat mempengaruhi kualitas teluk.
Tujuan pengelolaan sumber daya perairan yaitu agar keberadaan sumber daya tet ap
ada meskipun selalu di manfaatkan. Pengelolaan sumber daya perairan dilakukan berdasarkan
azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan
kelestarian yang berkelanjutan.

B. POTENSI SUMBER DAYA PERAIRAN

Potensi Sumber Daya Pada Pesisir Pantai dan Teluk

Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman
sumber daya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih.
Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia,
contohnya ekosistem pesisir hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, yang sangat
luas dan beragam.

 Sumber daya dapat di pulihkan ( renewable resources)

1) Potensi Daya Perikanan


Potensi sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumberdaya perikanan
palagis besar ( 451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/ tahun), sumberdaya
perikanan 3.163.630 ton/ tahun,udang 100.720 ton/tahun, ikan karang 80.082 ton/tahun dan
cumi – cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi lestari ikan laut
sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% ( Dirjen Perikanan
1995).
2) Hutan Mangrove
Merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting diwilayah pesisir.
Fungsi dan peran hutan Mangrove, yaitu: a) menyusun mekanisme antara komponen
mangrove dengan ekosistem lain,pelindung pantai, dan pengendali banjir. b) penyerap bahan
pencemar,sumber energi bagi biota laut. c) menjaga kesetabilan produktivitas dan
ketersediaan sumberdaya hayati di perairan. d) sebagai sumber kayu kelas satu, bahan kertas
dan arang.
3) Padang Lamun dan Rumput Laut
Padang lamun mempunyai fungsi: a) meredam ombak dan melindungi pantai. b) daerah
asuhan larva. c) tempat makan. d) rumah tempat tinggal biota laut. e) wisata bahari.
4) Terumbu Karang
Peran terumbu Karang, yaitu: a) pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat
yang berasal dari laut. b) sebagai habitat tempat mencari makanan.

 Sumber Daya yang Tidak Dapat di Pulihkan (Unrenewable Resources)

1) Bahan tambang dan mineral


Bahan tambang dan mineral yang terdapat di antaranya: bahan bangunan, pasir

 Jasa-jasa lingkungan

Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai
tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energy , sarana
pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim,
kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya. sumber
energy yang dapt dimanfaatkan antara lain.

 OTEC ( Ocean Thermal Energy Convention )

OTEC merupakan salah satu bentuk pengalihan energy yang tersimpan dari sifat fisik
laut menjadi energy listrik. Suhu air laut akan menurun sesuai dengan bertambahnya
kedalaman. Perbedaan suhu air di permukaan dengan suhu air di bagian dalam dapat
dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik.
1. Energi dari gelombang laut
Gelombang laut sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai energi alternatif di
hampir seluruh wilayah dan lautan dunia.
2. Energi pasang surut
Pasang surut dapat dikonversi menjadi energi listrik , terutama pada daerah teluk yang
memiliki amplitudo pasang surut 5 sampai 15 m.

C. KESESUAIAN HABITAT

Kesesuaian Habitat Pada Pesisir Pantai dan Teluk

Pertumbuhan biota laut di daerah pasang surut sangat tinggi, disebabkan karena daerah
ini merupakan tempat hidup, tempat berlindung, dan tempat mencari makan. Selain itu,
kondisi lingkungan pada daerah ini sangat menguntungkan bagi pertumbuhan biota laut
karena adanya dukungan dari faktor fisika, kimia, dan biologis laut. Soemodhiharjo (1990)
mengungkapkan bahwa faktor fisik-kimia laut meliputi salinitas, pH, arus, suhu, dan
kecerahan yang selalu berubah-ubah sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme di
daerah pasang surut.
Adapun kesuburan suatu perairan ditentukan oleh kondisi biologi, fisika dan kimia
yang nantinya akan berpengaruh pada kegunaannya. Bentuk interaksi dari sifat – sifat dan
perilaku kondisi biologi, fisika dan kimia perairan akan ditentukan melalui parameter –
parameter yang saling mempengaruhi. Produksi awal yang dihasilkan dari interaksi ketiga
parameter tersebut salah satunya adalah Produktifitas Primer.
Kesuburan suatu perairan pada dasarnya akan mencerminkan tinggi rendahnya
produktivitas perairan setempat. Produktivitas primer suatu perairan sangat tergantung pada
kemampuan perairan tersebut dalam mensitesis bahan organik menjadi bahan organik melalui
proses fotosintesis. Dalam hal ini peranan organisme yang mengandung klorofil sangat besar.
Sebagaimana diketahui bahwa fitoplankton merupakan organisme yang mengandung klorofil-
a dengan group terbesar di lautan dan merupakan individu yang penting di laut karena
peranannya sebagai produsen utama (primary producer).
Fitoplankton mempunyai kemampuan menyerap langsung energi matahari untuk proses
fotosintesis yang dapat mengubah zat anorganik menjadi zat organik yang dikenal sebagai
prodiktivitas primer. Klorofil-a merupakan salah satu pigmen yang terkandung dalam
fitoplankton dan merupakan bagian yang terpenting dalam proses fotosintesis.
Klorofil-a sebagian besar dikandung oleh sebagian besar dari jenis fitoplankton yang hidup di
dalam laut (Carolita et. al., 1999).
Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di
dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang
berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Nikolsky (1963)
menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup
yaitu: 1) yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak, 3) cocok
untuk perkembangbiakan dan pemijahan.
Ekosistem perairan pantai dikenal sebagai zona pembiakan, pembesaran dan tempat
mencari makan. Kawasan ini sangat berperan penting dalam kelangsungan hidup berbagai
jenis ikan pada fase larva dan juvenil. Terumbu karang dan mangrove merupakan salah satu
ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan
lautan. Selain sebagai mata rantai makanan di dalam ekosistem terumbu karang, karang juga
menjadi menjadi kerangka terbentuknya terumbu karang sebagai rumah dan tempat tinggal
bagi semua biota asosiasi terumbu karang di sekitarnya, dan sebagai hewan yang
bersimbiosis dengan ganggang monoseluler untuk menghasilkan oksigen terlarut yang
diperlukan bagi biota laut (Gatra, 2006).
Perairan pantai yang terdiri dari daerah pasang surut, estuari, mangrove, padang lamun,
terumbu karang, maupun pantai berpasir merupakan nursery bagi berbagai jenis ikan. Melalui
mekanisme hidro-biologi larva ikan yang dilahirkan di daerah lepas pantai akan menuju
daerah habitat nursery yang kemudian keberhasilan hidupnya akan berpengaruh terhadap
rekrutmen
Salah satu negara yang telah melakukan perlindungan terhadap sebaran larva ikan di
suatu pantai adalah Jepang dengan cara mengidentifikasi pola sebaran larva ikan dan kapan
larva ikan masuk ke pantai sehingga pada saat musim tersebut pantai ditutup untuk umum
agar larva ikan dapat berkembang dengan baik. Sementara itu di Eropa ketika musim
penangkapan, para ilmuwan yang telah mempelajari tentang larva ikan dapat memperkirakan
stok ikan komersial yang ada di perairan tersebut (Najamuddin, 2004)
Larva ikan (ichthyoplankton) merupakan bentuk tahapan siklus hidup ikan yang sangat
rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan ketika kuning telur yang merupakan makanan
utamanya telah habis terserap. Amarullah (2008) menyatakan bahwa bagi berbagai jenis ikan
laut yang memanfaatkan sistem perairan pantai (coastal system) sebagai nursery, migrasi
telur, larva dan stadia awal juvenil dari tempat pemijahan (spawning area) dipengaruhi oleh
kondisi dan perubahan meteorologi perairan. Keberhasilan larva dan awal stadia juvenil ikan
mencapai nursery area akan sangat menentukan dalam tahapan proses rekrutmen stok ikan di
alam. Faktor hidrografi di perairan pantai atau habitat nursery yang
berpengaruh sebagai stimuli tingkah laku imigrasi larva diantaranya adalah aliran pasang
surut (tidal flux) termasuk di dalamnya kecepatan arus, salinitas (terutama perairan estuari),
kekeruhan, komposisi substrat dan juga pengaruh siklus bulan.
Pengelolaan pantai tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap
komunitas organisme laut dapat mengganggu kehidupan biota laut, diantaranya larva. Pada
ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan
mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi juga memiliki fungsi-fungsi ekologis
penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan (spawning ground), tempat
pengasuhan dan tumbuh besar (nursery ground), dan tempat mencari makanan (feeding
ground) bagi biota laut khususnya bagi larva ikan yang bermigrasi ke wilayah pantai dapat
terganggu akibat adanya pergerakan arus ataupun pasang surut yang begitu kuat di wilayah
itu sehingga menimbulkan akibat tersendiri terhadap ekologi daerah pantai tersebut.
Pengetahuan tentang spawning ground larva ikan di laut mempunyai kaitan erat dengan
berbagai segi aplikasi yaitu dapat menduga atau meramalkan musim benih (spatfall),
mengefisienkan pengumpulan benih tersebut, mendukung kemajuan di bidang budidaya,
mengetahui dimana kumpulan larva ikan yang bernilai ekonomis ini berasal dan mencari
makan, serta konservasi lingkungan pantai (Romimohtarto dan Juwana 1998).

D. PENCEGAHAN PENYUBURAN PERAIRAN (EUTROFIKASI)

Pencegahan Penyuburan Perairan Pada Pesisir Pantai dan Teluk

Eutrofikasi adalah proses gradual timbulnya penyuburan pada perairan secara


berlebihan yang diakibatkan oleh senyawa nutrien terutama nitrogen dan fosfor. Balcerzak
(2006) menyatakan bahwa proses eutrofikasi ini berlangsung beberapa tahun terutama
disebabkan oleh aktivitas anthropogenik. Proses penyuburan pada ekosistem pantai atau teluk
akan meningkat seiring dengan bertambahnya beban nutrien yang masuk keperairan.
Lee dan Jones-Lee (2007) menyatakan bahwa sumber beban pencemaran nutrien
menyebabkan pertumbuhan populasi alga yang berlebihan dan secara signifikan berpengaruh
terhadap konsentrasi oksigen terlarut.
Perairan pesisir merupakan perairan yang banyak menerima beban masukan bahan
organik. Bahan ini berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan pertambakan, pertanian dan
limbah domestik yang akan masuk melalui aliran sungai dan limpasan dari daratan.
Masuknya bahan organik ke pesisir ini cepat atau lambat akan mempengaruhi kualitas
perairan, selanjutnya akan berpengaruh pada keberadaan organisme perairan khususnya
plankton sebagai organisme yang pertama merespon perubahan kualitas perairan tersebut.
Beban masukan yang nyata biasanya membawa partikel tersuspensi, nutrien, dan bahan
organik terlarut yang akan mendukung terjadinya eutrofikasi dan bisa menyebabkan
berkurangnya penetrasi cahaya pada kolom air (Cervetto et al. 2002). Beban masukan bahan
organik ini akan mengalami berbagai proses penguraian yang pada akhirnya akan
memberikan suplai bahan anorganik atau unsur hara ke perairan. Unsur hara yang dihasilkan
diantaranya adalah N dan P, dimana unsur ini dibutuhkan untuk pertumbuhan organisme
akuatik yaitu fitoplankton.
Sebagai salah satu organisme dalam ekosistem perairan fitoplankton mempunyai
peranan yang sangat penting terutama dalam rantai makanan di laut, karena fitoplankton
merupakan produsen utama yang memberikan sumbangan terbesar pada produksi primer total
suatu perairan. Hal ini karena fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis yang
menghasilkan bahan organik yang kaya energi maupun kebutuhan oksigen bagi organisme
yang tingkatannya lebih tinggi. Pertumbuhan fitoplankton akan memperlihatkan dinamika
tersendiri tergantung pada fluktuasi unsur hara dan hidrodinamika perairan.
Eutrofikasi disebabkan oleh kelebihan beban input senyawa nutrien dan sejak tahun
1970 telah dilakukan penelitian untuk menentukan strategi pengendalian eutrofikasi (Pauer,
dkk, 2008). Senyawa nutrien menjadi faktor pembatas utama untuk fitoplankton, sementara
silika merupakan faktor pembatas untuk diatom pada endapan dasar perairan wilayah pantai
dan teluk.
Dalam banyak hal, cara yang paling efektif untuk menangani eutrofikasi yang
disebabkan oleh kelebihan phospat adalah dengan memakai pendekatan yang terintegrasi
untuk mengatur dan mengontrol semua masukan nutrien, sehingga konsentrasi nutrien dapat
direduksi menjadi cukup rendah sehingga tidak menyebabkan alga bloom. Pendekatan yang
sama akan bermanfaat juga untuk mengatasi masalah eutrofikasi yang disebabkan oleh
nitrogen. Oleh karena itu kontrol tersebut harus juga mengurangi kehilangan P dan N, dengan
demikian dari sudut ekologi juga akan mendatangkan keuntungan. Jika meningkatnya jumlah
P yang lepas/hilang berhubungan erat dengan erosi dn hilangnya sedimen secara besar-
besaran, maka dengan kontrol erosi diharapkan dapat dicapai peningkatan kualitas melalui
pengurangan dampak negatif sedimen di sistem akuatik.
Perlakuan-perlakuan yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi adalah
dengan melakukan perombakan phospat pada buangan kotoran, pengontrolan phospat yang
tersifusi dari pertanian, perombakan phospat dari deterjen, pengalihan tempat pembuangan
kotoran. Cara yang sukses untukk mengontrol P akan membawa keuntungan bagi lingkungan.
Salah satu cara yang paling efisien untuk mengurangi dan mengontrol konsentrasi P di
perairan adalah dengan membatasi atau mengurangi beban nutrien dari sumber utama dan
meningkatkan teknologi perombakan nutrien dari buangan kotoran (sewage). Jika pertanian
adalah P yang signifikan, maka pengurangan buangan P dipandang dari sudut kepraktisannya
dan biayanya tidak efisien dari tanah pertanian dan sangat sulit untuk menentukan faktor
yang mempengaruhinya. Faktor yang berpengaruh bervariasi dari sistem pertaniannya, tipe
tanah dan kondisi wilayahnya. Namun kehilangan P pada hakekatnya dapat dikembalikan ke
sistem pertanian, sedangkan yang lainnya dapat dikontrol oleh petani sendiri misalnya dengan
menyebar pupuk tiak pada musim hujan.
Untuk mencegah dan mengeliminasi aliran nitrogen sangat sulit. Sejumlah artificial
wetland dapat dibuat sepanjang aliran air dan sungai di areal pertanian untuk menangkap
kandungan nitrogen dalam air yang akan mengalir ke laut. Selain itu upaya lain yang perlu
dilakukan adalah meningkatkan sistem pengolahan limbah domestik. Pada saat ini,
pengolahan limbah domestik di pesisir pantai dan kota besar harus melibatkan proses
pengurangan nitrogen secara biologi, karena perlakuan secara kimiawi hanya mengurangi
sejumlah kecil kandungan nitrogen dalam limbah cair. Pada hakekatnya mengaurangi
konsentrasi nutrien pada sumbernya meruapak upaya yang sangat penting karena mengurangi
input nutrien ke dalam lautan seperti yang kita harapkan sangat sulit untuk dicapai.

E. PERBAIKAN HABITAT

Perbaikan Habitat Pada Pesisir Pantai dan Teluk

Perbaikan habitat pada sumber daya perairan pesisir pantai dan teluk seperti terumbu
karang, hutan mangrove, atau padang lamun dapat dilakukan untuk memberi kendali terhadap
kerusakan sumber daya.
 Perbaikan Terumbu Karang

Terumbu karang memiliki bentuk dan struktur yang membuatnya unik sebagai salah
satu ekosistem yang hidup di dalam laut. Ekosistem terumbu karang disusun oleh karang-
karang dari Kelas Anthozoa, Ordo Scleractinia (Tomascik et al., 1997).
Usaha pemulihan terumbu karang, salah satunya dengan budidaya karang dengan
memanfaatkan metode transplantasi karang menggunakan teknik fragmentasi. Transplantasi
karang pada prinsipnya adalah memotong cabang karang dari karang hidup, lalu ditanam
pada suatu daerah tertentu. Namun pelaksanaan tidak semudah yang dibayangkan, karena
harus pula diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transplantasi. Faktor
yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi karang dengan fragmentasi meliputi ukuran
fragmen, tipe substrat tempat fragmen diletakkan, dan jenis karang (Thamrin, 2006).
Transplantasi karang merupakan salah satu metode budidaya karang dengan memotong
sebagian dari koloni karang tertentu untuk ditanam di tempat yang baru. Berbagai macam
metode transplantasi karang telah dilakukan diantaranya dengan menggunakan substrat beton
hingga metode elektrolisis yang menggunakan aliran listrik. Berbagai macam metode tersebut
dilakukan untuk mendapat metode transplantasi yang paling efektif.

 Perbaikan Habitat Padang Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat tumbuh


dengan baik pada lingkungan laut dangkal (Wood et al. 1969). Lamun senantiasa
membentuk hamparan permadani di laut yang dapat terdiri dari satu species (monospesific;
banyak terdapat di daerah temperate) atau lebih dari satu species (multispecific; banyak
terdapat di daerah tropis) yang selanjutnya disebut padang lamun.
Ekosistem padang lamun merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan mempunyai
fungsi dan manfaat yang sangat panting bagi perairan wilayah pesisir. Secara taksonomi
lamun (seagrass) termasuk dalam kelompok Angiospermae yang hidupnya terbatas di
lingkungan laut yang umumnya hidup di perairan dangkal wilayah pesisir. Lamun sangat
berperan penting pada fungsi-fungsi biologis dan fisik dari lingkungan pesisir. Pola zonasi
padang lamun adalah gambaran yang berupa rangkaian/model lingkungan dengan dasar
kondisi ekologis yang sama pada padang lamun. Aktivitas manusia di sekitar pesisir dapat
berupa pertanian, peternakan dan pelabuhan tradisional serta pemukiman penduduk. Aktivitas
manusia yang tidak memperhatikan lingkungan pesisir akan mengakibatkan perubahan
komunitas lamun sebagai penunjang ekosistem pesisir.

Merujuk pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguan utama dari
aktivitas manusia maka untuk rehabilitasinya dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan:
yakni: 1) rehabilitasi lunak (soft rehabilitation) dan 2) rehabilitasi keras (hard rehabilitation).

1) Rehabilitasi lunak

Rehabilitasi lunak berkenan dengan penanggulangan akar masalah, dengan asumsi jika
akar masalah dapat diatasi, maka alam akan mempunyai kesempatan untuk merehabilitasi
dirinya sendiri secara alami. Rehabilitasi lunak lebih menekankan pada pengendalian perilaku
manusia.

2. Rehabilitasi keras

Rehabiltasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan di lapangan. Ini


dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi lamun
di lingkungan yang perlu direhabilitasi. Kegiatan transplantasi lamun belum berkembang luas
di Indonesia. Berbagai percobaan transpalantasi lamun telah dilaksanakan oleh Pusat
Penelitian Oseanografi LIPI yang masih dalam taraf awal. Pengembangan transplantaasi
lamun telah dilaksanakan di luar negeri dengan berbagai tingkat keberhasilan.

 Perbaikan Hutan Mangrove

Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus karena
lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas serta
fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air laut.
Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besar-
walaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah
pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda
lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove.
Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan
lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika
mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata.

Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah dibandingkan


dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada di wilayah yang sempit
diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah tersebut mempunyai arti bahwa
keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove juga harus dipertimbangkan,
sehingga total keanekaragaman hayati ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Dapat diambi
suatu aksioma bahwa pengelolaan mangrove selalu merupakan bagian dari pengelolaan
habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik.

Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan


cara restorasi/rehabilitasi. Restorasi dipahami sebagai usaha mengembalikan
kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia diusahakan
sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis
mangrove tertentu menurut yang dipahami/diingini manusia. Dengan demikian, usaha
restorasi semestinya mengandung makna memberi jalan/peluang kepada alam untuk
mengatur/memulihkan dirinya sendiri. Kita manusia pelaku mencoba membuka jalan dan
peluang serta mempercepat proses pemulihan terutama karena dalam beberapa kondisi,
kegiatan restorasi secara fisik akan lebih murah dibanding kita memaksakan usaha
penanaman mangrove secara langsung. Restorasi perlu dipertimbangkan ketika suatu sistem
telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau
memperbaharui diri secara alami

F. KONSERVASI SUMBER DAYA PERAIRAN

Konservasi Sumber Daya pada Pesisir Pantai dan Teluk

Secara ekologi kawasan konservasi perairan harus memiliki keanekaragaman hayati,


kealamiahan, keterkaitan ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah ruaya,
habitat ikan langka, daerah pemijahan ikan daerah pengasuhan. Kriteria sosial budaya
meliputi dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman dan kearifan
lokal serta adat istiadat, serta kriteria ekonomi meliputi nilai penting perikanan, potensi
rekreasi dan pariwisata, estetika dan kemudahan mencapai kawasan.

Kawasan perlindungan laut didirikan untuk tujuan skala besar, termasuk melindungi
spesies laut dan habitatnya, menjaga keanekaragaman hayati laut, mengembalikan cadangan
perikanan, mengelola aktivitas pariwisata, dan meminimalkan konflik diantara berbagai
pengguna. Untuk mencapai tujuan ini, sasaran yang spesifik dan terukur harus ditentukan
dalam konteks keluaran dan hasil yang dicari. Pada gilirannya membutuhkan pengembangan
rencana pengelolaan yang ditentukan dengan baik, identifikasi ukuran keberhasilan dari
kawasan perlindungan laut, monitoring dan evaluasi dampak pengelolaan, danpada akhirnya
aktivitas tersebut menjadi masukan ke dalam proses perencanaan untuk memperbaiki tujuan,
rencana dan capaian. Dengan kata lain, kawasan perlindungan laut harus di kelola secara
adaptif.

G. PRINSIP DAN PRAKTIK MARIKULTUR DALAM PERAIRAN INDONESIA

Indonesia adalah negara kepulauan tersbesar di sunia dengan jumlah pulau sebanyak
17.508 pulau, garis pantai sepanjang 81.000 km, dan luas lautan 5,8 juta km (75% dari total
luas wilayah Indonesia). Di wilayah daratan terdapat perairan umum (sunagi, rawa, danau,
waduk dan genagnangan air lainnya) seluas 54 juta ha atau 0,54 juta km2 (27% dari total
wilayah daratan Indonesia). Dengan demikian, Indonesia adalah sebuah negara yang
dikelilingi oleh air. Sebagai negara bahari atau negara maritim, Indonesia memiliki potensi
pembangunan (ekonomi) kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam. Sedikitnya
terdapat sembilan sektor ekonomi yang dapat dikembangkan guna memajukan dan
memakmurkan Indonesia, yaitu: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri
bioteknologi kelautan, (4) pertambangan dan energi, (5) pariwisata bahari, (6) transportasi
laut, (7) industri dan jasa maritim, (8) pulau-pulau kecil, dan (9) sumber daya
nonkonvensional.
Penangkapan ikan secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan akan ikan akan
mengakibatkan terjadinya ”over fishing” yang berimbas pada penurunan populasi ikan,
sehingga hasil tangkapan ikan akan terus berkurang. Untuk itu pengembangan
budidaya merupakan salah satu strategi yang bisa ditempuh ditempuh dalam pembangunan
perikanan nasional karena perikanan budidaya dapat dijadikan sebagai andalan produksi di
masa depan untuk menggantikan peran perikanan tangkap.
Keanekaragaman hayati yang dimiliki bangsa Indonesia dan ketersediaan teknologi
memungkinkan dihasilkannya berbagai jenis produk hasil laut melalui akuakultur.
Akuakultur bisa diartikan sebagai budi daya jasad perairan, seperti ikan, kekerangan,
krustasea, dan tanaman air. Dalam budi daya tersebut ada intervensi dalam proses
pemeliharaan untuk peningkatan produksi, seperti penebaran, pemberian pakan, dan
pemberantasan hama penyakit.
Marikultur merupakan suatu kegiatan/usaha yang harus dikembangkan karena
beberapa alasan: (a) Tingkat penangkapan biota laut di beberapa daerah penangkapan (fishing
ground) telah mencapai padat tangkap (full fishing), bahkan telah mengalami tangkap lebih
(over fishing), sementara tingkat konsumsi hasil-hasil perikanan terus mengalami
peningkatan; (b) Biota laut yang potensial dibudidayakan adalah komoditas yang bernilai
ekonomi tinggi, baik di pasar domestik maupun pasar ekspor; (c) Adanya kampanye
internasional yang mengimbau kepada konsumen untuk menolak bahan pangan yang dalam
kegiatan produksinya menyebabkan kerusakan lingkungan. Penangkapan intensif yang
menyebabkan tangkap lebih, apalagi dengan menggunakan alat tangkap destruktif termasuk
kegiatan perusakan liongkungan; (d) Terkait dengan tangkap lebih, marikultur dapat menjadi
alternatif bagi peningkatan kesejahteraan nelayan; (e) Marikultur dapat menjadi bagian dari
upaya pemulihan dan peningkatan stock (stock enhancement) biota laut melalui restoking
(restocking).
BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kondisi suatu perairan pantai maupun teluk dapat di ukur dengan berbagai metode dan
berbagai sudut pandang. Pendugaan kondisi perairan dapat dilakukan berdasarkan sifat fisika-
kimia air maupun berdasarkan data biotik penghuni perairan tersebut. Sifat-sifat ini akan
saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain secara kompleks;
sehingga kondisi fisik dan/atau kimiawi akan mempengaruhi kondisi biotik; demikian juga
sebaliknya, bahwa kondisi biotik juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan/atau kimiawi
suatu perairan.
Pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat, mengharapkan kesesuaian yang cocok
untuk setiap tujuan penggunaan sumberdaya tersebut. karena itu, pengemasan dan pengaturan
perlu dilakukan. Pengelolaan sumber daya perairan perlu di lakukan demi keberlanjutan
sumber daya dalam jangka yang panjang.

B. Saran

Sumber daya perairan merupakan karunia dari Allah, keberadaanya saat ini semakin
tergradasi akibat dari intervensi alam dan intervensi manusia. Pengelolaan sumber daya
perairan sebuah keharusan demi kepentingan jangka panjang. Semoga karunia itu tetap selalu
ada dan bisa di rasakan generasi yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Amarullah, M.H. 2008. Hidro-Biologi Larva Ikan dalam Proses Rekruitmen (tidak
dipublikasikan) .
Boer, M., K. A. Aziz, J. Widodo, A. Djamali, A. Ghofar dan R. Kurnia. 2001. Potensi,
Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.
Direktorat Riset dan Eksplorasi Sumberdaya Hayati, Direktorat Jenderal Penyerasian
Riset dan Eksplorasi Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan Komisi Nasional
Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut - Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan,
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49p
Carolita, I., B. Hasyim, D. Dirgahayu, S. Irwan, H. Noviar, I.W. Bagja dan Y. Noulita. 1999.
Analisis Kualitas Air di Sekitar perairan Surabaya Menggunakan Data Landsat-TM.
Majalah Lapan Edisi Penginderaan Jauh, 01(01) : 10-19.
Cervetto, G., Mesones, C., Calliari, D. 2002. Phytoplankton Biomass and its Realitionship to
Enviromental Variables in a Disturbed Coastal Area of The Rio De La Plata Uruguay,
before the New Sewage Collector System. Atlantica Rio Grande 24(1) : 45 – 54.
Edgren, G., 1993. Expected Economic and Demographic Development in Coastal World
Wide, National Institute for Coastal and Marine Management, Coastal Zone
Management
Centre, Noordwijk, Netherland.
Ghofar, A., 2004, PengelolaanSumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan,
Cipayung-Bogor.
Gatra Edisi Khusus. No. 08 Tahun XII, Januari 2006. Di Laut Kita Belum Jaya.
Hlm : 72 – 74.
Lee, G. F., and Jones-Lee, A. 2007. Role of Aquatic Plant Nutrients in Causing Sediment

Najamuddin A. 2004. Variasi Ukuran dan Kebiasaan Makan Larva Ikan dan Juvenil Ikan di
Pantai Tanjung Mangkok Kalimantan Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Nikolsky, G. V., 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. London. 352p.
Purwanto, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Direktorat Jendral Perikanan Tangkap,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta
Romomihtarto K, Juwana S. 1999. Plankton Larva Ikan Hewan Laut. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI.
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis, PT. Gramedia, Jakarta.
Soemodhiharjo. 1990. Teluk Ambon. Ambon: Balai Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut (LIPI) Ambon
Oxygen Demand Part II – Sediment Oxygen Demand, Report of G. Fred Lee & Associates,
El Macero, CA, June (2007).
Pauer, J.J., K. Taunt, W. Melendez, R.G. Kreis, and A. Anstead. 2007. Resurrection of the
Lake Michigan eutrophication model, MICH1. J. Great Lakes Res. 33:554-563.
Tomascik, T., A.J. Mah., A. Nontji. and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian
Seas. Periplus Edition. Republic of Singapore. 7: 192 – 221.
Thamrin. 2006. “Karang” Biologi Reproduksi dan Ekologi. Minamandiri Pres, Pekanbaru.

Wood, E. J. F. , W.E. Odum and J. C. Zieman. (1969), Influence of the seagrasses on the
productivity of coastal lagoons, laguna Costeras. Un Simposio Mem. Simp. Intern.
U.N.A.M. - UNESCO, Mexico,D.F., Nov., 1967. pp 495 - 502.
Zonneveld. N., E. A. Huisma dan J. H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Darseno.2010.Buku Pintar Budi Daya dan Bisnis Lele.Jakarta:AgroMedia Pustaka

Kordi,M. Ghufran.2011.Marikultur Prinsip dan Praktik Budi Daya Laut.Yogyakarta:Andi

Sudradjat, Achmad.2008.Budi Daya 23 Komoditas Laut Menguntungkan.Jakarta:Penebar

Swadaya

Anda mungkin juga menyukai