Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM

SOSIAL BUDAYA MARITIM KOTA MAKASSAR

OLEH :

NAMA : DEVILSA DAMAYANTI

NIM : L011191133

KELAS : WSBM B

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat beliau kami dapat menyusun makalah ini dengan tepat waktu.

Makalah ini kami buat agar siswa lebih paham tentang sosial budaya maritim
kota Makassar.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran bagi pembaca khususnya para siswa. Kami sadar makalah
ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu kepada dosen
pembimbing, kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami
di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu


memberikan pengarahan kepada kami, dalam menyusun makalah ini.

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan


masyarakat maritim, cepat atau lambat pasti mengalami dinamika / perkembangan.
Dinamika tersebut meliputi wujud-wujud teknologi dan benda/karya, perilaku dan
kelembagaan, sistem-sistem budaya kognitif/mental, etos/sikap kepribadian.
Menjadi kenyataan pula bahwa biasanya dalam dinamika ada tradisi bertahan
(continuety), ada elemen-elemen dan tatanan inti (struktur elementer) bertahan,
yang dalam banyak hal justru ditopang oleh atau menopang proses dinamika itu
sendiri. Proses dinamika dan bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan
kondisi sosial ekonomi serta lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya.

Dalam masyarakat maritim, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai


sektor dan subsektor ekonomi kemaritiman baru yang memunculkan segmen-
segmen atau kategori-kategori sosial seperti petambang, pekerja industri, pengelola
dan karyawan wisata, marinir,akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain.
Tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi dan jasa dengan segmen-segmen
masyarakat maritim tersebut memerlukan dan diikuti dengan perkembangan dan
perubahan-perubahan kelembagaannya menjadi wadah dan regulasinya.
Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru dan berkembangnya sektor-sektor
ekonomi kemaritiman lama, terutama perikanan dan pelayaran, tampak dalam
perkembangan dan perubahan-perubahan teknologi, perubahan struktural, dan
sistem-sistem budaya kemaritiman (pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai,
norma/aturan). Gambaran tentang fenomena dinamika sosial budaya maritim
berikut menggunakan kasus desa-desa Nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di
Sulawesi Selatan (sumber data/informasi diperoleh dari berbagai hasil penelitian
lapangan).
BAB II

PEMBAHASAN

Indonesia merupakan suatu Negara dengan luas perairan lebih besar dari pada luas
daratan, maka dari itu Indonesia disebut sebagai Negara Maritim. Dengan Isitilah
Negara Maritim, tentu saja identik dengan hasil lautnya dan keindahan wisata bahari
yang ditawarkannya, tentu saja Indonesia juara. Tetapi dibalik peluang yang ada, banyak
sekali tantangan yang harus dihadapi Bangsa ini untuk menjadikan Indonesia sebagai
poros maritim dunia. Keindahan alam yang dimiliki Indoenesia banyak terdapat di
wilayah pesisir yang sangat kaya akan keanekaragaman sumber daya alam hayatinya.
Ekosistem di laut Indonesia sangat beragam, sehingga memunculkan daya tarik
tersendiri terhadap wisatawan yang berkunjung, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Dengan banyaknya pulau yang dimiliki, potensi wisata alam ini tentunya akan
mendatangkan pemasukan yang banyak bagi Negara jika dikelola dengan baik.

Untuk hasil perikanannya, laut Indonesia menyimpan kekayaan hasil laut yang
melimpah. Dengan keanekaragaman dan berlimpahnya kekayaan laut negeri ini,
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor ikan, udang, dan berbagai jenis
hewan laut lainnya untuk dikirim ke luar negeri utuk diolah sebagai bahan makanan.
Hal ini menunjukkan masyarakat luar negeri pun menyukai hasil tangkapan laut dari
Indonesia. Tentu ini juga merupakan sebuah peluang dan tantangan bagi Indonesia
karena banyak oknum yang memanfaatkan kekayaa bahari Indonesia dengan
menangkap ikan secara ilegal (ilegal fishing). Hal ini, tentu menuntut peran yang lebih
besar dari TNI AL dalam mengamankan dan menegakkan kedaulatan bangsa di laut,
khususnya di wilayah yurisdiksi Nasional.
Presiden Jowo Widodo bercita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia dan Komitmennya ini terlihat dengan membentuk Menko Kemaritiman
yang dijabat oleh Rizal Ramli. Namun untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros
maritime dunia masih dihadapkan pada kondisi yang sangat berat.

Salah satu wilayah yang menyimpan kekayaan bahari adalah Kota Makassar karena
secara geografis, letak “Kota Daeng” ini merupakan pintu gerbang Kawasan Timur
Indonesia, dan menjadi salah satu pintu gerbang ekspor hasil perdagangan perikanan
secara umum. Menyadari potensi serta peluang untuk memajukan industri perikanan
yang berkelanjutan, WWF-Indonesia bersama Yayasan Mattirotasi dan Learning Center
EAFM Universitas Hasanuddin, yang didukung oleh Pemerintah Kota dan Dinas
Kelautan Perikanan (DKP) Kota Makassar telah melakukan inisiasi melalui diskusi
intensif sejak akhir bulan Desember 2014 hingga awal Januari 2015. Diskusi tersebut
menghasilkan beberapa rencana kegiatan pengelolaan perikanan berkelanjutan untuk
periode tahun 2015 - 2017.

Oleh karena itu, untuk memaksimalkan potensi maritim Makassar, Wali Kota Makassar
Mohammad Ramdhan Pomanto mendorong Indonesia National Shipowners
Association (INSA) untuk memperkuat Poros Maritim yang dimulai dari Makassar. Hal
itu disampaikannya saat membuka Rapat Anggota Cabang (RAC) INSA XIV yang
mengangkat tema Mengawal Program Tol Laut Nasional Menuju Kedaulatan Ekonomi
Nasional Maritim di Grand Clarion Hotel, Makassar, Kamis (28/04).

Pria yang akrab disapa Danny bercerita bahwa orang-orang Makassar merupakan pelaut
yang handal, bahkan nama pelaut Makassar dihormati oleh pelaut-peaut dunia lain
karena kehebatannya. Tidak heran jika para pelaut Makassar dijuluki Celebes De
Makassares, yang berarti orang–orang Makassar yang ulung dan mahsyur. Jejak
kemahsyuran pelaut Makassar dapat ditemukan pada hukum laut internasional yang
mengadopsi hukum Amanagappa yang berisi 21 pasal, beberapa bagiannya sangat rinci
menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dalam pelayaran.
Danny berharap keberadaan INSA dapat mendukung gagasan Poros Maritim yang
dimulai dari Makassar. Mengingat latar belakang sejarah Makassar yang sangat
mendukung, dan berbagai fasilitas yang ada di Makassar seperti pelabuhan internasional
dan Makassar New Port yang akan hadir di Makassar
Motorisasi Perahu/kapal Nelayan

Seperti halnya di berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya,


motorisasi perahu dan kapal penangkapan ikan di desa-desa nelayan Sulawesi
Selatan baru mulai di tahun-tahun 1970-an. Mula-mula hanya beberapa orang
nelayan berstatus ponggawa (pengusaha dan pemilik ala-ala produksi) mampu
mengkredit motor dari pengusaha besar di kota Makasar (Bos dalam istilah lokal).

Perkembangan Usaha dan Teknologi Perikanan Laut

Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang
membutuhkan biaya operasional secara terus-menerus, maka ini harus difungsikan
dengan penggunaan alat-alat tangkap produktif. Di Sulawesi Selatan, di antara
sekian banyak alat tangkap tradisional yang masih digunakan nelayan, terdapat
beberapa di antaranya lebih berasosiasi dengan motor seperti pukat gae (Bugis)
atau rengge (Makasar), jala/panjak (payang), bagang, pancing sunu(p.kerapu),
pancing tongkol, bubu, kompresor (sarana selam), dan lain-lain. Trawl (pukat
harimau) termasuk alat tangkap baru dan modern yang kemudian dilarang dan
memang tidak pernah disukai oleh nelayan lapisan bawah karena merugikan
mereka, merusak sumberdaya dan ekologi. Alat-alat tangkap tradisional tersebut di
atas kemudian menjadi lebih produktif berkat dioperasikan dengan perahu-perahu
motor. Dapat dikatakan bahwa adopsi inovasi motor dapat memberikan sumbangan
kepada pengembangan dan kontinyuitasteknologi tangkap tradisional tersebut, jadi
bukannya memusnahkannya.

Dinamika Struktural

Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-komunitas


nelayan Bugis, Bajo dan Makassar di berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal
kelompok kerja sama nelayan yang dikenal dengan istilah Po(u)nggawa-Sawi (P-
Sawi), yang menurut keterangan dari setiap desa telah ada dan
bertahan sejak ratusan tahun silam. Meskipun kelompok P-Sawijuga digunakan
dalam kegiatan pertanian, perdagangan di darat dan pengelolaan tambak, namun
kelompok ini lebih eksis dan menyolok peranannya dalam aktivitas pelayaran dan
perikanan rakyat Bugis, Makasar, dan Bajo di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat
lainnya di Indonesia.

Struktur inti atau elementer dari kelompok organisasi ini ialah P.laut
atau Juragan dan Sawi. P.Laut berstatus pemimpin pelayaran dan aktivitas
produksi dan sebagai pemilik alat-alat produksi. Para P.Laut memiliki pengetahuan
kelautan, pengetahuan dan ketrampilan manajerial, sementara para sawi hanya
memiliki pengetahuan kelautan dan ketrampilan kerja/produksi semata.
Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha perikanan
mengalami. perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang
dikuasai oleh seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh
kapitalisme. Untuk pengembangan dan eksistensi usaha,
maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses produksi di
laut, melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelola perolehan pinjaman
modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut,
membangun jaringan pemasaran, dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul
satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang
disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di
laut, P.Darat merekrut juragan-juragan baru untuk menggantikan
posisinya dalam memimpin unit-unit usaha yang sedang
berkembang dan meningkat jumlahnya. Para P.Laut/Juragan dalam proses
dinamika ini sebagian masih berstatus pemilik, sebagain lainnya hanyalah berstatus
pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang direkrut dari sawi-sawi
berbakat/potensial dikenal juga dengan istilah P.Caddi,
sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.

Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam


kelompok P.Sawi baik dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi)
maupun bentuk lebih kompleks (P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah
hubungan patron-client. Hubungan patron-client memolakan dari atas bersifat
memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal, sedangkan dari
bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja keras,
disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain (dapat
dipahami sebagai modal sosial).

Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung


adopsi inovasi teknologi perikanan terutama motor/mesin,peningkatan
volume perahu, beberapa jenis alat tangkap baru skala besar, sarana pengawetan
modern (penggunaan es balok). Untuk meresponsdifusi inovasi teknologi
eksploitasi dan sarana penggerak tersebut, paraP.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal
yang mempunyai kemampuan modal terbatas terpaksa mengusahakan bagian besar
dari modalnya ke pihak-pihak lain, yaitu pengusaha besar di kota-kota besar,
teurutama Makassar,dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam
masyarakat nelayan tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ
pula dipasarkan tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran
yang mengakar. Cara seperti inilah memungkinkan para pengusaha modal dari luar
secara berangsur-angsur mengambil alih sebagian besar posisi dan peranan vital
para pengusaha lokal, yang lemah dalam faktor modal. Mula-mula mereka
menuntut hasil tangkap dijual kepada mereka, kemudian banyak menentukan
spesis-spesis tangkapan nelayan dan tingkat harga, dan jika ketentuan-ketentua
kurang dipenuhi maka pinjaman (dalam bentuk perahu dan mesin) ditarik kembali
dari nelayan dan para ponggawa-nya.
Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di
Makassar dapat diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan
istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai peminjam pada posisi tengah (peranannya
menyerupai makelar), sementara para P.Laut/Juragang dan Sawi (nelayan) sebagai
penyewa atau penyicil alat-alat produksi semata
dari Bos melalui P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan dominasi Bos dalam
hirarkis struktur hubungan kerja sama nelayan, menyebabkan hubungan patron-
clientdi antara P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi
hubungan eksploitatif, sementara hubungan terpercaya cenderung dibangun dan
dimantapkan antara para P.Darat danBos. Tinggal P.Laut dengan Sawi-nya relatif
masih mempertahankan hubungan harmonis yang terbangun sejak dahulu kala.

Perlakuan para P.Darat/P.Lompo yang sering kali merugikan bagi


P.Laut/Juragan, yang menyebabkan mereka sulit meningkatkan pendapatan dan
bergeser naik ke status pemilik alat-alat produksi/pengusaha, mendorong
sebagian P.Laut/P.Caddi/Juragan mencoba menempuh cara berisiko, yaitu
meminjam modal langsung kepada Bosdi Makassar. Hingga sekarang, tidak
sedikit Juragan telah mencapai idamannya dengan strategi seperti ini, yaitu
menjadi nelayan pemilik/pengusaha. Sebaliknya, mereka cenderung membangun
kompetisi dengan dan mempersempit peluang usaha para P.Darat/P.Lompo yang
sudah kokoh sejak lama. Demikianlah tercipta suatu struktur kerja sama baru
antara Bosdengan P.Laut/Juragan yang secara langsung memimpin kelompok-
kelompok nelayan yang jumlahnya kecil di laut.

Pengembangan Budaya Maritim

Untuk sekedar menyegarkan pemahaman, sekali lagi diungkapkan bahwa


kebudayaan tidak lain dari dunia kehidupan manusia itu sendiri. Kebudayaan atau
dunia kehidupan manusia tersebut sekurang-kurangnya meliputi tujuh unsur umum
(cultural universal), yakni pengetahuan (cognitive/ideational/mental material),
bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, kesenian, religi dan kepercayaan.
Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga tingkatan wujud/rupa, yakni sistem budaya
(gagasan, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma, moral, perasaan, intuisi, dan lain-
lain), sistem sosial (tindakan dan kehidupan kolektif), dan sistem alat
peralatan/teknologi. Sudah dijelaskan pula bahwa sistem budaya (terkristalisasi
menjadi sistem nilai budaya) merupakan pedoman/acuan (preference/dominant)
bagi sistem sosial dan sistem alat peralatan, sebaliknya sistem alat peralatan dan
sistem sosial menjadi prasyarat/penentu (determinant) terhadap sistem budaya.
Adapun sistem sosial sendiri merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai
budaya dan penerapan sistem alat peralatan/teknologi.

Oleh karena sistem nilai budaya merupakan pedoman/acuan bagi sistem


sosial (berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa dan penggunaan alat
peralatan), maka dalam rangka pengembangan atau pembangunan kebudayaan
maritim ke depan tentu tepatnya dimulai dari sistem nilai budaya maritim itu sendiri.
Dengan terbangunnya sistem nilai budaya maritim yang ideal dan pragmatis, maka
pembangunan dimensi kehidupan bermasyarakat dan teknologinya akan terarahkan
dan terkendali dengan baik dalam konteks kristalisasi nilai dan moral budaya
maritim yang mengakar dan rekayasa baru individu atau kelompok potensial dari
segmen-segmen masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders). Termasuk
dalam segmen-segmen stakeholders yang kreatif-inovatif dalam merekayasa
unsur-unsur budaya maritim baru yang ideal, pragmatis, dan aplikatif ialah
kalangan akademisi, ahli dan pemerhati lingkungan, praktisi pembangunan, tokoh
agama, LSM, dan sebagainya.

Dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar disajian
sebelumnya, dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya maritim yang
dianggap potensial untuk direvitalisasi dan dikembangkan ke depan sebagai
landasan bagi pembangunan budaya maritim di Indonesia pada segala unsur atau
aspeknya. Unsur-unsur nilai dan norma budaya positif yang mengakar dalam
berbagai kelompok nelayan dan pelayar dari berbagai suku bangsa (ethnic groups)
yaitu : Komunalisme, Arif lingkungan, Religius, Berkehidupan
bersama/kolektivitas, Egalitarian, Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya,
Saling mempercayai, Patuh/taat norma, Bertanggung jawab, Disiplin, Kreatif-
inovatif, Teguh pendirian, Kepetualangan, Berani menanggung risiko, Adaptif dan
kompetitif, Berwawasan kelautan dan kepulauan, Multikulturalis, Nasionalis,
Berpandangan dunia/keterbukaan

Tentang nilai-nilai budaya maritim tersebut, tidak diasumsikan dianut dan


diaplikasikan oleh kelompok atau komunitas masyarakat nelayan pada umumnya
dan berlaku pada semua periode waktu atau masa. Sebaliknya, keberadaan sebagian
besar unsur nilai budaya maritim tersebut bersifat kontekstual. Misalnya,
keberanian dan kepetualangan, keketatan organisasi kerjasama, etos ekonomi yang
tinggi, wawasan kelautan, multikulturalisme, nasionalisme, dan sikap keterbukaan,
banyak dimiliki nelayan dan pelayar Bugis dan Makassar dengan kelembagaan P-
Sawi; sikap hemat/efisien dalam pemanfaatan uang dimiliki kebanyakan dimiliki
komunitas nelayan Dufadupa (Ternate) dengan kelembagaan arisan, menabung, ke-
Dibodibo-an; sikap tolong-menolong antaranggota kelompok nelayan dari unit-unit
usaha yang berbeda dimiliki komunitas nelayan Bonebone (Baubau --Buton)
dengan kelembagaan rektur Kuli Jala; sikap kebersamaan dengan dan melestarikan
lingkungan ekosistem dan sumberdaya perikanan laut, dan pemanfaatan hasil-hasil
secara bersama dan adil dimiliki oleh komunitas nelayan Maluku, Irian, dan Aceh
dengan kelembagaan lokal Sasi, Tyatiki, dan Panglima Laut); dan lain-lain.

Sistem nilai budaya, sikap kolektivitas, dan perilaku budaya kemaritiman


tersebut tumbuh berkembang sebagai reproduksi dari pengalaman berinteraksi
dengan laut, pekerjaan berat dan rumit, ancaman bahaya dan ketidak menentuan,
lingkungan sosial budaya masyarakat pengguna sumberdaya dan jasa laut yang lain,
pemerintah, pasar, dan sebagainya.

Problem Sosial - Ekonomi Masyarakat Maritim

a. Eksploitasi Sumber Daya Laut

Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika sumberdaya


ikan dunia hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21% dieskploitasi pada
tingkat sedang, 65% dieskploitasi pada tingkat penuh dan berlebihan, 9% rusak, dan
tidak lebih dari 1% yang pulih (Garcia & Moreno, 2001). Intensifnya pemanfaatan
sumberdaya ikan tidak hanya meninggalkan permasalahan akut kelangkaan
sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial terutama di daerah-
daerah pantai.

Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara


nasional, hasil pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat
Penelitian Oseanologi tahun 2001 menunjukkan 65% sumberdaya dieksploitasi
secara penuh atau berlebihan dan sumberdaya ikan di kawasan barat mendapat
tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan yang tinggi terjadi
pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi perikanan yang mencapai lebih
dari 10% per tahun. Sayangnya, motorisasi ini menghasilkan dualisme industri
perikanan. Keberpihakan berlebihan pada perikanan skala besar (trawl dan purse-
seine) melahirkan berbagai konflik dan menjadi catatan buruk pengelolaan
perikanan Indonesia. Saat ini, perikanan cenderung tumbuh semakin terbatas dan
berdasarkan data FAOSTAT (2005) pertumbuhan produksi tidak lebih dari 2% per
tahun selama periode 1999-2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP
(2003) nelayan tumbuh di atas 2% per tahun dan melebihi laju pertumbuhan kapal
ikan. Indikasi ini tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin terbatas
mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan sebagai pelabuhan
terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja
lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal World Development
(2003) menyebut perikanan yang sedang berjalan seirama dengan kemiskinan.

Tentu, integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong untuk


menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya usaha-usaha
berbasis kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan, budidaya ikan/udang,
pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwisata termasuk usaha berbasis wanita di
beberapa wilayah pesisir menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan
ke dalam pembangunan desa. Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung ”sense of
urgency” dan ”political will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali
pengelolaan perikanan. Bukanlah hal yang mudah ketika pemerintah tengah
memasang berbagai target pembangunan di atas tahun-tahun sebelumnya, seperti
produksi perikanan 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan
28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap
PDB 3,1%. Prioritas pada pengelolaan tidak hanya bermakna menjaga
keberlanjutan perikanan laut yang menyumbang 75% total produksi perikanan
nasional, tetapi juga menyelamatkan lebih dari 2,5 juta nelayan yang segara
langsung tergantung padanya.

b. Kemiskinan

Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan


kemajuan yang berarti dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan
mereka sebagai agen perubahan sosial ternyata tidak ditunjukkan secara positif
dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial paling dominan yang dihadapi di
wilayah pesisir justru masalah kemiskinan nelayan. Meski data akurat mengenai
jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil
penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa pesisir.

Hasil studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi di Indonesia


menunjukkan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 82.500
per bulan sampai Rp 225.000 per bulan. Kalau dikonversi ke pendapatan per kapita,
angka tersebut rata-rata setara dengan Rp 20.625 sampai Rp 56.250 per kapita per
bulan (Anon, 2002). Angka tersebut masih di bawah upah minimum regional yang
ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama. Hal ini perlu menjadi perhatian
mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka
kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena
penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun
penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan.
Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak
masih sering terjadi di wilayah pesisir.

Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang


dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan.
Sebagai contoh, pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000
sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan
pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem
pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu
sendiri.

c. Faktor Penyebab
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang
berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang
kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat.

Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem


masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada
anggota masyarakat (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di
14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui, nelayan
yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber
daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat
rendah.

Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi,


namun ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau
teknologi dan rendahnya lembaga penyedia teknologi. Yang menarik dari hasil
penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi positif antara tingkat kemiskinan
dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya, kehidupan
ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal, yaitu pemilik
perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan keperluan perahu
untuk berlayar.

d. Konflik Antar Nelayan

Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria, et.al. (2002) mengidentifikasi paling


tidak terdapat empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya.

Pertama, konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam
memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground), yang mirip dengan
kategori gearwar conflict-nya Charles (2001). Ini terjadi karena nelayan tradisional
merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan
tingkat penguasaan kapital. Seperti, konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal
trail pada perairan pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan
nelayan tradisional.

Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki
perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antara nelayan yang
memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah
lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan
pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium,
dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek).

Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing
ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan. Ini juga
bisa terjadi antara nelayan dengan pihak lain non-nelayan, seperti antara nelayan
dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata, pertambangan, yang oleh
Charles (2001) diistilahkan sebagai external allocation conflict.

Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan


identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik di atas
menggambarkan betapa kompleksnya konflik nelayan. Keempat tipe tersebut
terjadi baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah. Perebutan sumberdaya ikan
yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini, sehingga
menuntut kita untuk berpikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini. Banyak
kepentingan nelayan terkalahkan oleh kepentingan non nelayan karena nelayan
tidak memiliki organisasi dengan posisi tawar yang kuat. Di era otonomi daerah ini
lebih-lebih adanya kecenderungan Pemda mengejar kepentingan jangka pendek
dengan mengedepankan proyek-proyek yang quick yielding yang seringkali
berseberangan dengan kepentingan nelayan, kehadiran organisasi nelayan yang
solid menjadi kian mendesak.

Terakhir, dalam jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat penting dalam


mengantisipasi konflik. Pemberdayaan tentu utamanya diarahkan pada peningkatan
ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan. Berbagai bentuk praktek penangkapan
ikan secara destruktif ternyata tidak bisa lepas dari perspektif ekonomi. Ketika
nelayan dengan alat tangkap yang sangat terbatas dan menghasilkan tangkapan ikan
yang secara minimal, maka dorongan untuk melakukan praktik penangkapan secara
destruktif menjadi besar. Akibatnya konflik orientasi pun sering terjadi. Tentu
aspek ekonomi ini juga mesti diiringi dengan aspek sosial budaya yaitu dengan
melakukan pengkayaan pengetahuan dan pola sikap para nelayan terhadap
sumberdaya laut yang di beberapa tempat sudah mulai bergeser.

Solusi Alternatif ; Pemberdayaan Alternatif

Saat ini banyak program pemberdayaan yang mengklaim sebagai program


yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi
ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki akan program-program
tersebut sehingga tidak aneh banyak program yang hanya seumur masa proyek dan
berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Memberdayakan
masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk
menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang
akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu
sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan
kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena di dalam habitat pesisir terdapat
banyak kelompok kehidupan masyarakat yaitu : Masyarakat nelayan
tangkap, Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, Masyarakat nelayan buruh,
dan Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok
masyarakat nelayan buruh.
Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan
perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka.
Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir haruslah
dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah dengan daerah
pesisir lainnya. Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah bersifat bottom up dan
open menu, namun yang terpenting adalah pemberdayaan itu sendiri yang harus
langsung menyentuh kelompok masyarakat sasaran. Persoalan yang mungkin harus
dijawab adalah: Bagaimana memberdayakannya?

Banyak program pemberdayaan yang telah dilaksanakan pemerintah, salah


satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada intinya
program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: Kelembagaan,
Pendampingan dan Dana Usaha Produktif Bergulir.

DAFTAR PUSTAKA

Anonima. 2010. Perubahan Sosial Budaya. http://www.crayonpedia.org.


Diakses pada hari Minggu, 18 Maret 2012.

Anonimb. 2006. Dinamika Perubahan Sosial maritim.


http://www.crayonpedia.org Diakses Selasa 12 Maret 2012 pukul 20.15 Wita

Anonimc . 2009. Mengatasi Perubahan Sosial Budaya. http://reza-


andi.blogspot.com. Diakses pada tanggal 19 April 2012 pukul 20.00 WITA.

Martono, Nanang. 2011. Perubahan Sosial. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Tim Pengajar. 2011. Wawasan Ssosial Budaya Maritim. Universitas Hasanuddin.


Makassar

Anda mungkin juga menyukai