Munsi Lampe2
ABSTRACT
The topic of this article is chosen as one initiative to develop the study focus
of maritime anthropology that up till now is stagnant and tends to concern the
surface structure of the maritime cultural phenomena. By application and
development the maritimeness ethos/cultural disposition approach in
explaining the long navigational experience and maritime interaction of BugisMakassar seamen with outsiders, some items of their maritime cultural
insigths embodied as knowledge systems of Indonesia archipelagos,
awareness and ethnic group diversity and multiculture, love to the country,
language unity, nationality and globalism can be known. These geo-sociocultural insights assumed as reproduction of long seamenship tradition.
Keywords: Bugis-Makassar seamen, sailing tradition, reproduction of geosocio-cultural insigths
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan
karakteristik geografi, sosial demografi dan ekonomi, dan budaya baharinya
yang mencolok. Karakteristik alamiah berupa 17.508 pulau besar dan kecil
dengan panjang pantai 81.000 Km; 2.027.087 Km2 luas wilayah darat; 5,8
Km2 luas wilayah laut (3.166.163 Km2 perairan nusantara dan teritorial dan
1 Makalah dipresentasikan pada Seminar -------------Tahun 2014 DI Universitas Utara
Malaysia, Mei 2014.
2 Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Antropologi Fisip Unhas.
2.500.000 Km2 ZEE (kondisi sebelum Timor Timur, Sipadan dan Ligitan lepas
dari NKRI); perairan tersebut mengandung sumberdaya alam dapat
terbaharukan (sumberdaya perikanan, terumbu karang, padang lamun,
mangrof) dan tidak terbaharukan (migas, mineral, besi, harta karun) yang
melimpah tak ternilai. Lagi pula Indonesia diapit oleh Benua Asia dan
Australia dan berada di antara Samudera Hindia dan Pasifik (BPP Teknologi
dan WANHANKAMNAS, 1996). Dari karakteristik geografi dan posisi
strategik dalam konteks dunia Internasional, maka sudah pantas dan
semestinya pengemangan peradaban kemaritiman mendapatkan prioritas
dalam program pembangunan nasional.
Karakteristik sosial-demografi dan sosial- ekonomi ditunjukkan dengan
desa-desa pantai yang memenuhi bagian terbesar gugusan pulau-pulau
besar dan kecil dari Sabang sampai Merauke yang jumlah penduduknya tidak
kurang dari 60.000.000 jiwa. Mereka hidup secara langsung atau tidak
langsung dari berbagai sektor ekonomi kelautan, terutama perikanan,
transportasi, dan perdagangan laut. Ketiga sektor ekonomi kemaritiman
tersebut merupakan sektor ekonomi paling tua dan banyak digeluti penduduk
pesisir dan pulau-pulau di negara kepulauan ini sejak dahulu.
Karakteristik budaya Masyarakat Nusantara ini sarat dengan sejarah
peradaban maritim dominan mencakup aspek-aspek politik pemerintahan,
pertahanan keamanan, industri kapal kayu, arsitektur, astrologi, transportasi
dan perdagangan, dan pelabuhan yang pernah berkembang dan berjaya
diperankan oleh masyarakat di pusat-pusat kerajaan maritim. Adapun tradisi
penangkapan ikan di laut dilakoni dan didukung oleh komunitas-komunitas
nelayan pesisir yang kebanyakan hidup dalam kondisi miskin 3.
Dalam rangka pengembangan ilmu sosial-budaya dan pengembangan
peradaban kemaritiman Indonesia ke depan, maka studi tradisi dan proses
dinamika budaya maritim perlu ditingkatkan baik dari sisi kualitas maupun
fokus studi. Hasil kajian tentu dapat pula memberikan manfaat praktis
sebagai bahan rekayasa model pengelolaan ekonomi, pengembangan
wawasan multikultural dan nasionalisme, wawasan dunia/global, dan
penguatan integrasi bangsa. Di Indonesia, berbagai studi antropologi dan
3 Mukhlis Paeni menggunakan istilah tradisi budaya maritim besar (maritime great
tradition) untuk peradaban maritim dominan, dan tradisi budaya maritim kecil
(maritime little tradition) untuk aktivitas penangkapan ikan di laut. Kedua istilah
tersebut terkandung dalam makalahnya Memahami Kebudayaan Maritim BugisMakassar (1986).
menolong setiap orang yang diperlakukan tidak adil. Hal ini yang mendasari
seorang penyair Belanda menyatakan bahwa pelaut dan pedagang dari
Sulawesi Selatan itu bagaikan ayam-ayam jago kesayangan dari dunia
Timur (de hantjes van het Oosten).
Penelusuran terhadap sejarah pengembaran dan pelayaran dan
perdagangan maritim Bugis-Makassar dimaksudkan untuk mengungkapkan
fakta jalinan hubungan ekonomi, sosial, dan politik yang telah terbangun dan
menjadi dasar bagi pembentukan integrasi bangsa dalam perkembangan
kemudian. Tidak dapat disangkal bahwa wilayah Republik Indonesia ini
menjadi satu kesatuan dari bekas wilayah jajahan pemerintah kolonial
Belanda, namun sebagaimana dinyatakan oleh Edward Poelinggomang,
bahwa hal ini sangat ditunjang dengan sikap toleransi dan simpati di antara
kelompok-kelompok etnis yang telah menjalin persahabatan dan
persaudaraan sebagai buah dari jaringan pelayaran dan perdagangan
maritim, dalam mana pelaut dan pedagang Bugis-Makassar dari Sulawesi
Selatan memainkan peranan besar.
MEMPERTAHANKAN TRADISI PELAYARAN DAN TUMBUHNYA WAWASAN GEOGRAFI NUSANTARA7
Setelah Indonesia merdeka, tradisi pengembaraan pelayaran kembali
diproduktifkan oleh para pelaut Bugis-Makassar sebagai pewaris budaya
maritim nenek moyang yang hidup di masa kolonial dan sebelumnya. Belajar
pari proses sejarah perpolitikan yang panjang mengenai wilayah Nusantara
ini, diketahui telah terjadi perubahan wawasan kelompok-kelompok pelaut
Bugis-Makassar tentang status wilayah perairan dan daratan Nusantara ini
dari masa kolonial dan sebelumnya ke masa kemerdekaan. Dari pelaut
generasi tua, mereka memperoleh pengetahuan bahwa di masa lalu, daerahdaerah perairan Nusantara dan pulau-pulau yang banyak jumlahnya berada
dalam klaim kerajaan-kerajaan maritim berdaulat, yang di antara mereka
terjalin hubungan politik dan dagang.
Dalam masa kemerdekaan, melalui pengalamannya yang panjang para
pelaut Bugis-Makassar mengetahui bahwa daerah-daerah perairan dan
pulau-pulau yang dilayari dan disinggahi itu telah terintegrasi dalam satu
7 Bahan dalam bagian ini sepenuhnya diambil dari hasil Penelitian Stranas
Menggali Kelembagaan dan Wawasan Budaya Bahari Bugis-Makassar yang
Menunjang bagi Penguatan Integrasi Bangsa dan Harmonisasi Sosial tahun 2010.
mengangkut hasil bumi berupa kacang ijo dan kacang kedelai (ditempuh
selama 7 hari). Perjalanan ini berlangsung dalam musim timur. Setelah
muatan dibongkar, pelayaran diteruskan ke Pulau Bangka Belitung
mengangkut barang campuran (ditempuh selama 4 hari). Dari tempat
ini, pelayaran diarahkan ke Pelabuhan Kalimas Surabaya untuk
mengangkut pasir pantai 40 kubik sebagai bahan dasar pembuatan
gelas (ditempuh selama 4 hari). Dari Surabaya perjalanan dilanjutkan ke
Kota Samarinda Kalimantan Timur mengangkut barang campuran
dengan berat 50-60 ton. Dari Samarinda, Bunga Harapan kembali ke
Bira Sulawesi Selatan mengangkut kayu bahan bangunan kapal/perahu.
Di Bira, kapal diistrahatkan selama dua atau tiga bulan (Januari-Maret),
kemudian dioperasikan kembali mulai dari bulan April melalui rute-rute
yang relatif sama dengan yang sebelumnya. (Rute pelayaran Nakoda
Mustajab seperti pada gambar peta 2 terlampir).
Dari perbincangan dengan Nakoda Mustadjab dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan dan wawasannya tentang ruang perairan dan pulau-pulau di
Indonesia, terutama bagian barat, adalah cukup luas. Bagi Nakoda
Mustadjab, rizki kita ada pada pedagang di setiap pulau, mereka menunggu
untuk menyewa kapal, pelautlah yang mencarinya, kemudian mereka
menentukan tempat tujuan kapal, dan seterusnya. Pelaut, menurut
Mustadjab, harus menjaga hubungan kekal dengan langganan dengan sikap
jujur, menepati janji, dan hati-hati agar supaya tidak terjadi kerugian material
dan nonmaterial di antara kedua belah pihak. Patuh pada ajaran agama
Islam, menurutnya, merupakan pedoman hidup bagi aktivitas pelayaran.
Kasus 3, Puang Ambo (56 tahun, Nakoda, Makassar)
Puang Ambo yang berkedudukan di kawasan Pelabuhan Paotere
Makassar mulai berlayar dari tahun 1964 dan masih aktif hingga saat ini.
Kota-kota yang dilalui kapalnya ialah Kolaka, Buton, Bima, Kupang, Ambon,
Sorong, Biak, Surabaya, Dempasar, Sumbawa, Lombok (kawasan timur
Indonesia), Balikpapan, Samarinda, dan Pontianak (kawasan barat
Indonesia). Pengalaman berlayar dan kota-kota yang disinggahi serta
barang-barang dagangan yang dimuat diceritakan olehnya berikut ini:
Rute pelayaran saya ialah dari Pelabuhan Paotere Makassar ke
Kolaka, Buton, Bima, dan kupang mengangkut hasil bumi untuk bahan
makanan, terutama terigu dan beras, dan bahan bangunan, terutama
semen. Di ketiga daerah tersebut kapal saya memuat berbagai jenis
11
12
13
orang lain, yang dianggapnya sebagai kekayaan tak ternilai, tidak akan habis,
dan sangat membanggakan.
Aktivitas pelayaran pelaut-pelaut Bugis-Makassar yang berulang kali
dari satu pulau ke pulau-pulau lainnya telah terpetakan dalam ingatannya
(cognitive maps); mereka mengetahui letak-letak pulau-pulau dan jarak di
antara pulau-pulau serta waktu tempuh masing-masing. Mereka menghapal
nama-nama wilayah perairan, pulau-pulau, dan kota-kota pantai yang pernah
disinggahi atau tinggal sementara di situ. Bahkan hingga batas-batas
tertentu, mereka mengenal karakteristik pisik lingkungan alam laut dan
daratnya. Ada sebagian di antara mereka secara relatif mengetahui batasbatas antara wilayah perairan Indonesia dan perairan negara-negara lainnya
(seperti, Malaysia, Pilipina, Papua Timur, Australia, dan Timor Timur/Timor
Leste).
INTERAKSI KEMARITIMAN DAN REPRODUKSI WAWASAN KEBERAGAMAN ETNIS DAN BUDAYA NUSANTARA, NKRI, DAN DUNIA
EKSTERNAL
Dari catatan sejarah pengembaraan pelayaran para pelaut BugisMakassar, baik dalam masa kedaulatan kerajaan-kerajaan maritim Nusantara
hingga masa kolonial, maupun dalam masa setelah kemerdekaan Indonesia,
ditemukenali berbagai unsur nilai budaya dan wawasan budaya kemaritiman
yang dapat diasumsikan sebagai reproduksi dari pengalaman pelayaran dan
interaksi kemaritiman pelaut-pelaut Bugis-Makassar dengan dunia luar.
Konsep dunia luar bukan hanya dengan kerajaan-kerajaan maritim
Nusantara, tetapi juga dengan kelompok-kelompok suku laut, terutama Bajo,
pedagang-pedagang Cina, India, Timur Tengah, Portugis, Spanyol, VOC
(Belanda), dan lain-lain. Pengalaman interaksi dengan dunia luar tersebut
banyak memberikan inspirasi kreatif-inovatif dan penyerapan teknologi
perkapalan, pengetahuan dan keterampilan pelayaran, kompetisi dagang,
kebijakan politik dan perang (lihat antara lain Curtin, 1984: 158-166).
Pelaut-pelaut Bugis-Makassar di masa lalu diakui pula oleh sejarahwan
Robert Dick-Read (2005: 88-105) sebagai pelaut yang memiliki keahlian
kebaharian yang luar biasa, juga mempunyai reputasi sebagai pedagang
sukses dan jujur, prajurit yang setia dan jujur, berkepribadian dan berperilaku
baik, pemimpin yang baik, dan senang berpetualang. Menurutnya, jika
seorang raja maritim di masa lalu atau penguasa Indonesia membutuhkan
14
15
16
17
18
4
5
6
8
7
BIRA
3
2
19
BIRA
20
10
11
12
7
9
BIRA
5
6
2
21
6
5
2
31
BIRA
22
Darwin
23
Okinawaa
24