Anda di halaman 1dari 2

FINLANDIA JADI NEGARA PALING BAHAGIA

Ilustrasi perempuan Finlandia.

Finlandia menduduki puncak daftar World Happiness Report 2018. Mengapa penduduk
negara Skandinavia ini jadi yang paling bahagia di dunia?

Tahun lalu, Finlandia berada di peringkat ke-5. Kini mereka menggeser Norwegia yang
tadinya juara, ke peringkat ke-2, diikuti Denmark dan Islandia. Bertepatan dengan 100 tahun
kemerdekaannya pada 2017, Finlandia dinobatkan beragam penghargaan internasional. Negara
ini termasuk paling stabil, aman, dan memiliki sistem pemerintahan terbaik. Finlandia juga
menjadi salah satu negara terkaya, bebas korupsi, dan progresif secara sosial. Sistem
peradilannya paling independen di dunia, aparat kepolisiannya paling tepercaya. Bank-bank
berkinerja sangat baik, perusahaan-perusahaan di sana pun paling etis. Apalagi penduduknya.
Mereka menikmati kebebasan pribadi, kebebasan memilih dan kesejahteraan tertinggi.
Kesemuanya merupakan bukti sekaligus alasan mengapa penduduk Finlandia sangat bahagia.
Namun, sebelum sampai pada tahap itu ada pelajaran sekaligus perjalanan panjang.

Finlandia punya sejarah kelam yang berakhir 150 tahun lalu. Di bawah kepemimpinan
kekaisaran Rusia, masyarakat Finlandia yang kala itu miskin dan terbelakang harus menghadapi
paceklik di musim dingin. Merenggut nyawa lebih dari seperempat juta orang atau hampir 10
persen populasinya akibat kelaparan. Bahkan, enam abad sebelumnya, Finlandia hanyalah
populasi miskin di bawah pemerintahan Swedia. Meski tak ada perbudakan, di sana tiada pula
bangsawan kaya raya, dan tak pernah ada hierarki. Agar terbebas dari penderitaan, sekian lama
mereka terbiasa dengan dua prinsip yang berasal dari dua kata Finlandia, Sisu dan Talkoo. Sisu
adalah semacam ketekunan yang gigih dan gagah berani, terlepas dari konsekuensinya.
Sementara Talkoo menyoal kesetaraan, di mana orang bekerja sama secara kolektif untuk
kebaikan tertentu seperti memanen dan menambal kayu. Dua prinsip ini berkali-kali mereka
jadikan tameng di medan perang, tatkala menantang pasukan Soviet yang jumlahnya berkali lipat
pasukan Finlandia pada 1939-1940. Walau kalah dan merugi, mereka yakin kemenangan pasti
datang lewat kebersamaan. Dan itulah kuncinya.

Budaya sisu dan talkoo menjadikan Finlandia bangsa mandiri sekaligus ramah dan murah
hati. Tiap orang di sana bekerja keras untuk diri sendiri. Akan tetapi, tempat terpencil dan
kondisi iklim yang tak bersahabat--musim dingin panjang serta gelap--membuat mereka sadar.
Banyak masanya orang butuh bantuan, karena itu manusia tak bisa hidup sendirian. Alhasil,
ketika ada yang butuh bantuan, mereka tak segan mengulurkan tangan. Tanpa bertanya untuk
apa, dibayar berapa. Selanjutnya, prinsip dua budaya tadi berkembang menjadi kesetaraan dan
modal dukungan sosial. Keduanya sangat penting sebagai landasan kebahagiaan. Berdampak
signifikan pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Pun menjelaskan mengapa negara lebih
kaya dan demokratis macam Inggris dan Amerika tidak lebih bahagia.

Secara ilmiah, fenomena kekayaan tidak mampu membeli kebahagiaan secara utuh
dikenal dengan istilah "Easterlin Paradox". Meski memang, uang bisa saja membeli
kesejahteraan dalam batas tertentu. Penjelasannya begini, jika kita tadinya bukan orang mampu,
lalu punya uang, maka kebahagiaan dan kesejahteraan akan meningkat. Sebab dengan uang kita
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup. Kebutuhan seperti itu adalah fondasi, termasuk
kenyamanan dan keamanan. Namun, ketika kita kaya raya, menumpuk kekayaan tak lagi
berdampak pada kebahagiaan. Pada titik itu, pandangan kita berubah. Kebahagiaan lebih berarti
merasa dihargai dan dicintai. Pada sistem negara yang tak berjalan baik, ketidaksetaraan dan
kurang dukungan bisa menoreh luka. Seseorang bisa jadi semakin kaya, tapi malah depresi.
Sebaliknya di Finlandia. Mereka memungkinkan warganya mendapat kebahagiaan utuh dengan
berbuat baik. Sehingga, lebih mudah bagi mereka menemukan makna hidup dan kepuasan lewat
kesetaraan dan dukungan sosial yang lebih tinggi. Bisa dibilang, masyarakat Finlandia tidak
mencari kebahagiaan dengan berusaha mati-matian untuk menjadi sangat bahagia. Hasilnya,
mereka menemukan kebahagiaan, bahkan lebih bahagia, lewat usaha minimal.

Di Finlandia, tak ada kesenjangan sosial. Masyarakatnya--mampu atau tidak-- bersedia


membayar pajak dan iuran tinggi. Karena mereka tahu hasilnya bisa digunakan untuk membantu
"mendukung" orang lain yang membutuhkan lewat program sosial. Di sana, biaya kesehatan dan
jenjang pendidikan dibayar gratis. Tak ada universitas swasta sehingga tercipta suasana egaliter.
Pensiunan tanpa gaji dan perempuan hamil yang tidak bekerja diberi tunjangan pemerintah.
Begitu pula laki-laki pengangguran. Ibu hamil yang cuti melahirkan sangat terjamin, cuti suami
untuk mendampingi istri melahirkan pun dianjurkan. Selama cuti, mereka tetap digaji penuh.
Bahkan, mereka yang cuti sakit juga digaji. Ada pula kebijakan liburan lima minggu tiap tahun
dan tetap digaji. Terlebih lagi, Finlandia baru saja membuat kebijakan untuk mengentaskan
tunawisma. Negara ini adalah satu-satunya yang memungkinkan ayah menghabiskan lebih
banyak waktu bersama buah hatinya di usia sekolah. Jadi tak mengherankan jika angka harapan
hidup Finlandia sangat tinggi, 78 untuk laki-laki dan 84 tahun untuk perempuan. Bahkan imigran
yang datang ke sana pun mengaku turut berbahagia--World Happiness Report 2018 pertama
kalinya memperhitungkan tingkat kebahagiaan imigran.

Anda mungkin juga menyukai