Peristiwa ini terjadi pada tahun 2002. Sebuah bom diledakkan di kawasan Legian Kuta,
Bali oleh sekelompok jaringan teroris. Kepanikan sempat melanda di penjuru Nusantara
akibat peristiwa ini. Aksi bom bali ini juga banyak memicu tindakan terorisme di kemudian
hari. Peristiwa bom bali menjadi salah satu aksi terorisme terbesar di Indonesia. Akibat
peristiwa ini, sebanyak ratusan orang meninggal dunia, mulai dari turis asing hingga warga
lokal yang ada di sekitar lokasi.
Analisis:
Bom Bali merupakan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah pariwisata Indonesia.
Aksi-aksi terorisme seperti itu perlu diantisipasi di masa mendatang mengingat pariwisata
Indonesia terus berkembang dan menjadi tulang punggung perekonomian negara dan
mayarakat. Peristiwa Bom Bali I pada 2002 dan Bom Bali II pada 2005 sangat memukul
pariwisata Indonesia, khususnya provinsi Bali. Daerah yang semula mengandalkan
pendapatan dari pariwisata secara tiba-tiba diguncang aksi terorisme yang mengakibatkan
banyak korban jiwa.
Dampaknya pun tidak sesaat. Indonesia mendapat catatan negatif dari negara-negara di
dunia karena dianggap tidak memiliki antisipasi terhadap aksi terorisme saat itu. Bagi dunia
pariwisata, aksi terorisme merupakan musuh utama. Kepercayaan wisatawan mancanegara
bergantung pada kemampauan pemerintah daerah dan pusat dalam menangani isu terorisme.
Pariwisata Indonesia perlu perhatian khusus pasca peristiwa Bom Bali.
Bicara soal hak asasi manusia (HAM) hampir semua orang sepakat bahwa aksi
terorisme merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat di samping kejahatan perang,
pembasmian etnis, atau juga penggunaan senjata kimia. Di Indonesia, rentetan aksi terorisme
yang telah terjadi sejak tahun 2000 hingga kasus-kasus terbaru seperti teror Bom Thamrin
dan Bom Samarinda tahun lalu sejatinya juga merupakan kasus pelanggaran HAM.
Kelompok teroris begitu tega meledakkan bom di jalan raya, hotel, kawasan wisata, kafe,
bahkan tempat ibadah, demi kepentingan politik mereka.
Aksi terorisme melahirkan para korban, yaitu masyarakat sipil yang tak tahu menahu
tentang konflik yang dipersoalkan kelompok teroris. Di antara para korban ada yang sekadar
lewat, nongkrong, mampir makan, atau sedang bekerja mencari nafkah di lokasi-lokasi
kejadian teror. Ratusan korban telah meninggal dunia akibat serangan terorisme sementara
ratusan lainnya mengalami penderitaan menahun akibat kejahatan luar biasa itu. Sebagian
mereka mengalami cacat seumur hidup karena kehilangan anggota tubuh, sebagian lainnya
mengalami luka psikologis yang hingga kini belum sepenuhnya dapat dipulihkan.
Kita tahu bersma bahawa para pelaku telah di tangkap dan mendapakan hukuman
sesuai peran masing-masing. Tapi derita akibat serangan teror tak berhenti di situ. Ketika
serangan terorisme berhasil membunuh nyawa manusia, pada saat yang sama tercipta anak-
anak yatim atau piatu yang kehilangan orang tuanya, tercipta keluarga yang kehilangan
tulang punggungnya, tercipta kemiskinan -atau setidaknya ancaman kemiskinan- yang
tersistem. Dari alasan ini kita mengetahui betapa terorisme adalah kezaliman dan merupakan
bentuk pelanggaran HAM yang nyata.
Hak-hak korban terorisme dalam UU No. 15/2003 yang terabaikan ini harus menjadi
perhatian bersama seiring dengan adanya rencana revisi UU tersebut yang kini tengah
digodok pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Selama hak kompensasi belum
terbayarkan, selama itu pula negara menanggung hutang kepada para korban terorisme.
Sementara itu, hak-hak korban terorisme yang diatur dalam UU No. 31/2014 mencakup
bantuan rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial. Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK), lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU tersebut, telah mulai
memberikan hak-hak kepada sebagian korban. Dari ratusan korban terorisme yang ada di
Indonesia, LPSK baru dapat menjangkau puluhan di antara mereka disebabkan bermacam
kendala, termasuk tentang assessment korban.
Menangani korban terorisme memang hal baru bagi LPSK mengingat selama ini
lembaga tersebut lebih banyak mengurusi korban pelanggaran HAM berat. Dalam
memberikan hak-hak kepada korban pelanggaran HAM berat, LPSK berdasarkan pada surat
keterangan korban yang didapat dari Komnas HAM. Sementara itu, menghadapi korban
terorisme LPSK terkesan kebingungan tentang siapa yang berwenang menentukan korban.
Lembaga tersebut mengambil langkah hati-hati dalam melakukan penelusuran tentang korban
sebab tak mau disalahkan dalam membelanjakan anggaran negara. Menurut hemat penulis, ke
depan LPSK harus didukung untuk dapat menjangkau lebih banyak lagi korban terorisme
sehingga negara benar-benar bekerja konstitusional dengan melaksanakan amanat UU.