Anda di halaman 1dari 15

Contoh Teks Editorial

Nama : NISA NURMARINA

MEMBUAT PETAKA DI TENGAH BENCANA

Kamis, 23 Aug 2018 07:24 WIB


Gempa Lombok

GEMPA Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), ialah ujian seluruh sendi bangsa. Bukan
saja menguji ketegaran masyarakat Lombok, melainkan pula ujian kesigapan
pemerintah, baik daerah maupun pusat.

Tidak salah pula jika tuntutan kesigapan itu lebih dialamatkan pada pemerintah pusat.
Skala korban dan kerusakan memang besar. Hingga kini setidaknya 515 nyawa telah
melayang dan kerugian lebih dari Rp7 triliun.

Tidak hanya itu, sejak mengamuk dengan kekuatan magnitudo (M) 7,0 pada 5 Agustus,
gempa belum juga reda. Hingga kini setidaknya 825 gempa terjadi, bahkan terjadi pula
gempa baru pada 19 Agustus dengan kekuatan yang sama.

Dari sisi sejarah kegempaan, peristiwa itu bukanlah sesuatu yang pernah dihadapi
bahkan di negara cincin api kita. Sebab itu, wajar pemerintah pusat dituntut
memberikan bantuan maksimal untuk penanganan gempa itu.

Meski begitu, tuntutan soal penetapan status bencana nasional justru tidak tepat.
Meributkan status itu seperti orang yang menyiramkan air bukan ke pusat kebakaran.
Mereka berlagak ikut mengatasi bencana, padahal hanya membuang energi.

Mereka juga seolah menutup mata terhadap bantuan yang disalur. Pada hari-hari
pertama bencana, BNPB langsung menyalurkan 21 ton bantuan logistik. Di gelombang
berikutnya, SAR mengirim 100 personel dan kemudian ada pula kru personel TNI.

Tidak hanya menutup mata soal skala penanganan yang sebenarnya sudah nasional,
kelompok penuntut status bencana tidak mau tahu soal rekam jejak penanganan
bencana. Sudah 14 tahun ini tidak ada bencana yang ditetapkan sebagai bencana
nasional.
Terakhir ialah bencana tsunami Aceh. Bahkan gempa Sumatra Barat yang menelan
korban jiwa lebih dari 1.100 orang pun tidak mendapat status itu.

Dari situ, tidaklah naif jika kita menilai tuntutan status bencana nasional pada gempa
Lombok ialah sebuah politisasi. Demi pertarungan kekuasaan, sikap pemerintah saat ini
yang tidak berbeda dari pemerintah yang lalu dijadikan bahan diskredit.

Kita pun bisa melihat sosok-sosok yang keras mengkritik tidak ada status bencana
nasional itu merupakan oposisi pemerintah. Di antaranya ialah Fahri Hamzah dan
anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.

Tindakan politisasi itulah yang pantas disebut petaka di tengah bencana. Tindakan itu
hanya membuat suasana keruh dan potensi perpecahan di tengah bangsa yang dituntut
bersatu.

Di sisi lain, para politikus itu sebenarnya juga menunjukkan sendiri kebebalan soal
dasar-dasar penetapan status bencana nasional. Setidaknya, mereka pun bisa
bertanya kepada partai sekoalisi soal alasan tidak dikeluarkannya status bencana
nasional di pemerintahan sebelumnya.

Wewenang penetapan status bencana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 21 Tahun


2008 yang menyatakan penentuan status keadaan darurat bencana dilaksanakan
pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan bencana.
Untuk tingkat nasional ditetapkan presiden, tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat
kabupaten/kota oleh bupati/wali kota. Penetapan status dan tingkat bencana nasional
dan daerah didasarkan pada lima variabel utama, yakni jumlah korban, kerugian harta
benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana,
serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Pada bencana tsunami Aceh, pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota
termasuk unsur pusat di Aceh seperti kodam dan polda, kolaps atau tak berdaya
sehingga menyerahkan ke pemerintah pusat.

Penetapan status bencana nasional juga membuat konsekuensi Indonesia membuka


pintu seluas-luasnya bagi bantuan internasional oleh negara-negara lain. Dari situ
sering kali timbul permasalahan baru terkait dengan bantuan internasional karena
menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.

Sementara saat ini, Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyatakan meski tanpa status
bencana nasional, sumber daya yang dikerahkan sudah berskala nasional. Presiden
Joko Widodo juga akan merilis instruksi presiden (inpres) untuk mempercepat
penanganan gempa.

Di Lombok, Wapres Jusuf Kalla pun sudah menyatakan pemerintah akan memberikan
bantuan pendanaan pendirian rumah kembali. Pendirian itu harus dilakukan dengan
standar ketahanan kegempaan. Penanganan komprehensif inilah yang memang lebih
dibutuhkan masyarakat.
Contoh Teks Editorial
Nama : Yulia Rozita Erlin

Mengkhawatirkan, 56.000 Remaja NTB


Pakai Narkoba

Mataram – Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga, Husnanidiaty Nurdin

menyampaikan, permasalahan narkoba sudah masuk ke dalam fase yang

cukup mengkhawatirkan.

Data dari BNN tahun 2017, Pengguna narkoba di Provinsi NTB berjumlah

56.000 orang kalangan dewasa atau remaja.

Oleh sebab itu, sebagai lembaga yang bertanggung jawab kepada para

remaja, ia terus berupaya mensosialisasikan bahaya narkoba di level

tersebut.

“Itu data 2017, belum 2018. Itulah sebabnya gencar sosialisasi cegah,

jangan sampai narkoba semakin merajalela, terlebih di kalangan remaja

yang masih sekolah karena dapat mengancam keberlangsungan

pendidikan,” ungkapnya, Rabu (19/4).


Dia mengaku, saat ini sedang gencar sosialiasi dan memberikan

penyuluhan kepada beberapa siswa SMA/SMK sederajat dari perwakilan

kabupaten/kota se-NTB. Sebanyak 10 orang per daerah direncanakan

akan menjadi duta narkoba yang bertujuan memperkuat agar siswa/siswi

agar tidak terjerumus kubangan narkoba.

Selain itu, memantapkan program duta narkoba ini diharapkan nantinya

mereka akan dapat memberikan penjelasan tentang bahaya narkoba ke

teman-temannya. Satu orang mampu mempengaruhi ke arah positif

banyak orang. Dengan demikian, secara tidak langsung banyak akan

mengetahui bahaya narkoba. (prm)


Contoh teks editorial
Nama : Juli Wiliya

Korupsi dana bencana gempa Lombok, kejaksaan


bidik tersangka baru
 17 September 2018

Hak
atas fotoAFP
Setelah anggota DPRD Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, bernama Muhir
ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana rehabilitasi
sekolah rusak akibat gempa bumi, kejaksaan mengklaim terus mencari
pelaku lain.
Perkara ini diduga melibatkan sejumlah pihak karena berkaitan dengan pengesahan
anggaran untuk Pemkot Mataram.
"Semua akan kami periksa, semua yang terkait Komisi IV, Sekretariat Dewan, dan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah," kata Kepala Kejaksaan Negeri Mataram,
Ketut Sumenda, kepada BBC News Indonesia, Minggu (16/09).
"Kami fokus satu tersangka dulu, tapi kalau dia mau terbuka, tidak menutup
kemungkinan siapa saja bisa menjadi tersangka baru," imbuhnya.
 Gempa Lombok: Warga mulai membangun sendiri rumahnya
 Sejumlah warga di Lombok kekurangan bantuan, warga 'makan sekali
sehari'
 Gempa Lombok: Daratan berubah bentuk dan naik 25 sentimeter
Muhir, yang juga dikenal sebagai pengurus Partai Golkar di Mataram, ditangkap Jumat
(14/09) pekan lalu. Penyidik kejaksaan menyita uang sebesar Rp30 juta dan mobil
Honda HRV dalam penindakan tersebut.
Muhir diduga meminta "balas jasa" dari pejabat Dinas Pendidikan Mataram dan
kontraktor. Ia mengklaim berjasa karena menjamin anggaran Rp4,2 miliar untuk
perbaikan 14 gedung SD dan SMP masuk dalam APBD Perubahan tahun 2018.
Kejaksaan Mataram menjerat Muhir dengan pasal 12e UU 20/2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi, yang melarang pejabat negara menyalahgunakan kewenangan untuk
memaksa seseorang memberikan sesuatu kepada dirinya.
Kepala Dinas Pendidikan Mataram, Sudenom, dan seorang kontraktor berinisial CT,
turut ditangkap bersama Muhir. Saat diperiksa penyidik, Sudenom mengaku terpaksa
mengabulkan permintaan Muhir.
"Dia khawatir, kalau tidak diberikan, anggaran bisa berubah angkanya atau anggaran
Dinas Pendidikan ke depan bisa terdampak," kata Ketut merujuk Sudenom.
Dalam catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, setidaknya 606 bangunan
sekolah rusak akibat gempa bumi yang mengguncang Lombok sejak awal Agustus lalu.
Tercatat, 1.460 dari total 3.051 ruang kelas di 606 sekolah tersebut rusak berat.
Aktivitas belajar-mengajar pun sempat terhenti dan diselenggarakan secara darurat di
tenda-tenda pengungsian.
Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo,
perbuatan yang diduga diperbuat Muhir kerap terjadi di sejumlah DPRD. Kongkalikong
antara anggota legislatif dan eksekutif itu dikenal sebagai "uang ketok palu".
"Dalam bencana atau tidak, potensi meminta uang atau memeras karena mengklaim
berjasa atas sebuah keputusan, terjadi di berbagai kesempatan," ujar Adnan.
Perkara "uang ketok palu" terbukti terjadi di Jambi.
April lalu, mantan Asisten III Pemprov Jambi, Saifuddin, dihukum 3,5 tahun penjara
karena memberi Rp400 juta kepada anggota DPRD Jambi dalam rangka pengesahan
APBD 2018.
Setelah Saifuddin, kasus itu kini juga menjerat mantan Gubernur Jambi, Zumi Zola.
Namun Ketua DPRD Nusa Tenggara Barat, Baiq Isvie Rupaedah, membantah anggota
legislatif dapat mengambil keuntungan dalam proses penetapan anggaran.
Baiq mengatakan seharusnya tidak ada anggota DPRD yang merasa paling berjasa
dalam pengesahan anggaran yang diajukan pemerintah daerah.
"Tidak ada jasa perorangan, yang ada, secara bersama-sama eksekutif dan legislatif
membahas anggaran dalam badan yang nama badan anggaran," kata Baiq saat
dihubungi dari Jakarta.
"Membahas bisa setuju atau tidak, menambah atau mengurangi anggaran. DPRD
sangat berperan tapi bukan untuk disalahgunakan," katanya.
Merujuk pasal 2 ayat 2 dalam UU Tipikor, upaya memperkaya diri sendiri yang
dilakukan pejabat negara dapat diganjar pidana mati.
Meski begitu, Kejaksaan Mataram menyebut hukuman itu tidak dapat diancamkan
kepada Muhir. Alasannya, pidana mati hanya berlaku untuk korupsi pada bencana alam
nasional.
"Kami tidak bisa menerapkan pasal itu, maksimal penjara 20 tahun. Tapi tetap ada
alasan pemberatan karena ini menyangkut bencana alam," kata Ketut Sumenda.
Bagaimanapun, ICW menilai belum pernah ada hukuman berat yang dijatuhkan kepada
pelaku korupsi dana penanggulangan bencana alam.
Adnan Topan berharap, kasus di Lombok ini dapat menjadi momentum efek jera bagi
pejabat negara.
"Kejadian ini terus berulang, hukuman berat ada tapi itu hanya di teks saja. Paling tidak
pelaku ini dihukum 20 tahun. Kalau cuma dua atau tiga tahun, percuma," ujar Adnan.
Saat dugaan korupsi yang dilakukan Muhir terjadi, sejumlah warga Lombok masih
bertahan di posko pengungsian. Salah satu penyebabnya, rumah mereka hancur dan
rehabilitasi belum tuntas.
Sekretaris Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Mataram, Akbar Saptadi, menyebut
pembangunan ulang permukiman terhambat akses ke desa-desa.
"Mereka diharapkan segera pulang tapi pembersihan puing-puing rumah lamban,
karena lokasi terpencil, alat berat terkendala masuk, jadi terpaksa dibersihkan secara
manual," tutur Akbar.
Karena warga Lombok yang bertahan di pengungsian tidak sedikit, bantuan
kemanusiaan dari publik masih terus dibutuhkan. Akbar berharap kasus korupsi tak
menyurutkan masyarakat menyalurkan bantuan untuk korban bencana alam.
"Kami tidak terlalu bermasalah, apalagi PMI tidak ada kaitan dengan kasus itu," kata
Akbar.
"Semoga publik bisa menilai, sehingga kepercayaan kepada lembaga penyalur bantuan
seperti PMI tidak berkurang," katanya.
Contoh teks editorial
Nama : YULIA ROZITA EZLIN

Fakta-fakta Gempa 7 SR yang Guncang Lombok

Gempa Awal Tercatat Berkekuatan 6,8 SR

Gempa awal terjadi pada Minggu (5/8/2018) pukul 18.46 WIB dengan kekuatan
6,8 SR dan tidak menimbulkan potensi tsunami. Namun, beberapa saat
kemudian Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melakukan
pemutakhiran informasi bahwa kekuatan gempa tercata 7 SR dengan potensi
tsunami.

Terjadi Tsunami dengan Ketinggian Tsunami 10-13 Cm

Tsunami yang diawali gempa berkekuatan 7 skala Richter (SR) telah menyentuh
daratan. Ketinggian tsunami disebut di bawah setengah meter.

"Berdasarkan laporan BMKG telah ada tsunami dengan ketinggian tsunami yang
masuk ke daratan 10 cm dan 13 cm," kata Kepala Pusat Data Informasi dan
Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangannya, Minggu (5/8/2018).

"Diperkirakan maksimum ketinggian tsunami 0,5 meter," imbuh Sutopo.

Berpusat di Darat dan Merupakan Gempa Utama

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, gempa yang terjadi tersebut


merupakan gempa utama atas rangkaian gempa yang terjadi sebelumnya di
kawasan Lombok, NTB. Gempa tersebut berpusat di darat.

"Hasil analisis BMKG menunjukkan gempa bumi ini memiliki kekuatan magnitudo
7. Epicentre gempa terletak pada koordinat 8,37 derajat LS dan 116,48 derajat
BT atau tepatnya berlokasi di darat, pada lereng utara timur laut Gunug Rinjani
pada jarak 18 km arah barat laut Kabuoaten Lombok Timur NTB, pada
kedalaman 15 km," kata Dwikorita saat jumpa pers di Kantor BMKG, Jl Angkasa,
Gunung Sahari, Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (5/8/2018) malam.

Dwikorita menambahkan, dengan memperhatikan titik dan kedalaman gempa,


disimpulkan bahwa gempa yang terjadi itu jenis gempa bumi dangkal yang
diakibatkan patahan Flores. "Hasil analisis mekanisme sumber menujukkan
gempa ini dibangkitakn oleh deformasi batuan dengan mekanisme gerakan
naik," katanya.
Baca juga: Gempa Lombok 7 SR Adalah Main Shock dari
Guncangan 6,4 SR Pekan Lalu

Berdasarkan titik pusat dan kekuatan gempa tersebut, kata Dwikorita, maka
disimpulkan bahwa gempa 7 SR merupakan gempa utama dari gempa
sebeoumnya yang terjadi pada 29 Juli 2018.

"Mengingat epicentre atau pusat gempa relatif sama pada gempa bumi yang
terjadi pada tanggal 29 Juli 2018 lalu, maka BMKG menyatakan bahwa gempa
bumi ini yang baru saja terjadi merupakan gempa bumi utama atau mainshock
dari rangkaian gempa bumi yang terjadi sebelumnya. Jadi sebelumnya adalah
gempa-gempa pendahuluan," katanya.

Tercatat Sudah 82 Orang Meninggal dan Ratusan Lainnya Luka


Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, hingga Senin (6/8) pukul 02.30
WIB, tercatat sudah 82 orang tewas akibat gempa 7 SR tersebut. Sementara itu,
tibuan warga lainnya mengungsi untuk mencari tempat yang lebih aman dari
tempat tinggal mereka.

"Hingga Senin dini hari pukul 02.30 WIB, tercatat 82 orang meninggal dunia
akibat gempa. Ratusan orang luka-luka dan ribuan rumah mengalami
kerusakan," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo
Nugroho dalam rilisnya, Senin (6/8/2018) subuh.

"Ribuan warga mengungsi ke tempat yang aman. Aparat gabungan terus


mengevakuasi dan penanganan darurat akibat gempa bumi," sambung dia.

Sutopo menanbahkan, jumlah korban tersebut kemungkinan akan terus


bertambah. "Diperkirakan korban terus bertambah. Jumlah kerusakan bangunan
masih dilakukan pendataan," kata Sutopo.

Lombok Utara, Timur dan Kota Mataram Terparah Alami Kerusakan

Sutopo juga menambahkan, ribuan orang masih mengungsi akibat gempa ini.
Aparat gabungan terus melakukan evakuasi dan penanganan darurat akibat
gempabumi.

"Daerah yang terparah adalah Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur dan
Kota Mataram. Berdasarkan laporan dari BPBD Provinsi NTB, dari 39 orang
meninggal dunia, korban berasal dari Kabupaten Lombok Utara 65 orang,
Lombok Barat 9 orang, Lombok Tengah 2 orang, Kota Mataram 4 orang, dan
Lombok Timur 2 orang. Sebagian besar korban meninggal akibat tertimpa
bangunan yang roboh," katanya.

Upaya Penyisiran dan Evakuasi Korban Terkendala Akses Komunikasi

TIM SAR terus melakukan evakuasi dan penyisirian korban gempa 7 SR


tersebut. Akses komunikasi menjadi kendala dalam upaya pencarian dan
evakuasi.

"Tim SAR gabungan masih terus melakukan evakuasi dan penyisiran. Kondisi
malam hari dan sebagian komunikasi yang mati menyebabkan kendala di
lapangan," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo
Nugoroho dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/8/2018).

Tenaga Medis, Air Bersih dan Makanan Jadi Kebutuhan Mendesak untuk
Korban

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei


telah tiba Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain itu, dua helikopter
juga dikirimkan ke NTB untuk proses penanggulangan bencana gempa 7 SR
yang mengguncang kawasan NTB pada Minggu (5/8/).

"Kepala BNPB Willem Rampangilei bersama jajaran BNPB telah tiba di Lombok
Utara menggunakan pesawat khusus dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Tambahan bantuan logistik dan peralatan segera dikirimkan," ujar Kepala Pusat
Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan
tertulis, Senin (6/8/2018).

"2 helikopter untuk mendukung penanganan darurat dikirimkan," tambahnya.


Dikatakan Sutopo, fokus utama saat ini adalah pencarian, penyelamatan dan
pertolongan kepada masyarakat yang terdampak gempa serta pemenuhan
kebutuhan dasar.

"Kebutuhan mendesak saat ini adalah tenaga medis, air bersih, permakanan,
selimut, tikar, tenda, makanan siap saji, layanan trauma healing dan kebutuhan
dasar lainnya. Kegiatan belajar mengajar di sekolah di wilayah Lombok Utara,
Lombok Timur, dan Mataram akan diliburkan pada 6/8/2018 karena
dikhawatirkan bangunan sekolah membahayakan siswa. Akan dilakukan
pengecekan terlebih dahulu oleh petugas," katanya.

Tercatat Sudah 124 Kali Gempa Susulan di Lombok

Gempa susulan terus terjadi usai gempa berkekuatan 7 Skala Richter (SR) yang
mengguncang kawasan Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Hingga
pagi ini, tercatat sudah 14 kali terjadi gempa susulan.

"Update Gempa Bumi Lombok M (Magnitudo) 7 sampai pukul 06.00 WIB, Senin
(6/8) tercatat sebanyak 124 gempa bumi susulan," kata Kepala Bagian Humas
BMKG Harry Tirto Djatmiko kepada detikcom, Senin (6/8/2018).

Anda mungkin juga menyukai