Disusun Oleh
XII IPS 3
SMAN 1 BEKASI
Jalan KH. Agus Salim No. 181 Telp. 8802538 Fax. 8803854
www.sman1bekasi.sch.id
E-mail:
smanegeri1bekasi@yahoo.com Bekasi, 171
KATA PENGHANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Analisis
Peran Indonesia Dalam Upaya Perdamaian Dunia Jakarta Informal Meeting (JIM)"
dengan tepat waktu. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata pelajaran
Sejarah Indonesia yang bertujuan untuk menambah wawasan mengenai apa saja
Peran Indonesia Dalam Upaya Perdamaian Dunia Jakarta Informal Meeting (JIM). Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Hendriyati selaku guru
mata pelajaran Sejarah Indonesia yang telah memberikan tugas dan membantu
menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Penulis harapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis
pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Jakarta Informal Meeting atau yang biasa disingkat menjadi JIM adalah
salah satu bentuk upaya Indonesia dalam menjaga perdamaian di ASEAN.
Jakarta Informal Meeting adalah suatu perundingan perdamaian antara Kamboja
dan Vietnam yang difasilitasi oleh Indonesia. Konflik antar negara biasanya
terjadi dalam bentuk perang terbuka karena alasan perebutan wilayah dan
penyebaran pengaruh bahkan ideologi. Namun sejak berakhirnya Perang Dunia
II, telah terjadi pergeseran dari bentuk konflik terbuka menjadi konflik yang terjadi
di dalam suatu negara. Konflik yang terjadi didalam suatu negara atau disebut
dengan konflik internal dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah
sistem politik nasional serta lembaganya tidak mampu berfungsi secara efektif
dan didukung pula oleh berbagai latar belakang seperti etnis, budaya, dan
ekonomi. Konflik internal sering secara signifikan menyebabkan jatuhnya korban
sipil dalam jumlah banyak di suatu negara, sehingga akan dapat mempengaruhi
stabilitas politik dan keamanan di wilayah regional, hingga keamanan dan
perdamaian dunia secara umum. Hal ini terjadi karena konflik internal dapat
memicu munculnya krisis ekonomi, krisis pangan, hingga masalah pengungsian
yang dapat mengganggu stabilitas negara lain. Kondisi tersebut menyebabkan
konflik internal rentan terhadap intervensi dari pihak luar. Berbagai kasus konflik
internal dengan marak muncul di beberapa negara sepertidi Somalia,
Yugoslavia, Rwanda, Sri Lanka, dan juga negara-negara di kawasan Asia, yaitu
Filipina dan Kamboja. Salah satu contoh konflik internal yang memakan waktu
cukup lama dan menelan cukup banyak korban, sehingga membutuhkan peran
pihak ketiga dalam penyelesaiannya adalah konflik internal yang terjadi di
Kamboja.
Kronologi Terjadinya Konflik Internal Kamboja
Konflik ini pertama kali dipicu oleh bangkitnya pergolakan dan besarnya
friksi ketegangan politik dalam negeri. Sihanouk yang diangkat sebagai
Pangeran Kamboja Sejak tahun 1951 mendeklarasikan untuk pertama kalinya
politik luar negeri Kamboja Sebagai negara yang netral sehingga ia berusaha
untuk tidak terlibat dalam perang Vietnam yang tengah berkecamuk. Namun
keputusan tersebut ternyata malah memancing reaksi negatif dari para petinggi
militer Pangeran Sihanouk yaitu Jenderal Lon Nol yang merupakan aliansi
pro-Amerika. Pada bulan Maret 1970, saat Sihanouk tengah melakukan
kunjungan ke Moskow, Lon Nol berhasil mengambil kesempatan untuk
menggulingkan Sihanouk dari tampuk kepemimpinan. Sihanouk kemudian
memilih untuk mengasingkan diri di Beijing dan memutuskan untuk beraliansi
dengan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menentang pemerintahan Lon Nol
dan akhirnya untuk dapat merebut kembali tahtanya. Pada tahun 1975 Khmer
Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil menggulingkan Lon Nol dan
mengubah format kerajaan menjadi sebuah Republik Demokratik Kamboja
(Democratic Kampuchea / DK) yang dipimpin oleh Pol Pot. Namun sayangnya,
semasa Pol Pot berkuasa, Kamboja terperosok dalam tragedi
yangbmengenaskan di mana Khmer Merah menjalankan program Cambodia the
Year Zero, yaitu dengan menjadikan Kamboja sebagai negara agraris. Namun
program ini justru berakhir dengan tewasnya sekitar tiga juta orang rakyat
Kamboja akibat kelaparan,wabah penyakit, dan pembantaian.
Pada akhir 1978, terjadi bentrokan di perbatasan antara rezim Khmer
Merahdengan Vietnam. Dalam kurun waktu itu juga terjadi pembantaian
orang-orang keturunan Vietnam di Kamboja, sehingga Vietnam menyerbu
Kamboja dengan tujuan untuk menghentikan genosida besar-besaran tersebut.
Invasi Vietnam berhasil menggulingkan rezim Khmer Merah dan pada bulan
Januari 1979, Vietnam mendirikan rezim baru di Kamboja dengan Heng Samrin
bertindak sebagai kepala negaranya. Pembentukan pemerintahan baru ini
ditentang keras oleh Kaum Nasionalis Kamboja,termasuk Sihanouk sendiri, yang
kemudian membentuk kelompok perlawanan yangdikenal sebagai Coalition
Government of Democratic Kampuchea (CGDK) yang terdiri dari kelompok
Khmer Merah yang baru saja ditumbangkan Vietnam, Front Uni National pour un
Cambodge Independent, NeutrePacifique et Cooperatif (FUNCINPEC) di bawah
pimpinan Sihanouk dan Khmer People Liberation Front (KPNLF) di bawah
pimpinan Son Sann.
Perang saudara yang menyebabkan kesengsaraan sangat
memprihatinkan bagi rakyat Kamboja inilah yang kemudian mendorong
Indonesia bersama negara-negara anggota ASEAN lainnya memulai upaya
mediasi guna mencari penyelesaian yang damai dan adil. Reputasi Indonesia
sebagai mediator yang disegani di kawasan ASEAN telah memperoleh
pengakuan oleh negara-negara ASEAN. Hal ini dibuktikan dengan dipilihnya
Indonesia sebagai ‘Interlocutor’ antara ASEAN dan Vietnam yang menunjukkan
peranan Indonesia dalam penyelesaian konflik ataupun rekonsiliasi di Kamboja.
Tercatat pada bulan Mei 1984 berlangsung pertemuan tahunan ASEAN tingkat
menteri di Jakarta, yang tujuan pokoknya adalah rekonsiliasi nasional dan
pembahasan upaya penyelesaian konflik Kamboja melalui jalan damai.
Perjuangan diplomasi Indonesia tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri
Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja yang secara aktif mulai menyusun berbagai
strategi sebagai Interlocutor guna mengupayakan penyelesaian konflik secara
damai di Kamboja. Beliau merintis perjuangan awal diplomasi Indonesia untuk
mengundang para pihak terkait yang terlibat dalam pertikaian untuk duduk
bersama di meja perundingan, dan mengusulkan agar pertemuan yang
dimaksud harus diadakan di tempat yang netral seperti Indonesia, agar
pihak-pihak bertikai merasa bebas dalam membicarakan masalah Kamboja dan
masa depannya. Mengembangkan tugas sebagai Interlocutor, Indonesia mampu
menjalankan tugasnya dengan baik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses perundingan Jakarta Informal Meeting?
2. Apa hasil kebijakan dari terbentuknya Jakarta Informal Meeting?
3. Apa peran Indonesia setelah perundingan tersebut terlaksana?
4. Bagaimana dampak Jakarta Informal Meeting dalam dunia?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa saja peran Indonesia dalam upaya menjaga perdamaian dunia
melalui Jakarta Informal Meeting,
2. Mengetahui latar belakang terjadinya organisasi tersebut dan apa yang dihasilkan
setelah terbentuknya organisasi tersebut,
3. Mengembangkan pola berpikir kritis dan analisis dalam membuat laporan
penelitian,
4. Sarana mengembangkan dan mengaplikasikan metodologi sejarah,
5. Mampu mendeskripsikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Proses Perundingan
Pada bulan November 1985, Indonesia menyatakan kesediaannya untuk
menjadi tuan rumah penyelenggaraan Cocktail Party. Terhitung sejak wacana
Cocktail Party direncanakan, hingga penentuan tanggal pelaksanaan acara,
tercatat serangkaian kendala yang berpotensi untuk menggagalkan
penyelenggaraan acara ini. Munculnya berbagai kendala ini disebabkan oleh
perbedaan pendapat dan agenda kepentingan masing-masing pihak yang
bertikai. Kendati jalan panjang dan melelahkan harus dilewati untuk
merealisasikan rencana gagasan pertemuan tersebut, akhirnya rencana
pertemuan resmi pertama tersebut berhasil diadakan pada tanggal 25–28 Juli
1988 di Bogor, Indonesia. Pertemuan yang dikenal dengan Jakarta Informal
Meeting I (JIM I) ini menampilkan terobosan untuk pertama kalinya, di mana
pihak-pihak yang secara langsung terlibat di dalam konflik, yaitu keempat faksi,
kedua tetangga Indochina dan enam negara ASEAN bertemu untuk
mendiskusikan elemen-elemen mekanisme penyelesaian awal. Sekalipun
pembicaraan antar faksi berjalan cukup alot karena masing-masing bersikeras
mempertahankan posisinya, namun hasil dari pertemuan ini dinilai cukup efektif
untuk menyepakati persepsi dan kesepahaman bersama sehingga beberapa
rekomendasi dapat dilahirkan dengan penekanan pada pemisahan dua isu yaitu
berkaitan dengan invasi Vietnam, Vietnam untuk menarik mundur pasukannya
dari Kamboja sebagai itikad baik penyelesaian konflik, kesepahaman mengenai
pentingnya pencengahan berkuasanya kembali rezim Pol Pot yang telah
mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Kamboja, pembentukan kelompok kerja
guna membahas elemen-elemen dasar dari konflik itu sendiri dan menyusun
usulan-usulan sebegai bahan masukan bagi pertemuan selanjutnya. Dalam
rangka menindaklanjuti JIM I, pada tanggal 16-18 Februari 1989 digelar JIM II
yang turut dihadiri oleh negara-negara peserta JIM I. Pada pertemuan ini dapat
disepakati berbagai kemajuan yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dan
penyeragaman persepsi dari hasil pertemuan pertama. Beberapa hasil yang
menonjol diantaranya adalah penarikan seluruh pasukan Vietnam yang harus
segera dilakukan dengan batas waktu 30 September 1989 sebagai bagian dari
kerangka penyelesaian politik yang menyeluruh. Kemudian dibahas pula
mengenai himbauan penghentian keterlibatan pihak asing termasuk dukungan
militer dan persenjataan terhadap masing-masing pihak yang bertikai di
Kamboja. Demi lancarnya rencana maka perlu dibentuk suatu mekanisme
pengawasan internasional yang memiliki tanggung jawab untuk memantau
jalannya proses perdamaian ini. Selanjutnya adalah penentuan langkah-langkah
tepat yang harus diambil guna mengantisipasi munculnya kembali kebijakan
rezim kekerasan dan kekejaman yang dapat mengakibatkan kesengsaraan
masyarakat Kamboja, dan yang tidak ketinggalan adalah kesepakatan dari setiap
pihak untuk dimulainya program internasional dalam rangka pemulihan dan
pembangunan ekonomi diKamboja serta negara-negara di kawasan dan
pengumpulan dana dalam rangka pelaksanaan proses perdamaian di Kamboja.
Pertemuan ASEAN di Brunei padatanggal 3-4 Juli 1989 telah memformulasikan
suatu pijakan bersama atas konflik Kamboja sebagai hasil dari pertemuan JIM I
dan JIM II. Selanjutnya, pertemuan-pertemuan pasca JIM I dan II mulai
melibatkan negara-negara di luar ASEAN yang menunjukan bahwa upaya untuk
mencapai perdamaian di Kamboja telah mencapai tingkat internasional. Bahkan
memasuki tahun 1980 terobosan untuk mencapai resolusi atas konflik Kamboja
yang diperankan oleh Indonesia selaku mediator memasuki tahapan yang lebih
progresif lagi dengan adanya partisipasi aktif PBB melalui Dewan Keamanan
dalam berbagai tahapan mediasi. Melalui kesepakatan yang dicapai pada
Konferensi Internasional Paris/Paris International Conference (PIC) dihasilkan
suatu kerangka kerja PBB yaitu dengan dibentuknya Supreme National Council
of Cambodia (SNC). Kemudian dalam rangka mematangkan kerangka kerja
tersebut guna mencapai suatu dokumen akhir tentang penyelesaian damai yang
menyeluruh terhadap konflik Kamboja, digelarlah Informal Meeting on Cambodia
(IMC) I dan II di Jakarta. Akhirnya, setelah melalui proses perundingan yang
panjang dan melelahkan seperti yang telah dijelaskan secara singkat di atas,
maka pada tanggal 23 Oktober 1991, digelarlah Paris International Conference
on Cambodia (PICC) di bawah pimpinan Ketua bersama (Co-Chairmen)
Indonesia dan Perancis yang memberi hasil ditandatanganinya dokumen
perjanjian Paris. Kesepakatan ini telah menandai perjuangan akhir dari upaya
perdamaian di Kamboja dan memulai babak baru dalam pemerintahan yang
demokratis
.
B. Tujuan
Pada dasarnya, dibentuknya Jakarta Informal Meeting adalah upaya
Indonesia untuk berkontribusi dalam hal perdamaian dunia, yaitu dengan
menyelenggarakan perundingan atau negosiasi untuk konflik yang terjadi di
Kamboja. Penyelesaian konflik di Kamboja dilakukan melalui mediasi, yaitu
sebuah tindakan yang berkenaan untuk memunculkan intervensi demi
membantu menyelesaikan konflik dan sengketa diantara pihak yang terlibat.
Indonesia Sebagai salah satu mediator bertindak menjembatani masing-masing
pihak yang bersengketa. Sementara itu, demi mencapai penyelesaian konflik,
dibutuhkan independensi dari masing-masing negara mediator, yaitu dituntut
untuk tidak berpihak pada salah satu pihak yang berkonflik.
C. Hasil Perundingan
1. Jakarta Informal Meeting I (25–28 Juli 1988)
Pemerintahan Koalisi Demokratis Kamboja (Coalition Government
of Democratic Kampuchea (CGDK)) mengusulkan tiga tahap rencana
penyelesaian Perang Indochina 3.
a) Gencatan senjata antara kedua belah pihak,
b) Pasukan penjaga perdamaian PBB untuk mengawasi penarikan
pasukan Vietnam dari Kamboja,
c) Penggabungan semua kelompok bersenjata Kamboja ke dalam
satu kesatuan.
Usulan tersebut disetujui dan akan kembali dibahas dalam Jakarta
Informal Meeting II.
2. Jakarta Informal Meeting II (16-18 Februari 1989)
Keikutsertaan Australia melalui perdana menterinya, Gareth Evans,
mengusulkan rancangan Cambodia Peace Plan yang berisi,
a) Mendorong upaya gencatan senjata,
b) Menurunkan pasukan penjaga perdamaian PBB di wilayah yang
konflik,
c) Mendorong pembentukan pemerintah persatuan nasional untuk
menjaga kedaulatan Kamboja sampai pemilihan umum diadakan.
Berakhirnya Jakarta Informal Meeting II ditindak lanjuti dengan
kesepakatan Paris yang menjadi akhir dari rangkaian proses perdamaian
Kamboja,
a) Paris International Conference on Cambodia (PICC) mengenai
Kamboja. Kesepakatan ini telah menandai perjuangan akhir dari
upaya perdamaian di Kamboja dan memulai babak baru dalam
pemerintahan yang demokratis.
b) Persetujuan tentang penyelesaian masalah politik secara
menyeluruh konflik Kamboja berikut juga lampiran-lampirannya
berupa mandat UNTAC, masalah militer, pemilihan umum,
repatriasi para pengungsi Kamboja, dan prinsip-prinsip konstitusi
baru Kamboja.
c) Kesepakatan tentang kedaulatan, kemerdekaan, integrasi wilayah,
netralitas, dan keutuhan nasional Kamboja.
d) Deklarasi mengenai rehabilitasi dan pembangunan Kamboja.
A. Kesimpulan
Jakarta Informal Meeting (JIM) adalah pertemuan yang dilaksanakan
dalam upaya menyelesaikan konflik Kamboja-Vietnam dengan Indonesia
sebagai perantaranya. JIM pertama dilaksanakan pada 25–28 Juli 1988 dan
JIM kedua dilaksanakan pada 16-18 Februari 1989. Pada dasarnya, dibentuknya
Jakarta Informal Meeting adalah upaya Indonesia untuk berkontribusi dalam hal
perdamaian dunia, yaitu dengan menyelenggarakan perundingan atau negosiasi
untuk konflik yang terjadi di Kamboja. Penyelesaian konflik di Kamboja dilakukan
melalui mediasi, yaitu sebuah tindakan yang berkenaan untuk memunculkan
intervensi demi membantu menyelesaikan konflik dan sengketa di antara pihak
yang terlibat. Indonesia sebagai salah satu mediator bertindak menjembatani
masing-masing pihak yang bersengketa. Keberhasilan Indonesia
menyelenggarakan Jakarta Informal Meeting ternyata mendapat apresiasi dari
Dewan Keamanan PBB. Selain itu juga, dengan penyelenggaraan Jakarta
Informal Meeting mampu berdampak pada peningkatan citra Indonesia dimata
dunia. Jadi sebagai generasi muda penerus bangsa kita harus bisa menerapkan
penyelesaian konflik secara baik, contohnya melalui mediasi seperti JIM. Agar
terciptanya lingkungan yang damai dan tentram. Di samping itu, diperlukan
partisipasi aktif dan proaktif mahasiswa dalam berbagai peran sosial untuk
mengatasi persoalan bangsa dengan memanfaatkan kemampuan intelektualnya
dan semangat kepemudaannya yang diiringi dengan kekuatan moral.
B. Saran
Jakarta Informal Meeting (JIM) yang terjadi pada tahun 1988-1989 telah
membawa berbagai dampak dalam penyelesaian konflik internal antara
Kamboja dengan Vietnam. Dengan mempelajari sejarah Jakarta Informal
Meeting, kita dapat memahami berbagai keadaan negara pada masa itu
dan apa saja yang perlu diperbaiki untuk masa selanjutnya. Diharapkan
juga bagi pembaca untuk menambah informasi dari sumber lain. Hal
tersebut bertujuan agar informasi dan pengetahuan yang didapat semakin
lengkap. Tentunya penulis menyadari jika dalam penyusunan makalah di
atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun
nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu
dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang
bisa membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
2. Arti penting yang dapat di petik oleh bangsa Indonesia dari pelaksanaan Jakarta
Informal Meeting (JIM) dalam membantu penyelesaian konflik di Kamboja
adalah…
A. Semakin lancarnya hubungan perdagangan antara Indonesia dengan
Kamboja
B. Terjalinnya hubungan yang erat dan khusus antara Indonesia dengan
Kamboja
C. Mampu memelihara konsistensinya dalam menegakkan perdamaian
kawasan
D. Mendapatkan proritas dari pemerintah Kamboja sebagai balas jasa atas
perannya
E. Indonesia mendapatkan kepercayaan yang lebih besar oleh PBB dalam
mewujudkan perdamaian kawasan
Pembahasan :
Salah satu negara di Asia Tenggara, yiatu Kamboja dan Vietnam
mengalami konfik pada tahun 1978 yang berkepanjangan. Hal tersebut
mendorong Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya memprakarsai
adanya mediasi untuk menyelesaikan konflik negara tersebut dengan cara
damai, karena Kamboja dan Vietnam adalah 2 negara yang berada di
satu kawasan sehingga konflik itu pula berpengaruh terhadap stabilitas
negara di sekitarnya.
Selanjutnya di usulkan untuk membentuk pemerintahan koalisi, dengan
begitu pasukan Vietnam dapat ditarik mundur dari Kamboja. Konflik
diantara keduanya masih belum juga mereda dan semakin
memprihatinkan. Akhirnya pada 25-28 Juli 1988 Menteri Luar Negeri
Indonesia, Ali Alatas, mengusulkan pertemuan informal yang diadakan di
Indonesia bernama JIM (Jakarta Informal Meeting). Selanjutnya
pemerintah Indonesia dan Prancis untuk memimpin Konferensi tingkat
tinggi pada bulan Juli 1989 di Paris. Arti penting yang dapat di petik oleh
bangsa Indonesia dari pelaksanaan Jakarta Informal Meeting (JIM) dalam
membantu penyelesaian konflik di Kamboja adalah mampu memelihara
konsistensinya dalam menegakkan perdamaian kawasan.
8. Australia ikut terlibat dalam Jakarta Informal Meeting (JIM) II dan diwakili oleh…
A. Kevin Rudd
B. Tony Abbot
C. Julia Gillard
D. Gareth Evans
E. Richard C. Kirby
Pembahasan
JIM II dilaksanakan pada 16-18 Februari 1989, kurang dari satu tahun
setelah JIM I dilaksanakan. Adapun peserta pada JIM || merupakan
negara-negara yang berpartisipasi dalam JIM I. Di antaranya perwakilan
dari Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura,
Thailand, Vietnam, dan tentu saja Indonesia, ditambah Australia yang
baru bergabung dalam JIM II. Dalam JIM II, Australia yang diwakili oleh
Gareth Evans mengusulkan rancangan Cambodia Peace Plan. Draft ini
merupakan tindak lanjut dari hasil pertemuan JIM I.
12. Dibawah ini yang termasuk isi rancangan Cambodia Peace Plan adalah…
A. Mendorong pembentukan pemerintah persatuan nasional untuk menjaga
kedaulatan Kamboja sampai pemilihan umum diadakan.
B. Penggabungan semua kelompok bersenjata Kamboja ke dalam satu
kesatuan.
C. Gencatan senjata antara kedua belah pihak
D. Pasukan penjaga perdamaian PBB untuk mengawasi penarikan pasukan
Vietnam dari Kamboja
E. Deklarasi mengenai rehabilitasi dan pembangunan Kamboja.
Pembahasan :
Rancangan Cambodia Peace Plan yang berisi,
-Mendorong upaya gencatan senjata,
-Menurunkan pasukan penjaga perdamaian PBB di wilayah yang konflik,
-Mendorong pembentukan pemerintah persatuan nasional untuk menjaga
kedaulatan Kamboja sampai pemilihan umum diadakan.
13. Untuk membantu penyelesaian konflik Kamboja, Indonesia menggagas
pertemuan yang dikenal dengan nama Jakarta Informal Meeting (JIM) I yang
diselenggarakan di kota…
A. Jakarta
B. Bogor
C. Medan
D. Yogyakarta
E. Surabaya
Pembahasan :
Jakarta Informal Meeting pertama berlangsung di Istana Bogor pada
25-28 Juli 1988. JIM pertama lebih ditujukan untuk memediasi kubu-kubu
yang bertikai di Kamboja.
16. Pada tanggal berapa sluruh anggota Dewan keamanan PBB menyetujui upaya
pembentukan pemerintahan transisi di Kamboja dengan membentuk United
Nation Transitional Authority in Cambodia (UNTAC)...
A. 18 Februari 1992
B. 19 Februari 1992
C. 12 Februari 1992
D. 28 Februari 1992
E. 31 Februari 1992
Pembahasan :
Seluruh anggota Dewan keamanan PBB menyetujui upaya pembentukan
pemerintahan transisi di Kamboja dengan membentuk United Nation
Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) tanggal 28 Februari 1992
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 745.
17. Dibawah ini, yang bukan merupakan peran Indonesia pada Jakarta Informal
Meeting adalah…
A. Menyediakan tempat secara tidak resmi untuk menyelesaikan konflik
pertikaian di Kamboja atau sebagai mediator antara pihak yang bertikai di
Kamboja.
B. Salah satu penggagas terbentuknya pemerintahan transisi di Kamboja
dengan membentuk United Nation Transitional Authority in Cambodia
(UNTAC) tanggal 28 Februari 1992.
C. Mengirimkan duta besar ke Kamboja atau menerima duta besar negara
lain yang menjalin kerja sama dengan Indonesia.
D. Negara terbanyak pengirim pasukan perdamaian untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi di Kamboja.
E. Terbentuknya pemerintah transisi di Kamboja
Pembahasan :
Peran Indonesia dalam Jakarta Informal Meeting antara lain :
1. Menyediakan tempat secara tidak resmi untuk menyelesaikan
konflik pertikaian di Kamboja atau sebagai mediator antara pihak
yang bertikai di Kambodja.
2. Salah satu penggagas terbentuknya pemerintahan transisi di
Kamboja dengan membentuk United Nation Transitional Authority
in Cambodia (UNTAC) tanggal 28 Februari 1992.
3. Negara terbanyak pengirim pasukan perdamaian untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi di Kamboja.
19. Siapa yang menjadi perwakilan dari pihak Indonesia pada pelaksanaan JIM I…
A. Mochtar Kusumaatmadja
B. Ali Alatas
C. Ali Atmaja
D. Norodom
E. Hun Sen
Pembahasan :
Pada JIM I yang dilaksanakan pada bulan Juli 1988, masing-masing pihak
yang terlibat konflik mengirimkan perwakilannya. Pihak Indonesia diwakili
oleh Mochtar Kusumaatmadja, Pemerintah Koalisi Demokratik Kamboja
diwakili oleh Norodom Sihanouk, pemerintah Vietnam diwakili oleh
Nguyen Co Tach dan Republik Rakyat Kamboja diwakili oleh Hun Sen.
20. Apa yang diusulkan oleh perwakilan dari Australia Menteri Luas Negeri yaitu
Gareth Evans pada JIM II…
A. Cambodia Peace Plan
B. Jakarta Peace Plan
C. JIM Crow
D. UNTAC Peace Plan
E. SNC
Pembahasan :
Australia ikut serta dengan diwakili oleh Menteri Luas Negeri yaitu Gareth
Evans. Jakarta Informal Meeting II juga menghasilkan beberapa
keputusan. Australia mengusulkan rancangan Cambodia Peace Plan.
21. Berapa jumlah pasukan TNI yang dikirim oleh pemerintah Indonesia ke
Kamboja…
A. 1000
B. 2500
C. 1500
D. 2000
E. 3000
Pembahasan :
Pasukan TNI yang dikirim oleh pemerintah Indonesia ke Kamboja
sebanyak 2000 tentara. Masuknya pasukan TNI ke Kamboja
mendapatkan apresiasi dari rakyat Kamboja.
26. Kamboja dipimpin oleh siapa, setelah berakhirnya periode Pot Pot…
A. Hun Sen
B. Son Sann
C. Heng Samrin
D. Lon Nol
E. Norodom
Pembahasan :
Pemerintahan Pol Pot berakhir setelah melakukan pembantaian kewarga
keturunan Vietnam dan Kamboja dipimpin oleh Heng Samrin yang
dikendalikan oleh Vietnam.
34. Jelaskan peran Indonesia setelah perundingan Jakarta Informal Meeting I dan II!
Jawaban : Pembentukan pemerintahan transisi di Kamboja dengan membentuk
United Nation Transitional Authority in Cambodia (UNTAC) tanggal 28 Februari
1992 berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 745. Pasca
pembentukan UNTAC, Indonesia mengambil peran dengan mengirimkan
pasukan Kontingen Garuda XII A – XII D yang terdiri 2.000 personil militer
ataupun polisi untuk menjaga transisi pemerintahan di Kamboja.