Anda di halaman 1dari 3

Hatta : Jejak Yang Melampaui Zaman

Mohammad Hatta lahir pada 12 Agustus tahun 1902 di Aur Tajungkang Mandianin, Bukittinggi.
Bisa dibilang, dia adalah pemimpin bangsa Indonesia yang paling banyak menghasilkan tulisan.
Bung Hatta dikenal sebagai orang yang serius. Dua sifat lainnya yang juga paling menonjol
dalam dirinya adalah pecinta buku dan tepat waktu. Kecintaannya pada buku membuatnya kaya
akan ilmu pengetahuan dan penuh kebijaksanaan. Sifat disiplinnya juga tercermin dalam
kehidupan sehari-harinya sampai ia wafat pada 14 Maret 1980.

Sejak kecil, putra Minang yang dilahirkan di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada tanggal 12
Agustus 1902 ini telah menunjukkan keseriusan dalam belajar. Ia lahir dari kalangan bangsawan,
perpaduan keluarga ulama dan saudagar. Namun sejak kecil, ia telah hapal dengan kesewenang-
wenangan kolonial yang salah satunya pernah menangkap kerabat sang kakek, Rais, yang
mengkritik seorang pejabat Belanda.

Lingkungannya telah membentuknya menjadi seorang yang religius.Sejak kecil, Hatta sudah ikut
mengaji dan belajar agama, dengan Syekh Mohammad Djamil Djambek. Selalu disiplin mengaji
setiap habis belajar di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar Belanda. Hasilnya, Hatta
tumbuh menjadi sosok yang pandai dan religious. Dia tulus, sederhana, dengan pemikiran yang
dalam. Pribadinya adalah perpaduan antara kesalehan dan intelektualitas. Ia dikenal sebagai
salah satu bapak bangsa yang kualitas intelektualitasnya paling cemerlang. Ia mendapat
kesempatan belajar di Rotterdamse Handelshogeschool, sebuah sekolah ekonomi bergengsi pada
1921.Selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial Indische Vereniging yang kemudian
menjadi organisasi politik dengan adanya pengaruh Ki Hadjar Dewantara,Cipto Mangunkusumo,
dan Douwes Dekker. Pada tahun 1923, Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia
Puterayang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Pada tahun 1924, organisasi ini berubah
nama menjadi Indische Vereniging(Perhimpunan Indonesia). Selama masa studinya, ia
berkenalan dengan beberapa mahasiswa asal Hindia Belanda dan mulai terlibat dalam diskusi-
diskusi kecil.Selain berdiskusi, organisasi ini juga melakukan penerbitan yang berujung pada
penangkapan Hatta tahun 1927. Ini akibat tulisannya yang mengkritik pemerintah kolonial. Saat
menjalani siding, ia membacakan pembelaannya selama tiga setengah jam di depan pengadilan
dengan judul “Indonesia Vrij” atau “Indonesia Merdeka”.

Sepulangnya ke tanah air, selanjutnya ia mendirikan Partai Nasionalis Indonesia bersama Sutan
Sjahrir. Partai ini menekankan pada aspek pendidikan politik dan pemberdayaan rakyat terjajah.
Aspek ini berseberangan dengan Soekarno. Dalam konsep pembentukan partai dan
keanggotaannya, Soekarno lebih memilih penggalangan kekuatan massa. Dwitunggal ini
memang tidak selamanya akur. Mereka berdua sering berseberangan pendapat yang puncaknya
ketika Sukarno menolak mengesahkan Maklumat X yang diteken Hatta untuk meletakkan sistem
multipartai dan demokrasi parlementer. Tahun 1956 Sukarno malah mencanangkan Demokrasi
Terpimpin sambil berseru, “Marilah sekarang kita kubur semua partai.”Dalam menentang sistem
Demokrasi Terpimpin, Hatta menulis “Demokrasi Kita”, yang sempat dinyatakan sebagai bacaan
terlarang padahal relevansinya dengan zaman sekarang masih nyata terpapar. Namun keduanya
tetaplah dua sahabat yang saling menghormati. Soekarno sempat meminta Hatta untuk menjadi
wali nikah putra sulungnya, Guntur, yang disanggupi oleh Hatta. Pertemuan terakhir dua bung
ini terjadi saat Soekarno dirawat di rumah sakit. Hatta hadir menjenguk dan menurut Meutia
Farida Hatta, putri sulung Hatta, keduanya memang tidak bercakap-cakap banyak namun
keduanya seperti saling mengerti dan memaafkan satu sama lain.

Hatta memang dikenal sebagai pemikir dan orator ulung. Ia mungkin tidak sehebat Soekarno
dalam berorasi, namun tulisan-tulisannya berbicara senyaring orasi Soekarno. Ia adalah seorang
deep reader yang menuangkan gagasannya lewat sebuah proses pemikiran penuh pertimbangan
dan dilandasi dengan landasan yang kuat. Hatta dikenal sebagai seorang sosialis, namun ia juga
rasionalis. Ia tak membiarkan dirinya terjebak dalam hingarbingar pengerahan fisik massa.
Visinya sangat berorientasi pada kerakyatan dan pemberdayaan hal-hal lokal.

Periode tanah pembuangan adalah masa yang digambarkan sedikit berbeda dalam hidup Hatta.
Hatta dibuang karena kegiatan politiknya yang dinilai membahayakan pemerintah kolonial. Hatta
pernah dibuang di tiga tempat. Yang pertama di daerah Boven Digul, Papua. Tempat ini sering
disebut sebagai Siberianya Hindia Belanda. Memang tidak ada rantai dan kerja paksa, namun
orang bisa tidak tahan secara mental karena dirongrong kebosanan. Akhirnya Hatta dan Sjahrir
pada tahun 1936 dipindahkan ke Banda Neira. Periode ini mungkin merupakan periode cukup
menyenangkan dalam tahun-tahun perjuangan Hatta. Keberadaan anak-anak di sekitar tempat
tinggalnya serta alam yang indah seperti memberi semangat baru. Ia tetap rajin membaca dan
menulis sambil sesekali ikut bermain dengan anak-anak. Des Alwi adalah salah satu anak Banda
Neira yang kemudian diangkat anak oleh Sjahrir dan Hatta. Saat keduanya diminta pulang oleh
pemerintah kolonial ke Jakarta tahun 1942, mereka membawa serta empat orang anak Banda
bersama mereka. Tempat pembuangan ketiga adalah Menumbing, Bangka. Saat Belanda
menyerbu Yogyakarta pada Desember 1948, Hatta dan Soekarno ditangkap dan dibuang. Mereka
dibuang di tempat berbeda sebelum akhirnya ditempatkan di Bangka.

Meski tidak lagi di pemerintahan, Hatta tak kehilangan kekritisannya. Lewat forum-forum dan
tulisan-tulisannya di media massa ia mengkritik sikap politik Sukarno dan pengelolaan Negara
yang tidak semestinya. Akibatnya pada tahun 1960 sejumlah surat kabar dibredel penerbitannya.
Selanjutnya Hatta menggunakan cara menulis surat pribadi kepada Sukarno agar tak
menyusahkan orang lain. Ini dilakukannya pada tahun 1957-1965, saat Sukarno menjadikan
dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup.

Di luar segala perbedaan tersebut, Hatta dan Sukarno adalah teman satu sama lain. Pertemuan
terakhir mereka adalah saat Hatta menjenguk Sukarno yang diopname di rumah sakit pada 19
Juni 1970. “Hatta, kamu di sini?” Tanya Sukarno. “Ah, apa kabarmu, No?” jawab Hatta sambil
menyalami tangan Sukarno dengan hangat.

Hatta terdiam, dan Sukarno berlinangan air mata. Ketika saatnya berpisah, Hatta masih berat
melepaskan tangan Sukarno. Dua hari setelah pertemuan itu, Sukarno meninggal dunia.

Masa senja Hatta memang memprihatinkan. Sejak pengunduran dirinya sebagai presiden, ia
hanya menerima penghasilan dari uang pensiun negara dan royalti menulis buku. Sempat ia
kesulitan membayar tagihan listrik rumahnya. Beberapa perusahaan menawarinya menjadi
komisaris perusahaan, namun ia menolak karena prinsip dan keteguhan hatinya membela rakyat.

Mohammad Hatta memang sosok yang sangat mengagumkan. Semua daya upaya serta
pemikirannya demi eksistensinya bangsa ini sudah sangat tidak diragukan lagi, bahkan dunia
juga mengenalnya. Sejarah telah menyaksikan bahwa Mohammad Hatta adalah seorang orator
besar. Beliau memang tidak berbicara lewat pidato dengan suara bariton yang berwibawa seperti
halnya Sukarno. Namun ia berjuang dan berbicara lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan
menggetarkan.

Anda mungkin juga menyukai