Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH AGAMA KATHOLIK

“Pandangan Gereja Katholik Tentang Hukuman Mati”

Disusun Oleh :

Fanny Indira (211021007)


Balio Alesandro Peto Logho (211021005)
Kenanga Asella Theresia Rasuh (211021029)
Harnita P.D Belalawe (211023003)
Maria Daniela Tupa Hokor (211023005)
Viviana Bali Sua (211023010)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS REGULER DAN LINTAS JALUR


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan pada hadirat, Tuhan yang maha kuasa yang telah
memberikan rahmat hidayat serta karunianya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan tugas makalah Mata Kuliah Agama Katolik yang berjudul “Hukuman Mati”
dengan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan
yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Akhir kata, kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Serta kami berharap agar makalh ini dapat
bermanfaat bagi semua kalangan.

Denpasar, 20 November 2021


Penyusun

DAFTAR ISI

HUKUMAN MATI i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………...i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………...………………………………………..1
1.1 Latar
Belakang………………………………………………………………………….1

1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................................2

1.3. Tujuan.............................................................................................................................2

BAB II ISI.................................................................................................................................3

2.1. Pengertian Hukuman Mati..............................................................................................3

2.2. Berbagai Praktek Hukuman Mati....................................................................................4

2.3. Pandangan Pemerintah Terhadap Hukuman Mati...........................................................6

2.4. Pandangan Ahli Medis mengenai Hukuman Mati........................................................10

2.5. Pandangan Gereja Katolik terhadap Hukuman mati.....................................................10

2.6. Sikap Kita Terhadap Hukuman Mati............................................................................12

BAB III PENUTUP................................................................................................................13

3.1. Kesimpulan...................................................................................................................13

3.2. Saran..............................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA…………………………...…………………………………………..15
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan
bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survei
yang dilakukan PBB pada tahun 1998 dan tahun 2002 tentang hubungan antara praktik
hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih
buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.
Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan dan kemiskinan suatu
masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi penegakan hukum.
Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk
pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan
hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga
membunuh lagi jika tidak jera, pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh
lagi karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang lebih luas.
Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus
berulang-ulang melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Sering penolakan hukuman
mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan
dari korban sendiri, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain
halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah
dengan prasyarat yang jelas.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh
saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Maka dari itu Kelompok ini membuat
makalah ini dengan tujuan agar masyarakat luas tahu juga bahwa mereka punya hak untuk
hidup dan tidak disiksa serta pandangan hukuman mati dari segala sisi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang ada dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.2.1 Apa pengertian dari Hukuman Mati?
1.2.2 Apa saja cara praktek Hukuman Mati?
1.2.3 Bagaimana pandangan Pemerintah terhadap Hukuman Mati?
1.2.4 Bagaimana pandangan Ahli medis tentang Hukuman Mati?
1.2.5 Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang Hukuman Mati?
1.2.6 Bagaimana sikap kita terhadap Hukuman Mati?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penyusunan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.3.1 Mengetahui apa pengertian dari Hukuman Mati
1.3.2 Mengetahui apa saja cara praktek Hukuman Mati
1.3.3 Mengetahui bagaimana pandangan Pemerintah terhadap Hukuman Mati
1.3.4 Mengetahui bagaimana pandangan Ahli medis tentang Hukuman Mati
1.3.5 Mengetahu bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang Hukuman Mati
1.3.6 Mengetahui bagaimana sikap kita terhadap Hukuman Mati
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Hukuman Mati

Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau
tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat
perbuatannya. Menurut wikipedia.org. pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di
22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya
dilakukan di beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Politik yang dapat memengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud. Di
Indonesia sudah puluhan atau ratusan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru
korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. Walaupun amandemen
kedua konstitusi UUD ‘45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun”, tetapi peraturan perundang-undangan di bawahnya tetap mencantumkan
ancaman hukuman mati.
Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh
saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk
hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap
hak tersebut patut dihukum mati. Pada tahun 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-
undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU
Anti Korupsi, UU Anti Terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah
panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.Vonis atau hukuman mati
mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara
yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk
adanya vonis mati.
2.2 Berbagai Praktek Hukuman Mati
2.2.1 Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala

2.2.2 Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik
bertegangan tinggi

2.2.3 Hukuman gantung : hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan;

2.2.4 Suntik mati : hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh
2.2.5 Hukuman tembak : hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya
pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat eksekutornya

2.2.6 Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati

2.3 Pandangan Pemerintah Terhadap Hukuman Mati


a) Hukuman Mati Dari Sudut Pandang Konstitusi dan Perundang-undangan
Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa,“Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Berikutnya UUD menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.” Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pandangan tentang hak-hak individu yang dianut oleh Negara Kesatuan
Republik Indonesia mengakui apa yang dikenal oleh para filsuf dengan “Hukum
Kodrat”, sebagaimana dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa hak untuk hidup
adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan
dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam
situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum, agama atau dalam situasi
darurat.
Perubahan nilai dasar hukum di atas seharusnya membawa konsekuensi
adanya amandemen terhadap seluruh undang-undang yang masih memasukkan
hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman karena sudah bertentangan dengan
Konstitusi.
Beberapa Undang-undang yang masih memasukkan hukuman mati sebagai
hukuman maksimal dan harus diamandemen karena bertentangan dengan Konstitusi
tersebut di antaranya adalah:
1) Undang-undang (UU) No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun
2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang.
UU ini masih mengadopsi pemberlakuan hukuman mati, terlihat pada pasal 6,
pasal 8, pasal 10, pasal 14, pasal 15, dan pasal 16.
2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 104 tentang Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara dan pasal 340 tentang pembunuhan berencana masih
mencantumkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum. Saat ini sedang
dilakukan proses penyusunan amandemen KUHP tersebut, yang diharapkan
kedepan lebih maju dan tidak lagi menempatkan hukuman mati sebagai hukuman
maksimum.
3) Undang-undang No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Pasal 59 Tentang Tindak
Pidana juga menetapkan hukuman mati sebagi hukuman maksimal.
4) Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pasal 36, 37 dan 41 undang-undang tersebut menyatakan adanya hukuman mati
bagi pelanggarnya. Dalam kasus ini, banyak pihak menyesalkan munculnya pasal-
pasal ini bertentanga dengan seluruh instrumen hukum HAM internasional yang
menjadi rujukannya yang menghapuskan hukuman mati.

b) Hukuman Mati Dari Sudut Pandang Hukum HAM Internasional


Hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling kontroversial dalam
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and Political Rights). Meski
diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-
kurangi), pada Pasal 6 (ayat 2, 4, dan 5) secara tekstual dinyatakan bahwa hukuman
mati masih diperbolehkan. Sementara itu pada Pasal 6 (ayat 6) kembali ditegaskan
adanya semangat Kovenan ini untuk secara bertahap dan progresif menghapuskan
praktek hukuman mati. Baru pada Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik (Second Optional Protocol to the International Covenant on
Civil and Political Rights; aiming at the abolition of the death penalty) yang diadopsi
oleh Resolusi Mejelis Umum PBB pada 15 Desember 1989, secara tegas praktek
hukuman mati tidak diperkenankan. Tafsir progresifnya secara implisit menunjukkan
bahwa sebenarnya Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik bukan membenarkan praktek
hukuman mati, namun lebih menegaskan bahwa Kovenan ini berusaha semakin
memperketat dan memperkecil lingkup praktek hukuman mati. Hal ini didasari pada
argumen bahwa pada waktu penyusunan Kovenan ini, mayoritas negara di dunia
masih mempraktekan hukuman mati, namun semakin hari negara yang
memberlakukan abolisi(penghapusan) hukuman mati semakin bertambah dan bahkan
hingga hari ini justru mayoritas negara di dunia adalah kelompokabolisionis.
Sebelumnya pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa, European Convention on
Human Rights/Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms pada Pasal 2-nya menegaskan larangan hukuman mati. Konvensi regional
Eropa ini merupakan treaty HAM tertua dan ide penghapusan hukuman mati
berangkat dari Konvensi ini.

Ketentuan hukuman mati kemudian juga dihapuskan diberbagai mekanisme pengadilan


HAM internasional meskipun juridiksinya mencakup kejahatan paling berat dan serius di
bawah hukum internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-
Negara Bekas Yugoslavia (Statute of Internasional Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statue of Internasional Criminal Tribunal for
Rwanda/ICTR). Demikian pula ketentuan ini ditiadakan pada Statua Roma Mahkamah
Pidana Internasional (Rome Statute of the Internasional Criminal Court), yang merupakan
Pengadilan HAM Internasional yang permanen.
Untuk memahami teks pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang
hukuman mati, PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan
bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of
the Rights of Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial
PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984). Panduan ini memperjelas pembatasan praktek
hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik . Pembatasan
praktek hukuman mati tersebut antara lain:
1) Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa
berlaku bagi ‘kejahatan yang paling serius’, yang kategorinya harus sesuai dengan
tingkat konsekwensi yang sangat keji.
2) Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam
produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat
kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia
hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan.
3) Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat
ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada
perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati
tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila.
4) Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak
menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian.
5) Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final
lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial,
paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang
terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai.
6) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke
pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib.
7) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan,
atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan.
8) Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan
pengampunan atau perubahan hukuman.
9) Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin
menimbulkan penderitaan. Meskipun kontroversi hukuman mati pada Pasal 6
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik masih terus diperdebatkan,
namun ada interpretasi lainnya yang menganggap hukuman mati merupakan
pelanggaran terhadap Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
tentang praktek-praktek yang merendahkan dan tidak manusiawi. Ketentuan
tambahan lain adalah berlakunya prinsip non refoulement –baik untuk negara
yang sudah menghapus dan yang masih menerapkan hukuman mati- untuk isu ini.
Prinsip non-refoulement ini adalah prinsip keharusan suatu negara untuk menolak
permintaan ekstradisi dari negara lain bila orang tersebut bisa mendapat ancaman
hukuman mati di negeri peminta.
 Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan catatan Amnesty Internasional, sampai dengan tahun 2002 tercatat 111
negara telah menentang penerapan hukuman mati, melebihi 84 negara yang masih
mempertahankannya. Ini mencerminkan bahwa hukuman mati sudah dianggap tidak
manusiawi dan relevan dalam perkembangan hukum global. Dalam banyak perdebatan
kontemporer, isu hukuman bukan saja tekait dengan argumentasi hukum an sich, namun juga
dipengaruhi oleh konteks hukum internasional, pandangan filosofis yang berkembang dan
perubahan sosial yang terjadi. Sehingga perbincangan tentang pemberlakuan hukuman mati
di suatu negara paling tidak akan memperbincangkan tiga aspek yang saling terkait, yaitu
1) Konstitusi atau Undang-undang tertinggi yang dianut suatu negara dan bentuk
pemerintahan yang dianutnya;
2) Dinamika Sosial, politik dan hukum internasional yang mempengaruhi corak berpikir
dan hubunganhubungan sosial di masyarakat; dan
3) Relevansi nilai-nilai lama dalam perkembangan zaman yang jauh sudah lebih maju.
Artinya, perdebatan ini bukan saja pertarungan antara keyakinan, cara pandang dan
pengalaman seseorang, namun juga relevansinya dengan konteks dimana hukuman
mati tersebut akan diberlakukan. Dalam konteks Hukum Nasional kita, perdebatan ini
tetap relevan dan memperkaya khazanah pandangan hukum kita. Namun yang harus
diperhatikan adalah, bahwa kepastian hukum menjadi penting, dalam artian hukum
yang konsisten dengan Konstitusi, Perundangundangan yang berlaku dan tuntutan
masyarakat. Karenanya, diharapkan bahwa perdebatan ini akan berakhir pada suatu
rumusan hukum yang sesuai dengan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
kedepan.

2.4 Pandangan Ahli Medis mengenai Hukuman Mati


Tuntutan negara dan aparat hukum akan peran tenaga kesehatan dalam mengeksekusi
hukuman pidana yang tentunya berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan telah memicu
perdebatan konflik etis termasuk di kalangan tenaga kesehatan .Hukuman mati dapat
berdampak pada fungsi fisiologis dan fungsi otak yang dapat mengganggu kestabilan mental
terpidana. Selain itu, juga berpengaruh secara psikologis terhadap aparatur negara yang
terlibat dalam proses eksekusi. Ketidakpastian pelaksanaan hukuman mati juga memberikan
hukuman ganda (double punishment) karena terpidana telah menjalani pidana penjara dan
pidana mati. Untuk itu, dengan pendapat ini, disarankan jika hukuman mati masih menjadi
pilihan, pelaksanaanya harus disegerakan. Jika HUMAS KOMNAS HAM pelaksanaan
eksekusi tidak dilakukan sampai masa waktu maksimal 5 tahun, maka hukuman mati tersebut
hendaknya ditinjau kembali sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Kasus hukuman mati ini menggambarkan adanya loyalitas ganda pada profesi tenaga
kesehatan, yang mana tak hanya dituntut untuk memprioritaskan kesehatan pasien, tetapi juga
dituntut untuk melayani masyarakat, termasuk dengan menjalankan keputusan hukum yang
ditujukan untuk kebaikan masyarakat luas. Sebagai profesi dengan kompetensi terbaik untuk
menyembuhkan penyakit, sangat berat juga membiarkan hukuman mati ini tetap dilaksanakan

2.5 Pandangan Gereja Katolik terhadap Hukuman mati


Gereja Katolik memahami dan mengajarkan perihal hukuman mati melalui proses
yang panjang. Berikut ini merupakan beberapa kutipan Katekismus yang kiranya dapat
menggambarkan perkembangan dan perubahan ajaran Gereja mengenai hukuman mati
hingga dewasa ini. Katekismus Romawi yang diterbitkan berdasarkan dekret Konsili Trente.

Pandangan Gereja tentang hukuman mati terus mengalami perkembangan. Beberapa


kutipan yang paling baru dari ajaran Gereja, mulai dengan menerima dengan syarat sampai
menolak hukuman mati:
a) Pertama, Katekismus Gereja Katolik (11 Agustus 1992) menyebutkan: Berdasarkan
Katekismus 1992, hukuman mati diperbolehkan dalam kasus-kasus yang sangat parah
kejahatannya. Meski demikian perlu diperhatikan dengan seksama, yakni apabila
terdapat cara lain untuk melindungi masyarakat dari penyerang yang tidak berperi-
kemanusiaan, cara-cara lain ini lebih dipilih daripada hukuman mati karena cara-cara
ini dianggap lebih menghormati harga diri seorang manusia dan selaras dengan tujuan
kebaikan bersama. Dengan begitu, di sini terjadi peralihan pandangan Gereja tentang
konsep hukuman mati.
b) Kedua, Katekismus Gereja Katolik 15-07-1997. Katekismus Gereja Katolik ini
dimuat lagi karena atas perintah Paus Yohanes Paulus II diadakan penyesuaian
dengan ensiklik Evangelium Vitae.
c) Ketiga, yakni pada tanggal 28 Juni 2018, Paus Fransiskus telah menyetujui dan
meminta Kongregasi Ajaran Iman untuk mempublikasikan formulasi baru Katekismus
Gereja Katolik no. 2267 tentang hukuman mati. Menurut Sri Paus, sekarang ada
peningkatan kesadaran bahwa martabat seseorang tidak hilang bahkan setelah
melakukan kejahatan yang sangat serius. Sistem penahanan dan sanksi-sanksi baru
sudah berkembang sehingga tidak menutup kemungkinan bagi orang yang bersalah
untuk bertobat. Maka dari itu, Gereja mengajarkan, dalam terang Injil, bahwa
hukuman mati tidak dapat diterima karena itu adalah serangan terhadap martabat
seseorang yang tidak dapat diganggu gugat dan Gereja bertekad untuk bekerja demi
penghapusannya di seluruh dunia.

Dari kutipan-kutipan itu tampak jelas bahwa pandangan atau ajaran Gereja Katolik
mengenai hukuman mati berkembang dan pada akhirnya berubah. Menurut Mgr. Ignatius
Kardinal Suharyo, perubahan pandangan ini berkaitan dengan kesadaran diri manusia dan
pengalamannya akan Allah. Ini amat jelas dalam Kitab Suci; dalam Perjanjian Lama ada
hukum pembalasan yang setimpal "Gigi ganti gigi, mata ganti mata".
Pembalasan yang setimpal ini sudah lebih maju dibandingkan dengan hukum
pembalasan yang lebih berat daripada yang diterima "Kepala ganti gigi". Dalam Perjanjian
Baru, ketika Allah semakin dialami sebagai Sang Kasih, hukum pembalasan setimpal diganti
secara radikal dengan Hukum Kasih. Ajaran Gereja Katolik mengenai hukuman mati
mengalami perkembangan dan akhirnya perubahan yang radikal seperti itu.

2.6 Sikap Kita Terhadap Hukuman Mati


Berdasarkan pandangan pemerintah, ahli medis, dan pandangan agama mengenai
hukuman mati yang telah diketahui maka kami sebagai mahasiswa juga sependapat dengan
pandangan agama dan ahli medis dengan tidak mengindahkan keberadaan peraturan hukuman
mati. Karena jika dilihat dari pandangan gereja, sudah ada pernyataan jelas dari Paus
Fransiskus mengenai penolakan adanya hukuman mati yang tercantum dalam Katekismus no
2267. Sedangkan jika dilihat dari pandangan ahli medis, keberadaan hukuman mati juga
masih berat dibiarkan untuk dilaksanakan karena akan mempengaruhi fisiologi dan psikologis
terpidana maupun psikologis aparatur negara yang terlibat dalam eksekusi mati tersebut.
Bahkan dari pandangan pemerintah, jika belum ada bukti dan fakta yang kuat mengenai kasus
terpidana maka pengadaan hukukam mati masih termasuk dalam pelanggaran HAM.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau
tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat
perbuatannya.
Terdapat berbagai bentuk praktik hukuman mati yaitu,hukuman tembak,suntik
mati,hukuman gantung,rajam,kursi listrik,pancung,pembakaran.
Hukuman Mati Dari Sudut Pandang Konstitusi dan Perundang-undangan
Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa,“Setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Hukuman Mati Dari Sudut
Pandang Hukum HAM Internasional menegatkan bahwa Hukuman mati merupakan salah
satu isu yang paling kontroversial dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and
Political Rights). Meski diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak yang tidak dapat
dikurang-kurangi), pada Pasal 6 (ayat 2, 4, dan 5) secara tekstual dinyatakan bahwa hukuman
mati masih diperbolehkan. Sementara itu pada Pasal 6 (ayat 6) kembali ditegaskan adanya
semangat Kovenan ini untuk secara bertahap dan progresif menghapuskan praktek hukuman
mati.
Hukuman mati dapat berdampak pada fungsi fisiologis dan fungsi otak yang dapat
mengganggu kestabilan mental terpidana. Selain itu, juga berpengaruh secara psikologis
terhadap aparatur negara yang terlibat dalam proses eksekusi.
Pandangan atau ajaran Gereja Katolik mengenai hukuman mati berkembang dan pada
akhirnya berubah. Menurut Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, perubahan pandangan ini
berkaitan dengan kesadaran diri manusia dan pengalamannya akan Allah. Ini amat jelas
dalam Kitab Suci; dalam Perjanjian Lama ada hukum pembalasan yang setimpal "Gigi ganti
gigi, mata ganti mata". Pembalasan yang setimpal ini sudah lebih maju dibandingkan dengan
hukum pembalasan yang lebih berat daripada yang diterima "Kepala ganti gigi". Dalam
Perjanjian Baru, ketika Allah semakin dialami sebagai Sang Kasih, hukum pembalasan
setimpal diganti secara radikal dengan Hukum Kasih. Ajaran Gereja Katolik mengenai
hukuman mati mengalami perkembangan dan akhirnya perubahan yang radikal seperti itu.

3.2 Saran
Kami menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahn dan jauh dari kata
sempurna. Kami akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak
sumber yang dpat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan
saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah dan Sumangelipu.1985. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di
Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Anonim. 1948. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Right).
Mufti Makarim. 2018. Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan
Relevansinya Dengan Perdebatan Hukum di Indonesia. Elsam, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat. Ebook available on : http://referensi.elsam.or.id/wp-
content/uploads/2014/12/BEBERAPA-PANDANGAN-TENTANG-HUKUMAN-
MATI-DEATH-PENALTY-DAN-RELEVANSINYA-DENGAN-
PERDEBATAN-HUKUM-DI-INDONESIA.pdf

Netty SR Nairborhu, 2015. Pandangan Agama Terhadap Hukuman Mati. Jurnal Wawasan
Hukum, Vol. 33. No. 2. Bandung : Sekolah Tinggi Hukum.

Soetedjo dkk, 2017. Tinjauan Etika: Dokter sebagai Eksekutor Hukuman Pidana yang
Menyebabkan Kematian, Kecacatan, atau Gangguan Kesehatan. Jurnal Etika
Kedokteran Indonesia, Vol. 1 No. 1. Semarang : Departemen Neurologi, Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi, Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai