Anda di halaman 1dari 43

PERISTIWA HEROIK DI PARIJS VAN JAVA

( SEJARAH PEMBUMIHANGUSAN 24 MARET 1946 DI


BANDUNG )

A. LATAR BELAKANG
1. SITUASI INDONESIA
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia ) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-
Undang Dasar ( UUD ) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang
selanjutnya dikenal sebagai UUD 1945. Dengan demikian terbentuklah
Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik ( NKRI )
dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan Mohammad Hatta terpilih atas usul dari Otto
Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil
presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan
dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Pada 29 Agustus 1945 kelompok tersebut melantik Soekarno sebagai
Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan
menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya.
Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat ( KNIP ) sebagai
parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini
mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki
Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (
termasuk wilayah Sabah, Sarawak serta Brunei ), Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sulawesi, Maluku ( termasuk Maluku Utara ) dan Sunda Kecil.
Indonesia pada era 1945 dimulai dengan masuknya Sekutu diboncengi
oleh Belanda NICA ( Netherlandsch Indie Civiele Administratie ) ke berbagai
wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan Pengakuan
kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai
posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan
peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.

1
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945 Inggris
bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945,
tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr.
Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu
ini, diboncengi NICA yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia
dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio
Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi
kenegaraan), tetapi ia mengumumkan bahwa ia tidak akan berbicara dengan
Soekarno yang dianggapnya telah bekerja sama dengan Jepang. Pidato Ratu
Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah
persemakmuran yang di antara anggotanya adalah Kerajaan Belanda dan
Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.Pada era 1945 juga
terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan
NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya.
Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah
salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak
Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal
14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti
oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat
untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya
partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik
Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer)
memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan
Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang
intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Menjelang berakhirnya tahun 1945 situasi keamanan ibu kota Jakarta
(saat itu masih disebut Batavia) makin memburuk dengan terjadinya saling
serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Ketua
Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad Roem mendapat serangan fisik.
Demikian pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Penerangan Mr. Amir
Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda NICA. Karena itu pada
tanggal 1 Januari 1946 Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia
kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api
demi menyelamatkan para petinggi negara. Pada tanggal 3 Januari 1946

2
diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta
beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan pindah ke
Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibu kota meninggalkan Perdana
Menteri Sutan Syahrir dan kelompok yang bernegosiasi dengan Belanda di
Jakarta. Perpindahan dilakukan menggunakan kereta api berjadwal khusus,
sehingga disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa).
Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat pernyataan
memperinci tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan
wakil-wakil Republik yang diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan
persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan
bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk menciptakan
warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah
dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara
demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas.
Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh
wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang
dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan
persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta
akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi kecil
Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe.
Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa
pengakuan atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu Indonesia
baru mau berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja
sama dalam segala bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan
suatu kompromi yaitu: "mau mengakui Republik sebagai salah satu unit
negara federasi yang akan dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de facto
Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah
perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-
syarat ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali
pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia kepada van
Mook, menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh
dapat dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan
yang samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan

3
sebelum kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada
yang lebih samar-samar lagi tentang kemungkinan Indonenesia menyetujui
federasi Indonesia - bekas Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara
merdeka dengan kemungkinan hanya Republik sebagai bagian paling
penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk kompromi, hal ini dibahas
beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik utama Republik
mengetahui hal ini.
Tanggal 17 Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat rahasianya
kepada van Mook, surat itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar di
Negeri Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1946, van Mook mengirim kawat ke
Den Haag. Pada waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut
dijelaskan desas-desus tentang Sjahrir bersedia menerima pengakuan de
facto Republik Indonesia terbatas pada Jawa dan Sumatra.

2. SITUASI BANDUNG
Pasukan Inggris bagian dari Brigade McDonald dari Divisi India ke-23
tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945 dengan kereta api atas
persetujuan Pemerintah Republik Indonesia. Kedatangan mereka itu
bukannya membuat kota Bandung tertib dan damai, bahkan sebaliknya
menambah keadaan lebih kacau lagi. Tujuan McDonald ke Bandung adalah
dalam rangka mengemban misi Sekutu untuk melucuti tentara Jepang dan
membebaskan tawanan perang dan interniran Sekutu sementara itu orang-
orang Belanda dan Indo Belanda bekas tawanan Jepang yang dibebaskan,
segera mempersenjatai diri dan mulai melakukan kegiatan-kegiatan
memusuhi Republik Indonesia. Mereka melakukan penculikan-penculikan
terhadap pemuda-pemuda. Selain itu tidak sedikit pula orang-orang Belanda
yang turut membonceng Tentara Inggris. Mereka itulah yang sering
menimbulkan kekacauan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris
dan TKR ( Tentara Keamanan Rakyat ) tidak dapat dihindari.
Peristiwa lainnya adalah mengenai insiden bendera di gedung DENNIS
( sekarang Bank Karya Pembangunan ) di Jalan Braga, di mana pemuda E.
Kramas naik ke menara gedung itu untuk merobek warna biru dari bendera
Belanda ( Merah – Putih – Biru ), sehingga tinggal Merah – Putih nya saja.
Kejadian ini mengakibatkan timbulnya pertempuran antara Tentara Inggris /
Belanda dengan pihak pemuda-pemuda pejuang .

4
Ketegangan-ketegangan yang timbul dan yang semakin meluas antara
pihak Indonesia dengan serdadu-serdadu Jepang dan orang-orang Belanda
bekas tawanan, memberi peluang kepada pihak Inggris untuk melaksanakan
tujuannya, ialah menyerahkan Indonesia kepada Kerajaan Belanda. Siasat
yang mereka pakai adalah diplomasi menunjang operasioperasi militernya.
Setelah McDonald selaesai menyusun markasnya, tanggal 15 Oktober pukul
10.00 di Hotel Savoy Homan dan Hotel Preanger dan mulai mengadakan
Case Fire Order atau genjatan senjata melalui kontak hubungan dengan
penjabat-penjabat pemerintah RI di Bandung antara lain Walikota Bandung.
Dari pertemuan tersebut disepakati terbentuknya Badan Penghubung yang
dalam hal ini pihak Inggris di wakili Gray dan Clark sedangkan Indonesia
diwakili Syamsuri Faldan Male Wiranatakusuma.
Sekalipun Badan Penghubung sudah terbentuk dan telah mengadakan
pertemuan-pertemuan beberapa kali, namun hubungan antara pihak Inggris
dengan pihak Indonesia bukan bertambah baik, akan tetapi justru hubungan
antara kedua belah pihak makin hari semakin buruk.
Peranan Inggris selaku wakil kolonial Belanda, menimbulkan
ketegangan-ketegangan dan bentrokan-bentrokan dengan pihak
pemerintah Indonesia. Di samping memburuknya hubungan antara kedua
belah pihak, suasana kota pun bertambah genting.
Dalam suasana yang sudah genting itu, pada tanggal 23 November
1945, 19 orang serdadu Inggris, yaitu orang-orang India / Pakistan
menyeberang ke pihak Indonesia lengkap dengan persenjataanya dan dua
buah truk. Mereka bersimpati kepada pihak Indonesia berkat siaran siaran
penerangan melalui radio dengan menggunakan bahasa Urdu dan Hindi.
Sementara itu TKR dan para pemuda Indonesia di Bandung
merencanakan dan menyiapkan suatu serangan malam yang akan
diluncurkan terhadap kedudukan kedudukan Inggris di Bandung. Guna
menghambat gerakan-gerakan tentara Inggris di Bandung maka pada
tanggal 24 November 1945 para pejuang menembakkan barikade di jalan-
jalan di beberapa tempat di kota Bandung.
Akhir November 1945 adalah saat-saat yang merupakan hari-hari
kelabu bagi penduduk kota Bandung. Inggris mulai melakukan serangan-
serangan besar terhadap kedudukan TKR, laskar pejuang dan pemuda serta
penduduk kota Bandung. Disamping menghadapi serangan-serangan musuh,

5
penduduk kota Bandung juga harus menghadapi musibah banjir besar sungai
Cikapundung yang terjadi pada Minggu malam tanggal 25 November 1945.
Banjir besar sungai Cikapundung yang penuh dengan keganasan telah
merendam daerah-daerah seperti Lengkong Besar, Sasak Gantung, Banceuy
dan daerah Balubur. Banjir besar itu telah menelan ratusan orang korban
dan menurut penyelidikan, banjir itu diakibatkan oleh sabotase yang
dilakukan oleh agen-agen NICA yang telah menjebol pintu air Cikapundung
di Bandung utara atas yaitu Dago.
Sebelum kedatangan tentara Inggris di Bandung, beberapa tokoh
pimpinan di Bandung antara lain : Aruji Kartawinata, Suriadarma, Omon
Abdurahman, Hidayat dan lain-lainnya telah membentuk Badan Keamanan
Rakyat ( BKR ) yang terdiri dari para pemuda – pemuda bekas PETA (
Pembela Tanah air ), HEIHO ( tentara pembantu jaman penjajahan Jepang )
dan KNIL ( Koninklijk Nederland Indisch Leger ). Diluar Organisasi BKR, di
Bandung telah terbentuk laskar-laskar perjuangan yang ingin
mempertahankan NKRI yang baru diproklamasikan yaitu antara lain : Barisan
Banteng Republik Indonesia ( BBRI ), Hisbullah, Angkatan Pemuda
Indonesia, Laskar Pangeran Fak-Fak .
Dengan banyaknya jumlah pasukan dan laskar-laskar perjuangan di
daerah Priangan maka pada tanggal 15 September 1945 di Bandung
dibentuk sebuah badan koordinasi yang dinamakan Majelis Dewan
Perjuangan Priangan disingkat MDPP dibawah komando Letkol Sutoko
dengan tujuan untuk mengkoordinasikan semua unsur kekuatan pasukan
dan laskar-laskar perjuangan yang ada, sehingga terjadi kesatuan komando
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal
14 Desember 1945 Majelis Dewan Perjuangan Priangan diubah menjadi
Majelis Persatuan Perjuangan Priangan yang disingkat MPPP yang terdiri dari
semua pasukan-pasukan , laskar-laskar, jawatan-jawatan sipil dan
perwakilan TKR.
Setelah terbentuknya Majelis Persatuan Perjuangan Priangan, maka
dimulailah gerakan untuk merebut tempat-tempat strategis di Kota Bandung
yang secara de facto atau masih berada ditangan kekuasaan tentara Jepang.
Pada tanggal 27 September 1945 jam 11.00 pasukan Angkatan Muda Pos
Telegrap dan Telepon ( AMPTT ) dipimpin oleh Sutoko dan Nawawi Alif
melakukan perebutan Kantor Pusat Telepon Telegraf ( PTT ) yang berada di
jalan Heetjanweg dengan bersenjatakan bambu runcing dan berhasil

6
menguasai kantor PTT. Pada keesokan harinya tanggal 28 September 1945,
pemuda-pemuda Jawatan Kereta Api ( JKA ) dibawah pimpinan Ir. Juanda
berhasil menguasai Kantor Jawatan Kereta Api, merebut dan menguasai
Kantor Pertambangan, Kota Praja, Karesidenan dan obyek-obyek militer di
Gudang Utara.
Upaya untuk merebut tempat-tempat strategis terus berlanjut. Pada
tanggal 9 Oktober 1945 para pemuda dibawah pimpinan Ki Cokro berhasil
mengambil alih pabrik senjata ACW ( Artilerie Constructien Winkel ).
Bentrokan antara para pemuda dengan tentara Jepang ( yang secara de
facto masih memegang senjata meskipun sudah kalah dari Sekutu ) terus
terjadi, seperti yang terjadi di Markas Kempetai Jepang di Jalan Heetjanweg
dan dilanjutkan dengan serangan pada malam hari tanggal 11 Oktober 1945
dipimpin oleh Walikota Bandung Atmawinata yang berhasil melumpuhkan
kekuatan tentara Jepang di Tegalega. Selanjutnya pemuda Ali Hanifiah
berhasil merebut Gudang JKA ( Jawatan Kereta Api ) dan kemudian juga
pasukan Abdullah Sajad berhasil merampas persenjataan Batalyon 10 Jepang
di Jalan Menado Bandung.

B. KRONOLOGI BANDUNG LAUTAN API


1. ULTIMATUM TENTARA SEKUTU
a. ULTIMATUM PERTAMA
Pada tanggal 21 November 1945, tentara sekutu mengeluarkan
ultimatum pertama. Dengan alasan untuk menjaga keamanan, mereka
menuntut agar Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia
selambat-lambatnya 29 November 1945. Namun, para pejuang tidak
mau mendengar ultimatum sekutu tersebut. Dan sejak saat itu, keadaan
semakin memanas. Pemuda Bandung geram. Karena pembagian antara
utara dan selatan tidak benar-benar jelas batasnya, pembagian tersebut
hanya sekehendak tentara Inggris saja.
Gang Asmi, markas Majelis Dewan Perjuangan Priangan ( MDPP )
yang dipimpin oleh Aruji Kartawinata mengadakan rapat dengan
beberapa kiai dari Cibatu, Cililin, Wanayasa, dan Pagelaran. Semangat
anti kafir terdengar dari rapat tersebut, jangan sampai mereka bercokol
menguasai Bandung kembali. Mereka memperkuat pasukan anti penjajah
dengan mengerahkan pertama kalinya bentrokan antara pejuang dengan

7
pasukan sekutu yaitu di daerah Heetjanweg, pada saat itu juga tentara
Jepang secara jelas berpihak pada Inggris dan membela Belanda. Sikap
Jepang pun diakui sebagai kekalahan politik di dunia internasional dan di
Republik Indonesia, maka tidak heran jika Jepang tunduk terhadap
Inggris. Setelah mempelajari kegagalan serangan di Heetjanweg,
pejuang Bandung sedang mempersiapkan serangan umum. Serangan
umum yang dilakukan oleh pejuang Bandung adalah pada tanggal 24
November 1945.
Pasukan republik tidak semata-mata menyerang Inggris. namun
beberapa penyebabnya dikarenakan setiap perjanjian tentara Inggris
dengan pihak tentara tidak pernah ditepati. bahkan mencari-cari
kesalahan dari pihak Republik. Berawal dari pasokan sayuran serta
makanan untuk pasukan RAPWI ( Rehabilitation of Allied Prisoners of
War and Internees ) sabotase. Inggris menyalahkan pemuda kota
Bandung, sedangkan Belanda terus mengadu domba bahwa pasukan
Indonesia lah yang melakukan sabotase. Keadaan semakin memanas.
Ditambah dengan kejadian meluapnya sungai Cikapundung, banjir
besar menjadi ancaman mematikan bagi rakyat kota Bandung. Dari
berbagai sumber yang didapatkan, terdapat banyak pandangan
mengenai musibah banjir tersebut. Ada yang mengatakan bahwa banjir
tersebut merupakan sabotase yang dibuat oleh Belanda dan sekutunya,
ada juga yang mengatakan bahwa itu hanya bencana alam. Berdasarkan
penyelidikan API, yang menyebabkan banjir adalah ulah dari agen NEFIS
( Netherlands East Indies Forces Intelligence Service )membobolkan
pintu air, sehingga air bah memorak-porandakan semua pemukiman di
sekitar sungai Cikapundung.
Keadaan yang sangat memilukan itu digunakan oleh Belanda
beserta sekutunya untuk menyerang masyarakat serta para pejuang
lainnya yang tersisa. Mereka ditembaki, dibredel dengan senjata mesin.
Hampir ratusan orang meninggal, dan ribuan orang terluka. Ultimatum
pertama sekutu tersebut benar-benar menunjukkan bahwa Inggris
sangat berpihak terhadap NICA, sementara rakyat kota Bandung tidak
mempunyai pilihan selain tetap mempertahankan tanah kelahirannya itu.
Serangan balik yang dilakukan oleh Inggris kepada rakyat adalah
keinginan agar ultimatumnya didengar.

8
Di markas kediaman McDonald mengeluarkan ultimatum sebagai
berikut :
 Tentara saya ( Inggris ) akan menembak semua orang Indonesia yang
kedapatan membawa senjata.
 Semua orang Indonesia berada di rintangan rintangan ( barikade )
jalan akan ditembak mati
 Kami akan menghindarkan korban jiwa yang tidak perlu
 Sudah tentu bagi orang - orang yang tidak berdosa
 Semua orang Indonesia yang berada dalam jarak 200 meter dari pos -
pos tentara Inggris, Jepang dan RAPWI siang maupun malam hari,
akan ditembak mati
 Kami akan membersihkan semua orang Indonesia yang berbuat jahat
 Saya perintahkan kepada orang Indonesia agar menyingkir dari kota
Bandung sebelah utara jalan kereta api yang melintang dari timur ke
barat
 Gubernur bertanggung jawab atas terlaksananya perintah ini
 Semua persil rumah harus ditinggalkan. Termasuk persil-persil yang
digunakan untuk kepentingan administrasi tentara Inggris
 Semua orang Indonesia yang masih tinggal di bagian utara jalan
kereta api, setelah pukul 12 siang tanggal 29 November 1945 akan
ditawan dan jika mereka bersenjata akan segera ditembak mati
Pemerintah kota Bandung memutuskan untuk meninggalkan
Bandung utara pada tanggal 29 November 1945, namun para pejuang
tidak semuanya ikut meninggalkan bagian utara, mereka memilih perang
bergerilya dan menghabisi pasukan Belanda dan sekutu.
Para pejuang terus bertahan di daerah Sukajadi, rumah sakit
Boromeus, Cihaurgeulis, Haurpancuh, Sekeloa, Sadang Serang, dan
Sadang Saip. Di daerah tersebut pertempuran-pertempuran kecil terjadi.
Sehingga pasukan musuh merasa tidak aman dan terancam. Akhirnya
musuh lebih memilih menghantam sekitar vila Isola dengan peluncuran
mortir, sehingga banyak korban berjatuhan, termasuk warga sipil yang
terdiri dari anak anak dan wanita. Para pejuang tersebut bergerak
mundur ke arah Lembang bahkan ada yang mundur ke daerah Subang
Pada tanggal 6 Desember 1995 Pemerintah Republik Indonesia
mengirim utusannya yang terdiri dari Mr Amir Syarifudin sebagai Menteri
Penerangan yang diiringi oleh Natsir dan Syafruddin dari Dewan Pekerja

9
KNI ( Komite Nasional Indonesia ) pusat. Ketiga utusan pemerintah pusat
tersebut disambut secara sukacita oleh masyarakat kota Bandung,
kemudian utusan tersebut bertemu dengan gubernur Jawa Barat dan
pemerintahan daerah Priangan. Karena pada saat itu Aruji Kartawinata
memegang komando, maka sang menteri berpesan agar selalu menjaga
keamanan dan mengendalikan Bandung, kemudian harus tetap
berhubungan dan berkomunikasi dengan pusat.
Pada pertempuran kali ini ada pemimpin pasukan Gurkha yaitu
Kapten Mirza membelot ke pasukan republik. Dia memerintahkan anak
buahnya membawa power wagon yang berisi perbekalan, makanan dan
amunisi untuk diserahkan kepada pasukan Republik. Kemenangan telak
atas pasukan Sekutu didapatkan karena kekompakan para pejuang, pada
pertempuran ini secara statistik sangat sedikit dari pihak pejuang.

b. ULTIMATUM KEDUA
Pertempuran demi pertempuran terus terjadi di kota Bandung.
Baik di daerah selatan maupun di utara. Situasi yang tidak
menguntungkan bagi kedua belah pihak ini menyebabkan Jenderal
Hawthorn sebagai komandan Divisi ke-23 meminta kepada atasannya di
Batavia untuk menguasai seluruh Bandung, Bandung selatan tetap
menjadi incaran Hawtorn pada saat itu karena keberadaan pejuang
dirasa terus mengancam dan mengganggu tujuan utama pasukan
sekutu. Pada praktiknya Jendral Hawtorn mengajak Syamsurizal beserta
A.H. Nasution untuk merundingkan keinginan mereka, namun proses
tersebut tidak terjadi.
Sutan Syahrir yang menjabat sebagai Perdana Menteri Republik
Indonesia pada waktu itu dihubungi oleh markas besar tentara Sekutu,
bahwa mereka menginginkan pengosongan Bandung selatan dan TRI
( Tentara Republik Indonesia ) harus meninggalkan kota, sedangkan
rakyat beserta Pemerintah sipil boleh tetap tinggal di dalam kota. Dua
orang yang diutus oleh Perdana Menteri yaitu Mr. Syafruddin
Prawiranegara dan Mayjen Didi Kartasasmita mendatangi kota Bandung,
mereka berunding dengan pihak sekutu, namun Inggris tetap tidak mau
mengubah pendiriannya. Akhirnya Mr. Syafruddin mengadakan
pertemuan dengan pembesar dan tokoh penting di kota Bandung,
Panglima Komandemen Jawa Barat Mayor Jenderal Didi Kartasasmita,

10
Komandan Divisi III Kolonel A.H. Nasution, Residen Priangan
Ardiwinangun, Walikota Syamsuridzal dan tokoh-tokoh MP3.
Pada pertemuan tersebut membicarakan tentang tuntutan pihak
sekutu dan tentang sikap pemerintah pusat. TRI beserta badan
perjuangan yang bersenjata harus ke luar kota Bandung, sedangkan
pemerintah sipil, polisi dan rakyat boleh tinggal. Pemerintah sipil
mendapat instruksi untuk mempertahankan de facto di dalam kota
Bandung seperti yang telah dijalankan oleh Walikota Suwiryo di Jakarta
dan Walikota Ikhsan di Semarang. Dari pihak TRI maupun tokoh penting
lainnya menyangsikan sikap pemerintah pusat ini, karena kesepakatan
tersebut hanya akan melemahkan kota Bandung dari kekuatan militer
pasukan Republik. Kolonel A.H. Nasution setelah menemui Mayor Jendral
Didi Kartasasmita segera menemui pihak sekutu maka ditemuinya
Jendral Hawtorn selaku panglima Kolonel Nasution diajak berkeliling ke
Bandung utara oleh Kapten Clark dan polisi militer Belanda sekaligus
menyaksikan kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perang. Dia
menyaksikan peralatan tempur lengkap dari pihak sekutu untuk berjaga-
jaga menahan serangan dari pasukan TRI dan masyarakat militan kota
Bandung.
Pada tanggal 23 Maret 1946, pamflet-pamflet disebarkan dari
udara kota Bandung, pamflet tersebut berisi bahwa pihak sekutu
menuntut Tentara Republik Indonesia ( TRI ) mengosongkan seluruh
kota Bandung dan menyuruh para TRI untuk mundur sejauh 11
kilometer dari pusat kota, paling lambat pada tengah malam tanggal 24
Maret 1946. Jika ultimatum Inggris itu tidak digubris, maka kota
Bandung akan digempur habis habisan, dan bila masih terdapat orang-
orang Indonesia yang bersenjata, maka akan ditembak mati.
Ketika pamflet-pamflet itu disebarkan. Kolonel Nasution masih
berada di Jakarta untuk menanyakan kepada Perdana Menteri Sutan
Syahrir mengenai sikap TRI. Syahrir berucap,
" kerjakan saja! TRI kita adalah modal yang harus dipelihara.
Jangan dahulu hancur, harus kita bangun untuk kelak melawan NICA ".
Sikap Syahrir ini sudah jelas memberikan peluang kepada TRI
untuk memperkuat militernya, karena Inggris bukanlah musuh yang
sesungguhnya, dan belum saatnya TRI kehilangan segala kekuatan
seperti yang sudah terjadi di kota Bandung.

11
Setelah mendengar perintah tegas dari Perdana Menteri, maka
Komandan Divisi III tersebut mengumumkan dan memberi penjelasan
kepada pemerintah sipil, polisi, KNI ( Komite Nasional Indonesia ) daerah
Priangan dan badan eksekutif kota Bandung, bahwa semua orang
selambat lambatnya pada tanggal 24 Maret 1946 harus sudah keluar
kota dan tidak diperkenankan mengadakan bumi hangus atau
mengadakan pengrusakan. Namun, pada waktu itu dia mendapat surat
kawat tanpa nama pengirim dari Yogyakarta yang berisi Tiap jengkal
tumpah darah harus dipertahankan. Dualisme perintah yang didapatkan
dari Perdana Menteri dan Panglima Tertinggi. membuat AH Nasution
kebingungan.
Sementara itu pihak pemerintah sipil kota Bandung terus
membujuk pihak Inggris untuk menangguhkan ultimatumnya dengan
alasan untuk menentramkan masyarakat, mengoptimalkan tugas polisi
dan mencegah adanya perampokan-perampokan.
2. PERINTAH PEMERINTAH INDONESIA
a. PERINTAH PM AMIR SYARIFUDDIN
Pada 16 Oktober 1945 tekanan dari dalam anggotanya sendiri
membuat KNIP ( Komite Nasional Indonesia Pusat ) yang sebelumnya
sangat simbolik didaulat sebagai badan legislatif oleh Republik. Fungsi
praktisnya pun diperkuat oleh pembentukan Badan Pekerja secara
permanen. Pada 14 November 1945 kabinet pertama Syahrir terbentuk
dan bertanggung jawab kepada KNIP alih-alih Presiden.
Di sisi lain, kejadian-kejadian tersebut menandakan terbentuknya
sebuah kekuatan berupa kelompok baru politisi muda yang karena faktor
usia atau pengalaman politik tidak memegang jabatan penting selama
pendudukan Jepang. Kelompok ini awalnya muncul dalam Badan Pekerja
dan kemudian di dalam kabinet. Pemimpin kelompok ini yaitu Syahrir dan
Amir Syarifuddin serta banyak figur penting lainnya dalam kelompok ini
merupakan politisi nasionalis di masa sebelum perang namun sebagai
kelompok mereka lebih mirip kaum pemuda terpelajar dalam beberapa
hal dibandingkan kelompok politisi tua yang mereka gantikan. Faktanya,
hal-hal itulah yang membawa mereka ke puncak di tengah huru-hara
revolusi. Ironisnya, meskipun memiliki akar yang sama dengan para
pemuda dan menggantikan kelompok politisi nasionalis yang posisi

12
politisnya melemah terutama karena mempraktikkan diplomasi, para
pemimpin Sosialis justru kemudian juga menerapkan kebijakan diplomasi
saat berkuasa.
Fakta bahwa mereka semua pada dasarnya adalah politisi dan
bukan pejuang militan bersenjata adalah salah satu alasan dibaliknya,
namun yang paling penting di sini adalah bahwa mereka memiliki
kepentingan pribadi di dalam institusi pemerintahan pusat yang harus
dilindungi. Di Indonesia selama revolusi, pilihan untuk mengambil jalur
diplomasi pada akhirnya lebih disebabkan oleh jabatan dan dibukukan
oleh karakteristik pelaku.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi makin mempengaruhi
Bandung. Di akhir Oktober, ketika KNI yang berlokasi di Bandung
mengadakan pertemuan dan membentuk badan eksekutif baru yang
disebut Badan Pekerja. KNI kabupaten selalu merupakan yang paling
tidak signifikan diantara ketiga KNI tersebut dan sepertinya tidak ada
kekuatan politik penting yang berperan dalam pembentukan Badan
Pekerja di tingkat itu. Badan pekerja KNI di kota berlanjut dengan ketua
dan kepala sekretariat yang sama, Syamsurijal dan Jerman
Prawirawinata. Jerman adalah seorang pemuda yang aktif di divisi
kepemudaan di Paguyuban Pasundan sebelum perang dan Masyumi pada
saat itu dan seterusnya. Namun yang menarik adalah keberadaan dua
pemuda yang aktif di badan perjuangan yang dibentuk pada saat itu,
Sutoko dan Wasito yang sebelumnya jelas-jelas bukan bagian dari KNI,
apalagi badan eksekutifnya.
Perubahan yang paling mendasar terjadi pada badan eksekutif
KNI karesidenan di mana 2 hari 4 anggota aslinya yaitu ketua Niti dan
wakil ketua Ukar, telah diculik. Pada 29 Oktober 1945 KNI mengadakan
pertemuan dan membentuk sebuah komite yang beranggotakan 3 orang
untuk menentukan anggota Badan Pekerja yang baru, sama dengan
Syahrir dan Amir Syarifudin memiliki 15 anggota Badan Pekerja KNIP.
Kesamaannya menjadi semakin nyata karena 3 orang tersebut adalah
anggota Parsi ( Partai Sosialis Indonesia ) cabang Bandung yang saat itu
tengah berada dalam proses pembentukan. Mereka adalah Hamdani,
anggota badan eksekutif yang sudah ada dan satu-satunya yang
merupakan anggota KNI, Mr. Usman Sastroamidjoyo dan Dr. Supardar
Mangunkusumo. Ke-15 anggota Badan Pekerja yang mereka tuju

13
padahal itu dan keesokannya kemudian memiliki Hamdani sebagai ketua,
Usman sebagai wakil ketua dan jumlah besar anggota maupun
simpatisan Parsi.
Kejadian ini sangat menarik karena memberikan gambaran
mengenai gerakan awal Parsi yang efektif dalam memperluas
kekuasaannya ke luar Jakarta. Di Jakarta sendiri, anggota Parsi praktis
telah memonopoli Badan Pekerja KNIP. Patut diingat pula bahwa Badan
Pekerja KNIP baru mengusulkan kepada pemerintah mengenai perizinan
pembentukan partai politik pada 30 Oktober 1945. Langkah pertama
pembentukan Parsi sebelumnya telah dijalankan di Yogyakarta pada 26
Oktober dan cabang di Bandung terbentuk sekitar waktu pertemuan KNI
karesidenan, meskipun referensi pertama mengenai hal itu baru muncul
di Soeara Merdeka pada 16 November. Dengan demikian, Parsi berada
selangkah lebih maju daripada partai politik lainnya secara lokal maupun
nasional, dan mereka berhasil memanfaatkan keunggulan ini dengan
efektif.
Kendali atas KNI Priangan yang diperoleh Parsi nampak lebih
mengesankan dari pada kenyataannya. Hal itu tidak diragukan lagi
sangat berguna bagi Parsi untuk mendukung posisinya di tingkat nasional
dalam hal seperti membangun dukungan untuk perubahan kabinet pada
pertengahan November dan kemudian untuk menghadapi gerakan
Persatuan Perjuangan.

b. PERINTAH JENDERAL SUDIRMAN


Bagi bangsa ini, Jenderal Soedirman mewariskan watak yang
pantang menyerah oleh keadaan, tidak menyerah oleh situasi. Ia
berwatak keras untuk menegakkan prinsip. Ia mengandalkan kebersihan
jiwa untuk menggapai tujuan, serta ketabahan hati untuk melalui segala
macam penderitaan.
Kehadirannya memberi motivasi tiada tara bagi pasukan Indonesia
yang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Kekerasan tekadnya
membuat jenderal besar ini layak menjadi tokoh sentral dalam
perjuangan bersenjata menegakkan kemerdekaan.
Soedirman lahir di Rembang, Purbalingga, 7 Februari 1912. Pada
mulanya ia adalah seorang guru. Seusai menempuh pendidikan HIK
( sekolah guru ) Muhammadiyah Solo pada tahun 1934, Soedirman

14
menjadi tenaga pengajar sekolah menengah Muhammadiyah Cilacap. Ia
aktif di organisasi Kepanduan Islam Hizbul Wathan. Ia juga menjadi
wakil ketua Pemuda Muhammadiyah Karesidenan Banyumas. Ketika
Jepang berkuasa, Soedirman mengikuti pendidikan calon daidancho
PETA di Bogor. Setelah lulus, ia menjadi komandan di Kroya. Dari sinilah
Soedirman memulai karir militernya.
Secara sepintas, pendidikan militer Soedirman sebenarnya tak
seberapa jika dibandingkan teman-temannya alumni Akademi Militer
Belanda. Ia hanya menjalani pendidikan daidancho ( setingkat
komandan dan batalion ) Peta. Ia adalah salah satu dari 69 kepala
batalion yang ada di Jawa, Bali, dan Madura. Namun ia memiliki bakat
kepemimpinan luar biasa. Figurnya kharismatik, serta menampakkan
kedewasaan yang jauh melampaui usianya.
Bakat kepemimpinannya itu tampak ketika Soedirman bersama
pasukan yang dipimpinnya berhasil mengusir tentara Sekutu anak buah
Jenderal Bethel dari kota Magelang dan Ambarawa. Pertempuran itu
dikenang sebagai Palagan Ambarawa ( November-Desember 1949 ).
Dalam pertempuran yang berlangsung tanpa henti pada tanggal 12-15
desember 1945, pasukan Sekutu berakhir dipukul mundur. Sebagai
kenangan, setiap tanggal 15 Desember, negara memperingatinya
sebagai hari Infanteri.
Ketika dikeluarkan Makloemat Pemerintah pada 1 November 1945,
bermunculanlah pasukan-pasukan bersenjata dari berbagai unsur.
Banyak partai memiliki pasukan bersenjata sebagai ounderbouw nya.
Karena perbedaan ideologi, agama, dan latar belakang sosial, sering
terjadi perselisihan di antara mereka. Namun, laskar-laskar ini dapat
dipersatukan dengan tentara oleh Soedirman.
Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dibentuk pada 15 Oktober
1945, dan Soedirman dipercaya memimpin Divisi V Banyumas dengan
pangat kolonel. Ketika dilangsungkan Kongres TKR tanggal 12 November
1945 di Yogjakarta, Soedirman dipilih sebagai Panglima Besar TKR
dengan pangkat jenderal, dan Oerip Soemohardjo ditunjuk sebagai
Kepala Staf. Dua tahun kemudian, TKR berubah nama menjadi TNI
( Tentara Nasional Indonesia ). Ia dilantik pada tanggal 18 Desember
1945. Dalam program Re-Ra tahun 1948, pangkatnya diturunkan
menjadi letnan jenderal.

15
Soedirman terkenal berwatak keras terhadap dirinya sendiri.
Walaupun sakit berkepanjangan, ia tetap memimpin langsung
pasukannya bergerilya naik gunung turun jurang. Ia adalah panglima
yang tak bisa duduk di belakang meja. Selama tujuh bulan, Soedirman
berada di atas tandu untuk memimpin pasukannya bergerilya dengan
rute dari Yogjakarta, Surakarta, Madiun, hingga Kediri. Mengenai
penyakitnya ini, ia pernah berkata : " Kalau saja zaman damai, saya
menurut saja perintah dokter. Tapi, kalau dalam masa perang seperti
sekarang ini, harap dimaafkan saya menyalahi nasehat dokter. Sebab,
saya harus mengikuti siasat perang “.
Ketika tentara Indonesia masuk Yogjakarta setelah penarikan
mundur pasukan Belanda, penyakitnya semakin parah. Akhirnya Jenderal
Soedirman wafat di Magelang 19 Januari 1950, dan dimakamkan di TMP
Semaki, Yogyakarta.
Pada saat itu juga datang surat perintah dari Panglima TKR
( Jenderal Sudirman ) yang bertolak belakang dengan surat perintah dari
perdana menteri, surat perintah tersebut berisi :
“ Bahwa para pejuang / pasukan RI harus mempertahankan kota
bandung sampai titik darah penghabisan. ”
Menghadapi dua perintah yang berbeda ini, akhirnya pada 24
Maret 1946 pukul 10.00 WIB, para petinggi TRI ( Tentara Republik
Indonesia ) mengadakan rapat dengan hasil kesepakatan mereka akan
mematuhi perintah dari pemerintah pusat. Namun mereka tidak mau
menyerahkan bagian selatan kota Bandung itu secara utuh kepada
musuh. Lalu rakyat akan diajak mengungsi bersama TRI. Selama
pengungsian, TRI dan pejuang akan melakukan perlawanan dengan
taktik gerilya ke Bandung Utara dan Selatan yang dikuasai musuh.

3. BANDUNG LAUTAN API


Rangkaian peristiwa yang baru saja kita bahas terjadi selama periode
yang relatif tenang antara Januari hingga awal Maret 1946, saat kebuntuan
antara pihak Inggris dan Indonesia terus berlangsung dan Bandung tetap
terbagi dua dengan tidak nyaman. Namun, kondisi yang tidak biasa ini tidak
dapat bertahan selamanya, dengan Bandung Utara dalam keadaan sebagai
kamp pengungsian yang padat di mana penghuninya hidup dari makanan
kalengan dan terganggu oleh serangan-serangan pada bagian sisinya dan

16
Bandung Selatan dalam keadaan setengah kosong dan dihuni terutama oleh
pemuda. Para pemuda, terlepas dari kemajuan mereka dalam berorganisasi,
tidak memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan berskala besar yang
sukses sehingga hanya pihak Inggris yang dapat memecah kebuntuan.
Menyusun program yang dimulai pada Desember 1945, mereka
mulai membangun kekuatan di Jawa Barat, dengan membawa masuk
pasukan baru dan secara bertahap menggerakkan mereka di sepanjang jalur
suplai yang menuju Bandung sambil memperkuat kendali atas jalur itu. Di
Bandung sendiri, mereka mulai menggunakan pasukan yang baru tiba untuk
memperluas batasan zona yang terlindungi, khususnya ke arah utara. Ini
bukanlah suatu operasi yang penting dan tidak mempengaruhi Bandung
Selatan untuk sementara waktu, namun fakta bahwa markas Divisi Hindia ke-
23 dipindahkan ke Bandung pada 16 Februari 1946 bersama dengan
persiapan pasukan secara besar-besaran, memperjelas indikasi bahwa
Inggris berniat menyapu bersih kawasan Bandung selatan juga.
Meskipun merupakan bagian dari rencana jangka panjang Inggris
sekaligus merupakan konsekuensi yang nyaris tak terhindarkan dari
perubahan radikal dalam keseimbangan kekuatan militer selama
minggu-minggu terakhir periode itu, pemicu operasi militer di selatan
Bandung adalah sejumlah manuver agresif dari pihak Indonesia sendiri. Yang
pertama adalah pertarungan sengit dengan konvoi di sepanjang jalur antara
Bogor dengan Bandung selama 5 hari sejak 10 Maret 1946, dan melibatkan 3
unit Inggris yang berbeda, 2 yang terakhir dikirim untuk menyelamatkan
yang pertama. Penyerangan yang terjadi setelah hampir tiga bulan dimana
konvoi dapat bergerak dengan mulus berkat kerjasama dari TKR / TRI,
insiden tersebut kembali menunjukkan rentannya posisi Sekutu. Insiden
penting lain selama ketegangan yang meningkat di minggu terakhir terjadi
pada 19 Maret 1946, ketika sejumlah mortir Indonesia jatuh di salah satu
daerah pemukiman orang sipil Eropa dan menghasilkan sejumlah korban
jiwa.
Dengan insiden-insiden tersebut sebagai pendorong dan dalih,
Inggris memutuskan bahwa telah tiba saatnya untuk mengakhiri pembagian
wilayah Bandung. Mereka siap melakukan hal ini secara paksa dan telah
menyiapkan sebuah operasi militer besar-besaran yang diberi nama
Operation Sam namun seperti biasa, mereka mencoba jalur diplomasi
terlebih dalu.

17
Sekitar 22 Maret 1946, mereka memberitahu Perdana Menteri Syahrir
bahwa operasi akan dijalankan dan mendesaknya untuk memastikan bahwa
operasi itu tidak menimbulkan pertempuran dengan mengatur penarikan
seluruh unit militer dan orang bersenjata Indonesia dari wilayah dalam radius
11 km dari pusat kota. Hanya mereka yang bersenjata ekstermis dan TKR
yang termasuk dalam permintaan tersebut, warga sipil dibiarkan dan
didorong untuk tetap tinggal di kota yang dikendalikan oleh inggris.
Beberapa hari yang penuh aktivitas diplomasi intens menyusul
pengumuman rencana Inggris. Pada 22 Maret 1946, Didi Kartasasmita,
Komandan Komandemen Jawa Barat, dan Syafruddin Prawiranegara, wakil
menteri keuangan, terbang ke Bandung untuk memberitahu pemimpin sipil
dan militer lokal mengenai ultimatum Inggris dan untuk menyampaikan
instruksi Syahrir yang harus diikuti. Seperti yang disebut salah satu sumber
pemerintah yaitu TRI dan MP3 khususnya walikota ( Syamsurijal ),
komandan divisi ( Nasution ) dan kepala seksi militer MP3 ( Sutoko ),
mendiskusikan masalah ini dan memutuskan bahwa hal itu harus dibahas
secara lebih mendalam bersama Syahrir sendiri.
Untuk itu, keesokan harinya Nasution terbang ke Jakarta. Semakin
pentingnya peranan pemuda dan khususnya badan militer nampak jelas di
sini. Pemuda pada dasarnya tidak terlibat dalam negosiasi-negosiasi pada
akhir September dan awal Oktober 1945 dengan Jepang dan RAPWI, serta
negosiasi-negosiasi pada akhir Oktober dan awal November 1945 dengan
Jendral McDonald dan baru mulai terlibat di akhir negosiasi pada akhir
November dan awal Desember 1945, terutama untuk mengatur bagaimana
mereka melaksanakan kesepakatan yang dibuat pihak sipil dari generasi tua.
Saat itu Nasution berkonsultasi pada Syahrir dan persoalannya adalah
meyakinkannya untuk mengikuti strategi diplomasi pemerintah dalam kasus
ini.
Kolonel A.H. Nasution tiba kembali di Bandung pada pukul 08.00
tanggal 24 Maret 1946 dan diterima di Markas Divisi ke-23 Inggris oleh
Kolonel Hunt dari Staf Divisi Inggris di Bandung, yang menanyakan
bagaimana keputusan yang diterima oleh Kolonel A.H. Nasution dari
Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta. Dikatakan oleh Kolonel Hunt
bahwa pada hari itu juga semua pasukan bersenjata harus ke luar kota
dengan radius ( jarak dari tempat tersebut ) 11 km. Dijawab oleh Kolonel
Nasution, bahwa secara teknis tak mungkin untuk mengungsikan lebih

18
kurang 10.000 orang tentara dan laskar apalagi dengan barang-barang
perlengkapannya. Pihak Inggris menawarkan 100 buah truk Jepang untuk
mengangkutnya, yang dengan tegas ditolak oleh Kolonel Nasution.
Komandan Divisi III TRI menegaskan bahwa
pertempuran-pertempuran tak dapat dihindarkan dan dinyatakan pula bahwa
pengosongan 11 km itu akan mengakibatkan pengungsian ratusan ribu
rakyat.
Kolonel Hunt menyatakan bahwa rakyat tentu berkehendak untuk
tetap tinggal di dalam kota, terkecuali jika Kolonel Nasution melakukan
intimidasi. Kolonel Nasution tetap mengatakan, bahwa bagaimanapun
pertempuran akan terjadi.
Kira-kira pukul 10.00 Kolonel Nasution dijemput oleh Kapten Sugih
Arto, pihak TRI telah mengadakan persiapan-persiapan seperlunya. Bom-
bom batok sudah dipasang di jalan-jalan.
Setibanya di Pos Komando, Kolonel Nasution menerima kawat dari
Markas Tertinggi TRI di Jogya tanpa nama pengirim yang mengatakan
bahwa setiap jengkal tumpah darah harus dipertahankan.
Sementara itu pihak sipil meminta penundaan batas waktu kepada
pihak Inggris karena waktunya sudah sangat sempit sekali, dengan alasan
untuk menentramkan rakyat dan supaya polisi dapat mengatur usaha
pencegahan perampokan-perampokan.
Mayor Rukana, Komandan Polisi Tentara RI mengusulkan untuk
membumihanguskan dan kemudian menutup terowongan kali Citarum di
perbatasan barat dengan dinamit.
Untuk memperlihatakan kebulatan tekad dan semangat perjuangan
bangsa, maka diputuskanlah kota Bandung harus dibumihanguskan agar
tidak mudah dipergunakan oleh musuh.
Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil dalam
musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan ( MP3 ) dihadapan
semua kekuatan perjuangan saat itu. Keputusan itu diambil pada tanggal
24 Maret 1946 pagi dan kemudain dilaporkan kepada Kolonel A.H.
Nasution.
Memang, posisi Kolonel Nasution itu sangat sulit ketika itu, karena
adanya instruksi dari Jakarta dan Jogya yang bertentangan satu sama
lainnya. Selain itu pemerintah sipil menyatakan ketaatannya kepada
Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

19
Setelah kembali ke Bandung, Kolonel Nasution memanggil semua
Komandan Resimen. Komandan Divisi III mengeluarakan perintah lisan
agar seluruh warga Bandung meninggalkan kota Bandung. Waktu itu jam
menunjukkan kira-kira pukul 14.00 dan perintah itu dikeluarkan di rumah
Kolonel Nasution yaitu di pojok Jalan Simpang.
Pada pukul 14.00, Komandan Divisi III, Kolonel Abdoel Haris
Nasution dengan resmi mengelurkan perintah antara lain yang berisi
sebagai berikut :
 Semua pegawai dan rakyat harus ke luar kota sebelum pukul 24.00
 Semua kekuatan bersenjata melakukan bumi hangus terhadap semua
bangunan yang ada.
 Sesudah matahari terbenam, kedudukan musuh di sebelah utara rel
kereta api supaya diserang oleh para pejuang yang ada di daerah
utara sambil sedapat mungkin melakukan bumihangus. Begitu pula
dari selatan harus melakukan penyusupan ke utara, sebagai serangan
perpisahan.
 Pos Komando dipindahkan ke Kulalet.
Kolonel Nasution mengirimkan pesan kepada Pemerintah Kota
Bandung agar sebelum pukul 22.00 sudah harus meninggalkan kota,
sebab seluruh kota akan dihancurkan.
Dengan diterimanya perintah itu, Letnan Kolonel Omon
Abdulrachman, selaku Komandan Resimen 8, memanggil komandan-
komandan dan batalyonnya dan ternyata yang hadir hanya 5 komandan
batalyon, karena Sukanda Bratamanggala berhalangan hadir, karena
sedang berada di Bandung Utara. Sekalipun demikian, dengan melalui
seorang kurir, Sukanda Bratamanggala telah diberitahu mengenai rencana
Resimen 8.
Sebagai tentara memang harus taat kepada perintah atasan, akan
tetapi pemuda-pemuda Bandung adalah pemuda-pemuda pejuang yang
ingin merdeka. Berhubung dengan itu diambilah keputusan untuk
menanggalkan tanda-tanda pangkat, sehingga dengan demikian
berubahlah anggota tentara itu menjadi pemuda-pemuda pejuang yang
bertekad akan membakar kota Bandung.
Rakyat sebagian ada yang mendengar informasi tersebut,
sebagian lagi hanya mendengar desas-desus bahwa Bandung akan

20
dibakar dan penduduknya harus mengungsi segera menyebar, tetapi
banyak juga yang tidak mengetahui sama sekali.
Namun situasi umum waktu itu mencekam dan kepanikan terjadi
di mana-mana. Meski panik, secara umum rakyat mematuhi keputusan
pemerintah.
Masyarakat betul-betul terkejut menerima keputusan ini, lebih-
lebih sesudah pidato Walikota Bandung Sjamsurizal yang menyatakan
bahwa pemerintah sipil akan tetap berada di Kota Bandung dan
mengharapkan agar rakyat pun tetap tenang dan tidak meninggalkan
kota. Akan tetapi rakyat ternyata menerima keputusan mengungsi itu
dengan penuh ketabahan dan penuh pengertian.
Sjamsurizal berusaha untuk menjumpai Kolonel Nasution guna
merundingkan tindakan-tindakan selanjutnya. Akan tetapi Kolonel
Nasution tak dapat dijumpainya karena kesibukannya di luar Pos
Komando.
Perintah pengosongan kota Bandung sebelum jam 22.00 dari
Komandan Divisi III itu, menyebabkan seluruh instansi-instansi dan
jawatan-jawatan Pemerintah di kota Bandung sibuk mempersiapkan
pengungsian ke luar kota. Rakyat Bandung rela mengungsi, meskipun
dengan berat hati harus meninggalkan rumah yang sudah mereka
ditinggali sejak kecil. Tempat tujuan pengungsi menyebar, mulai dari
Cililin, Ciparay dan Majalaya, Tasikmalaya, Cianjur, Ciwidey, Garut,
Sukabumi, bahkan ada yang hingga Jogjakarta.
Pada mulanya memang tidak sedikit penduduk yang menolak
untuk meninggalkan kota Bandung, akan tetapi akhirnya mereka
menyadari betapa pentingnya untuk meninggalkan kota Bandung dengan
tekad suatu ketika akan kembali lagi ke Bandung dengan membawa panji-
panji kemenangan. Memang, tak ada perjuangan tanpa pengorbanan.
Para pengungsi dengan berbondong-bondong menuju arah selatan.
TRI menjadwalkan peledakan pertama dimulai pukul 24.00 WIB di
Gedung Regentsweg, selatan Alun-Alun Bandung yaitu Gedung Indische
Restaurant ( sekarang Gedung BRI ), sebagai aba-aba untuk meledakan
semua gedung. Lalu diadakanlah pembagian tugas. Yang menguasai
gudang amunisi peledak dan segera membagikan alat-alat peledak itu
kepada kawan-kawannya.

21
Bom ( peledak ) itu biasanya dilemparkan sambil mencabut
sumbunya atau detonatornya. Sekalipun waktu yang tersedia sangat
singkat, namun segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar, karena
bahan-bahannya sudah tersedia di Golep ( kompleks Bina Marga sekarang
di Sukamiskin ). Karena di sinilah tempat atau gudang alat-alat peledak
pasukan Bandung. Detonator-detonator diperoleh dari pabrik senjata ACW
( Artilerie Constructien Winkel ), antara lain melalui Muslim dan Arjo
Damar.
Para mahasiswa Sekolah Teknik Tinggi ( ITB sekarang ) sudah
lebih dahulu menyiapkan botol-botol pembakar. Jika dilemparkan dan
pecah maka akan menimbulkan api. Alat-alat ini biasanya terbuat dari
bekas-bekas bola lampu, botol-botol kecil. Yang membuat adalah Susatyo,
seorang Asisten di Sekolah Teknik Tinggi. Karena Batalyon II umumnya
terdiri juga dari mahasiswa-mahasiswa , maka merekalah yang
menghubungi Perguruan Tinggi itu.
Beberapa gedung yang diperkirakan akan dipergunakan oleh pihak
Inggris telah dipasang / ditanami alat-alat peledak. Semua rencana dibuat
secara tertulis. Di gedung bekas Bank Rakyat di sudut Kabupaten
Bandung, disiapkan alat peledak yang besar, karena menurut rencana
akan diledakkan tepat pada pukul 24.00 malam yang merupakan isyarat
dimulainya pembakaran Kota Bandung. Alat peledak itu dijaga oleh
seorang perwira.
Semenjak siang hari banyak barang-barang yang sudah
diungsikan ke daerah selatan. Jalan-jalan pemunduranpun telah diatur.
Sektor-sektor sudah dibagi. Pembagian tugas untuk melakukan serangan
terakhir pun telah selesai dilakukan, terkecuali untuk MP3 yang harus
diatur sendiri oleh Sutoko dan disesuaikan dengan rencana pihak militer
supaya ada kerja sama.
TRI menjadwalkan peledakan pertama dimulai pukul 24.00 WIB di
Gedung Regentsweg, selatan Alun-Alun Bandung yaitu Gedung Indische
Restaurant ( sekarang Gedung BRI ), sebagai aba-aba untuk meledakan
semua gedung.
Di tengah persiapan itu tiba-tiba terjadi ledakan. Seorang pejuang,
Endang Karmas, mengaku heran dengan adanya ledakan, padahal baru
pukul 20.00 WIB. Ledakan pertama itu terlanjut dianggap aba-aba,
sehingga pejuang lain pun tergesa-gesa melakukan pembakaran dan

22
peledakkan gedung. Karena persiapan yang minim, banyak gedung vital
yang tidak bisa diledakkan, kalaupun meledak, tidak sanggup merusak
bangunan yang terlalu kokoh.
Akhirnya terpaksa dimulai saja rangkaian bumihangus. Tentunya
hasilnya kurang memuaskan karena peledakan-peledakan tidak semuanya
dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan,
karena ada alat-alat peledak belum dipasang karena terlalu dekat dengan
Markas Belanda Utara.
Pos Komando Resimen 8 saat itu berada di Jalan Balonggede No.
34, sedangkan Staf Resimennya ada di Tegalega, untuk menerima
laporan-laporan mengenai hasil-hasilnya. Baru pada pukul 00.00,
Komandan Resimen pindah ke Bojongsoang.
Beberapa kemungkinan menjadi pemicu melesetnya jadwal
ledakkan dari jadwal semula, yakni faktor teknis atau keterampilan
menguasai bahan peledak yang minim, alat peledak yang kurang, atau
ada sabotase oleh musuh untuk menggagalkan skenario Bandung Lautan
Api.
Terlebih saat persiapan pengungsian pasukan Gurkha dan NICA
terus melakukan provokasi hingga penembakan terhadap para pejuang.
Hal itulah yang membuat rencana pembakaran dan penghancuran objek
vital tidak berjalan seperti rencana.
Kebakaran hebat justru timbul dari rumah-rumah warga yang
sengaja dibakar, baik oleh pejuang maupun oleh pemilik rumah yang
sukarela membakar rumahnya sebelum berangkat ngungsi.
Rumah-rumah warga yang dibakar membentang dari Jalan Buah
Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih, Cigereleng, Jalan Sudirman,
Jalan Kopo. Kobaran api terbesar ada di daerah Cicadas dan Tegalega, di
sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang, Cikudapateuh, dan lain-lain.
Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga
pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa
Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu
yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu
tersebut.
Untuk itu diutuslah Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda
itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang

23
besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut gugur
bersama dengan kebakaran tersebut.
Kolonel Nasution sendiri berkeliling di dalam kota dan turut
membantu membakar di sana-sini. Setelah pukul 24.00 malam, Kota
Bandung bagian selatan praktis sudah kosong dari manusia, akan tetapi
api masih terus berkobar kobar membakar apa saja yang ada disekitarnya.
Agaknya pihak musuh tak berani menampakkan dirinya dan jera untuk
melakukan suatu tindakan ketika itu.
Karena keadaan tampak tenang-tenang saja, maka barulah
Kolonel Nasution ke luar kota dan menuju ke arah selatan kota Bandung,
ke Pos Komando Divisi III sementara di jalan lintang antara Kulalet-
Cangkring, sedangkan Resimen Pelopor menduduki tempat di sebelah
baratnya dan Resimen serta MP3 di sebelah timurnya.
Pihak Inggris ternyata baru pada subuh hari menyerbu ke
Bandung bagian selatan yang telah kosong. Setelah seluruh kota Bandung
diduduki oleh pihak Inggris dan Belanda, maka rakyat Indonesia setiap
malam mengatur infiltrasi-infiltrasi dari luar kota untuk mengacaukan
keadaan musuh. Segala sesuatu mengenai kejadian kota Bandung telah
dilaporkan oleh Kolonel Nasution kepada Markas Tertinggi TRI di
Jogyakarta.
Dalam bulan April 1946, selama 3 hari tampak pesawat-pesawat
Dakota Inggris mondar-mandir mengangkat sebanyak kurang lebih 2.500
orang serdadu Belanda dari Brigade V dibawah pimpinan Kolonel Moier.
Sementara itu penjagaan-penjagaan di dalam kota Bandung diserahkan
oleh Divisi ke-23 Inggris kepada Brigade V KNIL tersebut diatas.
Setelah Brigade V KNIL ini ditugaskan di Bandung, maka untuk
pertama kalinya pasukan Bandung langsung berhadapan dengan Belanda
di daerah Bandung. Tentara Belanda ini, baik dalam kelakuan sepak
terjangnya ternyata lebih ganas daripada Tentara Inggris.
Surat kabar pihak musuh mengusung berita-berita mengenai
peristiwa Bandung itu dengan garis-garis hitam sebagai tanda berkabung,
dengan perkataan-perkataan yang melukiskan kemurkaan bercampur
duka cita karena de mooiste stad van java ( Kota terindah se-Jawa ) dan
Parijs van Java ( Paris dari Jawa ) telah di bumihanguskan. Bahkan
Kolonel Nasution oleh pihak lawan dicap sebagai penjahat perang.

24
Tak lama kemudian Panglima Komandemen I TRI Jawa Barat,
Mayor Jenderal Didi Kartasasmita telah mengutus kepala stafnya, Kolonel
Hidayat, untuk menjumpai Komandan Divisi III Kolonel Nasution, guna
menyampaikan pesan agar Kolonel Nasution dapat memberi
pertanggungjawabannya mengenai sebab-sebab kota Bandung tidak
dipertahankan sampai titik darah yang penghabisan. Pihak Jogjakarta,
yakni Markas Tertinggi TRI ( Tentara Republik Indonesia ), meminta
pertanggungjawaban tersebut.
Kolonel Nasution menjawab bahwa Panglima Komandemen I Jawa
Barat lebih tahu apa yang telah beliau katakan padanya, dan lebih-lebih
lagi TRI Jogya mengetahui bahwa untuk menangkis lawan yaitu Divisi ke-
23 Inggris yang berkekuatan kira-kira 12.000 orang itu dalam ruangan
yang demikian sempitnya, tidaklah mungkin dilakukan oleh kira-kira 4
Batalyon TRI yang hanya memiliki senjata yang banyaknya kurang lebih
100 pucuk saja.
“ Kalau musuh akan menduduki, mereka akan menerima puing. Tapi
empat batalyon saya tetap utuh dan tiap malam melakukan gerilya di
dalam kota, "
Ketika dalam bulan Mei 1946 Jenderal Urip Sumohardjo selaku
Kepala Staf Umum Tentara Republik Indonesia melakukan kunjungan
inspeksi ke Jawa Barat, beliau pernah secara resmi mengatakan bahwa
tindakan serta keputusan yang telah diambil oleh Komandan Divisi III
Kolonel Abdoel Haris Nasution mengenai Bandung itu adalah keputusan
yang baik dan tepat.
Sekalipun rakyat telah meninggalkan kota Bandung, namun
kedudukan lawan di dalam kota terus menerus diganggu dengan
melakukan tekanan terhadap musuh.
Pihak musuh menyebarkan pamflet-pamflet dari udara yang
menganjurkan agar pemuda-pemuda jangan menyerang kota dan jangan
melakukan bumihangus karena yang akan rugi adalah rakyat Indonesia
sendiri. Namun sementara itu, pihak Belanda telah melebarkan sayap
kekuasaannya. Mereka dengan sangat aktif mengambil perabot-perabot
rumah tangga milik bangsa Indonesia yang ditinggalkan mengungsi.
Pemuda-pemuda pejuang Indonesia berhasil membakar dan
mendinamit sekitar Dayeuhkolot, Situsaeur, Kosambi, Pagarsih, dan
Cimindi.

25
Stasiun listrik Kiaracondong berhasil dirusak pemuda Indonesia.
Setiap malam penduduk NICA di Bandung diramaikan oleh
dentuman-dentuman dan kebakaran-kebakaran, sehingga mereka setiap
malam berada dalam ketakutan. Serdadu-serdadu Jepang oleh NICA
tampak dimanfaatkan tenaganya karena mereka mengalami kekurangan
tenaga dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya.
Sementara itu Ciparay, MP3 ( Majelis Persatuan Perjuangan
Priangan ) telah membentuk Resimen Tentara Perjuangan ( RTP ) yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Sutoko. RTP ini kemudian bergabung dengan
Divisi Siliwangi setelah terbentuk dengan resmi pada tanggal 20 Mei 1946
di Tasikmalaya.
Maka dari Bandung Selatan, Tentara Perjuangan yang waktu itu
bermarkas komando di Bale Endah terus-menerus memberikan komando
agar pasukan-pasukannya tanpa henti melancarkan serangan-serangan
terhadap kubu-kubu pertahanan Belanda di Bandung dan sekitarnya. Guna
menunjang perjuangan itu, maka di mana-mana terdapat Pos-Pos Darurat
Pemerintah Sipil / Jawatan-Jawatan untuk melaksanakan tugasnya. Pos-
pos PMI ( Palang Merah Indonesia ) pun didirikan dimana-mana untuk
menolong korban-korban pertempuran.
Peristiwa Bandung Lautan Api ini memberikan kerugian yang
sangat besar bagi masyarakat Bandung, karena kerusakan infrastruktur
yang terjadi akibat peristiwa itu. Oleh karena rumah rakyat sipil juga
terbakar sehingga menyebabkan kerugian bagi rakyat.
Dampak yang ditimbulkan oleh aksi bumihangus dari para
pahlawan itu terhadap gerak ofensif sekutu sama sekali bukanlah
rintangan. Gerak ofensif sekutu yang membangun basis disekitar Bandung
Utara tidaklah mendapat hambatan dari bangunan-bangunan yang
dibakar.
Dari pihak sekutu tidak banyak dirugikan atas aksi pembakaran
tersebut yang dirasakan. Selain itu pula, bangunan-bangunan besar
buatan masa kolonial dengan tembok dan struktur bangunannnya yang
kokoh yang dicoba untuk diledakan dengan peledak buatan lokal oleh
pihak TRI ( Tentara Rakyat Indonesia ) ternyata tidak
menghasilkan kerusakan yang berarti. Dalam beberapa pekan kemudian
bangunan-bangunan itu sudah bisa dipergunakan kembali.

26
C. LAGU HALO-HALO BANDUNG
Kota Bandung yang telah lama ditinggalkan dan sebelumnya menjadi
Lautan Api menginspirasi para pejuang untuk menciptakan sebuah lagu yang
membangkitkan semangat.
Halo-Halo Bandung adalah salah satu lagu perjuangan Indonesia yang
menggambarkan tentang semangat perjuangan rakyat kota Bandung dalam
masa pascakemerdekaan pada tahun 1946, khususnya dalam peristiwa
Bandung Lautan Api yang terjadi pada tanggal 23 Maret 1946.
Istilah Hallo Bandoeng dikenal sejak terbitnya buku Hallo Bandoeng,
Hier Den Haag. Yang diterbitkan oleh Penerbit Hindia Belanda Hoofdbestur
pada tahun 1928. Buku ini merupakan catatan kenangan tentang panggilan
telepon pertama kali dari Tuschen Netherland ke Hindia Belanda (
Herinneringen Aan De Eerste Radiotelefoongesprekken Tuschen Nederland En
Nederlandsch-Indie ), tepatnya di Kota Bandung, kota yang sangat indah di
Priangan.
Umumnya panggilan telepon, biasa diawali dengan kalimat sapaan
Hallo. Untuk masa itu, melakukan suatu panggilan telepon Internasional
merupakan suatu pretasi yang sangat spektakuler.
Panggilan telepon pertama itu langsung dilakukan oleh Ratu Emma
( Ibu dari Ratu Wilhelmina ) dari stasiun radio di Den Haag ( The Prague ) di
negeri Belanda.
Catatan bersejarah itulah yang direkam dalam buku ini, sehingga istilah
Hallo Bandoeng menjadi begitu sangat populer, khususnya dikalangan
aristokrat Belanda dan para pribumi yang mendapat pendidikan di
sekolah-sekolah Belanda.
Dan dari sini dapat diketahui bahwa kota Bandung di Priangan
( nama populer untuk daerah Jawa Barat saat itu ) merupakan kota yang
sangat populer di Hindia Belanda saat itu, sehingga tak salah di kenal sejak
lama sebagai Paris van Java. Selain itu, kawasan Priangan juga dikenal di
negeri Belanda sebagai daerah penghasil kekayaan alam yang sangat besar,
sehingga VOC sempat mengeluarkan kebijakan preanger stelsel, sebuah upaya
mengeksploitasi alam Priangan dengan mengukuhkannya sebagai perkebunan
kopi.
Nama pencipta resmi dari lagu Halo-Halo Bandung masih diragukan
sebagian masyarakat Indonesia. Lagu tersebut bukan ciptaan perseorangan

27
melainkan merupakan ciptaan bersama para pejuang di Ciparay, Bandung
Selatan, tanpa melihat asal-usul bangsa.
Sejumlah kalangan menyakini lagu Halo-Halo Bandung adalah hasil
karya komponis legendaris Indonesia. Sejauh ini, kalayak mengenal lagu
perjuangan tersebut ciptaan Ismail Marzuki.
Ismail Marzuki bisa saja menjadi kandidat terkuat yang paling dipercaya
sebagai pencipta lagu Halo-Halo Bandung sebagaimana yang selama ini
dimaklumi. Ada beberapa alasan yang mendukung keyakinan tersebut.
Yang utama tentu saja karena Ismail Marzuki adalah seorang komponis
yang memang sudah menciptakan banyak lagu nasional. Ia masih berusia
produktif saat peristiwa Bandung Lautan Api terjadi. Bahkan, dalam setahun
pada 1939, seniman-pejuang asli Betawi kelahiran 5 November 1914.
Ditambah lagi, Ismail Marzuki pernah bermukim di kota kembang. Ia
pindah ke Bandung dari Jakarta untuk membentuk grup Orkes Studio
Ketimuran. Ismail Marzuki juga menikahi perempuan Bandung bernama Eulis
Andjung Zuraidah.
Ismail Marzuki dan istri sempat tinggal di Bandung selatan yang pada
akhirnya terpaksa dibumihanguskan oleh tentara republik sebelum dijamah
Sekutu dan Belanda. Ia dan istri turut mengungsi pula kala itu.
Dari situ dapat disimpulkan bahwa Ismail Marzuki saksi mata pada
peristiwa Bandung Lautan Api terjadi. Namun kenangan indah selam menetap
di kota Bandung selalu melekat dalam ingatannya. Hal tersebut
mendorongnya untuk menciptakan lagu berbahasa sunda yang berjudul Halo-
Halo Bandung.
Banyak faktor lain yang memperkuat klaim bahwa Ismail Marzuki
adalah pencipta lagu Halo-Halo Bandung. Cukup banyak lagu ciptaannya yang
menyinggung kota kembang itu, sebut saja Bandung Selatan di Waktu Malam,
Lenggang Bandung, Sapu Tangan dari Bandung Selatan, dan Panon Hideung
yang liriknya ditulis dalam bahasa Sunda.
Berikut adalah lirik lagu Halo-Halo Bandung yang dianggap masyarakat
penciptannya adalah Ismail Marzuki :
“ Halo-Halo Bandung, Ibu Kota Periangan
Halo-Halo Bandung, kota kenang-kenangan
Sudah lama beta, tidak berjumpa dengan kau
Sekarang telah menjadi Lautan Api
Mari bung rebut kembali “

28
Namun ada beberapa anggapan masyarakat bahwa lagu Halo-Halo
Bandung bukanlah karya Ismail Marzuki. Keraguan terhadap Ismail Marzuki
sebagai orang yang menciptakan lagu Halo-Halo Bandung mulai
mengemukakan ketika Pestaraja Marpaung memberikan kesaksiannya.
Veteran asal Medan yang akrab disapa Bang Maung ini adalah salah seorang
pejuang yang terlibat langsung dalam peristiwa Bandung Lautan Api.
Dalam buku berjudul Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat
Bandung untuk Kedaulatan, Bang Maung mengungkapkan bahwa lagu
Halo-Halo Bandung bukan diciptakan khusus oleh seseorang, melainkan
tersusun secara spontan oleh para pejuang republik yang berperan langsung
dalam peristiwa Bandung Lautan Api saat itu.
Pestaraja Marpaung tentu saja punya alasan kuat atas kesaksiannya itu.
Ia memaparkan bahwa kata-kata atau lirik dalam lagu Halo-Halo Bandung
terdiri dari berbagai macam bahasa atau ucapan kebiasaan lokal khas daerah
karena para pejuang yang berperang di Bandung kala itu berasal dari berbagai
wilayah dan suku bangsa di Indonesia.
Kata Halo, misalnya adalah sapaan yang sering digunakan oleh anak-
anak muda di Medan. Begitu pula dengan kata Beta dan Kau yang terselip
dalam lagu tersebut adalah khas Maluku atau Ambon. Jika lagu itu bukan
tercipta secara spontan, mengapa tidak memakai kata ganti orang pertama
dan kedua yang lebih umum?
Seperti yang ditulis di buku tersebut, Bang Maung berucap, “ Sesudah
Halo - Halo Bandung, datang orang Ambonnya. Sudah lama beta tidak
bertemu dengan kau! Karena itu, ada beta di situ. Bagaimana kata itu bisa
masuk kalau tidak ada dia ( Orang Ambon ) di situ “
“ Itulah para pejuang yang menciptakannya. Tidak ada itu yang
menciptakan. Kita sama-sama saja main-main begini. Jadi, kalau dikatakan
siapa pencipta Halo - Halo Bandung ? Para pejuang Bandung Selatan ! ”
Selain kesaksian yang dipaparkan oleh Bang Maung, kesangsian
terhadap Ismail Marzuki bertambah kuat jika membandingkan karakter lagu
“Halo-Halo Bandung” dengan sebagian besar karya Ismail Marzuki lainnya.
Halo – Halo Bandung dimasukkan dalam kategori lagu mars yang
berirama cepat dan heroik. Sedangkan Ismail Marzuki adalah pencipta lagu
yang dinamis, karena terdapat sisi romantisme yang adalah ciri khas Ismail
Marzuki dalam lagu tersebut.

29
Simak saja, misalnya, sejumlah lagu karya Ismail Marzuki, seperti “
Rayuan Pulau Kelapa ”, “ Sabda Alam ”, “ Indonesia Pusaka ”, “ Juwita Malam
”, “ Selendang Sutera ”, “ Sepasang Mata Bola ”, “ Melati di Tapal Batas ”, “
Bandung Selatan di Waktu Malam ”, “ Aryati ”, dan “ Jangan Ditanya ke Mana
Aku Pergi ”.
Hardani, seorang akademisi musik dari Institut Seni Indonesia ( ISI ),
melalui tulisan berjudul “ Ismail Marzuki : Komponis Lagu-lagu Perjuangan ”
juga sepakat bahwa dari lagu-lagu ciptaannya, Ismail Marzuki buk an hanya
seorang penulis dan pencipta lagu yang penuh dengan emosi, tapi juga penuh
dengan gaya romantik (Jurnal Harmonia Volume VII, Nomor 3, September-
Desember 2006).
Anggapan lain muncul bahwa Cornel Simanjuntak, salah
seorang pencipta lagu dan pahlawan nasional Indonesia kelahiran
Sumatera Utara, adalah pencipta lagu Halo – Halo Bandung.
Sementara Ibu Kasur, salah seorang tokoh komponis senior Indonesia,
mengatakan bahwa mendiang suaminya, Pak Kasur yang juga tokoh komponis
Indonesia, mengatakan bahwa lagu tersebut diciptakan oleh seseorang
bernama Tobing.
Dalam buku Saya Pilih Mengungsi, Pestaraja Marpaung menyatakan
bahwa Bona L Tobing adalah orang yang pertama kali mengucapkan " Halo!
Halo Bandung! " yang menjadi sumber inspirasi lagu tersebut.
Sandiah Soerjono alias Ibu Kasur punya kisah soal ini. Suatu ketika,
suaminya, Soerjono ( Pak Kasur-red. ) memberinya dua lagu baru, “ Halo-Halo
Bandung ” dan “ Gempur dan Rebut Bandung Kembali ”. “ ‘Halo-Halo
Bandung’ memang bagus lagunya tuh. Kan bapak bilangnya begini, ’Pak, ini
siapa yang bikin?’ tanya saya. ‘Ah, bocah - bocahe dewe.’ ‘Bocah Batak,’
katanya. Kalau tidak salah namanya Tobing...,” katanya. Adjie Esa Poetra,
pengamat musik, berpendapat berbeda. Menurut dia, kecenderungan seorang
musisi tak bisa digenealisasi.
“ Suatu ketika, bisa jadi seorang musisi mencipta lagu yang begitu
lembut menyayat. Akan tetapi, di saat yang lain, bisa juga ia menciptakan lagu
yang garang dan penuh semangat. Ismail Marzuki, mungkin juga demikian. ”
ungkapnya, ketika dihubungi melalui telefon selulernya, pekan lalu.
Singkatnya, kata Adjie, proses mencipta seorang musisitergantung
suasana hati. Ia mencontohkan sosok Harry Roesli yang dikenal bengal. “
Akan tetapi, suatu saat, ia mencipta sebuah lagu yang begitu menyayat,
seperti ‘ Jangan Menangis Indonesia ’ . Begitulah kira-kira,” katanya.

30
Melalui karya-karyanya, Adjie “ mengenal Ismail Marzuki sebagai sosok
yang dinamis. “Saya kira, ‘Halo-Halo Bandung’, bisa jadi benar ciptaan Ismail
Marzuki.
Pada lagu itu, meski bergenre mars, saya menangkap ada sisi
romantisme yang merupakan ciri khasnya. Lagi pula, Ismail Marzuki orang
jujur. Rasanya, tidak mungkin dia mengakui sesuatu yang sebetulnya bukan
karyanya,” ujar Adjie.
Namun disamping itu, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa ada
orang Belanda yang menciptakan lagu “ Halo Bandung “ dan banyak orang
mempercayai bahwa Willy Derby lah yang membuat.
Hal ini terdapat dari pemerintah Belanda di Batavia membangun stasiun
komunikasi di Gunung Puntang tak lama sesudah Perang Dunia I berakhir.
Transmisi dimulai pada Tahun 1923 dan berlangsung selama dua dekade,
sampai akhirnya stasiun komunikasi tersebut hancur akibat Perang
Kemerdekaan.
Pembicaraan pertama kali melalui radio telefon antara Belanda dan
Indonesia terjadi pada Tanggal 5 Mei 1923 melalui instalasi Pemancar Radio
Telefon. Untuk memperingati peristiwa bersejarah itu, Wali Kota Bandung B.
Coops, meminta bantuan kepada arsitek Prof.
Charles Prosper Wolff Schoemaker, untuk merancang dan mendirikan
Monumen Radio Telefon Holland-Nusantara. Warga Bandung masa itu lebih
senang menjuluki monumen itu sebagai “Bloote Billen Plein ” atau “Taman
Pantat Bugil “ karena adanya dua patung tanpa busana saling berhadapan
pada masing-masing sisinya. Kini monumen tersebut sudah musnah dan
digantikan oleh Taman Citarum yang kemudian dibangun Masjid Istiqomah di
tengahnya.
Berikut adalah lirik lagu “ Halo Bandung “ yang dianggap masyarakat
penciptannya adalah Wily Derby :

't Kleine moedertje stond bevend


Op het telegraafkantoor
Vriendelijk sprak de ambtenaar: "Juffrouw
Aanstonds geeft Bandoeng gehoor"
Trillend op haar stramme benen
Greep zij naar de microfoon
En toen hoorde zij, o wonder

31
Zacht de stem van haren zoon
Hallo, Bandoeng
"Ja moeder, hier ben ik"
"Dag lieve jongen," zegt zij, met een snik
Hallo, hallo "Hoe gaat het ouwe vrouw"
Dan zegt ze alleen "Ik verlang zo erg naar jou"
"Lieve jongen," zegt ze teder
"Ik heb maanden lang gespaard
't Was me, om jou te kunnen spreken
M'n allerlaatste gulden waard"
En ontroerd zegt hij dan: " Moeder
Nog vier jaar, dan is het om
Oudjelief, wat zal 'k je pakken
Als ik weer in Holland kom"
"Jongenlief," vraagt ze, "hoe gaat het
Met je kleine, bruine vrouw"
"Best hoor," zegt hij, en wij spreken
Elke dag hier over jou
En m'n kleuters zeggen 's avonds
Voor 't gaan slapen 'n schietgebed
Voor hun onbekende opoe
Met 'n kus op jouw portret

"Wacht eens, moeder," zegt hij lachend


"'k Bracht mijn jongste zoontje mee"
Even later hoort ze duidelijk
" Opoelief, tabeh, tabeh "
Maar dan wordt het haar te machtig
Zachtjes fluistert ze: " O Heer “
Dank, dat 'k dat heb mogen horen"
En dan valt ze wenend neer
Hallo ! Bandoeng
" Ja moeder, hier ben ik "
Zij antwoordt niet, hij hoort alleen 'n snik
" Hallo, hallo " klinkt over verre zee

32
Zij is niet meer
En het kindje roept: " tabeh ".

Yang mempunyai arti yaitu :

Perempuan tua itu duduk gemetar di kantor telegraf


Dengan ramah petugas operator berkata:
” Ibu, sudah tersambung dengan Bandung ”
Dengan kaki yang kaku dan gontai, dia berdiri meraih mikrofon
Dan saat itu pun, oh sungguh mengagumkan,
Dia mendengar suara lembut anak lelakinya
Halo ! Bandung !
Ya bunda, aku di sini !
Salam anakku sayang, katanya dengan menahan tangis
Halo, halo !
Apa kabarnya, bunda ?
Dengan suara lirih dia menjawab:
Aku sangat merindukanmu, nak !
Sayang, dia bertanya, apa kabarnya dengan isterimu yang berkulit sawo matang ?
Baik-baik saja, bu, katanya, dan kami membicarakan ibu setiap hari di sini
Dan anak-anak mengucapkan doa malam sebelum tidur
Untuk opung ( nenek ) yang belum mereka jumpai
Dengan mencium potretmu
” Tunggu sebentar, bunda ”, katanya sambil tergelak
“ Aku akan memanggil anakku yang paling bungsu ”
Tak lama kemudian terdengarlah dengan jelas:
” Opung ( nenek ) tersayang, tabeh, tabeh ! ”
Tak tertahankan hatinya mendengarnya, ia pun berbisik lembut kepada Tuhan
Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengizinkan aku mendengarkan
Dan kemudian ia jatuh bersimpuh sambil menangis
Halo ! Bandung !
Ya bunda, aku di sini !
Dia tidak menjawab
Hanya terdengar isak tangis
Hallo! Hallo! Terdengar suara klik di seberang lautan
Dia sudah tiada saat putranya berseru: Tabeh !

33
Versi awal dari lirik lagu " Hallo Bandung " menunjukkan bahwa pada
awalnya lagu ini lahir sebagai ungkapan rasa rindu yang sentimental, bukan
dimaksudkan sebagai lagu perjuangan. Kemudian selama masa pendudukan
Jepang lagu ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari
propaganda pihak tentara Jepang, yang antara lain berusaha mengikis
pengaruh budaya Belanda serta mendorong penggunaan bahasa Indonesia di
penjuru wilayah jajahan. Walaupun begitu, versi kedua hasi terjemahan lagu
tersebut tetap menggambarkan maksud aslinya sebagai lagu kenangan .
Setelah pernyataan kekalahan Jepang, para pejuang kemerdekaan
Indonesia kemudian menghadapi masuknya tentara NICA Belanda serta
tentara Sekutu dari Kerajaan Inggris, yang berlangsung hingga selama empat
tahun. Masa ini dikenal sebagai periode Revolusi Nasional. Pada awal masa ini
Ismail Marzuki bersama istri mengungsi ke Bandung demi menghindari
pendudukan tentara Inggris dan Belanda di Jakarta. Namun sayang tidak lama
setelah mereka menetap di Bandung, terbit ultimatum dari pihak Inggris yang
memerintahkan pihak tentara pejuang Indonesia untuk segera meninggalkan
kota. Kemudian pihak pejuang Indonesia membalas dengan sengaja
membakar bangunan dan gedung di penjuru wilayah selatan kota Bandung
sebelum mereka meninggalkan kota pada 24 Maret 1946, yang kemudian
dikenal sebagai Bandung Lautan Api . Peristiwa ini mengilhami Ismail Marzuki
beserta para pejuang Indonesia saat itu untuk mengubah dua baris terakhir
dari lirik lagu " Hallo Bandung " menjadi lebih patriotis dan membakar
semangat perjuangan. Segera setelah itu, lagu Halo, Halo Bandung menjadi
sangat dikenal dan menjadi salah satu lambang perjuangan kemerdekaan
Indonesia melawan penjajah.
Berikut adalah lirik lagu “ Halo – Halo Bandung “ berdasarkan 3 versi :
Versi 1 :
Halo, halo Bandung, ibu kota Periangan
Halo, halo Bandung, kota inget-ingetan
Atos lami abdi patebih, henteu patingal
Mugi mugi ayeuna tiasa teupang deui
'tos tepang 'teu panasaran
Versi 2 :
Hallo-hallo Bandung, ibu kota Pasundan
Hallo-hallo Bandung, kota kenang-kenangan
Lama sudah beta, ingin berjumpa pada mu

34
S'lagi hayat dan hasrat masih dikandung badan
Kita 'kan jumpa pula
Versi 3 :
Halo, halo Bandung, ibu kota Periangan
Halo, halo Bandung, kota kenang-kenangan
Sudah lama beta tidak berjumpa dengan kau
Sekarang telah menjadi lautan api
Mari bung rebut kembali
Jadi, soal kebenaran dan kepastiannya siapa pencipta lagu “ Halo –
Halo Bandung “ belum ada yang mampu menjawab. Sejauh ini masih banyak
masyarakat yang mengangap Ismail Marzuki lah yang menciptakan lagu
tersebut. Namun ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa lagu “ Halo –
Halo Bandung “ sebaiknya disebut karya NN ( No Name, pencipta tidak
diketahui).

D. TOKOH-TOKOH BANDUNG LAUTAN API


1. ARUJI KARTAWINATA
a. RIWAYAT HIDUP SINGKAT
Aruji Kartawinata lahir di Garut, Jawa Barat, 5 Mei 1905. Ia
bersekolah di sekolah Belanda bernama Hollandsch - Inlandsche School
atau HIS yang setingkat dengan Sekolah Dasar sekarang.
HIS adalah sekolah Belanda yang menggunakan bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantar. Setelah ia lulus dari HIS, ia melanjutkan
sekolahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau biasa disingkat MULO
adalah Sekolah Menengah Pertama pada zaman Hindia Belanda di
Bandung.
Setelah lulus dari MULO Aruji Kartawinata berprofesi sebagai
seorang guru, beliau juga pernah menempatkan diri sebagai kepala
sekolah di SD Sarekat Islam di daerah Garut.
Selain itu sejak usia muda, Aruji Kartawinata memang sudah
sangat aktif di dalam berbagai macam kegiatan – kegiatan yang berbau
gerakan kebangsaan. Salah satunya, aktivis dalam kader Sarekat Islam
( SI ). Ia pernah menerbitkan surat kabar yang menceritakan kegiatan
serta gerakan Sarekat Islam ketika ia sedang di Garut.

35
Pada zaman pendudukan tentara Jepang, ia mengikuti pelatihan
PETA ( Pembela Tanah Air ) dan diangkat menjadi Daidancho atau
Komandan Batalyon PETA di Cimahi.
Setelah kemerdekaan Indonesia, ia diangkat menjadi komandan
BKR ( Badan Keamanan Rakyat ) Jawa Barat, yang kemudian
menjadi TKR ( Tentara Keamanan Rakyat ) Divisi III Jawa Barat dan
merupakan cikal bakal Divisi Siliwangi.
Divisi ini terkenal memiliki prestasi yang gemilang dalam
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan hingga saat
ini masih menjadi pasukan Elit TNI-AD.
Ketika Kabinet Syahrir II, ia diangkat jadi Menteri Muda
Pertahanan Indonesia dengan masa kerja 12 Maret 1946 sampai dengan 2
Oktober 1946. Tahun 1947, ia diangkat menjadi Menteri Muda Pertahanan
Indonesia dalam kabinet Amir Syarifuddin II dengan masa kerja 11
November 1947 sampai dengan 29 Januari 1948.
Ketika tahun 1948, TNI harus hijrah ke Yogyakarta akibat
adanya Perjanjian Renville. Perjanjian Renville adalah perjanjian Indonesia
dengan Belanda yang ditandangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas
geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville,
yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Ia ditunjuk menjadi Ketua Panitia Hijrah TNI yang mempunyai
tugas memindahkan tentara – tentara Republik Indonesia yang ada di
pelosok – pelosok daerah kekuasaan Belanda ke daerah Republik. Setelah
kabinet bubar, Aruji kembali menjadi pegawai tinggi Kementerian
Pertahanan.
Sejak berdirinya RIS ( Republik Indonesia Serikat ) ia duduk dalam
parlemen sebagai anggota. Ia juga pernah menjadi anggota DPR – RIS (
Republik Indonesia Serikat ).
Setelah Pemilu 1955, ia terpilih menjadi anggota DPR – RI. Karirnya
dalam bidang politik terus menanjak menjadi Wakil Ketua DPR – GR
( Gotong Royong ) dalam Kabinet Kerja III dengan masa kerja mulai dari
tanggal 6 Maret 1962 sampai dengan tanggal 3 September 1963 , lalu
menjadi Ketua DPR – GR dalam Kabinet Kerja IV dengan masa kerja mulai
dari tanggal 13 November 1963 sampai dengan tanggal 27 Agustus 1964.

36
Ia pun juga terpilih menjadi ketua DPR – GR ke-3 dalam Kabinet
Dwikora I yang berasal dari partai PSII ( Partai Syarikat Islam Indonesia )
dengan masa kerja mulai dari tanggal 13 Januari 1963.
Sampai dengan tanggal 22 Februari 1966 menggantikan Zainul
Arifin dan pada akhirnya digantikan oleh Mursalin Daeng Mamangung.
Sebagai Ketua DPR, pada 13 Januari 1966, Aruji Kartawinata
menyerahkan tuntutan KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia )
kepada Presiden Soekarno.
Di kemudian hari, Aruji Kartawinata diberhentikan sebagai seorang
Ketua DPR bertepatan dengan dilakukannya reshuffle kabinet oleh
Presiden Soekarno. Akibat adanya reshuffle tersebut, Aruji Kartawinata
pun diangkat menjadi anggota DPA ( Dewan Pertimbangan Agung ) pada
tahun 1966 sampai tahun 1968.
Beliau tercatat sebagai seorang Pengurus Ladjnah Tanfizyah PSII
Jawa Barat, selain itu juga sebagai Ketua Majelis Departemen Pergerakan
Pemuda. Terakhir sebelum wafat beliau menjadi Ketua Dewan Partai PSII
sekaligus merangkap menjadi Wakil Ketua Muslimin Indonesia.
Pada tanggal 13 Juli 1970 pada usia 65 tahun, Aruji Kartawinata
meninggal dunia karena menderita penyakit radang otak dan dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta, Indonesia.

b. PERANAN DALAM PERISTIWA BANDUNG LAUTAN API


 ARUJI KARTAWINATA SEBAGAI PANGLIMA TENTARA
REPUBLIK INDONEIA
 ARUJI KARTAWINATA SEBAGAI KOMANDAN BADAN
KEAMANAN RAKYAT ( BKR ) JAWA BARAT
KEMUDIAN MENJADI TKR DIVISI III JAWA BARAT
Pada bulan Oktober 1945, pemuda, TKR, dan rakyat Bandung
berhasil mendapatkan senjata mereka dan kemenangan ada di pihak
rakyat Bandung. Namun bersamaan dengan itu, datanglah tentara
Sekutu memasuki kota Bandung ( 21 Oktober 1945 ) sebanyak 1
brigade dipimpin McDonald Divisi India ke 23, dengan dikawal Mayor
Kemal Idris dari Jakarta. Peranan Sekutu sebagai wakil kolonial
Belanda segera menimbulkan ketegangan dan bentrokan dengan
rakyat Bandung.

37
Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan
ultimatum pertama agar kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh
pihak Indonesia selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945.
Peringatan tersebut tidak dihiraukan oleh para pejuang Indonesia.
Sejak saat itu sering terjadi bentrokan senjata. Kota Bandung terbagi
menjadi dua, Bandung Utara dan Bandung Selatan, Bandung Utara
dikuasai sekutu. Insiden - insiden kecil yang menjurus pada
pertempuran sudah tidak dapat dihindari lagi. Pada tanggal 24
November 1945, TKR, pemuda, dan rakyat yang dipimpin oleh Aruji
sebagai komandan TKR Bandung memutuskan aliran listrik sehingga
seluruh kota Bandung gelap dengan maksud mengadakan serangan
malam terhadap kedudukan Sekutu. Sejak saat itu, pertempuran terus
berkecamuk di Bandung.
Karena merasa terdesak, pada tanggal 27 November 1945
Sekutu memberikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat Sutarjo
ditujukan kepada seluruh rakyat Bandung agar paling lambat tanggal
29 November 1945 pukul 12 unsur bersenjata RI meninggalkan
Bandung Utara dengan jalan kereta api sebagai garis batas
dermakasinya.Tetapi sampai batas waktu yang ditentukan, rakyat
Bandung tidak mematuhinya. Maka, Sekutu telah menganggap bahwa
Bandung telah terbagi menjadi 2 bagian dengan jalan kereta api
sebagai garis batasnya.
Bandung bagian utara dianggap milik Inggris, sedangkan
Bandung Selatan milik Republik Indonesia. Mulailah tentara Sekutu
yang terdiri dari tentara Inggris, Gurkha, dan NICA meneror penduduk
di bagian Utara jalan kereta api. Mereka menghujani tembakan ke
kampung - kampung dengan membabi buta. Tanggal 23 Maret 1946
tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kedua. Mereka menuntut
agar semua masyarakat dan para pejuang TRI ( Tentara Republik
Indonesia ) mengosongkan kota Bandung bagian selatan. Tanggal 2
Januari 1946, konvoi Inggris dari Jakarta yang terdiri dari 100 truk tiba
di Bandung. Bantuan dari Jakarta selalu mengalir untuk membantu
pertahanan Sekutu yang ada di Bandung, sementara di pihak Republik
bantuan pun tak kunjung henti dari berbagai daerah. Sekutu merasa
tidak aman karena selalu mendapat serangan dari TKR, pemuda, dan
rakyat Bandung. Secara lisan, pihak Sekutu meminta untuk

38
mengawasi daerah dengan radius 11 km sekitar Bandung. Tentara
Kemanan Rakyat ( TKR ) dan pasukan lainnya meminta waktu 10
hari karena penarikan Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) dalam waktu
singkat tidak mungkin, namun tuntutan itu tidak disetujui. Dengan
demikian, pertempuran sulit untuk dihindarkan. Ribuan orang mulai
meninggalkan kota Bandung. Bulan Februari sampai Maret 1946,
Bandung telah berubah menjadi arena pertempuran.
Sejak 24 Januari 1946, TKR telah berubah namanya menjadi
TRI. Demi keselamatan rakyat dan pertimbangan politik, pemerintah
Republik Indonesia Pusat memerintahkan TRI dan para pejuang
lainnya mundur dan mengosongkan Bandung Selatan. Sebelum
ditinggalkan, Bandung Selatan dibumihanguskan oleh para pejuang.
Bandung sengaja dibakar oleh tentara Republik. Hal ini dimaksudkan
agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi.

2. MOHAMMAD TOHA
a. RIWAYAT HIDUP SINGKAT
Mohammad Toha dilahirkan di Jalan Banceuy, Desa Suniaraja,
Kota Bandung pada tahun 1927. Ayahnya bernama Suganda dan ibunya
yang berasal dari Kedunghalang, Bogor Utara, Bogor, bernama Nariah.
Toha menjadi anak yatim ketika pada tahun 1929 ayahnya
meninggal dunia. Ibu Nariah kemudian menikah kembali dengan
Sugandi, adik ayah Toha.
Namun tidak lama kemudian, keduanya bercerai dan
Muhammad Toha diambil oleh kakek dan neneknya dari pihak ayah yaitu
Bapak Jahiri dan Ibu Oneng. Toha mulai masuk Volk School ( Sekolah
Rakyat ) pada usia 7 tahun hingga kelas 4. Namun akibat meledaknya
Perang Dunia ke II Mohammad Toha terpaksa berhenti sekolah karena
krisis dunia.
Setelah beberapa tahun, Mohammad Toha tumbuh menjadi
dewasa dan berubah menjadi sesosok pemuda. Mohammad Toha adalah
seorang pemuda yang cerdas, patuh kepada orang tua, serta pemuda
yang pantang menyerah walaupun ia diasuh oleh kakeknya. Sehari-hari
Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di
bengkel motor di Cikudapateuh. Mohammad Toha memiliki sifat disiplin
yang kuat serta disukai oleh teman-temannya. Mohammad Toha

39
digambarkan sebagai pemuda yang pemberani dengan tinggi 1,65
meter, bermuka lonjong dengan pancaran mata yang tajam.
Pada masa pemerintahan Jepang, setelah Mohammad Toha
dewasa ia mulai mengenal dunia militer dengan memasuki Seinendan,
sehati-hari Toha bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya,
Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan
militer Jepang sehingga ia juga mampu dan mahir dalam berbahasa
Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Toha terpanggil untuk bergabung
dengan badan perjuangan Barisan Rakjat Indonesia ( BRI ), yang
dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha sendiri.
BRI selanjutnya digabungkan dengan Barisan Pelopor yang
dipimpin oleh Anwar Sutan Pamuncak menjadi Barisan Banteng Republik
Indonesia ( BBRI ). Dalam laskar ini ia duduk sebagai Komandan Seksi I
Bagian Penggempur.
Menurut keterangan Ben Alamsyah, paman Toha, dan Rachmat
Sulaeman, tetangga Toha dan juga Komandannya di BBRI, pemuda Toha
adalah seorang pemuda yang cerdas, patuh kepada orang tua, memiliki
disiplin yang kuat serta disukai oleh teman–temannya.
Hingga pada akhirnya tanggal 24 Maret 1946 Mohammad Tohan
meninggal saat melakukan penghancuran gudang persenjataan dan
mesiu milik tentara sekutu. Dan itu juga di usia yang tergolong muda
yaitu 19 tahun bagi seorang pahlawan yang gugur. Meski begitu hingga
saat ini statusnya sebagai pahlawan Nasional ditangguhkan dan
dipertanyakan. Karena perjuangannya terlalu singkat dan data
perjuangannya kurang jelas akan faktanya. Walaupun begitu Mohammad
Toha merupakan seorang komandan Barisan Rakyat Indonesia, sebuah
kelompok milisi pejuang yang aktif dalam masa perang kemerdekaan
Indonesia.
Mohammad Toha meninggal karena ia dan temannya yang
bernama Mohammad Ramdan dengan gagah berani mengorbankan diri
mereka sendiri untuk menghancurkan gudang amunisi milik tentara
Sekutu dengan cara meledakkan dinamit dalam gudang amunisi tersebut.
Ia dan temannya meninggal pada 24 Maret 1946.
Walaupun begitu Mohammad Toha sampai sekarang belum
dinyatakan sebagai pahlawan nasional oleh Indonesia. Tetapi apabila

40
seorang seperti Mohammad Toha diberi gelar pahlawan, maka akan ada
banyak sekali pengajuan tokoh serupa dari berbagai daerah serta
Mohammad Toha tidak bisa dinyatakan pahlawan nasional karena kurang
persyaratan dan kekurangan bukti.
Maka hingga sekarang Mohammad Toha hanya diakui sebagai
pahlawan lokal saja. Bannyaknya kesimpangsiuran soal peristiwa
peledakan gudang mesiu Dayeuhkolot yang konon dilakukan oleh dirinya,
serta identitas Mohammad Toha pun belum jelas.
Untuk menghargai dan selalu menghormati beliau pemerintah
Bandung memberi nama sebuah jalan di Bandung dengan nama Jalan
Muhammad Toha dan sebuah monumen. Saat ini monumen yang
digunakan untuk memperingati jasa Mohammad Toha dapat ditemui di
daerah Dayeuhkolot, kota Bandung, tepat di depan kolam yang
merupakan bekas terjadinya ledakan.

b. PERANAN DALAM PERISTIWA BANDUNG LAUTAN API


Pada waktu terjadi peristiwa Bandung Lautan Api ( 24 - 25 Maret
1946 ) , pasukannya ikut meninggalkan kota Bandung menuju ke arah
selatan dan bermakas di Kulalet, seberang Sungai Citarum di
Dayeuhkolot. Ikut bertempur melawan serdadu Belanda ( NICA ) dan
Sekutu berulang kali, baik ketika pasukannya masih berkedudukan di
kota Bandung maupun kerikan berkedudukan di Kulalet.
Pasukannya berada di bawah komando Markas Perjuangan
Pertahanan Priangan ( MP3 ). Dua hari setelah tentara Sekutu
meninggalkan kota Bandung ( 19 Mei 1946 ), serdadu Belanda
melancarkan serangan ke daerah Bandung Tenggara ( Sapan ) dan sore
harinya memborbardir Kulalet, tempat markas pasukan Mohammad
Toha.
Pada saat itu, Dayeuhkolot dijadikan basis serdadu Belanda
untuk menyerang dan menembaki daerah perjuangan RI yang berada di
seberangnya. Disana ada sebuah gedung bertingkat dua menjadi tempat
penyimpanan ( gudang ) senjata, mesiu, bahan peledak, dan
perlengkapan militer lainnya sejak masa pendudukan militer Jepang.
Sebelumnya gedung bertingkat dua itu berfungsi sebagai tempat
( gudangn) penyimpanan alat - alat listrik bagi wilayah Priangan
sehingga populer disebut gedung listrik.

41
Peristiwa dan kondisi tersebut membangkitkan amarah Moh.
Toha serta keinginan untuk menghancurkan gudang senjata musuh.
Ternyata atasannya tidak menyetujui keinginan itu, walaupun diajukan
sampai dua kali. Setelah menjalani cuti beberapa hari untuk menemui
ibunya yang mengungsi ke Garut, Moh. Toha makin bulat tekadnya ingin
menghancurkan gedung senjata tersebut.
Pada tanggal 9 Juli 1946, ia bersama anggota pasukannya
mendapat perintah untuk berangkat ke medan perang dengan tugas
sebagai penyelidik. Keberangkatannya terjadi pada hari Selasa malam ( 9
Juli 1946 ) disertai pasukan Hizbullah bernama Muhammad Ramdan.
Belum jauh perjalanan mereka, sekonyong – konyong musuh menyerang
dengan granat. Dengan suasana kalut, anak buahnya ada yang terluka,
Mohammad Toha meloncat dan maju seorang diri, sedangkan para
prajurit lainnya memundurkan diri. Kemudian diketahui bahwa
Mohammad Toha dan Muhammad Ramdan tidak kembali ke induk
pasukannya.
Bersama dalam misi berbahaya ini Toha dan Ramdhan juga
rekan seregu lainnya telah berbagi tugas, Toha menyusup mencari jalan
untuk menghancurkan gudang, Ramdhan dan rekan lainnya mengalihkan
perhatian penjaga demi mengamankan jalan bagi Toha sahabatnya. 
Satu tujuan mereka pasti, gudang mesiu dan persenjataan Belanda itu
hancur rata dengan tanah.
Gudang mesiu di selatan kota Bandung ini berada di daerah yang
terbuka. Gudang besar dan tampak angker. Sulit dicapai karena dijaga
ketat dan yang mendekati dapat terlihat dengan mudah oleh
penjaganya. Isinya lebih dari seribu ton berbagai jenis persenjataan,
granat, bom dan mesiu di dalamnya.
Moh. Toha berenang dari sungai Citarum, masuk lewat gorong -
gorong. Akhirnya Toha berhasil masuk ke dalam gudang mesiu,
mengunci diri didalam, beserta beratus - ratus bom berjajar, granat dan
senjata. Namun hatinya tak gentar, tekadnya sudah bulat. Muh. Ramdan
di luar sudah tewas tertembak sebagai pembuka jalan bagi Moh. Toha.
Kemudian diketahui bahwa Moh. Toha dan Muh. Ramdan tidak
kembali lagi ke induk pasukannya, meskipun anak buahnya telah
mencari - cari.

42
Menurut sejarawan Nina H. Lubis, bahwa Komandan Rivai
mendengar laporan bahwa Moh. Toha tetap bertahan disekitar gedung
mesiu, meski dalam keadaan terluka. Kemudian Komandan Rivai
memerintahkan agar Komandan Seksi S. Abbas mengadakan serangan
pengacauan ke kubu Belanda dari jurusan lain, untuk mengalihkan
perhatian musuh dan melapangkan jalan bagi Moh. Toha untuk
menghancurkan gudang mesiu.
Tapi esok harinya, pada Rabu 10 Juli 1946 sekitar pukul
12.30, tiba – tiba terdengar ledakan dahsyat yang mengejutkan
penduduk sekitar kota Bandung, suaranya terdengar radius 70 km.
Ternyata suara ledakan itu berasal dari gedung listrik yang berfungsi
sebagai gudang senjata dan mesiu. Gedung itu hancur sampai kurang
lebih 75% dan isinya meledak serta terbakar. Rumah – rumah
disekelilingnya juga turut hancur dan korban manusia berjatuhan.
Hasil penyelidikan MP3 mengungkapkan bahwa ledakan dahsyat di
gedung mesiu itu merupakan upaya jibaku Mohammad Toha dan
Muhammad Ramdan dengan tujuan menghancurkan  dan berbagai
senjata api. Laporan yang dibuat oleh Markas Daerah Barisan Benteng
Priangan itu meyakini bahwa Mohammad Toha dan Muhammad
Ramdan turut tewas dalam peristiwa tersebut.Peristiwa ini telah
diabadikan dalam bentuk monument Tugu di Dayeh Kolot, dan film
yang berjudul “ Pahlawan dari Bandung Selatan “

43

Anda mungkin juga menyukai