Anda di halaman 1dari 48

SEJARAH KONFLIK DI SURIAH

MAKALAH
Disampaikan dalam Seminar kelas
Mata Kuliah Sejarah Dunia Islam Modern
Program Doktor Tahun Akademik 2021/2022

Oleh:
HAERIYYAH
NIM:80100321082

Dosen Pemandu:
Dr. Wahyuddin, M.Ag.

PROGRAM DOKTOR PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDINMAKASSAR

2021

0
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Revolusi Arab Spring menandai adanya pihak oposisi yang

menghendaki reformasi pemerintahan Bashar Al-Assad, yang sejak lama

dijalankan dengan prinsip monarki. Hasilnya, perang domestik terus

berlanjut hingga hari ini. Namun, di sisi lain kecamuk yang terjadi di

Suriah dimanfaatkan banyak pihak untuk menancapkan kepentingan

mereka.

Rusia dan Amerika dua negara besar yang berebut hegemoni, saling

melempar manuver, melibatkan para sekutu mereka di Timur Tengah.

Fakta ini kian memperunyam persoalan di tanah Suriah. Perdamaian dan

kedaulatan negara yang diinginkan rakyat Suriah nampaknya semakin

utopis untuk diraih. Jutaan warga sipil di Suriah saat ini menghadapi

tunawisma karena mereka telah melarikan diri rumah mereka untuk

melarikan diri dari konflik atau rumah mereka dihancurkan oleh konflik.

Perkiraan oleh PBB telah menunjukkan bahwa pada 2013, setelah dua

tahun pertempuran, lebih dari 4 juta orang harus meninggalkan rumah

mereka, dan hingga 2 juta anak harus putus sekolah. Satu juta orang

lainnya telah meninggalkan negara itu. 1

Perang Suriah telah menyedot perhatian internasional. Bantuan

1
Arnav Mariwala, “The Syrian Civil War Regime of Bashar Al Assad,” Stanford
Model United Nations Conference (2014), h. 15.

1
asing diberikan bukan hanya kepada pemerintah Suriah, namun juga ke

pemberontak. Ini menegaskan kuatnya kepentingan pihak luar terhadap

negara Suriah, kepentingan ekonomi tentu yang paling mengemuka.

Rusia misalnya, telah mengirim delegasi untuk menyatakan dukungan

mereka terhadap Pemerintah Assad, juga memasok senjata, dan melatih

tentara Suriah dalam penggunaan dan pemeliharaannya. Demikian pula

dengan Iran, bukan hanya dukungan diplomatik dan penyediaan senjata,

Iran bahkan memberi dukungan ke Suriah berupa tentaradan lebih dari $

9 miliar bantuan finansial. Pemerintah Suriah juga telah menerima

dukungan dari entitas non-pemerintah, seperti Hizbullah Lebanon, yang

diduga telah mengirim pejuang untuk memerangi pemberontak. 2 Pada

pihak lain terdapat pihak pemberontak atau oposisi didukung oleh

Amerika dan sekutu.

Perebutan pengaruh dan kekuasaan aktor-aktor negara dalam kasus

Suriah mengindikasikan adanya pertentangan kepentingan dan paradigma.

Teori hegemoni Gramsci menyatakan bahwa kekuasaan agar dapat abadi

dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah

perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat

memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang

bernuansa law enforcemant. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya

dilakukan oleh pranata negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum,

militer, polisi dan bahkan penjara. Perangkat kerja ini sangat jelas keberadaanya

2
Mariwala, “The Syrian Civil War Regime of Bashar Al Assad.”

2
dalam perang Suriah, baik secara langsung maupun melalui jasa proxy war.

Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat

beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa. Cara ini

dilakukan atau diaplikasikan dalam berbagai medium, baik melalui otoritas

agama, budaya atau kesukuan, dan afiliasi politik. Rakyat Suriah berada

dalam pusaran ini, di mana mereka saling dibenturkan dan diadu domba

untuk memperjuangkan kepentingan negara di satu pihak, dan pemberontak

(oposisi) di pihak lainnya.

Pendekatan national interest (kepentingan nasional) diposisikan

untuk membaca faktor dan tujuan politis masing-masing aktor negara dalam

perang Suriah. Kepentingan nasional sangat erat kaitannya dengan power

negara sebagai tujuan maupun instrumen, khususnya yang bersifat

destruktif (hard power).3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka yang akan dibahas dalam

makalah ini adalah:

1. Bagaimana sejarah Islam di Suriah?

2. Bagaimana latar belakang munculnya konflik di Suriah?

3. Bagaimana peran aktor-aktor konflik di Suriah?

4. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh konflik Suriah?

3
Scott Burchill, The National Interest in International Relations Theory (United
Kingdom: Palgrave, 2005), h. 31–32.

3
II. PEMBAHASAN

A. Sejarah Islam di Suriah

Suriah atau Syria menjadi sangat penting dalam catatan sejarah Islam,

antara lain dikarenakan keberadaannya terkait dengan sejarah yang menyertai

perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. ketika cahaya Islam mulai menyinari

kawasan Abar dan penduduknya beramai-ramai memeluk Islam. Nabi

memperioritaskan Syam sebagai negeri pertama di luar kawasan Semenanjung

Arab yang diusahakan untuk menjalin kontak. Dia banyak mengirim utusan ke

Syam untuk mendakwahkan Islam.

Posisi penting Syiria dalam catatan sejarah Islam yang lain adalah pada

masa lampau pernah menjadi pusat kekhilafahan sekaligus menjadi pusat

peradaban Islam. Damaskus pun pernah disebut sebagai kota pendidikan Islam

dan kota kelahiran Ilmuan Muslim. Kekuasan Islam di Syiria, dengan merebut

Damaskus dari cengkeraman Romawi, juga menunjukkan bahwa Damaskus di

Suriah adalah saksi atas keberanian dan ketangguhan pasukan Islam pada masa

itu.

Damaskus sebagai ibu kota dari Suriah tergolong propinsi Timur Tengah

yang pertama tercakup ke dalam wilayah Kekhalifahan Muslim-Arab, bersama

Mesir. Damaskus atau Damascus memiliki beragam nama, seperti Syam,

Dimasyq, dan Damsyik. Kota ini dijuluki “Permata dari Timur”. Menurut

sebuah sumber, nama Syam. Sham atau Sam diambil dari kata Syem, yang

menurut keyakinan sebagian orang adalah putra tertua Nabi Nuh, tetapi dalam

4
perkembangan selanjutnya, kata Syam atau Sham tidak hanya dinisbatkan

kepada kawasan yang kini disebut Damaskus, melainkan menjadi nama yang

meliputi Suriah, Palestina Yordania, dan Lebanon. Keseluruhan wilayah

tersebut, menurut beberapa pakar geografi, dinamakan Suriah Raya. Damaskus

sebelum datangnya Islam, merupakan daerah yang dikuasai Bangsa Semit sejak

3500 SM sampai 538 SM. Selain itu, juga pernah dijajah oleh Bangsa Yahudi.

Tahun 64 SM Syria jatuh ke tangan Bangsa Romawi, kemudian Bangsa

Romawi Timur mengembangkan Agama Kristen di sana hingga kedatangan

Islam. Penaklukan Islam di Syria terjadi pada paruh pertama abad ketujuh

Masehi, wilayah ini sudah dikenal sebelumnya dengan nama lain seperti Bilad

al-Sham, Levant, atau Syria Raya. Sebenarnya pasukan Islam sudah berada di

perbatasan selatan beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad saw. meninggal

dunia pada tahun 632 M, seperti kejadian pertempuran Mu’tah pada tahun 629

M. Akan tetapi, penaklukan sesungguhnya baru dimulai pada tahun 634 M di

bawah Pemerintahan Khalifah Abu Bakar dengan Khalid bin Walid sebagai

panglima utamanya.

Namun demikian, Islam nanti masuk ke Suriah secara massal pada tahun

635 M atau pada masa Kekhalifaan Umar bin Khattab. Syiria (atau dahulu lebih
dikenal sebagai syam) jatuh ke tangan kaum Muslimin setelah pengepungan

selama 70 hari. Kejatuhan Syiria ke tangan kaum Muslimin, ditandai oleh

keberadaan perjanjian damai antara kedua belah piihak yang berperang pada

waktu itu.

Selama masa pemerintahan ‘Umar ibn Khattab, wilayah berkembang

5
sangat pesat. Selain Syiria, Mesopotamia dan sebagian Persia berhasil

dibebaskan oleh pasukan muslim dari tangan Dinasti Sasanid, bahkan

penaklukan muslim ini menandai berakhirnya Kerajaan Sasanid. Memang, di

zaman ‘Umar ibn Khattab gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan)

pertama terjadi di Syria, Damaskus, dan setahun kemudian, setelah tentara

Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh dibawah

kekuasaan Islam. Dengan memakai Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke

Mesir.

Pada masa dinasti Umayyah, pemerintahannya di Syria berlangsung

selama 91 tahun dengan kurang lebih 14 khalifah.4 Akhir Dinasti Umayah di

Syiria disebabkan oleh tiga kekuatan yang mengancam khilafah yakni: (1) Bani

Hasyim yang terdiri dari Syi’ah yang dipimpin oleh Abu Muslim al-Khurasani

dan Bani al-Abbas yang dipimpin oleh Abu Abbas, (2) Khawarij, dan (3)

Mawali.

Antara mazhab-hukum Islam yang utama, Mazhab Syafi’i yang memiliki

akar yang dalam di Syria, tetapi mazhab Hanafi menjadi lebih luas diterima di

antara ulama-ulama yang berstatus tinggi pada abad ke-18 M dan abad ke-19

M karena mazhab hukum resmi Kesultanan Utsmaniyah. Keragaman dan


tolenransi ini mencirikan afiliasi dengan tekanan sufi. Seorang Muslim boleh

jadi mempererat ikatan dengan beberapa tarekat kosmopolitan, misalnya

Qadariyah, Naqsyabandiyah, Rifa‘iyah dan Khalwatiyah.

Pada dekade-dekade awal abad ke-19 M, kemapanan keragaman Syria

4
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:Teras, 2011), h. 74
6
memperlihatkan kesetiaan pada Khalifah Utsmaniyah dengan menolak untuk

memberontak pada propagandis gerakan pembaharu agama Wahabiyah di Arab

Tengah. Pada 1831 angkatan bersenjata Mesir menduduki Syria, membuatnya

berada di bawah kekuasaan Kairo hingga 1840. Pemulihan kekuasaan

Ustmaniyah pada 1841 membawa kelegaan, tetapi selama dua dekade

berikutnya, muncul elit birokasi sekuler di Istanbul dan tumbuh misi

keagamaan dan komersial Eropa menghadapkan tanda bahaya kepada kaum

Ulama Syiria. 5

Sentimen anti eropa meledak pada 1850 ketika massa Muslim membantai

orang-orang Kristen di Damaskus. Pada dekade-dekade akhir pemerintahan

Ustmaniyah, agama menerima dukungan terakhir dari Sultan ‘Abdul Hamid II

(1876-1909 M). Penguasa ini menangkap penyusupan orang-orang Eropa

dalam perselisihan politik dalam negeri dan sebuah kebijakan yang

menekankan status keagamaan.

Pada awal 1990 meledaklah permusuhan antara kaum pembaru (yang

dikenal dengan kaum Salafiyah) dengan orang-orang yang setia pada praktik

keagamaan yang populer semisal mengunjungi makam orang suci untuk

meminta do’a serta taqlid buta terhadap faqih. Perselisihan keagamaan ini
tumpang tindih pada konflik politik, baik sebelum maupun sesudah pemulihan

konstitusi Ustmaniyah pada 1908 M dan pencabutan kekuasaan ‘Abdul Hamid

II pada tahun berikutnya. Kehancuran kesultanan Ustmaniyah pada akhir

Perang Dunia I dengan tiba-tiba mengakhiri persaingan dengan mengganti

5
George Lenczowski, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia (Cet. I; Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1992), h. 199.
7
dasar-dasar di Syria.

Jejak sejarah Islam di Kota Tua Damaskus tersebar ke berbagai tempat di

wilayah ini. Dari sekian banyak peninggalan, bangunan dan tempat bersejarah

di kota ini, ada berupa benteng, makam, masjid, penginapan, dan pasar hingga

kini masih menunjukkan perannya sebagai tempat kegiatan ekonomi dan bisnis.

Benteng Damaskus menjadi saksi utama perebutan kekuasaan atas kota

ini sekaligus saksi terhadap patriotisme para pejuang muslim dalam

mempertehankan kota ini. Pada masa keKhalifahan Islam menguasai

Damaskus, benteng ini pernah menjadi bagian dari basis pertahanan yang

sangat strategis dan penting. Kini benteng Damaskus menjadi museum perang

dan pusat berbagai kegiatan budaya. Pada tahun 1979, benteng tersebut

dinobatkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.

Makam seorang ksatria dalam sejarah perang salib, Salahuddin al-

Ayyubi, juga ada di kota Damaskus. Makam ini pernah hancur tak tersisa, tetapi

dibangun kembali pada tahun 1898 M di bawah perlindungan Kaisar Jerman

Wilhelm II. Kaisar inilah yang membiayai perbaikan setelah ia mengunjungi

Damaskus dan menemukan makam dalam keadaan rusak. Selain makam itu,

ada makam lain seperti makam Zainab binti Ali bin Abi Thalib, makam

Sukainah binti Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, pada kedua makan itu

dibangun masjid.

Penginapan di pinggir jalan tempat wisatawan atau musafir bisa

beristirahat dan memulihkan diri, yang dibuat dengan Khan. Ada khan As‘ad

Pasha (dibangun 1751 M), Khan Jaqmaq (dibangun 1419 M), dan Khan

8
Sulaiman Pasha (1732 M.). Damaskus juga memiliki pasar yang sangat

terkenal, yakni pasar Hamidiyah. Pasar Hamidiyah merupakan peninggalan

Abad pertengahan Islam. Di pasar inilah kehidupan masyarakat tampak

berbaur, tanpa mempersoalkan suku, bangsa, agama, dan aliran pemikiran.

Selain pasar Hamidiyah, ada pasar Medhat Pasha, pasar al-Buzuriyah, pasar

al-Harir dan al-Khayatin.

B. Latar Belakang Munculnya Konflik di Suriah

1. Kronologi Konflik Suriah

Untuk mengetahui sumber konflik Suriah kita perlu mengetahui kronologi

konfliknya, karena pada runtutan peristiwa konflik itulah sejatinya tersimpan

pengetahuan apa yang menjadi sebab lahirnya konflik di Suriah. Konflik Suriah

dapat dirunut dari peristiwa protes yang dilakukan oleh sekelompok pelajar saat

mereka menulis slogan-slogan anti pemerintah di tembok-tembok kota.6 Slogan-

slogan itu berbunyi, “Rakyat menginginkan rezim turun.” 7 Kepolisian

pemerintah Suriah menangkap para pelajar itu kemudian memenjarakan mereka

selama satu bulan. Selama dalam masa penahanan, para pelajar itu mengalami

penyiksaan, hal itu diketahui setelah para pelajar itu dibebaskan.

Mengetahui penyiksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, tanggal 11

Maret 2011 masyarakat kemudian melakukan aksi demontrasi yang digelar di

Kota Barat-Daya Daraa yang memprotes penyiksaan yang dilakukan oleh aparat

6
Dina Y. Sulaeman, Praha Suriah: Membongkar Persekongkolan Multinasional
(Depok: IMaN, 2013), h. 100.
7
Siti Muti’ah, “Pergolakan Panjang Suriah: Masih Adakah Pan-Arabisme dan Pan-
Islamisme?” dalam Jurnal CMES Volume V Nomor 1, Edisi Juli - Desember 2012, h. 5.
9
kepolisian. Pasukan keamanan berupaya membubarkan demonstrasi, namun para

demonstran tak bergeming, sampai akhirnya pasukan keamanan melepaskan

tembakan ke arah para demonstran.

Pada 23 Maret 2011, demonstrasi kembali melanda kota Daraa, pasukan

keamanan kembali melepaskan tembakan untuk membubarkan para demonstran,

pada kasus ini 20 orang demonstran dikabarkan tewas. Menyusul insiden

tersebut, Presiden Bashar al-Assad, mengumumkan bahwa pemerintah sedang

mempertimbangkan untuk menerapkan reformasi politik, termasuk menghapus

pembatasan partai politik dan menghapus hukum darurat Suriah yang telah

diterapkan selama 48 tahun. Namun pengumuman itu diabaikan oleh para tokoh

oposisi Suriah.

Pada 25 Maret 2011, setelah salat Jum’at, unjuk rasa kembali

mengemuka di kota-kota seluruh negeri. Pasukan keamanan kembali berupaya

membubarkan aksi unjuk rasa itu, namun unjuk rasa terus berjalan bahkan

bertambah intens. Protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh oposisi Suriah

mendapat perlawanan dari rakyat Suriah pro-pemerintah, perlawanan itu

ditunjukkan dengan melakukan demonstrasi besar-besaran di Kota Damaskus.

Pada 29 Maret 2011 pemerintah Suriah mengumumkan pengunduran diri dari


kabinet, hal ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan reformasi yang

didengungkan oleh para demonstran.

Satu hari setelah, pengumuman itu, Presiden Assad tampil untuk pertama

kalinya di depan publik sejak kerusuhan melanda Suriah, dan menyampaikan

pidato di hadapan dewan legislatif untuk meredam protes para demonstran dan

10
mengklaim bahwa protes itu terjadi karena konspirasi yang dilakukan asing.

Tetapi ia juga mengakui, bahwa beberapa kekhawatiran para demonstran

memang patut diperhatikan. Assad menolak ajakan oposisi untuk melakukan

percepatan reformasi dan dan mengatakan bahwa pemerintah akan melanjutkan

rencananya untuk memperkenalkan reformasi secara bertahap. Setelah pidato

tersebut, media pemerintah Suriah mengumumkan bahwa Assad telah

membentuk sebuah komisi untuk mempelajari kemungkinan pencabutan hukum

darurat.

Demonstrasi telah terjadi secara sporadis di seluruh negeri, pemerintah

Suriah terus menghubungkan kerusuhan kepada konspirasi asing dan ketegangan

sektarian. Pemerintah membuat beberapa konsesi yang ditujukan kepada Muslim

Suriah konservatif dan minoritas Kurdi. Pada 6 April 2011, pemerintah Suriah

berusaha untuk menjawab keresahan Muslim konservatif dengan menutup satu-

satunya kasino Suriah dan membatalkan hukum 2010 yang melarang guru

perempuan mengenakan niqab, cadar yang menutupi wajah. Pemerintah juga

mengumumkan bahwa Noruz, festival Tahun Baru yang di Rayakan oleh orang

Kurdi sebagai hari libur nasional.

Namun demikian, protes terus berlanjut, dan menyebar ke kota lainnya,


yang mengakibatkan terjadinya peningkatan penggunaan kekerasan oleh

pasukan keamanan Suriah. Pada 8 April 2011, pasukan keamanan menembaki

demonstran di beberapa kota Suriah, menewaskan sedikitnya 35 orang.

Menyusul sebuah laporan bahwa jumlah korban tewas telah mencapai lebih dari

200 orang. Muncullah kecaman internasional terhadap pemerintah Suriah.

11
Sejumlah organisasi pembela HAM dan para kepala negara menyerukan

pemberhentian kekerasan.

Pasukan keamanan terus menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk

rasa di seluruh negeri, Assad menunjuk kabinet baru dan berjanji untuk

melembagakan reformasi politik dan mencabut hukum darurat Suriah. Pada

tanggal 19 April kabinet mencabut undang-undang darurat dan membubarkan

Mahkamah Agung Keamanan Negara Suriah. Pengadilan yang khusus

digunakan untuk mengadili pihak-pihak anti pemerintah. Namun pemerintah

Suriah juga mengambil tindakan untuk mempertahankan kekuasaannya dengan

berupaya untuk meredam protes. Pemerintah Suriah mengeluarkan peraturan

yang mengharuskan masyarakat untuk mendapatkan izin dari pemerintah

sebelum melakukan demonstrasi. Menteri dalam negeri Suriah yang baru

diangkat mendesak rakyat Suriah agar tidak melakukan demonstrasi dengan

menyatakan bahwa pemerintah akan terus menganggap demosntrasi sebagai

ancaman nasional.

Segera setelah hukum darurat, pemerintah Suriah meningkatkan

penggunaan kekerasan terhadap demonstran. Pada tanggal 22 April 2011

pasukan keamanan menembaki demonstran yang berkumpul setelah salat Jumat,


menewaskan sekitar 75 orang, di tengah kecaman internasional yang dipicu oleh

maraknya aksi pembunuhan, pemerintah Suriah melancarkan strategi baru untuk

membungkam protes masyarakat dengan menyebarkan sejumlah besar pasukan

yang dilengkapi dengan tank dan kendaraan lapis baja ke kota-kota Daraa,

Baniyas, Homs, dan tiga lokasi yang dijadikan sebagai pusat antipemerintah. Di

12
beberapa daerah di negeri ini, pemerintah memberlakukan pemadaman akses

komunikasi, mematikan layanan telepon dan internet. Di Daraa, pasukan

keamanan memotong pasokan air dan listrik.

Seiring dengan demonstrasi yang terus menyebar di Suriah, pemerintah

meningkatkan perlawanan terhadap para pengunjuk rasa dengan kekuatan

militer. Pada awal Mei, protes anti-pemerintah telah mencapai Damaskus. Protes

yang terjadi di pusat kota Damaskus ditangani dengan aksi kekerasan pasukan

pemerintah Suriah juga mendirikan barikade keamanan di beberapa pinggiran

kota Damaskus upaya untuk membatasi gerakan para demonstran. Menyusul

insiden tersebut. Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi berupa pelarangan

perjalanan dan pembekuan aset kepada sejumlah pejabat senior Suriah yang

dianggap bertanggungjawab dalam penanganan demonstrasi. Selain itu, UE juga

menerapkan embargo senjata untuk Suriah. Seiring dengan kekerasan yang terus

terjadi. Suriah juga semakin terisolasi dari sekutu regionalnya. Pada bulan Mei,

Recep Tayyip Edogan, Perdana Menteri Turki, mengutuk penggunaan kekerasan

terhadap warga sipil. Beberapa minggu kemudiaan, Turki memberikan dukungan

untuk pihak demonstran dengan mengadakan sebuah konferensi bagi para

anggota oposisi Suriah.

Pada tanggal 6 Juni 2011 Kantor berita Suriah melaporkan bawa 120

tentara Suriah disergap dan dibunuh oleh sekelompok orang bersenjata di kota

utara Jisr al-Shugur. Masyarakat setempat menyangsikan kebenaran berita

tersebut dengan menyatakan bahwa tentara Suriah dibunuh oleh pasukan

pemerintah karena menolak untuk menembaki demonstran. Menanggapi insiden

13
tersebut pihak militer Suriah meluncurkan serangan yang berat menyebabkan

ribuan warga melarikan diri dan melintasi perbatasan Turki. Rezim Assad terus

menggunakan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa di bulan Juli dan Agustus,

serta meluncurkan serangan militer terhadap sejumlah Kota termasuk Hammah

dan Latakia. Pertumpahan darah terus menuai kecaman internasional yang

menyerukan Assad untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden.

Di bawah tekanan internasional, pemerintah Suriah pada bulan Desember

mengizinkan kunjungan delegasi Liga Arab untuk memantau proses

implementasi dari strategi tersebut. Meskipun kekerasan terus terjadi, penilaian

yang diberikan oleh tim pemantau cenderung positif sehingga menuai kritik dari

kelompok HAM dan oposisi Suriah. Pada pertengahan Januari 2012, kredibilitas

delegasi yang telah mengundurkan diri mengklaim bahwa pasukan pemerintah

Suriah telah memberikan laporan palsu dari rekaman video yang direkayasa.

Setelah beberapa negara Arab menarik anggota tim mereka dari posisi sebagai

observer Liga Arab secara resmi menangguhkan keberlanjutan misi pemantau

pada 28 Januari dengan alasan kekerasan.

Setelah kegagalan misi pemantau dari Liga Arab kekerasan terus

meningkat. Pada awal Februari 2012, tentara Suriah melancarkan serangan kota
Homs dengan membombardir wilayah yang dikuasai oposisi selama beberapa

minggu. Pada bulan yang sama, Liga Arab dan PBB bersama-sama menunjuk

Koffi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai

utusan perdamaian untuk Suriah. Upaya Annan untuk penghentian kekerasan

sebagaimana dihadapi Liga Arab pada tahun 2011, digagalkan oleh keengganan

14
rezim Suriah untuk mematuhi perjanjian yang telah disepakati. Gencatan senjata

yang disuarakan oleh PBB berhasil mengurangi angka kekerasan pada

pertengahan April. Namun gencatan senjata hanya bertahan selama beberapa hari

sebelum konflik antara pasukan pemerintah dan oposisi kembali terjadi. PBB

menghentikan operasi pemantauan pada bulan Juni atas alasan keamanan. Akibat

peningkatan jumlah kekerasan yang terjadi selama musim panas 2012, Annan

mengundurkan diri pada bulan Agustus dan digantikan oleh diplomat Aljazir,

Lakhdar Brahimi.

Pada bulan November, pemimpin oposisi Suriah mengumumkan

pembentukan koalisi baru yang disebut Koalisi Nasional untuk Revolusi Suriah

dan Kekuatan Militer Oposisi Koalisi Nasional Suriah. Dalam satu bulan koalisi

mendapat pangakuan dari berbagai negara sebagai wakil sah rakyat Suriah.

Dalam satu bulan berikutnya, sejumlah negara mengakui Koalisi Nasional Suriah

sebagai pihak yang secara efektif dapat mewakili kelompok oposisi.

Pada akhir tahun 2012, situasi militer tampaknya sudah mendekati jalan

buntu. Pejuang pemberontak menguasai wilayah utara Suriah namun

menghadapi kesulitan dalam penyediaan peralatan, persenjataan, dan aspek

organisasi. Sementara itu, pasukan pemerintah juga semakin lemah akibat


sejumlah aparatur yang berbalik memihak oposisi. Pertempuran masih berlanjut

setiap hari di wilayah yang diperebutkan, menyebabkan semakin tingginya

korban tewan dari masyarakat sipil.

Dengan minimnya perkembangan yang terjadi di Suriah, negara-negara

sekutu yang memihak pemerintah Suriah dan pemberontak sama-sama

15
meningkatkan dukungan mereka yang menyebabkan meningkatnya

kemungkinan perang sipil. 8 Upaya Turki, Arab Saudi, dan Qatar untuk mendanai

dan mempersenjatai pihak pemberontak semakin terlihat pada akhir 2012 dan

awal 2013, sementara pemerintah Suriah terus menerima senjata dari Iran dan

kelompok militan Libanon, Hizbullah. Akhir tahun 2012, Hizbullah juga mulai

mengirim para pejuangnya sendiri ke wilayah Suriah untuk melawan para

pemberontak.

Babak baru yang memungkinkan penggunaan aksi militer internasional

di wilayah Suriah semakin menguat setelah adanya dugaan penggunaan senjata

kimia di pinggiran kota Damaskus oleh rezim Assad yang menewaskan ratusan

orang pada 21 Agustus 2013. Kelompok oposisi Suriah mengklaim bahwa

pasukan pro Assad telah melakukan serangan tersebut. Pejabat Suriah

menyangkal penggunaan senjata kimia dan menegaskan bahwa apabila senjata

kimia dipergunakan dalam serangan maka kesalahan berada pada pasukan

pemberontak. Utusan PBB menemukan bukti senjata kimia di beberapa lokasi di

Suriah. Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis mengecam penggunaan senjata

kimia oleh rezim Assad dan berencana untuk melakukan aksi militer. Assad juga

menyatakan untuk melawan apa yang ia sebut sebagai agresi Barat.

Kemungkinan terjadinya intervensi militer di Suriah mulai memudar

pada akhir Agustus. Sebagian besar masyarakat Amerika dan Inggris menentang

rencana aksi militer. Upaya Inggris untuk melakukan serangan militer Suriah

digagalkan oleh Perlemen pada tanggal 29 Agustus 2013. Voting yang diadakan
8
Dalam sebuah wawancara, Assad sendiri menolak untuk menyebut perang di
negaranya sebagai perang sipil atau perang saudara. Menurutnya perang yang terjadi di Suriah
adalah perang yang diciptakan oleh suatu kekuatan dari luar untuk menghancurkan Suriah.
16
di Kongres Amerika juga diundur, pada tanggal 10 September 2013. Sementara

itu, jalur diplomasi semakin gencar dilakukan oleh berbagai pihak yang

menghasilkan kesepakatan antara Rusia, Suriah dan Amerika Serikat pada

tanggal 14 September 2013 untuk menempatkan semua senjata kimia yang

dimiliki Suriah dibawah kontrol internasional. 9

2. Sumber Konflik

Ada beragam pandangan yang bisa dikemukakan terkait masalah yang

menjadi sumber utama konflik Suriah, sebagai berikut:

a. Masalah sosial, ekonomi dan politik di dalam negeri yang dihadapi oleh

Suriah. Masalah-masalah itu antara lain berupa tingginya jumlah

pengangguran, tingginya inflasi, terbatasnya kesempatan untuk mobilitas

sosial, pembatasan kebebasan politik, dan aparat keamanan yang represif.

b. Tuntutan sebagian penduduk Suriah agar dilakukan reformasi dan

penggatian rezim Bashar al-Assad. Sejak tahun 1963, pemerintahan

Suriah didominasi oleh Partai Baath, kemudian keluarga al-Assad, yakni

Hafidz al-Assad yang memerintah sejak tahun 1970 hingga kematiannya

di tahun 2000, dan digantikan oleh putranya, yakni Bashar al-Assad dan

memerintah sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang. Selama empat

puluh tahun di bawah pemerintahan klan Assad (Hafez al-Assad dan

anaknya Bashar al-Assad) pembangunan sosial dan ekonomi Suriah

masih jauh dari memuaskan. Suriah tergolong dalam negara berkembang

berpendapatan menengah. Perekonomiannya ditopang terutama oleh

9
“Syrian-Civil-War,” dalam www.britannica.com, diakses tanggal 19 November 2021.
17
minyak dan pertanian, sejak 2004 Suriah dikenai sanksi ekonomi oleh AS

yang melarang atau membatasi ekspor-impor ke Suriah.10

Dalam situasi seperti ini, sangat wajar bila muncul demo anti

pemerintah dan keinginan perubahan rezim. Klan Assad memang telah

berkuasa terlalu lama sehingga wajar ada kejenuhan politik. Pada Maret

2011, seiring dengan gelombang pemberontakan di negara-negara Arab,

seperti Mesir dan Tunisia, aksi-aksi demo terjadi di Suriah. Para

pengunjuk rasa menuntut reformasi, mundurnya Presiden Bashar al-

Assad, dibukanya kebebasan mendirikan partai politik, kebebasan

berbicara, dan perbaikan ekonomi. Aksi demo tersebut ditanggapi oleh

pemerintah Suriah telah memberikan beberapa konsep dan memenuhi

sebagaian tuntutan rakyat.

Namun pandangan bahwa faktor penyebab konflik Suriah adalah

tuntutan penggantian rezim Bashar al-Asaad sebagai dampak dari Arab

spring ditolak oleh aktivis kemanusiaan MER-C Joserizal Jurnalis.

Menurutnya, 11 jika tuntutan penggantian rezim merupakan faktor

penyebab konflik dan peperangan di Suriah mengapa hal yang sama tidak

terjadi di Qatar dan Arab Saudi, kedua negara itu menurutnya tidak lebih
demokratis dibandingkan dengan Suriah. Tapi mengapa Arab spring

yang menuntut demokratisasi justru terjadi di Suriah setelah sebelumnya

terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya.

10
Dina Y Sulaeman, Prahara Suriah, h. 24
11
www.voa-islam.com, “Diskusi terbuka: inilah pandangan Joserizal tentang konflik
Suriah.” 27 Juni 2013.
18
Dalam pandangan Joserizal, tuntutan demokrasi di Suriah adalah

pemicu konflik dan peperangan, bukan faktor utama penyebab konflik

dan peperangan itu sendiri. Pandangan Jose ada benarnya terutama jika

dikaitkan pada aktor-aktor yang terlibat di dalam konflik. Pada awalnya

yang berhadap-hadapan dalam konflik Suriah adalah antara regim Bashar

al-Asaad dengan pihak oposisi, namun dalam perkembangannya, konflik

itu justru meluas eskalasinya, akibat masuknya berbagai pejuang jihad

seperti al-Qaida dan ISIS ke Suriah.

Dalam pandangan Jose ada dua faktor menjadi penyebab peperangan di

Suriah tak kunjung selesai sampai sekarang. Kedua faktor itu adalah

pertama, Suriah adalah negara yang kuat secara militer dan intelijen.

Kedua, Suriah selalu menunjukkan sikap perlawanan dengan Israel.

Kondisi Suriah yang demikian membuat negara-negara seperti Israel,

Amerika Serikat, NATO, Qatar, Arab Saudi dan Turki memberikan

dukungannya kepada oposisi yang sedang berjuang menumbangkan

Assad. Konflik dan peperangan di Suriah dengan demikian lebih

disebabkan oleh faktor kepentingan negara-negara di sekeliling Suriah,

yakni Qatar, Arab Saudi, dan Israel.

c. Faktor lain yang kerapkali dirujuk untuk menunjuk penyebab konflik di

Suriah adalah dominasi minoritas Syi’ah Alawiyah atas politik Suriah.

Dominasi itu di samping melahirkan diskriminasi terhadap mazhab Sunni

dan pembatasan gerakan kelompok Ikhawanul Muslimin, juga

melahirkan penguasaan elit Syi’ah Alawiyah atas berbagai sektor

19
perekonomian di Suriah.12 Faktor ini juga acap dirujuk untuk menyebut

konflik dan peperangan di Suriah sebagai konflik dan peperangan

antarpaham keagamaan dalam Islam. Suriah dipimpin oleh Bashar al-

Asaad yang bermazhab Syi’ah Alawiyah, sementara pihak penentang

Asaad berasal dari mazhab Islam Sunni. Rezim Assad disokong oleh Iran

dan Hizbullah yang bermazhab Syi’ah, sebaliknya penentang Asaad

didukung oleh Qatar, Saudi Arabia, Turki, al-Qaeda, Jabhat al-Nusro

yang bermazhab Sunni.

Faktor perbedaan mazhab keagamaan sebagai penyebab konflik Suriah

juga di tolak oleh Dina Y Sulaeman, menurutya faktor mazhab dalam konflik

Suriah adalah pemicu konflik bukan penyebab utama. Alasannya karena konflik

di Suriah melibatkan banyak aktor, bukan hanya oposisi penentang Assad yang

bermazhab Sunni, tetapi juga melibatkan pemimpin-pemimpin negara seperti

Amerika, Perancis, dan Inggris. Keterlibatan berbagai pihak itu dalam konflik di

Suriah membuat konflik yang terjadi sejak 11 Maret 2011 itu tak kunjung terlihat

mereda. Korban yang tercatat dari sejak konflik hingga April 2013 sudah

mencapai 92.900-100.000 jiwa.

Dengan mengutip Hinnebusch, Dina Y. Sulaeman juga menyatakan bahwa


rezim Assad bukan rezim yang dibangun atas ideologi agama dan ajaran Syi’ah

Alawy sebagai basisnya. Assad sangat peduli dengan pentingnya dukungan yang

muncul dari hati rakyat, bukan kepatuhan yang muncul dari rasa takut kepada

rezim. Kebijakan pemerintahannya sangat populis dengan memberikan layanan

12
Muhammad Fakhry Ghafur, “Membaca Konflik Suriah,” dalam
www.politik.lipi.go.id, 31 Agustus 2012.
20
kesehatan gratis dan sekolah gratis hingga universitas. Rezim Assad tidak hanya

berisi orang-orang Alawy, bahkan Assad sebenarnya menolak untuk menjadi

pemimpin kaum Alawy dengan cara mengangkat orang-orang di luar Alawy

menjadi tokoh-tokoh penting di pemerintahan dan militer. Tokoh-tokoh di luar

Alawy terlihat pada komposisi pimpinan militer misalnya 43% Sunni dan 37%

Alawy, sedangkan komposisi menteri 58% Sunni dan 20% Alawy, sisinya diisi

oleh Druze, Ismaili, dan Kristen. 13

C. Aktor Politik Perang Suriah

1. Bashar Al-Assad

Tampil sebagai pemimpin negara, ia menjadi presiden yang

melanjutkan kepemimpinan ayahnya, Hafezh Al-Assad. Sebagai presiden,

taktik yang digunakan Bashar Al-Assad adalah dengan mengintegrasikan

kekuatan militer ke dalam sistem pemerintahannya. Dia juga memperkuat

kekuasannya dengan membangun jaringan-jaringan yang loyal dan

memposisikan mereka dalam posisi-posisi penting dan strategis. 14 Hal ini

merupakan salah satu faktor yang membuat Al-Assad memiliki pemerintahan

dan kekuasaan yang solid dan kuat. Al-Assad dilengkapi instrumen

kelengkapan militer guna mempertahankan kekuasaannya. Dalam naungan

kepemimpinannya, Al-Assad mengerahkan Syrian Arab Army (SAA). Awal-

awal pemberontakan, kelompok ini mengalami kekalahan. Namun, beriring

13
Dina Y. Sulaeman, Prahara Suriah, h. 20-21

14
Mahadhir Muhammad, “Kebijakan Politik Pemerintahan Bashar Al- Assad di
Suriah” 6, no. 1 (2016), h. 104.

21
waktu pihak pemberontak mengalami pelemahan dan ini membuat SAA

bisa mengalahkan mereka. SAA sendiri terdiri dari gabungan pasukan

pertahanan militer Suriah dengan dukungan milisi bersenjata pro-Assad.

Bashar Al-Assad tidak hanya menguatkan barisan di dalam negeri, dia

juga mengumpulkan dan membangun dukungan dan bantuan dari berbagai

negara sahabat.15 Bagi negara-negara yang dianggap berpotensi untuk

memberikan dukungan dan bantuan, Bashar Al-Assad membangun

hubungannya lebih kuat. Dua negara yang menjadi pendukung utama

kekuasaan dan kekuatan Bashar Al-Assad di Suriah adalah Rusia dan Iran.

Keduanya memberikan dukungan yang sangat berarti kepada Pemerintah

Suriah yang dipimpin oleh Bashar Al-Assad ini. Berkat dukungan ini,

pemerintah dan militer mendapatkan sokongan bantuan dalam menumpas

pemberontakan-pemberontakan yang terjadi.

Keberanian Bashar Al-Assad dalam menghadapi tekanan-tekanan

negara-negara Barat memberikan tekanan balik kepada negara-negara yang

menekan Suriah. Hal ini membuat mereka setengah-setengah dalam

mengambil langkah dan memberikan tindakan kepada pemerintah Suriah.16

Di sisi lain, Al-Assad juga diuntungkan dengan terpecah-belahnya para

pemberontak. Banyaknya kelompok pemberontak tidak serta merta

15
Suci Sekarwati, “4 Hal Yang Membuat Assad Bertahan Selama 7 Tahun Perang
Suriah,” Tempo, 14 April 2018, diakses tanggal 11 July 2019,
https://dunia.tempo.co/read/1079541/4-hal-yang-membuat-assad- bertahan-selama-7-
tahun-perang-suriah.
16
Suci Sekarwati, “4 Hal Yang Membuat Assad Bertahan Selama 7 Tahun Perang
Suriah,”
22
menjadikan mereka satu suara untuk menjatuhkan Al-Assad. Perbedaan

tujuan masing-masing kelompok pemberontak juga mengakibatkan mereka

berbeda pandangan dan cara dalam melancarkan serangan dan bertahan dari

serangan pemerintah Al-Assad. Hal ini menjadikan pasukan pemerintah lebih

mudah menghancurkan pasukan pemberontak dan merebut kembali daerah-

daerah yang dikuasai para pemberontak.

Satu hal yang tidak kalah penting untuk kedudukan Bashar Al-Assad

dalam rangka menempati pucuk pimpinan di negara Suriah adalah dukungan

pihak internal yang ada di dalam negeri Suriah. Kendati terjadi

pemberontakan dan protes, hal ini hanya dilakukan di beberapa wilayah yang

tidak begitu luas. Masyarakat Suriah mayoritas menghendaki kepemimpinan

Bashar Al-Assad tetap berjalan. Orang-orang yang mendukung Al-Assad

merupakan orang-orang yang mayoritas, seperti kelompok Sunni. Selain itu,

dukungan dari kelompok minoritas pun tidak bisa dipungkiri seperti Kristen,

Druze dan Alawy.17 Padahal Al-Assad sendiri bukan merupakan bagian dari

kelompok mayoritas ini. Dia sendiri merupakan bagian dari kelompok Alawy

yang merupakan golongan minoritas di Suriah.

2. Negara Rusia

Rusia merupakan sekutu lama negara Suriah. Sejak era Hafezh Al-

Assad kedua negara terjalin kerja sama dan hubungan bilateral yang kuat.

Keterlibatan Rusia dalam perang Suriah memiliki alasan yang kuat dalam

mengokohkan hubungan mereka. Selain permintaan pemerintah Suriah,

17
Dina Y. Sulaeman, Prahara Suriah: Membongkar Persekongkolan Multinasional, h.
71.
23
Rusia juga merasa memiliki kepentingan yang harus mereka lindungi. Kedua

negara telah sepakat melakukan perdagangan senjata dimana perjanjian ini

telah ditandatangani sejak kepemimpinan Hafezh Al-Assad pada tahun 1972.

Selain itu, Suriah sepakat memberikan izin kepada Rusia untuk membangun

pangkalan militer di daerah pesisir Tartus. Pada eranya, Rusia berhasil

mengirimkan senjata senilai 135 juta dollar Amerika. Bahkan pada tahun

1980, Rusia dan Suriah kembali menandatangani pakta kerja sama lanjutan

yang berlaku selama 20 tahun. 18 Perjanjian tersebut ternyata masih berlaku

hingga terjadinya konflik Suriah. Rusia merasa bahwa konflik ini bisa

mengganggu stabilitas kepentingan negara mereka. Tidak heran jika Rusia

sangat vokal dalam membela pemerintah Bashar Al-Assad.

Selain itu, Rusia juga melihat Suriah sebagai negara yang memiliki

peranan penting di kawasan Timur Tengah. Letak geografis dan politis serta

daya saing Suriah di kawasan ini semakin menambah daya tarik negara-

negara luar untuk menguasai negara ini. Beragam bentuk intervensi negara

luar sudah mulai digencarkan demi memasukkan kepentingan masing-

masing negara atau pihak di negara Suriah. Hal ini sudah bisa dipastikan

bahwa dengan campur tangan pihak-pihak tersebut akan mengganggu dan

mengancam keberlangsungan kepentingan Rusia di satu pihak dan tidak

menutup kemungkinan akan berpotensi menghancurkan Suriah.

Keberadaanpangkalan militer Rusia di Tartus memberikan

18
Ibrahim Noor, “Analisisi Intervensi Rusia dalam Konflik Suriah,” eJournal Ilmu
Hubungan Internasional 2 (2014), hlm 1072.

24
keuntungan kepada Suriah dalam membantu menghalau serangan-serangan

militer dari luar. Selain itu, letak geografis pangkalan ini memberikan

keuntungan yang besar bagi Rusia dalam memantau situasi terkini di kawasan

Timur Tengah. Dengan kata lain, keberadaan pangkalan ini menegaskan

eksistensi negara Rusia di kawasan Timur Tengah.

Kerja sama yang dilakukan oleh Rusia dan Suriah adalah penjagaan

dan patrol militer dalam menanggulangi aksi-aksi anarkis dari para

pemberontak dan sekutunya. Rusia dan Suriah terlibat dalam kegiatan

pelatihan militer bersama. Pasukan Suriah mendapatkan pengajaran

mengenai sistem persenjataan yang telah dikirim Rusia. Hal ini dikarenakan

sistem persenjataan Rusia sudah lebih maju dalam persaingannya di kancah

internasional.

Dalam melengkapi sistem persenjataan yang digunakan, Rusia

membantu Suriah dalam membangun sistem radar yang mampu mendeteksi

peluncuran rudal balistik. Sistem ini dibangun pada 3 September 2012

dimana jangkauan dari sistem ini mampu mencapai radius hingga kawasan-

kawasan Eropa dan Republik Islam Iran.

Selain itu, sistem ini telah mendeteksi dan menangkal serangan-

serangan rudal yang diluncurkan oleh kapal induk Amerika yang berada dekat

perairan Tartus. Pencegahan ini merupakan pencegahan peluncuran rudal

balistik dari berbagai pihak, baik dari pihak pemberontak maupun dari

negara-negara yang menginginkan jatuhnya Al-Assad. Sistem ini

25
ditempatkan di dekat perairan laut hitam karena hal ini bisa memperkuat

posisi Rusia di kawasan Timur Tengah, mengingat banyaknya negara-

negara yang menghendaki jatuhnya posisi Rusia di sana.19

PemerintahRusia juga memberikan bantuan logistik untuk

Pemerintah Suriah, selain itu juga mereka memberikan bantuan kesehatan

dan sarana medis. Bantuan finansial ini sangat berguna bagi Suriah
mengingat negara ini telah mengalami blokade bantuan kemanusiaan dari

PBB sebagai bentuk tekanan untuk menuntut Bashar Al-Assad turun dari

kursi presiden.

Rusia yang memiliki hak istimewa di Dewan Keamanan (DK) PBB

selalu vokal dalam memprotes langkah-langkah negara-negara Eropa dan

Amerika yang ingin membawa konflik Suriah ke pengadilan Internasional.

Rusia selalu memveto sanksi-sanksi yang akan diberikan anggota Dewan

Keamanan PBB ke Suriah. Dengan langkah ini, Suriah mendapatkan bantuan

dan dukungan dari negara Rusia yang memiliki hak istimewa di DK PBB. Di

sisi lain, hak istimewa yang dimiliki Rusia ini membuat negara-negara lain

berbeda dalam menyikapinya. Negara-negara yang kepentingannya

bertentangan dengan kebijakan Suriah cenderung semakin memusuhi

Suriahdan Rusia. Sebaliknya, bagi negara-negara mendukung pemerintahan

Al- Assad semakin mendapatkan dukungan untuk saling membantu.

Ada dua hipotesis menarik tentang peran Rusia China dalam dengan

konflik yang di Suriah. menurut Seorge Samaan, Rusia bukan sedang

19
Ibrahim Noor, “Analisisi Intervensi Rusia dalam Konflik Suriah,” h. 1075.
26
mempertahankan Bashar Al-Assad, melainkan sedang mencari pengganti

yang menjamin kepentingan Rusia di Suriah, mengingat Suriah adalah

pijakan Rusia di kawasan Timur Tengah. Abdel Bari Atawan

menyatakan bahwa penggunaan hak veto dari Rusia dan China bertujuan

untuk menghentikan hegemoni barat dan ingin membangun peta kekuatan

baru yang lebih berimbang di pentas internasional.20

3. Negara Iran

Iran dan Suriah merupakan dua negara yang memiliki hubungan luar negeri

yang baik dan bagus. Keduanya bahu-membahu dan saling mendukung dalam

mengecam eksistensi negara Israel di kawasan Timur Tengah. Baik Suriah

maupun Iran, keduanya selalu berani menentang tindakan-tindakan yang

dilakukan oleh Israel di kawasan Timur Tengah, terlebih ketika itu

memberikan dampak negatif untuk warga masyarakat Palestina dan Gaza. Di

saat negara-negara Arab berusaha mengucilkan Suriah pada penyelenggaraan

KTT Liga Arab di Damaskus dengan mengirimkan utusan level rendahnya,

Iran justru mengirimkan menteri Luar Negerinya untuk ikut hadir di KTT

tersebut. 21 Padahal Iran sendiri bukanlah anggota dari Liga Arab tersebut.

Sebagai partner dalam mempertahankan kepentingannya membela

Palestina, Iran adalah negara yang aktif memberikan bantuan kepada

Hizbullah. Jika ternyata hubungan keduanya hancur, bisa dipastikan Iran

20
Ahmad Sahide, Gejolak Politik Timur Tengah, 1st ed. (Yogyakarta: The Phinisi
Press, 2017), h. 79–80.
21
Ibnu Burdah, Konflik Timur Tengah: Aktor, Isu, dan Dimensi Konflik, 1st ed.
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 42.

27
akan mendapatkan kesulitan dalam memberikan suplai bantuan untuk

kelompok Hizbullah di Lebanon. Selama dua tahun awal konflik, Iran sangat

vokal membela pemimpin Suriah, Bashar Al-Assad. Iran merupakan negara

yang rela berkorban besar demi menjaga persahabaran “sejati”nya dengan

Suriah, kendati itu belum menyangkut kepentingan strategis dan stabilitas

keamanan negerinya.22

Kedekatan hubungan ini memberikan keuntungan kepada Suriah

ketika dilanda pemberontakan. Iran sendiri memberikan beragam bantuan

kepada Pemerintah Suriah yang dipimpin Al-Assad. Bantuan yang dikirimkan

lebih dominan merupakan bantuan militer. Republik Islam Iran secara terang-

terangan menyatakan dukungan membela pemerintahan Al-Assad setelah

Israel melancarkan sebuah serangan pada sebuah laboratorium penelitian

militer. Iran memberikan bantuan seperti pengesahan intervensi Islamic

Revolutionary Guards Corps (IRGC), Ground Forces, Intelligence Services, dan

Pasukan Al-Quds.23 Sejak 2011, Iran sudah membantu Suriah dengan

memasok senjata, teknologi militer dan pelatih militer ke Suriah untuk

menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Suriah.

Memasuki tahun 2013, Iran secara terang-terangan menambah porsi bantuan

ke Suriah melalui pengiriman penasehat politik dan membantu Suriah dengan

22
Ibnu Burdah, Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi, 1st ed. (Malang: Intrans
Publishing, 2014), h. 34.
23
Heriawan and Siti Muslikhati, “Keputusan Arab Saudi Melakukan Perang Proksi
Terhadap Iran Di Konflik Suriah Tahun 2011-2018” (2018), h. 6.

28
informasi dinas rahasia.24

Kerja sama antara Iran dan Suriah sendiri sudah berlangsung lama,

yaitu sejak tahun 2006. Pada tahun itu, keduanya membangun pakta

pertahanan ketika terjadi perang di Irak. Presiden Amerika saat itu, George

W. Bush memberikan julukan pada Iran, Lebanon dan Suriah sebagai bagian

dari “poros kejahatan”. Pandangan anti-barat dari negara-negara ini

merupakan pandangan yang memperkuat mereka dalam menghadapi Barat di

kawasan Timur Tengah. Mengingat negara-negara ini sama-sama

mengetahui dengan jelas bagaimana sepak terjang negara-negara Barat di

kawasan Timur Tengah. Iran, Lebanondan Suriah merupakansekutu

dalam mempertahankan eksistensi mereka menghadapi Arab Saudi di

kawasan Timur Tengah. Iran sendiri membangun hubungan dan kerja sama

dengan Suriah dan pasukan Hizbullah yang berada di Lebanon. 25

4. Negara Turki

Turki dan Suriah tercatat memiliki hubungan baik sebelum terjadinya

konflik di Suriah. Kedua negara ini terlibat kerja sama bilateral berupa

penandatanganan High Level Strategic Cooperation Council (HLSCC) di Aleppo

dan Gaziantep, 12-13 September 2009. Kerja sama ini merupakan


kesepakatan untuk bersama-sama mengembangkan dan memperbaiki kerja

sama dalam berbagai bidang mulai dari bidang politik hingga ekonomi. Selain

24
Birgit Svensson, “Peran Iran dalam Perang Suriah,” DW.COM, diakses tanggal
2 Novemeber 2021, https://www.dw.com/id/peran-iran-dalam-perang- suriah/a-16610186.

25
Indah Novita, “Analisa Kebijakan Luar Negeri Iran Dibawah Kepemerintahan
Presiden Hassan Rouhani Terhadap Perang Suriah Melalui Pendekatan Birokrasi”, h. 2.

29
itu dalam kesepakatan ini juga keduanya sepakat memperkuat hubungan

bilateral dan mewujudkan visi bersama mengenai sejumlah isu bilateral dan

regional. Pada pertemuan selanjutnya keduanya menandatangani sebanyak

50 MoU di Damaskus.26

Kerja sama ini memberikan dampak positif bagi kedua negara.

Gelombang protes dalam negeri Suriah mengakibatkan hubungan keduanya

semakin renggang. Turki merekomendasikan reformasi dalam

pemerintahan Bashar Al-Assad dan Suriah lebih memilih untuk

menyelesaikan konflik dalam negeri dengan cara mereka sendiri. Secara

terang-terangan, Turki mendesak Al-Assad untuk mundur dari kursi presiden

demi terciptanya kedamaian dalam negeri Suriah. Namun desakan ini ditolak

keras oleh pemerintahan Suriah. Akibatnya Turki memberlakukan sanksi

untuk Suriah. Penerapan restriksi atas penggunaan wilayah udara Turki bagi

pesawat yang membawa peralatan militer menuju ke Suriah dan sekaligus

membekukan HLSCC. Retaknya hubungan bilateral semakin besar dengan

langkah yang diambil oleh Turki, yaitu menutup kedutaannya di Damaskus

pada 26 Maret 2012.

Setelah rentetan keretakan semakin besar, Turki menjadi salah satu

negara yang tidak mendukung pemerintah Suriah dan berusaha menjatuhkan

kekuatan Al-Assad bersama dengan sekutunya. Presiden Erdogan sendiri

mengklaim bahwa apa yang terjadi di dalam negeri Suriah tidak bisa dibiarkan

26
Dwi Suta Mentari Rendra, “Keterlibatan Turki Dalam Konflik Suriah Pada Tahun
2011-2012,” Jurnal Analisis Hubungan Internasional 6, no. 2 (2017), h. 235.

30
begitu saja. Dia menganggap konflik yang terjadi di Suriah memberikan

dampak yang tidak kecil terhadap masalah internal Turki.

Keterlibatan Turki semakin jelas ketika Pemerintah Turki terlibat dan

berpartisipasi pada kegiatan yang dilakukan oleh pihak oposisi. Tepatnya

pada 1 Juni 2011, pihak oposisi melakukan pertemuan pertama yang

dilakukan di kota Antalya, Turki. Tidak berhenti di sini, pertemuan

selanjutnya adalah pembentukan Syrian National Council (SNC), di Istanbul

pada bulan Agustus 2011. Selain terlibat dengan oposisi, Turki juga

melakukan komunikasi dengan Pemerintah Suriah dengan harapan Suriah

masih mau mendengarkan saran-saran dari pihak Turki. Ketika itu, menteri

Luar negeri Turki, Ahmet Davutoglu melakukan kunjungan ke Damaskus dan

meminta Al-Assad untuk mundur dari kepresidenan sebagai langkah

mereformasi pemerintahan Suriah. Namun langkah ini tidak membuahkan

hasil apapun.

Kedekatan geografis kedua negara memberikan keuntungan

tersendiri bagi sebagian pihak. Salah satu pihak yang diuntungkan adalah

pihak oposisi. Negara Turki menjadi tempat persembunyian yang aman bagi

mereka supaya tidak tertangkap oleh pasukan pemerintah Suriah. Turki

bahkan menjadi pendukung utama kelompok opoisis dengan segala langkah

dan permainannya.27 Mohammed Tayfour, yang merupakan salah satu wakil

pemimpin umum bergabung dengan anggota eksekutif SNC. Pihak

27
Burdah, Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi (Cet. I; Malang: Intrans
publishing, 2014), h. 121.

31
berwenang Turki sendiri terlibat dalam hal mengatur dan menyediakan

tempat untuk pertemuan-pertemuan yang digelar oleh pihak oposisi.

Dukungan resmi dari pemerintah Turki diumumkan oleh menteri luar

negeri Turki, Ahmed Davutoglu pada konferensi oposisi Suriah di Kairo-

Mesir pada tanggal 2 Juli 2012. Semenjak itu, Turki dengan terang-terangan

membantu pihak oposisi dan melancarkan serangan-serangan terhadap

kekuatan militer pemerintah Suriah. Sepak terjang dalam memfasilitasi

kelompok oposisi menjadikan Turki dengan Ankara-nya sebagai “markas”

bagi mereka, kekuatan oposisi.

Keterlibatan Turki dalam konflik Suriah dipicu oleh beberapat faktor

penting. Faktor ekonomi menjadi salah satu faktor yang membuat Turki

sangat vokal dalam menghadapi konflik ini. Ekspor dan impor kedua negara

tercatat telah mencapai angka yang tinggi sebelum terjadinya konflik. Konflik

Suriah sendiri berperan besar dalam merubah iklim ekspor dan impor kedua

negara ini. Penurunan yang drastis dari angka ekspor dan impor ini salah

satunya memicu pemerintah Turki untuk mendorong pemerintah Suriah agar

segera menyelesaikan konfliknya supaya neraca perdagangan di kawasan ini

kembali stabil.

Turki sendiri memiliki kebijakan tersendiri dalam memainkan

perannya di Suriah. Turki memberlakukan aturan larangan bagi warganya

untuk ikut berperang. Hal ini didorong oleh adanya simpatisan Suriah yang

berusaha melewati perbatasan dan membantu pasukan Suriah dalam

menumpas ISIS. Terhadap Pemerintah Suriah, Turki tidak memberikan

32
bantuan militer untuk membantu melawan dan menumpas ISIS. 28 Di sisi

lain, Turki merespon baik terhadap pengungsi yang datang dari Suriah.

Turki sendiri terkena imbas pengungsi dari Suriah. Tempat-tempat

pengungsian dibangun di wilayah Hatay, Sanliurfa, Gaziantep, Kilis,

Kahramanmaras, Adiyaman dan Osmaniye. Selain itu, status para

pengungsi di negara Turki mendapatkan status yang legal dari Turki.

Berbagai langkah Turki ini, menurut Ibnu Burdah, merupakan upaya

penegakan harga diri Turki di hadapan masyarakat Arab di mana ia

menyatakan bahwa akan konsisten mendukung perjuangan rakyat Suriah

sehingga ia bisa dijadikan sebagai pemain kunci di kawasan Timur Tengah

dan dunia internasional.29

Di sisi lain, Turki merespon baik terhadap pengungsi yang datang dari

Suriah. Turki sendiri terkena imbas pengungsi dari Suriah. Tempat-tempat

pengungsian dibangun di wilayah Hatay, Sanliurfa, Gaziantep, Kilis,

Kahramanmaras, Adiyaman dan Osmaniye. Selain itu, status para

pengungsi di negara Turki mendapatkan status yang legal dari Turki.

Berbagai langkah Turki ini, menurut Ibnu Burdah (2014), merupakan upaya

penegakan harga diri Turki di hadapan masyarakat Arab di mana ia

menyatakan bahwa akan konsisten mendukung perjuangan rakyat Suriah

sehingga ia bisa dijadikan sebagai pemain kunci di kawasan Timur Tengah

28
Mino Ramadhan, “Kebijakan Turki Terhadap Suriah dalam Memerangi Kelompok
Terorisme ISIS (Islamic State Iraq and Syria) Tahun 2004”, no. 2 (2016), h. 1–8.
29
Burdah, Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi, h. 126.

33
dan dunia internasional.30

5. Etnis Kurdi

Etnis Kurdi Suriah menempati wilayah bagian utara Suriah. Jumlah

populasi etnis Kurdi Suriah adalah sekitar dua juta jiwa atau 10% dari total

penduduk Suriah. Di bagian ini etnis Kurdi membangun dan melancarkan

serangan demi tercapainya kepentingan mereka, yaitu kemerdekaan suku


Kurdi. Cita-cita utama mereka adalah menyatukan seluruh etnis kurdi yang

tersebar di beberapa negara dalam sebuah negara khusus Kurdi. 31

Kurdi mendapatkan bantuan yang besar dari Amerika Serikat. Konflik

yang dialami oleh suku kurdi sendiri adalah gesekan dengan pemerintah yang

sah demi tercapainya kemerdekaan mereka. Tidak heran jika mereka

mendapatkan respon kekerasan dari pemerintah. Suku Kurdi lebih banyak

bentrok dengan tentara Turki. Terutama setelah suku Kurdi ini mendapatkan

bantuan dari hasil negosiasi dengan Pemerintah Suriah.

Aktivis-aktivis Kurdi yang menyebar, sebagiannya bergabung dengan

SNCORF dan sebagian lainnya bergabung dengan National Coordination Body

for Democratic Change (NCB). Berbeda dengan SNCORF, NCB lebih berfokus

pada gerakan-gerakan oposisi yang antikekerasan. Anggota-anggotanya pun

banyak tinggal di dalam negeri Suriah. Secara tegas, NCB mengecam segala

bentuk upaya kekerasan bersenjata yang dilancarkan oleh SNCORF.

30
Burdah, Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi, h. 126.
31
Dina Y. Sulaiman, Prahara Suriah: Membongkar Persekongkolan Multinasional, h.
120.

34
Sebaliknya, NCB banyak membuka kesempatan dialog dan cara-cara damai

lainnya demi mencapai titik temu. Segala bentuk intervensi militer asing,

seruan religius dan sektarian, dan kekerasan dan militerisasi revolusi ditolak

oleh NCB. Namun, upaya-upaya ini tenggelam oleh propaganda jihad yang

dikampanyekan oleh kelompok jihadis.

Pada masa-masa awal pemberontakan, kelompok Kurdi sepakat


berada dalam lingkaran oposisi melawan pemerintah Suriah. Namun,

akhirnya kelompok kurdi sepakat untuk keluar dari lingkaran tersebut setelah

terjadi negosiasi dengan pemerintah Suriah. Sebuah langkah penting yang

diambil pemerintah Suriah dalam menghadapi tentara Kurdi adalah

pemberian otonomi khususnya dalam bidang politik dan pemerintahan

dimana suku Kurdi sudah lama mencita-citakannya. Pemerintah memberikan

otonomi khusus kepada etnis Kurdi di wilayah utara. Pemberian otonomi

khusus ini berimplikasi pada kewenangan etnis kurdi untuk mengatur sendiri

wilayah mereka di bagian utara Suriah. Langkah ini mendapatkan respon

yang keras dari pihak oposisi, seperti Free Syrian Army (FSA). Beberapa

bentrokan antara FSA dan tentara Kurdi pun tidak bisa dihindari.

6. Amerika Serikat dan Aliansi NATO

AS merupakan kelompok yang menghendaki demokratisasi di tanah

Syam ini. Sekutu-sekutunya juga memberikan dukungan yang sama kepada

rakyat Suriah untuk mendapatkan hak-hak demokrasi di negaranya. Arab

Saudi termasuk sekutunya yang melakukan proxy war di Suriah. AS dan

sekutunya sangat aktif dalam memberikan bantuan untuk para

35
pemberontak/oposisi di Suriah. AS secara terang-terangan mengumumkan

akan mengirimkan senjata untuk membantu para pemberontak dan pihak

oposisi setelah meyakini tudingan penggunaan senjata kimia oleh pihak

pasukan Bashar Al-Assad.

Ada beberapa alasan yang membuat AS ikut campur dalam situasi

politik di negara Suriah. Di satu sisi, AS menghendaki Presiden Bashar Al-

Assad untuk menyerahkan kekuasaannya dan melakukan transisi

pemerintahan. Namun, di sisi lain AS belum menemukan pengganti yang cocok

untuk mengisi kursi Al-Assad yang akan ditinggalkan. AS memiliki tiga alasan

penting yang membuat mereka tidak berpaling dari kawasan Timur Tengah

termasuk negara Suriah. Alasan pertama adalah AS berusaha untuk

mempertahankan suplai minyak murah dari kawasan Timut Tengah. Kedua, AS

memiliki tugas penting untuk menjaga eksistensi Israel atas Palestina. Ketiga,

mereka ingin mencegah munculnya kekuatan ideologis di kawasan Timur

Tengah. Suriah merupakan salah satu negara yang mendukung

kemerdekaan negara Palestina.

Kontradiksi ini sudah tentu membawa keduanya saling berhadapan

untuk mempertahankan kepentingan nasional masing-masing. Jatuhnya negara-


negara sekutu AS yang memiliki peran penting memasok minyak murah ke AS

akan mempengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri AS sendiri. AS dengan

sekutunya bersama-sama menginginkan pergantian pemimpin di Suriah.

Inggris, Prancis, Arab Saudi, Yordania,Lebanon, Qatar, dan Turki masuk

36
dalam kelompok sekutu AS, sangat aktif mendukungkelompok oposisi. 32

AS sendiri mengklaim telah memberikan bantuan humaniter ke

Suriah sebesar USD 364 juta. Total bantuan AS ke Suriah sejak 2011 hingga

2016 telah mencapai angka USD 6 Miliar. Bantuan ini diperuntukkan untuk

penanganan darurat di sana, diantaranya adalah penyediaan cadangan

makanan, obat-obatan, air minum bersih dan suplai lainnya yang berguna

untuk rakyat terkena dampak perang. 33

AS juga memainkan peran penting dalam menyokong kekuatan

persenjataan pihak pemberontak/oposisi. Bantuan senjata juga diberikan agar

pihak pemberontak/oposisi mampu memberikan serangan yang berarti untuk

pasukan pemerintah. Sekutu AS, Arab Saudi juga melakukan langkah yang

tidak jauh berbeda dengan AS. Berbagai bantuan dari Arab Saudi

digelontorkan ke Suriah guna membantu pihak pemberontak/oposisi

melakukan serangan ke pasukan pemerintah.

Arab Saudi telah mengirimkan bantuan dalam beragam bentuk, baik

itu senjata, dana, pelatihan militer, bahkan berupa iming-iming gaji yang

lebih besar bagi para pejuang FSA. Arab Saudi telah mengirimkan bantuan

senajata dalam bentuk rudal anti-tank, Tube-launched, optically-tracked,

wire guided (TOW), dimana saat itu Rusia sudah memberikan bantuan kepada

Suriah dalam mempertahankan posisi Bashar Al-Assad. Bulan Mei 2015,

Harmiyati, “Konflik Internal Suriah Dan Upaya Penyelesaian Damai,”


32

Paradigma 17, no. 2 (2018), h. 4.

Budi Wirasatya Adi, “Peningkatan Keterlibatan Amerika Serikat di Era


33

Kepemimpinan Obama dalam Konflik Suriah (2011-2016)” (2018), h. 4


37
Turki dan Arab memberikan fokus dukungan dan bantuan untuk kelompok

Jaish al-Fath, Presiden Putin dan Al-Assad pun menuding keduanya sebagai

negara pendukung utama kelompok teroris. Arab Saudi juga menekan

pemerintah Al-Assad untuk menyerahkan kekuasaannya kepada pihak

oposisi, mereka khawatir kekuasaan Al-Assad akan membuat pengaruh Iran

menyebar dan mengancam eksistensi Arab Saudi di kawasan ini. Dengan

kata lain, konflik Suriah bisa dikatakan sebagai medan proxy war untuk

kedua negara ini, yakni Iran dan Arab Saudi.

7. Kelompok Oposisi dan Pemberontak

Perang Suriah merupakan perang yang melibatkan beragam jenis

pasukan. Pasukan-pasukan yang terlibat dalam konflik ini memiliki nama

berbeda-beda dan memiliki tujuannya cara yang berbeda juga dalam mencapai

masing-masing.

Beberapa kelompok oposisi/pemberontak dengan afiliasi yang

berbeda terlibat pertempuran dengan pasukan pemerintah. Setidaknya ada

dua kelompok besar pemberontak dalam konflik Suriah ini, yakni kelompok

yang berasal dari pembelot militer Suriah dan kelompok yang berasal dari

pegiat jihad. Free Syrian Army (FSA) adalah contoh kelompok militer yang
membelot dari pemerintah Suriah yang dipimpin oleh Kolonel Ri’aad Al-

Assad. Kelompok jihadis banyak direpresentasikan oleh kelompok Negara

Islam Irak dan Suriah atau ISIS, Jabhat an-Nushra, Ahrar as Syam Kataeb,

Liwa al Tawhiid, Ahrar Souria, Halab Al Shahba, Harakah Al Fajr Al Islamiia,

Darr Al Ummah, Liwaa Jaish Muhammad, Liwa’a Al-Nasr, Liwa’a Darr Al

38
Islam dan masih banyak lagi kelompok-kelompok jihadis yang terlibat

dalam konflik Suriah. Mereka semua tersebar di beberapa kota besar di Suriah

seperti Aleppo, Damaskus, Deera, Idlib, Homs, Latakia, Hama. 34

Pergerakan jihadis dalam perang Suriah terfokus pada perebutan

sebagian besar wilayah Suriah karena kekosongan politik yang diciptakan

oleh perang. Tujuan utamanya adalah memperluas wilayah 'kekhalifahan' di


Suriah dan Irak. Jihadis berperang melawan rezim juga oposisi. Sumber

pendapatan utama mereka berasal dari perpajakan dan sumber daya di

wilayah yang dikuasainya di Suriah dan Irak.

D. Dampak Konflik Suriah

Konflik di Suriah ini telah berlangsung dari tahun 2011 sampai sekarang.

Konflik ini, bukannya dari tahun ke tahun semakin mereda, tetapi malah semakin

kompleks. Banyak pihak terbentuk dan telibat dalam konflik tersebut, baik dari

pihak pemberontak maupun pihak pemerintah serta dari dalam negeri ataupun

dari luar negeri. Berbagai senjata berat pun telah digunakan, mulai dari tank,

meriam, roket dan senjata lainnya, bahkan senjata kimia. Hal tersebut tentunya

menyebabkan berbagai dampak yang diterima atau dirasakan oleh masyarakat

sipil.

1. Krisis Keamanan

Keamanan adalah suatu keadaan dimana tidak ada ancaman yang

membebani atau mempengaruhi kehidupan masyarakat di suatu wilayah.

Keamanan merupakan salah satu faktor utama seseorang menetap atau tinggal di

34
Sherifa Zuhur, “The Syrian Opposition: Salafi and Nationalist Jihadism and Populist
Idealism,” Contemporary Review of the Middle East 2, no. 1–2 (March 2015), h. 151–152.

39
suatu daerah. Konflik Suriah yang berlangsung sampai sekarang ini pun, telah

menyebabkan ancaman bagi keamanan masyarakat.

Konflik yang menggunakan kekerasan ini pun, telah menghasilkan jutaan

nyawa melayang. Banyak rumah-rumah masyarakat sipil menjadi korban

keganasan berbagai senjata berat yang digunakan, baik dari pihak oposisi

maupun pemerintah, dengan alasan ingin merebut dan menguasai wilayah di

Suriah. Apalagi setiap harinya tak tentu kapan dan dimana serangan bom atau

pun tembakan tiba-tiba selalu dilancarkan. Hal ini tentunya menjadi suatu

kekhawatiran bagi masyarakat sipil karena sewaktu-waktu mereka pun bisa

menjadi korban dari konflik bersenjata tersebut.

Selain itu, konflik ini semakin tidak terkendali dan semakin ganas ketika

tahun 2013 serangan senjata kimia digunakan pada bulan Maret dan Agustus di

salah satu daerah di Aleppo dan Damaskus. Peristiwa ini telah menghasilkan

banyak korban meninggal dan lukaluka yang kebanyakannya adalah anak-anak.

Keberanian penggunaan senjata kimia ini menunjukkan bahwa segala cara akan

ditempuh dan digunakan oleh pihak tersebut untuk bisa menguasai wilayah,

walaupun hal tersebut telah dilarang oleh dunia internasional. Dengan demikian,

hal tersebut telah mengancam keamanan kehidupan masyarakat sipil Suriah.

2. Krisis Ekonomi

Konflik Suriah yang telah berlangsung lama dari tahun 2011 sampai

sekarang, telah terus mengalami eskalasi dari tahun ke tahun. Dampak

selanjutnya dari konflik berkepanjangan tersebut terhadap masyarakat sipil

adalah dampak ekonomi, yang mana merupakan aspek terpenting dalam

menjalani kehidupan sehari-harinya. Konflik tersebut telah menggunakan

40
berbagai macam senjata berat yang menambah kehancuran Suriah sendiri yang

akan menghambat aktivitas keseharian masyarakat sipil.

Penggunaan senjata berat, penggunaan serangan udara hingga

penggunaan senjata kimia telah menghiasi konflik di negara yang beribu kota

Damaskus ini. Penyerangan yang menggunakan senjata-senjata tersebut secara

signifikan telah menghancurkan berbagai macam infrastruktur umum negara dan

aset-aset privat termasuk kesehatan, pendididikan, energi, air, pertanian,

transportasi, rumah-rumah dan berbagai infrastruktur lainya.

Keuangan masyarakat telah memburuk sejak mulainya konflik. Defisit

fiskal meningkat dengan tajam dengan rata-rata 12% GDP selama periode 2011

sampai dengan 2014. Penghasilan total jatuh sampai dibawah 7% GDP selama

2014 sampai dengan 2015 karena robohnya penghasilan minyak dan penghasilan

pajak. Apalagi sejak awal konflik hingga tahun demi tahun, berbagai wilayah di

Suriah dikuasai oleh berbagai pihak terlibat, yaitu pemerintah, oposisi-oposisi

pemerintah, dan ISIS. Kebanyakan wilayah yang dikuasai oleh berbagai pihak

tersebut adalah wilayah yang kaya akan minyak buminya dan berbagai sektor

industri lainnya, meliputi keenam ibu kota provinsi tersebut. Akibat dari konflik

tersebut juga adalah menghambat dan menghalangi saluran produksi dan

distribusi bantuan-bantuan, putusnya persediaan air, gas dan listrik. Hal ini

menyebabkan masyarakat sipil tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari

mereka.

Pada akhir tahun 2014, menurut SCPR (Syrian Center for Policy

Research) sekitar 82% orang-orang Suriah berada dalam kemiskinan, sedangkan

2.96 juta orang telah kehilangan pekerjaan mereka karena konflik

41
berkepanjangan tersebut dan pengangguran telah mencapai 58%.

Semenjak konflik, roti sebagai makanan pokok Suriah dan berbagai

pelayanan umum telah disubsidi oleh pihak yang menguasai wilayah tersebut,

yaitu pihak pemerintah dan oposisi. Hal ini digunakan untuk meraih simpatik

dan dukungan dari masyarakat. Pemerintah selalu menyediakan roti bersubsidi

dalam jumlah yang banyak. Namun, pihak pemerintah ini menjualnya dengan

harga yang sangat tinggi. Dengan harga makan pokoknya yang semakin mahal,

khususnya di wilayah kekuasaan pemerintahan dan ISIS ini, menambah beban

ekonomi masyarakat sipil.

3. Krisis Kemanusiaan

Konflik Suriah yang telah berlangsung dari tahun 2011 sampai sekarang

ini, telah menimbulkan krisis kemanusiaan. Hal ini berawal ditunjukkan dengan

pernyataan tujuh organisasi kemanusiaan pada 22 Januari 2014, diantaranya

adalah Amnesty International, Human Rights Watch dan Oxfam, bahwa krisis di

Suriah merupakan krisis kemanusiaan terbesar di masa sekarang ini yang tidak

dapat diuraikan di dunia yang beadab. Pernyataan ini disampaikan di Forum

Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, bertepatan dengan konferensi perdamaian

Suriah di Montreux, kota lain di Suriah. Selama berjalannya konflik tersebut

telah terdapat banyak warga sipil yang menjadi korban, baik meninggal, terluka,

dan terlantar. Selain iu pula, konflik yang bisa diangap berskala besar ini telah

menimbukan gelombang pengungsi terbesar setelah Perang Dunia II.

Dari tahun ke tahun, jumlah korban meninggal semakin banyak dimana

telah mencapai 191.000 orang pada 2014 dan pada 2015 telah mencapai 250.000

orang. Dari jumlah korban tersebut jelas terlihat bahwa dari tahun ke tahun

42
jumlah korban meninggal mengalami sekalasi, sehingga apabila konflik ini tidak

segera dihentikan akan mengalami eskalasi secara terus-menerus. Selain itu,

dampak kemanusiaan lainnya adalah puluhan juta warga mengungsi, dimana

banyak masyarakat sipil mencari tempat baru yang aman, baik di kawasan

internal maupun regional, yang mana dilakukan agar terhindar dari perang

bersenjata tersebut.

4. Kehancuran kota bersejarah dan warisan dunia

Aleppo yang merupakan salah satu kota bersejarah terbesar Suriah dan

bekas pusat komersial telah hancur. Kompleks Masjid Umayyah yang kuno dan

terkenal telah dihancurkan. Kota Homs, yang merupakan kota ketiga terbesar

Suriah kini tinggal reruntuhan. Seluruh blok menjadi puing-puing dan rumah-

rumah banyak yang ditinggal penghuninya. Kemudian kota-kota yang dikuasai

pemberontak di sekitar ibu kota Suriah Damaskus seperti Jobar, Douma, dan

Harasta telah hancur dan bangunannya runtuh.

Hampir semua tempat Warisan Dunia Suriah versi Badan Pelestarian

Budaya PBB (Unesco) telah rusak atau hancur. Di antaranya termasuk di kota

sebelah utara Aleppo, kota kuno Bosra di selatan, salah satu istana abad

pertengahan yang paling penting dilestarikan di dunia Crac des Chevaliers serta

situs arkeologi Palmyra.

43
III. Kesimpulan

a. Dalam catatan sejarah Islam, Syiria pernah menjadi pusat kekhilafahan

sekaligus menjadi pusat peradaban Islam, sehingga Damaskus sebagai ibu kota

dari Syiria mendapat julukan Permata dari Timur. Penaklukan Syiria baru

dimulai pada tahun 634 M di bawah pemerintahan khalifah Abu Bakar, namun

demikian Islam nanti masuk ke Suriah pada tahun 635 M secara massal pada

masa Kekhalifaan ‘Umar bin Khattab.

b. Secara garis besar penyebab konflik di Suriah dapat dipilah menjadi dua, yaitu

pertama, berasal dari dalam negeri yakni masalah sosial, ekonomi, dan politik

dalam negeri berupa tingginya pengangguran, tingginya inflasi, terbatasnya

mobilitas sosial, merajalelanya korupsi, tidak adanya kebebasan politik,

represifnya aparat keamanan. Kedua, berasal dari luar negeri, berupa

kepentingan ekonomi, ideologi, dan politik dari berbagai negara yang memiliki

kepentingan atas negara Suriah.

c. Konflik yang berkepanjangan di negara Suriah tidak terlepas dari banyaknya

aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut, yaitu Presiden Bashar al-Assad

dan pendukungnya, negara Rusia, Iran, Turki, Amerika Serikat dan NATO,

etnis Kurdi serta kelompok oposisi dan pemberontak (jihadis),

d. Konflik Suriah yang telah berlangsung dari sejak tahun 2011 sampai sekarang

telah membawa dampak yang sangat besar terutama menimbulkan persoalan

krisis keamanan, krisis ekonomi, krisis kemanusiaan, dan hancurnya kota

bersejarah dan situs-situs warisan dunia.

44
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Budi Wirasatya. “Peningkatan Keterlibatan Amerika Serikat di Era Kepemimpinan Obama
dalam Konflik Suriah (2011-2016)” (2018).

Burchill,Scott. The National Interest in International Relations Theory. United Kingdom:


Palgrave, 2005.

Burdah, Ibnu. Konflik Timur Tengah: Aktor, Isu, dan Dimensi Konflik. Cet. I; Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008.

Burdah, Ibnu. Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi. Cet. I; Malang: Intrans Publishing,
2014.

Ghafur, Muhammad Fakhry. “Membaca Konflik Suriah,” dalam www.politik.lipi.go.id, 31


Agustus 2012.

Harmiyati, “Konflik Internal Suriah Dan Upaya Penyelesaian Damai,” Paradigma 17,
no. 2 (2018).

Heriawan dan Siti Muslikhati.“Keputusan Arab Saudi Melakukan Perang Proksi Terhadap Iran
Di Konflik Suriah Tahun 2011-2018” (2018).

Muhammad, Mahadhir. “Kebijakan Politik Pemerintahan Bashar Al- Assad di Suriah” no. 1
(2016).
Mariwala, Arnav. “The Syrian Civil War Regime of Bashar Al Assad,” Stanford Model United
Nations Conference (2014).

Muti’ah, Siti. “Pergolakan Panjang Suriah: Masih Adakah Pan-Arabisme dan Pan-Islamisme?”
dalam Jurnal CMES Volume V Nomor 1. Edisi Juli - Desember 2012.

Noor, Ibrahim. “Analisisi Intervensi Rusia dalam Konflik Suriah,” eJournal Ilmu Hubungan
Internasional 2 (2014).

Novita, Indah “Analisa Kebijakan Luar Negeri Iran Dibawah Kepemerintahan Presiden
Hassan Rouhani Terhadap Perang Suriah Melalui Pendekatan Birokrasi”.

Ramadhan, Mino. “Kebijakan Turki Terhadap Suriah dalam Memerangi Kelompok Terorisme
ISIS (Islamic State Iraq and Syria) Tahun 2004”. no. 2. (2016).

Rendra, Dwi Suta Mentari “Keterlibatan Turki Dalam Konflik Suriah Pada Tahun 2011-2012,”
Jurnal Analisis Hubungan Internasional 6, no. 2 (2017).

Sahide, Ahmad. Gejolak Politik Timur Tengah. 1st ed. Yogyakarta: The Phinisi Press, 2017.
45
Sekarwati, Suci. “4 Hal Yang Membuat Assad Bertahan Selama 7 Tahun Perang Suriah,”
Tempo, 14 April 2018, diakses tanggal 11 July 2019,
https://dunia.tempo.co/read/1079541/4-hal-yang-membuat-assad- bertahan-selama-
7-tahun-perang-suriah.

Sulaeman, Dina Y. Praha Suriah: Membongkar Persekongkolan Multinasional. Depok: IMaN,


2013.

Svensson, Birgit. “Peran Iran dalam Perang Suriah,” DW.COM, diakses tanggal 2
Novemeber 2021. https://www.dw.com/id/peran-iran-dalam-perang- suriah/a-
16610186.

Zuhur, Sherifa. “The Syrian Opposition: Salafi and Nationalist Jihadism and Populist Idealism,”
Contemporary Review of the Middle East 2, no. 1–2 (March 2015).

www.britannica.com. “Syrian-Civil-War,”. Diakses tanggal 19 November 2021.

www.voa-islam.com. “Diskusi terbuka: inilah pandangan Joserizal tentang konflik Suriah.”


Diakses tanggal 3 November 2021.

46
47

Anda mungkin juga menyukai