Anda di halaman 1dari 19

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA

KHULAFAURRASYIDIN (632-667 M)

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Nabi SAW telah


merealisasikan pedoman dasar dari Al-Qur’an kedalam kehidupan
masyarakat dengan keteladanan. Ketika di Mekah, Nabi SAW
menyampaikan tiga pesan penting, yakni 1) tauhid; 2) humanisme;
dan 3) adanya kehidupan akhirat. Sedangkan di Madinah, Nabi SAW
menyampaikan pesan/ajaran tentang prinsip-prinsip kehidupan
bermasyarakat seperti pembentukan umat, persatuan dan
persaudaraan, persamaan, kebebasan, hubungan antar pemeluk
agama, pertahanan, dan sebagainya.

Dalam waktu singkat, ajaran Islam sudah membawa perubahan


yang signifikan di kalangan masyarakat. Setelah Nabi SAW wafat di
Madinah pada 11 Hijriah (632 M), tugas-tugas agama dan
kenegaraan diteruskan oleh para penggantinya (khulafa). Para
penggantinya ini dikenal dengan sebutan Khulafaurrasyidin, yang
berarti khalifah yang mendapat petunjuk. Keempat khalifah tersebut
memerintah kurang lebih selama 30 tahun lamanya, mulai dari 11-
40 Hijriah (632-661 M).

Para khalifarurrasyidin lebih memprioritaskan dirinya kepada hal-hal


yang lebih praktis dengan langkah yang sama; memegang kitab
Allah, sunah Allah serta ijtihad, baik secara kolektif maupun
perorangan.

a. Bidang Politik

Pada masa khlifah rasyidah, kekhalifahan bersifat murni dan ideal


karena kekhalifahan mereka benar-benar mengurus persoalan kaum
Muslimin, dunia dan ukhrawi, secara utuh berdasarkan petunjuk Al-
Qur’an dan Al-Sunnah.

b. Bidang Ekonomi

Terdapat tiga prinsip ekonomi Islam yang diemban oleh para


khalifah Rasyidin:
1. Pengakuan terhadap kepemilikan individu berikut penggunaannya.
2. Kepemilikan pribadi itu harus dipertanggungjawabkan kepada Allah
SWT.
3. Harta itu harus disalurkan kepada kaum fakir miskin atau yang lebih
membutuhkan.
Sumber-sumber perekonomian Islam antara lain zakat, kharaz,
izyah, ghanimah, fae, al-usyur, dan sebagainya.

c. Kehidupan Sosial

Islam hadir ditengah-tengah masyarakat dengan ajaran yang dapat


merangkul semua lapisan masyarakat dengan mempertalikan antara
suatu keluarga dengan masyarakatnya.

d. Hubungan Antarnegara

Dalam bidang politik, Islam mencetuskan sistem perjanjian,


konsulat, suaka politik dan tulisan-tulisan penyiaran Islam. Dalam
lapangan kebudayaan dan peradaban, Islam mengizinkan kaum
Muslimin berakulturasi dengan pihak lain termasuk dalam
berbahasa, selama kedamaian dapat ditegakkan.

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI ARAB PADA MASA DINASTI


AMAWIYAH I DAMASKUS (661-750 M)

Pasca peristiwa tahkim antara Ali dan Muawiyah, terbentuklah


Dinasti Umayyah. Yang mengakibatkan lengsernya kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib. Jalaludin Asyuyuti menjelaskan bahwa dengan
jatuhnya khalifah Ali dari kursi kekhalifahan, maka di mulailah
Dinasti Umayyah menancapkan kekuasaannya yang dipelopori oleh
Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai tokoh utamanya. Muawiyah
tampil sebagai penguasa pertama dari Dinasti Umayyah.

Dinasti ini berkuasa selama 89 tahun (661 – 750 M). Selama kurun
waktu tersebut, terdapat 14 orang khalifah yang pernah
memerintah, yaitu:

1. Muawiyah bin Abu Sufyan (661 – 680 M)


2. Yazid bin Muawiyah (680 – 683 M)
3. Muawiyah II (683 M)
4. Marwah Ibn Hakam (684 – 685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (685 – 705 M)
6. Al-Walid I (705 – 715 M)
7. Sulaiman (715 – 717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (717 – 720 M)
9. Yazid II ( (720 – 724 M)
10. Hisyam (724 – 743 M)
11. Al-Walid (743 – 744 M)
12. Yazid III (744 M)
13. Ibrahim (744 M)
14. Marwah II bin Muhammad (744 – 750 M)
Semua khalifah pada Dinasti Umayyah, tidak ada yang diangkat
melalui Majelis Syuro, melainkan menggunakan sistem waris
(monarchi heridetis).

a. Islam dan Pembentukan Peradaban Dunia

Menurut Effat Al-Sharqawi, peradaban merupakan sesuatu yang


terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi. Dalam konteks
peradaban ini, perlu dipertanyakan pengertian peradaban Islam
yang sesungguhnya. Karena, pada kenyataannya tidak hanya orang
Islam saja yang turut membentuk peradaban Islam pada masa
Dinasti Umayyah, melainkan banyak orang non-Muslim yang turut
ambil bagian dalam proses membangun peradaban tersebut .apabila
peradaban Islam lebih diartikan sebagai peradaban kaum Muslimin,
tidak tepat juga, tapi jika atribut Islam terhadap peradaban ini lebih
dititikberatkan kepada Islam sebagai agama yang paling dominan
pada masa itu, dan syariat Islam adalah satu-satunya pengikat bagi
bangsa-bangsa di Dunia Islam adalah dapat diterima.

b. Pembentukan Tata Politik Islam-Arab

Mengenai sejarah pembentukan tata politik Islam pada masa Dinasti


Umayyah, banyak dari ahli sejarah yang mengakui sejak berdirinya
dinasti ini sudah tampak tata politik yang berbeda dengan khalifah
rasyidah yang empat. Umayyah lebih menonjolkan gaya politik
Arabnya. Oleh karena itu, pada awal pembentukannya dinasti ini
membagi wilayah kekuasaannya kepada lima front kekuasaan
politik, yaitu:
1. Front Jazirah Arabia yang meliputi Hijaz, Yaman, Mekah dan
Madinah;
2. Front Mesir yang mencakup seluruh wilayah Mesir;
3. Front Irak yang mencakup wilayah-wilayah Teluk Persia, Aman,
Bahrain, Sijistan, Kirman, sampai Punjab India.
4. Front Asia Kecil yang mencakup wilayah Armenia dan Azerbajian;
dan
5. Front Afrika yang mencakup wilayah Barbar, Andalusia dan Negara-
negara disekitar laut Tengah.
c. Warisan Peradaban Intelektual

Pada masa Amawiyah terjadi perkembangan dalam hal sosialisasi


tradisi Arab pada seluruh lapisan sosial budaya di wilayah yang
telah ditaklukannya. Kebijakan-kebijakan Amawiyah I antara lain
adalah:

 Mengangkat orang Arab sebagai orang pertama dalam


mengembangkan kepemimpinan umat Islam di seluruh kawasan yang
mereka taklukan;
 Bahasa Arab sebagai bahasa utama umat;
 Kepentingan orang luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami
sumber-sumber Islam dituntut memahami struktur budaya Arab;
 Pengembangan ilmu-ilmu agama sudah mulai dikembangkan karena
terasa betapa penduduk-penduduk diluar Jazirah Arab sangat
memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis dan kronologis
tentang Islam.

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA DINASTI ABBASIYAH DI


BAGDAD (750 – 1258 M)

 a. Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah berkedudukan di Kota Bagdad, Irak. Dinasti ini


merupakan dinasti yang paling lama berdiri yakni antara tahun 750 –
1258 M. Secara turun temurun kurang lebih tiga puluh tujuh khalifah
pernah berkuasa di negeri ini. Ketika dinasti ini berdiri, Islam
mencapai puncak kejayaannya dalam berbagai bidang. Ditinjau dari
proses pembentukannya, dinasti ini didirikan atas dasar-dasar
sebagai berikut:

1. Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul dari


dinasti sebelumnya;
2. Dasar universal, tidak berlandaskan atas kesukuan;
3. Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas
dasar keningratan;
4. Dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat
Islam;
5. Pemerintahan bersifat Muslim moderat;
6. Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap ditangan
mereka.
b. Faktor Pendukung Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah berdiri karena adanya faktor-faktor pendukung,


anatara lain:

1. Timbul pertentangan politik anatara Muawiyah dengan pengikut Ali


bin Abi Thalib (syi’ah);
2. Munculnya golongan Khawarij;
3. Timbulnya politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara
damai (tahkim);
4. Adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan
pada Al-Qur’an dan oleh golongan Khawarij orang Islam non-Arab;
5. Adanya konsep hijrah di mana setiap orang harus bergabung
dengan golongan Khawarij dan yang tidak bergabung dianggap kafir;
6. Bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syi’ah terhadap
Umayyah;
7. Munculnya paham mawali, yaitu paham tentang perbedaan antara
orang Islam Arab dengan non-Arab.
c. Alasan Ideologis Dinasti Abbasiyah

Secara turun temurun, pemberian nama Abbasiyah merujuk kepada


nenek moyang ari Al-Abbas, Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad
SAW. Hal ini menunjukan kedekatan keluarga antara Bani Abbas
dengan nabi. Oleh karena itulah, kedua keturunan ini sama-sama
mengklaim bahwa jabatan khalifah harus berada di tangan mereka.
Keluarga Abbas mengklaim bahwa setelah wafatnya Rasulullah
SAW, merekalah yang merupakan penerus dan penyambung
keluarga Rasul.

d. Revolusi Abbasiyah

Muhammad bin Ali bin Abbas memulai pergerakannya dengan


strategi awal yang penting, yaitu: pertama, membuat propaganda
untuk menghasut rakyat agar membenci Umayyah, serta
menanamkan ide baru tentang hak kekhalifahan. Kedua,
membentuk faksi-faksi Hamimah, faksi Kufah dan faksi Khurasan.
Ketiga, ide tentang persamaan antara orang Arab dan non-Arab.

Strategi tersebut berhasil dilakukan. Propaganda yang dilakukan


oleh Abu Muslim al-Khurasani adalah bahwa al-Abbas termasuk
Ahlul Bait, sehingga berhak menjadi khalifah.

Setelah Muhammad bin Ali bin Abbas meninggal tahun 743 M,


perjuangan pergerakan selanjutnya dilanjutkan oleh saudaranya,
Ibrahim sampai tahun 749 M. kemudian sejak tahun 749 M Ibrahim
menyerahkan puncak pimpinan kepada Abdullah bin Muhammad
selaku keponakannya. Pada masa inilah Revolusi Abbasiyah
berlangsung.

e. Kemajuan dan Kemunduran Dinasti Abbasiyah

Kemajuan

Pada masa Dinasti Abbasiyah terjadi kemajuan dalam berbagai


bidang kehidupan, seperti terbentuknya lembaga pendidikna, terjadi
gerakan keilmuwan yang banyak melahirkan para ilmuwan-ilmuwan
muslim terkenal. Pada masa ini pula, ilmu dan metode tafsir
berkembang terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir al-matsur
dan tafsir bil ra’yi.

Dalam bidang fiqh telah terlahir ulama fiqh terkenal, yaitu Imam
Hanafi (700 – 767 M), Imam Maliki (713 – 795 M), Imam Syafi’I (767 –
820 M) dan Imam hambali (780 – 855 M)

Kemunduran

Faktor-faktor yang menyebabkan Dinasti Abbasiyah mundur adalah


sebagai berikut:

1. Konflik internal.
2. Kehilangan kendali dan munculnya daulat-daulat kecil.
Akibat melemahnya khalifah pusat, sedikit banyak telah menggoda
penguasa daerah untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Dalam keadaan yang penuh dengan kekacauan dan penyimpangan
inilah datang Hulagu Khan dari bangsa Mongol dengan tentara
Tartarnya pada tahun 1258 M menghancurkan Bagdad dan
berakhirlah kekuasaan Dinasti Abbasiyah.

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI SPANYOL DAN SYCILIA

A. Peradaban Islam di Spanyol

• Proses Kehidupan Sosial-Politik di Spanyol

Setelah menjadi bagian dari wilayah Islam, spanyol diperintah oleh


wali gubernur yang diangkat langsung oleh pemerintah pusat Bani
Umayyah I di Damaskus. Pada periode awal, secara umum
pertumbuhan penduduk di wilayah ini rupanya masih diwarnai oleh
berbagai gangguan dari luar (raja-raja kristen) serta konflik internal.
Konflik ini tampaknya berhubungan erat dengan efek dari kebijakan
awal pemerintah bani Umayyah I di Damaskus dalam mengatur
kependudukan baru umat Islam dalam menempati wilayah bari di
Spanyol.

Secara umum tampak persaingan antara koloni-koloni asal Afrika


Utara dan koloni negeri-negeri Timur, dan pihak Damaskus secara
tersembunyi sepertinya lebih mengutamakan koloni asal Arab.
Secara umum, Dinasti Amawiyah II Spanyol terbagi kedalam lima
tahap perkembangan:

1. Masa migrasi penduduk dan konsolidasi politik (711 – 755 M);


2. Masa pertumbuhan dan pembinaan sekitar tahun (756 – 852 M);
3. Masa krisis dan masa pemberontakan (852 – 912 M);
4. Masa kegemilangan (912 – 976 M);
5. Masa kelemahan dan kejatuhan (976 – 1031 M).
• Masa Konsolidasi Politik Dinasti Amawiyah II

Antara tahun 711 – 755 M, berbagai macam gangguan sisa musuh-


musuh Islam, raja-raja Kristen dari daerah pedalaman Spanyol
masih merupakan gejala umum yang mudah ditemui. Raja-raja
Kristen yang sudah ditaklukkan dan terusir ke wilayah utara acap
kali dan setiap saat memberikan berbagai macam anacaman politik.
Periode konsolidasi penduduk oleh para amir ini kelak berakhir
dengan datangnya Abdurahman Al-Dakhili ke Spanyol pada tahun
755 M.

Pada tanggal 15 Mei 756 M, Abdurahman Al-Dakhil akhirnya


memproklamasikan berdirinya Imarah Umayyah II di Andalusia.
Sebelumnya, ternyata ada juga beberapa gubernur di Andalusia
khususnya saat dipegang oleh Yusuf bin Abdurahman Al-Fihry dan
suku Mudari, telah melakukan aviliasi di bawah kekuasaan Bani
Abbas di Bagdad, walaupun pada akhirnya ia melakukan bai’at
terhadap Al-Dakhil.

Sistem pergantian kepemimpinan di Spanyol tidaklah jauh berbeda


dengan sistem yang berlaku pada Amawiyah I di Damaskus, yakni
dengan jalan para amir yang sedang berkuasa sudah menunjuk dan
menentukan untuk penggantinya.

Tradisi seperti ini, tampaknya sudah bukan ciptaan tradisi Arab lagi
tapi mungkin berasal dari Romawi yang bisaa disebut monarki
absolut.

• Lembaga-lembaga Pemerintahan

Pemerintahan pusat di Andalusia dalam menjalankan roda


pemerintahannya dibantu oleh beberapa lembaga pemerintahan dan
secara subtantif lembaga tersebut tidak jauh berbeda dengan
lembaga yang pernah ada di pemerintahan sebelumnya, ketika
masih di bawah kekuasaan Amawiyah I di Damaskus. Tetapi sejak
Al-Dakhil berkuasa ia melakukan perubahan fungsi dan status
kelembagaan yang ada, sesuai dengan kebutuhan penataan wilayah
dan masyarakatnya, yang utama karena untuk diselaraskan dengan
kepentingan penataan politiknya.

Pada masanya, ada pembagian bidang untuk fungsi dari para wazir,
yakni:

1. Wazir mengurusi kehartabendaan Negara;


2. Mengurusi Negara/surat menyurat;
3. Mengurusi pengaduan tindakan madzalim/hukum;
4. Mengurusi pelabuhan, sekarang syahbandar pelabuhan dan
perhubungan laut.
Untuk menjalankan pemerintahan daerah, amir pusat menunjuk
seorang gubernur untuk mengurusi daerah tersebut. Para wali
wilayah ini juga dibantu oleh lembaga ketertiban dan keamanan
masyarakat yang disebut:

1. Shahib Al-Shurthah, badan untuk menangani keamanan dan


ketertiban sosial;
2. Shahib Al-Madzalim, badan yang bertugas menampung pengaduan;
3. Shahib Al-Muhtasib, badan yang bertugas dalam bidang
pengawasan kesusilaan, perjudian, perdagangan, dan takaran.
• Perubahan Pemerintahan Imarah ke Khilafah

Sejak masa Al-Dakhil 756 M, istilah “ke-Amiran” sebagai sistem


pemerintahan masih digunakan. Kemudian, istilah ini diubah
menjadi “kekhalifahan” pada masa Abdurahman Al-Nashir lidinillah
pada hari Jum’at, 16 januari 929 M. perubahan ini dalam wacana
pemerintahan, memiliki arti yang sangat luas dan fundamental baik
dalam kapasitas politis maupun filosofis.

Sejalan dengan perubahan status politik dari Imaroh ke Khalifah


secara teknis dan formal seluruh kelembagaan yang selama ini
sudah ada, tidaklah mengalami perubahan yang signifikan. Akan
tetapi, peran dan fungsi serta statusnya tampaknya telah mendapat
prioritas utama. Karena seluruh sistem kelembagaan tersebut
sangat terkait dengan peran status ke-khalifahannya.

Secara umum, baik pada masa Imarah maupun kekhalifahan


Amawiyah II di Andalus, menjadi seorang qodhi tetap dianggap
sebagai jabatan yang cukup tinggi. Kewenangan sangat
independen, tidak terikat dengan kepentingan para khalifahnya.
Secara moral para khalifah tidak berani mengatur keputusan
hukum, kecuali kepada para hijabat dan wijarat-nya, di mana
seluruh kewenangannya selama ini berada langsung di bawah
kendali khalifah.

Tugas kelembagaan Negara pada masa kekhalifahan di Andalusia


adalah sebagai berikut:

1. Qodhi al-Jama’ah bertugas untuk mengurusi hukum di pemerintahan


pusat.
2. Shahib al-Syurthah bertugas untuk mengurusi masalah kriminal
serta maslah sosial lainnya.
3. Muhtasib bertugas untuk melayani berbagai kepentingan umum,
terutama yang berkaitan erat dengan hal yang menyangkut amar
ma’ruf nahi munkar.
4. Hijabat dan Wizarat bertugas menangani permasalahan yang
menyangkut masyarakat sipil saja.
5. Militer bertugas untuk menjaga kedaulatan dan kesejaheraan akan
keamanan seluruh penghuni daerah yang sedang dikuasai. Struktur
militer pada masa itu adalah: lima ribu tentara yang dipimpin oleh
seorang amir. Dari masing-masing lima ribu tentara itu, dibagi kedalam
seribu pasukan (kutaibah). Setiap seribu personil dibagi lima, masing-
masing dua ratus personil yang bergelar al-qism. Tiap dua ratus
personil dibagi lima kelompok lagi dengan jumlah masing-masing
empat puluh orang. Dari empat puluh orang itu dipimpin oleh seorang
‘arif, dibagi lagi kedalam lima kelompok dengan masing-masing
delapan orang personil.
• Masa Kemunduran Amawiyah II

Penyebab kemunduran Dinasti Amawiyah II adalah sebagai berikut:

1. Adanya keretakan antara kelas atas dan bawah di mana tidak


adanya komunikasi politik yang intensif.
2. Karena secara alamiah wilayah Spanyol bergunung-gunung dan
secara demografis sudah terbentuk berbagai komunitas politik
kesukuan.
Kedua hal inilah yang menyebabkan kemunduran Dinasti Amawiyah
II.

• Otonomi Raja-raja Kecil di Spanyol

Sebagian besar dari para raja-raja kecil itu adalah dengan


menjalankan agresivitasnya dengan cara-cara mengabaikan
kesatuan umat Muslim, dan dengan mengorbankan tetangga-
tetangga mereka sendiri. Abbadiyah misalnya, dalam rangka
mengembangkan sayap kekuasaannya, tidak segan-segan
mendukung kembali Hisyam Al-Muayyad II khalifah yang sudah
digantikan untuk memimpin kembali.

• Struktur Kehidupan Sosial dan Warisan Peradaban Islam


Keragaman peradaban Islam di Spanyol sangat dipengaruhi oleh
adanya struktur kehidupan social yang beragam pula, yakni terdiri
dari etnik Barbar, Arab, Muwalladun (pribumi), Yahudi dan Kristen
serta para hamba sahaya.

Barbar kebanyakan tinggal di daerah desa-desa dan bertugas


sebagai buruh dan tani. Arab jumlahnya tidak sebanyak Barbar.
Pengaruh etnik Arab bukan saja dalam bidang politik tapi juga lebih
banyak dalam bidang intelektual dan kebudayan, seperti sastra.
Sebagain besar pengaruh Arab daalm pemerintahan Amawiyah II
dalam menciptakan peradaban Negara dan kemasyarakatan sangat
terasa. Kelompok Muwalladun merupakan kaum Muslimin keturunan
Spanyol yang jumlahnya jauh lebih banyak dari dua etnik
sebelumnya (Barbar dan Arab).

Golongan Kristen Spanyol sering disebut sebagai Muzarrab, yang


tinggal di bawah naungan pemerintahan Islam. Mereka umumnya
tinggal di kota-kota atau di pinggir-pinggir kota. Sementara itu,
golongan Yahudi tidaklah sebanyak Kristen, tetapi mereka memiliki
tradisi agama yang sangat kuat. Mereka lebih banyak
menyumbangkan bidang intelektualnya, teruama dalam hal filsafat.

B. Peradaban Islam di Sycilia

• Sejarah Masuknya Islam di Sycilia

Pada masa ekspedisi Islam zaman Umar bin Khattab (634-644 M),
Sycilia masih berada di bawah kekuasaan Byzantium. Mereka
menjadikan Sycilia sebagai markas untuk menyerang orang-orang
Arab yang saat itu sudah menguasai Barqah (Libia sekarang). Umar
bin Khattab tidak menghendaki untuk menaklukan wilayah ini. Baru
pada masa Utsman bin Affan (644-656 M), usaha penaklukan sudah
mulai dilakukan oleh gubernurnya di Damaskus yakni Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, dengan pimpinan pasukan Mu’awiyah bin Khudaij.
Sekalipun mennemui kegagalan, ia telah berhasil merampas harta
kekayaan perang dari pasukan Byzantium.
Pada masa selanjutnya terus dilakukan penyerangan terhadap
wilayah ini. Penaklukan-penaklukan itu dilakukan pada masa Dinasti
Amawiyah I Damaskus seperti masa Abdul Malik bin Marwan (685-
705 M), Gubenrur Musa bin Nushair tahun 704 M dan tahun 710 M,
Bishr bin Safwan 727 M, Muntasir bin Al-Hadits 729 M, Abdul Malik
bin Qathan 730 M, dan putranya Abdurahman bin Abdul Malik 753 M.
Melihat serangan umat Islam terhadap Sycilia terus dilakukan,
maka Constantine V sebagai kaisar Byzantium menetapkan pusat
ketentaraannya di wilayah ini.

• Sycilia Pada Masa Dinasti Aghlaby

Pada masa Aghlaby (903-909 M), Sycilia diperintah oleh lima orang
amir, dan yang terakhir Ahmad bin Abi Husain. Selama masa enam
tahun Berjaya, amir-amir Aghlaby telah berhasil menciptakan mata
uang sendiri. Struktur keamirannya sama seperti daerah lainnya,
hanya di sini lembaga Majelis pelabuhan yang dikenal dengan
majelis jama’ah terdiri dari dri ketua kelompok bangsawan, qadhi,
hartawan, ketua birokrat dan sebagainya.

Pada masa ini tercipta lima kategori mengenai tanah, yaitu:

1. Tanah orang Islam yang sudah dimiliki ketika ia belum Islam,


baginya seluruh penghasilan;
2. Tanah orang kafir dikenakan pajak;
3. Tanah yang terus menerus harus membayar pajak baik dari
kalangan muslim atau kafir;
4. Tanah hibah yang diberikan kepada para tentara yang ikut berjuang
menaklukkan wilayah tersebut; dan
5. Tanah milik pemerintah
• Sycilia Masa Dinasti Fatimiyah

Pada tahun 914 M, Ziyadatullah bin Quthub muncul di Palermo dan


menolak kehadiran Dinasti Fatimiyah di Sycilia. Ia berafiliasi kepada
khalifah Abbasiyah di Bagdad. Ia juga adalah penganut mazhab
sunni dan dekat dengan keluarga Aghlaby, serta mendapat
sokongan yang kuat dari para ulama-ulama mazhab Maliki.

Pada tahun 917 M, Ubaidillah Al-Mahdi Al-Fatimy akhirnya melantik


Salim bin Rasyid sebagai amir di Sycilia. Ia memerintah selama 20
tahun. Pada masa kekhalifahan Al-Mansur Al-Fatimy, akhirnya
Sycilia jatuh ke tangan keluarga Arab Suku Kalb. Sejak masa
pemerintahan Fatimiyah, kehidupan social secara demografi tidak
banyak mengalami perubahan yang signifikan. Penduduk Islam
masih bertumpu di wilayah Val di Mazarra saja, dan mayoritas
Kristen tertumpu di bagian timur, yakni Val Demone.

• Sycilia Masa Dinasti Kalby

Keluarga besar Al-Kalbymewakili Dinasti Fatimiyah di Tunisia.


Pemimpin utamanya adalah Hasan bin Ali Al-Kalby. Keluarga ini
memerintah sekitar 90 tahun (958-963 M). Antara tahun 1037-1038
M tentara Byzantium terus menerus melakukan penyerangan
terhadap keluarga besar Al-Kalby, dan mereka membentuk pasukan
dengan bantuan orang Sycilia sendiri, Rusia dan Norman. Sejak
tahun 1041 M hamper semua kota Sycilia telah ditaklukannya. Pada
tahun 1044 M, Hasan disingkirkan dan sejak saat itulah keluarg
Kalby sebagai dinasti di Sycilia berakhir.

PERADABAN ISLAM DI AFRIKA UTARA

a. Sejarah Masuknya Islam di Afrika Utara

Proses perluasan kekuasaan Islam sempat terhenti berkenaan


dengan terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H.
Pada saat Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa penuh di Damaskus,
reorganisasi pemerintahan terus dilakukan, termasuk kelanjutan
perluasan wilayah kekuasaan Islam. Dengan diangkatnya Amr bin
Ash sebagai Gubernur Mesir, kebijaksanaan memperluas wilayah
kekuasaan Islam akhirnya dihidupkan kembali. Pada tahun 50 H,
sebuah kawasan di wilayah Afrika Utara dapat dikuasai oleh kaum
Muslimin di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi.

b. Dinasti Murabithun

Gerakan Al-Murabithah didirikan oleh suku Lamtunahaaa, yakni


kelompok suku nomade Barbar yang mendiami Gurun Sahara antara
Maroko bagian selatan, tepi sungai Sinegal hingga Singai Niger.
Secara kronologis, gerakan Al-Murabithun diawali ketika seorang
pemimpin suku Lamtunah bernama Yahya bin Ibrahim Al-Jaddali
melakukan perjalanan haji ke tanah suci. Akibat perjalanan itu, ia
menyadari akan perlunya perbaikan dalam bidang agama bagi
rakyatnya. Dalam perjalanan pulang dari Mekah, di suatu tempat
yang bernama Naflis, ia bertemu dengan seorang guru sufi bernama
Abdullah bin Yasin al-Jazuli. Selanjutnya Yahya berhasil mengajak
Ibnu Yasin untuk bersedia mengajarkan agama yang benar kepada
rakyatnya.

Namun demikian, dakwah dan ajaran agama yang disampaikan Ibnu


Yasin kurang mendapat sambutan karena hanya diikuti oleh tujuh
atau delapan orang saja, dua orang diantaranya bernama Abu Bakar
bin Umar. Oleh sebab itu, Ibnu Yasin mengajak beberapa orang
menuju sebuah pulau di Senegal, dan disanalah ia bersama dengan
para pengikutnya mendirikan ribbath. Dari sinilah awal mula
penamaan Al-Murabbithah, sedangkan para pengikutnya disebut Al-
Murabithun.

Kemajuan yang dicapai oleh Dinasti ini ialah ketika gerakan itu
dipimpin oleh Yusuf bin Tasyfin sejak tahun 453-498 H. yusuf menjdi
satu-satunya penguasa Al-Murabithah yang merupakan daulah
Barbar pertama yang mampu menguasai sebagian besar daratan
Aafrika Utara bagian Barat.

Diantara penguasa Al-Murabithah, haya Yusuf bin tasyfin dan


puteranya Ali bin Yusuf yang membuat daulah Al-Murabithah mampu
mencapai puncak kejayaannya. Para pengganti mereka, umumnya
merupakan pimpinan yang lemah sehingga tidak mampu bertahan
lama sebagai penguasa, apalagi membawa kemajuan-kemajuan bagi
daulah ini. Iniah yang menyebabkan kehancuran/kemunduran dari
daulah Al-Murabithah.

c. Dinasti Muwahhidun

Kelahiran Al-Muwahhidun sedikitnya dilatarbelakangi oleh


terjadinya stagasi dalam pemikiran para pengikut Imam Maliki saat
itu yang menyatakan bahwa tafsir Al-Qur’an dan Hadits tidak
diperlukan lagi bagi setiap Muslim karena hal itu telah dilakukan
oleh Malik sendiri.

Pada tahun 1100 M, Ibnu Tumart kembali ke Maroko dan dengan


semangat dakwah yang berkobar ia mempopulerkan ajaran
pemurnian akidah berdasarkan tauhidullah. Ternyata ajaran itu
cukup mendapat sambutan dan sekaligus menjadi alternative pola
hidup dan pemikiran keagamaan bagi setiap Muslimin saat itu.
Dalam upaya menggalang para pengikutnya, Al-Muwahhidun
memiliki garis politik sebagai berikut:

1. Rakyat Al-Muwahhidun merupakan satu kesatuan social yang


beriman secara benar. Sedangkan orang-orang diluar mereka adalah
kafir.
2. Kesatuan social dalam Al-Muqahhiduin dipimpin oleh imam. Imam
pertama adalah Al-Mahdi.
3. Al-Mahdi dibantu oleh dewan sepuluh.
4. Dewan sepuluh anggotanya terdiri dari perwaklan cabang suku
Barbar.
5. Di samping dewan sepuluh ada juga dewan tujuh pulau sebaga
anggota majelis rakyat.
Berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh daulah Al-Muwahhidan
adalah sebagai berikut:

1. Dalam bidang politik, menguasai wilayah Atlantik sampai ke daerah


teluk Gebes.
2. Dalam bidang ekonomi, berhasil menjalin hubungan perdagangan
dengan beberapa daerah lain.
3. Dalam bidang arsitektur, banyak menghasilkan karya-karya dalam
bentuk monumen.
4. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat, banyak melahirnkan
para filosof.
Sejak Al-Muwahhidah dipegang oleh Muhammad Al-Nashir, tampak
mulai melemah karena Al-Nashir tidak mempunyai pandangan serta
wawasan politik yang luas seperti para pendahulunya.

Pada zaman Al-Mustanshir, daulah Al-Muwahhidah mulai mengalami


masa kemunduran dan kesuraman. Terlebih setelah Al-Muntashir
wafat pada tahun 1221 M timbullah perpecahan di kalangan
pembesarnya yang menyebabkan kehancuran daulah Al-
Muwahhidah.
d. Dinasti Fatimiyah

Pada tahun 874 M muncullah seorang Yaman yang bernamna Abu


Abdullah Al-Husein yang kemudian menyatakan sebagai pelopor Al-
MAhdi. Abu Abdillah Al-Husein kemudian pergi ke Afrika Utara dank
arena pidatonya yang sangat baik ia berhasil mendapat dukungan
dari suku Barbar Ketama. Selain itu, ia mendapat dukunga dari
seorang gubernur Ifrikiyah yang bernamna Zirid. Philip K Hitty
menyebutkan bahwa setelah mendapat dukungan ia menulis surat
kepada Imam Ismailiyat untuk dating ke Afrika Utara yang
kemudiain Said diangkat menjadi pimpinan pergerakan. Tahun 909
M, Said berhasil mengusir Zaidatullah, seorang penguasa Aghlabid
terakhir untuk keluar dari negerinya. Kemudian Said
memperoklamasikan menjadi imam pertama dengan gelar Ubaidillah
Al-Mahdi. Dengan demikian, berdirilah pemerintahan Fatimiyah
pertama di Afrika Utara dan Al-Mahdi menjadi khalifah pertama dari
Dinasti Fatimiyah yang bertempat di Raqpodah daerah Al-Qayrawan.

Sumbangan dinasti ini bagi peradaban dunia adalah dalam sistem


pemerintahan maupun dalam bidanag keilmuwan. Kemajuanterlihat
pada masa kekhalifahan Al-Aziz yang bijaksana diantaranya adalah
dalam bidang, pemerintahan, filsafat, keilmuwan dan kesusastraan,
ekonomi dan sosial, dll.

Setelah Al-Aziz meninggal, Abu Ali Mansur yang baru berumur


sebelas tahun diangkat menjadi khalifah dengan gelar Al-hakim.
Kebijakan Al-Hakim telah menimbulkan rasa benci kaum Dzimmi
dan Muslim non-Syiah. Banyak pemberontakan terjadi pada masa
nya sehinga mengakibatkan kemunduran pada dinasti ini.

KEMELUT DUNIA ISLAM ABAD XIV – XVI

Sejarah telah mencatat akan kekalahan/kemunduran umat Islam


ketika mendapat serangan dari bangsa Mongol yang dipimpin oleh
anak dari Jengish Khan yaitu Hulaghu Khan. Daerah-daerah yang
telah dihuni oleh umat Islam sedikit-sedikit mendapat serangan
darinya. Diantaranya adalah Transoxiana dan Khawarizm yang
diserang pada tahun 1219 M, Gazna pada tahun 1221 M, Azerbajian
pada tahun 1224 M dan Saljuk yang berada di Asia Kecil pada tahun
1243 M . Setiap daerah yang dilalui oleh bangsa Mongol mengalami
kehancuran, bangunan-bangunan yang mempunyai nilai sejarah
dihancurkan, seperti gedung sekolah, masjid musnah dibakar serta
terjadi pembantaian secara besar-besaran.

Masa kemunduran yang dialami umat Islam ditandai dengan


hancurnya Negara-negara Islam ke tagan imperialis kaum Kristen
dan hancurnya kota Bagdad yang merupakan pusat keilmuwan umat
Islam ketangan bangsa Tartar Mongol.

Pada saat bangsa Mongol yang berkekuatan kurang lebih 200.000


tentara tiba di pintu Bagdad, penguasa terakhir Bani Abbas yaitu
Khalifah Al-Mu’tashim benar-benar tidak mampu untuk
membendungnya. Pada saat ksirits tersebut, wazir Dinasti
Abbasiyah yaitu Ibnu Al-Qomi ingin mengambil kesempatan dengan
menipu khalifah. Ia mengatakan kepada khalifah, “Saya telah
menemui mereka untuk perjanjian damai. Raja Mongol yaitu
Hulaghu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu
Bakar, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan
menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali
kepatuhan”. Khalifah menerima usulan itu, namun hal itu sangat
bertolak belakang dengan kesepakatan yang telah dijanjikan oleh
wazirnya itu. Khalifah dibantai oleh Hulagu Khan.

Ada dua faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Kedua


faktor tersebut adalah sebaga berikut:

1) Faktor Eksternal

 Terjadinya perang salib


 Adanya serangan dari bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulagu
Khan
 Terjadinya bencana alam dan berjangkitnya wabah penyakit
2) Faktor Internal

 Perpecahan dan tidak adanya kesatuan politik di dalam istana


 Rasa puas diri dan kemunduran berfikir para amir
Membudayanya pola hidiup mewah dan berpoya-poya di kalangan
penguasa (hedonisme)
i
i

Anda mungkin juga menyukai