(NIM 2202063)
(NIM 2202068)
Semester: 3A
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
3. Siapa saja tokoh yang berperan penting dalam kemajuan peradaban islam pada masa
Daulah Abbasiyah?
C. Tujuan pembahasan
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang berperan penting dalam kemajuan peradaban islam
pada masa Daulah Abbasiyah
D. ABSTRAK
Dalam literatur sejarah Islam, Baghdad dikenal sebagai pusat peradaban Islam, baik
dalam bidang sains, budaya dan sastra. Kemajuan peradaban ini menghadirkan Baghdad
sebagai kota para intelektual, tidak hanya orang arab yang hadir, bangsa Eropa, Persia, Cina,
India serta Afrika turut hadir mengisi atmosfer pengetahuan disini. Masa kekhalifahan
Abbasiyah ini lah yang dikenal berkembang pesatnya pengetahuan. Pada masa ini banyak
sekali bermunculan intelektual-intelektual muslim baik dalam bidang ilmu pengetahuan
maupun ilmu agama. Dalam masa Kekhalifahan Abbasiyah keadaaan sosial ekonomi pun
berkembang dengan baik. Seperti halnya dalam bidang pertanian maupun perdagangan.
Masyarakat pada masa itu mampu mengatur tatanan kehidupannya dengan baik, hingga
dikenal sebagai negeri masyhur dan makmur. Pada masa Abbasiyah kekuasaan Islam
bertambah luas. Masyarakat dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok khusus dan kelompok
umum, kelompok umum terdiri dari seniman, ulama, fuqoha, pujangga, saudagar, pengusaha
kaum buruh, dan para petani sedangkan kelompok khusus terdiri dari khalifah, keluarga
khalifah, para bangsawan, dan petugas-petugas Negara. Dalam perkembangan ilmu
pengetahuan, para khalifah banyak mendukung perkembangan tersebut, terlihat dari
banyaknya buku-buku bahasa asing yang diterjemahkan kedalam bahasa arab, dan lahirnya
para kaum intelektual.
BAB II
A. SEJARAH BERDIRINYA DINASTI ABBASIYAH
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul Abbas Ash-Shafah,
dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad dari tahun 132-656 H (750 M-1258 M).
Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah
dikumandangkan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) setelah meninggalnya Rasulullah dengan
mengatakan bahwa yang berhak untuk berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-
anaknya.
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang merupakan
pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam
memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah
Abbas bin Abdul Muthalib. Dari nama Al-Abbas paman Rasulullah inilah nama ini
disandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan, yaitu Humaimah, Kufah, dan Khurasan.
Humaimah merupakan tempat yang tenteram, bermukim di kota itu keluarga Bani Hasyim,
baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Kufah merupakan
wilayah yang penduduknya menganut aliran Syi'ah, pendukung Ali bin Abi Thalib, yang
selalu bergolak dan ditindas oleh Bani Umayyah. Khurasan memiliki warga yang pemberani,
kuat fisik, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung terhadap
kepercayaan yang menyimpang, di sanalah diharapkan dakwah kaum Abbasiyah mendapat
dukungan.
1
Samsul Manur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2018, hlm. 472.
Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul Abbas diperintahkan untuk mengejar
khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad bersama pasukannya yang melarikan
diri, di mana akhirnya dapat dipukul di dataran rendah Sungai Zab. Pengejaran dilanjutkan ke
Mausul, Harran dan menyeberangi sungai Eufrat sampai ke Damaskus. Khalifah itu
melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir, dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Al-
Fayyum, tahun 132 H/750 M di bawah pimpinan Salih bin Ali, seorang paman Al- Abbas
yang lain. Dengan demikian, maka tumbanglah kekuasaan Dinasti Umayyah, dan berdirilah
Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abul Abbas Ash-Shaffah
dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.2
1. Masa Abbasiyah 1, yaitu semenjak lahirnya daulah Abbasiyah tahun 132 H (750 M)
sampai meninggalnya Khalifah Al-Watsiq 232 H (847 M).
2. Masa Abbasiyah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H (847 M) sampai
berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad pada tahun 334 H (946 M).
3. Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun 334 H (946 M) sampai
masuknya kaum Saljuk ke Baghdad tahun 447 H (1055 M).
4. Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad tahun 447 H (1055
M) sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan
pada tahun 656 H (1258 M).
a. Adanya gerakan rahasia (100-129H/718-756M) atau identik dengan gerakan bawah tanah
Gerakan ini dimaksudkan untuk menebarkan dan membentuk opini publik tentang keburukan
pemerintahan Umayyah.
b. Adanya gerakan secara terang-terangan yaitu dengan ditaklukanya Khurasan dan Irak yang
dikomandoi oleh Abu Muslim Al-Khurasani
Salah satu gerakan yang lahir dari keluarga bani Hasyim yang berkeinginan
mengambil alih kekhalifahan, karena alasan yang mendasar bahwa kekhalifahan sebagai
jabatan pengganti nabi harus dikembalikan kepada keluarga nabi sebagai pemilik mutlak
kepemimpinan umat Islam. Usaha pengambil peralihan kekuasaan terus dilakukan semasa
Yazid berkuasa, dimana Husein yang diklaim oleh orang Kufah sebagai Khalifah setelah
kematian Muawiyah berusaha memberontak dengan alasan bahwa kematian Muawiyah
berarti perjanjian batal, dan dia berhak atas gelar itu, namun kematian menjemputnya di
Karbala dengan pengorbanan kepalanya yang dibawa ke Damaskus. Usaha sekelompok Syiah
tidak berhenti dengan harapan bahwa Al-Mahdi yang diklaim muncul dari keturunan Ali akan
datang menyelamatkan umat Islam, mereka merorganisir dalam gerakan untuk menhancurkan
dinasti Umayyah. Di Kufah (736-740) agitasi berkobar dan dilanjutkan oleh pemberontakan
Zaid bin Ali bin Husein (740). namun upaya itu gagal.
Kegagalan yang dilakukan oleh keluarga pendukung keluarga Ali yang bermukim di
Kufah dalam pemberontakan terhadap dinasti umayyah, tidak menyurutkan keluarga nabi
Muhammad yang lain dari keturunan paman nabi yaitu Abbas ibnu Abd Mutholib. Mereka
melancarkan pemberontakan dengan salah satu pimpinannya Muhammad ibnu Ali, dengan
melakukan propaganda untuk mendukung urusan keluarga nabi dan mengambil tempat
3
Deni Putra dan Robiatun Shofiah, Sejarah Peradaban Islam, Malang, Inara Publisher,2022,
hlm .132-134.
pergolakan di Khurasan dengan alasan letaknya jauh dari Damaskus sehingga luput dari
pengamatan pemerintah pusat.
Propagandanya Muhammad ibnu Ali dibantu oleh 12 orang koordinator membawahi 150
orang juru dakwah. Mereka melancarkan seruan kebaikan keluarga bani Hasyim termasuk
memberikan pembelaan dan dukungannya terhadap keluarga Ali. Langkah yang ditempuh
dengan mengambil hati pendukung Syiah ini akhirnya, berhasil menggalang koalisi. Dengan
demikian, gerakan penentangan terhadap dinasti Umayyah merupakan gerakan koalisi antara
keluarga bani Abbas, warga Khurasan yang dipimpin oleh Abu Muslim Al Khirasani dan
pendukung Ali yang terorganisir dalam Syiah.
4
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta,Diva Press,2015, hlm . 141-143.
14. Khalifah Abu Ishaq Muhammad Al-Muhtadi (869-870 M)
Sebelum menguraikan kiprah para khalifah yang memerin- tah pada masa kekuasaan
Bani Abbasiyah, maka diawali dengan bahasan tentang periode pemerintahan berdasarkan
pandangan para ahli (atau sejarawan). Perbedaan periode ini paling tidak menjadi kerangka
konsep untuk melakukan penelusuran spesi- fik tentang masa tertentu dari kekuasaan
Abbasiyah dari sudut pandang lingkup periodisasi tersebut.
Berdasarkan sudut pandang perubahan pola pemerintahan dan politik, Bojena Gajane
Stryzewka, sang penulis buku Tarikh al-Daulat al-Islamiyah membagi masa pemerintahan
Bani Abbas menjadi lima periode, yaitu:5
Periode II (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki I.
Periode III (334 H/945 M-447 H/1055 M), periode ini disebut juga masa pengaruh Persia II.
Periode IV (447 H/1055 M-590 H/1194 M), masa kekuasaan Dinasti Bani Seljuk dalam
pemerintahan Khilafah Abba- siyah. Biasanya disebut juga masa pengaruh Turki II.
Periode V (590 H/1194M-656 H/1258 M), masa Khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain
tapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.
Pandangan lainnya yang menarik dikutip, yakni al-Khudri (Guru Besar Ilmu Sejarah
Universitas Mesir), yang membagi periode kekuasaan Dinasti Abbasiyah atas lima masa,
sebagai berikut:
1. Masa kuat-kuasa dan bekerja membangun, berjalan 100 tahun lamanya (132-232 H)
3. Masa berkuasanya Bani Buyah (Buwayhid), berjalan 100 tahun lamanya (334-447 H);
4. Masa berkuasanya Bani Saljuk (Saljuqiyah), berjalan 100 tahun lamanya (447-530 H);
5
Ahmadi, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Kencana,2022, hlm .162.
5. Masa gerak balik kekuasaan politik khalifah-khalifah Abba- siyah dengan merajalelanya
para panglima perang, selama 125 tahun (530 sampai musnahnya Abbasiyah di bawah
serbuan Jengis Khan dan putranya Hulagu Khan dari tartar pada 656 H.
Sumber lain menjelaskan bahwa kekuasaan Bani Abbasi- yah, berlangsung selama
empat periode, sebagai berikut:
Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Abbasi- yah 132 H (750 M) sampai
meninggalnya Khalifah Al-Wat- siq 232 H (847 M).
Masa Abbasiyah II, yaitu Khalifah Al-Mutawakkil pada 232 H (847 M) sampai berdirinya
Daulah Buwaihiyah tahun 334 H (946 M).
Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwai- hiyah 334 H (946 M) sampai
masuknya kaum Saljuk ke Baghdad 447 H (1055 M).
Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad 447 H (1055 M) sampai
jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada 656 H
(1258 M).
2. Para Khalifah pada Masa Dinasti Abbasiyah Mencapai Masa Keemasan yang
a. Al-Mahdi (775-785 M)
Ketika Al-Mahdi menjadi khalifah, negara telah dalam ke- adaan stabil dan mantap,
dapat mengendalikan musuh-musuh, dan kondisi keuangan pun telah terjamin. Maka dari itu,
masa pemerintahan Al Mahdi terkenal sebagai masa yang makmur dan hidup dalam
kedamaian.
b. Al-Hadi (775-786 M)
Al-Hadi adalah khalifah pengganti Al-Mahdi, yang merupakan anaknya sendiri. Pada
tahun 166 H, Al-Mahdi melantik pula anaknya lainnya, yaitu Harun ar-Rasyid sebagai putra
mahkota calon pengganti Al-Hadi. Jikalau Al-Mahdi watat, Al-Hadi dilantik menjadi khalifah
yang menggantikannya secara resmi.
Khalifah Al-Hadi adalah khalifah yang tegas, walaupun ia gemar bersenda gurau,
tetapi ini tidak melalaikannya dari memikul tanggung jawab. Seperti yang telah diketahui, ia
berhati lembut, berjiwa bersih, berakhlak baik, baik tutur katanya, senantiasa berwajah manis,
dan jarang menyakiti orang.
Harun ar-Rasyid dilahirkan di Raiyi pada tahun 145 H. Ibunya adalah Khaizuran,
mantan seorang hamba yang juga ibunda Al- Hadi. Ia telah diasuh dengan baik agar
berkepribadian kuat dan berjiwa toleransi.
Pada zaman pemerintahan Harun ar-Rasyid, boitul mal nanggung narapidana dengan
memberikan makanan yang cukup serta pakaian. Sebelum itu, Al-Mahdi juga berbuat
demikian, tetap atas nama pemberian, sedangkan Harun ar-Rasyid menjadikanny sebagai
tanggung jawab baitul mal.
4.) memajukan bidang politik pertahanan dan perluasan wilayah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah.
d. Al-Makmun (813-833 M)
la ialah anak dari Khalifah Harun ar-Rasyid yang dilahirkan pada 15 Rabi'ul Awal tahun 170
H atau 786 M. Kelahirannya bertepatan dengan wafatnya sang kakek, yaitu Musa al-Hadi,
juga bersamaan dengan masa ayahnya diangkat menjadi khalifah. Sedangkan, ibunda Al-
Makmun adalah seorang mantan hamba sahaya yang bernama Marajil.
Selain sebagai seorang pejuang yang pemberani, Al-Makmun juga sebagai seorang
pengusaha yang bijaksana. Semangat ber- karya, bijaksana, pengampun, adil, dan cerdas
merupakan sifat- sifat yang menonjol dalam kepribadiannya.
Selama menjabat sebagai pemimpin Bani Abbasiyah, Al- Makmun telah berusaha
melakukan perbaikan-perbaikan berikut:
4) Pembentukan baitul hikmah dan majelis munazarah. Baitul hikmah berfungsi sebagai
perpustakaan (daur al-kutub), yang di dalamnya turut aktif para guru dan ilmuwan, yang
aktivitasnya berupa penerjemahan, penulisan, dan penjilidan.
e. Al-Muktasim (833-842 M)
Abu Ishak Muhammad al-Muktasim lahir pada tahun 187 H. Ibunya bernama
Maridah. la dibesarkan dalam suasana ketentaraan, karena sifat berani dan minatnya menjadi
pahlawan. Pada masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Muktasim merupakan "tangan kanannya
dalam menyelesaikan kesulitan dan memin peperangan. Selain itu, Al-Makmun juga melantik
Al-Mukt sebagai pemerintah di negeri Syam dan Mesir, kemudian m tiknya pula sebagai
putra mahkota.
f. Al-Wasiq (842-847 M)
Al-Wasiq dilahirkan pada tahun 196 H. Ibunya adalah keta runan Roma bernama
Qaratis. Al-Wasiq berkepribadian jub berpikiran cerdas, dan berpandangan jauh dalam
mengurus se gala perkara. Ayahnya telah memberinya kekuasaan di Baghdad ketika Al-
Muktasim berpindah ke Samara bersama-sama deng angkatan tentaranya, kemudian
melantiknya sebagai pam mahkota calon khalifah.
Al-Wasiq telah menyandang jabatan khalifah setelah wafat dan mas Al-Muktasim,
ayahnya. Al-Wasiq adalah penguasa yang sa cakap, pemerintahannya mantap, dan penuh
perhatian la bany memberikan uang dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada masa
pemerintahannya, industri maju dan perdagangan lancar.
g. Al-Mutawakkil (847-861 M)
Pucak kejayaan Dinasti Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-
809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Ar-Rasyid memerintah, negara dalam
keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pembe-
rontakan, dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara hingga ke India.
Pada masanya hidup pula para filsuf, pujangga, ahli baca Alquran dan para ulama di
bidang agama. Didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang
dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai orang yang taat
beragama, menunaikan ibadah haji setiap tahun yang diikuti oleh keluarga dan pejabat-
pejabatnya serta para ulama, dan berderma kepada fakir miskin.
Pada masanya berkembang ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu Alquran, qira'at,
hadis, fiqh, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat mazhab fiqh tumbuh dan berkembang pada
masa Dinasti Abbasiyah Imam Abu Hanifah (meninggal di Baghdad tahun 150 H/677 M)
adalah pendiri Mazhab Hanafi, Imam Malik bin Anas banyak menulis hadis dan pendiri
Mazhab Maliki (wafat di Madinah tahun 179 H/795 M). Muhammad bin Idris Ash-Syafi'i
(wafat di Mesir tahun 204 H/819 M) adalah pendiri mazhab Syafi'i. Ahmad bin Hanbal
pendiri mazhab Hanbali (w. tahun 241 H/855 M). Di samping itu berkembang pula ilmu
filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmatika, mekanika,
astronomi, musik, kedokteran, dan kimia.
Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan
Persia ke dalam bahasa Arab, di samping bahasa India. Pada masa pemerintahan Al-
Makmun, pengaruh Yunani sangat kuat. Di antara para penerjemah yang masyhur saat itu
adalah Hunain bin Ishak, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan buku-buku
berbahasa Yunani ke bahasa Arab. Ia menerjemahkan kitab Republik dari Plato, dan Kitab
Katagori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles.6 Al-Khawarizmi (w. 850 M) menyusun
ringkasan astronomi berdasarkan ilmu Yunani dan India.
1) Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani
Abbas, bangsa- bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlang- sung secara
efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan sangat kuat
di bidang pemerintahan. Di samping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan
ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matema tika,
6
Samsul Amir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Amzah, 2018, hlm. 472.
dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di
berbagai bidang ilmu, terutama filsafat
2) Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa Khalifah Al-
Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-
karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa Khalifah Al-
Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang
filsafat, dan kedokteran pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah
adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang- bidang ilmu yang diterjemahkan semakin
meluas.7
Khalifah Harun Ar-Rasyid merupakan penguasa yang paling kuat di dunia pada saat
itu, tidak ada yang menyamainya dalam hal keluasan wilayah yang diperintahnya, dan
kekuatan pemerintahannya serta ketinggian kebudayaan dan peradaban yang berkembang di
negaranya. Khalifah Harun Ar-Rasyid berada pada tingkat yang lebih tinggi peradabannya
dan lebih besar kekuasaannya jika dibandingkan dengan Karel Agung di Eropa yang menjalin
persahabatan dengannya karena motif saling memanfaatkan. Harun bersahabat dengan Karel
untuk menghadap Dinasti Umayyah di Andalusia, sementara Karel berkepentingan dengan
khalifah yang tersohor itu untuk menghadapi Bizantium. Baghdad sebagai ibu kota
Abbasiyah tidak ada bandingan- nya ketika itu, walau dengan Konstantinopel sebagai ibu
kota Bizantium sekalipun.
Kejayaan Abbasiyah rupanya hanya sampai periode pertama, setelah itu Abbasiyah
mulai mengalami kemunduran. Di antara sebab- sebab kemunduran itu ialah pola hidup
mewah yang dijalankan oleh para khalifah Abbasiyah dan keluarganya serta para pejabatnya
karena harta kekayaan yang melimpah dari hasil wilayah yang luas, ditambah lagi dengan
industri olahan yang melimpah dan tanah yang subur serta pendapatan pajak dari pelabuhan-
pelabuhan yang menghubungkan antara dunia Barat dan Timur. Kondisi tersebut diperburuk
oleh lemahnya para khalifah, sehingga mereka berada di bawah pengaruh para pengawalnya
yang menguasai keadaan yang terdiri dari orang-orang Turki. Di samping itu adanya dinasti-
dinasti yang memerdekakan diri terhadap pemerintahan pusat, Baghdad. Bahkan dinasti-
dinasti seperti Bani Umayyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir menjadi saingan Abbasiyah.
Serangan-serangan yang dilakukan oleh pasukan salib ke Palestina yang berjalan begitu lama
7
Ibid, hlm .472.
dengan jatuh dan bangunnya pasukan muslimin memperlemah kekuasaan Bani Abbasiyah
juga.
Akhir dari kekuasaan Abbasiyah ialah ketika Baghdad. dihancurkan oleh pasukan
Mongol (656 H/1258 M). Tentara Mongol dipimpin Hulagu Khan yang berkekuatan sekitar
200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah al-Musta'shim, penguasa terakhir
Bani Abbas di Baghdad, betul-betul tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu
Khan. Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil
kesempatan dengan menipu khalifah, la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui
mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya
dengan Abu Bakr Ibn Musta'shim putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan
8
Din Muhammad Zakariya, Sejarah Peradaban Islam, Malang, Madani Media, 2018, hlm.
159-162.
menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagai- mana kakek-
kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk".
Khalifah menerima usul itu, dia keluar bersama beberapa orang pengikut dengan
membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada
Hulagu Khan, Hadiah hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Kebe-
rangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fiqh dan orang-
orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang
dikatakan wazimya ternyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh
dengan leher dipancung secara bergiliran.
Kota Baghdad dihancurkan rata dengan tanah, dan Hulagu Khan menancapkan
kekuasaan di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan serangan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya Kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja
mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari
masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan
dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengeta- huan itu ikut pula
lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
Mereka membunuh sekitar delapan ratus ribu hingga satu juta kaum muslimin di Baghdad.
Selama beberapa bulan atau dalam masa yang cukup lama, Sungai Dajlah diwarnai dengan
darah, warnanya berubah menjadi merah kebiru-biruan. Warna biru berasal dari kitab yang
banyak dibuang ke sungai. Sedangkan warna merah disebabkan oleh banyaknya darah yang
dialirkan kedalamnya. Ini berlangsung cukup lama.
Pada mulanya ibukota daulah Abbasiyah adalah al-Hasyimiyah dekat Kufah. Namun,
untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara saat awal berdiri, al-Manshur
memindahkan ibukota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad dekat bekas ibukota
Persia, Ctesiphon, pada tahun 762 M.
Baghdad terletak di pinggir Tigris. Al-Manshur sangat cermat dan teliti dalam
memilih lokasi yang akan dijadikan ibukota. la menugaskan beberapa orang ahli untuk
meneliti dan mempelajari lokasi. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang diperin-
tahkan tinggal beberapa hari di tempat itu pada setiap musim yang berbeda. Kemudian para
ahli tersebut melaporkan kepadanya tentang keadaan udara, tanah, dan lingkungan setelah
melakukan penelitian secara seksama, daerah ini ditetapkan sebagai ibukota.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Itulah sebabnya Philip K. Hitti menyebutnya sebagai kota
intelektual, menurutnya Baghdad merupakan professor masyarakat Islam.
Sebagai ibukota, Baghdad mencapai puncaknya pada masa Harun al-Rasyid walaupun
kota tersebut belum 50 tahun dibangun. Kemegahan dan kemakmuran tercermin dalam istana
Khalifah yang luasnya sepertiga dari kota Baghdad yang berbentuk bundar itu dengan
dilengkapi beberapa bangunan sayap dan ruang audensi yang dipenuhi berbagai perlengkapan
yang indah. Kemewahan istana itu muncul terutama dalam upacara-upacara penobatan
khalifah, perkawinan, keberangkatan berhaji, dan jamuan untuk para duta negara asing
(Amin, 2015: 146-147).
Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Baghdad pada masa kejayaannya sangat maju
sebagai pusat peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam berbagai
bidang kehidupan dapat disebutkan sebagai berikut:
1) Administrasi pemerintahan
5) Islamisasi pemerintahan
Rincian berbagai kemajuan tersebut dapat dilihat dari temuan Philip K. Hitti (1974:
332-416) sebagai berikut.
a.PERADABAN
Dalam banyak literatur sejarah Islam, diungkapkan bahwa Daulat Abbasiah mencapai
puncak kejayaannya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-
Ma'mun (813-833 M). Masa kepemimpinan dua khalifah ini, dalam sejarah sungguh telah
berhasil secara spektakuler mengubah kon- disi banyak hal. Tidak hanya politik,
pemerintahan, dan ekonomi yang diprioritaskan pengembangannya, tetapi juga dalam bidang
ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, bukan berarti baba khalifah lainnya tidak
berkontribusi penting dalam pro sedaya revolusi intelektual. Satu perubahan mendasar yang
patut dicacat pada periode kekuasaan Dinasti Abbasiyah, yakni pusat kegiatan Islam yang
sebelumnya bermuara pada masjid (masjid sebagai pusat pendidikan), lalu berubah dan
semakin luas lapangan pendidikannya. Sebut saja usaha pengadaan madrasah-madrasah yang
dipelopori oleh Nizhamul Muluk, merupakan bukti kemajuan intelektual masa dinasti ini.9
Madrasah yang didirikan tersebut, dapat ditemukan di Baghdad, Balkan, Naishabur, Hara,
Isfahan, Basrah, Mausil, dan kota-kota lainnya.10
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, ber- kembang ilmu pengetahuan
agama, seperti: Ilmu Al-Qur'an, qira'at, Hadis, fiqh, ilmu kalam, bahasa, dan sastra. Pada
masa Abbasiyah, empat mazhab fiqh tumbuh dan berkembang, yakni: Mazhab Hanafi yang
didirikan dan diajarkan oleh Imam Hanifah (wafat di Baghdad 150 H/677 M); Mazhab Maliki
oleh Imam Malik bin Anas (wafat di Madinah 179 H/795 M); Mazhab Syafi'i oleh
9
Ibid, hlm.162.
10
Ahmadi, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Kencana, 2022, hlm .162.
Muhammad bin Idris Ash-Syafi'i (wafat di Mesir 204 H/819 M); dan Mazhab Hambali oleh
Ahmad bin Hambal (wafat di 241 H/855 M). Berkembang pula ilmu filsafat, logika,
metafisika, metematika, ilmu alam, geografi, aljabar, aritmeti- ka, mekanika, astronomi,
musik, kedokteran, dan kimia. Al-Ma'mun (813-833 M) yang menjabat sebagai khalifah
setelah Al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa periode awal masa kekuasaan Dinasti Bani
Abbas, memprioritaskan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam. Hal ini sekaligus meni
pembeda dengan dinasti sebelumnya (Umayyah) yang j lebih berorientasi pada upaya
perluasan wilayah. Beberapa cir menonjol Dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman
Bani Umayyah, diuraikan oleh Badri Yatim, sebagai berikut:
1. Dengan berpindahnya ibukota di Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari
pengaruh Arab. Adapun Di nasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Da lam
periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat
kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan
pemerintahan dinasti ini.
2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas, ada jabatan Wazir, yang
membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada dalam pemerintahan Bani
Umayyah.
3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya
belum ada tentara khusus yang profesional.
Luasnya wilayah kekuasaan serta tangguhnya kekuatan militer suatu negeri, memang
bukan menjadi garansi dan kemutlakan bagi tegak-eksisnya sebuah pemerintahan politik.
Bahkan lamanya masa kekuasaan bukanlah indikator sebuah kematangan politik yang
permanen. Sebaliknya, dengan meminjam hukum alam (sunnatullah) pada eksistensi buah
yang menempel pada tangkai sebuah pohon, maka fase kematangan tertinggi akan disusul
oleh masa pembusukan hingga kehancuran.
Demikian halnya yang terjadi pada kekuasaan Dinasti Abbasiyah, setelah mencapai
masa kejayaan dengan sejumlah prestasi gemilang yang diraihnya, pada gilirannya
mengalami gerak menurun. Luasnya wilayah kekuasaan menyebabkan sistem kontrol antara
masing-masing elemen sulit dilakukan hing- ga akhirnya menuai masalah. Betapa tidak,
beberapa wilayah yang berhasil ditaklukkan pada masa Umayyah tidak sepenuhnya dikuasai
khalifah. Sebaliknya, hanya merupakan wilayah berstatus otonomi yang dibebankan
membayar upeti. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara de facto mereka tidak pernah
mengakui kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Loyalitas longgar para gubernur yang tercipta oleh
ketiadaan tindak lanjut penguasa akibat terlalu terlena oleh hasrat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan peradaban, rupanya menjadi bom waktu yang kelak meledak
menghancurkan sendi-sendi kekuasaan dinasti ini.
Selain itu, gejala disintegrasi juga awalnya telah dikonstruksi oleh persaingan
antargolongan. Pilihan Khalifah al-Mu'tashim terhadap unsur Turki dalam ketentaraan
umpamanya, dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada
masa al-Ma'mun. Bahkan perebutan kekuasaan antara al-Amin dan al-Ma'mun pun
dilatarbelakangi oleh persaingan antara golongan Arab yang mendukung al-Amin dan
golongan Persia yang berpihak pada al-Ma'mun.11
12
Ibid, hlm. 162.
Kekuasaan politik Dinasti Abbasiyah, mulai menurun pada perode kedua ditandai
oleh bercerai-berainya wilayah ke kuasaan dan mulai putusnya ikatan antara wilayah-wilayah
Islam Di wilayah Barat (Andalusia) Dinasti Umayyah telah bang kit dengan mengangkat
Abdurrahman Nasr menjadi khalifah (Amir Al Mukmin).
Di Afrika Utara, Syi'ah Ismailiah bangkit dan membentuk Diansti Fatimiyah dengan
mengangkat Ubaidillah Al-Mahdi menjadi khalifah dan kota Mahdiyah dekat Tunisia
dijadikan pusat kerjaan. Dengan demikian, periode ke-10 M ini, sistem kekhalifahan akhirnya
terpecah ke dalam tiga wilayah, yakni Baghdad, Afrika Utara, dan Spanyol. Selain itu, di
Mesir Muhammad Ikhsyid berkuasa atas nama Bani Abbas dan di Halab serta Moushil Bani
Hamdan bangkit. Di Yaman, kedudukan Syi'ah Zaidiyah semakin kukuh, sedangkan di
ibukota Baghdad, Bani Buwaihi berkuasa dalam praktik (de facto) dalam pemerin tahan Bani
Abbas, sehingga khalifah tinggal nama saja.
Kemunduran kekuasaan Dinasti Abbasiyah pada periode. kedua, tidak terjadi secara
spontan, tetapi terkonstruksi melalui suatu proses dan sebab yang multifaktor
memengaruhinya. Beberapa penyebab kemunduran pemerintahan Dinasti Abbasiyah di
Baghdad sebagaimana dihimpun oleh Badri Yatim24 dari berbagai sumber, dikemukakan
sebagai berikut:
1. Persaingan antarbangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang berse kutu dengan orang-orang
Persia. Persekutuan dilatarbela kangi oleh persamaan nasib kedua golongan ini pada masa
Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Dinasti Abbasiyah berdiri,
persekutuan ini tetap dipertahankan, namun orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa
Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka dan (ras) istimewa dan
mereka menganggap rendah banga non-Arab di dunia Islam.
2. Kemerosotan ekonomi
3. Konflik keagamaan
Penyebab Khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur, disebabkan oleh Perang
Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban serta
serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.13
Akhir dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah ialah ketika Baghdad dihancurkan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan, 656 H/1258 M. Hulagu Khan adalah
seorang saudara Kubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia Tenggara, dan saudara
Mongke khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat
13
Ibid, hlm. 162.
dari Cina ke pangkuannya. Baghdad dibumihanguskan dan diratakan dengan tanah. Khalifah
Bani Abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya, Al-Mu'tashim Billah dibunuh, buku-buku
yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah
warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang
ada pada buku-buku itu.
Dengan demikian, lenyaplah Dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran penting
dalam percaturan kebudayaan dan peradaban Islam dengan gemilang.14
BAB III
14
Ibid, hlm. 156-157.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Zaman pemerintahan Abbasiyah yang pertama merupakan puncak keemasan dinasti ini.
secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan
politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran, masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Disamping itu Dinasti Abbasiyah (750-1208 M) juga merupakan dinasti yang
menelurkan konsep-konsep keemasan Islam dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan.
zaman keemasan Islam yang ditandai dengan penguasaan ilmu pengetahuan di berbagai
sektor telah membawa kemakmuran tersendiri pada masyarakat saat itu. kemajuan di segala
bidang yang diperoleh Bani Abbasiyah menempatkan bahwa Bani Abbasiyah lebih baik dari
bani Umayyah di samping itu pada masa Dinasti ini banyak terlahir tokoh-tokoh intelektual
muslim yang cukup berpengaruh sampai saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Kencana, 2022, hlm .162.
Manur Amin Samsul, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2018, hlm. 472.
Muhammad Zakariya Din, Sejarah Peradaban Islam, Malang, Madani Media, 2018, hlm.
159-162.,
Putra Deni dan Shofiah Robiatun, Sejarah Peradaban Islam, Malang, Inara Publisher,2022,
hlm .132-134.