Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Nabi Muhammad SAW setelah resmi diangkat menjadi Rasulullah, menyebarkan
ajaran Agama Islam di Jazirah Arab dengan cara sembunyi-sembunyi, setelah pengikut
Agama Islam telah banyak dari keluarga terdekat Nabi dan sahabat, maka turun perintah
Allah untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan. Namun dalam penyebarannya tidak
berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam mendapatkan tantangan dari suku
Quraisy.
Sepeninggal Rasulullah SAW, kepemimpinan Islam dipegang oleh Khulafā’ al-
Rāsyidīn. Pada masa ini Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan telah
meluas  ke seluruh wilayah Arab. Meskipun Islam telah berkembang pada masa ini,  namun
juga banyak mendapat tantangan dari luar dan dalam Islam sendiri.
Berakhirlah masa Khulafā’ al-Rāsyidīn dan digantikan oleh pemerintahan Dinasti
Umayyah dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan. Pada masa pemerintahan Dinasti
Umayyah, Islam semakin berkembang dalam segala aspek hingga perluasan daerah
kekuasaan. Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka pemerintahan Islam
digantikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan Dinasti
kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas
paman Nabi Muhammad SAW.
Pada masa Dinasti Abbasiyah perkembangan Islam sangat pesat, sehingga sudah
banyak kemajuan-kemajuan telah dirasakan oleh kaum muslimin dalam masa ini berbagai
disiplin ilmu telah dilahirkan atas jasa beberapa tokoh intelektual muslim, kedokteran,
filsafat, kimia, sejarah, dan geografi, dan lain-lain.

2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah ?
2. Bagaimana perkembangan pendidikan pada era Dinasti Abbasiyah ?
3. Bagaimana ilmu-ilmu yang tumbuh dan berkembang di era Dinasti Abbasiyah ?

1
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah ?
2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan pada era Dinasti Abbasiyah?
3. Untuk mengetahui bagaimana ilmu-ilmu yang tumbuh dan berkembang di era Dinasti
Abbasiyah?

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah


Tonggak berdirinya Dinasti Bani Abbas, berawal sejak merapuhnya sistem internal dan
penguasa Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhan Dinasti Umayah di Damaskus,
maka upaya untuk menggantikannya dalam memimpin umat Islam adalah dari kalangan Bani
Abbasiyah. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn
Abdullah Ibn al- Abbas. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayyah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab
keturunan lebih dekat dengan Nabi.
Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi
perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah, mereka mengadakan
gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah.1
Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d
656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-
beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai dengan
pertumpahan darah. Meskipun kedua Dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan
tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah
Islam. Dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah, menjelang berakhirnya Bani
Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
a. Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
b. Merendahkan kaum Muslimin yang bukan Bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi
kesempatan dalam pemerintahan.
c. Pelanggaran terhadap Ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-
terangan. 
Pada tahun 132 H/750 M tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn
Muhammad,  khalifah terakhir Bani Umayyah. Atas pembunuhan Marwan, mulailah berdiri
Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah yang pertama, yaitu Abdullah ibn
Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 132-136 H/750-754 M.

1 Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009),
hlm. 149.
3
Pada awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai  pusat
pemerintahan, dengan Abu al-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah
penggantinya, Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M.) memindahkan pusat pemerintahan ke
Baghdad.

2. Perkembangan Pendidikan Islam Pada Zaman Dinasti Abbasiyyah


Pada masa Bani Abbasiyah, kebudayaan dan peradaban sudah lebih maju bila
dibandingkan dengan Bani Umayyah. Pendidikan baik ilmu naqli (agama) seperti munculnya
ilmu tauhid, hadis, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Demikian pula pengetahuan umum (ilmu
naqli) berkembang pula dengan pesatnya seperti filsafat yunani telah diterima oleh
umat. Pada permulaan Bani Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan pendidikan berkembang
dengan sangat pesat, sehingga terlahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya.
Tersebar dari kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba
menuntut ilmu pengetahuan, merawat kepusat pendidikan, meninggalkan kampung
halamanya karena cinta akan ilmu pengetahuan.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, masa Khulafaurrasyidin, dan Bani Umayyah tujuan
pendidikan hanya satu saja, keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan
mengharapkan keridhaanya. Sedangkan pada masa Bani Abbasiyah itu telah bermacam-
macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu.2
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid
(786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833 M). Kekayaan yang dimanfaatkan Harun
Arrasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi
didirikan pada masanya sudah terdapat paling tidak sekittar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi
terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada
masa inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.3
Al- Ma’mun pengganti Al- Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada
ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakan, untuk
menerjemahkan buku-buku Yunani, ia mengkaji penerjemah-penerjemah dari golongan
kristen dan penganut golongan lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu
karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait Al- Hikmah, pusat penerjemah
2 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 49.
3 Mahrus As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam, (Bandung: CV Amirco, 2002), hlm. 25.
4
yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi
perpustakaan umum dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak terdapat
di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari datang berduyun-duyun, dan
pada masa ini pula kota Baghdad dapat memancarkan sinar kebudayaan dan peradaban Islam
keberbagai penjuru dunia.
Diantara bangunan-bangunan atau sarana untuk pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah
yaitu:
a. Madrasah yang terkenal ketika itu adalah madrasah Annidzamiyah, yang didirikan oleh
seorang perdana menteri bernama Nidzamul Muluk (456-486 M). Bangunan madrasah
tersebut tersebar luas di kota Baghdad, Balkan, Muro, Tabaristan, Naisabur dan lain-lain.
b. Kuttab, yakni tempat belajar bagi para siswa sekolah dasar dan menengah.
c. Majlis Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ilmuan, para ulama, cendikiawan
dan para filosof dalam menyeminarkan dan mengkaji ilmu yang mereka geluti.
d. Darul Hikmah, gedung perpustakaan pusat.4

1) Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam


Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga
pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan
bahkan bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bentuk-bentuk lembaga pendidikan
non formal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang becorak
non formal yaitu:
a. Kuttab atau maktab
Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis.
Sedangkan kuttab atau maktab berarti tempat untuk menulis atau tempat dimana
dilangsungkan kegiatan tulis menulis. Inti pokok pendidikan di Kuttab pada mulanya
adalah membaca dan menulis, karena masih terbatasnya lembaga Kuttab sebelum Islam.
Maka ketika Islam lahir baru 17 orang penduduk Makkah yang pandai membaca dan
menulis. Kemudian pada akhirnya, pada abad pertama Hijriyah mulailah timbul jenis
Kuttab, yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca, juga mengajarkan
membaca al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran Islam.5 
4 Ibid, hlm. 26.
5 Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 46.
5
b. Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya proses belajar mengajar disini dilaksanakan dimana
murid dan meringkari gurunya. Seorang guru biasanya duduk dilantai menerangkan,
membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain.
Kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk megajarkan atau mendiskusikan ilmu agama,
tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat.

c. Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama islam, mulanya ia
merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanakan belajar mengajar. Pada perkembangan
berikutnya disaat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi
dimana aktivitas pengajaran atau berlangsung.

d. Mesjid
Di dunia Islam, di zaman Dinasti Abbasiyah mesjid-mesjid berkembang dengan
pesatnya. Di Kota Baghdad saja ada 30.000 mesjid, di Kota Iskandaria 12.000 mesjid,
Damaskus 500 mesjid. Mesjid-mesjid tersebut telah berubah fungsi, tidak hanya untuk tempat
beribadah juga dipakai tempat kegiatan sosial kemasyarakatan. Materi pelajaran yang
diajarkan di mesjid tidak hanya terbatas kepada ilmu-ilmu naqliyah saja, tetapi juga
mencakup ilmu-ilmu ‘Aqliyah.
Fungsi mesjid pada masa Abbasiyah umumnya dilengkapi dengan berbagai macam
sarana dan fasilitas untuk pendidikan. Tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk
pengajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok halaqah, tempat untuk
berdiskusi dan munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan
ruangan perpustakaan dengan buku-buku ilmu pengetahuan.

e. Al-Ribath
Secara harfiah al-ribath berarti ikatan yang mudah di buka. Sedangkan dalam arti yang
umum, al-ribath adalah tempat untuk melakukan latihan, bimbingan, dan pengajaran bagi
calon sufi. Di dalam al-ribath tersebut terdapat beberapa ketentuan atau komponen yang
terkait dengan pendidikan tasawuf, misalnya komponen guru yang terdiri dari syekh (guru
besar), mursyid (guru utama), mu’id (asisten guru), dan mufid (fasilitator). Murid pada al-

6
ribath dibagi sesuai dengan tingkatannya, mulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah.
Adapun bagi yang lulus diberikan pengakuan berupa ijazah.

f. Rumah-rumah para ulama


Rumah sebenarnya bukan temapat yang nyaman untuk kegiatan belajar mengajar,
Namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam,
banyak juga rumah-rumah para ulama’ dan ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena ulama’ dan ahli yang
bersangkutan yang tidak mungkin memberikan pelajaran di masjid, sedangkan pelajar banyak
yang berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan daripadanya.6

g. Toko-toko kitab
Pada permulaan masa Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam
sudah tumbuh dan berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang
ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Toko-toko kitab memiliki peranan
penting dalam kegiatan keilmuan Islam, pada awalnya memang hanya menjual buku-buku,
tetapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin
sering dirancang dan dilaksanakan disitu. 

h. Perpustakaan
Para ulama’dan sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku
dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada
para penuntut ilmu. Bahkan para ulama dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada
para penuntut ilmu untuk belajar diperpustakaan pribadi mereka. Pada masa itu dibangunlah
perpustakaan-perpustakaan di negeri-negeri Islam. Perpustakaan-perpustakaan pada masa ini
banyak yang dihasilkan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari para ulama dan sarjana.7

i. Rumah sakit
Rumah sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan
mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhungan dengan
perawatan dan pengobatan, serta tempat mengadakan berbagai penelitian dan praktikum
dalam bidang kedokteran dan obat-obatan sehingga berkembanglah ilmu kedokteran dan ilmu
obat-obatan atau farmasi.
6 Ibid, hl. 13.
7 Zuhairi Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 98.
7
j. Baadiyah (Padang pasir, dusun tempat tinggal badui)
Baadiyah adalah dusun-dusun tempat tinggal orang-orang Arab yang tetap
mempertahankan keaslian (Badui) dan kemurnian bahasa Arab, bahkan sangat
memperhatikan kefasihan berbahasa dengan memelihara kaidah-kaidah bahasanya. Oleh
karena itu baadiyah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa arab yang asli dan murni. Sehingga
banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke baadiyah
dalam rangka mempelajari bahasa dan kesusastraan arab. Dengan begitu baadiyah telah
berfungsi sebagai lembaga pendidikan.

k. Madrasah
Dalam sejarah, madrasah ini mulai muncul di zaman khalifah Bani Abbas, sebagai
kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan di mesjid dan tempat lainnya. Minat
masyarakat untuk mempelajari ilmu di Halaqah yang ada di masjid makin meningkat dari
tahun ke tahun, dan menimbulkan kegaduhan akibat dari suara para pengajar dan siswa yang
berdiskusi dan lainnya yang mengganggu kekhusukan shalat. Selain itu, berdirinya madrasah
ini juga karena ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan semakin berkembang, dan untuk
mengajarkannya diperlukan guru yang banyak, peralatan belajar mengajar yang lebih
lengkap, serta pengaturan administrasi yang lebih tertib.8 
2) Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Curire yang artinya pelari.
Kata Curere artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang ditempuh dari seorang
pelari. Pada saat itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh
siswa/ murid untuk mendapatkan ijazah. Rumusan kurikulum tersebut mengandung makna
bahwa isi kurikulum tidak lain adalah sejumlah mata pelajaran (subjek matter) yang harus
dikuasai siswa agar siswa memperoleh ijazah.9
Pada masa klasik, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah untuk
pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian
mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu. Ilmu-ilmu agama

8 Ibid, hlm. 97-99.


9 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1995), hlm.
1-2.
8
mendominasi kurikulum di lembaga formal dengan mata pelajaran hadis dan tafsir, fiqih,
retorika dakwah (dianggap sesuatu yang sangat penting dalam dunia pendidikan klasik).10

A. Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah


a. Kurikulum Pendidikan Rendah
Sebelum berdirinya madrasah tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi hanya
satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir didiskusi halaqah. Tidak ada kurikulum
khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam, dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca
dan menulis disamping Al- Qur’an, kadang diajarkan bahasa nahwu dan ‘arudh.
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah
mengajari Al-Qur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental telah siap menerima
pendiktean. Dan pada waktu yang sama, diajarkan juga huruf hijaiyyah dan dasar agama.
Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukan bagi
masyarakat umum yang ada di istana. Di istana, orang tua (para pembesar istana) adalah yang
membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya.
Rencana pelajaran untuk pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan-peperangan,
cara bergaul dengan masyarakat disamping pengetahuan pokok, seperti Al-Qur’an, syair dan
bahasa. Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat,
karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah lepas dari faktor sosiologis, politis,
ekonomis masyarakat yang melingkupinya.

b. Kurikulum Pendidikan Menengah


Kurikulum tingkat menengah juga tidak sama di berbagai daerah, namun secara
umum kurikulum tingkat menengah itu dapat dipaparkan yaitu Al-Qur’an, bahasa
Arab dan kesusteraan, fiqih, tafsir, hadits, nahwu/syaraf/balaqhah, imu-ilmu pasti, mantiq,
falak, tarikh/sejarah, ilmu-ilmu alam, kedokteran.
Yaqut mengatakan rencana pelajaran pada tingkat menengah terdiri dari Al-Qur’an,
tafsir, fiqih, nahwu, sastra, syair, berhitung , ilmu ukur, tarikh dan hadits. Selain itu ada
lagi pelajaran menengah kejuruan, misalnya untuk jadi juru tulis di kantor-kantor,
selain dari belajar bahasa, ia harus belajar surat-menyurat, pidato, diskusi,
berdebat, serta mempelajari tulisan indah.

10 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.
53.
9
c. Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi, bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar
para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu. Demikian juga guru
tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Kurikulum dalam
pendidikan tinggi dibagi kedalam dua bagian pokok, yaitu kurikulum agama
ditambah dengan sastra dan kurikulum ilmu pengetahun ditambah dengan sastra.
Dilembaga pendidikan tinggi teologi dan ilmu hadits dijadikan sebagai landasan
kurikulum dan metode pengajarannya lebih menekankan pada metode hafalan. Pada
waktu itu, ketika catatan harian atau memoranda belum membudaya, kemampuan
menghafal dikembangkan setinggi mungkin dengan syarat sumber-sumber yang dihafal
merupakan sumber-sumber yang dapat dipercaya.
Al-Khuwarizmi meringkas kurikulum agama ditambah sastra dalam buku Miftahul
‘Ulum sebagai berikut: ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam, ilmu kitabah (sekretaris), dan
ilmu ‘arudh. Ilmu sejarah (terutama sejarah Persia, sejarah Islam, sejarah sebelum Islam,
sejarah Yunani dan Romawi). Di samping itu, diajarkan juga matematika dasar, karena
banyak digunakan untuk ilmu  faraid dan pembuatan taqwim (mencocokkan tahun Hijriyah
dengan tahun Masehi). Kurikulum ilmu pengetahuan ditambah sastra merupakan cirri
khas fase kedua dari perkembangan pikiran dalam Islam, pada fase ini kelihatan jelas
perkembangan kebebasan berpikir dan luasnya lapangan pembahasan. Ilmu
pengetahuan yang dipelajari berupa ilmu matematika, ilmu alam, filsafat, kedokteran. 11
Pada masa itu, penentuan kurikulum pendidikan Islam berada di tangan
ulama atau kelompok orang yang berpengaruh dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-
soal agama dan hukum. Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum lembaga pendidikan
tinggi dan Al-Qur’an sebagai intinya. Disiplin-disiplin lain yang perlu untuk memahami
dan menjelaskan makna Al-Qur’an tumbuh sebagai bagian inti dari pengajaran, seperti ilmu
hadits dan ilmu tafsir.
Jadi dapat disimpulkan secara umum, sistem pengelolaan pendidikan klasik tampaknya
lebih ditentukan oleh kekuataan ulama (orang yang memiliki komitmen intelektual)
dari pada kekuatan negara (orang yang memiliki kekuasaan). Baik pada masa Nabi maupun
pada masa Bani Abbasiyah, para tokoh agama memiliki otoritas untuk menentukan
sistem pendidikannya.

11 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 105.
10
B. Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya Madrasah
Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak
mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki
setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah, hukum, sosiologi,
kesusastraan, etrika, kedokteran, matematika, seni maupun arsitektur.
Berdirinya madrasah pada satu sisi, merupakan sumbangan Islam bagi peradaban
sesudahnya, tapi pada sisi lain membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah
hegomoni negara terlalu kuat terhadap madrasah. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi
hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi. Legitiumasi ”makruh” terhdapa penggunaan
nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari
kurikulum madrasah, mereka yang punya minat besar terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa belajar
sendiri-sendiri. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang di lembaga nonformal.

3) Pendidik
A. Guru dalam pendidikan muslim
Tinggi rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad pendidikan
muslim tergantung atas dua faktor, yaitu:
a) Tempat dimana dia mengajar, di Persia: penghormatan kepada guru merupakan suatu
tradisi lama dalam pendidikan zoroastrian, tradisi ini dilanjutkan kedalam periode Islam.
b) Tingkatan dimana ia belajar. Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi
terhadap guru sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Guru-guru sekolah dasar kurang
dihargai karena pengetahuannya yang amat sederhana dan karena tingkat pendidikan
tampaknya sudah menjadi daya tarik.

B. Tipe-tipe guru
Ada enam tipe guru yaitu muallim, mu’addib, mudarris, syaikh, ustad, imam, belum
lagi termasuk guru pribadi dan para muaiyyid atau asisten (guru-guru junior). Muallim
biasanya julukan bagi guru sekolah dasar. Mu’addib, arti harfiahnya orang yang beradab atau
guru adab adalah julukan untuk guru-guru sekolah dasar dan menengah. Mudarris adalah satu
julukan profesional untuk seorang murid atau pembantu, ia sama dengan asisten profesor dan
membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang diberikan
profesornya, syaikh atau guru besar adalah julukan khusus yang menggambarkan keunggulan
akademis atau teologis, imam adalah guru agama tertinggi.

11
C. Pakaian guru
Selama pemerintahan Abbasiyah para guru mengikuti gaya Persia, mengenakan tutup
kepala Persia, celana lebar, rok, rompi, dan jaket. Semuanya ditutup dengan jubah atau aba
mantel luar dan taylasan diatas surban.

D. Organisasi guru
Keberadaan guru mempunyai pengaruh yang penting dalam suatu pemerintahan,
bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang besar dalam kekuasaan khalifah, karena guru
terhimpun dalam suatu organisasi yang mempunyai power yang dapat mengendalikan
kepentingan khalifah, khususnya dalam hal pengangkatan dan pemberian izin untuk menjadi
pengajar di masjid.12

4) Peserta Didik
Peserta didik pada masa keemasan Islam mendapatkan pelayanan dan perhatian yang
sungguh-sungguh dari ulama, hartawan dan pemerintah. Pemerintah memberi keluasan dalam
belajar. Mereka tidak diperkenankan untuk membedakan tingkat sosial dalam proses
pendidikan. Mereka harus berkumpul dalam tempat yang sama dan memperoleh pendidikan
yang sama pula.
Murid yang telah menamatkan tingkat dasar ini bisa langsung masuk ke sekolah tinggi
tanpa masuk ke sekolah menengah. Bahkan kadang-kadang ada yang masuk sekolah tinggi
sebelum menamatkan sekolah dasar. Dan murid bebas memilih guru yang mereka anggap
paling baik, mereka bebas pindah dari satu guru ke guru lain.
Karena bebas memilih guru dan berganti-ganti, peserta didik di zaman tersebut
biasanya membuat mu’jam al-Masyakha yang mengajar. Dasar ini sebagai bukti bahwa
mereka telah belajar kepada guru-guru yang terkenal, karena murid zaman dulu tidak puas
berguru pada satu guru selain itu juga untuk mengetahui kualitas hadist yang mereka terima.13

5) Metode Pendidikan

12 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003),
hlm. 76-77.
13 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 254-255.
12
Dalam proses belajar mengajar, metode pendidikan merupakan salah satu aspek
pendidikan yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang
guru kepada para muridnya. Melalui metode pendidikan terjadi proses internalisasi dan
pemilikan pengetahuan oleh murid hingga murid dapat menyerap  dan memahami dengan
baik apa yang telah disampaikan oleh gurunya.
Pada mada Dinasti Abbasiyah metode pendidikan yang digunakan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Metode lisan 
Metode lisan adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman
karena dengan dikte ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia
lupa. Metode ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa
sekarang sulit dimiliki. Metode ceramah disebut juga metode al-Sama, sebab dalam
metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid
mendengarkannya. Metode qira’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan
diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.

b. Metode menghafal
Murid-murid membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut
melekat pada benak mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Hanafi seorang
murid harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya. Sehingga
dalam proses selanjutnya, murid akan mengeluarkan kembali dan
mengkontekstualisasikan pelajaran yang dihafalnya sehingga dalam diskusi dan
perdebatan murid dapat merespons, mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu yang
baru.

c. Metode Tulisan 
Metode tulisan adalah pengcopian karya-karya ulama. Dalam pengcopian buku-buku
terjadi proses intelektualisasi sehingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat.
Metode ini disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga sangat
penting artinya bagi penggandaan jumlah buku teks, karena pada masa Daulah ini belum
ada mesin cetak.14
6) Tujuan Pendidikan

14 Suwito, dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 14.
13
Pada masa Nabi Muhammad SAW, masa Khalifah Rasyidin dan Muawiyah, tujuan
pendidikan hanya satu yaitu keagamaan semata-mata, mengajar dan belajar karena Allah
serta mengharapkan keridhaannya. Sedangkan pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu
telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Adapun tujuan itu dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Tujuan keagamaan dan akhlak
Sebagaiman pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau
menghafal Al-Qur’an, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama. Supaya mereka
mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
b. Tujuan kemasyarakatan
Para pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat mengubah
dan memperbaiki masyarakat. Dari masyarakat yang penuh dengan kejahilan menjadi
masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menuju
masyarakat yang maju dan makmur. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu yang
diajarkan di Madrasah bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan
ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
c. Cinta akan ilmu pengetahuan
Masyarakat pada saat itu belajar tidak mengharapkan apa-apa selain dari pada
memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri Islam untuk
menuntut ilmu tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan yang umumnya
dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk
memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan.
d. Tujuan kebendaan
Pada masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang layak  dan
pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat kemegahan dan kekuasaan di
dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang pada masa sekarang ini.

7) Sarana dan Prasarana


Sarana prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan kegiatan belajar
mengajar, peralatan kegiatan penelitian dan percobaan tersedia lengkap dibanding pada masa
sebelumnya. Gedung sekolah, perkantoran, alat-alat tulis, rumah tempat tinggal bagi para
guru, dan berbagai sarana lainnya tersedia dengan memadai. Hal ini dikarenakan adanya

14
perhatian yang besar dari pemerintah serta masyarakat pada umumnya terhadap masalah
pendidikan.

8) Relevansi Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah Di Zaman Sekarang


Beberapa konsep pendidikan saat ini secara tidak langsung mengadopsi konsep
pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah, seperti implementasi dalam model
pendidikan multikultural, home schooling, bahkan metode belajar. Dari beberapa
implementasi tersebut bisa dikatakan masih relevan untuk di implementasikan pada
pendidikan Islam di zaman sekarang.
Misalnya konsep pendidikan multikultural yang diterapkan oleh Khalifah al Ma’mun
yaitu semua orang bebas berekspresi, terbuka, toleransi dan kesetaraan dalam mencari
ilmu, menerjemahkan, beribadah, bekerja, dan melakukan segala kegiatan yang bermanfaat.
Konsep pendidikan multikultural telah dikenal sejak zaman al Ma’mun baik pada institusi
pendidikan islam Bayt al Hikmah, masjid, halaqah, kuttab dan lain-lain, yang nyatanya nilai-
nilai pendidikan multikultural mulai dikembangkan dalam proses pendidikan oleh beberapa
lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
        Selanjutnya home schooling, yang merupakan jenis pendidikan informal memberikan
solusi bagi para peserta didik yang secara intensif tidak bisa mengikuti pendidikan formal.
Model home schooling yang dilakukan oleh beberapa anak di Indonesia ini adalah hasil
adopsi dari Amerika. Padahal, jika kembali ke kolom sejarah home schooling sudah ada sejak
zaman Dinasti Abbasiyah. Bedanya, home schooling pada zaman Abbasiyah hanya berlaku
untuk anak para khalifah dan penguasa sedangkan home schooling di Indonesia bebas untuk
siapapun yang menghendaki.

3. Ilmu-Ilmu Yang Tumbuh Dan Berkembang Di Era Dinasti Abbasiyah


Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah
sangat pesat, sehingga lahir beberapa ilmu dalam agama Islam, antara lain sebagai berikut:
1) Ilmu Hadis
Ilmu hadis adalah ilmu yang mempelajari tentang hadis dari sunat, perawinya, isi, dan
lain-lain. Pada masa itu bermunculan ahli-ahli hadis yang besar dan terkenal beserta hasil
karyanya, antara lain:
a. Imam Bukhari, lahir di Bukharo 194 H di Baghdad, kitabnya yang termasyur adalah al-
Jami’us sahih dan terkenal dengan sahih Bukhari.

15
b. Imam Muslim wafat tahun 216 H di Naisabur. Kitabnya Jami’us dan terkenal dengan
‘Sahih Muslim”.
c. Abu Dawud dengan kitab hadisnya berjudul “Sunan Abu Dawud”.
d. Ibnu Majah dengan kitab hadisnya Sunan Ibnu Majah.
e. At-Tirmidzi sebagai kitabnya ‘Sunan Tirmidzi’.

2) Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir adalah ilmu yang menjelaskan tentang makna/kandungan ayat Al-Qur’an.
Sebab-sebab turunnya ayat/Asbabun nuzulnya, hukumnya, dan lain-lain. Adapun ahli
tafsir yang termasyur ketika itu antara lain:
a. Abu Jarir at-Tabari dengan tafsirnya Al-Qur’anul Azim sebanyak 30 juz.
b. Abu Muslim Muhammad bin Bahr Isfahany (mu’tazilah), tafsirnya berjumlah 14 jilid.

3) Ilmu Fikih
Ilmu fikih yaitu ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum Islam (segala sesuatu yang
diwajibkan, dimakruhkan, dibolehkan, dan yang diharamkan oleh agama Islam). Tokoh-
tokohnya yaitu:
a. Imam Abu Hanifah (700-767 M)
b. Imam Malik (713-795 M)
c. Imam Syafi'i (767-820 M)
d. Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)

4) Filsafat Islam
Filsafat Islam adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat
segala sesuatu yang ada, sebab asal hukumnya atau ketentuan-ketentuannya berdasarkan
Al-Qur’an dan hadis. Manfaat filsafat Islam adalah untuk menemukan hakikat segala
sesuatu sebagai ciptaan Allah dan merupakan bukti kebesaran-Nya.

5) Ilmu Tasawuf
Ilmu tasawuf yaitu ilmu yang mengajarkan cara-cara membersihkan hati, pikiran, dan
ucapan dari sifat yang tercela sehingga tumbuh rasa taqwa dan dekat kepada Allah SWT.
Untuk dapat mencapai kebahagiaan abadi (bersih lahir dan batin). Orang muslim yang
menjalani kehidupan tasawuf disebut sufi.

16
6) Sejarah
Sejarah ialah ilmu yang mempelajari tentang berbagai peristiwa masa lampau yang
meliputi waktu dan tempat peristiwa itu terjadi, pelakunya, peristiwanya dan disusun
secara sistematis. Dengan mempelajari sejarah seseorang dapat mengambil pelajaran,
manfaat, dan hikmahnya dari peristiwa tersebut.

7) Kedokteran
Seiring dengan ilmu-ilmu lain, ilmu kedokteran juga sempat mencapai masa keemasannya.
Dinasti Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter ternama. Sekolah-sekolah tinggi
kedokteran banyak didirikan diberbagai tempat, begitulah rumah-rumah sakit besar yang
berfungsi selain sebagai perawatan para pasien, juga sebagai ajang peraktek para dokter
dan calon dokter. Diantaranya sekolah tinggi kedokteran yang terkenal:
1. Sekolah tinggi kedokteran di Yunde Shafur (Iran)
2.  Sekolah tinggi kedokteran di Harran (Syria)
3.  Sekolah tinggi kedokteran di Bagdad.
Adapun para dokter yang populer pada masa itu antara lain:
a. Abu Zakaria Yuhana bin Miskawaih, seorang ahli formasi di rumah sakit Yunde Shafur.
b. Sabur bin sahal, direktur rumah sakit Yunde Shafur.
c.  Hunain bin Ishak (194-264 H/ 810-878 M) seoranng ahli penyakit mata ternama.
d. Abu Zakaria Ar-Razy kepala rumah sakit di Bagdad dan seorang dokter ahli penyakit
campak dan cacar, dan dia juga orang pertam yang menyusun buku mengenai
kedokteran anak.
e. Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M). Ia seorang ilmuan yang multi dimensi, yakni
selain mengasai ilmu kedokteran, juga ilmu-ilmu lai, seperti filsafat dan sosiologi. Ibnu
Sina berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia diantara karyanya
adalah Al- Qur’an fi al rhibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar
dalam sejarah.15

8) Matematika
Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah pengarang kitab Al-Jabar wal
Muqabalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol. Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6,
7, 8, 9, 0 disebut angka Arab karena diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal angka
Romawi I, II, III, IV, V dan seterusnya.
15 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 73.
17
Para tokoh matematika antara lain:
a. Al-Khawarizmi (194-266 H). Beliau telah menyusun buku Aljabar dan menemukan
angka nol (0). Angka 1-9 berasal dari Hindu, yang telah dikembangkan oleh umat Islam
(Arab).
b. Umar Al Farukhan, seorang insinyur dan arsitek kota Bagdad.
c. Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas (940-998)

9) Astronomi
Astronomi ilmu yang mempelajari perjalanan matahari, bumi, bulan, dan bintang-bintang
serta planet-planet yang lain. Diantara para ahli ilmu astronomi pada masa ini adalah:
a. Al-Battani atau Albatagnius, seorang ahli astronomi yang terkenal dimasanya.
b. Al-Fazzari, seorang pencipta atrolobe, yakni alat pengukur tinggi dan jarak bintang.
c. Abul Wafak, seorang menemukan jalan ketiga dari bulan, jalan kesatu dan kedua telah
ditemukan oleh ilmuan yang berkebangsaan Yunani.
d. Rahyan Al Bairuny, seorang astronomi.
e. Abu Mansyur Al Falaky, seorang ahli ilmu falaq.

10) Ilmu Farmasi dan Kimia


Pakar ilmu farmasi dan kimia pada masa dinasti Abbasiyah sebenarnya sangat banyak,
tetapi yang paling terkenal adalah ibnu Baithar.Ia adalah seorang ilmuan farmasi yang
produktif menulis, karyanya adalah Almughni (memuat tentang obat-obatan) dan lain-lain.

11) Ilmu Kalam


Kajian para ahli ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga neraka, serta
perdebatan mengenai tuhan atau tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau
teologi. Di antara tokoh ilmu kalam adalah:
a. Imam Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi, tokoh Asy'ariyah.
b. Washil bin Atha, Abul Huzail Al-Allaf (w. 849 M), tokoh Mu'tazilah.

12) Ilmu Bahasa


Di antara ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu,
ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu badi', dan arudh. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu
pengetahuan, disamping sebagai alat komunikasi antar bangsa. Di antara para ahli ilmu
bahasa adalah:

18
a. Imam Sibawaih (w. 183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman
b. Abu Zakaria Al-Farra (w. 208 H), kitab Nahwunya terdiri dari 6.000 halaman lebih

13) Geografi
 Dalam bidang geografi umat Islam sangat maju, karena sejak semula bangsa Arab
merupakan bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga. Di antara
wilayah pengembaraan umat Islam adalah umat Islam mengembara ke Cina dan Indonesia
pada masa-masa awal kemunculan Islam. Di antara tokoh ahli geografi yang terkenal
adalah:
a. Abul Hasan Al-Mas’udi (w. 345 H/956 M), seorang penjelajah yang mengadakan
perjalanan sampai Persia, India, Srilanka, Cina, dan penulis buku Muruj Az-Zahab wa
Ma’adin Al-Jawahir.
b. Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang di anggap sebagai ahli
geografi islam tertua. Di antara karyanya adalah Masalik wa Al-Mamalik, tentang data-
data penting mengenai sitem pemerintahan dan peraturan keuangan.
c. Ahmad El-Yakubi, penjelajah yang pernah sampai ke Armania, Iran, India, Mesir,
Maghribi, dan menulis buku Al-Buldan.
d. Abu Muhammad Al-Hasan Al-Hamidani (w. 334 H/946 M), karyanya berjudul Sifatu
Jazirah Al-Arab.

BAB III
PENUTUP

19
Kesimpulan

Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn
Abdullah Ibn al- Abbas. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayyah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab
keturunan lebih dekat dengan Nabi. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan
budaya. Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai dengan
pertumpahan darah. Meskipun kedua Dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan
tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah
Islam.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, kebudayaan dan peradaban sudah lebih maju bila
dibandingkan dengan Bani Umayyah. Pendidikan baik ilmu naqli (agama) seperti munculnya
ilmu tauhid, hadis, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Demikian pula pengetahuan umum (ilmu
naqli) berkembang pula dengan pesatnya seperti filsafat yunani telah diterima oleh
umat. Pada permulaan Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan pendidikan berkembang
dengan sangat pesat sehingga terlahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya.
Tersebar dari kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba
menuntut ilmu pengetahuan, meniggalkan kampung halamanya karena cinta akan ilmu
pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

As’ad, Mahrus. (2002). Sejarah Kebudayaan Islam. Bandung: CV Amirco.


20
Asrohah, Hanun. (1999). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Karim, Abdul. (2009). Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.

Muchtarom, Zuhairi. (1995). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Nakosteen, Mehdi. (2003). Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat. Surabaya: Risalah Gusti.

Nata, Abuddin. (2004). Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.

Suwito. (2008). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Suwito, dkk. (2005). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media.

Sudjana, Nana. (1995). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Yatim, Badri . (2002). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

21

Anda mungkin juga menyukai