Anda di halaman 1dari 20

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Dalam sejarahnya, pendidikan Islam telah mengalami pasang surut. Dari zaman Rasulullah saw. hingga
tiga rezim sesudahnya (kekhalifahan Rasyidin, Daulah Umaiyyah, dan Abbasiyah) masing-masing dengan
karakteristik perkembangannya yang beragam sesuai dinamika yang berkembang pada masa itu. Masa
keemasan Islam atau sering disebut peradaban Islam dalam bidang pendidikan ditancapkan pada masa
Daulah Abbasiyah. Sebuah rezim yang dalam sejarah Islam dinisbahkan dari mana silsilah keluarga Nabi
Muhammad saw., al-Abbas (paman Nabi). Kemajuan yang pesat diperoleh dinasti Abbasiyah dalam
berbagai bidang kehidupan pada masa itu untuk sekedar membandingkan dengan peradaban Islam kini
secara jujur diakui, belum tertandingi.

Masa ini dengan dimulai dengan berkembang pesatnyya kebudayaan Islam, yang ditandai dengan
berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah (sekolah-sekolah)
formal serta universitas-universitas dalam berbagai pusat kebudayaan Islam. Lembaga-lembaga
pendidikan, sekolah-sekolah dan universitas-universitas tersebut nampak sangat dominan pengaruhnya
dalam membentuk pola kehidupan dan pola budaya kaum muslimin. Berbagai ilmu pengetahuan yang
berrkembang melalui lembaga pendidikan itu menghasilkan pembentukan dan perkembangan berbagai
macam aspek budaya kaum muslim.

1. Rumusan Masalah

2. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah?

3. Apa tujuan pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah.?

4. Apa ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Disanti Abbasiyah..?


BAB II

PEMBAHASAN

1. Sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah

Kesuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebangaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan
dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah keturunan dari pada Al-Abbas, paman Nabi
SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas,
dan penderiannya dianggap suatu kemenangan bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim
setelah kewafatan Rasulullah, agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan sanak-
saudaranya. Tetapi idea ini telah dikalahkan di zaman permulaan Islam, dimana pemikiran Islam yang
sehat menetapkan bahwa jabatan khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan
mereka berhak melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat
dukungan. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya.[1]

Tetapi, orang-orang parsi yang masih berpengang pada prinsip hak ketuhanan yang suci, terus berusaha
menyebarkan prinsip tersebut, sehingga mereka berhasil membawa Bani Hasyim ke tampuk
pemerintahan. Pada pandangan publik umumnya, golongan Alawiyin adalah lebih dekat kepada
Rasulullah SAW, karena kedudukan Fatimah yang menjadi anak baginda, dan juga karena keduduk an Ali
yang menjadi sepupu dan menantu baginda.

Kemudian karena keutamaan Ali yang telah memeluk agama Islam lebih dahulu dari yang lain-lain serta
perjuangannya yang terkenal untuk menegakkan Islam. Tetapi, golongan Abbasiyah setelah berkuasa
lantas mengumumkan bahwa mereka lebih utama dari Bani Hasyim untuk mewarisi Rasulullah karena
moyang mereka ialah paman baginda dan pasukan peninggalan tidak boleh diperoleh oleh pihak sepupu,
jika ada paman, dan keturunan dari anak perempuan tidak mewarisi pusaka datuk dengan adanya
pihak ashabah.[2]

Faktor-faktor pendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu :

1. Banyak terjadi perselisihan antara interen Bani Ummayah pada dekade terakhir pemerintahannya
hal ini diantara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi kehalifahan dan harta.

2. Pendekanya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah, seperti khalifah
Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.

3. Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang di kerjakan oleh Marwan bin
Muhammad yang menjadikan anaknya Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra mahkota.

4. Bergabungnya sebagai afrad keluarga Ummayah kepada mazhab-mazhab agama yang tidak
benar menurut syariah, seperti Al-Qadariyah.

5. Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah.

6. Kesombongan pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir pemerintahannya.

7. Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non Arab)


Dari berbagai penyebab-penyebab di atas dan dengan ketidaksenangan Mawali pada Binasti Ummayah
mengakibatkan runtuhnya dinasti dan berdiri Dinasti Abbasiyah hal ini dapat dilihat dengan bantuan para
Mawali dari Khurasan dan Persi. Misalnya, bergabungnya Abu Muslim al-Khurasani, ia berhasil menjadi
pemimpin di Khurasan yang pada awalnya di bawah kekuasaan Ummayah.[3]

1. Perkembangan Pendidikan dan Tujuannya

Sejak lahirnya agama Islam, lahirnya pendidikan dan pengajaran Islam. Pendidikan dan pengajaran Islam
itu terus tumbuh dan berkembang pada masa khalifah-khalifah Rasyidin dan dan masa Ummayah. Pada
permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh
negara Islam, sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar dari ke kota-kota
sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan,
melawat ke pusat-pusat pendidikan, meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu
penegtahuan.[4]

Charles Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan
kurikulaum pendidikan berada ditangan ulama, kelompok orang-orang yang berpengetahuan dan
diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum, bukan ditentukan oleh struktur kekuasaan
yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan dengan kenyataan kasus lembaga
pendidikan Madrasah al- Mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara melakukan
kontrol terhadap pengaruh- pengaruh yang ditimbulkan oleh madrasah ini bahkan juga melakukan
investigasi metode pengajaran. Dengan intervensi semacam ini dimungkinkan negara (State) menetapkan
struktur kurikulum yang dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan dikalangan masyarakat luas.

Sekedar untuk menetralisir perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton itu lebih ditujukan pada
lembaga pendidikan yang tidak berbentuk madrasah, seperti kuttab. Sebab sistem pendidikan yang
dioperasikan oleh madrasah ternyata memiliki kepentingan-kepentinga tertentu, baik kepentingan
mazhab fiqih, teologi, atau kepentingan politis. Bahkan, dalam pendidikan klasik, madrasah itu dibangun
atas dasar wakaf seseorang yang dalam kebiasaannya memang menargetkan tujuannya masing-
masing.[5]

Pada masa Nabi SAW.masa khalifah-khalifah Rasyidin dan Ummayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu
keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharapkan keridaanNya, lain tidak.

Pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada
masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tujuan keagamaan dan akhlak, seperti pada masa sebelumnya. Anak-anak didik diajar
membaca/menghafal Al-Quran, ialah karena hal itu suatu kewajiban dalam agama, supaya
mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu
tafsir, hadis dan sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.

2. Tujuan kemasyarakatan, Selain tujuan keagamaan dan akhlak ada pula tujuan kemasyarakatan,
yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu, supaya mereka dapat mengubah dan
memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh kejahilian menjadi masyarakat yang
bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju dan
makmur.

Ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah-madrasah, bukan saja ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, bahkan
juga diajarkan ilmu-ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.[6]

3. Selain itu ada lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan ilmu pengetahuan serta senanag dan lazat
mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada
berdalam-dalam dalam ilmu pengetahuan. Mereka melawat keseluruh negara Islam untuk
menuntut ilmu tanpa mempedulikan susah payah dalam perjalanan, yang umumnya dilakukan
dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan
jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan.

4. Disamping itu ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum muslimin , yaitu tujuan kebendaan.
Mereka menuntut ilmu supaya mendapat penghiduapn yang layak, dan pangkat yang tinggi,
bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, seperti tujuan setengah
orang pada masa kita sekarang.[7]

Berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam

Sebelum timbul sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal,
dalam dunia islam sebenarya telah berkembang lembaga lembaga pendidikan Islam yang bersifat non
formal. Lembaga lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan denganya tumbuh dan
berkembang bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Di antara lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah :

1. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar

Kuttab atau maktab, berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi katab
adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam Kuttab telah ada di negeri Arab, walaupun
belum banyak dikenal. Diantara penduduk Mekkah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab ialah
Sufyan Ibnu Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhroh Ibnu Kilat. Keduanya
mempelajari di negeri Hirah.[8]

1. Pendidikan Rendah di Istana

Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat, adalah berdasarkan pemikiran
bahwa pendidikan itu hanya harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-
tugasnya kelak setelah ia dewasa. Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di
kuttab pada umumnya. Tetapi rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama
saja dengan rencana pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para
pembesaryang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut secara
khususuntuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kahidupannya nanti.

1. Toko-toko kitab

Pada permulaannya masa Daulah Abbasiyah, di mana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam sudah
tumbuh dan berkembang dan diakui oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan,
maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual
beli kitab-ktab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu.
Mereka membeli dari para penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa yang berminat untuk
mempelajarinya. Dengan demikian toko-toko kitab tersebut telah berkembang fungsinya bukan hanya
sebagai tempatmenjual beli kitab-kitab saja, tetapi juga merupakn tempat berkumpulnya para ulama,
pujangga, dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam
berbagai maslah ilmiah. Jadi sekarang berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka
pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.[9]

1. Rumah-rumah para ulama (ahli ilmu pengetahuan)

Walaupun sebelumnya ruumah bukanlah merupakan tempat yang baik untuk tempat memberikan
pelajaran namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaaan Islam, banyak
juga rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Hal itu pada umumnya disebebkan karena ppara ulama dan ahli yang
bersangkutan yang tidak mungkin memberikan pelajaran dimesjid, sedangkan pelajar banyak yang
berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan dari padanya. Diantara rumah ulama terkenal yang
menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ali Ibnu Muhammad Al-Fasihi, Yaqub Ibnu
Killis, Wazir Khalifah Al-Aziz billah Al-Fatimy, dan lain-lainnya.

1. Majelis atau saloon kesusasteraan

Dengan majelis atau saloon kesusasteraan, dimaksudkan adalah suatu majelis khusus yang diadakan oeh
khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majelis ini bermula sejak zaman Khalifah
Rasyidin, yang biasanya memberiikan fatwa dan musyawarah dan diskusi dengan para sahabat untuk
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan pada masa itu adalah
masjid.

Pada masa Harun Al-Rasyid (170-193 H) majelis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa, karena
khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai kecerdasan, sehingga khalifah sendiri
aktif didalamnya. Disamping itu ppada masa itu dunia Islam memang diwarnai oleh perkembangan ilmu
pengetahuan, sedangkan negara berada dalam kondisi yang aman, tenagng dan dalam zaman
pembangunan. Pada masanya sering diadakan perlombaan antar ahli-ahli syair, perdebatan antar fuqaha,
dan diskusi di antara para sarjana berbagai macam ilmu pengetahuan, juga diadakan sayembara diantara
ahli kesenian dan pujangga.[10]

1. Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)

Sejak perkembangan luasnya Islam, dan bahasa Arab digunakan sebagai bahsa pengantar oleh bangsa-
bangsa di luar bangsa Arab yang beragama Islam, dan terutama di kota-kota yang banyak
percampurannya dengan bahasa lain, masa bahasa Arab berkembanga luas, tetapi bahasa Arab
cenderung kehilangan keaslian dan kemurnian. Orang-orang di luar bangsa Arab sering tidak bisa
mengucapkan lafaz-lafaz dengan baik, tidak tahu kaidah-kaidahnya sehingga sering salah
mengucapkannya. Bahasa Arab menjadi rusak dan menjadi bahasa pasaran. Oleh karena itu khalifah-
khalifah biasanya mengirimkan anak-anaknya ke badiah-badiah ini untuk mempelajari bahasa Arab yang
fasiih dan murni, dan mempelajari pula syair-syair serta sastra Arab dari sumbernya yang asli. Banyak
ulama-ulama dan ahli ilmu pengetahuan lainnya yang pergi ke badiah-badiah dengan tujuan untuk
mempelajari bahasa dan kesusasteraan Arab yang asli lagi murni tersebut. Badiah-badiah tersebut lalu
menjadi sumber ilmu pengetahuan terutama bahasa dan sastraArab dan berfungsi sebagai lembaga
pendidikan Islam.

1. Rumah sakit

Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan kesejahteraan di
kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-
pembesar negara.rumah sakit tersebut bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati
orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan
pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaab dalam bidang kedokteran dan obat-
obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu obat-obatan atau farmasi.

Rumah sakit ini juga merupakan tempat praktikum dari sekolah-sekolah kedokteran yang didirikan di luar
rumah sakit, tetapi tidak jarang pula sekolah-sekolah kedokteran tersebut didirikan tidak tterpisah dari
rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakir dalam dunia Islam, juga juga berfungsi sebagai lembaga
pendidikan.[11]

1. Perpustakaan

Pada zaman perkembanga ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat
tinggi. Buku adalah merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah
dikembangkan oleh para ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan
yang telah tertulis dalam buku. Dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam usaha
pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.

Para ulama dan sarjana darri berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku dalam
bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada para penuntut ilmu.
Bahkan para ulama dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk
belajar di perpustakaan pribadi mereka.

Di samping itu berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan
oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari pera ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Baghdad yang
didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid, adalah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam
yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan
yang telah berkembang pada masa itu, dan berbagai buku-uku terjemahan dari bahasa-bahasa Yunani,
Persia, India, Qibty, dan Aramy. Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya,
dikatakan sudah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber
pengembangan ilmu pengetahuan.[12]

1. Masjid

Semenjak berdirinya di zaman Nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan informasi
berbagai masalah kehidupan kaum muuslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah , tempat mengadili
perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi-informasi lainnya dan tempat
menyelanggarakan pendidikan, baik bagi anak-anak maupun orang-orang dewasa. Kemudian pada masa
Khlifah Bani Ummayah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama yang bersifat keagamaan. Para ulama mengajarkan ilmu di masjid, tetapi majelis khalifah
berpindah ke masjid atau ke tempat tersendiri.

Pada masa Bani Abbasiyah dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh
pera penguasa pada umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan.
Tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk pengajian dari ulama-ulama yang merupakan
kelompok-kelompok (khalaqah), tempat untuk bediskusi dan munazarah dalam berbagai ilmu
pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam
ilmu pengetahuan yang cukup banyak.

Demikianlah masjid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap memegang peranan yang pokok, di
samping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan, sebagai lembaga pendidikan dan pusat
komunikasi sesama kaum muslimin.

Sistem pendidikan di sekolah-sekolah

Sebenarnya timbulnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam
adalah merupakan pengembangan semata-mata dari sistem pengajaran dan pendidikan yang telah
berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi dengan saranasarana
untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di dalamnya.[13]

Diantara faktof-faktor yang menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah di liar masjid adalah :

1. Khalaqah-khalaqah (lingkaran) untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, yang di dalamnya


juga menjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling menggangu,
disamping sering pula menggangu orang-orang yang beribadah dalam masjid. Keadaan demikian,
mendorong untuk dipindahkannya khalaqah-khalaqah tersebut ke luar lingkungan masjid, dan
didirikanlah bangunan-bangunan sebagai ruang-ruang kuliah atau kelas-kelas tersendiri. Dengan
demikian kegiatan pengajaran dari khalaqah-khalaqah tersebut tidak saling menggangu satu sama
lain.

2. Dengan berkembang luas ilmu pengetahuan, baik mengenai agama mapun umum maka
diperlukan semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran-lingkaran pengajaran), yang tidak
mungkin keseluruhan tertampung dalam rruang masjid.

Disamping itu terdapat faktor-faktor lainnya, yang mendorong bagi pera penguasa dan pemegang
pemerintahan pada masa itu untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai bangunan-bangunan yang
terpisah dari masjid, antara lain :

1. Pada masa bangsa Turki mulai berpengaruh dalam pemerntahan Bani Abbasiyah, dan untuk
mempertahankan kedudukan mereka dalam pemerintahan, mereka berusaha untuk menarik hati
kaum muslimin pada umumnya, dengan jalan memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi
raknya umum. Mereka berusaha untuk mendirikan sekolah-sekolah di berbagai tempat dan
dilengkapi dengan segala sarana dan fasilitas yang diperlukan. Guru-guru digaji secara khusus
untuk mengajar di sekolah-sekolah yang mereka ajarkan.[14]

2. Mereka mendirikan sekolah-sekolah tersebu, disamping dengan harapan untuk mendapatkan


simpati drrai rakyat umumnya, juga berharap mendapatkan ampunan dan pahala dari Tuhan.
Para pembasar negara pada masa itu, dengan kekayaan mareka yang luar biasa, banyak yang hidup dalam
kemewahan dan sering pula berbuat maksiat. Dengan mendirikan sekolah-sekolah dan membiayainyya
secukupnya, berarti mereka telah mewakafkan dan membelanjakan harta bendanya di jalan Allah.
Mereka berharap hal demikian dapat menjadi penebus dosa dan maksiat yang telah mereka kerjakan.
Kalau para ulama dan para ahli berbagai ilmu pengetahuan banyak berbuat amal salaeh dengan keahlian
mereka masing-masing, maka mereka pun ingin berbuat yang serupa sebagai imbalannya.[15]

1. Para pembesar negara pada masa itu dengan kekuasaannya, telah berhasil mengumpulkan harta
kekayaan yang banyak. Mereka khawatir kalau nantinya kekayaan ttersebut tidak bisa diwariskan
keppada anak-anaknya, karena diambil oleh sultan. Anak-anak mereka akan menjadi terlantar dan
hidup dalam kemiskinan. Untuk menghindari hal tersebut, mereka mendirikan madrasah-
madrasah yang dilengkkapi oleh asrama-asrama, dan dijadikan sebagai wakaf keluarga. Anak-
anak dan kaum keluargalah yang berhak mengurus harta kekayaan wakaf tersebut, sehingga
kehidupan mereka dengan demikian akan tetap terjamin.

2. Disamping itu, didirikannya madrasah-madrasah tersebut ada hubungannya dengan usaha untuk
mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dari para pembesar negara yang
bersangkutan. Dalam mendirikan sekolah ini, mereka mempersyaratkan harus diajarkan aliran
keagamaan tertentu, dan dengan demikian aliran keagamaan tersebut akan berkembang ke
masyarakat. Walau bagaimanapun motivasinya namun jelas bahwa dengan berkembangnya
madrasah-madrasah karena muslim in telah mendapat kesempatan yang luas untuk mendapat
pendidikan yang lebih baik.

Dengan berdirinya madrasah-madrasah tersebut, lengkaplah lembaga pendidikan Islam yang bersifat
formal. Lembaga-lembaga pendidikan formal ini belum memppunyai kurikulum yang seragam, tetapi
masih bervariasi antara madrasah satu dengan lainnya. Hal itu sangattergantung kepada keahlian guru-
gurunya, pandangan tentang kepentingan suatu ilmu pengetahuan, ddan berhubungan pula dengan
perhatian dari pada pembesar pendiri sekolah-sekolah atau madrasah yang bersangkutan.[16]

Tingkat-tingkat Pengajaran

Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri atas beberapa tingkat :

1. Tingkat sekolah rendah, namanya kuttab jamak (katatib), untuk tempat belajar anak-anak.
Disamping kuttab adapula anak-anak belajar dirrumah, di istana, di toko-toko, dan dipinggir-
pinggir pasar.

2. Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan dimajelis sastera dan ilmu pengetahuan, sebagai
sambungan pelajaran di kuttab.

3. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Baghdad dan Darul ilmu di Mesir (Kairo), di
masjid-masjid dan laqin-lain.[17]

Rencana Pengajaran Kuttab (Tingkat Rendah)

Rencana pengajaran Kuttab umumnya sebagai berikut :

1. Membaca Al-Quran dan menghafalnya

2. Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu, sembahyang, puasa, dan sebagainya.
3. Menulis

4. Kisah (riwayat) orang-orang besar Islam

5. Membaca dan menghafal syair-syair atau Natsar-Natsar (prosa)

6. Berhitung

7. Pokok-pokok Nahwu dan Syaraf ala kadarnya[18]

Demikian rencana pengajaran Kuttab umumnya. Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini tidak dapat
dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masinng-masing daerah terkadang berbeda. Seperti pendapat Ibn
Khaldun yang dikutip oleh Hasan Abd al-Al, di Maroko (Maghribi) hanya diajarkan Al-Quran
dan Rasm (tulisan)nya. Di Andalusia, diajarkan Al-quran, menulis serta syair, pokok-pokok nahwu dan
sharaf serta tulisan indah (khath). Di Tunisia (Afriqiah) diajarkan Al-quran, hadis dan pokok-pokok ilmu
agama, tetapi lebih mementingkan hafalan Al-Quran.

Waktu belajar di Kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar mulai hari sabtu sampai
dengan hari kamis. Sedangkan hari Jumat merupakan hari libur. Selain hari Jumat hari libur juga pada
setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idul Adha. Jam pelajaran biasanya di bagi tiga.
Pertama, pelajaran Al-quran dimulai dari pagi hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai
pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-anak diperbolehkan untuk makan siang. Ketiga,
pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya. Dimulai setelah zhuhur
hingga akhir siang (Ashar). Pada tingkat rendah ini tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku,
meja, dan papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti satu persatu. Begitu juga
tidak ada standar buku yang dipakai.

Pada jenjang pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan. Artinya,
guru mengulang-ulang hafalan Al-quran di depan murid dan murid mengikitinya yang kemudian
diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan hafalan itu tidak terbatas pada materi-materi Al-quran atau
hadis, tetapi juga pada ilmu-ilmu lain. tak terkecuali untuk pelajaran syair, guru menggungkapkan syair
dengan lagu (wazn) yang paling mudah sehingga murid mampu menghafalkannya dengan cepat.[19]

Rencana Pembelajaran Tingkat Menengah

Rencana pelajaran tingkat menengah juga tidak sama di seluruh negara Islam karena negara Islam pada
masa itu telah bercerai antara satu dengan yang lainnya. Umumnya rencana pengajaran itu sebagai
berikut: Al-Quran, Bahasa Arab dan kesusateraannya, Fiqhi, Tafsir, Hadis, Nahwu/saraf/balaghah, ilmu-
ilmu pasti, mantiq, falak, tarikh (sejarah), ilmu-ilmu alam, kedokteran, musik.[20]

Pada jenjang pendidikan menengah disediakan pelajaran-pelajaran sebagai berikut : Al-quran, bahasa
Arab dan kesusateraan, fiqih, tafsir, hadis, nahwu/sharaf/balaghah, ilmu-ilmu eksakta, mantiq, falak,
tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran, musik, seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum jenjang
pendidikan menengah di beberapa daerah juga berbeda.[21]

Menurut Hasan Abd al-Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang bersangkutan.
Menurutnya secara garis besar metode pengajaran dibedakan menjadi dua, pertama, metode pengajaran
bidang keagamaan, (al-manhaj al-diniy al-adabiy) yang diterapkan pada meteri-materi berikut : (a)
fiqih (ilm al-fiqh). (b) tata bahasa (ilm al-nahwu), (c) teologi (ilm al-kalam), (d) menulis (al-kitabah), (e)
lagu (arudh), (f) sejarah (ilm al-akhbar terutama tarikh). Kedua, metode pengajaran bidang intelektual
(ilm manhaj alilmiy al-adabiy) yang meliputi olahraga (al-riyadhah), ilmu-ilmu ekstra (al-thabiiyah),
filsafat (al-falasafah), kedokteran (thibb), dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
serta ilmu-ilmu kebahasaan dan keagamaan yang lain.[22]

Rencana Pelajaran Pada Tingkat Tinggi

Rencana pelajaran pada tingkat tinggi tidaklah sama diseluruh negara Islam. Bahkan berlain-lain pula
dengan berubah masa dan keadaan. Umumnya perguruan tinggi itu terdiri dari dua jurusan:

1. Jurusan ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab serta kesusateraan, Ibnu khaldun menamai ilmu-ilmu
itu : Ilmu Naqlih

2. Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filasfat). Ibnu khaldu menamainya : Ilmu-ilmu Aqlih.

Ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan ilmu-ilmu Naqlih sebagai berikut : tafsir Al-Quran, hadis, fiqhi dan
ushul fiqhi, nahwu/ saraf, balagah, bahasa Arab dan kesusateraannya. Semua mata pelajaran itu diajarkan
pada perguruan tinggi dan belum diadakan takhassus (spesialisasi) dalam satu mata pelajaran saja, seperti
sekarang. Takhassus ituu hanya lahir kemudian, sesudah tamat perguruan tinggi, semua bakat dan
kecenderungan ulama-ulama itu sendiri, sesudah praktek mengajar beberapa tahun lamanya.

Ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan Aqliah sebagai berikut : mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik,
ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, falak, ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan,
kedokteran.[23]

Jenjang pendidikan yang tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga pendidikan.
Namun secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-
ilmu agama serta bahasa dan bahasa arab. Fakultas ini mengkaji ilmu-ilmu berikut: tafsir Al-quran, Hadis,
Fiqih dan Ushul Al-Fiqih, Nahwu/Sharaf, Balaghah, bahasa dan sastra Arab, Kedua, Fakultas ilmu-ilmu
hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu berikut: mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik,
ilmu-ilmu eksakta, ilmu ukur, falak, ilmu,ilmu teologi, ilmu hewan, ilmu-ilmu nabati, dan ilmu kedokteran.
Semua mata pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran
tertentu. Spesialisasi itu ditentukan setelah tamat dari perguruan tinggi, berdasrkan bakat dan
kecenderungan masing-masing sudah praktik mengajar beberapa tahun. Hal itu dibuktikan oleh Ibnu Sina,
sebagaimana diterangkan dalam karya-karyaThabaqat Athibba, bahwa setelah Ibnu Sina menamatkan
pendidikan tinggi menengah dalam usia 17 tahun, ia belajar lagi selama 1,5 tahun. Ia mengulang membaca
mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu
ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabiah (metafisika), karya Aristoteles, juga karya-karya
Al-Farabi. Ibnu Sina mendapat kesempata membaca literatur-literatur di perpustakaan Al-Amir, seperti
buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqih, dan sebagainya. Literatur-literatur itu dibacanya
sehingga ia mendapat hasil yang memuaskan. Ia selesai studi di sana dalam usia 18 tahun. Hal iini seperti
juga berlaku kepada semua orang.[24]

Metode yang dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah guru duduk diatas tikar
yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan semua materi kepada semua mahasiswanya
yang hadir. Jumlah mahasiswa yang harir tergantung kepada guru yang mengajar. Jika guru itu ulama
besar dan mempunyai kredibilitas intelektual, para mahasiswa banyak, namun jika sebaliknya ulama tidak
terkenal dan tidak mempunyai kredibilitas niscaya sepi dari para mahasiswa, bahkan
mungkin halaqahnya ditutup.

Menurut Charles Michael Stanton sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu menyusun
taliqah. Taliqah ini menurut silabus dan uraiannya yang disusun oleh masing-masing tenaga pengajar
berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang
materi yang bersangkutan. Taliqah mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan
untuk jangka waktu 4 tahun. Mahasiswa menyalin taliqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan
mereka betul-betul menyalin. Namun sebagian yang lain, menambahkan pada salinan taliqah ini dengan
pendapatnya sendiri-sendiri sehingga taliqahnya merupakan refleksi pribadi tentang materikuliah yang
disampaikan gurunya.[25]

Menurut Hasan Abd al-Al, metode pendidikan yang digunakan pada jenjang tingkat tinggi ini meliputi
metode-metode sebagai berikut : Pertama, metode ceramah (al-muhadlarah). Dalam metode ini guru
menyampaikan materikepada mahasiswa dengan diulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa
yang dikatakannya. Pada metode ini terbagi dua cara, metode dikte dan metode pengajuan kepada guru
(al-qiraat ala al syaikh). Kedua, metode diskusi (al- munadzarah).metode ini digunakan untuk menguji
argumentasi-argumentasi yang diajukan sehingga dapat teruji. Metode ini oleh kalangan Mutazilah
menjadi salah satu pilar uang sangat penting dalam sistem pendidikannya. Ketiga, metode korespondensi
jarak jauh (al-talim bi al-murasilah), metode ini merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para
mahasiswa yang menanyakan suatu masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu
memberikan jawabannya secara tertulis pula. Keempat, metode rihlah ilmiah, metode ini dilakukan oleh
para mahasiswa baik secara pribadi maupun secara kelompok dengan cara mendatangi guuru dirumahnya
yang biasanya jarak jauh untuk berdiskusi tentang suatu topik. Guru yangdidatang biasanya adalah guru
yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya.[26]

Mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah lulus ujian dan
maupun menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasyah. Ijazah terkadang
berbentuk lisan dan dalam bentuk tulisan. Ijazah itu tidak diberikan oleh sekolah, tetapi oleh guru yang
mengajarinya. Dengan diberikannya ijazah berarti yang bersangkutan diperbolehkan meriwayatkan atau
menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain.[27]

Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangn bahasa Arab, baik sebagai bahasa Administrasi
yang sudah berlaku sejak zaman Bani Ummayah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping
itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu :

1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami
perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan bani Abbas, bangsa-bangsa
non Arab banyak yang masuk islam. Asimilasinya berlangsung secara efektif dan bernilai guna.
Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam
islam. Pengaruh Persia, sangat kuat dibidang pemerintahan. Selain itu bangsa Persia banyak
berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang
kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk dalam banyak
bidang ilmu terutama filsafat.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Pertama, pada khalifah al-Mansyur hingga
Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang
astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Mamun hingga tahun
300H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan yaitu dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase
ketiga berlangsung setelah tahun 300H, terutama setelah adanya pembuatan kertas, bidang-
bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja
membawa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam
bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi al-matsur yaitu,
interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Kedua, tafsir
bi al-rayi yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis
dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah,
akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al rayi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh
perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan, hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan
terutama dalam ilmu teologi perkembangan logika dikalangan umat islam sangat mempengaruhi
perkembangan dua bidang ilmu tersebut.[28]

1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung pada zaman Abbasiyah hampir belum ditemukan
kesamaannya dalam perkembangan peradaban dunia Islam sesudahnya. Peradaban yang ditemukan dan
dihasilkan dalam kurun zaman itu belum maksimal menjadi rujukan berharga bagi peradaban umat Islam
saat ini. Malah Islam sebagai ajaran pengetahuan tidak teraplikasi kecuali hanya pada aspek normatifnya
belaka yang berupa ibadah. Spirit kekaryaan belum sepenuhnya membumi sebagaimana seharusnya.
Akhirnya tampak beberapa ajaran yang menghendaki kedinamisan dan kekreatifitasan dalam mengelola
alam tidak terbukti kecuali hanya ucapan ucapan lisan yang tak berbekas.

Masa antara tahun 750-935 M, merupakan puncak perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam yang ditandai dipraktekkannya kehidupan Islam yang demokratis sebagai ciri orang beradab.
Tindakan penguasa Abbasiyah pada masa-masa awal yang tak mengenal warga kelas dua berimplikasi
pada pemberian kesempatan sama dalam meraih prestasi khususnya bekerja di pemerintahan dan Istana
Khalifah al-Mahdi (775-785M).[29]

Berbeda dengan kepemimpinan Harun al-Rasyid (786-809M) dan puteranya al-Ma`mun (813-833M), yang
kurang demokratis, absolut, hidup mewah, raja yang menentukan segala-galanya, tanpa jelas perbedaan
tuan dan budak, tetapi di sisi lain tanpak keberpihakan pada pengembangan ilmu, ekonomi, sosial,
budaya, teknologi, dan menyediakan beasiswa yang banyak. Dan yang paling pokok adalah mempelopori
kebangkitan budaya-budaya besar.

Kritik sastra, filsafat, puisi, kedokteran, matematika, dan astronomi berkembang pesat tidak saja di
Baghdad tetapi juga di Kufah, Basrah, Jundabir, dan Harran. Pada masa-masa awal sudah ada sekitar 800
orang dokter dengan berbagai kehliannya, apoteker, dan kelengkapan-kelengkapan kesehatan lainnya.
Sementara putranya al-Mamun, dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu. Pada masanya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia memberi gaji penerjemah-
penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah.
Salah satu karya besarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah sebagai perpustakaan besar. Pada masa
al-Mamun inilah Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Pada periode pertama, pemerintahan bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politik para
khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi
lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan
bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setalah periode ini berakhir,
pemerintah Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan
terus berkembang.[30]

Tampak bahwa kemajuan pendidikan yang dialami ummat Islam masa itu tidak mengenal dikotomi atau
sekularisasi ilmu, duniawi dan ukhrawi, melainkan integrasi keilmuan tanpa memandang objek kajian.

Semangat pluralitas rupanya juga sangat terpelihara baik pada masa Ma`mun. Kepercayaan Sultan yang
diberikan kepada para penerjemah nonmuslim menandakan bahwa peristiwa itu sebuah keharmonisan
bersama tanpa pandang SARA.

Dalam beberapa literatur sejarah tentang perkembangan masa Abbasiyah, tak ditemukan satu pun kata
adanya dualisme pendidikan di dalamnya. Kemajuan ilmu filsafat, kedokteran, astronomi, matematika,
dan gerakan-gerakan penterjemahan lainnya berjalan seiring lahirnya para fuqaha, mufassir, muhaddis
dan keahlian-keahlian lainnya. Ibnu Sina terkenal dengan Avicenna cukup heboh dengan ilmu
tabib/kedokteran yang ditemukannya. Namun di sisi lain beliau juga cukup menguasai filsafat, matematika
dan lain-lain.

Hal yang paling mengagumkan adalah para kaum dzimmi yang juga berpartisipasi mencapai zaman
keemasan dengan menerjemahkan naskah-naskah filsafat dan kedokteran Hellenisme klasik dari bahasa
Yunani dan Syiria ke dalam bahasa Arab.

Dengan belajar dari masa lalu, menjadikan para ahli muslim membuat penemuan-penemuan ilmiah yang
lebih banyak pada masa itu dari pada masa-masa sebelumnya yang pernah tercatat dalam sejarah. Selain
itu, juga berkembang industri-industri perdagaangan.

Kemajuan lain yang dicapai yang sangat bermanfaat dalam perjalanan Islam kemudian adalah
berkembangnya ilmu dan ushul fiqhi, disusun dan dicetaknya kitab-kitab hadis, penafsiran Alquran. Dan
tidak kalah pentingnya adalah lahirnya para filosof dan sufi yang cukup memberi pengaruh pada dinamika
umat sampai sekarang, misalnya al-Kindi (w. 870), filosof pertama dalam Islam, al-Farabi (w. 960), Ibnu
Rusyd, dan lain-lain. Di bidang Tasawuf dikenal tokoh perempuan, Rabiah al-Adawiyah (w.801), Abu Yazid
al-Bustami (w.874), Husain al-Mansyur atau dikenal al-Hallaj (w.922), dan lain-lain.[31]

Masyarakat Islam pada masa Abbasiyah ini, mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat
yang dipengaruhi oleh dua factor :

factor politik

Faktor politik yang mempengaruhi perkembangan dan kemajuan peradaban Islam, adalah sebagai berikut
:

1. Pindahnya ibu kota negara dari Syam ke Irak dan Bagdad sebagai Ibu kotanya [146 H].
2. Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana. Khalifah-
khalifah Abassiyah, misalnya Al Mansur, banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana
dari cendekiawan cendekiawan Persia.

3. Diakuinya Mutazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa khalifah Al Mamum pada tahun
827 M. Mukhtazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berpikir pada
manusia. Aliran ini telah berkembang dalam masyarakat terutama pada masa Dinasti Abassiyah
I.[32]

2) factor sosiografi

1. a) Meningkatnya kemakmuran umat Islam pada waktu itu.

2. b) Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Persia dan Romawi yang masuk
Islam kemudian menjadi muslim yang taat.

3. c) Pribadi beberapa khalifah pada masa itu, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah I, seperti Al
Mansur,Harun al Rasyid, dan Al Mamum yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga
kebijaksanaanya banyak ditujukan kepada kemajuan ilmu pengetahuan.

4. d) Selain itu semua, menurut Ahmad Amin, karena permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam
semakin kompleks dan berkembang. Maka, untuk mengatasi semua itu diperlukan pengaturan,
pembukuan dan pembidangan ilmu pengetahuan,khususnya ilmu-ilmu naqli yang terdiri dari ilmu
agama, bahasa, dan adab.Adapun ilmu aqli, seperti kedokteran, manthiq, dan ilmu-ilmu
riyadhiyat, telah dimulai oleh umat Islam dengan metode yang teratur

3) aktivitas ilmiah antara lain seperti penyusunan buku-buku,penerjemahan buku Ilmiah, Pensyarahan.

4) kemajuan ilmu pengetahuan[33]

Aktivitas ilmiah yang dilakukan oleh kaum muslimin mengantarkan mereka mencapai puncak kemajuan
ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah.Penerjemahan yang dilakukan dengan giat menyebabkan
mereka dapat menguasai warisan intelektual dari tiga jenis kebudayaan, yaitu Yunani,

Persia, dan India, yang pada akhirnya kaum Muslimin mampu membangun kebudayaan ilmu, baik ilmu
agama maupun filsafat dan sains [ilmu umum]. Fenomena ini menarik perhatian para ahli sejarah
kebudayaan Islam karena sebagian besar orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan adalah
kaum Mawaly [muslim bukan turunan Arab atau bekas budak], terutama mereka yang berasal dari
keturunan Persia. Kemjuan ilmu pengetahuan itu antara lain :

1. Kemajuan Ilmu Agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam dan ilmu fikih.

2. Ilmu-ilmu Umum seperti filsafat, kedokteran, astronomi, ilmu pasti dan geografi[34]

Namun demikian, pada masa awal Abbasiyah, pemikiran pendidikan masih bercampur dengan pemikiran
di bidang lain. seperti kita ketahui, masa awal Abbasiyah ditandai dengan munculnya sejumlah ulama
pendiri mazhab fiqih (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafii, dan Ahmad bin Hanbal), ulama-ulama Hadis
sepeti Bukhari dan Muslim, serta ulama tafsir dan sejarawan terkenal, seperti Al-Thabari (w. 310/923).
Mereka itu banyak menulis tentang Islam yang digali dari sumber-sumber terpercaya. Diantara yang
menreka tulis adalah butiir-butir pemikiran pendidikan, meskipun masih bercampur dengan bidang-
bidang lainyang menjadi disiplin mereka (Adud,1977: 132).[35]

Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid
mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula. Akan tetapi,
karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.

Aliran-aliran teologi sudah ada pada mas Bani Ummayah, seperti Khawarij, Murjiah, dan Mutazilah. Akan
tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mutazilah muncul diujung
pemerintahan Bani Ummayah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang olebih kompleks dan sempurna
baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan
pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mutazilah
yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/ 752-849 M) dan al-Nizzam (185-221H/ 801-835
M). Asyariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskkan oleh Abu al-Hasan al-Asyri (873-935
M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi,
karena al-Asyri sebelumnya adalah pengikut mutazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra.
Penulisan Hadis, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan
oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadis
bekerja.[36]

Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam pperkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di
bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-
Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun asrtolobe. Al-Fargani yang dikenal di Eropa
dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang di terjemahkan ke dalam bahasa Latin
oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispelensisi. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi dan
Ibnu Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia
juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteran
berada di tangan Ibnu Sina. Ibnu Sina yang hjuga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran
darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qanun fi al Thibb yang merupakan ensiklopedi
kedoteran paling besar dalam sejarah. Dalam bidang optika Abu Ali al-Hasan ibnu al-Haythami, yang di
Eropa dikenal dengan nama Alhazan, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata
mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya,
bendalah yang mengiim cahaya ke mata. Di bidang Kimia, terkenal nama Jabir Ibnu Hayyan. Dia
berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak
dengan mencampurkan zat tertentu . di bidangg matemmatika terkenal nama Muhammad Ibnu Musa al-
Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata
aljabar berasal dari judul bukunya, al-jabr wa al- muqabalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-
Masudi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muruj al- Zahab wa Maadin al-
jawahir.

Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi
banyak menulis buku tenang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhada filasfat
Aristoteles. Ibnu Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal di antaranya adalah al-
Syifa. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averrose, banyak berpengaruh di Barat dalam
bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebutt dengan Averroisme.[37]
Demikianlah kemajan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintah Islam pada masa
klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Paa masa ini, kemajuan politik berjalan seiring
dengan kemajuan peradaban dan kebudayaannya, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan
dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas
periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran.[38]

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Jika dilihat dari penjelasan diatas, maka bisa ditarik kesimpulan dari pembahasan yang ada, yaitu:

Kesuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebangaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan
dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah keturunan dari pada Al-Abbas, paman Nabi
SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas,
dan pendiriannya dianggap suatu kemenangan bagi ide yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim
setelah kewafatan Rasulullah, agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan sanak-
saudaranya. Tetapi ide ini telah dikalahkan di zaman permulaan Islam, dimana pemikiran Islam yang sehat
menetapkan bahwa jabatan khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan mereka
berhak melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat dukungan.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan
politik, sosial, dan budaya.

Faktor-faktor pendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu :

1. Banyak terjadi perselisihan antara interen Bani Ummayah pada dekade terakhir pemerintahannya
hal ini diantara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi kehalifahan dan harta.

2. Pendekanya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah, seperti khalifah
Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.

3. Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang di kerjakan oleh Marwan bin
Muhammad yang menjadikan anaknya Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra mahkota.

4. Bergabungnya sebagai afrad keluarga Ummayah kepada mazhab-mazhab agama yang tidak
benar menurut syariah, seperti Al-Qadariyah.

5. Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah.

6. Kesombongan pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir pemerintahannya.

7. Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non Arab)

Pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada
masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tujuan keagamaan dan akhlak, seperti pada masa sebelumnya. Anak-anak didik diajar
membaca/menghafal Al-Quran, ialah karena hal itu suatu kewajiban dalam agama, supaya
mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu
tafsir, hadis dan sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.

2. Tujuan kemasyarakatan, Selain tujuan keagamaan dan akhlak ada pula tujuan kemasyarakatan,
yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu, supaya mereka dapat mengubah dan
memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh kejahilian menjadi masyarakat yang
bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju dan
makmur.

Ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah-madrasah, bukan saja ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, bahkan
juga diajarkan ilmu-ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.

3. Selain itu ada lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan ilmu pengetahuan serta senanag dan lazat
mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada
berdalam-dalam dalam ilmu pengetahuan. Mereka melawat keseluruh negara Islam untuk
menuntut ilmu tanpa mempedulikan susah payah dalam perjalanan, yang umumnya dilakukan
dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan
jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan.

4. Disamping itu ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum muslimin , yaitu tujuan kebendaan.
Mereka menuntut ilmu supaya mendapat penghiduapn yang layak, dan pangkat yang tinggi,
bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, seperti tujuan setengah
orang pada masa kita sekarang.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung pada zaman Abbasiyah hampir belum ditemukan
kesamaannya dalam perkembangan peradaban dunia Islam sesudahnya. Kemjuan ilmu pengetahuan itu
antara lain :

1. Kemajuan Ilmu Agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam dan ilmu fikih.

2. Ilmu-ilmu Umum seperti filsafat, kedokteran, astronomi, ilmu pasti dan geografi.

Kemudian munculnya sejumlah ulama pendiri mazhab fiqih (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafii, dan
Ahmad bin Hanbal), ulama-ulama Hadis sepeti Bukhari dan Muslim, serta ulama tafsir dan sejarawan
terkenal, seperti Al-Thabari (w. 310/923). Mereka itu banyak menulis tentang Islam yang digali dari
sumber-sumber terpercaya. Diantara yang menreka tulis adalah butiir-butir pemikiran pendidikan,
meskipun masih bercampur dengan bidang-bidang lainyang menjadi disiplin mereka (Adud,1977: 132).
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007

Al-Isy Yusuf, Dinasti Abbasiyah,Jakarta: Al-Kautsar,2007

As-Suyuti Imam, Tarikh Khulafa, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2000

Hitti Philip,History of The Arabs, New York : PT Serambi Ilmu Semesta,2002

Kurniawan Samsul, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta: Az-Ruzz Media, 2011

Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana,2011

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : PT raja Grafindo Persada, 2004

Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam , Jakarta: PT Al-Husna Zikra,1997

Umam Chatibul, Sejarah Kebudayaan Islam MTs,Semarang: Menara Kudus, 1995

Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001

Yunus Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1963

Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997

Http://Perkembangan_Pemikiran_PendidikanIslamKlasikSampaiKontemporer_Blog_ArtikelLengkapPe
rkembanganPemikiranPendidikanIslamKlasikSampaiKontemporer.html(14/09/2013)

http://SsejarahPendidikanIslamPadaMasaBaniAbasiyah.html (14/09/2013)

[1]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2001), h. 49

[2]Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam ,(Jakarta : PT Al-Husna Zikra,1997), h.1

[3]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,cet,4,(Jakarta : Kencana,2011), h.66

[4]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,h.67

[5]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,cet,1,(Jakarta : PT raja Grafindo Persada, 2004),h.19-
20

[6][6]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,cet,7,(Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1963),h. 46

[7]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,h. 46

[8]Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam,cet,5,(Jakarta : Bumi Aksara, 1997),h.89

[9]Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam,h.94-95

[10]Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam,h.96

[11]Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam,h.98


[12]Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam,h.99

[13]Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam,h.100

[14]Chatibul Umam, Sejarah Kebudayaan Islam MTs, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999) h. 57

[15]Chatibul Umam, Abidin Nawawi, Sejarah Kebudayaan Islam MTs,h.58

[16]Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam,h.102

[17]Philip Hitti, History of The Arabs,cet,10,( New York : PT Serambi Ilmu Semesta,2002), h.358

[18]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,h.48

[19]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.20

[20] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,h.48

[21]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.21

[22]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.22

[23]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,h.49

[24]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h,23-24

[25]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h,24

[26]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.24-25

[27]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.25

[28]Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.25

[29]Yusuf Al-Isy,Dinasti Abbasiyah,cet,1,(Jakarta: Al-Kautsar,2007),h.9

[30]Yusuf Al-Isy,Dinasti Abbasiyah,h.10

[31]Yusuf Al-Isy,Dinasti Abbasiyah,h.10

[32]Imam As-Suyuti, Tarikh Khulafa,cet,1,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2000),h.307

[33]http://SejarahPendidikanIslamPadaMasaBaniAbasiyah.html (14/09/2013)

[34]Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2007),h.143.

[35]Samsul Kurniawan, Sejarah Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,cet,1,(Yogyakarta : Ar-Ruz Media,


2011),h.62

[36]Samsul Kurniawan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,h.63

[37]Samsul Kurniawan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,h.64

[38]Http://Perkembangan_Pemikiran_PendidikanIslamKlasikSampaiKontemporer_Blog _ArtikelLengkap
PerkembanganPemikiranPendidikanIslamKlasikSampaiKontemporer.html(14/09/2013)

Anda mungkin juga menyukai