Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam sejarahnya, pendidikan Islam telah mengalami pasang surut. Dari zaman Rasulullah
saw. hingga tiga rezim sesudahnya (kekhalifahan Rasyidin, Daulah Umaiyyah, dan Abbasiyah)
masing-masing dengan karakteristik perkembangannya yang beragam sesuai dinamika yang
berkembang pada masa itu. Masa keemasan Islam atau sering disebut peradaban Islam dalam
bidang pendidikan ditancapkan pada masa Daulah Abbasiyah. Sebuah rezim yang dalam sejarah
Islam dinisbahkan dari mana silsilah keluarga Nabi Muhammad saw., al-Abbas (paman Nabi).
Kemajuan yang pesat diperoleh dinasti Abbasiyah dalam berbagai bidang kehidupan pada masa
itu untuk sekedar membandingkan dengan peradaban Islam kini secara jujur diakui, belum
tertandingi. Masa ini dengan dimulai dengan berkembang pesatnyya kebudayaan Islam, yang
ditandai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-
madrasah (sekolah-sekolah) formal serta universitas-universitas dalam berbagai pusat
kebudayaan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan, sekolah-sekolah dan universitas-universitas
tersebut nampak sangat dominan pengaruhnya dalam membentuk pola kehidupan dan pola
budaya kaum muslimin. Berbagai ilmu pengetahuan yang berrkembang melalui lembaga
pendidikan itu menghasilkan pembentukan dan perkembangan berbagai macam aspek budaya
kaum muslim.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah?


2. Apa tujuan pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah?
3. Apa ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Disanti Abbasiyah?

1
C. Tujuan Penulisan

1. Memperdalam lebih tau tentang sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah


2. Untuk mengetahui tujuan pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah
3. Untuk mengetahui ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Kesuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebangaimana disebutkan


melanjutkan kekuasaan dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah keturunan
dari pada Al-Abbas, paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan penderiannya dianggap suatu kemenangan
bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah, agar jabatan
khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul dan sanak-saudaranya. Tetapi idea ini telah
dikalahkan di zaman permulaan Islam, dimana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa
jabatan khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan mereka berhak
melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat dukungan.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya.1

Tetapi, orang-orang parsi yang masih berpengang pada prinsip hak ketuhanan yang suci, terus
berusaha menyebarkan prinsip tersebut, sehingga mereka berhasil membawa Bani Hasyim ke
tampuk pemerintahan. Pada pandangan public umumnya, golongan Alawiyin adalah lebih dekat
kepada Rasulullah SAW, karena kedudukan Fatimah yang menjadi anak baginda, dan juga
karena keduduk an Ali yang menjadi sepupu dan menantu baginda.

Kemudian karena keutamaan Ali yang telah memeluk agama Islam lebih dahulu dari yang lain-
lain serta perjuangannya yang terkenal untuk menegakkan Islam. Tetapi, golongan Abbasiyah
setelah berkuasa lantas mengumumkan bahwa mereka lebih utama dari Bani Hasyim untuk
mewarisi Rasulullah karena moyang mereka ialah paman baginda dan pasukan peninggalan tidak
boleh diperoleh oleh pihak sepupu, jika ada paman, dan keturunan dari anak perempuan tidak
mewarisi pusaka datuk dengan adanya pihak ‘ashabah.2
1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2001), hlm. 49
2
Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : PT Al-Husna Zikra,1997)., hlm. 1.

3
Faktor-faktor pendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu :

1. Banyak terjadi perselisihan antara interen Bani Ummayah pada dekade terakhir
pemerintahannya hal ini diantara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi kehalifahan
dan harta.
2. Pendekanya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah, seperti
khalifah Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.
3. Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang di kerjakan oleh
Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra
mahkota.
4. Bergabungnya sebagai afrad keluarga Ummayah kepada mazhab-mazhab agama yang
tidak benar menurut syariah, seperti Al-Qadariyah.
5. Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah.
6. Kesombongan pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir pemerintahannya.
7. Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non Arab)

Dari berbagai penyebab-penyebab di atas dan dengan ketidaksenangan Mawali pada Binasti
Ummayah mengakibatkan runtuhnya dinasti dan berdiri Dinasti Abbasiyah hal ini dapat dilihat
dengan bantuan para Mawali dari Khurasan dan Persi. Misalnya, bergabungnya Abu Muslim al-
Khurasani, ia berhasil menjadi pemimpin di Khurasan yang pada awalnya di bawah kekuasaan
Ummayah.3

B. Perkembangan Pendidikan dan Tujuannya

Sejak lahirnya agama Islam, lahirnya pendidikan dan pengajaran Islam. Pendidikan dan
pengajaran Islam itu terus tumbuh dan berkembang pada masa khalifah-khalifah Rasyidin dan
dan masa Ummayah. Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang
dengan sangat hebatnya di seluruh negara Islam, sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak
terhitung banyaknya, tersebar dari ke kota-kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-
pemuda berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat-pusat pendidikan,
meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu penegtahuan.4
3
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, cet,4,(Jakarta : Kencana,2011)., hlm. 66.
4
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam., hlm. 67.

4
Charles Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem
dan kurikulaum pendidikan berada ditangan ulama, kelompok orang-orang yang berpengetahuan
dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum, bukan ditentukan oleh struktur
kekuasaan yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan dengan kenyataan
kasus lembaga pendidikan Madrasah al- Mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam
Nashabe, negara melakukan kontrol terhadap pengaruh- pengaruh yang ditimbulkan oleh
madrasah ini bahkan juga melakukan investigasi metode pengajaran. Dengan intervensi
semacam ini dimungkinkan negara (State) menetapkan struktur kurikulum yang dijalankan oleh
lembaga-lembaga pendidikan dikalangan masyarakat luas.

Sekedar untuk menetralisir perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton itu lebih ditujukan
pada lembaga pendidikan yang tidak berbentuk madrasah, seperti kuttab. Sebab sistem
pendidikan yang dioperasikan oleh madrasah ternyata memiliki kepentingan-kepentinga tertentu,
baik kepentingan mazhab fiqih, teologi, atau kepentingan politis. Bahkan, dalam pendidikan
klasik, madrasah itu dibangun atas dasar wakaf seseorang yang dalam kebiasaannya memang
menargetkan tujuannya masing-masing.5 Pada masa Nabi SAW.masa khalifah-khalifah Rasyidin
dan Ummayah, tujuan pendidikan satu saja, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar
karena Allah dan mengharapkan keridaanNya, lain tidak.

Pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh
masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tujuan keagamaan dan akhlak, seperti pada masa sebelumnya. Anak-anak didik diajar
membaca/menghafal Al-Qur’an, ialah karena hal itu suatu kewajiban dalam agama,
supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama. Begitu juga
mereka diajar ilmu tafsir, hadis dan sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.
2. Tujuan kemasyarakatan, Selain tujuan keagamaan dan akhlak ada pula tujuan
kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu, supaya mereka dapat
mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh kejahilian menjadi
masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi
masyarakat yang maju dan makmur.

5
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam., cet,1,(Jakarta : PT raja Grafindo Persada, 2004)., hlm. 19-20.

5
Ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah-madrasah, bukan saja ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab,
bahkan juga diajarkan ilmu-ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.6 Selain
itu ada lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan ilmu pengetahuan serta senanag dan lazat
mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada
berdalam-dalam dalam ilmu pengetahuan. Mereka melawat keseluruh negara Islam untuk
menuntut ilmu tanpa mempedulikan susah payah dalam perjalanan, yang umumnya dilakukan
dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan
jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan.Disamping itu ada pula tujuan pendidikan sebagian
kaum muslimin , yaitu tujuan kebendaan. Mereka menuntut ilmu supaya mendapat penghiduapn
yang layak, dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan
kekuasaan di dunia ini, seperti tujuan setengah orang pada masa kita sekarang.7

C. Berkembangnya Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam

Sebelum timbul sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga
pendidikan formal, dalam dunia islam sebenarya telah berkembang lembaga lembaga pendidikan
Islam yang bersifat non formal. Lembaga lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan
denganya tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin
luas. Di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah :

1. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar

Kuttab atau maktab, berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi
katab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam Kuttab telah ada di negeri Arab,
walaupun belum banyak dikenal. Diantara penduduk Mekkah yang mula-mula belajar menulis
huruf Arab ialah Sufyan Ibnu Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu
Zuhroh Ibnu Kilat. Keduanya mempelajari di negeri Hirah.8

2. Pendidikan Rendah di Istana

6
[6]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, cet,7, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1963)., hlm. 46.
7
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam., hlm. 46.
8
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, cet,5, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997)., hlm. 89.

6
Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat, adalah berdasarkan
pemikiran bahwa pendidikan itu hanya harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu
melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Pendidikan anak di istana berbeda dengan
pendidikan anak-anak di kuttab pada umumnya. Tetapi rencana pelajaran untuk pendidikan di
istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau
dikurangi menurut kehendak para pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan
untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang
akan dihadapinya dalam kahidupannya nanti.

3. Toko-toko kitab

Pada permulaannya masa Daulah Abbasiyah, di mana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam
sudah tumbuh dan berkembang dan diakui oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang
ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya toko-toko kitab tersebut
berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-ktab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Mereka membeli dari para penulisnya kemudian
menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya. Dengan demikian toko-toko
kitab tersebut telah berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempatmenjual beli kitab-kitab
saja, tetapi juga merupakn tempat berkumpulnya para ulama, pujangga, dan ahli-ahli ilmu
pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai maslah ilmiah.
Jadi sekarang berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai
macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.9

4. Rumah-rumah para ulama (ahli ilmu pengetahuan)

Walaupun sebelumnya ruumah bukanlah merupakan tempat yang baik untuk tempat memberikan
pelajaran namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaaan Islam,
banyak juga rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar

9
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam., hlm. 94-95.

7
dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal itu pada umumnya disebebkan karena ppara ulama
dan ahli yang bersangkutan yang tidak mungkin memberikan pelajaran dimesjid, sedangkan
pelajar banyak yang berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan dari padanya. Diantara
rumah ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ali Ibnu
Muhammad Al-Fasihi, Ya’qub Ibnu Killis, Wazir Khalifah Al-Aziz billah Al-Fatimy, dan lain-
lainnya.

5. Salun kesusasteraan

Dengan majelis atau saloon kesusasteraan, dimaksudkan adalah suatu majelis khusus yang
diadakan oeh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majelis ini bermula
sejak zaman Khalifah Rasyidin, yang biasanya memberiikan fatwa dan musyawarah dan diskusi
dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. Tempat
pertemuan pada masa itu adalah masjid.

Pada masa Harun Al-Rasyid (170-193 H) majelis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa,
karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai kecerdasan, sehingga
khalifah sendiri aktif didalamnya. Disamping itu ppada masa itu dunia Islam memang diwarnai
oleh perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan negara berada dalam kondisi yang aman,
tenagng dan dalam zaman pembangunan. Pada masanya sering diadakan perlombaan antar ahli-
ahli syair, perdebatan antar fuqaha, dan diskusi di antara para sarjana berbagai macam ilmu
pengetahuan, juga diadakan sayembara diantara ahli kesenian dan pujangga.10

6. Perpustakaan

Pada zaman perkembanga ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang
sangat tinggi. Buku adalah merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan
yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan
mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. Dengan demikian buku
merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.

10
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam., hlm. 96.

8
Para ulama dan sarjana darri berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku
dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada para
penuntut ilmu. Bahkan para ulama dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para
penuntut ilmu untuk belajar di perpustakaan pribadi mereka.

Di samping itu berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang


diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari pera ulama dan sarjana. Baitul
Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid, adalah merupakan salah satu
contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa
Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu, dan berbagai
buku-uku terjemahan dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan Aramy. Perpustakaan-
perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya, dikatakan sudah menjadi aspek budaya
yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan.11

7. Masjid

Semenjak berdirinya di zaman Nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan
informasi berbagai masalah kehidupan kaum muuslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah ,
tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi-informasi
lainnya dan tempat menyelanggarakan pendidikan, baik bagi anak-anak maupun orang-orang
dewasa. Kemudian pada masa Khlifah Bani Ummayah berkembang fungsinya sebagai tempat
pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan. Para ulama mengajarkan
ilmu di masjid, tetapi majelis khalifah berpindah ke masjid atau ke tempat tersendiri.

Pada masa Bani Abbasiyah dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang
didirikan oleh pera penguasa pada umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan
fasilitas untuk pendidikan. Tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk pengajian dari
ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (khalaqah), tempat untuk bediskusi dan
munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan
dengan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang cukup banyak.

11
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam,h.99

9
Demikianlah masjid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap memegang peranan yang
pokok, di samping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan, sebagai lembaga
pendidikan dan pusat komunikasi sesama kaum muslimin.

 Sistem pendidikan di sekolah-sekolah

Sebenarnya timbulnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia
Islam adalah merupakan pengembangan semata-mata dari sistem pengajaran dan pendidikan
yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi
dengan sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di dalamnya.12

Diantara faktof-faktor yang menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah di liar masjid adalah :

1. Khalaqah-khalaqah (lingkaran) untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, yang di


dalamnya juga menjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling
menggangu, disamping sering pula menggangu orang-orang yang beribadah dalam
masjid. Keadaan demikian, mendorong untuk dipindahkannya khalaqah-khalaqah
tersebut ke luar lingkungan masjid, dan didirikanlah bangunan-bangunan sebagai ruang-
ruang kuliah atau kelas-kelas tersendiri. Dengan demikian kegiatan pengajaran dari
khalaqah-khalaqah tersebut tidak saling menggangu satu sama lain.
2. Dengan berkembang luas ilmu pengetahuan, baik mengenai agama mapun umum maka
diperlukan semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran-lingkaran pengajaran), yang
tidak mungkin keseluruhan tertampung dalam rruang masjid.

Disamping itu terdapat faktor-faktor lainnya, yang mendorong bagi pera penguasa dan pemegang
pemerintahan pada masa itu untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai bangunan-bangunan
yang terpisah dari masjid, antara lain :

1. Pada masa bangsa Turki mulai berpengaruh dalam pemerntahan Bani Abbasiyah, dan
untuk mempertahankan kedudukan mereka dalam pemerintahan, mereka berusaha untuk
menarik hati kaum muslimin pada umumnya, dengan jalan memperhatikan pendidikan
dan pengajaran bagi raknya umum. Mereka berusaha untuk mendirikan sekolah-sekolah

12
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam,h.100

10
di berbagai tempat dan dilengkapi dengan segala sarana dan fasilitas yang diperlukan.
Guru-guru digaji secara khusus untuk mengajar di sekolah-sekolah yang mereka
ajarkan.13
2. Mereka mendirikan sekolah-sekolah tersebu, disamping dengan harapan untuk
mendapatkan simpati drrai rakyat umumnya, juga berharap mendapatkan ampunan dan
pahala dari Tuhan.

Para pembasar negara pada masa itu, dengan kekayaan mareka yang luar biasa, banyak yang
hidup dalam kemewahan dan sering pula berbuat maksiat. Dengan mendirikan sekolah-sekolah
dan membiayainyya secukupnya, berarti mereka telah mewakafkan dan membelanjakan harta
bendanya di jalan Allah. Mereka berharap hal demikian dapat menjadi penebus dosa dan maksiat
yang telah mereka kerjakan. Kalau para ulama dan para ahli berbagai ilmu pengetahuan banyak
berbuat amal salaeh dengan keahlian mereka masing-masing, maka mereka pun ingin berbuat
yang serupa sebagai imbalannya.14

1. Para pembesar negara pada masa itu dengan kekuasaannya, telah berhasil mengumpulkan
harta kekayaan yang banyak. Mereka khawatir kalau nantinya kekayaan ttersebut tidak
bisa diwariskan keppada anak-anaknya, karena diambil oleh sultan. Anak-anak mereka
akan menjadi terlantar dan hidup dalam kemiskinan. Untuk menghindari hal tersebut,
mereka mendirikan madrasah-madrasah yang dilengkkapi oleh asrama-asrama, dan
dijadikan sebagai wakaf keluarga. Anak-anak dan kaum keluargalah yang berhak
mengurus harta kekayaan wakaf tersebut, sehingga kehidupan mereka dengan demikian
akan tetap terjamin.
2. Disamping itu, didirikannya madrasah-madrasah tersebut ada hubungannya dengan usaha
untuk mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dari para pembesar
negara yang bersangkutan. Dalam mendirikan sekolah ini, mereka mempersyaratkan
harus diajarkan aliran keagamaan tertentu, dan dengan demikian aliran keagamaan
tersebut akan berkembang ke masyarakat. Walau bagaimanapun motivasinya namun jelas
bahwa dengan berkembangnya madrasah-madrasah karena muslim in telah mendapat
kesempatan yang luas untuk mendapat pendidikan yang lebih baik.

13
Chatibul Umam, Sejarah Kebudayaan Islam MTs, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999) h. 57
14
Chatibul Umam, Abidin Nawawi, Sejarah Kebudayaan Islam MTs,h.58

11
Dengan berdirinya madrasah-madrasah tersebut, lengkaplah lembaga pendidikan Islam yang
bersifat formal. Lembaga-lembaga pendidikan formal ini belum memppunyai kurikulum yang
seragam, tetapi masih bervariasi antara madrasah satu dengan lainnya. Hal itu sangattergantung
kepada keahlian guru-gurunya, pandangan tentang kepentingan suatu ilmu pengetahuan, ddan
berhubungan pula dengan perhatian dari pada pembesar pendiri sekolah-sekolah atau madrasah
yang bersangkutan.15

 Tingkat-tingkat Pengajaran

Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri atas beberapa tingkat :

1. Tingkat sekolah rendah, namanya kuttab jamak (katatib), untuk tempat belajar anak-anak.
Disamping kuttab adapula anak-anak belajar dirrumah, di istana, di toko-toko, dan
dipinggir-pinggir pasar.
2. Tingkat sekolah menengah, yaitu di masjid dan dimajelis sastera dan ilmu pengetahuan,
sebagai sambungan pelajaran di kuttab.
3. Tingkat perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Baghdad dan Darul ilmu di Mesir
(Kairo), di masjid-masjid dan laqin-lain.16

 Rencana Pengajaran Kuttab (Tingkat Rendah)

Rencana pengajaran Kuttab umumnya sebagai berikut :

1. Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya


2. Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu, sembahyang, puasa, dan sebagainya.
3. Menulis
4. Kisah (riwayat) orang-orang besar Islam
5. Membaca dan menghafal syair-syair atau Natsar-Natsar (prosa)
6. Berhitung
7. Pokok-pokok Nahwu dan Syaraf ala kadarnya17

15
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam,h.102
16
Philip Hitti, History of The Arabs,cet,10,( New York : PT Serambi Ilmu Semesta,2002), h.358
17
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,h.48

12
Demikian rencana pengajaran Kuttab umumnya. Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini
tidak dapat dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masinng-masing daerah terkadang berbeda.
Seperti pendapat Ibn Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al, di Maroko (Maghribi) hanya
diajarkan Al-Quran dan Rasm (tulisan)nya. Di Andalusia, diajarkan Al-quran, menulis serta
syair, pokok-pokok nahwu dan sharaf serta tulisan indah (khath). Di Tunisia (Afriqiah) diajarkan
Al-quran, hadis dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan hafalan Al-Quran.

Waktu belajar di Kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar mulai hari sabtu
sampai dengan hari kamis. Sedangkan hari Jum’at merupakan hari libur. Selain hari Jumat hari
libur juga pada setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idul Adha. Jam pelajaran
biasanya di bagi tiga. Pertama, pelajaran Al-quran dimulai dari pagi hari hingga waktu Dhuha.
Kedua, pelajaran menulis dimulai pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-
anak diperbolehkan untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu, bahasa Arab,
syair, berhitung, dan lainnya. Dimulai setelah zhuhur hingga akhir siang (Ashar). Pada tingkat
rendah ini tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja, dan papan tulis. Guru
mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti satu persatu. Begitu juga tidak ada standar buku
yang dipakai.

Pada jenjang pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan.
Artinya, guru mengulang-ulang hafalan Al-qur’an di depan murid dan murid mengikitinya yang
kemudian diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan hafalan itu tidak terbatas pada materi-
materi Al-qur’an atau hadis, tetapi juga pada ilmu-ilmu lain. tak terkecuali untuk pelajaran syair,
guru menggungkapkan syair dengan lagu (wazn) yang paling mudah sehingga murid mampu
menghafalkannya dengan cepat.18

 Rencana Pembelajaran Tingkat Menengah

Rencana pelajaran tingkat menengah juga tidak sama di seluruh negara Islam karena negara
Islam pada masa itu telah bercerai antara satu dengan yang lainnya. Umumnya rencana
pengajaran itu sebagai berikut: Al-Qur’an, Bahasa Arab dan kesusateraannya, Fiqhi, Tafsir,
18
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.20

13
Hadis, Nahwu/saraf/balaghah, ilmu-ilmu pasti, mantiq, falak, tarikh (sejarah), ilmu-ilmu alam,
kedokteran, musik.19

Pada jenjang pendidikan menengah disediakan pelajaran-pelajaran sebagai berikut : Al-qur’an,


bahasa Arab dan kesusateraan, fiqih, tafsir, hadis, nahwu/sharaf/balaghah, ilmu-ilmu eksakta,
mantiq, falak, tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran, musik, seperti halnya pendidikan rendah,
kurikulum jenjang pendidikan menengah di beberapa daerah juga berbeda.20

Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang
bersangkutan. Menurutnya secara garis besar metode pengajaran dibedakan menjadi dua,
pertama, metode pengajaran bidang keagamaan, (al-manhaj al-diniy al-adabiy) yang diterapkan
pada meteri-materi berikut : (a) fiqih (‘ilm al-fiqh). (b) tata bahasa (‘ilm al-nahwu), (c) teologi
(‘ilm al-kalam), (d) menulis (al-kitabah), (e) lagu (‘arudh), (f) sejarah (‘ilm al-akhbar terutama
tarikh). Kedua, metode pengajaran bidang intelektual (‘ilm manhaj al’ilmiy al-adabiy) yang
meliputi olahraga (al-riyadhah), ilmu-ilmu ekstra (al-thabi’iyah), filsafat (al-falasafah),
kedokteran (thibb), dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu
kebahasaan dan keagamaan yang lain.21

 Rencana Pelajaran Pada Tingkat Tinggi

Rencana pelajaran pada tingkat tinggi tidaklah sama diseluruh negara Islam. Bahkan berlain-lain
pula dengan berubah masa dan keadaan. Umumnya perguruan tinggi itu terdiri dari dua jurusan:

1. Jurusan ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab serta kesusateraan, Ibnu khaldun menamai
ilmu-ilmu itu : Ilmu Naqlih
2. Jurusan ilmu-ilmu hikmah (filasfat). Ibnu khaldu menamainya : Ilmu-ilmu ‘Aqlih.

Ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan ilmu-ilmu Naqlih sebagai berikut : tafsir Al-Qur’an,
hadis, fiqhi dan ushul fiqhi, nahwu/ saraf, balagah, bahasa Arab dan kesusateraannya. Semua
mata pelajaran itu diajarkan pada perguruan tinggi dan belum diadakan takhassus (spesialisasi)
dalam satu mata pelajaran saja, seperti sekarang. Takhassus ituu hanya lahir kemudian, sesudah

19
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,h.48
20
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.21
21
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.22

14
tamat perguruan tinggi, semua bakat dan kecenderungan ulama-ulama itu sendiri, sesudah
praktek mengajar beberapa tahun lamanya.

Ilmu-ilmu yang diajarkan pada jurusan Aqliah sebagai berikut : mantiq, ilmu-ilmu alam dan
kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, falak, ilahiyah (ketuhanan), ilmu hewan, ilmu tumbuh-
tumbuhan, kedokteran.22

Jenjang pendidikan yang tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga


pendidikan. Namun secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua fakultas.
Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan bahasa arab. Fakultas ini mengkaji ilmu-
ilmu berikut: tafsir Al-qur’an, Hadis, Fiqih dan Ushul Al-Fiqih, Nahwu/Sharaf, Balaghah, bahasa
dan sastra Arab, Kedua, Fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari ilmu-
ilmu berikut: mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu eksakta, ilmu ukur, falak,
ilmu,ilmu teologi, ilmu hewan, ilmu-ilmu nabati, dan ilmu kedokteran. Semua mata pelajaran ini
diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi mata pelajaran tertentu.
Spesialisasi itu ditentukan setelah tamat dari perguruan tinggi, berdasrkan bakat dan
kecenderungan masing-masing sudah praktik mengajar beberapa tahun. Hal itu dibuktikan oleh
Ibnu Sina, sebagaimana diterangkan dalam karya-karya Thabaqat Athibba, bahwa setelah Ibnu
Sina menamatkan pendidikan tinggi menengah dalam usia 17 tahun, ia belajar lagi selama 1,5
tahun. Ia mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu
kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabi’ah
(metafisika), karya Aristoteles, juga karya-karya Al-Farabi. Ibnu Sina mendapat kesempata
membaca literatur-literatur di perpustakaan Al-Amir, seperti buku-buku kedokteran, bahasa
Arab, syair, fiqih, dan sebagainya. Literatur-literatur itu dibacanya sehingga ia mendapat hasil
yang memuaskan. Ia selesai studi di sana dalam usia 18 tahun. Hal iini seperti juga berlaku
kepada semua orang.23

Metode yang dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah guru duduk diatas
tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan semua materi kepada semua
mahasiswanya yang hadir. Jumlah mahasiswa yang harir tergantung kepada guru yang mengajar.
Jika guru itu ulama besar dan mempunyai kredibilitas intelektual, para mahasiswa banyak,
22
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,h.49
23
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h,23-24

15
namun jika sebaliknya ulama tidak terkenal dan tidak mempunyai kredibilitas niscaya sepi dari
para mahasiswa, bahkan mungkin halaqahnya ditutup.

Menurut Charles Michael Stanton sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu
menyusun ta’liqah. Ta’liqah ini menurut silabus dan uraiannya yang disusun oleh masing-masing
tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan,
dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta’liqah mengandung rincian-rincian materi
pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu 4 tahun. Mahasiswa menyalin ta’liqah itu
dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Namun sebagian yang
lain, menambahkan pada salinan ta’liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga
ta’liqahnya merupakan refleksi pribadi tentang materikuliah yang disampaikan gurunya.24

Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, metode pendidikan yang digunakan pada jenjang tingkat tinggi ini
meliputi metode-metode sebagai berikut : Pertama, metode ceramah (al-muhadlarah). Dalam
metode ini guru menyampaikan materikepada mahasiswa dengan diulang-ulang sehingga
mahasiswa hafal terhadap apa yang dikatakannya. Pada metode ini terbagi dua cara, metode
dikte dan metode pengajuan kepada guru (al-qiraat ‘ala al syaikh). Kedua, metode diskusi (al-
munadzarah).metode ini digunakan untuk menguji argumentasi-argumentasi yang diajukan
sehingga dapat teruji. Metode ini oleh kalangan Mu’tazilah menjadi salah satu pilar uang sangat
penting dalam sistem pendidikannya. Ketiga, metode korespondensi jarak jauh (al-ta’lim bi al-
murasilah), metode ini merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para mahasiswa yang
menanyakan suatu masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan
jawabannya secara tertulis pula. Keempat, metode rihlah ilmiah, metode ini dilakukan oleh para
mahasiswa baik secara pribadi maupun secara kelompok dengan cara mendatangi guuru
dirumahnya yang biasanya jarak jauh untuk berdiskusi tentang suatu topik. Guru yangdidatang
biasanya adalah guru yang dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya.25

Mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah lulus
ujian dan maupun menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasyah. Ijazah
terkadang berbentuk lisan dan dalam bentuk tulisan. Ijazah itu tidak diberikan oleh sekolah,

24
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h,24
25
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.24-25

16
tetapi oleh guru yang mengajarinya. Dengan diberikannya ijazah berarti yang bersangkutan
diperbolehkan meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain. 26

Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan


ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangn bahasa Arab, baik sebagai bahasa
Administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Ummayah, maupun sebagai bahasa ilmu
pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu :

1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan bani
Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk islam. Asimilasinya berlangsung
secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dalam islam. Pengaruh Persia, sangat kuat dibidang
pemerintahan. Selain itu bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu,
filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika,
dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk dalam banyak bidang ilmu terutama
filsafat.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Pertama, pada khalifah al-
Mansyur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-
karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah
al-Ma’mun hingga tahun 300H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan yaitu dalam
bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300H, terutama
setelah adanya pembuatan kertas, bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin
meluas.

Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan
saja membawa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu pengetahuan
agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi
al-ma’tsur yaitu, interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan para
sahabatnya. Kedua, tafsir bi al-ra’yi yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada
pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang

26
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.25

17
berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan
metode bi al ra’yi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan
ilmu pengetahuan, hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi
perkembangan logika dikalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang
ilmu tersebut.27

1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung pada zaman Abbasiyah hampir belum
ditemukan kesamaannya dalam perkembangan peradaban dunia Islam sesudahnya. Peradaban
yang ditemukan dan dihasilkan dalam kurun zaman itu belum maksimal menjadi rujukan
berharga bagi peradaban umat Islam saat ini. Malah Islam sebagai ajaran pengetahuan tidak
teraplikasi kecuali hanya pada aspek normatifnya belaka yang berupa ibadah. Spirit kekaryaan
belum sepenuhnya membumi sebagaimana seharusnya. Akhirnya tampak beberapa ajaran yang
menghendaki kedinamisan dan kekreatifitasan dalam mengelola alam tidak terbukti kecuali
hanya ucapan –ucapan lisan yang tak berbekas.

Masa antara tahun 750-935 M, merupakan puncak perkembangan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam yang ditandai dipraktekkannya kehidupan Islam yang demokratis sebagai ciri
orang beradab. Tindakan penguasa Abbasiyah pada masa-masa awal yang tak mengenal warga
kelas dua berimplikasi pada pemberian kesempatan sama dalam meraih prestasi khususnya
bekerja di pemerintahan dan Istana Khalifah al-Mahdi (775-785M).28

Berbeda dengan kepemimpinan Harun al-Rasyid (786-809M) dan puteranya al-Ma`mun (813-
833M), yang kurang demokratis, absolut, hidup mewah, raja yang menentukan segala-galanya,
tanpa jelas perbedaan tuan dan budak, tetapi di sisi lain tanpak keberpihakan pada
pengembangan ilmu, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan menyediakan beasiswa yang
banyak. Dan yang paling pokok adalah mempelopori kebangkitan budaya-budaya besar.

Kritik sastra, filsafat, puisi, kedokteran, matematika, dan astronomi berkembang pesat tidak saja
di Baghdad tetapi juga di Kufah, Basrah, Jundabir, dan Harran. Pada masa-masa awal sudah ada

27
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam,h.25
28
Yusuf Al-Isy,Dinasti Abbasiyah,cet,1,(Jakarta: Al-Kautsar,2007),h.9

18
sekitar 800 orang dokter dengan berbagai kehliannya, apoteker, dan kelengkapan-kelengkapan
kesehatan lainnya. Sementara putranya al-Ma’mun, dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu.
Pada masanya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku
Yunani, ia memberi gaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain
yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya adalah pembangunan
Bait al-Hikmah sebagai perpustakaan besar. Pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad menjadi pusat
kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Pada periode pertama, pemerintahan bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politik
para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Namun setalah periode ini berakhir, pemerintah Bani Abbas mulai menurun dalam bidang
politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.

Tampak bahwa kemajuan pendidikan yang dialami ummat Islam masa itu tidak mengenal
dikotomi atau sekularisasi ilmu, duniawi dan ukhrawi, melainkan integrasi keilmuan tanpa
memandang objek kajian.

Semangat pluralitas rupanya juga sangat terpelihara baik pada masa Ma`mun. Kepercayaan
Sultan yang diberikan kepada para penerjemah nonmuslim menandakan bahwa peristiwa itu
sebuah keharmonisan bersama tanpa pandang SARA.

Dalam beberapa literatur sejarah tentang perkembangan masa Abbasiyah, tak ditemukan satu pun
kata adanya dualisme pendidikan di dalamnya. Kemajuan ilmu filsafat, kedokteran, astronomi,
matematika, dan gerakan-gerakan penterjemahan lainnya berjalan seiring lahirnya para fuqaha,
mufassir, muhaddis dan keahlian-keahlian lainnya. Ibnu Sina terkenal dengan Avicenna cukup
heboh dengan ilmu tabib/kedokteran yang ditemukannya. Namun di sisi lain beliau juga cukup
menguasai filsafat, matematika dan lain-lain.

Hal yang paling mengagumkan adalah para kaum dzimmi yang juga berpartisipasi mencapai
zaman keemasan dengan menerjemahkan naskah-naskah filsafat dan kedokteran Hellenisme
klasik dari bahasa Yunani dan Syiria ke dalam bahasa Arab.

19
Dengan belajar dari masa lalu, menjadikan para ahli muslim membuat penemuan-penemuan
ilmiah yang lebih banyak pada masa itu dari pada masa-masa sebelumnya yang pernah tercatat
dalam sejarah. Selain itu, juga berkembang industri-industri perdagaangan.

Kemajuan lain yang dicapai yang sangat bermanfaat dalam perjalanan Islam kemudian adalah
berkembangnya ilmu dan ushul fiqhi, disusun dan dicetaknya kitab-kitab hadis, penafsiran
Alquran. Dan tidak kalah pentingnya adalah lahirnya para filosof dan sufi yang cukup memberi
pengaruh pada dinamika umat sampai sekarang, misalnya al-Kindi (w. 870), filosof pertama
dalam Islam, al-Farabi (w. 960), Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Di bidang Tasawuf dikenal tokoh
perempuan, Rabiah al-Adawiyah (w.801), Abu Yazid al-Bustami (w.874), Husain al-Mansyur
atau dikenal al-Hallaj (w.922), dan lain-lain.29

Masyarakat Islam pada masa Abbasiyah ini, mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat yang dipengaruhi oleh dua factor :

1. faktor politik

Faktor politik yang mempengaruhi perkembangan dan kemajuan peradaban Islam, adalah
sebagai berikut :

1. Pindahnya ibu kota negara dari Syam ke Irak dan Bagdad sebagai Ibu kotanya [146 H].
2. Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana.
Khalifah-khalifah Abassiyah, misalnya Al Mansur, banyak mengangkat pegawai
pemerintahan dan istana dari cendekiawan cendekiawan Persia.
3. Diakuinya Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa khalifah Al Ma’mum
pada tahun 827 M. Mukhtazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan
kebebasan berpikir pada manusia. Aliran ini telah berkembang dalam masyarakat
terutama pada masa Dinasti Abassiyah I.30

2. faktor sosiografi
29
Yusuf Al-Isy,Dinasti Abbasiyah,h.10
30
Imam As-Suyuti, Tarikh Khulafa,cet,1,(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2000),h.307

20
1. a) Meningkatnya kemakmuran umat Islam pada waktu itu.
2. b) Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Persia dan Romawi
yang masuk Islam kemudian menjadi muslim yang taat.
3. c) Pribadi beberapa khalifah pada masa itu, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah I,
seperti Al Mansur,Harun al Rasyid, dan Al Ma’mum yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan sehingga kebijaksanaanya banyak ditujukan kepada kemajuan ilmu
pengetahuan.
4. d) Selain itu semua, menurut Ahmad Amin, karena permasalahan yang dihadapi oleh
umat Islam semakin kompleks dan berkembang. Maka, untuk mengatasi semua itu
diperlukan pengaturan, pembukuan dan pembidangan ilmu pengetahuan,khususnya ilmu-
ilmu naqli yang terdiri dari ilmu agama, bahasa, dan adab.Adapun ilmu aqli, seperti
kedokteran, manthiq, dan ilmu-ilmu riyadhiyat, telah dimulai oleh umat Islam dengan
metode yang teratur

3. aktivitas ilmiah antara lain seperti penyusunan buku-buku,penerjemahan buku Ilmiah,


Pensyarahan.
4. kemajuan ilmu pengetahuan31

Aktivitas ilmiah yang dilakukan oleh kaum muslimin mengantarkan mereka mencapai puncak
kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah.Penerjemahan yang dilakukan dengan giat
menyebabkan mereka dapat menguasai warisan intelektual dari tiga jenis kebudayaan, yaitu
Yunani,

Persia, dan India, yang pada akhirnya kaum Muslimin mampu membangun kebudayaan ilmu,
baik ilmu agama maupun filsafat dan sains [ilmu umum]. Fenomena ini menarik perhatian para
ahli sejarah kebudayaan Islam karena sebagian besar orang yang berkecimpung dalam dunia
ilmu pengetahuan adalah kaum Mawaly [muslim bukan turunan Arab atau bekas budak],
terutama mereka yang berasal dari keturunan Persia. Kemjuan ilmu pengetahuan itu antara lain :

1. Kemajuan Ilmu Agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam dan ilmu fikih.
2. Ilmu-ilmu Umum seperti filsafat, kedokteran, astronomi, ilmu pasti dan geografi32
31
http://Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abasiyah.html (23/022017)
32
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),h.143.

21
Namun demikian, pada masa awal Abbasiyah, pemikiran pendidikan masih bercampur dengan
pemikiran di bidang lain. seperti kita ketahui, masa awal Abbasiyah ditandai dengan munculnya
sejumlah ulama pendiri mazhab fiqih (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’i, dan Ahmad bin
Hanbal), ulama-ulama Hadis sepeti Bukhari dan Muslim, serta ulama tafsir dan sejarawan
terkenal, seperti Al-Thabari (w. 310/923). Mereka itu banyak menulis tentang Islam yang digali
dari sumber-sumber terpercaya. Diantara yang menreka tulis adalah butiir-butir pemikiran
pendidikan, meskipun masih bercampur dengan bidang-bidang lainyang menjadi disiplin mereka
(Adud, 1977: 132). 33

Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak
mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya
pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang
bersama berlalunya zaman.

Aliran-aliran teologi sudah ada pada mas Bani Ummayah, seperti Khawarij, Murjiah, dan
Mu’tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional
Mu’tazilah muncul diujung pemerintahan Bani Ummayah. Namun, pemikiran-pemikirannya
yang olebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas
periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran
rasional dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail
al-Allaf (135-235 H/ 752-849 M) dan al-Nizzam (185-221H/ 801-835 M). Asy’ariyah, aliran
tradisional di bidang teologi yang dicetuskkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ri (873-935 M) yang
lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi,
karena al-Asy’ri sebelumnya adalah pengikut mu’tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam
bidang sastra. Penulisan Hadis, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin
terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para
pencari dan penulis hadis bekerja.34

Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam pperkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama
di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal
nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun asrtolobe. Al-Fargani yang
33
Samsul Kurniawan, Sejarah Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,cet,1,(Yogyakarta : Ar-Ruz Media, 2011),h.62
34
Samsul Kurniawan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,h.63

22
dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang di
terjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispelensisi. Dalam
lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibnu Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang
membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun
buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteran berada di tangan Ibnu Sina. Ibnu
Sina yang hjuga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di
antara karyanya adalah al-Qanun fi al Thibb yang merupakan ensiklopedi kedoteran paling besar
dalam sejarah. Dalam bidang optika Abu Ali al-Hasan ibnu al-Haythami, yang di Eropa dikenal
dengan nama Alhazan, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim
cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya, bendalah
yang mengiim cahaya ke mata. Di bidang Kimia, terkenal nama Jabir Ibnu Hayyan. Dia
berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau
perak dengan mencampurkan zat tertentu . di bidangg matemmatika terkenal nama Muhammad
Ibnu Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan
ilmu aljabar. Kata “aljabar” berasal dari judul bukunya, al-jabr wa al- muqabalah. Dalam bidang
sejarah terkenal nama al-Mas’udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah
Muruj al- Zahab wa Ma’adin al-jawahir.

Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-
Farabi banyak menulis buku tenang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi
terhada filasfat Aristoteles. Ibnu Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang
terkenal di antaranya adalah al-Syifa. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama
Averrose, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran
yang disebutt dengan Averroisme.35

Demikianlah kemajan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintah Islam pada
masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Paa masa ini, kemajuan politik
berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaannya, sehingga Islam mencapai masa
keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada

35

23
masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam
mengalami masa kemunduran.36

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jika dilihat dari penjelasan diatas, maka bisa ditarik kesimpulan dari pembahasan yang ada,
yaitu:

Kesuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan
kekuasaan dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah keturunan dari pada Al-
Abbas, paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan pendiriannya dianggap suatu kemenangan bagi ide yang
dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah, agar jabatan khalifah
diserahkan kepada keluarga Rasul dan sanak-saudaranya. Tetapi ide ini telah dikalahkan di

36
Samsul Kurniawan, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,h.64

24
zaman permulaan Islam, dimana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa jabatan khalifah
itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan mereka berhak melantik siapa saja
antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat dukungan. Selama dinasti ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya.

Faktor-faktor pendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu :

1. Banyak terjadi perselisihan antara interen Bani Ummayah pada dekade terakhir
pemerintahannya hal ini diantara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi kehalifahan
dan harta.
2. Pendekanya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah, seperti
khalifah Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.
3. Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang di kerjakan oleh
Marwan bin Muhammad yang menjadikan anaknya Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra
mahkota.
4. Bergabungnya sebagai afrad keluarga Ummayah kepada mazhab-mazhab agama yang
tidak benar menurut syariah, seperti Al-Qadariyah.
5. Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah.
6. Kesombongan pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir pemerintahannya.
7. Timbulnya dukungan dari Al-Mawali (non Arab)

Pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh
masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tujuan keagamaan dan akhlak, seperti pada masa sebelumnya. Anak-anak didik diajar
membaca/menghafal Al-Qur’an, ialah karena hal itu suatu kewajiban dalam agama,
supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama. Begitu juga
mereka diajar ilmu tafsir, hadis dan sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.
2. Tujuan kemasyarakatan, Selain tujuan keagamaan dan akhlak ada pula tujuan
kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu, supaya mereka dapat
mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh kejahilian menjadi

25
masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi
masyarakat yang maju dan makmur.

Ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah-madrasah, bukan saja ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab,
bahkan juga diajarkan ilmu-ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.

3. Selain itu ada lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan ilmu pengetahuan serta senanag
dan lazat mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak mengharapkan keuntungan apa-apa,
selain dari pada berdalam-dalam dalam ilmu pengetahuan. Mereka melawat keseluruh
negara Islam untuk menuntut ilmu tanpa mempedulikan susah payah dalam perjalanan,
yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai. Tujuan mereka
tidak lain untuk memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu pengetahuan.
4. Disamping itu ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum muslimin , yaitu tujuan
kebendaan. Mereka menuntut ilmu supaya mendapat penghiduapn yang layak, dan
pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan kekuasaan di
dunia ini, seperti tujuan setengah orang pada masa kita sekarang.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung pada zaman Abbasiyah hampir belum
ditemukan kesamaannya dalam perkembangan peradaban dunia Islam sesudahnya. Kemjuan
ilmu pengetahuan itu antara lain :

1. Kemajuan Ilmu Agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam dan ilmu fikih.
2. Ilmu-ilmu Umum seperti filsafat, kedokteran, astronomi, ilmu pasti dan geografi.

Kemudian munculnya sejumlah ulama pendiri mazhab fiqih (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-
Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), ulama-ulama Hadis sepeti Bukhari dan Muslim, serta ulama
tafsir dan sejarawan terkenal, seperti Al-Thabari (w. 310/923). Mereka itu banyak menulis
tentang Islam yang digali dari sumber-sumber terpercaya. Diantara yang menreka tulis adalah
butiir-butir pemikiran pendidikan, meskipun masih bercampur dengan bidang-bidang lainyang
menjadi disiplin mereka (Adud, 1977: 132).

B. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan maka saran kami:

26
• Penyajian lisan sangat penting dalam dunia mahasiswa dimana kita akan selalu dituntut
untuk menampilkan karya-karya yang telah kita buat. Penyajian lisan yang baik merupakan hal
yang diharapkan, sehingga diharapkan kepada mahasiswa agar mengetahui tata cara penyajian
lisan yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2007

Al-Isy Yusuf, Dinasti Abbasiyah,Jakarta: Al-Kautsar,2007

As-Suyuti Imam, Tarikh Khulafa, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2000

Hitti Philip,History of The Arabs, New York : PT Serambi Ilmu Semesta,2002

Kurniawan Samsul, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta: Az-Ruzz Media, 2011

Nizar Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana,2011

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : PT raja Grafindo Persada, 2004

27
Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam , Jakarta: PT Al-Husna Zikra,1997

Umam Chatibul, Sejarah Kebudayaan Islam MTs,Semarang: Menara Kudus, 1995

Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001

Yunus Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1963

Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997

28

Anda mungkin juga menyukai