Anda di halaman 1dari 22

ILMU PENDIDIKAN ISLAM

“Pendidikan Islam di Masa Dinasti Abbasiyyah”

Dosen Pengampu: H. Nur Kholis Majid, M.Ag.

Diketik Oleh
Sifa Nurfadilah – 11220150000014

PROGRAM STUDI TADRIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dam
hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah ini dari awal hingga akhir.
Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar
Muhammad SAW beserta keluarga sahabat dan kita selaku umatnya hingga akhir
zaman. Dengan ini kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyyah”. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam oleh dosen
pengampu H. Nur Kholis Majid, M.Ag.
Saya menyadari bahwa makalah ini selesai bukan karna semata-mata hasil
kerja keras kami sendiri, tetapi dukungan dari pihak lain. Maka kami
menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak, khususnya :
1. Allah SWT yang telah memberikan Kesehatan sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik.
2. Bapak H. Nur Kholis Majid, M.Ag. selaku dosen pengampu pada mata
kuliah Ilmu Pendidikan Islam yang telah membimbing dan memberikan
masukan hingga terselesaikannya makalah ini.
3. Orang tua senantiasa mendoakan saya sehingga saya dapat
menyelesaikannya tepat waktu.
4. Seluruh rekan kelas 3C program studi Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial
yang telah membagi Sebagian pengetahuannya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Saya ucapkan
terimakasih kepada semua bantuan, dukungan dan dorongannya.
Depok,2 Oktober 2023
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan ber-
kembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di bumi. Proses
pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan ber- pedoman
pada ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al Qur`an dan terjabar dalam
Sunnah Rasulullah Muhmmad SAW. Berbicara mengenai perkembangan
pendidikan Islam, setidaknya dibagi dalam lima periodisasi, yaitu periode
pembinaan pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, periode
pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak Nabi Muhammad SAW
wafat sampai masa akhir Bani Umayyah, periode kejayaan (puncak
perkembangan) pendidikan Islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah
Abbasiyah sampai jatuhnya Baghdad, periode kemunduran pendidikan Islam,
yaitu sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon yang
ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-
pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat dan periode pembaharuan
pendidikan Islam yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon
sampai masa kini yang ditandai dengan gejala- gejala kebangkitan kembali umat
dan kebudayaan Islam. Masa kejayaan pendidikan Islam, terjadi pada masa
Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang berlangsung selama kurang
lebih lima abad (750-1258 M).
Hal ini dibuktikan oleh keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam
mengembangkan keilmuan dan dengan karya-karyanya. Baik dalam bidang ilmu-
ilmu diniyah, seperti fiqih, tafsir, ilmu hadis, teologi, sampai dengan bidang
keilmuan umum seperti matematika, astronomi, filsafat, sastra sampai ilmu
kedokteran. Keberhasilan dalam bidang keilmuan tersebut disebabkan adanya
kesadaran yang tinggi akan pentingnya ilmu pengeta- huan untuk sebuah
peradaban. Mereka memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa
didukung oleh ilmu pengetahuan.1 Hal itu dapat ditun- jukkan melalui antusias
mereka dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama', para
pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, dan banyaknya perpustakaan yang
dibuka, salah satunya adalah Bait al-Hikmah.
Popularitas Kerajaan Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa khalifah
Harun al-Rasyid (768-809 M)2 dan putranya al-Ma'mun (813-833 M). Masa
pemerintahan Harun al-Rasyid selama 23 tahun menandai dimulainya masa
keemasan bagi sejarah dunia Islam bagian timur. Harun al-Rasyid memanfaatkan
kekayaan negara untuk kebutuhan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan
kedokteran, dan apotek. Al-Ma'mun penerus al-Rasyid dikenal sebagai khalifah
yang sangat gemar ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku
asing digalakkan. Dia juga membangun banyak sekolah, karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Bait Alhikmah, yaitu pusat penerjemahan yang
berfungsi sebagai pendidikan tinggi dengan perpustakaan besar. Pada masa Al-
ma’mun inilah baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana Sejarah Dinasti Abbasiyyah?
2) Bagaimana Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyyah
3) Apa Tujuan dan Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti
Abbasiyyah?
4) Apa Saja Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti
Abbasiyyah?
5) Bagaimana Metode Pengajaran Pendidikan Islam Pada Masa
Dinasti Abbasiyyah?

C. Tujuan Penulisan

1
Yusuf Qardhawi, Meluruskan Sejarah Umat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 123,
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 52.
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mencari tahu bagaimana
pendidikan islam pada masa dinasti abbasiyyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Dinasti Abbasiyyah

Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani


Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa
Dinasti Wira Kurnia Lestari Dkk: Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah... |
121 ini adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Abdullah al-
Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali bin Abdullah Ibn al-Abbas ialah pendiri Dinasti
Abbasiyah.3 Kekuasaan Bani Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang panjang
selama lima abad yaitu sejak 750-1258 M.4 Kelompok Abbasiyah merasa lebih
berhak untuk menguasai kekhalifahan islam daripada Bani Ummayah, karena
mereka adalah cabang Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi
Muhammad SAW. Menurut mereka, kelompok Ummayah secara paksa menguasai
khilafah Islam melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
Dinasti Abbasiyah, mereka melakukan gerakan pemberontakan terhadap Dinasti
Ummayah.5 Proses berdirinya Dinasti Abbasiyah diawali dengan dua strategi.
Pertama yaitu sistem mencari pendukung dan penyebaran ide yang dilakukan
secara rahasia dan strategi, kedua yaitu sistem yang dilakukan secara terang-

3
Badri Yatim, Sejarah Peradaban..... hlm. 49. Lihat juga Philip K. Hitti, History of the Arab, Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, Revisi ke 10, 2002, hlm. 359.
4
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009),
hlm. 143.
5
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009),
hlm. 143.
terangan dan himbauan-himbauan diforum resmi untuk mendirikan dinasti
Abbasiyah berlanjut peperangan melawan Dinasti Ummayah. Dari dua strategi
yang telah diterapkan oleh Muhammad bin Al- Abasy bersama temannya sejak
akhir abad pertama 132/750 M, akhirnya membuahkan hasil dengan berdirinya
Dinasti Abbasyah. Pada masa Dinasti Abbasiyah inilah masa kejayaan Islam
mengalami puncak keemasan Saat itu kemajuan di berbagai bidang mengalami
peningkatan seperti bidang pendidikan, ekonomi, politik dan sistem
pemerintahannya. Para Khalifah pada masa Dinasti Abbasiyah merupakan sosok
kuat yang mencintai ilmu pengetahuan pengetahuan sekaligus merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama. Disisi lain, kemakmuran masyarakat pada saat ini
mencapai tingkat tertinggi. Pada masa ini pula Umat Islam banyak melakukan
penelitian kritis terhadap ilmu pengetahuan hingga berhasil menyiapkan landasan
bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Tokoh-tokoh pada
puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh Khalifah yaitu al-Mahdi, al-
Hadi, Harun al-Rasyid, al-Ma'mun, a-IMu'tashim, al-Wasiq dan al-Mutawakkil.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lima periode yaitu, Periode Pertama (750
M- 847 M) para khalifah mempunyai kekuasaan penuh. Periode Kedua (847 M-
945 M) disebutkan periode pengaruh Turki. Periode Ketiga (945 M-1055 M) pada
masa ini Dinasti Abbasiyah di bawah kekuasaan Bani Buwaihi. Periode Keempat
(1055 M-1194 M.) ditandai dengan kekuasaan Bani Saljuk atas Dinasti
Abbasiyah. Periode Kelima (1194M-1258 M.) periode ini khalifah Abbasiyah
tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti apapun, mereka merdeka berkuasa
hanya di Baghdad dan sekitarnya.6

B. Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyah


Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
dari tahun 132 H (750 M) sampai 656 H (1250 M). Selama dinasti ini berkuasa
pola pemerintahan maupun pendidikan Islam yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan politik, sosial, dan kultur budaya yang terjadi pada masa-masa tersebut.
6
Departemen Agama Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997),hal. 7-9.
Kekuasaan Dinasti Abbasiyah dibagi dalam lima periode, yaitu: Pertama :Periode
I (132 H/750 M-232 H/847 M), masa pengaruh Persia pertama.Kedua :Periode II
(232 H/847 M-334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama.Ketiga :Periode III
(334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh Persia
kedua.Keempat :Periode IV (447 H/1055 M-590 H/1194 M), masa Bani Saljuk,
pengaruh Turki kedua.Kelima :Periode V (590 H/1104 M-656 H/1250 M), masa
kebebasan dari pengaruh Dinasti lain.7
Zaman pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai zaman keemasan
dan kejayaan Islam, secara politis para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
cinta ilmu pengetahuan sekaligus merupakan pusat kekuasaan politik dan agama.
Disisi lain, kemakmuran masyarakat pada saat ini mencapai tingkat tertinggi.Pada
masa ini pula umat Islam banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu
pengetahuan sehingga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Dinasti Abbasiyah menyumbang peran penting dalam soal alih bahasa atau
terjemahan, penerjemahan karya-karya penting sebenarnya sudah dimulai sejak
pertengahan dinasti Umawiyah. Ketika kekuasaan beralih ketangan dinasti
Abbasiyah, kegiatan penerjemahan ke dalam bahasa Arab semakin marak dan
dilakukan secara besar-besaran. Al- Manshur termasuk khalifah Abbasiyah yang
ikut andil dalam membangkitkan pemikiran, dia mendatangkan begitu banyak
ulama cendikia dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan ke Baghdad. Di
samping itu, dia juga mengirimkan utusan untuk mencari buku-buku ilmiah dari
negeri Romawi dan mengalihkannya ke bahasa Arab. Akibatnya pada masa ini
banyak para ilmuan dan cendikiawan bermunculan sehingga membuat ilmu
pengetahuan menjadi maju pesat. Adapun puncak keemasan dari dinasti ini berada
pada tujuh khalifah yaitu al-Mahdi, al-Hadi, Harun al-Rasyid, al-Ma’mun, al-
Mu’tashim, al-Wasiq dan al-Mutawakkil.
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di
sektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti
perak, emas, tembaga dan besi. Popularitas daulat ‘Abbasiyah mencapai

7
(Suwito, 2008: 11).
puncaknya di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-
Ma’mun (813-833M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid
untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi
didirikannya. Pada masanya juga sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat
kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan
sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuam, dan kebudayaan serta
kekuasaan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah Islam menempati
dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.8
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid, ia adalah khalifah ketujuh Bani
Abbasiyah yang melanjutkan kepemimpinan saudaranya, Al- Amin. Ia dikenal
sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan saat itu, Khalifah al-Makmun memperluas Baitul Hikmah (House of
Wisdom) yang didirikan ayahnya, Harun al-Rasyid sebagai perpustakaan,
observatorium dan pusat penerjemahan, Pendirian Bait al Hikmah merupakan
karya monumental Al Makmun yang dimaksudkan untuk memasukkan hal-hal
positif dari kebudayaan Yunani ke dalam Islam. Bait al Hikmah merupakan pusat
pengkajian dan penelitian berbagai macam ilmu sekaligus sebagai perpustakaan
yang lengkap dengan team penerjemah. Team ini bertugas menerjemahkan teks-
teks asli Yunani, Persia, Suryani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab. Para
penerjemah yang terdiri dari kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi (sabaean) yang
digaji oleh khalifah dengan gaji yang tinggi. Di samping dewan penterjemahan,
beberapa dari rakyat yang kaya melindungi penterjemahan buku-buku asing ke
dalam bahasa Arab. Pada masa inilah Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan. (W. Montgomery Watt, 1972: 68). Dan selama pemerintahan
Abbasiyah pertama, ada empat orang penterjemah yang terkemuka, yaitu, Hunayn
bin Ishaq, Wa’qub bin Ishaq, dari suku arah Kinda, Thabit ibn Qurra dari Harran,
dan Umar ibn al-Farrakhan dari Tabaristan.9

8
Badri Yatim, 2010: 53
9
Hasan Ibrahim Hasan, 1989: 134
Sejak upaya penterjemahan meluas dan sekaligus sebagai hasil kebangkitan
ilmu pengetahuan, banyak kaum muslimin mulai mempelajari ilmu-ilmu itu
langsung dalam bahasa Arab sehingga muncul sarjana-sarjana muslim yang turut
mempelajari, mengomentari, membetulkan buku-buku penterjemahan atau
memperbaiki atas kekeliruan pemahaman kesalahan pada masa lampau, dan
menciptakan pendapat atau ide baru, serta memperluas penyelidikan ilmiah untuk
mengungkap rahasia alam, yang dimulai dengan mencari manuskrip- manuskrip
klasik peninggalan ilmuan yunani kuno, seperti karya Aristoteles, Plato, Socrates,
dan sebagainya. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian dibawa ke Baghdad lalu
diterjemahkan dan dipelajari di perpustakaan yang merangkap sebagai lembaga
penelitian (Baitul Hikmah) sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Sejak akhir abad ke-10, muncul sejumlah tokoh wanita di bidang
ketatanegaraan dan politik seperti, khaizura, Ullayyah, Zubaidah, dan Bahrun. Di
bidang kesusasteraan dikenal Zubaidah dan Fasl. Di bidang sejarah para ahli
sejarah Arab mulai menyelidiki sejarah mereka sendiri, sebagian baik yang sudah
kabur maupun hanya merupakan penanggalan cerita ataupun yang sudah tertulis
dalam bentuk yang sudah disetujui dan cenderung kepada sekte keagamaan yang
bermacam-macam. Ide/proposal penyusunan sejarah dalam ukuran besar didorong
oleh paradigma orang-orang Persia seperti Pahlevi Khuday Namich atau sejarah-
sejarah raja yang diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’dari bahasa Persia kuno ke
dalam bahasa Arab dengan judul : sejarah raja-raja Persia (Turkish Muluk
al’Ajam). Buku ini dianggap sebagai paradiqma penulisan sejarah. Hisham dari
suku Kalb (619 M) dan ayah Muhammad merupakan ahli sejarah bangsa Arab
pertama, mereka terkenal karena ketelitian dalam ceritanya. (Hasan Ibrahim
Hasan, 1989: 135). Di bidang kehakiman, muncul Zainab Umm Al-Muwayid. Di
bidang seni musik, Ullayyah dikenal sangat tersohor pada waktu itu.
Sementara di bidang pendidikan mendapat perhatian yang sangat besar,
sekitar 30.000 mesjid di Baghdad berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan
pengajaran pada tingkat dasar. Perkembangan pendidikan pada masa dinasti
Abbasiyah dibagi dua tahap, tahap pertama (awal abad ke-7 M sampai dengan ke-
10 M) perkembangan secara alamiah disebut juga sebagai sistem pendidikan khas
Arabia dan tahap kedua (abad ke-11 M) kegiatan pendidikan dan pengajaran
diatur oleh pemerintah dan pada masa ini sudah dipengaruhi unsur non-Arab.10
C. Tujuan dan Kurikulum Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah
Sebelum masa pemerintahan Islam, mayoritas penduduk bangsa Arab
merupakan penduduk yang buta huruf, mereka hanya bergantung kepada
hafalan/ingatan untuk meriwayatkan/menghubungkan tradisi mereka secara lisan.
Dengan adanya kebangkitan dinasti Abbasiyah maka telah terjadi letusan aktivitas
intelektual dan mengantarkan dinasti ini mencapai zaman keemasan (golden age)
yang ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
peradaban yang mengagumkan, berbagai kemajuan yang dicapai dunia Islam
tersebut tidak mungkin terjadi tanpa didukung oleh kemajuan dalam bidang
pendidikan karena pendidikanlah yang menyiapkan sumber daya insan yang
menggerakkan kemajuan tersebut.
Berbicara tujuan dan kurikulum pendidikan Islam, pada masa Nabi
Muhammad saw., masa khulafa’Rasyidun, dan Bani Umayyah, tujuan pendidikan
satu saja yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah dan
mengharapkan keredaanNya, lain tidak. Sementara pada masa Abbasiyah tujuan
pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa
itu, tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut: (Mahmud Yunus, 1990: 46).
1. Tujuan Keagamaan dan Akhlak, seperti pada masa sebelumnya.
Anak-anak dididik dan diajar membaca/menghafal Al-Qur’an, ialah karena
hal itu suatu kewajiban dalam agama, supaya mereka mengikuti ajaran
agama dan berakhlak menurut agama. Begitu juga mereka diajar ilmu
tafsir, hadits dan sebagainya adalah karena tuntutan agama, lain tidak.
2. Tujuan Kemasyarakatan, selain tujuan keagamaan dan akhlak ada pula
tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu,
supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari
masyarakat yang penuh kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu

10
Zuhairini, Moh. Kasiran, dkk., 1985: 99.
pengetahuan, dari masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang
maju dan makmur.
3. Selain itu ada lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan ilmu pengetahuan
serta senang dan lezat mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak
mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada berdalam-dalam
dalam ilmu pengetahuan. Mereka melawat ke seluruh Negara Islam, untuk
menuntut ilmu, tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan, yang
umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai.
Tujuan mereka lain tidak untuk memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu
pengetahuan.
4. Di samping itu ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum Muslimin,
yaitu tujuan kebendaan. Mereka menuntut ilmu, supaya mendapat
penghidupan yang layak, dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau mungkin
mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini.11
Adapun kurikulum pendidikan Islam pada masa dinasti Abbasiyah dibagi menjadi
tiga bagian sesuai dengan tingkatan pendidikan masing-masing, yaitu Kurikulum
Pendidikan Dasar (kuttab), Kurikulum Pendidikan Menengah, dan Kurikulum
pendidikan Tinggi.12
a. Kurikulum Pendidikan Dasar (kuttab) : Membaca al-qur’an dan
menghafalnya, Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudlu, shalat,
puasa dan sebagainya, Menulis, Kisah atau riwayat orang-orang besar
Islam, Membaca dan menghafal syair-syair atau natsar (prosa), Berhitung,
Pokok-pokok nahwu dan sharaf ala kadarnya
b. Kurikulum Pendidikan Menengah : Rencana pelajaran untuk pendidikan
tingkat menengah tidak ada keseragaman di seluruh Negara Islam. Pada
umumnya, rencana pelajaran tersebut meliputi mata pelajaran-mata
pelajaran yang bersifat umum, sebagai berikut: (a) Al-Qur’an, (b) Bahasa
Arab dan Kesusasteraan, (c) Fiqh, (d) Tafsir, (e) Hadits, (f)

11
Mahmud Yunus, 1990: 46
12
Andewi Suhartini, 2012: 105-107.
Nahwu/Sharaf/Balaghah, (g) Ilmu- ilmu Pasti, (h) Mantiq, (i) Ilm Falak, (j)
Tarikh (Sejarah), (k) Ilmu- ilmu Alam, (l) Kedokteran, (m) Musik
c. Kurikulum Pendidikan Tinggi :Pada umumnya, rencana pelajaran pada
perguruan tinggi Islam, dibagi menjadi dua jurusan, yaitu:pertama :
Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa serta sastra Arab, yang juga disebut
sebagai ilmu-ilmu Naqliyah, yang meliputi: Tafsir al-Qur’an, Hadits, Fiqh
dan Ushul Fiqh, Nahwu/Sharaf, Balaghah, Bahasa dan Kesusastraannya,
kedua : Jurusan ilmu-ilmu umum, yang disebut sebagai ilmu Aqliyah,
meliputi: Mantiq, Ilmu-ilmu Alam dan Kimia, Musik, Ilmu-ilmu Pasti,
Ilmu Ukur, Ilmu Falak, Ilmu Ilahiyah (ketuhanan), Ilmu hewan, Ilmu
tumbuh-tumbuhan, Kedokteran

D. Perkembangan Lembaga Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyyah


Sebelum timbul sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai
lembaga pendidikan formal, dalam dunia islam sebenarya telah berkembang
lembaga lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga lembaga
ini berkembang terus dan bahkan bersamaan denganya tumbuh dan berkembang
bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Di antara
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non formal tersebut adalah:
a. Kuttab Sebagai Lembaga Pendidikan Dasar
Kuttab atau maktab, berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau
tempat menulis. Jadi kutttab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya
Islam Kuttab telah ada di negeri Arab, walaupun belum banyak dikenal. Diantara
penduduk Mekkah yang mula- mula belajar menulis huruf Arab ialah Sufyan Ibnu
Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhroh Ibnu
Kilat. Keduanya mempelajari di negeri Hirah.13
b. Pendidikan Rendah di Istana
Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat adalah
berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu hanya harus bersifat menyiapkan
anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa.

13
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, (Cet. V; Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 89.
Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab pada
umumnya. Tetapi rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis
besarnya sama saja dengan rencana pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau
dikurangi menurut kehendak para pembesar yang bersangkutan, dan selaras
dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut secara khususuntuk tujuan-
tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kahidupannya nanti.
c. Toko Kitab
Pada permulaannya masa Daulah Abbasiyah, di mana ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Islam sudah tumbuh dan berkembang dan diakui oleh penulisan
kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko
kitab. Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli
kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang
pada masa itu. Mereka membeli dari para penulisnya kemudian menjualnya
kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya. Dengan demikian toko-toko
kitab tersebut telah berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat menjual
beli kitab-kitab saja, tetapi juga merupakn tempat berkumpulnya para ulama,
pujangga, dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi, berdebat,
bertukar pikiran dalam berbagai maslah ilmiah. Jadi sekarang berfungsi juga
sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu
pengetahuan dan kebudayaan Islam.14
d. Rumah Para Ulama (Ahli Ilmu Pengetahuan)
Rumah bukanlah merupakan tempat yang baik untuk tempat memberikan
pelajaran namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaaan Islam, banyak juga rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu
pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal
itu pada umumnya disebabkan karena para ulama dan ahli yang bersangkutan
yang tidak mungkin memberikan pelajaran dimesjid, sedangkan pelajar banyak
yang berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan dari padanya. Diantara rumah
ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-Ghazali,

14
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, h. 94-95
Ali Ibnu Muhammad Al-Fasihi, Ya’qub Ibnu Killis, Wazir Khalifah Al-Aziz billah
Al-Fatimy, dan lain-lainnya.
e. Majelis atau Salon Kesusasteraan
Majelis atau salon kesusasteraan, dimaksudkan adalah suatu majelis khusus
yang diadakan oeh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan.
Majelis ini bermula sejak zaman Khalifah Rasyidin, yang biasanya memberiikan
fatwa dan musyawarah dan diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan pada masa itu
adalah masjid.
Pada masa Harun Al-Rasyid (170-193 H) majelis sastra ini mengalami
kemajuan yang luar biasa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan
dan juga mempunyai kecerdasan, sehingga khalifah sendiri aktif didalamnya.
Disamping itu ppada masa itu dunia Islam memang diwarnai oleh perkembangan
ilmu pengetahuan, sedangkan negara berada dalam kondisi yang aman, tenagng
dan dalam zaman pembangunan. Pada masanya sering diadakan perlombaan antar
ahli-ahli syair, perdebatan antar fuqaha, dan diskusi di antara para sarjana
berbagai macam ilmu pengetahuan, juga diadakan sayembara diantara ahli
kesenian dan pujangga.15
f. Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi)
Sejak perkembangan luasnya Islam, dan bahasa Arab digunakan sebagai
bahsa pengantar oleh bangsa-bangsa di luar bangsa Arab yang beragama Islam,
dan terutama di kota-kota yang banyak percampurannya dengan bahasa lain, masa
bahasa Arab berkembanga luas, tetapi bahasa Arab cenderung kehilangan keaslian
dan kemurnian. Orang-orang di luar bangsa Arab sering tidak bisa mengucapkan
lafaz-lafaz dengan baik, tidak tahu kaidah- kaidahnya sehingga sering salah
mengucapkannya. Bahasa Arab menjadi rusak dan menjadi bahasa pasaran. Oleh
karena itu khalifah-khalifah biasanya mengirimkan anak-anaknya ke badiah-
badiah ini untuk mempelajari bahasa Arab yang fasiih dan murni, dan
mempelajari pula syair-syair serta sastra Arab dari sumbernya yang asli. Banyak
ulama-ulama dan ahli ilmu pengetahuan lainnya yang pergi ke badiah-badiah

15
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, h. 96.
dengan tujuan untuk mempelajari bahasa dan kesusasteraan Arab yang asli lagi
murni tersebut. Badiah-badiah tersebut lalu menjadi sumber ilmu pengetahuan
terutama bahasa dan sastraArab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam.
g. Rumah Sakit
Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka
menyebarkan kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan
rumah-rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-pembesar negara.rumah sakit
tersebut bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-
orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan
perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan
percobaab dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu
kedokteran dan ilmu-ilmu obat-obatan atau farmasi.
Rumah sakit ini juga merupakan tempat praktikum dari sekolah-sekolah
kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi tidak jarang pula sekolah-
sekolah kedokteran tersebut didirikan tidak tterpisah dari rumah sakit. Dengan
demikian, rumah sakir dalam dunia Islam, juga juga berfungsi sebagai lembaga
pendidikan.16
h. Perpustakaan
Pada zaman perkembanga ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku
mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku adalah merupakan sumber informasi
berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para
ahlinya. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan
yang telah tertulis dalam buku. Dengan demikian buku merupakan sarana utama
dalam usaha pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.
Para ulama dan sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umumnya
menulis buku-buku dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk
diajarkan atau disampaikan kepada para penuntut ilmu. Bahkan para ulama dan
sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar
di perpustakaan pribadi mereka.

16
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, h. 98.
Di samping itu berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya
umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari pera
ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun
Al-Rasyid, adalah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang
lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab, bermacam-macam
ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu, dan berbagai buku-uku
terjemahan dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan Aramy.
Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya, dikatakan
sudah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan
sumber pengembangan ilmu pengetahuan.17
i. Masjid
Semenjak berdirinya di zaman Nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi
pusat kegiatan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muuslimin. Ia
menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan
penerangan agama dan informasi- informasi lainnya dan tempat
menyelanggarakan pendidikan, baik bagi anak-anak maupun orang-orang dewasa.
Kemudian pada masa Khlifah Bani Ummayah berkembang fungsinya sebagai
tempat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan. Para
ulama mengajarkan ilmu di masjid, tetapi majelis khalifah berpindah ke masjid
atau ke tempat tersendiri.
Pada masa Bani Abbasiyah dan masa perkembangan kebudayaan Islam,
masjid-masjid yang didirikan oleh pera penguasa pada umumnya dilengkapi
dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan. Tempat pendidikan
anak-anak, tempat-tempat untuk pengajian dari ulama-ulama yang merupakan
kelompok-kelompok (khalaqah), tempat untuk bediskusi dan munazarah dalam
berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan
dengan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang cukup banyak.
Demikianlah masjid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap memegang
peranan yang pokok, di samping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan

17
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, h. 99.
Tuhan, sebagai lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesama kaum
muslimin.

E. Metode Pengajaran
Penggunaan metode pengajaran yang tepat, akan mempermudah proses
internalisasi dan pemilikan ilmu, pelajar akan dengan mudah menyerap ilmu yang
disampaikan guru-gurunya. Menurut Rahmawati,18 pada masa Abbasiyah
pengajaran yang diberikan kepada murid- murid dilakukan seorang demi seorang
dan belum berkelas-kelas seperti sekarang. Jadi guru harus mengajar muridnya
dengan berganti-ganti. Mereka belajar dengan duduk bersila mengelilingi gurunya
atau yang disebut berhalaqah. Cara halaqah ini merupakan metode mengajar yang
dipakai di lembaga pendi- dikan tingkat tinggi. Sedangkan menurut Hanun
Asrohah,19metode pengajaran pada masa Daulah Abbasiyah dapat di-
kelompokkan menjadi tiga macam, yaitu lisan, hafalan, dan tulisan. Metode lisan
bisa berupa dikte, ceramah, qira'ah, dan diskusi. Dikte (imla') adalah metode
untuk menyampaikan pengetahuan yang diang- gap baik dan aman karena pelajar
mem- punyai catatan. Metode ini dianggap penting karena pada masa itu, buku-
buku cetak sangat sulit dimiliki. Metode ceramah juga disebut alsama' sebab
dalam metode ini guru menjelaskan sedangkan siswa mendengarkannya. Metode
hafalan dipakai pada masa lalu juga sangat khas dan merupakan ciri umum
pendidikan masa kini. Sedangkan metode tulisan dianggap sebagai metode yang
paling penting dalam proses belajar mengajar pada masa itu karena merupa- kan
20
metode pengkopian karya-karya ulama. Dalam Rahmawaty, yang dikutip dari
Charles Michael Stanton menjelaskan bahwa sebelum guru menyampaikan materi,
ia terlebih dahulu menyusun ta'liqah yang memuat silabus dan uraian yang
disusun oleh masing-masing tenaga pengajar atau guru berdasarkan catatan
perkuliahannya, hasil bacaan, dan pen- dapatnya tentang materi yang bersang-
kutan. Ta'liqah memuat rincian jumlah pelajaran dan dapat disampaikan dalam
18
Rahim Rahmawaty, Metode, Sistem, Dan Materi Pendidikan Dasar (Kuttab) Bagi Anak-anak Pada Masa
Awal Daulah Abbasiyah (132 H/750 M- 232 H/847 M), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : CV.
Kencana, 2005), hlm.73
19
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 77
20
Rahim Rahmawaty, Metode, Sistem..., hlm.
jangka waktu 4 tahun Metode tulisan dianggap metode paling penting, ini berguna
bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga bagi penggandaan jumlah buku
teks karena belum ada mesin cetak. Disamping metode tersebut, ditemukan juga
metode diskusi 'munaqasah debat/dialektika'. Tongkat kecil dianggap sebagai
perangkat pem- belajaran penting yang mesti dimiliki seorang pendidik, dan
direstui oleh khalifah untuk digunakan pada murid.21 Proses pembelajaran untuk
pendi- dikan tingkat tinggi pada masa ini dapat dibidik dari proses pengajaran
pada Madrasah Nizamiyah yang berjalan dengan cara para guru berdiri di depan
kelas menyajikan materi-materi kuliah (ceramah/talqin), sementara para siswa
mendengarkan di atas meja-meja kecil yang disediakan. Kemudian dilanjutkan
dengan diskusi (munaqasyah) antara guru dan para siswa mengenai materi yang
disajikan dalam suasana semangat keilmu- an yang tinggi. Disemua lembaga
pendidikan tingkat tinggi teologi yang tersebar, ilmu Hadis dijadikan sebagai
landasan kurikulum, dan metode pengajarannya lebih menekankan pada metode
hapalan, catatan harian dan memoranda belum membudaya, dan hapalan
merupakan sumber yang dapat dipercaya, yang didominasi oleh ahli Hadis dan
para penyair.

KESIMPULAN

21
Ibn Sina dalam bukunya Risalah al- Siyasah pada bab manajemen pendidikan anak, berbicara tentang
tongkat sebagai bagian penting dari seni mengajar yang mesti dimiliki pendidik. Lihat Philip K. Hitti, History
of the Arab..., hlm. 513.
Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan dinasti
Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, merupakan kelanjutan dari kekuasaan
dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah keturunan dari pada
Al-Abbas, paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah
bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al- Abbas, dan pendiriannya dianggap
suatu kemenangan bagi ide yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim setelah
kewafatan Rasulullah, agar jabatan khalifah diserahkan kepada keluarga Rasul
dan sanak-saudaranya. Tetapi ide ini telah dikalahkan di zaman permulaan Islam,
dimana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa jabatan khalifah itu adalah
milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan mereka berhak melantik siapa saja
antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat dukungan. Selama
dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Terjadinya berbagai kemajuan tersebut dipastikan karena didukung oleh
tersedianya sumber daya manusia yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan,
keterampilan, keahlian teknis, dan pengalaman yang dihasilkan melalui proses
pendidikan dalam arti luas. Sejarah mencatat, bahwa disamping melakukan
ekspansi teritorial, pemerintahan dinasti Umayyah juga menaruh perhatian dalam
bidang pendidikan. memberikan dorongan yang kuat terhadap kemajuan dunia
pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan dengan
tujuan agar para ilmuan, para seniman, para ulama dapat mengembangkan bidang
keahliannya masing-masing serta mampu melakukan kaderisasi ilmu. Pendidikan
pada masa bani Abbasiyah juga sangat pesat, hal ini ditandai dengan
perkembangan lembaga serta bidang ilmu pendidikan Islam.
Pemahaman secara utuh pembahasan tentang pendidikan Islam pada zaman
Abbasiyah sangat penting untuk secara berkelanjutan mendalami serta memahami
sejarah pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2007.
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001.
Fachrul Rahman, Syamsul Qamar, La Ode Ismail Ahmad | 12 Yunus Mahmud,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1963.
Zuhairi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007. Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Hidakarya Agung.
1990. Zuhairini, Moh. Kasir. dkk., Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Depag RI,
1985
Rahmawaty, Rahim, Metode, Sistem, Dan Materi Pendidikan Dasar (Kuttab) Bagi
Anak-anak Pada Masa Awal Dinasti Abbasiyah (132 H/750 M-232 H/847 M),
Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: CV. Kencana, 2005
Khairudin, pendidikan pada masa dinasti abbasiyyah. ITTIHAD Vol 11, No. 1.
2018
Jurnal Pendidikan Agama Islam, Fachrul, Syamsul, Ismail. BACAKA Vol 1 Issue
2.

Anda mungkin juga menyukai