MAKALAH
Dosen pengampu:
Oleh:
Kelompok 6
BANDUNG
1438 H/2017 M
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Salawat dan salam semoga
tercurahlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Penulis sadar bahwa makalah ini belum sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
SIMPULAN ...................................................................................................... 33
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah bukan hanya sekedar deretan fakta dan peristiwa dari masa
lampau umat manusia, tetapi merupakan interpretasi yang dilakukan oleh
para sejarawan. Sejarah peradaban Islam merupakan salah satu aspek dari
ajaran Islam yang memfokuskan perhatian pada penelusuran sejarah kaum
muslim sejak awal peradaban pra Islam hingga perkembangan terakhir.
Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah
cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, serta bagi petunjuk dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman. (Q.S Yusuf:111)
1
partner kelompok membahas kajian materi tentang masa Dinasti Abbasiyah
ini pada bab pembahasan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, penyusun dan partner
kelompok merumuskan beberapa permasalahan, di antaranya:
C. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah:
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, cet. IX, 1997, hlm. 1
3
5. Periode Kelima (590 H/1194 M 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Bagdad2.
2
Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, cet. XIV, 2003, hlm. 49
3
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
44
4
yang berada pada dar al-harb, dan hanya golongan khawarijlah yang
berada pada dar al-Islam;
6. bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah
setelah terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertempuran Karbala;
7. munculnya paham mawali, yaitu paham tentang perbedaan antara orang
Islam Arab dengan non-Arab4.
4
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
45
5
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
46
5
Abdullah bin Muhammad. Pada masa inilah revolusi Abbasiyah
berlangsung.
Perlakuan kejam itu tidak hanya pada anggota keluarga yang masih
hidup, tetapi juga yang sudah meninggal. Kuburan-kuburan mereka
dibongkar dan jenazahnya dibakar. Ada dua kuburan saja yang selamat dari
6
kekejamannya yaitu kuburan Muawiyah bin Abu Sufyan dan Umar bin
Abdul Aziz . perlakuan-perlakuan kejam itu tentu saja tentu saja telah
menimbulkan kemarahan para pendukung Dinasti Umayyah di Damaskus,
tetapi mereka berhasil ditumpas oleh Abbasiyah.
Sifat dan watak Al-Mansur dikenal oleh para penulis sejarah sebagai
seorang politikus yang demoktratis, peemberani, cerdas, teliti, disiplin, kuat
beribadah, sederhana, fasih dalam berbicara, sangat dekat dan
memperhatikan kepentingaan rakyat. Oleh karena itu, tidaklah
mengerankan bahwa selama lebih kurang 20 tahun kekuasaannya, ia telah
berhasil meletakkan landasan yang kuat dan kokoh bagi kehidupan dan
kelanjutan kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu6.
6
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
48
7
dalam refleksi kegiatan ilmiah. Pengembangan ilmu pengetahuan pada Bani
Abbasiyah merupakan iklim pengembangan wawasan dan disiplin
keilmuan7.
Kontribusi ilmu terlihat pada upaya Harun Al-Rasyid dan putranya
Al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat
peneropong bintang, perpustakaan terbesar yang di beri nama Baitul
Hikmah dan dilengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan8.
1. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam selalu
bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of edication. Pada
Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan
teknologi diarahkan ke dalam mahad. Lembaga ini kita kenal dua
tingkatan yaitu:
a. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah,
tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan
menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama
b. tingkat pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya,
pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah
gurunya.
7
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
50
8
DR. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, cet. I, 1997, hlm. 102
8
2. Corak Gerakan Keilmuan
Gerakan keilmuan pada Dinasti Abbasiyah lebih bersifat
spesifik. Kajian keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan
bertumpu pada ilmu kedokteran, disamping kajian yang bersifat pada
Al-Quran dan Al-Hadis; sedang astronomi, mantik dan sastra baru
dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
3. Kemajuan dalam Bidang Agama
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai
berkembang terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-matsur
dan tafsir bi al-rayi. Dalam bidang hadis, pada zamannya hanya bersifat
penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada
zaman ini juga mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis.
Pengklasifikasian itu secara ketat dikualifikasikan sehingga kita kenal
dengan klasifikasi hadis Shahih, Dhaif, dan Maudhu. Bahkan
dikemukakan pula kritik sanad dan matan, sehingga terlihat jarah dan
takdil rawi yang meriwayatkan hadis tersebut.
Dalam bidang fiqih, pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang
kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795
M), Imam Syafei (767-820 M) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal (780-
855 M). Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena
bahasa Arab yang semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang
menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah nahwu, sharaf, maani,
bayan, badi, arudh dan insya. Sebagai kelanjutan dari masa Amawiyah
I di Damaskus.
4. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Kemajuan ilmu teknologi (sains) sesungguhnya telah direkayasa
oleh ilmu Muslim. Kemajuan tersebut adalah sebsgai berikut:
a. Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian
diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Farazi (777 M). Ia
adalah astronom Muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu
alat untuk mengukur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada
9
ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibnu Isa Al-Asturlabi,
Al-Farghani, Al-Battani, Umar Al-Khayyam dan Al-Tusi.
b. Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah ibnu
Rabban Al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang buku Firdaus Al-
Hikmah. Tokoh lainnya adalah Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
c. Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir ibnu Hayyan (721-
815 M). Sebenarnya banyak ahli kimia Islam ternama lainnya seperti
Al-Razi, Al-Tuqrai yang hidup pada abad ke-12 M.
d. Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad
ke-3 H adalah Ahmad bin Al-Yakubi, Abu Jafar Muhammad bin
Jafar bin Jarir Al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang masyhur
adalah ibnu Khurdazabah.
5. Perkembangan Politik, Ekonomi dan Administrasi.
Sejarah telah mengukir bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah,
umat Islam benar-benar berada di puncak kejayaan dan memimpin
peradaban dunia saat itu. Masa pemerintahan ini merupakan golden age
dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, terutama pada masa Khalifah
Al-Makmun.
Daulat Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad (750-
1258 M). pemerintahan yang panjang tersebut dapat dibagi dalam dua
periode. Periode I adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai
pemerintahan Abu Abbas sampai Al-Mustakfi. Periode II adalah masa
antara tahun 945-1258 M, yaitu masa Al-Muti sampai Al-Mutasim.
Pembagian periodisasi ini diasumsikan bahwa pada periode pertama,
perkembangan di berbagai bidang masih menunjukkan grafik vertikal,
stabil dan dinamis. Sedangkan pada periode II, kejayaan terus merosot
sampai datangnya pasukan Tartar yang berhasil menghancurkan Dinasti
Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-
kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
a. memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad
b. memusnahkan keturunan Bani Umayyah
10
c. merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat
diri, Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar
kepada kaum mawali
d. menumpas pemberontakan-pemberontakan
e. menghapus politik kasta.
11
Dinasti Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan masa Umayyah. Hanya
saja pada masa ini telah mengalami kemajuan-kemajuan, perbaikan dan
penyemprunaan. Secara umum, menurut Philip K. Hitti, kendali
pemerintahan dipegang oleh khalifah sendiri. Sementara itu, dalam
operasionalnya, yang menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan
kepada wazir (menteri), masalah hukum diserahkan kepada qadi
(hakim) dan masalah militer dipegang oleh amir9
1. Para khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima,
gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan
mawali.
2. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat
kegiatan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayan.
9
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
55
10
Ratu Suntiah & Maslani. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Interes Media Foundation.
h. 101.
11
Muhlis. 2007. Islam Masa Daulat Bani Abbasiyah. Di akses dari
https://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyah.pdf , pada 5 April 2017,
pukul 9:11. Page. 2.
12
3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan
mulia.
4. Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya.
5. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan
tugasnya dalam pemerintah.
Pada masa awal berdirinya Dinasti Abbasiyah ada dua tindakan yang
dilakukan oleh para khalifahnya untuk mengamankan dan mempertahankan
dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan. Dua
tindakan tersebut yaitu:
13
Selain itu, untuk membantu khalifah dalam menjalankan tata usaha
negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat
negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kutab (sekretaris negara). Dan
dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul
diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat
sentralistik yang dinamakan dengan an-nidhamul idary al-markazy.
14
Pada periode ini, kekuasaan berada kembali ditangan khalifah,
tetapi hanya di Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.
15
Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti
Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk
menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Dibidang
pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir
sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan
sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu
selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang yang
berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin
Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang
terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Jafar bin Yahya, menjadi
wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi
Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut
persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani
keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ke dalam
pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Dinasti Abbasiyah dan
Dinasti Umayyah yang berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara,
sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi
angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdul al-Rahman
sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang
sudah ada sejak masa Dinasti Umayyah ditingkatkan peranannya
dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar
surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun
seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan
dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan
tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-
daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat,
dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia
berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-
16
765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur
pengertian khalifah kembali berubah. Konsep khalifah dalam
pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat
dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi
sebagaimana pada masa khulafaurrasyidin.
Popularitas Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Mamun (813-
833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk
keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi
didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman
khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya
sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Dengan demikian telah
terlihat bahwa pada masa khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan
wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan
peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya
antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Mamun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang
sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu
karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah,
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan
perpustakaan yang besar. Pada masa al-Mamun inilah Baghdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mutashim, khalifah berikutnya (833-842 M) memberi
peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan
antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Mamun dan
sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal.
Tidak seperti pada masa Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah
17
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang
muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus
menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan
militer Dinasti Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun
dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya dapat
dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai
prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak,
seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol,
bahkan para Khalifah sendiri berada di bawah pengaruh kekuasaan yang
lain.
2. Periode Kedua (232-334 H/847-945 M)
Periode kedua ini disebut dengan periode pengaruh Turki
pertama. Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan
besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung
mencolok. Kehidupan mewah para khalifah ini ditiru oleh para hartawan
dan anak-anak pejabat. Hal ini demikian menyebabkan roda
pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini
memberi peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula
diangkat oleh khalifah al-Mutashim untuk mengambil alih kendali
pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan
sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani
Abbas di dalam khalifah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan
ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu
usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah al-Mutawakkil yang merupakan khalifah awal dari
periode ini adalah seorang khalifah yang lemah. Pada masa
pemerintahnnya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan
cepat. Setelah khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih
18
dan mengangkat khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada
di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan
khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira
Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas khlifah pada periode kedua
ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya merosot
tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah
muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari
kekuasaan pusat. Kemudian mendirikan dinasti-dinasti kecil. Inilah
permulaan masa disintegrasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran
Dinasti Abbasiyah pada periode ini adalah:
a. Luasnya wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang harus
dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu,
tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah.
b. Dengan profesionalisme tentara, ketergantungan kepada mereka
menjadi sangat tinggi.
c. Kesulitan keuangan karena beban pembiyaan tentara sangat besar.
Setelah khalifah merosot, khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode Ketiga (334-447 H/945-1055 M)
Periode ini sering disebut sebagai periode pengaruh Persia kedua
di mana Dinasti Buwaih penganut aliran Syiah berkuasa sehingga
keadaan khalifah lebih buruk dari sebelumnya. Khalifah tidak lebih
sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi
kekuasaannya kepada tida bersaudara yaitu Ali untuk wilayah bagian
selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad
untuk wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Baghdad. Dengan demikian,
Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahan
Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih
yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
19
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan, Dinasti
Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada periode ini
muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Biruni,
Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi ikhwan as-Safa. Dalam bidang
ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan.
Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit.
4. Periode Keempat (447-590 H/1055-1199 M)
Periode ini disebut sebagai periode pengaruh Turki kedua di
mana Dinasti Bani Saljuk berkuasa. Kehadiran dinasti ini adalah atas
undangan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di
Baghdad. Keadaan khalifah memang membaik, paling tidak karena
kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama
dikuasai oleh orang-orang Syiah.
Sebagaimana periode sebelumnya,ilmu pengetahuan juga
berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada
masa Alp Arselan dan Maliksyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah dan
Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang madrasah ini
didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini
menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah
ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di
antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada
periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang tafsir dan ushul
al-Din (teologi), al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam
bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang
ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota
Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa
provinsi dengan seorang gubernur untuk mengepalai masing-masing
provonsi tersebut. Pada masa pusat kekusaaan melemah, masing-masing
provinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan
yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit
demi sedikit kekuasaan politik khalifah menguat kembali, terutama
20
untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan
Khawarizm Syah pada tahun 590 H (1199 M).
5. Periode Kelima (590-656 H/1199-1258 M)
Periode ini merupakan masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, namun kekuasaannya hanya di sekitar kota Baghdad.
Periode ini berawal ketika berakhirnya kekuasaan Dinasti Saljuk atas
Baghdad atau khalifah Abbasiyah. Wilayah kekuasaan yang sempit ini
menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol
dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurkan
tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan
tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut
masa pertengahan.12
1. Lemahnya khalifah
Sejak berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad,
khalifah Abbasiyah sudah merdeka kembali, namun kekuasaannya
hanya di daerah Baghdad saja. Sementara itu, wilayah Abbasiyah
lainnya diperintah oleh dinasti-dinasti kecil yang tersebar di sebelah
timur dan barat Baghdad. Khalifah dinasti Bani Abbasiyah di Baghdad
berhasil mengambil kesempatan dan kelemahan kaumSaljuk dan dari
gerakan-gerakan pemisahan serta mengumumkan kemerdekaannya
memerintah Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.14 Usaha untuk
mengembalikan kekuasaan khalifah dinasti Bani Abbasiyah inidirintis
oleh khalifah al-Mustarsyid (512-529 H/1118-1135 M), kemudian
12
Muhlis. 2007. Islam Masa Daulat Bani Abbasiyah. Di akses dari
https://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyah.pdf , pada 5 April 2017,
pukul 9:11. Page. 2.
13
Badri Yatim, 2003, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja GrafindoPersada, hlm. 80-85.
14
Ahmad Syalabi, 1993. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta, Pustaka al-Husna, hlm. 344.
21
dilanjutkan oleh anaknya, khalifah al-Rasyid (529-530 H/11351136 M).
Akhirnya, usaha itu banyakmembawa hasil pada masa khalifah al-
Muqtafi (530-555 H/1136-1160 M). Al-Muqtafi berhasil memegang
kendali istana (Hasan 1967: 56-57). Dengan demikian, sejak masa itu
khalifah Bani Abbas mempunyai pengaruhnya kembali, meskipun
dalam wilayah yang terbatas.
2. Persaingan antar Bangsa
Adanya kecenderungan bangsa-bangsa Maroko, Mesir, Syiria,
Irak, Persia, Turki, dan India untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak Abbasiyah berdiri. Priode 1. Pengaruh Persia, 2.
Pengaruh Turki, 3. Pengaruh Persia II, 4. Pengaruh Turki II, dan 5.
Bebas pengaruh bangsa lain tapi hanya di Baghdad saja.
3. Kemerosotan Ekonomi
Pada periode kemunduran, pendapatan negara menurun
sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan
wilayah kekuasaan semakin menyempit, banyak terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak, dan banyak
dinasti kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti.
4. Konflik Keagamaan
Kekecewaan orang Persia terhadap cita-cita yang tak tercapai
mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Mazuisme,
Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Antara orang beriman dan kaum
zindik terjadi konflik bersenjata seperti gerakan al-Afsyn dan
Qaramitah. Adanya konflik antara Syiah dan Ahlussunnah. Terajdinya
Mihnah pada masa al-Mamun (813-833 M) yang menjadikan
Mutazilah menjadi mazhab resmi negara. Al-Mutawakkil (847-861 M)
menghapus Mutazilah digantikan oleh golongan Salaf pengikut
Hambali yang tidak toleran terhadap Mutazilah yang rasional,
menyempitkan horizon intelektual. Mutazilah bangkit lagi pada masa
Buwaihi Saljuk, Asyariah menyingkirkan Mutazilah yang didukung
oleh al-Ghazali tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas
intelektual Islam.
22
Sementara itu, faktor eksternal kemunduran dan kehancuran
dinasti Bani Abbasiyah yaitu:
a. Perang SalibPerang antara umat Kristen dengan umat Islam yang
berlangsung dari tahun 1095 M sampai tahun 1291 M, telah menelan
banyakkorban menyebankan khalifah Bani Abbasiyah lemah.
b. Serangan Hulagu Khan
Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan serangan-
serangan menuju Bghdad dengan mengalahkan Khurasan diPersia
dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu. Pada tanggal 10
Pebruari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi kota
Baghdad. Perintah untuk menyerah ditolak oleh khalifah al-
Mustashim (khalifah terakhir Abbasiyah), sehingga Baghdad
dikepung dan dihancurkan.15
Pada tanggal 10 Pebruari 656 H/1258 M, Baghdad
menghadapi serbuan pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu
Khan, cucu Jengis Khan. Perlawanan kaum Muslimin dapat mereka
patahkan. Pasukan Tartar di bawah komando Yagunus memasuki
kota Baghdad dari jurusan Barat, sedang pasukan lainnya yang
langsung dipimpin Hulagu Khan masuk dari jurusan timur. Ketika
khalifah al-Mustashim beserta beberapa pembesar negara dan
tokoh-tokoh masyarakat keluar untuk menjumpai mereka (pasukan
Mongol) semua dipancung lehernya, termasuk al-Mustashim
sendiri yang telah dibunuh diseret-seret dengan kuda. Pasukan
Mongol kemudian membludak memasuki Baghdad lewat semua
jurusan. Tiga puluh empat hari lamanya pedang mereka
merajalela,hanya sedikit saja penduduk yang selamat. Beberapa dari
keluarga Bani Abbasiyah dapat melarikan diri, dan diantaranya
akhirnya ada yang menetap di Mesir.
Menurut beberapa sumber sejarah, kedatangan Hulagu ke
Baghdad atas undangan seorang wazir yang bernama Ibn al-Aqami
al-Rafidy (penganut aliran ekstrem Syiah). Ia yakin Hulagu pasti
15
Harun Nasution, 2001, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakarta: UI Press, hlm. 76.
23
akan membunuh khalifah al-Mushthashim demikian, Ibn al-Aqami
dapat memindahkan kekuasaan kekhalifahan ke tangan orang-orang
Awaliyyin. Tetapi kenyataanya, setelah pasukan Mongol
membunuh khalifah, mereka merampok semua yang terdapat di
dalamistana lalu membakar kota Baghdad sehingga banyak sekali
penduduk yang mati.16
16
W. Montgomery Watt, Op. Cit., hlm. 80
24
Daulah Bani Umayyah Andalusia berakhir setelah tiga setengah
abad berkuasa di Andalusia yaitu pada tahun 1031 M. Sewaktu wibawa
daulat Umayyah mulai lumpuh, maka gubenur-gubenur setempat telah
membebaskan dirinya dan membentuk kerajaan-kerajaan setempat di
wilayah masing-masing. Inilah yang dipanggilkan dengan Muluk-al-
Thawaif didalam sejarah Islam di Andalusia, yakni raja-raja setempat. Para
Muluk-at-Thawaif ini masih sempat berkuasa 461 tahun lamanya di
Andalusia, yakni sampai tahun 1492 M.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Andalusia hingga
jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang
sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Di masa
ini gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang pula, seperti dalam bidang
keagamaan, sejarah dan filsafat.
Spanyol (salah satu bagian wilayah Andalusia) merupakan tempat
yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam
bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar
negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada
di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya
Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan
fisik.
Di negeri inilah lahir tokoh-tokoh muslim ternama yang menguasai
berbagai ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Agama Islam, Kedokteran,
Filsafat, Ilmu Hayat, Ilmu Hisab, Ilmu Hukum, Sastra, Ilmu Alam,
Astronomi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu dengan segala kemajuan
dalam berbagai ilmu pengetahuan, kebudayaan serta aspek-aspek ke-
Islaman, Andalusia kala itu boleh dikatakan sebagai pusat kebudayaan
Islam dan ilmu pengetahuan yang tiada tandingannya setelah
Konstantinopel dan Bagdad. Tak heran, waktu itu pula bangsa-bangsa Eropa
lainnya mulai berdatangan ke negeri Andalusia ini untuk mempelajari
berbagai Ilmu pengetahuan dari orang-orang Muslim Spanyol, dengan
mempelejari buku-buku buah karya cendekiawan Andalusia baik secara
sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Pada periode 912-1013 M,
25
umat Islam di Andalusia mencapai puncak kemajuan dan kejayaan
menyaingi kejayaan Daulah abbasiyah di Bagdad.
Ketika jayanya kebudayaan Islam, di Andalusia didirikan
Universitas-universitas Islam. Tidak sedikit dari mahasiswa-mahasiswa
Eropa Barat yang menuntut ilmu di sana. Pengaruh peradaban Islam,
termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari
banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-
universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga,
Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif
menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim. Pusat
penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka
mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Mereka inilah yang telah
membawa perubahan cara berpikir di Eropa barat, dengan cara
mengembangkan pemikiran filsafat terutama aliran Averroeisme yang
mengajarkan tentang logika dan pemikiran rasional.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa telah berlangsung
sejak abad 12 M. Dalam abad ke 14 timbul gerakan kebangkitan kembali
untuk mencernakan pustaka Yunani yang berhasil diselamatkan, dipelihara
dan dikenal berkat terjemahan-terjemahan Arabnya. Dari bahasa Arab
karya-karya tulis tersebut diterjemahkan kembali dalam bahasa Latin.
Walaupun tidak terlalu besar, namun ada pengaruh Islam yang masuk Eropa
melalui Perang Salib. Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang
sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan
kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-
14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui
terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan
kembali ke dalam bahasa Latin.
Terjemahan bahasa Yunani, Persia, Hindu, dan Syiria semurni
penerjemahan karya-karya muslim dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin,
diperkenalkan konsep-konsep baru pengetahuan Eropa, penelitian Skolastik
seperti matematika, sejarah, dan eksperimen. Paling penting penerjemahan-
penerjemahan ini merupakan bagian terbesar dari ilmu pengetahuan klasik
26
dan ilmu pengetahuan muslim serta karya-karya unggulan. Ketika
kekuasaan Islam mulai mundur pada abad 14 M, Eropa bangkit dari
keterbelakangannya. Kebangkitan itu bukan saja terlihat dalam bidang politi
dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan
bagian dunia lainnya, tetapi terutama dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bahkan kemajuan dalam bidang Ilmu dan teknologi itulah yang
mendukung keberhasilan politiknya. Kemajuan-kemajuan Eropa ini tidak
bisa dipisahkan dari pemerintahan Islam di Andalusia, dari universitas-
universitas di Andalusia ini Eropa banyak menimba ilmu.
Sumbangan daulat Islam di Andalusia terhadap renaissance di Eropa
ini sangat menarik untuk diteliti karena kontribusi daulat Islam di Andalusia
dalam mempertahankan dan menggembangkan warisan pengetahuan dari
Yunani sangat nyata. Umat Islam bukan hanya menjaga, akan tetapi juga
mengembangkan Ilmu warisan Yunani tersebut. Banyak buku-buku
peninggalan dari Aristiteles, Plato, Sokrates yang diterjemahkan dan
dikembangkan oleh ilmuwan Islam. Akulturasi antara budaya Islam dan
Yunani ini melahirkan pengetahuan Greco-Muslim.
Keadaan perkembangan filsafat Yunani, ketika pertemuan awal
dengan umat Islam sedang berada pada titik yang terendah, bahkan hampir
punah karena ditekan dan diabaikan oleh penguasa saat itu. Wacana
keilmuan Yunani menemukan penyelamatnya yang mampu
membangkitkan kembali semangat lama beserta substansi dengan uraian
original pada orang Islam, seperti yang dilakukan Ibn Rusyd. Kaum
Muslimin juga mengkonsolidasikan antara agama dan filsafat dengan cara
yang adil, seimbang dan rasional pada saat itu. Pengetahuan Greco-Muslim
ini pada akhirnya sampai ketangan bangsa Eropa melalui universitas-
universitas serta perpustakaan-perpustakaan yang didirikan dinasti
Umayyah di Andalusia. Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri
Spanyol dengan cara yang sangat kejam tetapi pengetahuan yang di dapat
dari umat muslim itu menyadarkan bangsa Eropa dan pada akhirnya
membangkitkan gerakan-gerakan penting di Eropa.
27
Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan
Yunani klasik (raenaissence) pada abad ke-14 M yang bermula dari Italia,
gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17, dan
pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-18 M.
1. Melalui Perang Salib
Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad (1095
1291) membawa dampak yang sangat berarti terutama bagi Eropa yang
beradabtasi dengan peradaban Islam yang jauh lebih maju dari berbagai
sisi. Perang Salib menghasilkan hubungan antara dua dunia yang sangat
berlainan. Masyarakat Eropa yang lamban dan enggan terhadap
perdagangan dan pendapatnya yang naf terhadap dunia usaha.
Masyarakat Eropa terkesan ortodok dan tradisional. Di sisi lain terdapat
masyarakat Bizantium yang gemerlapan dengan vitalitas perkotaan,
kebebasan berekonomi secara luas dengan tidak ada pencelaan dari
ideologi tertentu dan dengan perdagangan yang maju.
Prajurit perang Salib datang dari benteng-benteng yang sangat
gersang dan mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan Bangsa
yang biadab dan Barbar yang lebih dari mereka, ternyata terperangah
ketika sudah berhadapan langsung dengan dunia Timur yang lebih
beradab, maju dengan peredaran uang yang cukup banyak sebagai
pondasi perekonomian.
Mereka sangat tertarik dengan peradaban serta budaya Islam
yang jauh lebih maju. Bahasa Arab mulai mereka gunakan sebagai
bahasa pergaulan sehari-hari. Tidak sedikit pula diantara mereka yag
memeluk agama Islam dan kawin dengan penduduk asli. Hal inilah yang
terjadi pada Richard the Lion Heart.
Secara sederhana dampak Perang Salib dapat dijelaskan
sebagaimana berikut:
Pertama: Perang salib yang berlangsung antara Bangsa Timur
dengan Barat menjadi penghubung bagi Bangsa Eropa khususnya untuk
mengenali dunia Islam secara lebih dekat lagi. Ini memiliki arti yang
cukup penting dalam kontak peradaban antara Bangsa Barat dengan
28
peradaban Timur yang lebih maju dan terbuka. Kontak peradaban ini
berdampak kepada pertukaran ide dan pemikiran kedua wilayah
tersebut. Bangsa Barat melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan tata
kehidupan di Timur dan hal ini menjadi daya dorong yang cukup kuat
bagi Bangsa Barat dalam pertumbuhan intelektual dan tata kehidupan
Bangsa Barat di Eropa. Interaksi ini sangat besar andilnya dalam
gerakan renaisance di Eropa. Sehingga dapat dikatakan kemajuan Eropa
adalah hasil transformasi peradaban dari Timur.
Kedua: Pra Perang Salib masyarakat Eropa belum melakukan
perdagangan ke Bangsa Timur, namun setelah Perang Salib interaksi
perdagangan pun dilakukan. Sehingga pembauran peradaban pun tidak
dapat dihindarkan terlebih lagi setelah Bangsa Barat mengenal tabiat
serta kemajuan Bangsa Timur. Perang Salib membawa perubahan yang
cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi Bangsa Eropa.
Kehidupan lama Bangsa Eropa yang berdasarkan ekonomi semata sudah
berkembang dengan berdasarkan mata uang yang cukup kuat. Dengan
kata lain Perang Salib mempercepat proses transformasi perekonomian
Eropa.
Ketiga: Perang Salib sebagai sarana mengalirnya ilmu
pengetahuan dari Timur ke Barat. Pasca penyerbuan yang berlangsung
lebih dari 2 abad, para tentara Barat mulai menyesuaikan diri denga
kehidupan Bangsa Timur. Mereka melihat ketinggian peradaban dan
budaya Islam dalam berbagai aspek kehidupan, yakni, makanan,
pakaian, alat-alat rumah tangga, musik, alat-alat perang, obat-obatan,
ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi, tanam-tanaman, sastra, ilmu
militer, pertambangan, pemerintahan, pelayaran (navigasi) dan lain-lain.
Tentara Salib (crusaders) membawa berbagai keilmuan ke negara
mereka dengan kata lain terjadi transformasi budaya (culture) dan
peradaban (civilazation) dari Timur ke Barat.
Keempat: Bangsa Barat melakukan penyelidikan terhadap seni
dan budaya (art and culture) serta pengetahuan (knowledge) dan
berbagai penemuan ilmiyah yang ada di Timur. Hal ini meliputi sistem
29
pertanian, sistem industri Timur yang sudah berkembang dan maju serta
alat-alat teknologi yang dihasilkan Bangsa Timur seperti kompas
kelautan, kincir angin dan lain-lain. Setelah kembali ke negerinya
Bangsa Eropa menyadari betapa pentingnya memasarkan produk-
produk Timur yang lebih maju, mereka mendirikan sistem-sistem
pemasaran produk Timur. Maka semakin pesatlah perkembangan
perdagangan antara Timur dengan Barat.
Kelima: Perang Salib yang meluluh-lantakkan infra dan
suprastruktur terutama di negara-negara Timur berakibat tertanamnya
rasa kebencian antara Timur dan Barat. Di benak Kristen Eropa diyakini
sangat membenci warga Negara Timur baik yang beragama Kristen,
Yahudi terutama terhadap muslim. Tentunya hal ini jika tidak disikapi
dengan bijaksana akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan
saja.
2. Melalui Negeri Sisilia
Sisilia adalah sebuah pulau di laut tengan, letaknya berada di
sebelah selatan semenanjung Italia, dipisahkan oleh selat Messina.
Pulau ini bentuknya menyerupai segitiga dengan luas 25.708 km
persegi. Sebelah utara terdapat teluk Palermo dan sebelah timur terdapat
teluk Catania. Pulau ini di sebelah barat dan selatannya adalah kawasan
laut Mediterranian, sebelah utara berbatasan dengan laut Tyrrhenian dan
sebelah timurnya berbatasan dengan laut Ionian.
Pulau sisilia bergunung gunung dan sangat indah, iklimnya yang
baik, tanahnya subur, dan penuh dengan kekayaan alamnya. Pulau ini di
bagi menjadi tiga bagian: Val di Mazara di sebelah barat, Val di Noto di
sebelah tenggara dan Val Demone di bagian timur laut . Islam hanya
menjadi agama resmi di Val di Mazara sedangkan di bagian yang
lainnya mayoritas beragama kristen.
Sementara itu penaklukan umat Islam atas kepulauan Sisilia
merupakan buih terakhir dari gelombang serbuan yang dibawa bangsa
Arab ke Afrika Utara dan Andalusia. Karena masuknya Islam di Sisilia
sangat terkait dengan masuknya Islam di Andalusia, bahkan disinyalir
30
apa yang dicapai oleh dunia Eropa diabad modern sekarang ini tidak lain
adalah warisan umat Islam di Andalusia dan Sisilia. Sisilia adalah
sebuah pulau subur di Italia Selatan pernah dikuasai oleh bangsa
Yunani, Romawi, Byzantium, Arab dan akhirnya jatuh ke dalam
kerajaan Kristen Normandia serta kini menjadi bagian dari Italia.
Kita mengetahui bahwa bangsa Arab menaklukan Sisilia di masa
akhir dinasti Aghalibah yang berdiri di Afrika (Sekarang Tunisia dan
Al-Jazair) di era Abbasiah yaitu di pertengahan abad 3 hijriah atau 10
Masehi dan paska Romawi menyerang daerah-daerah Islam. Ketika
datang bangsa Fatimiah dan membangun kekuasaannya di Barat,
mereka juga menguasai Sisilia bagian dari dinasti Aghalibah serta
menguasai Selatan Italia sampai Roma.
Penguasaan bangsa Arab terhadap daerah-daerah Italia
menyebabkan peradaban Islam menjadi luas, daerah-daerah seperti
Palermo, Messine, Siracusaa, Bari selanjutnya menjadi pusat peradaban
Islam di Italia. Dunia Kristen latin ini merasakan pengaruh Muslim
melalui Sisilia. Serangan pertama ke Sisilia tahun 652, ketika kota
Siracusa dimasuki, orang-orang Arab memiliki angkatan perang yang
mampu menandingi angkatan perang Bizantium.
Pendudukan Arab atas Sisilia tidak berlangsung lama seperti
pendudukan atas Spanyol. Pada pertengahan abad ke-18, ksatria
Norman melihat bahwa mereka hidup dengan baik di Italia bagian
selatan, sebagai pedagang atau sebagai pengusaha militer independen.
Efesiensi kemiliteran mereka sedemikian rupa sehingga beberapa ratus
ksatria di bawah pimpinan Robert Guiscard telah berhasil mengalahkan
Bizantium dan mendirikan kerajaan Norman.
Pada tahun 1060, saudaranya Roger memimpin invasi ke Sisilia
dan berhasil merebut Messina dan berlanjut dengan pendudukan seluruh
wilayah tersebut sampai 1091. Dengan demikian, kehadiran orang-
orang Arab di Spanyol dan Sisilia, keunggulan Arab secara perlahan
menemukan jalur masuknya ke Eropa Barat. Meskipun Eropa Barat telat
menjalin hubungan dengan Imperium Bizantium, ia jauh lebih banyak
31
mengambil alih kebudayaan orang-orang Arab ketimbang orang-orang
Bizantium.
3. Melalui Andalusia (Spanyol)
Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi
akibat pendudukan kaum muslimin atas Spanyol dan Sisilia. Bangsa
arab selama 8 abad lamanya menempati daerah ini. Karenanya
peradaban Islam menyebar di pusat-pusat tempat yang berbeda. Seperti:
di Kordova, Sevilla, Granada, Toledo.
Penduduk Andalusia (Spanyol) mayoritas menganut ajaran
masehi, yang kemudian terpecah dengan datangnya peradaban arab.
Bahkan mereka ganti bahasa mereka dengan berbicara dengan bahasa
arab. Mereka mengenal istilah Mozabarabes, kata ini yang dalam bahasa
arab disebut mustarib. Untuk itu pula para pendeta nasrani melakukan
terjemahan injil ke dalam bahasa Arab.
Sebagaimana disebutkan syalabi bahwa orang Spanyol telah
meninggalkan bahasa latin dan melupakannya, Seorang pendeta di
Cordova mengeluh, hampir di kalangan mereka tidak ada yang mampu
membaca kitab suci yang berbahasa latin. Bahkan cendekiawan muda
hanya mengetahui dan memahami bahasa Arab.Islam memainkan
peranan yang sangat besar selama hampir 8 abad. Dari Spanyolah
peradaban Islam pindah ke Eropa.17
17
Youchenky Salahuddin Mayeli. 2012. Transmisi Peradaban Islam Ke Dunia Barat. Diaksess dari
https://youchenkymayeli.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-islam-pertengahan-
transmisi.html . pada 5 April 2017, pukul 9:11.
32
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Dari pembahasan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pada
Dinasti Abbasiyah merupakan negara kekuasaan yang berbentuk negara khalifah,
dengan sistem pemerintahan dan politik yang berbeda sesuai dengan perubahan dan
perkembangan sosial dan kebudayaan. Pada masa Dinasti Abbasiyah ini merupakan
masa keemasan Islam, yakni masa keemasan dalam bidang ilmu dan kebudayaan
yang telah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Namun setelah mengalami
kemajuan Dinasti Abbasiyah pun mengalami kemunduran dan kehancuran yang
disebabkan oleh berbagai faktor.
33
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, cet. IX, 1997,
Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, cet. XIV, 2003,
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet.
I, 2004,
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, cet. I, 1997,
Ratu Suntiah & Maslani. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Interes Media
Foundation.
34