Anda di halaman 1dari 37

MASA DINASTI ABBASIYAH

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah

Sejarah Peradaban Islam

Dosen pengampu:

Dr. Momon, M.Ag

Oleh:

Kelompok 6

Muhammad Rifki Alfiansyah 1152070046


Nurul Zannah 1152070054
Resi Maryati Warga 1152070058
Sri Rizki Nurhayati 1152070073
Kelas/Semester: B/IV

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MIPA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

1438 H/2017 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Salawat dan salam semoga
tercurahlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw.

Makalah yang berjudul Masa Dinasti Abbasiyah ini disusun untuk


memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Penulis
sadar akan tantangan dan hambatan dalam penyusunan makalah ini. Namun atas
bantuan moral dan materil dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyusun
makalah ini. Untuk itu, penyusun mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak , selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam,


2. orang tua, dan
3. rekan rekan.

Penulis sadar bahwa makalah ini belum sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat.

Bandung, 5 April 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................... 2

C. Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pembentukan dan Perkembangan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah .. 3

B. Kemajuan Peradaban Pada Masa Dinasti Abbasiyah ............................... 7

C. Sistem Politik, Sistem Pemerintahan, dan Bentuk Negara Dinasti


Abbasiyah .......................................................................................................... 12

D. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah ................................. 21

E. Transmisi Peradaban Islam Ke Dunia Barat .......................................... 24

BAB III PENUTUP

SIMPULAN ...................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah bukan hanya sekedar deretan fakta dan peristiwa dari masa
lampau umat manusia, tetapi merupakan interpretasi yang dilakukan oleh
para sejarawan. Sejarah peradaban Islam merupakan salah satu aspek dari
ajaran Islam yang memfokuskan perhatian pada penelusuran sejarah kaum
muslim sejak awal peradaban pra Islam hingga perkembangan terakhir.

Sejarah dan peradaban Islam merupakan bagian penting yang tidak


dapat dipisahkan dari kehidupan kaum muslim dari masa ke masa. Dengan
memahami sejarah kaum muslim dapat bercermin untuk mengambil banyak
pelajaran dan membenahi kekurangan dan kesalahan guna meraih kejayaan
dan kemuliaan dunia dan akhirat. Allah s.w.t berfirman:






Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah
cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, serta bagi petunjuk dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman. (Q.S Yusuf:111)

Pembatasan terhadap bahasan materi Sejarah Peradaban Islam


sangat diperlukan guna kepastian dalam pengakajiannya. Adapun batasan
sejarah peradaban Islam pada makalah ini adalah kajian materi tentang masa
Dinasti Abbasiyah, yang merupakan puncak keemasan umat Islam. Pada
masa ini, tumbuh dan berkembang berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik
ilmu agama maupun ilmu umum tanpa adanya dualisme. Lalu kapan itu
terjadi? Dan bagaimana situasi yang terjadi pada saat itu? Penyusun dan

1
partner kelompok membahas kajian materi tentang masa Dinasti Abbasiyah
ini pada bab pembahasan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, penyusun dan partner
kelompok merumuskan beberapa permasalahan, di antaranya:

1. Bagaimana pembentukan dan perkembangan Islam pada masa Dinasti


Abbasiyah?
2. Kemajuan peradaban apa saja yang terjadi pada masa Dinasti
Abbasiyah?
3. Bagaimana sistem politik, sistem pemerintahan, dan bentuk negara dari
Dinasti Abbasiyah?
4. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kemunduran dan
kehancuran pada masa Dinasti Abbasiyah?
5. Bagaimana transmisi peradaban Islam ke dunia barat?

C. Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah:

1. Mengetahui dan menjelaskan pembentukan dan perkembangan Islam


pada masa Dinasti Abbsiyah.
2. Mengetahui dan menjelaskan kemajuan peradaban pada masa Dinasti
Abbasiyah.
3. Mengetahui dan menjelaskan sistem politik, sistem pemerintahan, dan
bentuk negara dari Dinasti Abbasiyah.
4. Mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kemunduran dan kehancuran pada masa Dinasti Abbasiyah.
5. Mengetahui dan menjelaskan transmisi peradaban Islam ke dunia barat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembentukan dan Perkembangan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah


Pemerintahan Abbasiyyah adalah keturunan daripada al-Abbas,
paman Nabi SAW. Pendiri kerajaan al-Abbas ialah Abdullah as-Saffah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan pendiriannya dianggap
suatu kemenangan bagi ide yang dianjurkan oleh kalangan Bani Hasyim
setelah kewafatan Rasulullah SAW, agar jabatan khalifah diserahkan
kepada keluarga Rasul dan sanak-saudaranya1.
Kekuasaan dinasti Bani Abbasiyah, sebagaimana disebutkan
melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Kekuasaannya berlangsung
dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H
(1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan Bani Abbas menjadi lima
periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M 232 H/847 M), disebut periode
pengaruh Persia pertama
2. Periode Kedua (232 H/847 M 334 H/945 M), disebut masa pengaruh
Turki pertama
3. Periode Ketiga (334 H/945 M 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti
Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyyah. Periode ini disebut
juga masa pengaruh Persia kedua
4. Periode Keempat (447 H/1055 M 590 H/1194 M), masa
kekuasaandinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua

1
Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, cet. IX, 1997, hlm. 1

3
5. Periode Kelima (590 H/1194 M 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Bagdad2.

Dinasti Abbasiyah berkedudukan mencapai keberhasilannya


disebabkan dasar-dasarnya telah berakar semenjak Umayyah berkuasa.
Ditinjau dari proses pembentukkanya, Dinasti Abbasiyah didirikan atas
dasar-dasar antara lain:

1. dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul di dinasti


sebelumnya;
2. dasar universal (bersifat universal), tidak terlandaskan atas kesukuan;
3. dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar
keningratan;
4. dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam;
5. pemerintahan bersifat Muslim moderat, ras Arab hanyalah dipandang
sebagai salah satu bagian saja di antara ras-ras lain;
6. hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di tangan mereka3.

Di antara situasi-situasi yang mendorong berdirinya Dinasti


Abbasiyah dan menjadi lemah dinasti sebelumnya adalah:

1. timbulnya pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali


bin Abi Thalib;
2. munculnya golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara
Muawiyah dengan Syiah, dan kebijakan-kebijakan land reform yang
kurang adil;
3. timbulnya politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai;
4. adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada
Alquran dan oleh golongan Khawarij orang Islam non-Arab;
5. adanya konsep hijrah di mana setiap orang harus bergabung dengan
golongan Khawarij yang tidak bergabung dianggapnya sebagai orang

2
Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, cet. XIV, 2003, hlm. 49
3
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
44

4
yang berada pada dar al-harb, dan hanya golongan khawarijlah yang
berada pada dar al-Islam;
6. bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah
setelah terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertempuran Karbala;
7. munculnya paham mawali, yaitu paham tentang perbedaan antara orang
Islam Arab dengan non-Arab4.

Secara kronologis, nama Abbasiyah menunjukkan nenek moyang


dari Al-Abbas, Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad. Hal ini
menunjukkan kedekatan pertalian keluarga antara Bani Abbas dengan nabi.
Itulah sebabnya kedua keturunan ini sama-sama mengklaim bahwa jabatan
Khalifah harus berada di tangan mereka. Keluarga Abbas mengklaim bahwa
setelah wafatnya Rasulullah merekalah yang merupakan penerus dan
penyambung keluarga Rasul5.

Perjuangan Bani Abbas secara intensif baru dimulai berkisar antara


lima tahun menjelang Revolusi Abbasiyah. Pelopor utamanya adalah
Muhammad bin Ali Al-Abbas di Hamimah. Ia telah banyak belajar dari
kegagalan yang telah dialami oleh pengikut Ali (kaum Syiah)dalam
melawan Dinasti Umayyah. Kegagalan ini terjadi karena kurang
terorganisasi dan kurangnya perencanaan. Dari itulah Muhammad bin Ali
Al-Abbas mengatur pergerakannya secara rapid an terencana. Ia mulai
melakukan pergerakannya dengan langkah-langkah awal yang penting.
Kemudian propaganda atau langkah itu berhasil membakar semangat api
kebencian umat Islam kepada Dinasti Umayyah.

Setelah Muhammad bin Ali meninggal tahun 734 M, perjuangan


dilanjutkan oleh saudaranya Ibrahim sampai tahun 749 M. Kemudian, sejak
749 M Ibrahim menyerahkan pucuk pimpinan kepada keponakannya,

4
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
45
5
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
46

5
Abdullah bin Muhammad. Pada masa inilah revolusi Abbasiyah
berlangsung.

Abdullah bin Muhammad alias Abul Al-Abbas diumumkan sebagai


khalifah pertama Dinasti Abbasiyah tahun 750 M. Dalam khutbah
pelantikan yang disampaikan di Masjid Kufah, ia menyebut dirinya dengan
Al-Saffah (penumpah darah) yang akhirnya menjadi julukannya. Hal ini
sebenarnya menjadi permulaan yang kurang baik diawal berdirinya dinasti
ini, dimana kekuatannya tergantung kepada pembunuhan yang ia jadikan
sebagai kebijaksanaan politiknya.

Al-Saffah berusaha dengan berbagai cara untuk membasmi keluarga


Umayyah. Antara lain dengan kekuatan senjata. Ia mengumpulkan
tentaranya dan melantik pamannya sendiri Abdullaah bin Ali sebagai
pimpinannya. Target utama mereka adalah menyerang pusat kekuatan
Dinasti Umayyah di Damaskus, sekaligus untuk melenyapkan Khalifah
Marwan (khalifah terakhir Bani Umayyah). Pertempuran terjadi di lembah
Sungai Az-zab (Tigris). Pada pertempuran itu Marwan mengalami
kekalahan dan mengundurkan diri ke Utara Syria, Him, Damsyik, Palestina
dan akhiirnya sampai ke Mesir. Pasukan Abdullah bin Ali terus
menyerangnya hingga terjadi lagi pertempuran di Mesir dan Marwan pun
tewas.

Usaha lain yang dilakukan Al-Saffah untuk memusnahkan keluarga


Umayyah adalah dengan cara mengundang lebih kurang 90 orang anggota
keluarga Umayyah untuk menghadiri suatu upacara perjamuan kemudian
membunuh mereka dengan cara yang kejam. Disamping itu agen-agen dan
mata-mata disebarkan ke seluruh imperium untuk memburu para pelarian
seluruh anggota keluarga Umayyah. Hanya satu orang saja yang berhasil
melarikan diri kemudian kelak mendirikan Dinasti Umayyah di Andalusia.
Ia dikenal dengan sebutan Abdurahman Ad-Dakhil.

Perlakuan kejam itu tidak hanya pada anggota keluarga yang masih
hidup, tetapi juga yang sudah meninggal. Kuburan-kuburan mereka
dibongkar dan jenazahnya dibakar. Ada dua kuburan saja yang selamat dari

6
kekejamannya yaitu kuburan Muawiyah bin Abu Sufyan dan Umar bin
Abdul Aziz . perlakuan-perlakuan kejam itu tentu saja tentu saja telah
menimbulkan kemarahan para pendukung Dinasti Umayyah di Damaskus,
tetapi mereka berhasil ditumpas oleh Abbasiyah.

Abu Al-Abbas hanya memerintah dalam kurun waktu singkat, yakni


empat tahun. Oleh karena itu, ia kehilangan jati dirinya. Kehidupannya yang
dikenal dalam sejarah pertama-tama hanyalah sebagai pembasmi Dinasti
Umayyah. Abu Abbas Al-Saffah meninggal tahun 754 M. dan digantikan
oleh saudaranya, Abu Jafar Al-Mansur dari tahun 754-774 M. Dialah
sebenarnya yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah. Dia tetap
melanjutkan kebijaksanaan Al-Saffah yakni menindak tegas setiap orang
yang menentang kekuasaannya, termasuk juga dari kalangan keluarganya
sendiri.

Sifat dan watak Al-Mansur dikenal oleh para penulis sejarah sebagai
seorang politikus yang demoktratis, peemberani, cerdas, teliti, disiplin, kuat
beribadah, sederhana, fasih dalam berbicara, sangat dekat dan
memperhatikan kepentingaan rakyat. Oleh karena itu, tidaklah
mengerankan bahwa selama lebih kurang 20 tahun kekuasaannya, ia telah
berhasil meletakkan landasan yang kuat dan kokoh bagi kehidupan dan
kelanjutan kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu6.

B. Kemajuan Peradaban Pada Masa Dinasti Abbasiyah


Umat Islam sesungguhnya banyak dipacu untuk dapat
mengembangkan dan memberikan motivasi, melakukan inovasi serta
kreativitas dalam upaya membawa umat kepada keutuhan dan
kesempurnaan hidup.
Dari perjalanan dan rentang sejarah, ternyata Bani Abbasiyah dalam
sejarah lebih banyak berbuat ketimbang Bani Umayyah. Pergantian Dinasti
umayyah kepada Dinasti Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian
kepemimpinan, lebih dari itu telah mengubah, menorah wajah Dunia Islam

6
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
48

7
dalam refleksi kegiatan ilmiah. Pengembangan ilmu pengetahuan pada Bani
Abbasiyah merupakan iklim pengembangan wawasan dan disiplin
keilmuan7.
Kontribusi ilmu terlihat pada upaya Harun Al-Rasyid dan putranya
Al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat
peneropong bintang, perpustakaan terbesar yang di beri nama Baitul
Hikmah dan dilengkapi pula dengan lembaga untuk penerjemahan8.
1. Lembaga dan Kegiatan Ilmu Pengetahuan
Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam selalu
bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of edication. Pada
Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan
teknologi diarahkan ke dalam mahad. Lembaga ini kita kenal dua
tingkatan yaitu:
a. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah,
tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan
menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama
b. tingkat pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya,
pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah
gurunya.

Pada perkembangan selanjutnya mulailah dibuka madrasah-


madrasah yang dipelopori Nizhamul Muluk yang memerintah pada
tahun 456-485 H. Lembaga inilah yang kemudian berkembang pada
masa Dinasti Abbasiyah. Nizhamul Muluk merupakan pelopor pertama
yang mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada seperti sekarang ini
dengan nama madrasah. Madrasah ini dapat ditemukan di Bagdad,
Balkan, Naishabur, Hara, Isfahan, Basrah, Mausil dan kota-kota lainnya.
Madrasah yang didirikan ini mulai dari tingkat rendah, menengah, serta
meliputi segala bidang ilmu pengetahuan.

7
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
50
8
DR. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, cet. I, 1997, hlm. 102

8
2. Corak Gerakan Keilmuan
Gerakan keilmuan pada Dinasti Abbasiyah lebih bersifat
spesifik. Kajian keilmuan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan
bertumpu pada ilmu kedokteran, disamping kajian yang bersifat pada
Al-Quran dan Al-Hadis; sedang astronomi, mantik dan sastra baru
dikembangkan dengan penerjemahan dari Yunani.
3. Kemajuan dalam Bidang Agama
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu dan metode tafsir mulai
berkembang terutama dua metode penafsiran, yaitu tafsir bi al-matsur
dan tafsir bi al-rayi. Dalam bidang hadis, pada zamannya hanya bersifat
penyempurnaan, pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada
zaman ini juga mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis.
Pengklasifikasian itu secara ketat dikualifikasikan sehingga kita kenal
dengan klasifikasi hadis Shahih, Dhaif, dan Maudhu. Bahkan
dikemukakan pula kritik sanad dan matan, sehingga terlihat jarah dan
takdil rawi yang meriwayatkan hadis tersebut.
Dalam bidang fiqih, pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang
kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795
M), Imam Syafei (767-820 M) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal (780-
855 M). Ilmu lughah tumbuh berkembang dengan pesat pula karena
bahasa Arab yang semakin dewasa memerlukan suatu ilmu bahasa yang
menyeluruh. Ilmu bahasa yang dimaksud adalah nahwu, sharaf, maani,
bayan, badi, arudh dan insya. Sebagai kelanjutan dari masa Amawiyah
I di Damaskus.
4. Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Sains dan Teknologi
Kemajuan ilmu teknologi (sains) sesungguhnya telah direkayasa
oleh ilmu Muslim. Kemajuan tersebut adalah sebsgai berikut:
a. Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian
diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Farazi (777 M). Ia
adalah astronom Muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu
alat untuk mengukur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada

9
ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali ibnu Isa Al-Asturlabi,
Al-Farghani, Al-Battani, Umar Al-Khayyam dan Al-Tusi.
b. Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah ibnu
Rabban Al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang buku Firdaus Al-
Hikmah. Tokoh lainnya adalah Al-Razi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
c. Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir ibnu Hayyan (721-
815 M). Sebenarnya banyak ahli kimia Islam ternama lainnya seperti
Al-Razi, Al-Tuqrai yang hidup pada abad ke-12 M.
d. Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad
ke-3 H adalah Ahmad bin Al-Yakubi, Abu Jafar Muhammad bin
Jafar bin Jarir Al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang masyhur
adalah ibnu Khurdazabah.
5. Perkembangan Politik, Ekonomi dan Administrasi.
Sejarah telah mengukir bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah,
umat Islam benar-benar berada di puncak kejayaan dan memimpin
peradaban dunia saat itu. Masa pemerintahan ini merupakan golden age
dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, terutama pada masa Khalifah
Al-Makmun.
Daulat Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad (750-
1258 M). pemerintahan yang panjang tersebut dapat dibagi dalam dua
periode. Periode I adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai
pemerintahan Abu Abbas sampai Al-Mustakfi. Periode II adalah masa
antara tahun 945-1258 M, yaitu masa Al-Muti sampai Al-Mutasim.
Pembagian periodisasi ini diasumsikan bahwa pada periode pertama,
perkembangan di berbagai bidang masih menunjukkan grafik vertikal,
stabil dan dinamis. Sedangkan pada periode II, kejayaan terus merosot
sampai datangnya pasukan Tartar yang berhasil menghancurkan Dinasti
Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-
kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
a. memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad
b. memusnahkan keturunan Bani Umayyah

10
c. merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat
diri, Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar
kepada kaum mawali
d. menumpas pemberontakan-pemberontakan
e. menghapus politik kasta.

Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang


diambil dalam program politiknya adalah:

a. para Khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur,


panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari
golongan Mawali
b. kota Bagdad ditetapkan sebagai ibukota Negara dan menjadi pusat
kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan
c. kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah II, kekuasaan politik mulai


menurun dan terus menurun, terutama kekuasaan politik pusat. Karena
negara-negara bagian sudah tidak begitu mempedulikan lagi
pemerintahan pusat, kecuali pengakuan secara politis saja. Dalam masa
permulaan pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi dapat
dikatakan cukup stabil dan menunjukkan angka vertikal Devisa negara
penuh berlimpah-limpah. Khalifah Al-Mansur merupakan tokoh
ekonom Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang
kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan negara. Di sektor pertanian,
daerah-daerah pertanian diperluas disegenap wilayah negara,
bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah
pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi. Disektor perdagangan, kota
Bagdad disamping sebagai kota politik agama dan kebudayaan, juga
merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan
kota Damaskus merupakan kota kedua Sungai Tigris dan Efrat menjadi
pelabuhan transmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru
dunia. Terjadinya kontrak perdagangan tingkat Internasional ini
semenjak Khalifah Al-Mansur. Dalam bidang administrasi negara, masa

11
Dinasti Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan masa Umayyah. Hanya
saja pada masa ini telah mengalami kemajuan-kemajuan, perbaikan dan
penyemprunaan. Secara umum, menurut Philip K. Hitti, kendali
pemerintahan dipegang oleh khalifah sendiri. Sementara itu, dalam
operasionalnya, yang menyangkut urusan-urusan sipil dipercayakan
kepada wazir (menteri), masalah hukum diserahkan kepada qadi
(hakim) dan masalah militer dipegang oleh amir9

C. Sistem Politik, Sistem Pemerintahan, dan Bentuk Negara Dinasti


Abbasiyah
Berkuasanya Dinasti Abbasiyah menggantikan Dinasti Umayyah
menandakan terjadinya perubahan dalam perpolitikan Islam. Pemerintahan
dinasti ini menerapkan konsep negara (khalifah) yang terokratis (theocratic
state) menggantikan negara sekuler (secular state) dari Dinasti Umayyah.10
Menurut pandangan para pemimpin dari dinasti ini, kedaulatan yang ada
pada pemerintahan khalifah adalah berasal dari Allah s.w.t., bukan dari
rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman
khulafaurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dari perkataan khalifah Al-Mansur
yang menyatakan bahwa dirinya adalah sultan Tuhan di atas bumi-Nya.11

Sistem politik yang dijalankan oleh Dinasti Abbasiyah I antara lain:

1. Para khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima,
gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan
mawali.
2. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat
kegiatan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayan.

9
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet. I, 2004, hlm.
55
10
Ratu Suntiah & Maslani. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Interes Media Foundation.
h. 101.
11
Muhlis. 2007. Islam Masa Daulat Bani Abbasiyah. Di akses dari
https://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyah.pdf , pada 5 April 2017,
pukul 9:11. Page. 2.

12
3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan
mulia.
4. Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya.
5. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan
tugasnya dalam pemerintah.

Selanjutnya periode II, III, dan IV, kekuasaan politik Abbasiyah


sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini
dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak
menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima
di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau
membentuk pemerintahan sendiri. Misalnya saja munculnya dinasti-dinasti
kecil seperti Dinasti Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, dan Dinasti
Fatimiyah.

Pada masa awal berdirinya Dinasti Abbasiyah ada dua tindakan yang
dilakukan oleh para khalifahnya untuk mengamankan dan mempertahankan
dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan. Dua
tindakan tersebut yaitu:

1. Tindakan keras terhadap Bani Umayyah, dan


2. pengutamaan orang-orang turunan Persia.

Dalam menjalankan pemerintahan, khalifah Bani Abbasiyah pada


waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana menteri) atau yang
jabatannya disebut dengan wizarat. Sedangkan wizarat itu dibagi lagi
menjadi dua, di antaranya:

1. Wizarat tanfiz (sistem pemerintahan presidensial), yaitu wazir hanya


sebagai pembantu khalifah dan bekerja atas nama khalifah, dan
2. wizaaratut tafwidl (parlemen kabinet), wazirnya berkuasa penuh untuk
memimpin pemerintahan. Sedangkan khalifah sebagai lambang saja.
Pada kasus lainnya fungsi khalifah sebagai pengukuh dinasti-dinasti
lokal sebagai gubernurnya khalifah.

13
Selain itu, untuk membantu khalifah dalam menjalankan tata usaha
negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat
negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kutab (sekretaris negara). Dan
dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul
diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat
sentralistik yang dinamakan dengan an-nidhamul idary al-markazy.

Pola pemerintahan yang diterapkan pada masa ini berbeda-beda


sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan
perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah menjadi tiga periode, yaitu:

1. Periode pertama (750-847 M)


Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di bawah
kekuasaan para khalifah kecuali di Andalusia. Adapun para khalifah
yang memimpin pada periode ini yaitu:
a. Abul Abbas as-Saffah (132-136 H/749-754 M)
b. Abu Jafar al-Mansur (136-158 H/754-775 M)
c. Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi (158-169 H/775-785 M)
d. Abu Muhammad Musa al-Hadi (169-170 H/785-786 M)
e. Abu Jafar Harun al-Rasyid (170-193 H/786-809 M)
f. Abu Musa Muhammad al-Amin (193-198 H/809-813 M)
g. Abu Jafar Abdullah al-Mamun (198-201 H/813-817 M)
h. Abu Ishak Muhammad al-Mutashim (218-227 H/833-842 M)
i. Abu Jafar Harun al-Watsiq (227-232 H/842-847 M)
j. Abul Fadl Jafar al-Mutawakkil (232-247 H/847-861)
2. Periode kedua (232-590 H/847-1194 M)
Pada periode ini, kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik
menjadi sistem desentralisasi, yaitu terbagi ke dalam tiga negara
otonom. Di antaranya:
a. Kaum Turki (232-590 H)
b. Golongan kaum Bani Buwaih (334-447)
c. Golongan Bani Saljuk (447-590 M)
3. Periode ketiga (590-656 H/1194-1258 M)

14
Pada periode ini, kekuasaan berada kembali ditangan khalifah,
tetapi hanya di Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.

Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan


Islam pada masa Dinasti Abbasiyah menjadi empat masa, yaitu:
1. Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Dinasti Abbasiyah tahun 750
M sampai meninggalnya khalifah al-Wasiq (847 M).
2. Masa Abbasy II, yaitu mulai khalifah al-Mutawakkil (847 M) sampai
berdirinya Dinasti Buwaihiyah di Baghdad (946 M).
3. Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya Dinasti Buwaihiyah tahun 946 M
sampai masuk kaum Saljuk ke Baghdad (1055 M).
4. Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad (1055
M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan
Hulako (1268 M).

Dalam versi yang lain, para sejarawan biasanya membagi masa


pemerintahan Dinasti Abbasiyah menjadi lima periode, yaitu:
1. Periode pertama (132-232 H/750-847 M)
Periode ini sering disebut sebagai periode pengaruh Persia
pertama. Pada periode ini pemerintahan Abbasiyah mencapai masa
keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat
dan merupakan pusat kekuasaan politik serta agama. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam.
Masa pemerintahan Abul Abbas, pendiri dinasti ini sangat
singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina
sebenarnya dari Dinasti Abbasiyah adalah Abu Jafar al-Mansur (754
775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat
Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara
yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota
yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia,

15
Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti
Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan
penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk
menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Dibidang
pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir
sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan
sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu
selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang yang
berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin
Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang
terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Jafar bin Yahya, menjadi
wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi
Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut
persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani
keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ke dalam
pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Dinasti Abbasiyah dan
Dinasti Umayyah yang berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara,
sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi
angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad bin Abdul al-Rahman
sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang
sudah ada sejak masa Dinasti Umayyah ditingkatkan peranannya
dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar
surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun
seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan
dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan
tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-
daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat,
dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia
berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-

16
765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Pada masa al-Mansur
pengertian khalifah kembali berubah. Konsep khalifah dalam
pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat
dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi
sebagaimana pada masa khulafaurrasyidin.
Popularitas Dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Mamun (813-
833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk
keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi
didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman
khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya
sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Dengan demikian telah
terlihat bahwa pada masa khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan
wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan
peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya
antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Mamun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang
sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu
karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah,
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan
perpustakaan yang besar. Pada masa al-Mamun inilah Baghdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mutashim, khalifah berikutnya (833-842 M) memberi
peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan
antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Mamun dan
sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal.
Tidak seperti pada masa Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah

17
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang
muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus
menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan
militer Dinasti Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun
dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya dapat
dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai
prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak,
seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol,
bahkan para Khalifah sendiri berada di bawah pengaruh kekuasaan yang
lain.
2. Periode Kedua (232-334 H/847-945 M)
Periode kedua ini disebut dengan periode pengaruh Turki
pertama. Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan
besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung
mencolok. Kehidupan mewah para khalifah ini ditiru oleh para hartawan
dan anak-anak pejabat. Hal ini demikian menyebabkan roda
pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini
memberi peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula
diangkat oleh khalifah al-Mutashim untuk mengambil alih kendali
pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan
sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani
Abbas di dalam khalifah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan
ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu
usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah al-Mutawakkil yang merupakan khalifah awal dari
periode ini adalah seorang khalifah yang lemah. Pada masa
pemerintahnnya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan
cepat. Setelah khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih

18
dan mengangkat khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada
di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan
khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira
Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas khlifah pada periode kedua
ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya merosot
tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah
muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari
kekuasaan pusat. Kemudian mendirikan dinasti-dinasti kecil. Inilah
permulaan masa disintegrasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran
Dinasti Abbasiyah pada periode ini adalah:
a. Luasnya wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang harus
dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu,
tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah.
b. Dengan profesionalisme tentara, ketergantungan kepada mereka
menjadi sangat tinggi.
c. Kesulitan keuangan karena beban pembiyaan tentara sangat besar.
Setelah khalifah merosot, khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode Ketiga (334-447 H/945-1055 M)
Periode ini sering disebut sebagai periode pengaruh Persia kedua
di mana Dinasti Buwaih penganut aliran Syiah berkuasa sehingga
keadaan khalifah lebih buruk dari sebelumnya. Khalifah tidak lebih
sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi
kekuasaannya kepada tida bersaudara yaitu Ali untuk wilayah bagian
selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad
untuk wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Baghdad. Dengan demikian,
Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahan
Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih
yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.

19
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan, Dinasti
Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada periode ini
muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Biruni,
Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi ikhwan as-Safa. Dalam bidang
ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan.
Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit.
4. Periode Keempat (447-590 H/1055-1199 M)
Periode ini disebut sebagai periode pengaruh Turki kedua di
mana Dinasti Bani Saljuk berkuasa. Kehadiran dinasti ini adalah atas
undangan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di
Baghdad. Keadaan khalifah memang membaik, paling tidak karena
kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama
dikuasai oleh orang-orang Syiah.
Sebagaimana periode sebelumnya,ilmu pengetahuan juga
berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada
masa Alp Arselan dan Maliksyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah dan
Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang madrasah ini
didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini
menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah
ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di
antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada
periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang tafsir dan ushul
al-Din (teologi), al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam
bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang
ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota
Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa
provinsi dengan seorang gubernur untuk mengepalai masing-masing
provonsi tersebut. Pada masa pusat kekusaaan melemah, masing-masing
provinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan
yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit
demi sedikit kekuasaan politik khalifah menguat kembali, terutama

20
untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan
Khawarizm Syah pada tahun 590 H (1199 M).
5. Periode Kelima (590-656 H/1199-1258 M)
Periode ini merupakan masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, namun kekuasaannya hanya di sekitar kota Baghdad.
Periode ini berawal ketika berakhirnya kekuasaan Dinasti Saljuk atas
Baghdad atau khalifah Abbasiyah. Wilayah kekuasaan yang sempit ini
menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol
dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurkan
tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan
tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut
masa pertengahan.12

D. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Abbasiyah


Setelah mengalami kemajuan, dinastiBani Abbasiyah pun
mengalamimengalami kemunduran dan kehancuran yang disebabkan oleh
faktor internal dan eksternal.13 Adapun faktor internal yaitu:

1. Lemahnya khalifah
Sejak berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad,
khalifah Abbasiyah sudah merdeka kembali, namun kekuasaannya
hanya di daerah Baghdad saja. Sementara itu, wilayah Abbasiyah
lainnya diperintah oleh dinasti-dinasti kecil yang tersebar di sebelah
timur dan barat Baghdad. Khalifah dinasti Bani Abbasiyah di Baghdad
berhasil mengambil kesempatan dan kelemahan kaumSaljuk dan dari
gerakan-gerakan pemisahan serta mengumumkan kemerdekaannya
memerintah Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.14 Usaha untuk
mengembalikan kekuasaan khalifah dinasti Bani Abbasiyah inidirintis
oleh khalifah al-Mustarsyid (512-529 H/1118-1135 M), kemudian

12
Muhlis. 2007. Islam Masa Daulat Bani Abbasiyah. Di akses dari
https://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyah.pdf , pada 5 April 2017,
pukul 9:11. Page. 2.
13
Badri Yatim, 2003, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja GrafindoPersada, hlm. 80-85.
14
Ahmad Syalabi, 1993. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta, Pustaka al-Husna, hlm. 344.

21
dilanjutkan oleh anaknya, khalifah al-Rasyid (529-530 H/11351136 M).
Akhirnya, usaha itu banyakmembawa hasil pada masa khalifah al-
Muqtafi (530-555 H/1136-1160 M). Al-Muqtafi berhasil memegang
kendali istana (Hasan 1967: 56-57). Dengan demikian, sejak masa itu
khalifah Bani Abbas mempunyai pengaruhnya kembali, meskipun
dalam wilayah yang terbatas.
2. Persaingan antar Bangsa
Adanya kecenderungan bangsa-bangsa Maroko, Mesir, Syiria,
Irak, Persia, Turki, dan India untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak Abbasiyah berdiri. Priode 1. Pengaruh Persia, 2.
Pengaruh Turki, 3. Pengaruh Persia II, 4. Pengaruh Turki II, dan 5.
Bebas pengaruh bangsa lain tapi hanya di Baghdad saja.
3. Kemerosotan Ekonomi
Pada periode kemunduran, pendapatan negara menurun
sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan
wilayah kekuasaan semakin menyempit, banyak terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak, dan banyak
dinasti kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti.
4. Konflik Keagamaan
Kekecewaan orang Persia terhadap cita-cita yang tak tercapai
mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Mazuisme,
Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Antara orang beriman dan kaum
zindik terjadi konflik bersenjata seperti gerakan al-Afsyn dan
Qaramitah. Adanya konflik antara Syiah dan Ahlussunnah. Terajdinya
Mihnah pada masa al-Mamun (813-833 M) yang menjadikan
Mutazilah menjadi mazhab resmi negara. Al-Mutawakkil (847-861 M)
menghapus Mutazilah digantikan oleh golongan Salaf pengikut
Hambali yang tidak toleran terhadap Mutazilah yang rasional,
menyempitkan horizon intelektual. Mutazilah bangkit lagi pada masa
Buwaihi Saljuk, Asyariah menyingkirkan Mutazilah yang didukung
oleh al-Ghazali tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas
intelektual Islam.

22
Sementara itu, faktor eksternal kemunduran dan kehancuran
dinasti Bani Abbasiyah yaitu:
a. Perang SalibPerang antara umat Kristen dengan umat Islam yang
berlangsung dari tahun 1095 M sampai tahun 1291 M, telah menelan
banyakkorban menyebankan khalifah Bani Abbasiyah lemah.
b. Serangan Hulagu Khan
Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan serangan-
serangan menuju Bghdad dengan mengalahkan Khurasan diPersia
dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu. Pada tanggal 10
Pebruari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi kota
Baghdad. Perintah untuk menyerah ditolak oleh khalifah al-
Mustashim (khalifah terakhir Abbasiyah), sehingga Baghdad
dikepung dan dihancurkan.15
Pada tanggal 10 Pebruari 656 H/1258 M, Baghdad
menghadapi serbuan pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu
Khan, cucu Jengis Khan. Perlawanan kaum Muslimin dapat mereka
patahkan. Pasukan Tartar di bawah komando Yagunus memasuki
kota Baghdad dari jurusan Barat, sedang pasukan lainnya yang
langsung dipimpin Hulagu Khan masuk dari jurusan timur. Ketika
khalifah al-Mustashim beserta beberapa pembesar negara dan
tokoh-tokoh masyarakat keluar untuk menjumpai mereka (pasukan
Mongol) semua dipancung lehernya, termasuk al-Mustashim
sendiri yang telah dibunuh diseret-seret dengan kuda. Pasukan
Mongol kemudian membludak memasuki Baghdad lewat semua
jurusan. Tiga puluh empat hari lamanya pedang mereka
merajalela,hanya sedikit saja penduduk yang selamat. Beberapa dari
keluarga Bani Abbasiyah dapat melarikan diri, dan diantaranya
akhirnya ada yang menetap di Mesir.
Menurut beberapa sumber sejarah, kedatangan Hulagu ke
Baghdad atas undangan seorang wazir yang bernama Ibn al-Aqami
al-Rafidy (penganut aliran ekstrem Syiah). Ia yakin Hulagu pasti

15
Harun Nasution, 2001, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakarta: UI Press, hlm. 76.

23
akan membunuh khalifah al-Mushthashim demikian, Ibn al-Aqami
dapat memindahkan kekuasaan kekhalifahan ke tangan orang-orang
Awaliyyin. Tetapi kenyataanya, setelah pasukan Mongol
membunuh khalifah, mereka merampok semua yang terdapat di
dalamistana lalu membakar kota Baghdad sehingga banyak sekali
penduduk yang mati.16

E. Transmisi Peradaban Islam Ke Dunia Barat


Sejak Islam pertama kali menginjakkan kakinya di Andalusia hingga
jatuhnya kerajaan Islam terakhir dan sekitar tujuh setengah abad lamanya,
Islam memainkan peranan yang besar, baik dalam bidang Intelektual
(filsafat, sains, fikih, musik dan kesenian, bahasa dan sastra) juga
kemegahan bangunan fisik (Cordova dan Granada). Umat muslim
Andalusia telah menoreh catatan sejarah yang mengagumkan dalam bidang
intelektual, banyak perestasi yang mereka peroleh khususnya
perkembangan pendidikan Islam. Pertumbuhan lembaga-lembaga
pendidikan Islam sangat tergantung pada penguasa yang menjadi pendorong
utama bagi kegiatan pendidikan.
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini, banyak
berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang
di periode klasik. Memang banyak saluran peradaban Islam yang
mempengaruhi Eropa, seperti lewat jalur perdagangan di Sicilia dan Perang
Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah daulah Bani Umayyah di
Andalusia (Spanyol Islam).
Bani Umayyah merupakan penguasa islam setelah khulafaur
Rasidin yang berhasil melebarkan kekuasaannya sampai benua Eropa. Di
Tahun 771 M, pasukan Islam di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad berhasil
menguasai Gibraltar (Jabal Tariq) dan berhasil menaklukkan kota-kota
penting seperti, Cordoba, Granada dan Toledo kemudian secara berangsur-
angsur wilayah Andalusia dapat dikuasai oleh pasukan Islam. Sejak itulah
dimulai babak baru kekuasaan Islam di Andalusia.

16
W. Montgomery Watt, Op. Cit., hlm. 80

24
Daulah Bani Umayyah Andalusia berakhir setelah tiga setengah
abad berkuasa di Andalusia yaitu pada tahun 1031 M. Sewaktu wibawa
daulat Umayyah mulai lumpuh, maka gubenur-gubenur setempat telah
membebaskan dirinya dan membentuk kerajaan-kerajaan setempat di
wilayah masing-masing. Inilah yang dipanggilkan dengan Muluk-al-
Thawaif didalam sejarah Islam di Andalusia, yakni raja-raja setempat. Para
Muluk-at-Thawaif ini masih sempat berkuasa 461 tahun lamanya di
Andalusia, yakni sampai tahun 1492 M.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Andalusia hingga
jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang
sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Di masa
ini gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang pula, seperti dalam bidang
keagamaan, sejarah dan filsafat.
Spanyol (salah satu bagian wilayah Andalusia) merupakan tempat
yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam
bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar
negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada
di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya
Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan
fisik.
Di negeri inilah lahir tokoh-tokoh muslim ternama yang menguasai
berbagai ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Agama Islam, Kedokteran,
Filsafat, Ilmu Hayat, Ilmu Hisab, Ilmu Hukum, Sastra, Ilmu Alam,
Astronomi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu dengan segala kemajuan
dalam berbagai ilmu pengetahuan, kebudayaan serta aspek-aspek ke-
Islaman, Andalusia kala itu boleh dikatakan sebagai pusat kebudayaan
Islam dan ilmu pengetahuan yang tiada tandingannya setelah
Konstantinopel dan Bagdad. Tak heran, waktu itu pula bangsa-bangsa Eropa
lainnya mulai berdatangan ke negeri Andalusia ini untuk mempelajari
berbagai Ilmu pengetahuan dari orang-orang Muslim Spanyol, dengan
mempelejari buku-buku buah karya cendekiawan Andalusia baik secara
sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Pada periode 912-1013 M,

25
umat Islam di Andalusia mencapai puncak kemajuan dan kejayaan
menyaingi kejayaan Daulah abbasiyah di Bagdad.
Ketika jayanya kebudayaan Islam, di Andalusia didirikan
Universitas-universitas Islam. Tidak sedikit dari mahasiswa-mahasiswa
Eropa Barat yang menuntut ilmu di sana. Pengaruh peradaban Islam,
termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari
banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-
universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga,
Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif
menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim. Pusat
penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka
mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Mereka inilah yang telah
membawa perubahan cara berpikir di Eropa barat, dengan cara
mengembangkan pemikiran filsafat terutama aliran Averroeisme yang
mengajarkan tentang logika dan pemikiran rasional.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa telah berlangsung
sejak abad 12 M. Dalam abad ke 14 timbul gerakan kebangkitan kembali
untuk mencernakan pustaka Yunani yang berhasil diselamatkan, dipelihara
dan dikenal berkat terjemahan-terjemahan Arabnya. Dari bahasa Arab
karya-karya tulis tersebut diterjemahkan kembali dalam bahasa Latin.
Walaupun tidak terlalu besar, namun ada pengaruh Islam yang masuk Eropa
melalui Perang Salib. Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang
sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan
kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-
14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui
terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan
kembali ke dalam bahasa Latin.
Terjemahan bahasa Yunani, Persia, Hindu, dan Syiria semurni
penerjemahan karya-karya muslim dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin,
diperkenalkan konsep-konsep baru pengetahuan Eropa, penelitian Skolastik
seperti matematika, sejarah, dan eksperimen. Paling penting penerjemahan-
penerjemahan ini merupakan bagian terbesar dari ilmu pengetahuan klasik

26
dan ilmu pengetahuan muslim serta karya-karya unggulan. Ketika
kekuasaan Islam mulai mundur pada abad 14 M, Eropa bangkit dari
keterbelakangannya. Kebangkitan itu bukan saja terlihat dalam bidang politi
dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan
bagian dunia lainnya, tetapi terutama dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bahkan kemajuan dalam bidang Ilmu dan teknologi itulah yang
mendukung keberhasilan politiknya. Kemajuan-kemajuan Eropa ini tidak
bisa dipisahkan dari pemerintahan Islam di Andalusia, dari universitas-
universitas di Andalusia ini Eropa banyak menimba ilmu.
Sumbangan daulat Islam di Andalusia terhadap renaissance di Eropa
ini sangat menarik untuk diteliti karena kontribusi daulat Islam di Andalusia
dalam mempertahankan dan menggembangkan warisan pengetahuan dari
Yunani sangat nyata. Umat Islam bukan hanya menjaga, akan tetapi juga
mengembangkan Ilmu warisan Yunani tersebut. Banyak buku-buku
peninggalan dari Aristiteles, Plato, Sokrates yang diterjemahkan dan
dikembangkan oleh ilmuwan Islam. Akulturasi antara budaya Islam dan
Yunani ini melahirkan pengetahuan Greco-Muslim.
Keadaan perkembangan filsafat Yunani, ketika pertemuan awal
dengan umat Islam sedang berada pada titik yang terendah, bahkan hampir
punah karena ditekan dan diabaikan oleh penguasa saat itu. Wacana
keilmuan Yunani menemukan penyelamatnya yang mampu
membangkitkan kembali semangat lama beserta substansi dengan uraian
original pada orang Islam, seperti yang dilakukan Ibn Rusyd. Kaum
Muslimin juga mengkonsolidasikan antara agama dan filsafat dengan cara
yang adil, seimbang dan rasional pada saat itu. Pengetahuan Greco-Muslim
ini pada akhirnya sampai ketangan bangsa Eropa melalui universitas-
universitas serta perpustakaan-perpustakaan yang didirikan dinasti
Umayyah di Andalusia. Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri
Spanyol dengan cara yang sangat kejam tetapi pengetahuan yang di dapat
dari umat muslim itu menyadarkan bangsa Eropa dan pada akhirnya
membangkitkan gerakan-gerakan penting di Eropa.

27
Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan
Yunani klasik (raenaissence) pada abad ke-14 M yang bermula dari Italia,
gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17, dan
pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-18 M.
1. Melalui Perang Salib
Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad (1095
1291) membawa dampak yang sangat berarti terutama bagi Eropa yang
beradabtasi dengan peradaban Islam yang jauh lebih maju dari berbagai
sisi. Perang Salib menghasilkan hubungan antara dua dunia yang sangat
berlainan. Masyarakat Eropa yang lamban dan enggan terhadap
perdagangan dan pendapatnya yang naf terhadap dunia usaha.
Masyarakat Eropa terkesan ortodok dan tradisional. Di sisi lain terdapat
masyarakat Bizantium yang gemerlapan dengan vitalitas perkotaan,
kebebasan berekonomi secara luas dengan tidak ada pencelaan dari
ideologi tertentu dan dengan perdagangan yang maju.
Prajurit perang Salib datang dari benteng-benteng yang sangat
gersang dan mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan Bangsa
yang biadab dan Barbar yang lebih dari mereka, ternyata terperangah
ketika sudah berhadapan langsung dengan dunia Timur yang lebih
beradab, maju dengan peredaran uang yang cukup banyak sebagai
pondasi perekonomian.
Mereka sangat tertarik dengan peradaban serta budaya Islam
yang jauh lebih maju. Bahasa Arab mulai mereka gunakan sebagai
bahasa pergaulan sehari-hari. Tidak sedikit pula diantara mereka yag
memeluk agama Islam dan kawin dengan penduduk asli. Hal inilah yang
terjadi pada Richard the Lion Heart.
Secara sederhana dampak Perang Salib dapat dijelaskan
sebagaimana berikut:
Pertama: Perang salib yang berlangsung antara Bangsa Timur
dengan Barat menjadi penghubung bagi Bangsa Eropa khususnya untuk
mengenali dunia Islam secara lebih dekat lagi. Ini memiliki arti yang
cukup penting dalam kontak peradaban antara Bangsa Barat dengan

28
peradaban Timur yang lebih maju dan terbuka. Kontak peradaban ini
berdampak kepada pertukaran ide dan pemikiran kedua wilayah
tersebut. Bangsa Barat melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan tata
kehidupan di Timur dan hal ini menjadi daya dorong yang cukup kuat
bagi Bangsa Barat dalam pertumbuhan intelektual dan tata kehidupan
Bangsa Barat di Eropa. Interaksi ini sangat besar andilnya dalam
gerakan renaisance di Eropa. Sehingga dapat dikatakan kemajuan Eropa
adalah hasil transformasi peradaban dari Timur.
Kedua: Pra Perang Salib masyarakat Eropa belum melakukan
perdagangan ke Bangsa Timur, namun setelah Perang Salib interaksi
perdagangan pun dilakukan. Sehingga pembauran peradaban pun tidak
dapat dihindarkan terlebih lagi setelah Bangsa Barat mengenal tabiat
serta kemajuan Bangsa Timur. Perang Salib membawa perubahan yang
cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi Bangsa Eropa.
Kehidupan lama Bangsa Eropa yang berdasarkan ekonomi semata sudah
berkembang dengan berdasarkan mata uang yang cukup kuat. Dengan
kata lain Perang Salib mempercepat proses transformasi perekonomian
Eropa.
Ketiga: Perang Salib sebagai sarana mengalirnya ilmu
pengetahuan dari Timur ke Barat. Pasca penyerbuan yang berlangsung
lebih dari 2 abad, para tentara Barat mulai menyesuaikan diri denga
kehidupan Bangsa Timur. Mereka melihat ketinggian peradaban dan
budaya Islam dalam berbagai aspek kehidupan, yakni, makanan,
pakaian, alat-alat rumah tangga, musik, alat-alat perang, obat-obatan,
ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi, tanam-tanaman, sastra, ilmu
militer, pertambangan, pemerintahan, pelayaran (navigasi) dan lain-lain.
Tentara Salib (crusaders) membawa berbagai keilmuan ke negara
mereka dengan kata lain terjadi transformasi budaya (culture) dan
peradaban (civilazation) dari Timur ke Barat.
Keempat: Bangsa Barat melakukan penyelidikan terhadap seni
dan budaya (art and culture) serta pengetahuan (knowledge) dan
berbagai penemuan ilmiyah yang ada di Timur. Hal ini meliputi sistem

29
pertanian, sistem industri Timur yang sudah berkembang dan maju serta
alat-alat teknologi yang dihasilkan Bangsa Timur seperti kompas
kelautan, kincir angin dan lain-lain. Setelah kembali ke negerinya
Bangsa Eropa menyadari betapa pentingnya memasarkan produk-
produk Timur yang lebih maju, mereka mendirikan sistem-sistem
pemasaran produk Timur. Maka semakin pesatlah perkembangan
perdagangan antara Timur dengan Barat.
Kelima: Perang Salib yang meluluh-lantakkan infra dan
suprastruktur terutama di negara-negara Timur berakibat tertanamnya
rasa kebencian antara Timur dan Barat. Di benak Kristen Eropa diyakini
sangat membenci warga Negara Timur baik yang beragama Kristen,
Yahudi terutama terhadap muslim. Tentunya hal ini jika tidak disikapi
dengan bijaksana akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan
saja.
2. Melalui Negeri Sisilia
Sisilia adalah sebuah pulau di laut tengan, letaknya berada di
sebelah selatan semenanjung Italia, dipisahkan oleh selat Messina.
Pulau ini bentuknya menyerupai segitiga dengan luas 25.708 km
persegi. Sebelah utara terdapat teluk Palermo dan sebelah timur terdapat
teluk Catania. Pulau ini di sebelah barat dan selatannya adalah kawasan
laut Mediterranian, sebelah utara berbatasan dengan laut Tyrrhenian dan
sebelah timurnya berbatasan dengan laut Ionian.
Pulau sisilia bergunung gunung dan sangat indah, iklimnya yang
baik, tanahnya subur, dan penuh dengan kekayaan alamnya. Pulau ini di
bagi menjadi tiga bagian: Val di Mazara di sebelah barat, Val di Noto di
sebelah tenggara dan Val Demone di bagian timur laut . Islam hanya
menjadi agama resmi di Val di Mazara sedangkan di bagian yang
lainnya mayoritas beragama kristen.
Sementara itu penaklukan umat Islam atas kepulauan Sisilia
merupakan buih terakhir dari gelombang serbuan yang dibawa bangsa
Arab ke Afrika Utara dan Andalusia. Karena masuknya Islam di Sisilia
sangat terkait dengan masuknya Islam di Andalusia, bahkan disinyalir

30
apa yang dicapai oleh dunia Eropa diabad modern sekarang ini tidak lain
adalah warisan umat Islam di Andalusia dan Sisilia. Sisilia adalah
sebuah pulau subur di Italia Selatan pernah dikuasai oleh bangsa
Yunani, Romawi, Byzantium, Arab dan akhirnya jatuh ke dalam
kerajaan Kristen Normandia serta kini menjadi bagian dari Italia.
Kita mengetahui bahwa bangsa Arab menaklukan Sisilia di masa
akhir dinasti Aghalibah yang berdiri di Afrika (Sekarang Tunisia dan
Al-Jazair) di era Abbasiah yaitu di pertengahan abad 3 hijriah atau 10
Masehi dan paska Romawi menyerang daerah-daerah Islam. Ketika
datang bangsa Fatimiah dan membangun kekuasaannya di Barat,
mereka juga menguasai Sisilia bagian dari dinasti Aghalibah serta
menguasai Selatan Italia sampai Roma.
Penguasaan bangsa Arab terhadap daerah-daerah Italia
menyebabkan peradaban Islam menjadi luas, daerah-daerah seperti
Palermo, Messine, Siracusaa, Bari selanjutnya menjadi pusat peradaban
Islam di Italia. Dunia Kristen latin ini merasakan pengaruh Muslim
melalui Sisilia. Serangan pertama ke Sisilia tahun 652, ketika kota
Siracusa dimasuki, orang-orang Arab memiliki angkatan perang yang
mampu menandingi angkatan perang Bizantium.
Pendudukan Arab atas Sisilia tidak berlangsung lama seperti
pendudukan atas Spanyol. Pada pertengahan abad ke-18, ksatria
Norman melihat bahwa mereka hidup dengan baik di Italia bagian
selatan, sebagai pedagang atau sebagai pengusaha militer independen.
Efesiensi kemiliteran mereka sedemikian rupa sehingga beberapa ratus
ksatria di bawah pimpinan Robert Guiscard telah berhasil mengalahkan
Bizantium dan mendirikan kerajaan Norman.
Pada tahun 1060, saudaranya Roger memimpin invasi ke Sisilia
dan berhasil merebut Messina dan berlanjut dengan pendudukan seluruh
wilayah tersebut sampai 1091. Dengan demikian, kehadiran orang-
orang Arab di Spanyol dan Sisilia, keunggulan Arab secara perlahan
menemukan jalur masuknya ke Eropa Barat. Meskipun Eropa Barat telat
menjalin hubungan dengan Imperium Bizantium, ia jauh lebih banyak

31
mengambil alih kebudayaan orang-orang Arab ketimbang orang-orang
Bizantium.
3. Melalui Andalusia (Spanyol)
Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi
akibat pendudukan kaum muslimin atas Spanyol dan Sisilia. Bangsa
arab selama 8 abad lamanya menempati daerah ini. Karenanya
peradaban Islam menyebar di pusat-pusat tempat yang berbeda. Seperti:
di Kordova, Sevilla, Granada, Toledo.
Penduduk Andalusia (Spanyol) mayoritas menganut ajaran
masehi, yang kemudian terpecah dengan datangnya peradaban arab.
Bahkan mereka ganti bahasa mereka dengan berbicara dengan bahasa
arab. Mereka mengenal istilah Mozabarabes, kata ini yang dalam bahasa
arab disebut mustarib. Untuk itu pula para pendeta nasrani melakukan
terjemahan injil ke dalam bahasa Arab.
Sebagaimana disebutkan syalabi bahwa orang Spanyol telah
meninggalkan bahasa latin dan melupakannya, Seorang pendeta di
Cordova mengeluh, hampir di kalangan mereka tidak ada yang mampu
membaca kitab suci yang berbahasa latin. Bahkan cendekiawan muda
hanya mengetahui dan memahami bahasa Arab.Islam memainkan
peranan yang sangat besar selama hampir 8 abad. Dari Spanyolah
peradaban Islam pindah ke Eropa.17

17
Youchenky Salahuddin Mayeli. 2012. Transmisi Peradaban Islam Ke Dunia Barat. Diaksess dari
https://youchenkymayeli.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-islam-pertengahan-
transmisi.html . pada 5 April 2017, pukul 9:11.

32
BAB III

PENUTUP

SIMPULAN
Dari pembahasan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pada
Dinasti Abbasiyah merupakan negara kekuasaan yang berbentuk negara khalifah,
dengan sistem pemerintahan dan politik yang berbeda sesuai dengan perubahan dan
perkembangan sosial dan kebudayaan. Pada masa Dinasti Abbasiyah ini merupakan
masa keemasan Islam, yakni masa keemasan dalam bidang ilmu dan kebudayaan
yang telah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Namun setelah mengalami
kemajuan Dinasti Abbasiyah pun mengalami kemunduran dan kehancuran yang
disebabkan oleh berbagai faktor.

33
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, cet. IX, 1997,
Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, cet. XIV, 2003,
Drs. Ajid Thohir, M.Ag, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam , cet.
I, 2004,
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, cet. I, 1997,

Ratu Suntiah & Maslani. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Interes Media
Foundation.

Muhlis. 2007. Islam Masa Daulat Bani Abbasiyah. Di akses dari


https://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyah.pdf ,
pada 5 April 2017, pukul 9:11.
Muhlis. 2007. Islam Masa Daulat Bani Abbasiyah. Di akses dari
https://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyah.pdf ,
pada 5 April 2017, pukul 9:11.
Badri Yatim, 2003, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja GrafindoPersada,
Ahmad Syalabi, 1993. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta, Pustaka al-Husna,
Harun Nasution, 2001, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I, Jakarta: UI
Press,
Youchenky Salahuddin Mayeli. 2012. Transmisi Peradaban Islam Ke Dunia Barat.
Diaksess dari https://youchenkymayeli.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-
islam-pertengahan-transmisi.html . pada 5 April 2017, pukul 9:11.

34

Anda mungkin juga menyukai