:Disusun Oleh
Ilham Rahmat
NIM: 80600221039
;Dosen Pembimbing
.Dr. H. M. Sadik Sabry, M. Ag
.Dr. Rosmini, M. Ag
PENDAHULUAN
Mushaf Utsmani adalah versi mushaf al-Quran yang telah ditulis sejak
kekhalifahan Utsman bin Affan memimpin sebagai Khalifah. Ini adalah mushaf
warisan yang diterima diadopsi di antara komunitas Muslim saat itu. Bacaan Al-
Qur'an dengan menggunakan mushaf versi ini termasuk dalam amalan sunnah Nabi
s.a.w. Selain itu posisinya sebagai sunnah yang harus diikuti, kemantapan bacaan
orientalis telah berusaha menggali lebih dalam perkembangan mushaf utsmani dari
berbagai aspek. Hal ini antara lain dimotivasi oleh usaha penyimpangan dari Al-
Qur’an atau paling tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber yang kebenarannya
dapat diragukan.
Al-Qur’an sebagai ‘authenticum dei verbum’; wahyu otentik bagi umat Islam
disebabkan faktor dogmatis dan tidak terbukti secara fakta dan kajian historis.
Mushaf yang ada sekarang berbeda dengan Mushaf yang ada di masa Nabi karena
pada tahun tiga puluh hijriah tidak ada teks resmi, implikasi selanjutnya adalah
bahwa keterjagaan Al-Qur’an menurut mereka hanya dapat difahami dalam konteks
Ilahi bukan konteks manusiawi. Untuk membuktikan asumsi itu, sebuah agenda
adalah sebuah usaha absurd untuk menerbitkan Mushaf al-Quran edisi kritis (a
critical edition of the Qur’an). Untuk mewujudkan tujuan ini, mereka melakukan
kajian ilmiah yang bertujuan untuk menemukan problem dalam kodifikasi yang
dipermasalahkan adalah; Pertama, kodifikasi oleh Utsman bin Affan sarat dengan
keputusan Khalifah Ustman bin Affan dalam penggunaan dialek Quraisy. Keempat,
banyaknya Mushaf tandingan yang “dibakar” Ustman bin Affan. Kelima, menurut
mereka sebenarnya para sahabat banyak yang tidak menyetujui langkah Khalifah
Utsman dan menolak Mushaf Utsmani. Keenam, adanya ayat yang hilang dan ayat
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian orientalis
PEMBAHASAN
A. Pengertian orientalis
Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Orient artinya
timur dan isme artinya paham. Lawannya adalah Occidentalisme yang terdiri dari
kata Occident dan isme, Occident artinya barat. Kata timur mengarah pada semua
wilayah yang terbentang dari Timur Dekat (Near Eastern, seperti wilayah Persia,
Mesir dan Arabia) hingga Timur Jauh (Far Eastern, seperti Jepang, China dan
India), dan Negara-negara yang berada di Afrika Utara dan Tengah. Secara
Sarjana dari Turki, Abdul Haq Adnan Adviar memberikan penjelasna lebih
the Orient"; yang artinya orientalisme adalah suatau pengertian yang lengkap di
mana dikumpulkan pengetahuan yang berasal dari sumbernya yang asli yang
kesusteraan dan kesenian yang berada di Timur. Secara lebih singkat dalam buku
1
Defenisi dikutipoleh Muin salim dari The New Webster Ensyclopedic Dictionary of The English
Language Vol. I (Grolier Incorporated New York), 1970
Orientalisme dan Misionarisme karya Hasan Abdul Rauf M. el Badawiy dan
Abdurrahman Ghirah dijelaskan bahwa orientalisme adalah suatu disiplin ilmu yang
islam. Objek kajian orientalisme mencakup peradaban, agama, seni, satra, Bahasa
dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran telah memberikan kesan yang besar dalam
membentuk persepsi barat terhadap Islam dan dunia Islam. Caranya ialah dengan
Timur (Islam) dengan Barat. Orang-orang yang menekuni dunia ketimuran ini
disebut orientalis. Mereka adalah kelompok orang atau golongan yang berasal dari
2
A. Muin Umar, Orientalisme dan Studi Tentang Islam, h. 7-8. Muin salim menukil dari buku aslinya Abdul
Haq Adnan Aviar, “Turkish Account Of Orientalism”, Moslem World Vol. 43 (1953), h. 276
orientalis tentang Islam dan sejarahnya nampak sangat canggih dan halus sehingga
Selain dari itu, pandangan dan kritik orientalis berdasarkan kajian mereka
yang sangat spesifik. Artinya jika mereka mengkaji suatu bidang tertentu, mereka
melewatkan bidang kajian yang lain. Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik-kritik
yang tidak dikaitkan dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak
dikaitkan dengan aqidah, kritik dan kajian al-Qur’an tanpa disertai ilmu tafsir,
bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur’an dengan metodologi Bibel,
mengkaji politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler dst. Dan yang pasti
disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji dengan framework
Jadi, kajian orientalis yang dianggap objektif dan ilmiah itu sangat mungkin
untuk terjerumus dalam kesalahan. Cara pandang mereka terhadap Nabi, al-Qur’an
dan Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh orientalis
periode awal yang diwarnai permusuhan dan oleh pengalaman manusia Barat.
Artinya orientalisme sebagai ilmu itu tidak bebas nilai. Karena terpengaruh oleh
worldview dan nilai-nilai Barat, maka dalam mengkaji al-Qur ’an para orientalis
masalah yang mereka jadikan topik bahasan disesuaikan dengan metode tersebut.
Sarjana Barat pertama yang secara ilmiah mengemukakan dugaan kepalsuan
Dalam riwayat terkenal dikatakan bahwa ayat inilah yang dikutip Abu Bakr ketika
Umar menolak berita mengenai wafatnya Nabi yang baru saja terjadi. Gustav Weil
Nabi. Ia menuduh interpolasi ini berasal dari Abu Bakr, yang melakukan upaya
di atas – berita tentang wafatnya Nabi. Namun, secara historis, Abu Bakr tidak
perang Uhud, yang muncul dalam konteks itu untuk membantah kabar bohong yang
menyebar luas selama pertempuran bahwa Nabi telah wafat. Sementara ayat-ayat
dengan sisa keseluruhan al-Quran, sehingga asumsi Weil tidak memiliki alasan yang
kuat3.
Yahudi ter hadap al-Qur’an. Pada tahun 1833, dalam esainya yang berjudul “Apa
bahwa al-Qur’an merupakan imitasi dari Taurat dan Injil antara lain dari segi kosa
kata yang berasal dari bahasa Ibrani yaitu. Tabut, Taurat, Jahannam, Taghut, dan
sebagainya. Selain itu, Geiger juga berkeyakinan bahwa muatan al-Qur’an sangat
terpengaruh oleh agama Yahudi seperti penjelasan al-Qur’an mengenai: (a) hal-hal
yang menyangkut keimanan dan doktrin, (b) peraturan- peratuan hukum dan moral
dan (c) pandangan tentang kehidupan.Geiger juga berpendapat bahwa kecaman al-
Qur’an terhadap Yahudi disebabkan oleh kejahilan dan kesalah fahaman nabi
Sedangkan Richard Bell menganggap al-Qur’an berasal dari tradisi dan kitab
suci Kristen. Richard Bell mengatakan, pengaruh Kristen belum terjadi pada masa
akhir Makkah dan awal Madinah. Indikasinya, surah al-Ikhlas bukan polemik antara
Muhammad dan orang Kristen, tetapi dengan orang musyrik yang percaya bahwa
Allah mempunyai tiga anak perempuan. Kemudian ketika surah al-Alaq ayat 1
sampai 5 turun pengaruh Kristen juga belum nampak, karena disitu dinyatakan
bahwa manusia diciptakan dari segumpal darah. Sementara dalam konsep Bibel
manusia itu diciptakan dari tanah. Baru kemudian pada surat al-Mu’min 67
dinyatakan bahwa: “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes air mani, sesudah itu segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan sebagai
seorang anak..”. Di dalam surah ini pengaruh Kristen baru terbaca. Selain itu,
menurut Bell, pengaruh Bibel terhadap al-Qur’an dapat dilihat dari konsep
penolakan penyaliban Yesus. Konsep ini, menurutnya diambil dari satu sekte
Kristen di Syiria. Selain itu Bell juga berpendapat bahwa wahyu yang dialami
Muhammad meru- pakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Hal ini
sadar) dalam suasana mistik seperti kehidupan para dukun. Bell mengartikan wahyu
dengan sugesti yang muncul sebagai kilasan Inspirasi, dan sugesti itu terjadi secara
mereka hal-hal yang bersifat supranatural tidak dapat dikaji secara saintifik.
Selain Bell dari kalangan Kristen terdapat nama Theodore Noldeke, seorang
pendeta Kristen yang juga berasal dari Jerman. Ia mengukur kebenaran al-Qur’an
dari Bibel. Maka, apa pun yang terkandung di dalam al-Qur’an yang bertentangan
penyaliban Nabi Isa. Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke,
Yahudi.
Gagasan Noledeke untuk mengkaitkan al-Qur’an dengan kitab terdahulu
yaitu Israel Schpiro (1957). Ia menulis disertasi dalam bahasa Jerman dengan judul
Taurat dan Injil. Selain Noldeke terdapat nama AJ Wensick, murid Christian
Jika hanya mencari kesamaan isi al-Qur’an dengan kitab-kitab sebelum Islam
sudah tentu akan ditemukan dengan mudah. Karena jika diingat bahwa al-Qur ’an
adalah penyempurna kitab-kitab sebelumnya, maka itu adalah wajar. Selain itu,
kesamaan itu justru harus dianggap mukjizat al-Qur’an, karena Nabi Muhammad
yang ummi itu ternyata dapat merekam ajaran-ajaran yang ada dalam kitab
sebelumnya. Hal ini menunjukkan pula bahwa ajaran moral yang dibawa oleh al-
Qur’an itu adalah universal dan sesuai dengan fitrah manusia. Masalahnya, mereka
lupa bahwa dalam al-Qur’an terdapat ajaran-ajaran yang tidak terdapat dalam kitab-
kitab terdahulu.
Al-Qur’an adalah bacaan yang berbeda dari ucapan dan perbuatan Nabi yang
direkam dan disimpan secara terpisah dalam bentuk Hadits yang secara literatur
berarti berita, laporan atau narasi. Seorang orientalis yang objektif, Michael
Zwettler mencatat bahwa pada zaman kuno, ketika menulis jarang digunakan,
hafalan dan transmisi oral diamalkan dan diperkuat pada tingkat yang kini tidak
dapat diketahui. Maka, sebagian besar dari wahyu dengan mudah dihafalkan oleh
sebagian besar orang dalam komunitas Nabi. Ini berarti Zwettler mengakui adanya
Namun, para orientalis yang terpengaruh oleh ilmu-ilmu social Barat dan juga
oleh metodologi kajian Bible menekankan pada fakta- fakta empiris yang berlebihan
sehingga bukti-bukti lain selain yang memiliki fakta fisik tidak dapat diterima. Hal
ini terbukti dari besarnya perhatian orientalis yang berlebihan dalam mengkaji
sejarah kompilasi teks al-Qur’an atau sejarah teks al- Qur’an. Ini nampaknya
sebagainya. Manuscript itulah yang berperan dan berfungsi sebagai acuan dan
Dengan pendekatan tekstual itu maka orientalis mengkaji al- Qur’an dengan
berdasarkan sebuah asumsi bahwa Al-Qur’an adalah ‘dokumen tertulis’ atau teks,
bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’, qira’ah. Dengan asumsi keliru ini (taking the
Qur’an as text) mereka lantas mau menerapkan metode-meode filologis yang lazim
digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source criticism, form
criticism, dan textual criticism. Logika tekstual itulah yang mengkibatkan anggapan
bahwa al-Qur ’an sebagai hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8M dengan
masyarakat sekeliling mereka. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa mushaf
yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (tanpa mengetahui
bagaimana teks aslinya itu) dan karena itu mereka lantas membuat edisi kritis,
writing) tetapi merupakan ‘bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan
periwayatan (transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan. Dari dahulu, yang
dimaksud dengan ‘membaca’ al-Qur’an adalah ‘membaca dari ingatan’ (qara’a ‘an
zhahri qalbin). Rasm dalam berbentuk tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun dan
lain sebagainya hanya berfungsi sebagai alat penyimpan dari apa yang ada dalam
hafalan para Qari’. Hafalan qari’ ini kemudian ditransmisikan dengan isnad secara
mutawatir dari generasi ke generasi hingga zaman sekarang sehingga tetap seperti
yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi. Maka dari itu prinsip yang
terkenal dikalangan para ulama dlam hal ini adalah bahwa “al-rasm tabi li al-
Bagaimana hafalan itu dapat terjaga dari lupa, para sahabat dan para ulama
seorang alim di cross check dengan ulama yang lain. Terdapat tiga pedoman yang
harus dipenuhi sebelum sebuah bacaan suatu ayat diterima sebagai al-Qur’an:
pertama, qira’at mesti tidak diriwayatkan hanya dari satu sumber yang memiliki
otoritas, melainkan melalui sejumlah riwayat besar (yang cukup untuk melenyapkan
kemungkinan adanya kesalahan yang masuk), yang juga sampai kepada Nabi
Muhammad yang dapat menjamin keaslian dan kepastian bacaan. Kedua, teks
bacaan mesti sama dengan apa yang terdapat Mushaf Uthmani. Ketiga, cara
Para orientalis pada umumnya sepakat bahwa keaslian al- Qur’an dapat dilacak
dari abad pertama Hijrah atau ketujuh Masehi di Makkah dan Madinah. Keaslian
disini bukan sebagai wahyu Allah kepada nabi Muhammad, tapi keaslian al-Qur’an
sebagai karangan Nabi Muhammad. Sebagai pengarang, Nabi bagi mereka tidak
meninggalkan susunan teks resmi yang lengkap dan definitif, karena itu materi al-
Qur’an dalam bentuk tulisan dan ucapan baru disusun setelah dua puluh tahun dari
wafatnya Nabi oleh Uthman bin Affan dan diterbitkan sebagai satu-satunya teks
yang resmi. Keaslian al- Qur’an – yang menurut W. Montgomery Watt dan Richard
Bell dianggap sebagai karangan Nabi Muhammad – dalam tradisi Islam hanya
dibuktikan dari keseragaman bahasanya, sudah tentu bagi mereka bukti ini adalah
lemah.
Jika Watt dan Bell meragukan keaslian wahyu karena tidak adanya bukti teks
disusun menjadi teks seperti yang ada sekarang ini. Baginya sumber analisa hanya
berdasarkan kajian fakta sejarah dan menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi
asal usul Islam, termasuk al-Qur’an dan Hadits, sunnah nabi, tafsir dan sejarah
adalah produk dari aktifitas kesusasteraan yang harus dianalisa sebagai sastra
kesusasteraan41 dan itu ia ambil dari kajian bible (biblical studies). Metode kritik
dan teks resminya itu merupakan koleksi dan perbaikan redaksi tidak lama dari
Para orientalis pada umumnya tidak percaya pada fakta tentang keberadaan al-
Qur’an dalam bentuk lisan dari tradisi hapalan di kalangan orang-orang Arab pada
waktu itu. Dengan memberi penekanan pada substansi al-Qur’an sebagai sebuah
masa Muhammad dan di masa khalifah Abu Bakr, namun menerima upaya
kompilasi yang dilakukan oleh ‘Uthman. Hanya saja mereka kemudian menduga
adanya kemungkinan terjadinya kesalahan dalam teks Al-Qur’an di masa itu. Sebab
Dunia Islam selisih lima belas tahun. Mereka menganggap dalam rentang waktu
ter•sebut telah terjadi distorsi dan pemalsuan teks aslinya. Padahal, ilmuwan Kitab
Injil tidak mempermasalahkan sejarah Bibel, meski- pun beberapa Kitab Perjanjian
kembalinya orang Yahudi itu dari Babilonia ke bumi Palestina sejak masa
penawanan, sama sekali tanpa bukti ilmiah dan hal demikian berlaku selama dua
Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut. Meskipun anggapan bahwa
selisih waktu lima puluh tahun sebagai sarana pembuktian kepalsuan naskah al-
sejak zaman Nabi Muhammad, dan disimpan baik dalam pengawasan beliau
syahidnya para huffaz? ‘Umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada
peperangan Yamamah dan kemudian memberi tahu Abu Bakr akan kemungkinan
menunjukkan bahwa para huffaz yang jumlahnya ribuan itu memperoleh ilmu
pengetahuan al-Qur’an langsung dari Nabi Muhammad atau melalui mata rantai
memungkinkan adanya kesalahan. Maka dari itu hingga wafatnya Rasulullah SAW
hampir seluruh catatan-catatan awal para sahabat nabi yang merupakan koleksi
pribadi dengan perbedaan kualitas dan kuantitasnya telah wujud. Karena untuk
keterangan atau komentar (tafsir) dipinggir ataupun disela-sela ayat yang mereka
tulis. Namun, sekali lagi rekaman catatan para sahabat itu tidak lebih utama dari
hapalan mereka. Itulah sebabnya mengapa setelah susutnya jumlah penghafal Al-
Qur ’an karena gugur di medan perang, Khalifah Abu Bakr as-Siddiq r.a berusaha
hand) dan mutawaatir dari Nabi SAW. Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13H/634M),
mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat (23H/644M),
lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman
r.a.
Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli
sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira’at yang ada, serta
membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap
orang tidak hanya harus membawa ayat, melainkan juga membawa dua orang saksi
dari Nabi Muhammmad. Hukum kesaksian ini juga dihidupkan kembali di zaman
pemerintahan ‘Uthman. Jadi otoritas saksi merupakan poin paling penting dalam
menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen. Ayat-ayat yang telah ditulis tetap
proses kodifikasinya.
Dari menekankan pada substansi al-Qur ’an sebagai teks orientalis kemudian
beranggapan bahwa sumber wahyu al-Qur’an itu ada dua yaitu Tuhan dan nabi
itu bersumber dari Allah tetapi diproduksi oleh Muhammad dengan bahasanya
sendiri dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan Kristen). Watt di
satu sisi tidak menolak Islam yang fundamental, tetapi disisi lain dia menerapkan
malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Baginya wahyu turun dari Tuhan hanya
dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal. Karena ada peranan Nabi
penolakan terhadap penyaliban Yesus dalam al-Qur’an (QS 4:157). Ajaran seperti
ini menurut Watt diambil Muhammad dari sekte Kristen Syiria yang keliru. Watt
maka bisa terjadi kekeliruan dalam Al-Qur’an bila kekeliruan seperti penolakan
adalah pendeta Edward Sell (m. 1932), salah seorang misionaris terkemuka di
dengan menulis Historical Development of the Qur’an, yang diterbit- kan pada
Geschichte des Qorans, sebagai model untuk kajian kritis al-Qur’an. Jejak Sell
mengatakan bahwa sudah tiba saatnya untuk mengaplikasikan study kritis Bible
terhadap teks al-Qur’an seperti yang telah dilakukan terhadap kitab suci Yahudi
yang berbahasa ibrani-aramaic dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani. Studi
kritik ini mempunyai beberapa bentuk yang saling berkaitan seperti kritik historis,
Selain itu Arthur Jeffery (1959), seorang orientalis dari Australia melihat
bukan karena dirinya sendiri, akan tetapi oleh karena tindakan komunitas masing-
masing agama.
penulisan al-Qur’an;
e. tidak ada di dalam al-Qur’an yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. terpengaruh oleh worldview dan nilai-nilai Barat, maka dalam mengkaji al-Qur ’an
sosial yang mereka miliki. Sebagai konsekuensi dari pendekatan tersebut maka
tersebut.
2. Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient dan isme. Orient artinya timur
dan isme artinya paham. Lawannya adalah Occidentalisme yang terdiri dari kata
Occident dan isme, Occident artinya barat. Kata timur mengarah pada semua
wilayah yang terbentang dari Timur Dekat (Near Eastern, seperti wilayah Persia,
Mesir dan Arabia) hingga Timur Jauh (Far Eastern, seperti Jepang, China dan
India), dan Negara-negara yang berada di Afrika Utara dan Tengah. Secara
yakni suatu cara pemikiran dan ekspresi timur, termasuk kesusasteraan, agama,