Anda di halaman 1dari 22

MENGENAL KITAB TAFSIR AT-TAHRIR WA AT-TANWIL KARANGAN

IBN ASYUR DAN TAFSIR SURAT AL_MUMTAHANAH AYAT 1


PERSPEKTIF IBN ‘ASYUR.

ABSTRAK

Hatib bin abi Balta’ah merupakan seorang shahabat yang ada dizaman Nabi, ia
menuliskan suatu catatan yang akan ia kirim melalui seorang perempuan di lembah
Khahk kepada kaum kafir Quraisy yang kemudian wanita itu ditangkap dan diinterogasi
oleh shahabat utusan Rasulullah, Ia Hatib kemudian dihadapkan kepada Rasulullah dan
diinterogasi tentang hal itu, sebab, dan tujuannya. Maka ia pun mengatakan bahwa ini ia
lakukan karna ia ingin menjaga harta dan keluarganya yang ada di Mekkah, Rasulullah
percaya bahwa ini merupakan suatu kejujuran namun, Allah SWT menurunkan ayat QS;
al-Mumtahanah ayat 1, yang menyeru untuk tidak menjadikan musuh-musuh Allah
sebagai seorang kerabat atau pemimpin, dan berbelas kasih kepada mereka

PENDAHULUAN

Ilmu tafsir merupakan salah satu ilmu yang terus berkembang mengikuti
perkembangan zaman, dengan berbagai corak dan latar belakang pendidikan para
Penafsirnya (mufassir), dan al-Quran merupakan kitab yang fenomenal dimana manusia
tidak mampu untuk merubah isinya, namun isi atau kandungan didalam al-Quran dapat
merubah kehidupan manusia itu sendiri. Ada banyak macam corak-corak tafsir yang ada
didunia ini, termasuk yang terbaru dan aktual diabad ini yaitu corak penafsiran “tafsir
ilmy”. Dalam hal ini penafsiran-penafsiran dari ayat-ayat al-Quran harus terus mengalami
perkembangan seiring berjalannya waktu dan zaman, dan tidak akan berakhir selama
masih ada manusia yang memiliki rasa keingintahuan yang mendalam terhadap
kandungan ayat-ayat al-Quran, disamping itu hal ini juga merupakan suatu implikasi dari
pandangan teologis umat muslim bahwa al-Quran shahihun likulli al-zaman wa al-makaan1
yang artinya “al-Quran itu benar disetiap waktu dan tempat”. Prinsip ini merupakan
konsekuensi yang logis, karena al-Quran merupakan kitab samawi yang terakhir yang
diturunkan oleh Allah2. Secara sederhana istilah tafsir ilmy adalah penafsiran al-quran
berbasis sains modern, dari segi bahasa (etimologis), “at-Tafsir-al-Ilmy” berasal dari 2 kata
yaitu “al-Tafsir”dan”al-Ilmy”3yang dinisbatkan kepada kata al-Ilm yang berarti (Ilmu) atau

1
Kitab Tafsir al-Tahrir wa at-Tanwir Karya Ibnu Asyur Dan Kontribusinya Terhadap Keilmuan Tafsir
Kontemporer, Abd. Halim, Jurnal as-Syahadah, Vol , II. No, II. Oktober 2014.
2
Abd Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran Studi Madzahibut Tafsir/Aliran-aliran dari Periode
Klasik, Pertengahan, Hingga Abad Modern-Kontemporer, 2 November 2016, hal 154.
3
Tafsir Ilmi: Studi Metode Penafsiran Berbasis Ilmu Pengetahuan Pada Tafsir Kemenag
“yang ilmiah”atau “yang bersifat ilmiah”. Maka secara bahasa tafsir ilmy adalah berarti
tafsir ilmiah atau penafsiran ilmiah.

Secara istilahnya (terminologi) tafsir ilmy dapat difahami melalui pendapat pakar-
pakar ilmu seperti Muhammad Husain ad-Dzahabi yang mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan tafsir ilmy adalah “penafsiran yang dilakukan dengan menggunakan
pendekatan teori-teori ilmiah dalam mengungkap kandungan ayat-ayat al-Quran dan
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menggali brbagai disiplin ilmu pengetahuan
dan pandangan-pandangan filsafat dari ayat-ayat tersebut.” Kemudian Abd Al-Majid Al-
salam al-Muhatsib didalam kitabnya mengatakan “tafisr ilmy adalah penafsiran yang
dilakukan oleh para mufassirnya untuk mencari adalnya kesesuaian antara ungkapan-
ungkapan ayat-ayat suci al-Quran dengan teori-teori ilmiah (penemuan ilmiah)”4. Pun
Fahd Abdul Rahman mendefinisikan bahwa tafsir ilmy adalah suatu ijtihad atau usaha
keras dari seorang mufassir untuk mengungkap hubungan antara ayat-ayat kauniyyah -
didalam al-Quran dengan penemuan-penemuan ilmiah yang bertujuan untuk
memperlihatkan keistimewaan atau kemukjizatan al-Quran.

Dalam hal ini telah banyak para mufassir-mufassir al-Quran yang menafsirkan ayat-ayat
al-Quran dengan melakukan berbagai macam metode pendekatan, salah satunya adalah
Muhammad At-Thahir ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thahir ibn Asyur al-Tunisy
yang terkenal karena melakukan penelitian terhadap ayat al-Quran dengan menggunakan
metode bahasa yang dia pakai dalam menulis kitabnya yang berjudul “at-tahrir wa at-
tanwir”5, sehingga kitab ini bukan hanya sebagai tafsir dari al-Quran melainkan juga
menjadi kitab kebahasaan dan menjadi rujukan para ulama tafsir terutama dalam analisa
bahasa dari ayat-ayat al-Quran.

1. MENGENAL MUHAMMAD AT- THAHIR IBN ASYUR


A. Riwayat hidup Ibn Asyur

Beliau memiliki nama lengkap Muhammad at-Thahir Ibn Muhammad Ibn


Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur al-Tunisiy6. Beliau dilahirkan pada bulan Jumadil ula,

Putri Maydi Arofatun Anhar, Imron Sadewo2, M. Khoirul Hadi Al-Asy’ari, PROSIDING KONFERENSI
INTEGRASI INTERKONESKSI ISLAM DAN SAINS. Volume 1, September 2018 Halaman: 109-
113.
4
Abd al-Salam al-Muhtasib, Abdl al-Majid. 1973, Ittijahat alTafsir fi al-Ashr al-Hadist Jilid 1. Beirut: Dar al
Fikr.
5
Isthilah al-Insan fi surah al-Isra’ ‘inda Ibn Asyur fi kitab “at tahrir wa at tanwir”, Ahmad Fadly Rahman Akbar,
Jurna Study Quran. Vol, 2, No. 2, Januari 2018.
6
Muḥammad al-Thāhir ibn Muḥammad ibn Muḥammad al-Thāhir ibn ‘Asyūral-Tūnisiy,al-Taḥrīr wa al-
Tanwīr (Tahrīr al-Ma’nā al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr Kitāb al-Majīd, (Tunis: al-Dār al-
Tūnisiyyah Li al-Nasyr, 1984).
tahun 1296 H atau bertepatan dengan bulan September 1878 M di kota Marasi, pinggiran
ibu kota Tunisia. Dan beliau wafat pada tanggal 13 bulan Rajab tahun 1393 H, atau
bertepatan dengan tanggal 12 Oktober 1973 M, di daerah Tunisia7. Beliau bermadzhab
Maliky Asy’ari,8 Sejak kecil beliau dibesarkan didalam lingkungan keluarga yang religius,
terhormat, sekaligus pemikir dan lingkungan yang kondusif bagi seorang pecinta ilmu.
Pada umur enam tahun beliau sudah mulai belajar di masjid Sayyidi al-Mujawwar di
Tunis. Disana ia mulai menghafal dan belajar tentang Al-quran kepada seorang syeikh
yang bernama Syeikh Muhammad al-Khiyary dan mempelajari kitab syarh al-syeikh Khalid
al-azhary ala al-Jurumiah dan beliau juga banyak menghafal matan-matan ilmiah seperti
matan ilmiah Ibn Asyir, al-Risalah, dan al-Qathar.

B. Nasab Ibn Asyur.

Kakeknya yaitu Muhammad Thahir ibn Muhammad ibn Muhammad as-Syazili adalah
seorang syeikh yang ahli di bidang nahwu, fiqh, dan pernah diangkat menjadi seorang
ketua qadhi dan pernah menjadi seorang mufti di Tunisia. Ibunya bernama Fatimah
seorang anak perempuan dari Perdana Menteri Muhammad Al-aziz ibn Attar, yang
menikah dengan Fatimah binti Muhammad bin Musthafa Muhsin. Dari pernikahan itu ia
memiliki 3 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. Pertama yaitu Al-Fadhil
yang menikah dengan Sabia binti Muhammad al-Aziz Jait, kedua yaitu Abd al-Malik yang
menikah dengan Radliya binti al-habib al-Jluli, ketiga yaitu Zain al-Abidin yang menikah
dengan Fatimah binti Shalih ad-Din bin Munshif bey, keempat yaitu Umm Hani yang
menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin al-Bashir ibn al-khuja dan syafiya menikah
dengan Syazili al-Asram. Memasuki usia remaja beliau telah menghafal dan memahami
Al-quran dan mempelajari bahasa Perancis dan mempelajari ilmu-ilmu lainnya.

C. Guru-guru Ibn Asyur.

Dalam mempelajari Al-quran beliau mempelajari secara menyeluruh baik dari segi
hafalan, tajwid, bahkan qira’at nya, beliau mempelajari semua itu di lingkungan disekitar
tempat tinggalnya. Pada tahun 1882 M, pada awal-awal abad ke 14-H, pada usia yang
relatif muda beliau berhasil menyelesaikan hafalannya dan melanjutkan pendidikannya
dan belajarnya di sebuah lembaga yang bernama az-Zaitunah sehingga beliau menjadi
seorang yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu, baik dari segi ilmu yang berkaitan dengan
tujuan (maqashid syari’ah) seperti tafsir Al-quran, qira’at, musthalah al-hadist, ilmu kalam, dan

7 Penafsiran Thahir Ibn ‘Asyur terhadap ayat-ayat tentang demokrasi: kajian tentang atas tafsir at-tahrir wa
at-tanwir, Lutfiyatun Hikmah, Journal of Islamic Studies and Humanities. Vol. 2, No. 1(2017).
8
Al-mufassiruun hayatuhum wa manhaajuhum, Sayyid Muhammad ‘Aly iyaazy, Jilid 1, hal 240.
ushul fiqh dan beliau juga mempelajari berbagai ilmu yang berfungsi sebagai sarana wasilah
seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan ilmu mantiq

Dalam proses pembelajaran menjadi seorang yang A’lim beliau banyak belajar kepada
ayahnya yaitu Syaikh Muhammad bin‘Asyur, dan juga kakeknya yang sejak kecil
mengasuhnya. Dari kakeknya beliau banyak mendapatkan ilmu agama seperti:ilmu hadist,
dan balaghah, beliau juga belajar kepada syeikh-syeikh terkenal dizamannya yaitu: Syaikh
Ibrahim ar-Riyahi, Syaikh Muhammad al-Khaujah, Syaikh ‘Asyur as-Sahili, dan Syaikh
Muhammad al-Khadlar. Adapula Ulama besar yang pernah mendidik Ibnu Asyur yaitu
Syekh Ahmad bin Badr al-Kafy, ia belajar dari beliau mengenai kaidah-kaidah bahasa
Arab, kemudian membaca dalam nahwu dan belajar (addiry) fiqh Maliki kepada seorang
Syekh bernama Syekh Ahmad Jamaluddin, kemudian beliau juga belajar mengenai
kesusastraan termasuk didalamnya tarjamah. Dan beliau belajar ilmu-ilmu pasti seperti
ilmu matematika, sejarah, dan geografi kepada Syekh Salim Bawahajib9. Ketika
memasuki usia muda beliau masuk ke suatu lembaga yang bernama az-Zaitunah.
Lembaga az-Zaitunah sendiri adalah sebuah lembaga yang dalam sejarahnya adalah
sebuah masjid yang dijadikan suatu pusat pembelajaran bermadzhab Maliki. Lembaga ini
memiliki derajat yang sama dengan Al-azhar. Universitas az-Zaitunah didirikan pada
tahun 737 M (120 H) yang berawal dari sebuah kelompok belajar di masjid Jami’ al-
Zaitunah dan terus berlangsung sampai sekarang. Karir nya sebagai seorang pengajar
dimulai pada tahun 1930 dengan menjadi seorang mudarris (pengajar)10 tingkat kedua bagi
mazhab Maliki di masjid Zaitunah, kemudian menjadi mudarris tingkat pertama pada
tahun 1905. Pada tahun1905 hingga tahun 1913 beliau mengajar di Perguruan Tinggi
Shadiqy. Beliau juga adalah seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu, dan ahli sastra.
Beliau pernah terpilih sebagai anggota Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah di Mesir pada tahun
1950 dan anggota Majma’al-‘ilmy al-‘araby di Damaskus pada tahun 195511.

1) karya-karyanya

Ibnu ’Asyūr adalah salah seorang ulama yang memiliki peranan sangat penting
dalam menggerakkan nasionalisme di Tunisia. Beliau hidup sezaman dengan ulama
ternama di Mesir, Muḥammad al-Khadr Ḥusain al-Tūnisiy yang menempati
kedudukan Masyayikhat al-Azhar (Imam Besar al-Azhar). Keduanya adalah teman
seperjuangan, ulama yang sangat luar biasa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi,

9
Teori Maqashid Syari’ah perspektif Ibnu Asyur, Moh. Toriquddin, Ulul Albab Vol, 14, No, 2. Tahun
2013.
10
Arni jani, tafsir at tahrir wa at tanwil karya Muhammad at-Thahir ibn Asyur, Jurnal Ushuludin Vol: XVII
No. 1 januari 2011.
11 Ibid.
sama-sama pernah dijebloskan ke dalam bui lantaran karena mempertahankan
pemahaman dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang sangat berat demi
memperjuangkan negara dan agama. Pada akhirnya Muḥammad al-Khadr ditakdirkan
oleh Allah menjadi mufti Mesir, sedangkan Ibnu ‘Asyūr sendiri menjadi Syeikh Besar
Islam di Tunisia. Diantara karya-karya beliau adalah :

 Tahrir Al Ma’na al sadid wa tanwir al ‘awly al jadid min tafsir kitab al jadid
 Uslul an nizham al ijtima’I fii al Islam
 Maqashid syariah al ismlamiyyah
 Hasyiyah a’la qathir
 Alaisa ash shubh bi qarib
 Uslul al insya’I wa al-khitabah12

Mu’jiz al balaghah dan masih banyak lagi13.

Sebelum menjadi Syekh Besar, beliau pernah mendapat kepercayaan


menjadi Qādhiy (hakim) di Tunisia yang kemudian diangkat menjadi seorang penentu
fatwa keagamaan (mufti) di negara tersebut, selain itu terdapat prestasi-prestasi yang lain
yang pernah beliau raih diantaranya yaitu :

a) Kepala anggota di majlis idarah al-Jam’iyah al khalduniah, pada tahun 1323 H.


b) Bergabung dengan panitia yang bertanggung jawab dalam membeikan katalog
untuk perpustakaan al-Sadiqiyah pada tahun 1322 H, dan kemudian menjadi
ketua panitia tersebut pada tahun 1327 H.
c) Wakil pemerintahan pada bagian penelitian di Universitas al-Zaitunah pada
tahun 1325 H.
d) Ketua anggota majlis al-Auqaf pada tahun 1328 H.
e) Syeikh di Universitas al-Zaitunah pada tahun 1351 H.
f) Berpengaruh dalam kemerdekaan Negara dan menjadi Rektor di Universitas a-
Zaitunah pada tahun 1375 H.
g) Ketua qadymaliky di majlis al-Syari’ (undang-undang) pada tahun 1332 H.
h) Diangkat menjadi mufti pada bulan Rajab pada tahun 1341 H.
i) Diangkat menjadi Syaikh al-Islam al Maliky pada tahun 1351 H.
j) Dipilih menjadi anggota Majma’ al-Luhghah al-A’rabiyah di Mesir pada tahun
1950 H14.

12
Al-mufassiruun hayatuhum wa manhaajuhum, Sayyid Muhammad ‘Aly iyaazy, Jilid 1, hal 241.
13
Munī’ ibn ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd, Manāhij al-Mufassirīn, (Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriy, 2000), hal. 333-
334.
Dalam menulis karya-karya nya beliau banyak merujuk kepada kitab-kitab tafsir klasik
seperti al-kasyaf karya dari Al-Zamakhsyari, kemudian al-muharrar al-wajiz karya Ibnu
‘Atiyyah, mafatih al-ghaib karya fakhruddin ar-Razi, Tafsīr al-Baidhawi, Tafsīr al-Alūsiy, serta
komentar dari at-Thībiy’, al-Qazwiniy, al-Qutbh, dan at-Taftāzāniy terhadap kitab al-
Kasysyāf beserta kitab-kitab tafsir yang lainnya. Diantara kitab-kitab tafsir tersebut yang
paling banyak dikutip oleh beliau adalah kitab al-kasyaf karya dari al-Zamakhsyari, tapi
disisi lain beliau terkadang tidak sependapat dengan nya. Dalam pengantarnya Ibn Asyur
menyatakan bahwa “dalam tafsir yang saya tulis ini, saya fokuskan kepada penjelasan
tentang berbagai macam kemukjizatan al-quran dan mengungkap sisi balaghah bahasa
Arab dan uslub-uslub penggunaanya. Dan juga saya akan menjelaskan hubungan
ketersambungan antara satu ayat dengan ayat yang lain15”. Disamping itu beliau juga
menjelaskan didalam pendahuluannya bahwa menafisrkan kitab suci al-Quran
merupakan impiannya yang tertinggi beliau, impian ini beliau wujudkan dengan cara
menyusun sebuah kitab tafsir. Kitab tafsir yang mencakup didalamnya kandungan-
kandungan atau nilai-nilai al-Quran menuju kebaikan didunia maupun di akhirat.
Pembahasan yang beliau gunakan dalam kitabnya,bukan hanya sekedar mengutip dari
pendapat-pendapat atau penjelasan-penjelasan Ulama-ulama terdahulu, karena menurut
pendapat beliau, sikap seperti itu merupakan sesuatu yang buruk dan tidak patut untuk
dipelihara dalam diri seorang penulis, karena hal ini seakan-akan penulis tidak memiliki
sumbangsih apapun dalam karya nya selain mengutip pendapat-pendapat dari orang
lain.16

Selanjutnya Ibn Asyur memberikan kajian umum tentang dasar-dasar dari penafsiran
dan bagaimana seharusnya seorang mufassir berinteraksi dengan kosa-kata, makna, dan
lafadz didalam al-Quran, kemudian beliau membagi muqaddimah nya hingga panjang
lebar kedalam sepuluh bagian17, yang secara keseluruhannya pengantar ini berisi tentang
landasan pemikiran Ibnu Asyur tentang ilmu-ilmu Al-quran. Kesepuluh muqaddimah itu
antara lain: muqaddimah pertama, membahas tentang tafsir dan ta’wil, muqaddimah kedua
membahas tentang ilmu pendukung dari tafsir, muqaddimah ketiga yaitu membahas
tentang keabsaham tafsir selain tafsir bil ma’tsur dan makna tafsir bil ra’yi, kemudian pada
muqaddimah keempat beliau membahas mengenai tujuan dari tafsir, di muqaddimah

14
Muhammad al-Tahir Ibnu ‘Asyur, syarh al-Muqaddimah al-Adabiyah li al-Marzuqiy ‘ala diwan al Hamasah,
Riyad, Maktabah Dar al-Minhaj, 2008, hal. 16-17.
15 Muḥammad al-Thāhir ibn Muḥammad ibn Muḥammad al-Thāhir ibn ‘Asyūr, tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir

daar Tunisia, 1984. juz 1, hal. 8.

16
Sumbangan Tafsit at-Tahrir wa at Tanwir karya Ibnu Asyur dan Relasinya dengan Tafsir al-Misbah karya
M. Quraish Shihab. Jurnal al-Turath, Vol. 2, No. 2, 2017.
17
Muhammad al-Jaib ibn al-Khaujah [selanjutnya disebut Ibn al-Khaujah], Syeikh al-Islam al-Imam al-Akbar
Muhammad al-Thahir Ibn ‘Asyur, (Beirut:Dar Muassasah Manbu’ li al-Tauzi’, 2004) jilid1, hal. 157.
kelima beliau membahas tentang asbab-asbab nuzul dari suatu ayat, muqaddimah keenam
beliau membahas tentang ilmu qiraat, muqaddimah ketujuh beliau membahas tentang
kisah-kisah yang terdapat dalam al-quran, muqaddimah kedelapan yaitu tentang sesuatu
yang berhubungan dengan nama-nama al-quran beserta ayat-ayat dan surat-suratnya
berikut dengan tartib surat, muqaddimah kesembilan beliau isi dengan tentang makna
global dari Al-quran dan muqaddimah yang kesepuluh yaitu membahas tentang i’jaz al-
quran18. Didalam metode penjelasan penafsirannya. Ibnu Asyur memulai dengan nama
surat, kemudian fadhilah (keutamaan) dari surat tersebut dan keutamaan dalam
membacanya, kemudian disambung dengan susunan surat, dan penjelasan mengenai
asbabun nuzul surat tersebut dan, dan melirik kepada surat sebelum dan sesudahnya,
kemudian disambung dengan penjelasan mengenai tujuan dari diturunkannya surat itu. 19

2. LATAR BELAKANG PENULISAN KITAB TAFSIR (AT-TAHRIR


WA AT-TANWIL).

Ibnu Asyur mulai menulis kitab ini sejak tahun 1431 H/1923 M, setelah beliau
diangkat menjadi seorang mufti. Tafsir tersebut memuat dari 30 Juz al-Quran yang
dirangkum dan ditulis dalam 15 jilid kitab, dalam penulisannya beliau menghabiskan
waktu sebanyak 39 tahun dalam masa hidupnya, dalam penulisan kitab ini beliau
menyelinginya dengan menulis karya-karya lain baik itu yang berupa sebuah buku (kitab)
ataupun sekedar makalah, akan tetapi hal ini tidak membuatnya merasa lelah dikarenakan
keikhlasan, kekuatan tekad, dan kesungguhannya dalam menyelesaikan penulisan
tafsirmya yang beliau harap dapat memberikan kemaslahtan didunia dan diakhirat baik
kepadanya atau pun kepada masyrakat luas begitu kuat. Selama masa penulisan tafsir ini,
kondisi politik di Tunisia mengalami suatu dinamika. Berbagai macam peristiwa,
perubahan ataupun peralihan besar-besaran terjadi pada masyarakat Tunis, saat itu
mereka sedang berjuang kembali mengambil kemerdekaannya yang direbut oleh para
penjajah. Sementara itu dibelahan daerah lain gerakan reformasi yang dipelopori oleh
Muhammad ‘Abduh di Mesir (1849/1905), menyebar ke berbagai belahan Negara Islam,
termasuk Tunisia. Ideologi-ideologi pembaharuan yang dicetuskan oleh Muhammad
‘Abduh mulai mempengaruhi kaum intelektual-intelektual Tunis, termasuk Ibnu ‘Asyur.

Ketika Muhammad ‘Abduh berada di Mesir, beliau menghimbau agar umat islam segera
melakukan pembahruan dalam bidang pendidikan, himbauan ini terdengar sampai ke

18 Muhammad al-Thahir ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir
, daar Tunisia, Tunisia, 1984. Juz 1. Hal. 5.
19 Al-mufassiruun hayatuhum wa manhaajuhum, Sayyid Muhammad ‘Aly Iyaazy, Jilid 1, hal 243.
negeri Tunis, dan Ibnu ‘Asyur merupakan salah seorang ulama pada zaman itu yang
merespon himbauan tersebut dan kemudian mengadakan pergerakan reformasi
pendidikan dan menyampaikannya diberbagai seminar.

Namun bukan hanya itu, beliau pun ikut terjun langsung kedalam gerakan reformasi
yang sedang terjadi. Hal ini menghasilkan penigkatan-peningkatan dan penambahan
ilmu-ilmu selain ilmu syari’ah, seperti matematik, kimia, filsafat, sejarah, budaya dan
bahasa Inggris, termasuk juga hal ini menyebabkan terjadinya pembangunan-
pembangunan lembaga az-Zaitunah diberbagai kota di daerah Tunis20.

3. METODE TAFSIR AT-TAHRIR WA AT-TANWIR

Sebelum memasuki kepada kitab tafsir Al-Tahrir wa at-Tanwir, terlebih dahulu akan
dijelaskan secara umum mengenai metode-metode tafsir al-Quran. Kata metode secara
bahasa berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan, dalam bahasa
Inggris, metode ditulis dengan “method” dan dalam bahasa Arab dituliskan dengan kata
“tariqah atau manhaj”. Dalam “Kamus besar bahasa Indonesia”, kata“metode”
mengandung suatu pengertian:“cara yang teratur yang digunakan untuk melaksanakan
suatu pekerjaan agar tercapai suatu tujuan sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu
yang ditentukan”21, dengan kata lain metode merupakan salah satu sarana yang sangat
penting demi mencapai suatu tujuan, bersangkutan dengan hal ini, maka studi-studi atau
kajian-kajian al-Quran tidak bisa lepas dari metode-metode yang membangunnya, yaitu
suatu cara yang sistematis dan teratur yang dibentuk untuk memahami apa yang
disampaikan oleh Allah S.W.T kepada Nabi Muhammad S.A.W. sedangkan metode tafsir
al-Quran adalah suatu tata cara dalam menafsirkan ayat al-Quran yang didasarkan kepada
sumber-sumber penafsirannya atau kepada system penjelasan-penjelasannya, ataupun
yang didasarkan kepada susunan ayat-ayatnya.

Pemetaan ini merujuk kepada hasil studi dari al-Farmawi tentang klasifikasi dalam
metodologi tafsir, al-Farmawi dalam studinya ia memprakarsai lahirnya metode tafsir
maudhu’i secara sistematis dengan menghadirkan corak penafsiran yang sedang
berkembang, Ridwan Natsir juga pernah melakukan pemetaan tafsir secara epistimologis
dengan mengklarifikasikan tafsir berdasarkan pertama, kepada sumber penafsirannya,
yang kemudian dibaginya menjadi 2 bentuk yaitu ma’tsur/riwayah, ra’yi (pendapat), dan
iqtirany. Kedua, berdasarkan metode penafsirannya (manhaj al-tafsir), ketiga, yaitu dari segi

20
Tela’ah Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur, Faizah Ali Syibromalisi.
21
Fuad Hasan dan Koenjaranigrat, “Beberapa Asas Metodologi Ilmiah”. In Metode Penelitian Masyarakat
(Jakarta; Gramedia, 1977), hal. 16.
corak kecenderngan penafsiran (laun al-tafsir). Metode tafsir yang berkembang selama ini
menurut al-Farmawy yaitu22 :

1) Metode Ijmaly.

Merupakan metode atau cara menafsirkan al-Quran dengan menjelaskan ayat-ayatnya


secara singkat namun padat dan menghindari uraian-uraian yang panjang dengan bahasa
yang mudah dipahami oleh semua kalangan terutama oleh masyarakat awam. Sebagai
contoh kitab yang menggunakan metode ini adalah kitab : tafsir al-Quran al-Karim karya
Muhammad Farid Wajdi, kemudian kitab dari karangan Jalaluddin as-Suyuthi dan al-
Mahally yaitu kitab tafsir al-Jalaluddin, dan tafsir karangan Muhammad ‘Ustman al-
Mirghaniy, yaitu Taj al-Tafsir. Al-Farmawy menjelaskan bahwa metode ini lebih praktis
dan lebih mudah dipahami tanpa penjelasan yang berbelit-belit hal ini tentunya
memudahkan pembaca dalam memahami ayat atau kandungan ayat al-Quran23.

2) Metode Tahlily.

Metode ini merupakan metode kebalikan dari metode sebelumnya yaitu metode Ijmaly,
jika dalam metode ijmaly menafsirkan ayat al-Quran secara singkat namun padat maka
dalam metode Tahlily ayat al-Quran justru ditafsirkan dengan menguraikan segala aspek
yang terkandung dalam ayat terserbut, kemudian menerangkan beragam makna sesuai
dengan integritas keilmuan sang Penafsir. Pola yang digunakan oleh para Mufassir dalam
metode ini adalah pola Mushafiy, yang mana pola ini menafsirkan ayat al-Quran dengan
berdasarkan kepada urutan Mushaf Utsmaniy, kemudian dijelaskan secara mendetail segala
aspek yang terkandung dalam ayat tersebut.

Metode ini mempunyai ruang lingkup yang lebih luas yang membuat penafsir mampu
untuk lebih mengembangkan penafsirannya berdasarkan integritas keilmuan yang
dimilikinya. Namun, hal ini membuat konsekuensi yang lain yang mana para penafsir
memiliki potensi untuk tidak berhati-hati sehingga mengarahkannya kepada suatu
penafsiran yang subyektif atau bahkan kepada penafsiran yang menyimpang.24

Dalam menafsirkan ayat al-Quran, Ibnu ‘Ashur menggunakan berbagai metode tafsir,
diantaranya yaitu: metode tahlili (analisis), naqdi (kritis), istidlah (argumentatif) , maudhu’I
(tematik), dan maqashid (objektif). Menurut beliau dengan mengkombinasikan berbagai

22
Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’I, hal. 20., Ridwan Natsir, Memahami al-Quran; Perspektif Baru
Tafsir Muqarrin (Surabaya: Indera Media, 2003) hal. 20.
23
Ibid.
24
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, hal. 50. (Yogyakarta, 1998).
metode-metode ini maka akan terbuka jawaban-jawaban atas permasalahan dunia dan
akhirat yang ada di dalam al-Quran, yang sejalan dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, sains, berikut dengan teknologi dan kemajuan peradaban yang terjadi pada
umat manusia.

Ibnu ‘Ashur dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran, akan terlebih dahulu memulainya
dengan menjelaskan tentang surah yang akan ditafsirkan, kemudian menjelaskan
maknanya dan disambung dengan tempat surat tersebut turun, kemudian menjelaskan
tentang jumlah ayat yang terdapat dalam surah tersebut, sebab turunnya surah, kemudian
keutamaan dari surah tersebut hingga kepada kandungan surah tersebut secara umum.
Setelah itu beliau menggabungkan beberapa ayat dalam al-Quran yang memiliki tema
yang sama dengan ayat yang hendak ditafsirkan, lalu mentafsirkan ayat tersebut dengan
menggunakan metode analisis korelasi antara ayat atau surat, dilanjut dengan analisis
kebahasaan, riwayat-riwayat yang berhubungan dengan ayat, dan pendapat dari ‘Ulama-
ulama terdahulu. Setelah semua ini dilakukan beliau kemudian merangkum semuanya
kemudian mengambil langkah ijtihad dengan menggunakan metode istidlah, naqdi, dan
maqashid.

4. TAFSIR SURAT AL-MUMTAHANAH AYAT 1 DALAM


PERSPEKTIF IBN ‘ASYUR.

Dalam sebuah karya tulis tentu terdapat isu-isu atau hal-hal menarik yang dapat
menambah sebuah ketertarikan dari para pembaca, begitupun dalam karya kitab tafsir.
Kitab yang dikarang oleh Muhammad at-Thahir Ibn Muhammad al-Thahir A’syur al-
Tunisiy. Atau biasa dikenal dengan Ibn Asyur, juga memiliki isu-isu yang menarik, salah
satu diantaranya yaitu tentang surat al-Mumtahanah ayat 1.

Dalam hal ini surat al-Mumtahanah ayat 1 menjelaskan tentang persahabatan dengan
musuh dan menjadikannya sebagai teman sejati, namun dalam pandangan lain adapula
yang mengatakan bahwa surat al-Mumtahanah ayat 1 ini menjelaskan tentang seorang
wanita yang diuji. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “musuh” didefinisikan sebagai
“lawan (berkelahi, bertengkar, berjudi, bertanding dsb.)”. Sedangkan dalam kamus
bahasa Inggris oxford, musuh didefinisikan sebagai “a person who hates somebody or who acts
or speaks against somebody/something25”, atau orang yang membenci seseorang atau yang
bertindak atau berbicara terhadap seseorang. Maulana Jalaluddin Rumi dalam kitabnya

25
Victoria Bull, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, fourth edition, Oxford University Press, UK, 2011.
Fihi ma Fihi mengatakan bahwa musuh bagi umat manusia adalah jiwa hewani (nafsu)
yang terdapat dalam diri manusia26.

Musuh yang dalam bahasa Inggrisnya dikatakan sebagai “enemy/”e-ne-mē/”, berasal


dari bahasa latin : inimicus yang dapat diartikan sebagai sikap tidak ramah, atau tidak
bersahabat. Ini merupakan suatu istilah yang dipandang sebagai sesuatu yang dapat
merugikan atau menjadi suatu ancaman bagi sesuatu yang lain. Istilah ini biasanya
digunakan kepada suatu konteks yang lebih besar daripada sebuah peperangan, yang
mana menunjuk kepada suatu kelompok yang bertentangan, menjadi sebuah ancaman
yang bersifat abadi.27

Ayat dalam al-Quran, yaitu dalam surat al-Mumtahanah ayat 1 menjelaskan :

َ‫ق ي ُْخ ِرجُون‬ ِ ‫َيآ أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَت َّ ِخذُوا َعد ُِوي َو َعد َُّو ُك ْم أ َ ْو ِل َيا َء ت ُ ْلقُونَ ِإلَ ْي ِه ْم ِب ْال َم َودَّ ِة َوقَدْ َكفَ ُروا ِب َما َجا َء ُك ْم ِمنَ ْال َح‬
‫ضا ِتي ۚ تُس ُِّرونَ ِإلَ ْي ِه ْم ِب ْال َم َودَّ ِة‬ َ ‫س ِبي ِلي َوا ْب ِتغَا َء َم ْر‬ َّ ‫سو َل َو ِإيَّا ُك ْم ۙ أ َ ْن تُؤْ ِمنُوا ِب‬
َ ‫اَّللِ َر ِب ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم خ ََرجْ ت ُ ْم ِج َهادًا ِفي‬ ُ ‫الر‬
َّ
‫س ِبي ِل‬ َّ ‫س َوا َء ال‬ َ َ َّ
‫ل‬ ‫ض‬ ْ ‫د‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ‫م‬
ْ ُ
‫ك‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬
ِ ُ ‫ه‬ ْ
‫ل‬ ‫ع‬ ْ
‫ف‬ ‫ي‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬
َ َ َ َ ْ‫و‬ ۚ ‫م‬ُ ‫ت‬‫ن‬ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬
ْ َ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫م‬
َ َ ْ ُ ‫ت‬‫ي‬ْ َ ‫ف‬‫خ‬ْ َ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ب‬
َِ ُ‫م‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
ْ َ ‫أ‬ ‫َا‬ ‫ن‬َ ‫أ‬ ‫و‬
َ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu
menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena
rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku
(janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita
Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu
sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya,
maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS: al-Mumtahanah : 1.)28

Asbabun nuzul ayat

Al-Bukhari dan Muslim mengetengahkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, dia
mengisahkan: ketika Rasulullah mengutusku bersama Az-Zubair dan Al-Miqdad bin Al-
Aswad, beliau berpesan “teruslah berjalan hingga kalian tiba dikebun Khakh. Disana kalian
akan bertemu dengan seorang wanita yang membawa surat (menuju Mekkah). Ambilah surat itu dan
bawalah kepadaku.”

26
Jalaluddin Rumi, Fihi ma Fihi mengarungi samudera kebijaksanaan, 2018,hal. 146.
27
Merriam-Webster Dictionary – Enemy.
28
Mushaf al-Madinah, al-Quran, terjemah dan tafsir. Jabal.
Kami bertiga bergerak cepat menuju tempat yang ditunjukkan oleh Rasulullah, dan kami
mendapati seorang wanita yang berada ditempat itu. Kami berkata kepadanya, “berikan
surat itu kepada kami,” wanita itu mengelak “surat apa? Aku tidak membawa surat sama
sekali.” Kami pun mengancamnya “serahkan surat yang engkau bawa atau kami akan
menelanjangimu.” Akhirnya ia pun mengeluarkan sepucuk surat yang ia bawa dan ia
keluarkan dari balik sanggul rambutnya. Setelah mendapatkan surat itu, kami segera
kembali menemui Rasulullah. Setelah diperiksa ternyata surat itu berasal dari seorang
shahabat yang bernama Hathib bin Abu Balta’ah yang ditujukan kepada orang-orang
Musyrikin di Mekkah. Melalui sepucuk surat itu dia mengabarkan beberapa rencana
Rasulullah (terkait ekspansi ke Mekkah).

Setelah Hathib dihadapkan didepan beliau, ia ditanya, “Wahai Hathib, apa maksudmu
mengirimkan surat ini?” Hathib menjawab, “wahai Rasulullah, janganlah engkau terburu-
buru untuk menghukumku. Aku mempunyai teman dekat dari golongan Quraisy, akan
tetapi aku tidak termasuk dalam golongan mereka. Para shahabat Muhajirin disini
memiliki kerabat dekat di Mekkah, sehingga harta dan keluarga mereka terjaga.
Sementara aku tidak memilki sanak kerabat seperti mereka yang dapat menjaga harta dan
keluargaku disana. Karenanya aku mengabarkan sebagian rencanamu kepada mereka agar
mereka menjaga keluargaku dan harta bendaku di Mekkah. Aku berbuat demikian bukan
karena kekafiran ataupun murtad (keluar) dari agama islam. Aku juga tidak ridha atas
kekufuran mereka.” Rasulullah kemudian bersabda, “dia telah berkata jujur”. Berkenaan
dengan itu Allah S.W.T menurunkan ayat, yang artinya sebagai berikut, “wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-ku dan musuhmu sebagai teman setia sehingga
kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan
kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Rabb-mu. Jika kamu benar-benar keluar untuk
berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (jangnalah kamu berbuat demikian). Kepada
mereka karena kasih sayang, dan aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan kamu
nyatakan . dan barang siapa diantara kamu yang melakukan itu, maka sungguh, dia telah tersesat
dari jalan yang lurus” (Qs.Al-Mumtahanah [60]:1)29

Dalam penafsirannya Ibn A’syur mengawalinya dengan menjelaskan bahwa telah


diketahui bersama bahwa surat ini telah diketahui dalam kitab tafsir, kitab sunan dan
mushaf-mushaf sebagai surat al-Mumtahanah. Kemudian Al-Qurtuby berkata “dan yang
termasyhur (terkenal) terhadap pelafalan kata “al-Mumtahanah” yaitu dengan mengkasrah-kan huruf

29
As-Suyuthi, Imam, Asbabun Nuzul :/Imam as-Suyuthi; Tahqiq: Syaikh Hafidz Syi’isya, Solo, Insan
Kamil, 2016. Hal. 617. Baca juga di Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir daar Tunisia, Tunisia, 1984. Juz, 28. Hal.
130.
“Ha” dan ditegaskan kembali oleh as-Suhaily”30. Metode dalam menamakan surat ini datang
dari suatu cobaan iman yang menimpa kepada perempuan, yang perempuan ini datang
dari Mekkah untuk melaksanakan hijrah ke Madinah, ayatnya: ‫" َيا أَ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا َجا َء ُك ُم‬
ْ َ‫ت ف‬
"‫امت َِحنُوه َُّن‬ ِ ‫ ْال ُمؤْ ِمنَاتُ ُم َه‬, yang artinya : “wahai orang-orang yang beriman! Apabila
ٍ ‫اج َرا‬
perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka” sampai kepada ayat "‫ص ِم ْالك ََوافِ ِر‬ َ ‫" ِب ِع‬.
Maka digambarkan atau disifatkan kepada manusia ayat itu dengan al-Mumtahanah,
karena surat tersebut memasuki kepada ujian seseorang. Dan disandarkan nama surat itu
kepada ayat tersebut sehingga diberi nama surat al-Mumtahanah. Dan berkata as-Suhaily
: “dihubungkan kalimat atau ayat imtihaan tersebut kepada surat al-Mumtahanah sebagai majaz,
sebagaimana dikatakan dalam surat “al-baraah al-fadhihah” (at-taubah). Bahwasannya demikian itu
disifatkan sebagai majaz ‘aqly”. Dan diriwayatkan dengan mem-fathah haa atas ism maf’ul,
berkata Ibn Hajar : “ dan yang dimaksud dengan perempuan yang diuji yang termasyhur
pendapatnya yaitu didefinisikan sebagai janji dan yang dijanjikan oleh perempuan, yang pertama yang
diuji keimanannya, yaitu Ummi kulsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’ty anak perempuan dari
Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana dinamai pada kalimat “ُ ‫ّللا‬ َّ ‫ ” َقدْ سَ ِم َع‬didalam surat al-
Mujadilah, dengan mengkasrahkan huruf daal”.

Dan engkau dapat mendefinisikan dengan definisi yang sejenis, yaitu perempuan yang
diuji. Dan dalam kitab al-Itqan dikatakan bahwa dinamakan dengan surat “al-
Mumtahanah, dan surat al-Mawaddah”, dan dikaitkan nama surat itu kepada kitab jamalul
quraa karangan ‘Ali as-Sakhawy dan tidak disebutkan sanadnya. Dan surat ini telah
disepakati oleh para ulama sebagai surat Madaniyah. Para ahli hitung telah bersepakat
bahwa surat al-Mumtahanah berjumlah 13 ayat. Dan ayat-ayatnya panjang disetiap ayat,
dan telah bersepakat mereka bahwasannya ayat yang pertama kali diturunkan ketika
catatan yang dibawa oleh Hatib bin Abi balta’ah hendak disampaikan kepada kaum
Musyrikkin di Mekkah.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalan Sufyan bin Uyainah dari Umar bin Dinaar sampai
kepada Ali bin abi Thalib R.A, diceritakan tentang Hatib bin abi Balta’ah yang membawa
sebuah catatan kepada penduduk Mekkah kemudian berkata : berkata Umar bin Diinar :
“ ketika itu diturunkan ayat ‫يَا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَتَّ ِخذُوا َعد ُِوي َو َعد َُّو ُك ْم أ َ ْو ِليَا َء‬, dan Sufyan : “hal ini
terdapat didalam percakapan orang yang tidak saya kenal, atau berkata umar. Saya telah
menghafalkannya dari Umar dan tidaklah saya melupakannya sekalipun satu huruf”. Dan didalam
kitab shahih Muslim dan bukan dihadist Abu Bakar dan Zuhair (beliau adalah 5 dari
orang-orang yang meriwayatkan hadist termasuk Muslim, yang meriwayatkan dari sufyan

30
Muhammad al-Thahir ibn Muhammad ibn Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir
, Daar Tunisia, Tunisia, 1984, Juz 28, hal.129.
bin Uyainah) yang menyebutkan ayat. Dan menjadikannya Ishaq (yaitu anak dari Ibrahim
yang merupakan salah seorang yang meriwayatkan dari Muslim hadist ini) diriwayatnya
yang dibacakan oleh Sufyan sampai selesai. Dan tidak ada pertentangan dari Muslim bagi
riwayat Amar an-Naqid dan ibn Abi Umar dari Sufyan dan barangkali keduanya tidak
menyebutkan sesuatu tentang hal itu.

Mereka berbeda pendapat didalam kitabnya, tentang apakah ada persiapan Rasulullah
untuk perjanjian hudaibiyyah? Dan berkata Qatadah dan Ibn ‘Atiyah dan dia adalah yang
menentukan riwayat al-Harist dari Aly bin Abi Thalib disisi Imam ath-Thabari, ia berkata
: ketika Rasulullah SAW hendak datang ke Mekkah untuk mengungkapkan kepada
manusia bahwasannya nabi ingin ke Khaibar dan merahasiakan daripada sahabatnya yang
diantaranya yaitu Hatib bin abi Balta’ah, bahwasannya nabi ingin pergi ke Mekkah. Maka
Hatib mengirimkan surat kepada para penduduk Mekkah...sampai ke akhir ceritanya,
maka bahwasannya sabda nabi: ingin pergi ke Khaibar yang menunjukkan keinginan nabi
untuk ke Mekkah, ialah keinginan Umar dalam perjanjian Hudaibiyyah, yang
menyebabkannya tidak ada perang Mekkah, karena Khaibar adalah daerah yang
ditaklukan sebelum Fathu Mekkah. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang
disampaikan oleh ath-Thabari bahwasannya seseorang yang diutus bersama Hatib berasal
dari Madinah 2 tahun setelah perang badr. Ibn ‘Atiyah berkata : “surat ini turun di tahun ke-
enam”31. Pendapat lain mengatakan : “surat yang dibawa oleh Hatib kepada penduduk
Mekkah ketika Rasulullah melakukan persiapan untuk fathul Makkah, secara jelas
dikarang oleh kebanyakan pendapat para ulama ahli siir dan dikarang pula oleh imam
Bukhari dalam kitab “al-Maghazy” dari kitab shahihnya didalam susunannya. Dan
didukung oleh pembesar para Mufassir. Dan kebanyakan periwayat tidak menjelaskan
apa yang diinginkan oleh Rasulullah untuk bersiap ke Mekkah, apakah beliau pergi untuk
melaksanakan Umrah atau melakukan menaklukan kota Mekkah? Maka pendapat
pertama yang paling benar yaitu yang kami pilih, adalah surat yang menghimpun yang
turun pada waktu terdekat, maka jika diujinya Ummu Kulsum binti Aqabah yaitu
mengikuti perjanjian perdamaian Hudaibiyyah. Dan diturunkannya surat ini menjadi
sesuai dengan urutan ayatnya.

Tujuan diturunkannya surat ini, mengandung beberapa tujuan yaitu untuk memberikan
peringatan kepada orang beriman untuk tidak menjadikan mereka pemimpin, yaitu
mereka yang kafir terhadap agama yang benar dan mengeluarkan mereka dari daerah
mereka. Pengetahuan mereka untuk menjadikannya sebagai pemimpin adalah sesat, dan
jika mereka melakukannya terhadap orang yang beriman sungguh jahat mereka itu
kepada orang beriman, baik itu dengan perbuatan atau pun perkataan, dan sesuatu

31
Ibid. Hal. 130.
diantara mereka dan diantara orang musyrikin terjalin suatu ikatan dari ikatan yang dekat
yang tidak menyalahi kepada arah tujuan permusuhan dalam agama. Dan mereka telah
diberi permisalan tentang hal, itu seperti terputusnya hubungan nabi Ibrahim dengan
ayahnya dan kaumnya. Dikatakan lebih lanjut dengan pembatasan terhadap orang yang
beriman dengan mengharap agar terjadinya ketenangan atau perdamaian diantara mereka,
dan diantara orang-orang yang mereka diperintah oleh Allah, yaitu dengan mengadakan
perjanjian yang bukan perjanjian jangka lama. Dikatakan lebih lanjut lagi dengan
meringankan didalam kebaikan berhubungan kepada orang kafir yang mereka tidak
memerangi kaum muslimin, atau mengadakan peperangan dengan sebab permusuhan
dalam agama, dan tidaklah keluar mereka dari daerah mereka. Dan inilah hukum-hukum
yang terjadi pada surat ini sampai akhir ayat yang ke-9.

Hukum perempuan yang beriman yang datang untuk berhijrah dan menguji kebenaran
iman-iman mereka, dan untuk memelihara mereka dari kembali kepada kemusyrikan32.

ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَت َّ ِخذُوا َعد ُِوي َو َعد َُّو ُك ْم أ َ ْو ِليَا َء ت ُ ْلقُونَ ِإلَ ْي ِه ْم ِب ْال َم َودَّةِ َوقَدْ َكفَ ُروا ِب َما َجا َء ُك ْم ِمنَ ْال َح‬
َ‫ق ي ُْخ ِر ُجون‬
‫ضاتِي‬ َ ‫سبِي ِلي َوا ْبتِغَا َء َم ْر‬ َ ‫اَّللِ َر ِب ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم خ ََرجْ ت ُ ْم ِج َهادًا فِي‬ َّ ِ‫سو َل َو ِإيَّا ُك ْم أ َ ْن تُؤْ ِمنُوا ب‬
ُ ‫الر‬
َّ

Para Mufassir bersepakat yang ditetapkan didalam hadist shahih bahwa ayat ini
diturunkan ketika masalah catatan yang ditulis oleh Hatib bin abi Balta’ah sekutu dari
bani Asad bin Abdul Uzzi dari Quraisy. Dan Hatib dari kaum Muhajirin salah satu
sahabat nabi Muhammad SAW dan dari sahabat yang mengikuti perang Badr.

Kisah ini diambil dari riwayat shahih yang terkenal: bahwasannya Rasulullah telah bersiap
untuk pergi ke Mekkah. Adapula pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah pergi
untuk ber-Umroh di tahun Hudaibiyyah, dan ini yang lebih benar. Pendapat lain yang
mengatakan untuk menaklukan Mekkah maka, pendapat ini kurang sesuai. Pendapat ini
mengutamakan suatu hari dikota Mekkah dan Madinah terdapat seorang perempuan
dinamakan sebagai “perempuan yang Mulia” bagi Abi Umar bin Shaify bin Hasyim bin
Abd Manaf dan ia kafir. Ia berkata kepada Rasulullah “penduduk kalian, dan tuan kalian,
kehidupan dan pendapat orang-orang yang setuju (berarti orang yang dibunuh dari keluarganya pada
perang Badr). Sungguh bersengatan dengan keperluanku, maka aku lebih utamakan atas kalian agar
memberi pakaian untukku, maka Rasulullah memerintah Bani Abdl Mutallib agar
memberikan pakaian kepada perempuan itu, sehingga perempuan itu memakainya, dan
dan membawanya, perempuan itu datang kepada Hatib bin abi Balta’ah dan
memberikannya catatan untuk disampaikannya kepada mereka (penduduk Mekkah),
catatn itu berisi tentang pengkhabaran ketentuan Rasulullah atas keluarnya kepada

32
Ibid. Hal.131.
mereka, dan membalasnya (perempuan itu) atas penyampaiannya, maka keluarlah
perempuan itu, dan Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya terhadap hal ini. Maka
Rasulullah mengutus Ali dan Zubair dan Miqdad dan Aba Murstid al-Ghanawi, dan
mereka adalah penunggang kuda. Rasulullah berkata “teruslah kalian berjalan sampai kalian
tiba di kebun Khakh. Disana kalian akan bertemu dengan seorang wanita yang membawa surat
(menuju Mekkah). Ambillah surat itu dan bawalah kepadaku”. Dan kami bergerak menuju ke
tempat yang telah Rasulullah tunjuk tersebut dan kami mendapati seorang wanita yang
ada ditempat itu, dan kami berkata “berikan surat itu kepada kami!”, wanita itu mengelak,
sehingga kami mengancamnya dan wanita itu akhirnya memberikan surat itu dan kami
lekas membawanya kepada Rasulullah. Setelah sampai di tangan Rasulullah SAW, beliau
memeriksanya dan diketahui bahwa surat itu berasal dari seorang shahabat bernama
Hatib bin abi Balta’ah. Maka dihadapkanlah kepada Rasul Hatib, kemudian ditanyakan
kepadanya, “wahai Hatib, apa maksudmu ini?” Hatib menjawab “wahai Rasulullah janganlah
engkau menghukumiku. Aku memiliki teman dekat dari golongan Quraisy, namun aku bukan dari
golongan mereka. Para Sahabat Muhajirin disini memiliki kerabat dekat di Mekkah, sehingga
keluarga dan harta mereka terjaga. Sementara aku disini tidak memiliki kerabat seperti mereka yang
dapat menjaga harta dan keluargaku disana. Karenanya aku mengabarkan sebagian rencanamu agar
mereka dapat menjaga keluargaku dan harta bendaku di Mekkah. Sungguh aku melakukan
demikian bukan karena aku kafir ataupun murtad dari agamaku. Rasulullah bersabda :“dia telah
jujur”, dan Umar berkata “biarlah aku menebas leher orang munafiq ini wahai Rasulullah”. Dan
beriringan dengan ini maka turunlah ayat (‫ ) َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَت َّ ِخذُوا َعد ُِوي َو َعد َُّو ُك ْم أ َ ْو ِل َيا َء‬.33

Dan dari sini jelas bahwa perempuan yang dibahas sebelumnya merupakan seorang
mata-mata yang dalam sebagian riwayat lain dijelaskan bahwasannya Nabi belum
mengamankan hari penaklukan (fathu), diantaranya adalah wanita ini, tapi pendapat ini
ditentang. Dengan apa yang telah diceritakan dari perkataan Nabi “ambil lah surat itu dan
bawakan kepadaku”34. Pernyataan ini disampaikan sebagai sebuah peringatan kepada
semua orang yang beriman untuk tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Hatib
bin abi Balta’ah.

Dan Musuh : ‫ذوالعدواة‬, ia merupakan ‫ فعول‬yang bermakna ‫ فاعل‬, berakar kata dari ‫عدا‬-
‫يعدو‬, seperti kata ‫ عفو‬dan asalnya adalah Mashdar terhadap wazan ‫ فعول‬seperti kata ‫قبول‬
dan berupa mashdar qalil. Terhadap pertimbangan kepada mashdar awamil ‫ معاملة‬menjadi
mashdar dan disandarkan kepada penggambaran yang mudah diingat yang
berbentuk ‫ مؤنث الواحد‬dan ‫ مثنى‬dan bentuk ‫جمع‬. Allah berfirman: ‫ فانهم عدولي‬dan didalam

33
Ibid. Hal. 133. Baca juga di Asbabun Nuzul, Imam Suyuthi tahqiq : Syaikh Hafizh Syi’isya, Insan Kamil.
Desember 2016.
34
Ibid. Hal. 133.
surat lain juga dikatakan ‫ فان كان من قوم عدولكم‬didalam surat an-Nisa35. Dan makna dari
kata ‫َلتتخذوااعدائ واعداءكم اولياء‬. Maksud dari kata ‫ العدواة‬didalam agama adalah seorang
mukmin mereka tidak memulainya dengan agresi melainkan para kaum Musyrikinlah
yang memulainya untuk menolong kesyirikannya yang dihitung sejak keluarnya mereka
dari kesyirikannya dan menjadikan mereka sebgai musuhnya. Dan para kaum Musyrikin
Arab tidak lancar dalam melaksanakan aksinya untuk menyerang kaum Muslim. Maka
makna yang diidofatkan kepada ‫ ياءالتكلم علي تقدير‬: yaitu ‫ عدو ديني‬atau Musuh agama,
ataupun Rasul-Nya.

Dan makna dari ‫ اَلتخاذ‬: merupakan ‫ افتعال‬dari kata ‫ اَلخذ‬dengan shigat ‫اَلفتعال للمبالغة‬
dalam penempatannya terhadap majaz, yang telah didahulukan dalam ayat ‫ياايهاالذين امنوا‬
‫ حذوا حذركم‬didalam surat an-Nisa. Maka dari itu maka lazim untuk mengingat hal ini
setelah efeknya untuk menunjukkan perlakuan yang tidak tersentuh baik atau jahat,
tindakan ini dilakukan seperti tindakan siput. Mempertimbangkan kasus bahwa setelah
status efek kedua yang tidak perlu disebutkan, dan apakah efek kedua keluar dari pintu
pemikiran dan saudara perempuannya hanya dalam kasus, dan ini telah ditetapkan
didalam ayatnya ‫ اتخذ اصنام ءالهة‬di dalam surat al-An’am.

Kata ‫ تلقون اليهم با المودة‬didalam situasi ‫ َل تتخذ‬atau didalam situasi ‫ اولياء‬atau penjelas untuk
makna ‫اتخاذهم اوليا‬. Boleh engkau jadikan jumlah pada peletakkan hal dari dhomir yang ada
pada kalimat ‫ َل تتخذ‬karena bahwasannya menjadikan jumlah untuk menjadi hal, yang
berhubung darinya ungkapan sebuah kekaguman dari pertemuan mereka kepadanya
dengan kasih sayang. Pertemuan pada hakikatnya yaitu membuang apa yang ada dalam
tangan keatas bumi. Meminjam untuk terjadinya sesuatu dengan tanpa penghalang pada
waktu kejadian. Yakni, tunjukkanlah kasih sayang kepada mereka tanpa berfikir panjang.
Allah berfirman : ‫ فالقوا اليهم القول انكم لكاذبون‬didalam surat an-Nahl. Huruf ‫ ب‬didalam
lafadz ‫ بالمودة‬untuk menguatkan hubungan dari ‫ فعل‬dengan ‫مفعول‬. Asal kalimatnya yaitu
‫ تلقون اليهم باالمودة‬seperti firman-Nya ‫ وَل تلقوا بايديكم الى التهلكة‬dan ‫ وامسحوا برؤوسكم‬dan itu
adalah perumpamaan untuk menguatkan kasih sayang mereka. Ditambah didalam
perumpamaan keadaan ini dengan jumlah hal yang setelahnya yaitu ‫وقد كفروا بما جاءكم الحق‬
dan dari keadaan dhomir ‫ اليهم‬atau dari lafazh ‫عدو‬.

‫ وما جاءكم الحق‬didalam al-Quran dengan semua yang terhubung dengannya dan
disandarkan kepadanya termasuk apa yang datang kepada Nabi, untuk meringkas dengan
tidak ada hubungannya dengan kekejian dan ketidak percayaan mereka, karena tidak

35
Ibid. Hal. 133.
percaya dengan apa yang bukan dari dugaannya untuk menebus kepadanya peminta
petunjuk. Maka sesungguhnya kebenaran yang dicintai dan dibenci36.

Dan pelanggaran yang datang kepada seorang mukhatab, dan mereka adalah orang-orang
yang beriman, karena memanfaatkan kebenaran itu dan menerimanya, maka mereka
sesungguhnya datang dari golongan selainnya, dan jika tidak maka sesungguhnya mereka
datang untuk menyeru kepada orang-orang yang beriman dan musyrikin sehingga mereka
diterima oleh orang-orang yang beriman dan dibuang oleh orang-orang yang syirik.dan
ada yang berpendapat bahwa orang kafir itu muncul karena hasadnya orang-orang yang
beriman sebelumnya, dikatakan juga bahwa hati seorang mukmin juga menjadi sebuah
peringatan bagi kesetiaan mereka terhadap kaum Musyrikin.

Kalimat ‫ يخرجون الرسول واياكم‬merupakan hal dari dhamir ‫كفروا‬, mereka tidak akan pernah
berhenti dengan ketidakpercayaan mereka terhadap kebenaran, dan apa yang datang dari
Rasulullah dan mengeluarkan mereka dari negerinya untuk beriman kepada Allah
tuhanmu, penyerangan yang dibawa kepadanya itu karena berimannya kalian kepada
Allah Tuhan-mu. Oleh karena itu, bukan alasan bagi mereka karena keimanan mereka
tidak menyiksa mereka. Mereka melakukannya karena atas nama Yang Maha Mulia, dan
telah digambarkan oleh Tuhan mu didalam firman-Nya : ‫) ََل أ َ ْعبُدُ َما‬1( َ‫قُ ْل يَا أَيُّ َها ْالكَافِ ُرون‬
َ ‫) لَ ُك ْم دِينُ ُك ْم َو ِل‬5( ُ‫) َو ََل أَ ْنت ُ ْم َعا ِبد ُونَ َما أ َ ْعبُد‬4( ‫) َو ََل أَنَا َعا ِبد ٌ َما َعبَدْت ُ ْم‬3( ُ ‫) َو ََل أ َ ْنت ُ ْم َعا ِبد ُونَ َما أَ ْعبُد‬2( َ‫ت َ ْعبُدُون‬
‫ي‬
6( ‫ِين‬ ِ ‫)د‬

Kasus ini diceritakan dalam bentuk fi’il ‫ المضارع‬untuk menggambarkan keadaan. Karena
kalimat yang bertemu dengan dhamir ‫ وقدكفر‬bahwa telah dikeluarkan untuk Rasul dan
orang-orang yang beriman dikeadaan tersebut pekerjaan yang mengerikan. Maka aku
hendak menghadirkan gambaran tentang itu untuk mengeluarkan yang Mulia dari
pertahanan mereka.37

Dan dalam kalimat ‫ اخرج‬yang aku akan jelaskan adalah untuk mendatangkan sebab-sebab
yang dikeluarkan dari kesempitan atas orang-orang Muslim dan gangguan terhadap
mereka. Kemudian dihubungkan kalimat ‫ اخرج‬kepada ‫ عدو‬yang seluruhnya karena
golongan mereka ridha terhadap apa yang timbul dari sebahagiaan mereka dari gangguan
orang-orang muslim, dan terkadang tipuan mereka dengannya oleh mereka-mereka yang
bodoh. Maka yang demikian itu kalimat ‫ اخرج‬dijadikan sebagai majaz pada segala
sebabnya. Dan disandarkannya kalimat tadi kepada orang musyrik adalah untuk
hubungan yang sebenarnya.

36
Ibid. Hal. 134.
37
Ibid. Hal.135.
Dan firman Allah : ‫ضاتِي‬ َ ‫ إِ ْن ُك ْنت ُ ْم خ ََرجْ ت ُ ْم ِج َهادًا فِي‬merupakan syarat akhir
َ ‫سبِي ِلي َوا ْبتِغَا َء َم ْر‬
larangan dari Firman Allah :‫ ََل تَت َّ ِخذُوا َعد ُِوي َو َعد َُّو ُك ْم أ َ ْو ِليَاء‬. Dan ini adalah tempat yang
digunakan pada umpamaan syarat yang menempati kesempurnaan ayat bagi ayat
sebelumnya, bukan tujuan menghubungkan ayat sebelumnya dengan menggabung antara
‫ ثقة المتكلم‬dengan ‫ مضمون فعل‬dari syarat dengan sekira-kira tidak terjadi dari orang yang
mendengar bahwa untuk menghasilkan darinya tidak termasuk dari syarat yang menjadi
maksud darinya adalah sebuah peringatan dengan cara majaz mursal dalam susunan untuk
makna syarat yang lazimnya sering terjadi.

Dan apa yang terdapat dalam surat daripada yang diterima, maka yang dimaksud dengan
pernyataan larangan yang menjadikan Musuh-musuh Allah sebagai pemimpin dan disiksa
adalah dengan ketentuan syaratnya, yang disepakati bahwa orang-orang yang dilarang
adalah mereka yang menghimpun fiil syarat tanpa keraguan38.

Kemudian ayat ‫ تُس ُِّرونَ إِ َل ْي ِه ْم بِ ْال َم َودَّةِ َوأَنَا أ َ ْع َل ُم بِ َما أَ ْخ َف ْيت ُ ْم َو َما أَ ْع َل ْنت ُ ْم‬bisa dijadikan kalimat penjelas
bagi ayat ‫ تلقون اليهم با المودة‬atau sebagai badl yang mencakup darinya karena sesungguhnya
salah satu bentuk dari kasih sayang adalah apa yang mencakup dari kasih sayang itu.

Dan ‫ اَلسرار‬adalah percakapan dan pengkhabaran yang rahasia.

Bentuk mafu’l dari ‫ تسرون‬dijadikan dihilangkannya yang ditujukan oleh konteks, yaitu
pengkhabaran kepada kaum Muslimin secara rahasia. Dan huruf ‫ ب‬didalam lafadz ‫بالمودة‬
didalam mahally al-maful lil fi’il "‫ "تسرون‬dan huruf ‫ ب‬sebagai tambahkan untuk penegasan
maf’uliyah seperti ‫ ب‬didalam firman Allah ‫وامسحوا برؤوسكم‬.39

Dan kalimat ‫ َوأَنَا أ َ ْعلَ ُم بِ َما أ َ ْخفَ ْيت ُ ْم َو َما أ َ ْعلَ ْنت ُ ْم‬dalam maudhi hal, dari dhamir ‫ تسرون‬atau jumlah
mu’taridhah dan ‫ و‬sebagai I’tiradhiyah. Ini merupakan suatu ungkapan atau respons dari ‫فعل‬
‫( المعرض‬Hatin ibn abi Balta’ah). Dan pembunyiannya didahulukan karena dia
berhubungan dengan firman-Nya ‫ َوأَنَا أ َ ْعلَ ُم‬dan disepakatinya sebagai kisah. Dan ‫أَعْل َم‬
sebagai ism tafdhil dan mufaddhil terhadapnya, yang diketahui terhadapnya dari firman-
Nya ‫ تسرون اليهم‬maka kehendaknya adalah “ketahuilah dari mereka dan dari kalian semua
dengan apa yang kalian sembunyikan dan yang kalian umumkan. Dan ‫ ب‬terkait dengan
ism tafdhil dan ia bermakna pertemanan.

‫سبِي ِل‬
َّ ‫س َوا َء ال‬ َ ْ‫ َو َم ْن يَ ْفعَ ْلهُ ِم ْن ُك ْم فَقَد‬merupakan bentuk athaf dari kata ‫ََل تَت َّ ِخذُوا َعد ُِوي َو َعد َُّو ُك ْم أ َ ْو ِليَا‬
َ ‫ض َّل‬
diathafkan kepada nahyi atas janji yang belum terlaksanakan dan ia tersesat dari petunjuk.

38
Ibid. hal. 136.
39
Ibid. hal. 138.
Dan dhamir ghayyibah dalam kata ‫ يفعله‬kembali kepada konsep dalam mengambil tindakan
‫ ََل تَت َّ ِخذُوا َعد ُِوي‬yaitu barangsiapa yang melakukan hal ini setelah pelarangan dan peringatan
ini, maka ia adalah sesat dari jalan yang lurus.

Lafazh ‫سبِي ِل‬


َّ ‫س َوا َء ال‬
َ merupakan lafadz isti’arah dari pekerjaan-pekerjaan yang baik, dan
petunjuk persamaan dengan cara meng-istiwa kan hingga sampai kepada jalannya. Dan ‫من‬
merupakan syarat dari fiil setelahnya dimasa yang akan datang, yaitu terulangnya kembali
bagi siapa saja yang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Hatib setelah sampainya
risalah, peringatan, teguran, dan rekonsiliasi untuk perbuatannya40.

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Tafsir al-Tahrir wa at-Tanwir Karya Ibnu Asyur Dan Kontribusinya Terhadap
Keilmuan Tafsir Kontemporer, Abd. Halim, Jurnal as-Syahadah, Vol , II. No, II.
Oktober 2014.
Abd Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran Studi Madzahibut Tafsir/Aliran-
aliran dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Abad Modern-Kontemporer, 2
November 2016, hal 154.
Tafsir Ilmi: Studi Metode Penafsiran Berbasis Ilmu Pengetahuan Pada Tafsir
Kemenag
Putri Maydi Arofatun Anhar, Imron Sadewo2, M. Khoirul Hadi Al-Asy’ari, PROSIDING
KONFERENSI INTEGRASI INTERKONESKSI ISLAM DAN SAINS. Volume 1,
September 2018 Halaman: 109-113.
Abd al-Salam al-Muhtasib, Abdl al-Majid. 1973, Ittijahat alTafsir fi al-Ashr al-Hadist Jilid 1.
Beirut: Dar al Fikr.
Isthilah al-Insan fi surah al-Isra’ ‘inda Ibn Asyur fi kitab “at tahrir wa at tanwir”, Ahmad Fadly
Rahman Akbar, Jurna Study Quran. Vol, 2, No. 2, Januari 2018.
Muḥammad al-Thāhir ibn Muḥammad ibn Muḥammad al-Thāhir ibn ‘Asyūral-Tūnisiy,al-
Taḥrīr wa al-Tanwīr (Tahrīr al-Ma’nā al-Sadīd wa Tanwīr al-‘Aql al-Jadīd min Tafsīr Kitāb al-
Majīd, (Tunis: al-Dār al-Tūnisiyyah Li al-Nasyr, 1984).
Penafsiran Thahir Ibn ‘Asyur terhadap ayat-ayat tentang demokrasi: kajian tentang atas
tafsir at-tahrir wa at-tanwir, Lutfiyatun Hikmah, Journal of Islamic Studies and Humanities.
Vol. 2, No. 1(2017).
Al-mufassiruun hayatuhum wa manhaajuhum, Sayyid Muhammad ‘Aly iyaazy, Jilid 1, hal 240.
Teori Maqashid Syari’ah perspektif Ibnu Asyur, Moh. Toriquddin, Ulul Albab Vol, 14,
No, 2. Tahun 2013.
Arni jani, tafsir at tahrir wa at tanwil karya Muhammad at-Thahir ibn Asyur, Jurnal
Ushuludin Vol: XVII No. 1 januari 2011.
Al-mufassiruun hayatuhum wa manhaajuhum, Sayyid Muhammad ‘Aly iyaazy, Jilid 1, hal 241.

40
Ibid. hal. 139.
Munī’ ibn ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd, Manāhij al-Mufassirīn, (Kairo: Dār al-Kitāb al-Miṣriy,
2000), hal. 333-334.
Muhammad al-Tahir Ibnu ‘Asyur, syarh al-Muqaddimah al-Adabiyah li al-Marzuqiy ‘ala diwan
al Hamasah, Riyad, Maktabah Dar al-Minhaj, 2008, hal. 16-17.
Muḥammad al-Thāhir ibn Muḥammad ibn Muḥammad al-Thāhir ibn ‘Asyūr, tafsir at-
Tahrir wa at-Tanwir daar Tunisia, 1984. juz 1, hal. 8.
Sumbangan Tafsit at-Tahrir wa at Tanwir karya Ibnu Asyur dan Relasinya dengan Tafsir al-
Misbah karya M. Quraish Shihab. Jurnal al-Turath, Vol. 2, No. 2, 2017.
Muhammad al-Jaib ibn al-Khaujah [selanjutnya disebut Ibn al-Khaujah], Syeikh al-Islam
al-Imam al-Akbar Muhammad al-Thahir Ibn ‘Asyur, (Beirut:Dar Muassasah Manbu’ li al-
Tauzi’, 2004) jilid1, hal. 157.
Tela’ah Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur, Faizah Ali Syibromalisi.
Fuad Hasan dan Koenjaranigrat, “Beberapa Asas Metodologi Ilmiah”. In Metode Penelitian
Masyarakat (Jakarta; Gramedia, 1977), hal. 16.
Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’I, hal. 20., Ridwan Natsir, Memahami al-
Quran; Perspektif Baru Tafsir Muqarrin (Surabaya: Indera Media, 2003) hal. 20.
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, hal. 50. (Yogyakarta, 1998).
Victoria Bull, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, fourth edition, Oxford University
Press, UK, 2011.
Jalaluddin Rumi, Fihi ma Fihi mengarungi samudera kebijaksanaan, 2018,hal. 146.
Merriam-Webster Dictionary – Enemy.
Mushaf al-Madinah, al-Quran, terjemah dan tafsir. Jabal.
As-Suyuthi, Imam, Asbabun Nuzul :/Imam as-Suyuthi; Tahqiq: Syaikh Hafidz Syi’isya, Solo,
Insan Kamil, 2016. Hal. 617. Baca juga di Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir daar Tunisia, Tunisia, 1984.
Juz, 28. Hal. 130.

Anda mungkin juga menyukai