Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Pertumbuhan Dan Perkembangan Islam Pada Masa


Dinasti Abbasiyah

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Kajian islam klasik

Semester 3

Disusun oleh MPI-4


Kelompok IV :

Nursaskia Salanta : 181030114

Nursyafarni : 181030100

Dirsan I totou : 181030109

Sukran L samsudin : 181030117

FAKULTAS TARBIAH DAN ILMU KEGURUAN


JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALU
TAHUN AJARAN 2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam adalah agama yang turun dari Allah Swt dierah arab. Yang di bawa oleh
Nabi Muhammad swa. Islam muncup pada awal ke7. Islam mulai berkembang di
mekkah. Selanjutnya islam mengalami perkembangan dengan perluasan wilayah
ke madinah. Disanalah dibentuk semacam pemerintahan yang berdasarkan
konstitusi yang disebut piagam madinah.
Islam bukanlah sekdedar agama yang membawa nilai-nilai religius. Tapi islam
juga membawa sebuah peradaban. Dimulai dari masa Rasulullah kemudian di
lanjutkan pada masa kepemimpinan khulafaur rasyidin. Saat itulah islam mulai
memberikan pengaruh kepada dunia, karena para khalifah suda melakukan
perluasan wilayah keluar dari arab. Setelah masa khulafaurasyidin munjulah
daulah bani umayyah dan abbasiyah.
Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat saat kepemimpinan bani
abbasiyah sehingga peradaban islam memberi pengaruh yang sangat besar
kepada dunia saat itu. Pada saat itu para khalifah melakukan espansi besar-
besaran ke daerah asia, afrika sampai eropa.para sajarawan menyebut saat itu
dengan “Golden age”. Islam mengalami kemajuan yang sangat besar diberbagai
bidang peradaban, ilmu pengetahuan, politik dan pemerintahan, sains dan
teknologi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman proses pembentukan Dinasti Abbasiyah?
2. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Dinasti Abbasiyah?
3. Bagaimana perkembangan pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah


Upayah pengalahkan dinasti umayyah dilatarbelakangi pemikiran tentang
siapa yang berhak memimpin setelah Rasulullah meninggal. Bani Hasyim (kaum
alawiyun) sebagai keturunan Rasulullah perna mengemukakan hal tersebut.
Terdapat tiga kota utama yang menjadi pusat kegiatan untuk menegakkan
kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Mutalib, yaitu
kota al-Humaymah sebagai pusat perencanaan, kota kufa sebagai kota
penghubung, dan kota khurasan sebagai kota gerakan langsung (lapangan).

Para keluarga Abbas melakukan berbagai strategi dan persiapan diketiga


tersebut. Salah satunya dengan mempropaganda bahwa orang-orang Abbasiyah
lebih berhak dari pada Bani Umayyah attas kekhalifaan islam. Mereka adalah
keturunan Bani Hasyim yang nasabnya lebih dekat dengan Nabi Saw. Pemimpin
gerakan ini adalah Imam Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbasiyah
yang tinggal di humaymah. Muhammad bin Ali tidak menonjolkan nama Bani
Abbasiyah, melainkan menggunakan nama Bani Hasyim untuk menghindari
pepecahan dengan kelompok Syi’ah. Strateginya berhasil menggabungkan
berbagai kekuatan, terutama antara pendukung fanatik Ali bin Abi Talib dengan
kelompok lain.

Untuk melakukan berbagai propaganda, diangkatlah 12 propagandis yang


tersebar di berbagai wilayah, seperti di Khurasan, Kufah, Irak, dan Makkah.
Diantara propagandis yang terkenal adalah Abu Muslim Al-Khurasani, seorang
tokoh masyarakat di Khurasan yang merasa dirugikan selama masa Dinasti
Umayyah. Isu ketidakadilan yang dilontarkanya mendapat banyak sambutan dari
berbagai kelompok, khususnya yang tidak senang dengan pemerintahan Bani
Umayyah. Para perwakilan kelompok menyatakan kesetiaan kepada Abu Muslim
al-Khurasani untuk membela Bani Hasyim dan Bani Abbas.

Gerakan dan propaganda yang dimotori oleh Muhammad bin Ali mendapat
sambutan yang luar biasa dan tanggapan positif dari masyarakat, begitu juga dari
golongan mawali. Pada tahun 743 M Muhammad bin Ali meninggal. Gerakanya
dilakukan oleh putranya bernama Ibrahim al-Imam. Ia menunjuk Abu Muslim
Al-Khurasani sebagai panglima perang karena sangat ahli dalam menarik simpati
berbagai kelompok. Perna dalam waktu satu hari, ia berhasil mengumpulkan
penduduk dari sekitar 60 desa di merv. Abu Muslim mengajak kelompok yang
kecewa kepada Bani Umayyah untuk mengembalikan kekhalifaan kepada Bani
Hasyim, baik dari keturunan Abbas bin Abdul Mutalib maupun dari keturunan
Ali bin Abi Talib.

Setelah Ibrahim al-imam meninggal, gerakan dilakukan oleh saudaranya


bernama Abdullah bin Muhammad, yang lebih terkenal dengan nama Abdul
Abbas as-Saffah dengan Abu Muslim Al-khurasni menjadi sebuah kekuatan
besar yang sangat ditakuti Bani Umayyah.

Akhirnya, dinasti Bani Umayyah mengalami kekalahan total dalam


pertempuran. Khalifah Marwan II bersama 120.000 tentaranya, yang berusaha
bertahan dengan menyebrangi sungai Tigris, menuju Zab Hulu (Zab Besar),
berhasil dikalahkan oleh gerakan kelompok Bani hasyim. Khalifah Marwan II
tewas dalam pertempuran di Busir (wilayah al-fayyum) tahun 132 H/750 M.
kematian khalifah Marwan II menjadi akhir dari runtuhnya Dinasti Umayyah,
sekaligus menjadi awal berdirinya Dinasti Abbasiyah.1

Abul Abbas as-Saffah (tokoh pendiri)


1
Kementerian Agama Republik Indonesia, buku siswa sejarah kebudayaan Islam, Jakarta, 2015, hlm
08.
Abul Abbas as-Saffah dengan nama lengkap adalah Abdullah bin Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin Abbas, dilahirkan di Hamimah pada tahun 104 H.
Pemimpin gerakan abbasiyah dilahirkan dari seorang ibu bernama Ratbah binti
Abaidullah al-Hairisi, sedangkan ayahnya bernama Muhammad bin Ali. Ia
mendapat gelar As-saffah yang berarti mengalir darah dan mengancam siapa saja
yang membangkang (pihak yang menentang).
Abdul Abbas adalah seorang yang bermoral tinggi dan memiliki kesetiaan.
Beliau disegani dan dihormati oleh kerabat-kerabatnya. Ia memiliki pengetahuan
yang luas, pemalu, budi pekerti yang baik, dan dermawan. Menurut as-Sayuti,
Abul Abbas as-Saffah ialah manusia yang paling sopan dan selalu menepati
janjianya. Pada tanggal 3 Rabiul Awal 132 H, ia di baiat menjadi khalifah
pertama Dinasti Abbasiyah yang berpusat di kuffah. Hanya saja, dua tahun
kemudian (134 H), Pusat pemerintahan dipindahakan dari kuffah ke daerah
Anbar (Kota Kuno di Persia).
Semasa pemerintahanya, Abul abbas tidak banyak melakukan perluasan
wilayah, tetapi lebih memilih memperkuat pemerintahan dalam negeri. Abul
Abbas menjadi khalifah selama 4 tahun 9 bulan. Ia wafat dalam usia 33 tahun di
kota Anbar bulan Zulhijah tahun 136 H/753M.2

B. Pertumbuhan dan perkembangan islam pada masa Bani Abbasiyah


Perkembanga kebudayaan/peradaban islam pada masa Dinasti Abbasiyah di
kenang sebagai masa golden age, yaitu peradaban emas kebudayaan dan
peradaban islam. Kemajuan tersebut hampir meliputi seluruh aspek kehidupan,
mulai dari kemajuan di bidang politik dan pemerintahan, kemajuan dibidang
sosial budaya, kemajuan ekonomi dan pertanian, kemajuan pengetahuan dan
teknologi, sampai pada kemajuan ilmu-ilmu keagamaan.

2
Kementerian Agama Republik Indonesia, buku siswa sejarah kebudayaan Islam, Jakarta, 2015, hlm
09.
Dinasti Abbasiyah adalah kekhalifaan kedua islam yang berkuasa di Baghdad.
Dinasti ini berkembang pesat dan menjadikan dunia islam sebagai pusat
pengetahuan, antara lain dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi
keilmuan yunani dan Persia. Periode Abbasiyah adalah era baru dan symbol
kemajuan ilmu pengetahuan. Tinginya peradaban dan budaya zaman ini identic
dengan masa keemasan islam, sekaligus ukuran kemajuan peradaban dunia.
Kemajuan ilmu pengetahuan diawali dengan penerjemahan naska-naska asing,
terutama yang berbahasa yunani ke dalam bahasa arab. Dilanjutkan dengan
pendirian pusat pengembangan ilmu berupa perpustakaan Bait al-Hikmah.
Akhirnya terbentuklah mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan
sebagai buah dari hasil berfikir
Bait al-Hikmah menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual yang tidak
tertandingi. Disini dilakukan berbagai penelitian ilmu sosial maupun sains,
seperti matematika, astronomi, kedokteran, kimia, zoologi, geografi dan lain-lain.
Melalui lembaga ini pula berbagai buku penting (ummahat al-kutub) warisan
peradaban pra-islam (Persia, india, dan yunani) diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, seperti buku Phytagoras, plato, Aristoteles, Hippocrates, Euclid, Plotinus,
Galen, Sushruta, Charaka, Aryabhata, maupun Brahmagupta. Tidak heran jika
Philip K. Hitti, ahli sejara Arab menyatakan bahwa Bait al-Hikmah merupakan
lembaga keilmuan paling penting, dan salah satu peradaban manusia yang perna
dibangun setelah perpustakaan Alexandria, yang didirikan sekitar paruh pertama
abad ketiga sebelum masehi. Melalui gerakan penerjemahan, kota Baghdad
berhasil mengoleksi berbagai karya keilmuan yang sangat agung.
Dinasti Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M) Telah memberikan sumbangan
besar bagi kegemilangan peradaban islam khususnya, dan peradaban dunia
umumnya. Hal itu didukung oleh khalifah yang memiliki kecintaan dan perhatian
besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Masa ini banyak
melahirkan ilmuan dan ulama cemerlang. Berbagai karya mereka abadi di
sepanjang sejarah. Inilah bukti bahwa peradaban dan kebudayaan islam ikut
mewarnai peradaban dunia.3

C. Perkembangan pendidkan pada masa Bani Abbasiyah


1. Kemajuan bidang pendidikan
Pada masa Abbasiyah, penyelenggaraan pendidikan dasar (kuttab) umumnya
berpadu dengan masjid, bahkan masjid sering difungsikan sebagai sekolah dasar.
Sekitar 30.000 masjid telah digunakan sebagai lembaga pendidikan dasar. Selain
itu, terdapat pula kegiatan belajar di rumah-rumah penduduk, juga tempat lainya
seperti maktab, zawiyah, dan halaqah. Kurikulum utamanya dipusatkan kepada
pembelajaran Al-Qur’an, termasuk bacaan dan penulisannya, dalam mempelajari
ilmu-ilmu agama, anak-anak perempuan bahkan mendapat kesempatan yang
sama dengan anak laki-laki.
Untuk tingkat pendidikan lanjutan, Khalifah Al-Makmum (830 M)
Membangun di bait al-Hikmah. Ini merupakan lembaga pendidikan menengah
pertama dalam islam. Kurikulumnya meliputi pelajaran tafsir, hadis, usul fiqih,
ilmu kalam, ilmu mantik dan kesusastraan. Selain berfungsi sebagai pusat
penerjemahan, Bait al-Hikmah juga dikenal sebagai pusat kajian akademis,
perpustakaan umum, dan memiliki sebuah observatorium. Pada saat itu, berbagai
observatorium bermunculan sebagai pusat pembelajaran astronomi.
Pada tingkat pendidikan sejenis perguruan tinggi, didirikan pula madrasah
Nizamiyah oleh Nizam al-mulk (1065-1067). Madrasah ini dibangun sebagai
pusat studi teologi (aqidah), khususnya untuk mempelajari pemikiran mazhab
Syafi’iyah dan teologi Asy’ariyah. Namun demikian, Al-Qur’an dan puisi arab
kuno menjadi sumber utama dalam kajian ilmu-ilmu humaniora dan sastra (ilm
al-adab). Hal yang sama juga dilakukan oleh orang eropa beberapa abad
kemudian. sebagian sajarawan mengatakan model Madrasah Nizamiyah ditiru

3
Kementerian Agama Republik Indonesia, buku siswa sejarah kebudayaan Islam, Jakarta, 2015, hlm
62.
oleh orang eropa, terutama untuk membangun universitas-universitas
pertamanya.

2. Perpustakaan
Pada masa Abbasiyah, masjid berfungsi sebagai pusat pendidikan, sekaligus
sebagai tempat penyimpanan buku. Buku itu sendiri diperoleh dari hadiah-hadiah
atau hasil pencarian dari berbagai sumber. Pada saat itu, masjid menjadi pusat
khazanah keislaman karena kaya dengan buku keagamaan. Salah seorang
penyumbang buku ketika itu bernama Al-Khatib al-Baghdadi (1002-1017),
seorang sajarawan terkenal yang mewakafkan buku-bukunya untuk umat islam.
Perpustakaan (khinazanat al-kutub) lainya juga dibangun oleh kalangan
bangsawan. Perpustakaan ini menjadi lembaga kajian untuk ilmu-ilmu umum.
Buku yang dikoleksinya antara lain tentang ilmu logika, filsafat, astronomi, dan
bidang ilmu lainya. Abd ad-Daulah, salah seorang pengusaha Bani Buwaihi
perna membangun khinazat al-kutub di Syirazi. Semua buku-bukunya tersusun di
lemari, terdaftar dalam katalog, dan dikelolah dengan baik oleh para pegawai
perpustakaan.
Selain perpustakaan, kemajuan budaya baca pada masa Abbasiyah tercermin
pula dari banyaknya tokoh buku. Keberadaan tokoh ini juga berpengaruh besar
bagi pengembangan dunia pendidikan. Al-Yakubi meriwayatkan bahwa pada
masanya (sekitar 819 M), ibu kota negara diramaikan oleh lebih dari seratus
tokoh buku. Posisinya berjejeran disatu ruas diposisi yang sama
Hingga awal abad ke-3 Hijriyah, kertas yang umum digunakan untuk menulis
adalah kain perca dan papirus. Baru setelah kertas dari cina mulai masuk ke irak,
industri kertaspun tumbuh menjamur, industri kertas mucul pertama kali
samarkand. Orang yang memperkenalkanya adalah beberapa tawanan cina pada
751 M.4

4
Kementerian Agama Republik Indonesia, buku siswa sejarah kebudayaan Islam, Jakarta, 2015, hlm
94.
a. Kemajuan Bidang Ilmu Pengetahuan Umum
1. Filsafat
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu filasafat banyak diterjemahkan, tidak
hanya dari kebudayaan yunani, tetapi juga romawi, Persia, india, dan syiria.
Proses ini biasanya disebut dengan istilah Hellenisasi.
Buku-buku yang diterjemahkan kedalam bahasa arab antara lain: Categories,
Pyssices, dan makna maralia karya Aristoteles, Republik, Laws, da Timaeus
karya plato, dan lain-lain. Penerjemahan dilakukan dengan mengadakan
perubahan serta perbaikan sesuai ajaran islam. Hasil terjemahan itu
memunculkan yang disebut ilmu filsafat islam.
Ilmu Filsafat islam adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
tentang hakikat yang ada, sebab asal dan hukumnya, atau ketentuan-ketentuanya
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.5

2. Matematika
Penerjemahan buku-buku dari yunani, romawi, dan india kedalam bahasa
Arab melahirkan berbagai karya, termasuk dalam bidang matematika.
Pengembangan ilmu matematika/ilmu hisab dibutuhkan perintah untuk
merencanakan pembangunan secara cepat. Misalnya dalam pembangunan
gedung, setiap sudut harus terukur secara tepat agar tidak terjadi kesalahan.
Diantara ahli mtematika muslim yang terkenal adalah:
a. Al-Khawarizmi, ia adalah pengarang kita al-mukthasar fi hisab al-
jabar wa al-muqabalah, berisi tentang ilmu hitung dan penemu angka
nol.
b. Abu al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin ismail bin al-Abbas
(940-998)

5
Kementerian Agama Republik Indonesia, buku siswa sejarah kebudayaan Islam, Jakarta, 2015, hlm
74.
c. Al-Biruni, ahli dibidang aritmatika teoritis dan praktis, penjumlahan
seri, analisis kombinatorial, kaidah angka 3, bilangan irasional, teori
perbandingan, aljabar, geometri, teorema Aricimedes dan sudut
segitiga.
d. Umar Khayyam (1048-1131 M), mengarang buku tentang Aljabar.
Bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Oleh F.Wopeke
(1857), berjudul Reatise on Algabera.6

3. Sejarah
Pada masa Dinasti Abbasiyah, kajian sejarah masih terpusat pada tokoh atau
peristiwa tertentu. Misalnya, sejarah hidup Nabi Muhammad saw. Minat tehadap
kajian sejrah sangat besar dan mendapat dukungan dari khalifah. Ilmuan dalam
bidang sejarah pada masa Abbasiyah diantaranya Muhammad bin Ishaq bin
Yasar. Ia lebih dikenal sebagai Ibnu ishaq sejarawan muslim ini pertama lahir
tahun 85 H/704 M, dan meninggal pada tahun 151 H/768 M. karyanya berjudul
Sirah Al-Nabawiyyah li Ibnu Ishaq, merupakan biografi Rasulullah pertama yang
paling lengkap. Kitab tersebut di sunting oleh muridnya Ibnu Hisyam (w. 230
H/845 M) menjadi Sirah Al-Nabawiyyah li al-Hisyam. Menyangkut sosok Ibnu
Ishaq, Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H/845 M), penulis kitab At-Tabaqat al-
Kubra (8 jilid), berkata “ ia orang pertama yang mengumpulkan sejumlah
ekspedisi dari utusan Allah (Muhammad) dan mencatatnya.”7

a. Kemajuan bidang pengetahuan ilmu agama


1. Ilmu hadits
Merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Hadits yang merupakan
tradisi lisan sejak masa Rasulullah, sahabat hingga tabi’in telah banyak
6
Kementerian Agama Republik Indonesia, buku siswa sejarah kebudayaan Islam, Jakarta, 2015,
hlm 79.
7
Kementerian Agama Republik Indonesia, buku siswa sejarah kebudayaan Islam, Jakarta, 2015, hlm
81.
mengalami permasalahan, seperti pemisahan antara hadits dengan qaul sahabat,
pengelompokkan hadits, dan pemalsuan hadits. Untuk mengatasi hal tersebut,
para ulama melakukan penelusuran dan pemilahan terhadap hadits nabi tersebut.
Dalam sejarah perkembangan ilmu hadits, pencatatan dan pengelompokkan
hadits sudah dimulai pada masa Dinasti Umayyah dibawah ke khalifaan Umar
bin Abdul aziz. Selajutnya, pada masa Dinasti Abasiyyah para ulama meneliti
dan mengkaji berbagai hadits untuk menentukan keabsahan dan keasliannya,
baik dari segi sanad, rawi, maupun matan (isi, sifat, dan bentuk hadits).

Dengan demikian, masa kejayaan Dinasti Abasiyyah telah meninggalkan


khazana yang tak ternilai harganya, termasuk para ahli hadits dan aryanya yang
termashur, antara lain :

a. Imam Bukhari, karyanya kitab Sahih al-Bukhari


b. Imam Muslim, Kitab karanganya Sahih Muslim.
c. Ibnu Majah, karyanya sunan Ibn majah
d. Abu Daud, karyanya sunan Abu Daud
e. Imam Tirmizi, karyanya sunan at-Tirmizi
f. Imam Nasa’i, karyanya sunan an-Nasa’i

2. Ilmu Tafsir
Pada masa Abasiyyah ilmu tafsir mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Ahli tafsir melakukan kegiatan penafsiran secara teratur, mandiri,
menyeluruh dan terpisah dari Hadits. Ketika itu terdapat dua cara yang ditempuh
oleh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pertama, metode Tafsir bi al-Ma’sur, yaitu metode penafsiran dengan cara
memberi penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits dan pejelasan para sahabat.
Tokoh-tokohnya antara lain Al-Subhi (w. 127 H), Muhammad bin Ishaq, dan
yang cukup masyhur adalah Abu Ja;far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid at-
Tabari. At-Tabari menyusun kitab tafsir berjudul Jami al-Bayan fi Tafsir al-
Qur’an (Himpunan Penjelasan tentang Tafsir Al-Qur’an).
Kedua, metode Tafsir bi al-Ra’yi, yaitu panafsiran berdasarkan ijtihad
(penggunaan akal lebih banyak dari pada Hadits). Tokoh-tokohnya adalah Abu
Bakar al-Asam (w.240 H) dan Abu Muslim al-Asfahani (w.322 H). corak pikiran
yang tidak terikat oleh hadis maupun perkataan sahabat. Mereka
mengembangkan metode ilmu baru yang disebut Ilmu Kalam.

3. Ilmu Fiqih
Dalam sejarah perkembangan Dinasti Abbasiyah, Ilmu Fiqih mengalami
perkembangan yang sangat gemilang. Masa ini dipandang sebagai periode
kesempurnaa, yakni periode munculnya imam-imam mujtahid besar, juga disebut
sebagai periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. Penulisan dan
membukuan hukum islam dilakukan secara sungguh-sungguh, baik berupa
penulisan Hadis Nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan
pendapat para imam Fiqi dan penyusunan Ilmu Usul Fiqih.
Pada masa tesebut muncul pula ulama yang dikenal denfan sebutan “Empat
Imam Mazhab”, yaitu imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam
Ahmad bin hambal. Mereka adalah para penyusun kita Fiqih terkenal yang
mengembangkan paham/mazhabnya.
Keempat tokoh tersebut telah menghasilkan karya bersejarah. Karya Imam
Abu Hanifah berjudul Fiqih Akbar, Al-Alim wa Al-Mustaan, dan Al- Masad.
Karya imam Malik berjudul Al-muatta’, dan usul As Sagir. Karya Imam Syafi’I
berjudul Al-Umm, Ar-Risalah, dan Usul Al- fiqh. Sedangakan karya Imam
Ahmad Ibn Hambal berjudul Al-Musnad, jami’as-Sagir, dan Jami Al-Kabir.
Dengan demikian, ahli fiqih dapt dikelompokan menjadi dua golongan,
yaitu : a) Ahl al-Hadist, yaitu golongan yng menyadarkan ijtihad kepada hadist
dalam mengambil hukum (istinbat al-hukm), dan ; b) Ahl-Rayi yaitu golongan
yang menggunakan akal didalam mengambil Hukum.
Faktor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya Ilmu Fiqih pada periode ini antara lain:
a. Besarnya perhatian pemerintah (Khalifah) terhadap ilmu fiqih khususnya.
b. Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya berbagai diskusi ilmiah
diantara para ulama.
c. Telah terpilihnya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa
Khulafah Umar bin Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu Tafsir pada abad pertama
Hijriah, terutama yang dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid
(w.104H). Serta karya tafsir lainya.8

4. Ilmu Tasawuf
Perkembangan ilmu tasawuf pada masah kekuasaan Dinasti Abbasiyah
ditandai dengan peralihan dari Tasawuf ke zuhud. Setelah itu, dalam
perkembangan selanjutnya muncul dua aliran, yaitu tasauf yang bersifat ahlak
dan tasauf yang bersifat Filsafat.

Tasauf yang bersifat ahlak dasarnya adalah Al-Qur’an dan sunnah nabi. Oleh
sebab itu, tasauf model ini disebut Tasauf Suni salah satu tokoh tasauf suni
adalah Al haris bin asad Al muhasibih yang wafat tahun 838 M di Bagdad. Ia
meninggalakan beberapa karya, antara lain: ar-Ri’ayat li hukuqilah (membahas
tentang hak Allah), Kitab al-Wasayah (mengulas hidup tentang zuhuad), dan at-
Tawahum (Membahas tentang mati dari hari kiamat).
Adapun Tasauf yang bersifat filsafat adalah tasauf yang sudah tercampur
dengan metafisika. Tasauf model ini juga disebut tasauf filsafat. Salah satu

8
Kementerian Agama Republik Indonesia, buku siswa sejarah kebudayaan Islam, Jakarta, 2015, hlm
85.
tokonya adalah Zannun al-Misri yang wafat tahun 899 M di iskandariah dan abu
Yazid al Bistami yang wafat tahun 875 M di bistam.
Setelah kedua tokoh itu meninggal, tasauf filsafat mengalami kemunduran.
Sementara itu, Tasauf suni mengalami perkembangan dengan munculnya tokoh-
tokoh, seperti Abu Qasim al-Qusyairi yang wafat tahun 1072 M dan Abu Hamid
al-Gazali yang wafat tahun 1111 M.9

.
5. Metode pendidikan pada masa bani abbasiyah
Dalam proses blajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan
salah satu aspek pendidikan atau pengajaran yang sangat penting guna mentrasfer
pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada muridnya. Melalui
metode pengajaran terjadi proses internalisasi dan memilikan pengetahuan oleh
murid hingga murid dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah
disampaikan gurunya.
Pada masa dinasti abbasiyah metode pendidikan atau pengajaran yang
digunakan dapat dikelompokan menjadi :
1. Metode lisan, berupa dikte, ceramah, kiraah, dan diskusi. Meteode dikte
(imla) adalah metode penyampaian pengetahuan yang di anggap baik dan
aman karena dengan imla murid mempunyai catatan yang akan dapat
membantunya ketika ia lupa. Metode ini di anggap penting, karena pada
masah klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki. Metodeh
ceramah disebut juga metode assama sebab dalam metode ceramah, guru
menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkanya.
Metode kiraah biasanya digunakan untuk belajar membaca.
2. Metode menghafal, metode menghafal perupakn ciri umum pendidikan
pada masa ini. Murid-murid harus membaca secarah berulang-ulang
pelajaranya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka,
9
H.Darsono-T.Ibrahim , Tonggak sejarah kebudayaan Islam, 2015, hlm 73.
sebagaimana yang dijelasakan imam hanafi, seorang murid harus
membaca suatau pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya.
Sehingga dalam proses selanjutnya murid akan mengeluarkan kembali
dan mengkontekstualisasikan pelajaran yang di hafalkanya sehingga
dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespon, membantah
lawan, atau memunculkan sesuatau yang baru.
3. Metode tulisan, dianggap metode yang paling penting pada masa ini
metode tulisan adalah pengkopian karya – karya ulama. Dalam
pengkajian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat
penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Metode in disamping
berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga sangat penting
artinya bagi penggadaan teks, karna pada masa ini belum ada mesin
cetak, dengan pengkopian buku-buku kebetuhan terhadap teks buku
sedikit terbatasi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Keruntuhan Dinasti Umayyah pada tahun 750 M Menjadi tonggak awal
berdirinya Dinasti Abbasiyah. Khalifah pertamanya adalah Abbdulah As-Saffah
bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutalib. Dinamakan
dinasti Abbasiyah karena para pendirinya adalah keterunan Abbas ibn Abdul
Mutalib, paman nabi Muhammad saw. Masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu tahun 132 H/750 M s/d
656H/1258 M.
Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat saat kepemimpinan Bani
Abbasiyah sehingga peradaban islam memberi pengaruh yang sangat besar
kepada dunia saat itu. Para saat itu para khalifah melakukan espansi besar-
besaran ke dalam asia, afrika sampai eropa. Para sajarawan menyebut saat itu
dengan “Golden age”. Islam mengalami kemajuan yang sangat besar di berbagai
bidang peradaban, ilmu pengetahuan, politi, pemerintah, sains dan teknologi.

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, Darsono. 2015. ‘’Tonggak Sejarah kebudayaan islam’


Tiga Serangkai Pustaka Mandiri

Kementrian agama. 2015. Sejarah kebudayaan islam. Jakarta:


Kementrian agama

Anda mungkin juga menyukai