Anda di halaman 1dari 29

PERADABAN ISLAM MASA ABBASIYAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah :


Sejarah Peradaban Islam
Dosen pengampu : Ahmad Fadil, M.Si

Disusun Oleh :
Yunita intan nabila (5222302060)
Dhia Ulhaq Batistuta (5222302020)
M. Faadho Arrahman (5222302069)

SEKOLAH TINGGI ILMU FIQIH SYEIKH NAWAWI TANARA BANTEN


TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam peradaban umat Islam, Bani Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah peradaban
ummat Islam yang terjadi. Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang
memperoleh masa kejayaan yang gemilang. Pada masa ini banyak kesuksesan yang diperoleh Bani
Abbasiyah, baik itu dibidang Ekonomi, Politik, Ilmu pengetahuan, dan sistem pemerintahannya.
Dinasti Abbasyiah merupakan dinasti islam yang paling berhasil dalam mengembangkan
peradaban islam. Pemerintah dinasti ini sangat peduli dalam upaya pengembangan fasilitas untuk
kepentingan tersebut, pengembangan pusa-pusat riset dan terjemah seperti Baitu Hikam, majlis
munadzarah, dan pusat studi lainnya.
Dinasti Abbasyiah adalah masa dimana umat islam membangun pemerintahan, yang ilmu adalah
sebagai landasan utamanya, sebagai suatu keniscayaan yang diwujudkan dalam membawa umat ke suatu
negri idaman, suatu kehausan akan ilmu pengetahuan yang belum pernah ada dalam sejarah.
Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu
pengetahuan sangat maju. Kemajuan ilmu pengetahuan diawali dengan penerjemahan naskah-naskah
asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan
perpustakaan Bait al-Hikmah dan terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan
sebagai buah dari kebebasan berpikir.
Sejak upaya penerjemahan meluas dan sekaligus sebagai hasil kebangkitan ilmu pengetahuan,
banyak kaum muslimin mulai mempelajari ilmu-ilmu itu langsung dalam bahasa Arab sehingga muncul
sarjana-sarjana muslim yang turut mempelajari, mengomentari, membetulkan buku-buku penerjemahan
atau memperbaiki atas kekeliruan pemahaman kesalahan pada masa lampau, dan menciptakan pendapat
atau ide baru, serta memperluas penyelidikan ilmiah untuk mengungkap rahasia alam, yang dimulai
dengan mencari manuskrip-manuskrip klasik peninggalan ilmuwan Yunani kuno, seperti karya
Aristoteles, Plato, Socrates, dan sebagainya. Manuskrip-manuskrip tersebut kemudian dibawa ke
Baghdad lalu diterjemahkan dan dipelajari di perpustakaan yang merangkap sebagai lembaga penelitian
al-Baitul Hikmah, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah berdiri
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abu Abbas Ash-shaffah, dan
sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Bani Abbas melewati rentang waktu yang sangat panjang,
yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258 M. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai
kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim(alawiyun ) setelah meninggalnya
Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-
anaknya.
Tonggak berdirinya dinasti Bani Abbas, berawal sejak merapuhnya system internal dan
performance penguasa Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhan dinasti Umayah di Damaskus,
maka upaya untuk menggantikannya dalam memimpin umat Islam adalah dari kalangan bani Abbasiyah.
Propaganda revolusi Abbasiyah ini banyak mendapat simpati masyarakat terutama dari kalangan Syi’ah,
karena bernuansa keagamaan, dan berjanji akan menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktikkan
oleh khulafaurrasyidin.
Berdirinya dinasti Abbasiyah tak bisa dilepaskan dari munculnya berbagai masalah di periode-
periode akhir dinasti Ummayah. Masalah masalah tersebut kemudian bertemu dengan masalah yang lain
yang memiliki keterkaitan. Ketidak puasan di sana-sini yang ditampakkan lewat berbagai macam
pemberontakan jelas menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi kelangsungan hidup bani Ummayah, yang
kemudian menjadi momentum yang tepat untuk menjatuhkan dinasti Ummayah yang dimotori oleh Abu
Abbas Ash-shaffah.
Pada saat yang sama pula banyak ketidak puasan akan pemerintahan yang dibawa oleh para
khalifah bani Ummayah, kemudian muncullah gerakan propaganda untuk menjatuhkan daulah bani
Ummayah dari kekuasan. Gerakan yang digalang keluarga al-Abbas ini awalnya bersifat rahasia
kemudian berlanjut secara terang-terangan, setelah dirasa mempunyai kekuatan dan dukungan dari rakyat.
Setelah perjuangan bani Abbas menuju tampuk kekuasaan dan tidak ditutup-tutupi lagi, terjadilah
pertempuran antara Abu Muslim dari bani Abbasiyah menggempur khalifah Marwan dari daulah bani
Ummayah, yang kemudian ditandai dengan terbunuhnya khalifah Marwan di mesir. Dengan demikian
berakhirlah riwayat dinasti Ummayah dan lahirlah dinasti Abbasiyah.
Di antara yang mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah adanya beberapa
kelompok umat yang sudah tidak mendukung lagi terhadap kekuasaan imperium bani Umayah yang
notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan
Khawarij serta kaum Mawali (orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persi). Mereka
merasa di perlakukan tidak adil dengan kelompok Arab dalam hal pembebanan pajak yang terlalu tinggi,
kelompok ini lah yang mendukung revolusi Abbasiyah.
Gerakan oposisi terhadap Bani Umayyah dikalangan orang syi'ah dipimpin oleh Muhammad Bin
Ali, ia telah di bai'ah oleh orang-orang syi'ah sebagai imam. Tujuan utama dari perjuangan Muhammad
Bin Ali untuk merebut kekuasaan dan jabatan khalifah dari tangan Bani Umayyah, karena menurut
keyakinan orang syi'ah keturunan Bani Umayyah tidak berhak menjadi imam atau khalifah, yang berhak
adalah keturunan dari Ali Bin Abi Thalib, sedangkan bani umayyah bukan berasal dari keturunan Ali Bin
Abi Thalib. Pada awalnya golongan ini memakai nama Bani Hasyim, belum menonjolkan nama Syi'ah
atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk mencari dukungnan masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung
dalam gerakan ini adalah keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul Muthalib.Keturunan ini
bekerjasama untuk menghancurkan Bani Umayyah.
Strategi yang digunakan untuk menggulingkan Bani Umayyah ada dua tahap :
1. Gerakan secara rahasia
Propoganda Abbasiyah dilaksakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia, akan
tetapi Imam Ibrahim pemimpin abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah,
gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan binMuhammad. Ibrahim akhirnya
tertangkap oleh pasukan dinasti umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi.Ia
mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas untukmenggantikan kedudukannya ketika ia telah mengetahui
bahwa ia akan di eksekusi dan memerintahkan untuk pindah ke kuffah.
2. Tahap terang-terangan dan terbuka secara umum
Tahap ini dimulai setelah terungkap surat rahasia Ibrahim bin Muhammad yang ditujukan kepada
Abu Musa Al-Khurasani Agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab di Khurasan. Setelah
khalifah Marwan bin Muhammad mengetahi isi surat rahasia tersebut ia menangkap Ibrahim bin
Muhammad dan membunuhnya. Setelah itu pimpinan gerakan oposisi dipegang oleh Abul Abbas
Abdullah bin Muhammad as-saffah, saudara Ibrahim bin Muhammad.Abul Abbas sangat beruntung,
karena pada masanya pemerintahan Marwan bin Muhammad telah mulai lemah dan sebaliknya gerakan
oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan bertambah luas pengaruhnya. Keadaan ini tambah
mendorong semangat Abul Abbas untuk menggulingkan khalifah Marwan bin Muhammad dari
jabatannya. Untuk maksud tersebut Abul Abbas mengutus pamannya Abdullah bin Ali untuk menumpas
pasukan Marwan bin Muhammad. Pertempuran terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh khalifah
Marwan bin Muhammad dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi sungai Al-Zab Al-Shagirdi, Iran.
Marwan bin Muhammad terdesak dan melarikan diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan
terakhir di Mesir. Abdullah bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai ke Mesir dan
akhirnya terjadi pertempuran disana. Marwan bin Muhammad pun akhirnya tewas karena pasukannya
sudah sangat lemah yaitu pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H/750 M. Pada tahun 132 H/ 750 M Abul Abbas
Abdullah bin Muhammad diangkat dan di bai'ah menjadi khalifah
Setelah Abul Abbas resmi menjadi khalifah ia tidak lagi mengambil Damaskus sebagai pusat
pemerintahan tetapi ia memilih Koufah sebagai pusat pemerintahannya, dengan beberapa pertimbangan
sebagai berikut:
1. Para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus
2. Kota Koufah jauh dari Persia, walaupun orang-orang Persia merupakan tulang punggung Bani Abbas
dalam menggulingkan Bani Umayyah
3. Kota Damaskus terlalu dekat dengan wilayah kerajaan Bizantium yang merupakan ancaman bagi
pemerintahannnya, akan tetapi pada masa pemerintahan khalifah Al-Mansur (754-775 M ) dibangun
kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang baru.
Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi yang bernama al-Abbas
ibn Abd al-Muthalib ibn Hisyam. Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah,
wilayah geografis dunia islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan, Syam,Jazirah
Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif antara daerah
satu dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap
daerah. Lingkungan istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan
hadirnya pelayan-pelayan wanita.
Para penguasa Abbasiyah membentuk masyarakat berdasarkan rasa persamaan. Pendekatan
terhadap kaum Malawi dilakukan antara lain dengan mengadopsi sistim Administrasi dari tradisi setempat
(Persia) mengambil beberapa pegawai dan Menteri dari bangsa Persia dan meletakan ibu kota
kerajaannya, Baghdad di wilayah yang dikelilingi oleh bangsa dan agama yang berlainan seperti bangsa
Aria dan Sumit dan agama Islam, Kristen, dan Majusi.
Pembagian kelas dalam masyarakat Daulat Abbasiyah tidak lagi berdasarkan ras atau kesukaan,
melainkan berdasarkan jabatan, menurut jarzid Zaidan, masyarakat Abbasiyah terbagi dalam 2 kelompok
besar, kelas khusus dan kelas umum. Kelas khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah (Bani Hasyim)
para pembesar negara (Menteri, gubernur dan panglima), Kaum bangsawan non Bani Hasyim (Quraisy)
pada umumnya. petugas khusus, tentara dan pembantu Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para
seniman, ulama, pujangga fukoha, saudagar dan penguasa buruh dan petani. Sebelum daulah Bani
Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu
dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan
kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu
disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan
pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik.
Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia
bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan,
kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani,
kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung
dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan
dukungan.
Kekuasaan dinasti Abbasyiah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selam lima
abad. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintah yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintah Bani Abbasyiah menjadi lima periode.
1. Periode pertama (132 H/750 M s/d 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia Pertama.
2. Periode kedua (232 H/847 M s/d 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3. Periode ketiga (334 H/945 M s/d 447 H/1105 M), masa kekuasaan dinasti Buwaihi dalam pemerintah
Khalifah Abbasyiah. Periode ini disebut pengaruh periode kedua.
4. Periode keempat (447 H/1105 M s/d 590 H/1195 M), masa kekuasaan dinasti Saljuk yang biasa
disebut dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima (590 H/1195 M s/d 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pegaruh dinasti lain,
tetapi kekuasaannya hanya efektif di Baghdad.
Dinasti Abbasyiah, seperti halnya dengan dinasti lain dalam sejarah islam,mencapai masa
kejayaan politik dan intelektual mereka setelah didirikan.
Pada masa kejayaan intelektual, merupakan kemajuan signifikan terkait perkembangan dalam
kebudayaan dan peradaban islam pada abad ke 8 sampai 12. Golden Prime berati masa keemasan dalam
perkembangan intelektual yang membawa Baghdad sebagai pusat dinamika intelektual Muslim pada
masanya, dimana dalam periode ini orang-orang Muslim memenuhi rasa haus mereka terhadap belajar
dan memenuhi rasa candu pada ilmu-ilmu yang belum pernah diketahui sebelumnya. Peradaban islam
meraih pertumbuhannya dan Muslim menjadi pemimpin dari pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Kekhalifahan Baghdad yang didirikan oleh As-Saffah dan al-Manshur mencapai masa
keemasannya antara masa khalifah ketiga, al-Mahdi dan khalifah kesembilan, al-Wastiq, dan lebih khusus
lagi pada masa Harun Ar-Rasyid dan anaknya, Al-Ma’mun. Hal ini karena pada masa kedua khalifahyang
hebat itulah, dinasti Abbasyiah memiliki kesan baik dalam ingatan politik, dan menjadi dinasti paling
terkenal dalam sejarah islam. Seorang penulis antologi, Ats-Tsa’alabi (w. 1038 M) menyatakan. Dari para
khalifah Abbasyiah, “sang pembuka” adalahAl- Manshur, “sang penegah” adalah Al-Ma’mun, dan “sang
penutup” adalahAl-Mu’tadhid (892-902) adalah benar.
Pada masa ini peradaban Islam mengalami banyak kemajuan. Hal itu ditandai dengan ilmu
pengetahuan, yang diawali dengan penerjemahan naskah-naskah asing terutama yang berbahasa Yunani
ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan pengetahuan dan keagamaan sebagai
buah dari kebebasan berpikir. Imperium kedua dalam di dunia Islam yang menggantikan daulah
Ummayah ini ini setelah terjadi revolusi sosial yang dipelopori oleh para keturunan bani Abbas yang tak
luput oleh dukungan golongan oposisi terhadap bani Ummayah seperti kaum Syiah, Khawarij, Qadariyah,
Mawali, dan suku Arab bagian selatan.
Selama kekuasaan mereka tersebut, peradaban Islam sangat berkembang. Jika pada masa Bani
Umayyah lebih dikenal dengan upaya ekspansinya, maka pada masa Bani Abbasiyah yang lebih dikenal
adalah berkembangnya peradaban Islam. Kalau dinasti Umayyah terdiri atas orang-orang ‘Arab
Oriented’, dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional, assimilasi corak pemikiran dan peradaban
Persia, Romawi Timur, Mesir dan sebagainya.
Kemajuan peradaban Abbasiyah sebagiannya disebabkan oleh stabilitas politik dan kemakmuran
ekonomi kerajaan ini. Pusat kekuasaan Abbasiyah berada di Baghdad. Daerah ini bertumpu pada
pertanian dengan sistem kanal dan irigasi di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai teluk Persia.
Perdangan juga menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Baghdad yang menjadi kota transit perdagangan
antar wilayah timur seperti Persia, India, China, dan pada masa ini masyarakat Islam juga mengalami
kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti paling terkenal
dalam sejarah Islam. Diktum dari Tsalabi: ‘ al-Mansur sang pembuka, al-Ma’mun sang penengah, dan al-
Mu’tadhid sang Penutup’ mendekati kebenaran, Setelah al-Watsiq pemerintahan mulai menurun hingga
al-Mu’tashim khalifah ke 37, jatuh dan mengalami kehancuran di tangan orang Mongol 1258.

2. Pemerintahan Dinasti Abbasyiah


Sistem pemerintahan yang dikembangkan Bani Abbas merupakan pengembangan dari bentuk
yang sudah dilaksanakan sebelumnya, Bani Abbas mengembangkan sistem pemerintahan dengan
mengacu pada empat aspek, yaitu:
1. Aspek Khilafah
Berbeda dengan pemerintahan Bani Umaiyah, Bani Abbas menyatukan kekuasaan agama dan
politik. Perhatian mereka terhadap agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan politis, yaitu untuk
memperkuat posisi dan melegitimasikan kekuasaan mereka terhadap rakyat. Pemanfaatan bahasa agama
dalam pemerintahan ini terlihat dalam pernyataan al-Manshur bahwa dirinya adalah wakil Allah di bumi-
Nya (Zhill Allah fi al-Ardh), pernyataan al-Manshur ini menunjukkan bahwa khalifah memerintah
berdasarkan mandat Tuhan, bukan pilihan rakyat. Oleh karenanya, kekuasaannya adalah suci dan mutlak
serta harus dipatuhi oleh umat, karena khalifah berkuasa dalam masalah politik kenegaraan dan agama
sekaligus. Para khalifah Bani Abbas akhirnya mengklaim diri mereka sebagai bayang-bayang Tuhan di
muka bumi (the shadow of God on the Earth) dan khalifah Tuhan, bukan khalifah Nabi. Berdasarkan
prinsip ini, kekuasaan khalifah bersifat absolut dan tidak boleh digantikan kecuali setelah ia meninggal.
Absolutisme kekuasaan khalifah ini didukung juga oleh beberapa ulama Sunni yang hidup pada
masa Daulat Bani Abbas, seperti: Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi, al-Ghazali, dan Ibn Taimiyah. Mereka
mendukung gagasan kekuasaan mutlak khalifah dan sakralnya kedudukan mereka.
2. Aspek Wizarah
Wizarah adalah salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas-tugas kepala negara.
Orang yang membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan tersebut dinamakan wazir. Sebelum
masa Bani Abbas, wizarah memang sudah ada, namun belum terlembaga. Pada masa Bani Abbas, di
bawah pengaruh kebudayaan Persia, wazir ini mulai dilembagakan. Dalam pemerintahan al-Saffah, wazir
yang diangkatnya adalah Abu Salamah al-Khallal ibn Sulaiman al-Hamadzani. Wazir bertugas sebagai
tangan kanan. Dia menjalankan urusan-urusan kenegaraan atas nama khalifah. Dia berhak mengangkat
dan memecat pegawai pemerintahan, kepala daerah bahkan hakim. Wazir juga berperan
mengoordinasikan departemen-departemen (Diwan), seperti Departemen Perpajakan (Diwan al-Kharaj),
Departemen Pertahanan (Diwan al-Jaisy), dan Departemen Keuangan (Diwan Bayt al-Mal).
Ahli tata Negara pada masa itu, al-Mawardi membagi wazir menjadi dua bentuk, yaitu: Pertama;
wazir al-tafwidh, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan
kenegaraan. Ia juga merupakan koordinator kepala-kepala departemen. Atau dapat juga wazir ini
dikatakan Perdana Menteri. Kedua: wazir at-tanfidz,yaitu wazir yang hanya bertugas sebagai pelaksana
kebijaksanaan yang digariskan oleh wazir tafwidh. Ia tidak berwenang menentukan kebijaksanaan sendiri.
3. Aspek Kitabah
Pada masa Bani Abbas berkuasa, juga diangkat katib-katib oleh wazir untuk membantu wazir
dalam pemerintahan, ini disebabkan karena besarnya pengaruh wazir pada masa itu, sehingga wazir
membutuhkan tenaga-tenaga untuk membantu tugas tugasnya dalam mengkoordinasi masing-masing
departemen. Di antara jabatan katib ini yaitu: katib al-rasa’il (asisten pribadi), katib al-kharaj (pajak),
katib al-jund (militer), katib al syurthah, dan katib al-qadhi (hakim).
4. Aspek Hijabah
Hijabah berarti pembatas atau penghalang. Dalam sistem pemerintahan Bani Abbas, hajib
(petugas hijab) berarti pengawal khalifah, karena tugas dan wewenang mereka adalah menghalangi dan
membatasi agar tidak semua orang bebas bertemu dengan Khalifah Bani Abbas. Mereka bertugas
menjaga keselamatan dan keamanan Khalifah.
Selain itu, untuk urusan daerah (provinsi), khalifah Bani Abbas mengangkat kepala daerah (amir)
sebagai pembantu mereka dalam pemerintahan. Ketika mereka masih kuat, sistem pemerintahan bersifat
sentralistik. Semua kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang diwakili oleh wazir. Namun
setelah kekuasaan pusat lemah, masing-masing amir berkuasa penuh mengatur pemerintahannya sendiri,
sehingga banyak daerah melepaskan diri dan mendirikan dinasti-dinasti kecil.
Kebijakan lain yang dibuat pada masa Bani Abbasiyah yaitu: pada masa al-Saffah, daerah
kekuasaan Bani Abbas dibagi menjadi dua belas provinsi. Bani Abbas juga membentuk lembaga
peradilan militer (Qadhi al-‘Askar atau qadhi al-Jund). Khalifah sendiri juga menyediakan waktu-waktu
tertentu di istana untuk menangani perkara-perkara khusus. Dalam bidang perekonomian, sumber
pendapatan terbesar Negara berasal dari pajak. Penghasilan dari pajak, selain untuk kepentingan
masyarakat luas, dibelanjakan juga untuk membayar gaji pegawai tiap-tiap departemen. Selain dari pajak,
sumber pendapatan Negara lainnya adalah pertanian, perdagangan, dan industri. Untuk mendukung sektor
ini, Khalifah membangung jembatan, irigasi dan memanfaatkan pupuk. Pemerintah pada waktu itu juga
mendirikan sekolah pertanian.
Pemerintah kepemimpinan secara turun-menurun seperti yang dilakukan pada masa Umayyah
yang diikuti oleh dinasti Abbasyiah, beserta dampak buruknya. Khalifah yang sedang berkuasa akan
menunjuk penggantinya seorang anak, atau saudaranya yang menurutnya paling tepat. Khalifah dibantu
oleh pejabat rumah tangga istana yang bertugas memperkenalkan utusan dan pejabat yang akan
mengunjungi khalifah. Ada juga seorang eksekutor yang menjadi tokoh penting istana yang bertugas
dibawah tanah istana, yakni tempat penyiksaan.
Ada beberapa biro dalam pemerintahan Abbasyiah, biro pajak, biro arsip menagani semua surat-
surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah, dewan penyelidik atau semacam
pengadilan tingkat banding pengadilan tinggi, departemen kepolisian dan pos.
Kekuatan militer dinasti Abbasyiah terdiri atas pasukan infantri yang bersenjata tembok, pedang
dan persisai, pasukan panah dan pasukan kavaleri yang mengenakan pelindung kepala dan dada serta
bersenjatakan tembok panjang. Peradaban dan kebudayaan islam tumbuh karean dinasti Abbasyiah lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari pada pelunasan wilayah.
Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para sejarawan biasanya
membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
1. Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai
meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
2. Masa Abbasiayah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai
berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
3. Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai
masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M.
4. Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai
jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656
H/1258 M.
a) Masa Abbasiyah I ( 132 H/750 M-232 H/847 M )
Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan berlangsung selama satu abad hingga
meninggalnya khalifah Al-Watsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan Bani Abbasiyah. Hal
ini disebabkan karena keberhasilannya memperluas wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaannya
membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga ke sungai Nil.
Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi dalam penyebaran Islam
mereka adalah khalifah Abul Abbas ash-shaffah (750-754 M), Al-Mansyur ( 754-775 M), Al-Mahdi (775-
785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al Amin (809M), Al-Ma'mun (813-833
M), Ibrahim (817 M), Al-Mu'tasim (833-842 M), dan Al Wasiq (842-847 M).
b) Masa Abbasiyah II ( 232 H/847 M-334 H/946 M)
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq dan berakhir ketika keluarga
Buwaihiyah bangkit memerintah. Sepeninggal Al-Wasiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi khalifah,
masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang berasal dari Turki berhasil
mengontrol pemerintahan. Ada empat khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol pemerintahan dari
pada pemerintahan yang efektif, keempat pemerintahan itu adalah Al Muntasir (861-862 M ), Al-Musta'in
(862-866 M), Al-Mu'taz (866-896 M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa pemerintahan ini dinamakan
masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan
diri dari wilayah Bani Abbas dan menjadi wilayah merdeka seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.
c) Masa Abbasiyah III (334 H/946 M -447 H/1055 M)
Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah, yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah
Al-Muktafi (946 M) sampai dengan khalifah Al-Qaim (1075 M).Kekuasaaan Buwaihiyah sampai ke Iraq
dan Persia barat, sementara itu Persia timur, Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah
kekuasaan Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi.Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti
Fatimiyah berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa Turki.Untuk keselamatan, khalifah
meminta bantuan kepada Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa karena mereka
masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat dunia islam dan menjadi kediaman Khalifah
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulaulatan Bani Abbasiyah telah begitu lemah hingga tidak
memiliki kekuasaan diluar kota Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah menjadi dinasti
Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah
di Suriah (924-1003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti Fatimiyah di Mesir (969-
1171 M), dan dinasti Gaznawi di Afganistan (962-1187 M)
d) Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M -656 H/1258 M )
Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan mengambil alih pemerintahan
Abbasiyah. Masa seljuk berakhir pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol menyerang serta
menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh dunia Islam terutama bagian timur.
Adapun khalifah Bani Abbasiyah dari setiap periode terdiri dari 37 orang sebagaimana yang
disebutkan dalam jurnal penelitian Nurlaelah (2011) dicantumkan Ahmad Syalabi dalam bukunya
“Mausu‟ah al-Tarikh al-Islam wa al-Hadarah al-Islamiyah” sebagai berikut:
1. Abu al-Abbas As-Safah (132-136 H/ 750-754 M)
2. Abu Jakfar al-Mansur (136-158 H754-775 M)
3. Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi (158-169 H775-785 M)
4. Abu Muhammad Musa al-Hadi (169-170 H/785-786 M)
5. Abu Ja‟far Harun al-Rasyid (170-193 H/786-809 M)
6. Abu Musa Muhammad Al-Amin (193-198 H/809-813 M)
7. Abu Ja‟far Abdullah al-Makmun (198-218 H/813-833 M)
8. Abu Ishaq Muhammad al-Muktasim (218-227 H/833-842 M)
9. Abu Ja‟far Harun al-Wasiq (227-232 H/842-847 M)
10. Abu al-Fadl Ja‟far al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M)
11. Abu Ja‟far Muhammad al-Muntasir (247-248 H/861-862 M)
12. Abu Abbas Ahmad al-Mustain (248-252 H/862-866 M)
13. Abu Abdullah Muhammad al-Muktazz (252-255 H/866-869 M)
14. Abu Ishak Muhammad al-Muhtadi (255-256 H/869-870 M)
15. Abu al-Abbas Ahmad al-Muktamid (256-279 H/870-892 M)
16. Abu al-Abbas Ahmad al-Muktadid (279-289 H/892-902 M)
17. Abu Muhammad Ali al-Muktafi (289-295 H/902-908 M)
18. Abu Fadl Ja‟far al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M)
19. Abu Mansur Muhammad al-Qahir (320-322 H/932-934 M)
20. Abu al-AbbasAhmad ar-Radi (322-329 H/934-940 M)
21. Abu Ishaq Ibrahim al-Mustaqi (329-323 H/940-944 M)
22. Abu alQasim Abdullah al-Muqtakfi (323-334 H/944-946 M)
23. Abu al-Qasim al-Fadkl al-Mufi (334-362 H/946-974 M)
24. Abu Fadl Abdu al-Karim at-Tai (362-381 H/974-991 M)
25. Abu al-Abbas Ahmad al-Qadir (381-422 H/991-1031 M)
26. Abu Ja‟far Abdullah al-Qasim (422-467 H/1031-1075 M)
27. Abu al-Qasim Abdullah al-Muqtadi (467-487 H/1075-1084 M)
28. Abu al-Abbas Ahmad al-Mustazhir (487-512 H/1074-1118 M)
29. Abu Mansur al-Fadl al-Mustasid (512-529 H/1118-1135 M)
30. Abu Ja‟far al-Mansur al-Rasyid (529-530 H/1135-1136 M)
31. Abu Abdullah Muhammad al-Mustafi (530-555 H/1136-1160 M)
32. Abu al-Muzaffar al-Mustanjid (555-566 H/1160-1170 M)
33. Abu Muhammad al-Hasan al-Mustadi (566-575 H/1170-1180 M)
34. Abu al-Abbas Ahmad al-Nasir (575-622 H/1180-1224 M)
35. Abu Nasr Muhammad al-Zahir (622- 623 H/1224-1226 M)
36. Abu Ja‟far al-Mansur al-Mustansir (623-640 H/1226-1242 M)
37. Abu Ahmad Abdullah al-Muktasim (640-656 H/1242-1258 M).

3. Peradaban Dinasti Abbasiyyah


Pada masa pemerintahan bani Abbasiyah, kegiatan perekonomian bertambah maju seiring dengan
perkembangan jaman sehingga kekayaan negara bertambah banyak, meskipun pada umumnya tidak
berbeda dengan kegiatan perekonomian yang dilakukan bani Umayah. Badri Yatim menulis bahwa pada
masa Al Mahdi, perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi
dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi.
Para khalifah dinasti Abbasyiah yang khususnya pada periode awal sangat menyadari akan
pentingnya bidang ekonomi bagi kelangsungan pemerintah. Oleh karena itu mereka memberi perhatian
penuh pada bidang yang satu ini. Upaya untuk memajukan bidang ekonomi ini dimulai dengan
pemindahan pusat pemerintahan ke Baghdad.
Baghdad merupakan sebuah kota yang terletak didaerah yang sangat stategis bagi perniagaan dan
perdagangan. Begitu juga terdapat jalur pelayaran ke sungai eufart yang cukup dekat. Sehingga barang-
barang dagangan dan perniagaan dapat diangkut mengalir sungai eufratdan tigris dengan menggunakan
perahu-perahu kecil. Di samping itu, yang terpenting adalah terdapatnya jalan nyaman dan aman dari
semua jurusan. Akhirnya, Baghdad menjadi daerah sangat ramai, karena disamping ibu kota kerajaan juga
sebagai kota niaga yang cukup marak pada masa itu, dari situlah negara akan dapat devisa yang sangat
besar jumlahnya. Selain itu faktor pertambahan jumlah penduduk juga merupakan suatu faktor turut
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dimana semakin pesat pertumbuhan pasar pensusuk, maka semakin
besar dan banyak pula faktor permintaan pasar (demand). Hal ini pada gilirannya memicu produktivitas
ekonomi yang tinggi.
Di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809 H) adalah zaman yang gemilang bagi Islam.
Zaman ini kota baghdad mencapai puncak kemegahannya yang belum pernah dicapai sebelumnya, Harun
sangat cinta pada sastrawan, ulama, Filosof yang datang dari segala penjuru ke Baghdad. Salah satu
pendukung utama tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan tersebut adalah didirikannya pabrik kertas di
Baghdad. Orang Islam pada awalnya membawa kertas dari Tiongkok, usaha pembuatan kertas erat
kaitannya dengan perkembangan Universitas Islam. Pabrik kertas memicu pesatnya penyalinan dan
pembuatan naskah-naskah, dimasa itu seluruh buku ditulis tangan. Ilmu cetak muncul pada tahun 1450 M
ditemukan oleh gubernur di Jerman. Dikota-kota besar islam muncul toko-toko buku yang sekaligus juga
berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pengajaran non-formal.
Popularitas Bani Abbasiyah ini juga ditandai dengan kekayaan yang dimanfaatkan oleh khalifah
Al-Rasyid untuk keperluan sosial seperti Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan faramasi
didirikan, dan pada masannya telah ada sekitar 800 orang dokter, selain itu pemandianpemandian umum
didirikan. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada zaman inilah negara Islam menempatkan dirinya
sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

A. Perkembangan di Bidang Agama dan Pengetahuan


Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan, secara politis
para khalifah memang orang-orang yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus Agama.
Disisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan Filsafat dan ilmu pengetahan dalam Islam.
Peradaban dan kebudayyan Islam berkembang dan tumbuh mencapai kejayaan pada masa Bani
Abbasiyah.Hal tersebut dikarenakan pada masa ini Abbasiyah lebih menekankan pada perkembangan
peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Disinilah letak perbedaan pokok dinasti
Abbasiyah dengan dinasti Umayyah.
Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Al- Rasyid (786-809 M)
dan anaknya Al-Makmun (813-833 M).Ketika Al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur,
kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas wilayahnya mulai
dari Afrika Utara sampai ke India.
Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang
sangat pesat, hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi
yang sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa pengetahuan, selain itu juga ada dua hal
yang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan yaitu :
a) Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain yang telah lebih dulu
mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbas, bangsa-bangsa
non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai
guna.Bangsa-bagssa itu memberi saham tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam
Islam. Pengaruh Persia sangat kuat dalam bidang ilmu pengetahuan. Disamping itu, bangsa Persia
banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra.Pengaruh India terlihat dari bidang
kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani terlihat dari
terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama Filsafat.
b) Gerakan penerjemahan berlangsung selama tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al
Mansyur hingga Hasrun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemah adalah buku-buku
dibidang ilmu Astronomi dan Mantiq. Fase kedua terjadi pada masa khalifah Al-Makmun hingga
tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemah adalah bidang filsafat, dan kedokteran. Dan
pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Selanjutnya bidang-biadang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
c) Perpustakaan Bait Al-Hikmah dan Darul Hikmah sebagai Pusat Kebudayaan Islam. Bait Al-
Hikmah merupakan kelanjutan institus Jundishapur Academy di masa Imperium Sasania Persia
didirikan oleh Harun Al-Rasyid. Perpustakaan ini dilengkapi berbagai buku karangan Al-
Ma`mun. Perpustakaan Bait Al-Hikmah dan Darul Hikmah, mencapai puncaknya pada masa
Khalifah Al-Ma`mun. Perpustakaan ini menyerupai universitas disetiap bagian terdapat kitab-
kitab yang lengkap. Berfungsi sebagai tempat para pembaca untuk berdiskusi, aktifitas ilmiah,
dan sebagai kantor penerjemahan seperti karya kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi
dan ilmu alam, Ahli ilmu pengetahuan dan sastra. Para ilmuan Islam mengembangkan ilmu-ilmu
yang telah diterjemahkan sehingga hadirlah temuan ilmiah baru sebagai sumbangan Islam
tehadap ilmu dan peradaban dunia. Para khalifah-khalifah dan wazir (menteri) serta para pejabat
tinggi memberi perlindungan, sarana prasarana bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka
juga sering mengadakan pertemuan-pertemuan ilmiah di rumah mereka.

a. Lembaga Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyah


Pada masa Dinasti Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat pesat
sehingga anak-anak bahkan orang dewasa saling berlomba dalam menuntut ilmu pengetahuan. Tingginya
nilai pendidikan dalam kehidupan, menyebabkan mayoritas masyarakat meninggalkan kampung halaman
mereka, demi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan di kota, dan salah satuindikator berkembang
pesatnya pendidikan dan pengajaran ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga
pendidikan Islam.
Dalam dunia Islam sebelum munculnya lembaga pendidikan formal, masjid dijadikan sebagai
pusat pendidikan. Fungsi masjid selain untuk tempat menunaikan ibadah juga dijadikan sarana dan
fasilitas untuk pendidikan, di antaranya tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat pengajian dari
ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (halaqah), tempat untuk berdiskusi dan munazharah
dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan yang berisikan buku-
buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang cukup banyak.
Selain masjid sebenarnya telah berkembang pula lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya baik
yang bersifat formal maupun non-formal, lembaga-lembaga ini berkembang terus bersamaan dengan
tumbuh dan berkembangnya bentuk-bentuk lembaga pendidikan baik non formal maupun formal yang
semakin luas. Di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada pada masa Dinasti Abbasiyah
tersebut adalah:
a) Kuttab
Sebagai lembaga pendidikan dasar. Sewaktu agama Islam diturunkan Allah sudah ada di antara
para sahabat yang pandai tulis baca. Kemudian tulis baca tersebut ternyata mendapat tempat dan
dorongan yang kuat dalam Islam, sehingga berkembang luas di kalangan umat Islam. Kepandaian tulis
baca dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang peranan penting dikarenakan dari
awal pengajaran al-Qur’an juga telah memerlukan kepandaiantulis baca, karena tulis baca semakin terasa
perlu maka kuttab sebagai tempat belajar menulis dan membaca, terutama bagi anak-anak berkembang
dengan pesat.
b) Pendidikan Rendah di Istana
Pendidikan rendah di istana muncul berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat
menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Atas
pemikiran tersebut khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan
pendidikan rendah ini agar anak-anaknya sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan tugas-
tugas yang akan diembannya nanti.
c) Al-Hawanit al-Warraqien(Toko-Toko Kitab)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam yang semakin pesat terus diikuti dengan
penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada
mulanya toko-toko tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-kitab yang ditulis dalam berbagai
ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, mereka membelinya dari para penulisnya kemudian
menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya.
d) Manazil al-Ulama(Rumah-Rumah Para Ulama)
Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan
pengetahuan umum. Pelaksanaan kegiatan belajar di rumah pernah terjadi pada awal permulaan Islam,
Rasulullah SAW misalnya pernah menggunakan rumah al-Arqam (Dar al-Arqam) bin Abi al-Arqam
sebagai tempat belajar dan mengajar tentang dasar-dasar agama yang baru serta membacakan ayat-ayat
al-Qur’an yang diturunkan. Dan pada masa Abbasiyah di antara rumah-rumah para ulama yang digunakan
sebagai lembaga pendidikan, rumah yang sering digunakan untuk kegiatan ilmiah adalah rumah al-Rais
ibn Sina; sebagian ada yang membaca kitab al-Syifa’ dan sebagian lain membaca kitab al-Qanun.
e) Al-Sholahun al-Adabiyah (Sanggar Sastra)
Al-Sholahun al-Adabiyah mulai tumbuh sederhana pada masa pemerintah Bani Umayyah,
berkembang pesat pada zaman Abbasiyah . Saloon Kesusasteraan adalah majelis khusus yang diadakan
khalifah untuk membahas berbagai ilmu pengetahuan, Pada masa khalifah Harun ar-Rasyid majelis sastra
mengalami kemajuan. Adanya perlombaan antara ahli-ahli syair, perdebatan antara fukaha dan sayembara
antara ahli kesenian dan pujangga. Sanggar sastra meniru kebudayaan asing yang diambil oleh khalifah
Arab dari para penguasa yang agung yang merupakan tanda penghormatan atas kekuasannya. Terdapat
kode etik, al-Maqrizi mengatakan sanggar sastra tidak bisa menerima setiap orang yang menginginkannya
namun sanggar tersebut hanya diperbolehkan untuk sekelompok manusia tertentu.
f) Badiah
Badiah adalah dusun-dusun tempat tinggal orang-orang Arab yang tetap mempertahankan
keaslian dan kemurnian bahasa Arab, bahkan sangat memperhatikan kefasihan berbahasa dengan
memelihara kaidah-kaidah bahasanya. Badiah-badiah merupakan sumber bahasa Arab asli dan murni.
Oleh karena itu khalifah-khalifah biasanya mengirimkan anak-anaknya ke badiahbadiah ini untuk
mempelajari pula syair-syair serta sastra Arab dari sumbernya yang asli. Dan banyak ulama-ulama serta
ahli ilmu pengetahuan lainnnya yang pergi ke badiah-badiah dengan tujuan untuk mempelajari bahasa dan
kesusasteraan Arab yang asli lagi murni tersebut. Badiah-badiah tersebut menjadi sumber ilmu
pengetahuan terutama bahasa dan sastra Arab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam.
g) Rumah Sakit
Untuk memujudkan kesejahteraan para khalifah dan pembesar-pembesar Negara pada masa ini,
banyak mendirikan rumah-rumah sakit, rumah-rumah sakit tersebut selain sebagai tempat merawat dan
mengobati orang-orang sakit juga berfungsi sebagai tempat untuk mendidik tenaga-tenaga yang
berhubungan dengan perawatan dan pengobatan serta tempat untuk mengadakan berbagai penelitian dan
percobaan (praktikum) dalam bidang kedokteran dan obatobatan, sehingga berkembanglah ilmu
kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi. Dengan demikian rumah sakit dalam dunia Islam, juga
berfungsi sebagai lembaga pendidikan .
h) Perpustakaan dan Observatorium
Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang terjadi pada masa Abbasiyah, maka
didirikanlah perpustakaan dan observatorium, serta tempat penelitian dan kajian ilmiah lainnya. Pada
lembaga ini, para penuntut ilmu diberikan kesempatan untuk belajar dan mengembangkan ilmu
pengetahuannya. Tempat-tempat ini juga digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti yang
luas, yaitu belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang umumnya dipahami,
melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada aktivitas siswa (student centris), seperti belajar dengan
cara memecahkan masalah, eksperimen, belajar sambil bekerja (learning by doing), dan inquiry
(penemuan). Kegiatan belajar yang demikian ini dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-
lembaga pusat kajian ilmiah.
i) Madrasah
Madrasah muncul pada masa Dinasti Abbasiyah sebagai kelanjutan dari pengajaran dan
pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid dan tempat lainnya, selain minat masyarakat yang
semakin meningkat untuk mempelajari ilmu pengetahuan juga semakin berkembangnya berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan, dan untuk mengajarkannya diperlukan guru yang lebih banyak, sarana dan
prasarana yang lebih lengkap, serta pengaturan administrasi yang lebih teratur. Sehingga melahirkan
lembaga formal yaitu madrasah.
j) al-Ribath
Secara harfiah al-ribath berarti ikatan yang mudah di buka. Sedangkan dalam arti yang umum, al-
ribath adalah tempat untuk melakukan latihan, bimbingan, dan pengajaran bagi calon sufi. Di dalam al-
ribath tersebut terdapat beberapa ketentuan atau komponen yang terkait dengan pendidikan tasawuf,
misalnya komponen guru yang terdiri dari syekh (guru besar), mursyid (guru utama), mu’id (asisten
guru), dan mufid(fasilitator).
k) Az-Zawiah
Az-Zawiyah adalah tempat yang berada dibagian pinggir masjid yang digunakan untuk
melakukan bimbingan wirid, dan zikir untuk mendapatkan kepuasan spiritual
.
b. Kegiatan Menerjemah
Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam pada masa Daulah Abbasiyah khususnya pada masa
Khalifah Al Mansur, salah satunya disebabkan oleh adanya gerakan penerjemahan buku-buku asing ke
dalam bahasa Arab. Buku-buku Terjemahan ini sangat membantu umat Islam dalam mempelajari dan
memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa dan bangsa. Di antaranya kitab atau
buku bidang sejarah ilmu kalam filsafat, ilmu kalam, ilmu pasti, music dan lain-lain.
Proses penerjemahan buku-buku asing tersebut tidak langsung diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab tetapi terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Syria bahasa sirih adalah bahasa ilmu
pengetahuan di Mesopotamia pada waktu itu bahasa syriac kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab pada masa-masa berikutnya penerjemahan dilakukan langsung ke dalam bahasa Arab.
Pada abad ke-9 M, dilakukan penerjemahan besar-besaran buku, dalam penerjemahan karya-
karya itu, ikut berperan orang-orang Yahudi dan Kristen di samping orang-orang Islam sendiri (Arkoun,
1997, p. 74). Mereka menerjemahkan manuskrip-manuskrip terutama yang berbahasa Yunani dan Persia
ke dalam bahasa Arab. Para ilmuan diutus ke Bizantium untuk mencari naskah-naskah Yunani dalam
berbagai ilmu terutama filsafat dan kedokteran. Sedangkan untuk perburuan manuskrip di daerah Timur
seperti Persia, berupa bidang keilmuan tata negara dan sastra. Sebelum diterjemahkan ke bahasa Arab,
naskah yang berbahasa Yunani diterjemahkan dulu ke bahasa Syiria. Hal ini disebabkan karena para
penerjemah adalah para pendeta Kristen Syiria yang memahami bahasa Yunani .
Pelopor gerakan penerjemahan adalah khalifah al-Mansur, dengan mempekerjakan orang-orang
Persia untuk menerjemahkan karya-karya berbahasa Persia, di antaranya: buku tentang Ketatanegaraan
(Kalila wa Dimna dan Shindind). Sedangkan manuskrip yang berbahasa Yunani, seperti Logika karya
Aristoteles, Almagest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachu dari Gerasa, Geometri karya Euclid.
Pada masa Harun al-Rasyid, dikenal seorang Yuhanna Yahya ibn Masawayh yang memiliki peran
menerjemahkan beberapa manuskrip tentang kedokteran yang dibawa oleh khalifah dari Ankara dan
Amorium. Pada masa Makmun dikenal Hunayn ibn Ishaq. Ia dijuluki “ketua para penerjemah” (sebutan
orang Arab), seorang sarjana terbesar dan figur terhormat. Makmun mengangkatnya menjadi pengawas
perpustakaan akademinya. Dan bertugas menerjemahkan karya-karya ilmiah, dibantu oleh anaknya Ishaq,
dan keponakannya Hubaisy ibal-Hasan yang telah ia latih.
Babak berikutnya setelah adanya era penerjemahan yang berkembang pada Dinasti Abbasiyah
adalah babak aktivitas kreatif penulisan karya-karya orisinil. Penulisan karya-karya tersebut melahirkan
beberapa tokoh utama yang yang menekuni bidang masing-masing. Pada bidang kedokteran beberapa
tokoh yang muncul seperti Ali ibn Sahl Rabban al-Thabari, pertengahan abad kesembilan; Abu Bakr Muh
ibn Zakariyya al-Razi (Rhazes, 865-925); Ali ibn al Abbas (w.994); Ibn Sina, 980-1037.
Dalam perkembangan filsafat Islam, peneliti muslim memahami bahwa falsafah merupakan
pengetahuan tentang kebenaran dalam arti yang sebenarnya, sejauh hal itu bisa dipahami oleh pikiran
manusia. Filsafat dan kedokteran Yunani adalah ilmu yang dimiliki orang Barat, dan orang Arab percaya
bahwa al-Qur’an dan teologi adalah rangkuman hukum dan pengalaman agama. Karenanya, kontribusi
filsafat, agama, dan kedokteran menjadi tren keilmuan saat itu. Para penulis Arab akhirnya menerapkan
kata: falasifah atau hukam (filosof atau sufi) terhadap para filosof yang pemikiran spekulatifnya tidak
dibatasi agama; dan Mutakallimun atau Ahl al-kalam (ahli bicara, ahli dialektika) pada orang-orang yang
memosisikan sistem pemikirannya di bawah ajaran agama samawi. Ahli membuat proposisi. Seiring
perkembangannya, kalam berubah maknanya menjadi teologi, dan mutakallimin akhirnya bersinonim
dengan teologi, upaya harmonisasi filsafat Yunani dengan Islam dilakukan oleh nama-nama besar dalam
bidang filsafat yaitu al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.
c. Pusat pusat kegiatan ilmu Pengetahuan
Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah terus bertambah.
Hal ini disebabkan dengan semakin semangat dan bertambahnya umat Islam yang hendak menuntut dan
sekaligus memperdalam ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Kota-kota yang menjadi pusat ilmu
pengetahuan oleh khalifah dilengkapi dengan berbagai fasilitas atau perlengkapan Hal ini dilakukan untuk
mempermudah kaum muslimin mencari sumber dan informasi tentang ilmu pengetahuan yang
diminatinya.
Adapun kota-kota besar yang menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada masa
kekhalifahan Bani Abbasiyah antara lain Mekah, Madinah, Kufah, Damaskus, Fusthat, dan Qairawan.
Sedangkan beberapa kota baru yang dibuka sebagai pusat pengetahuan pada masa Bani Abbasiyah antara
lain Baghdad, Isfahan, Naisabur, Basrah dan lain-lain.
d. Sistem Pendidikan
a) Kurikulum
Kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa. Lebih
luas lagi, kurikulum bukan hanya sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam
proses pendidikan di sekolah. Kurikulum dalam lembaga pendidikan Islam pada mulanya berkisar pada
bidang studi tertentu. Namun seiring perkembangan sosial dan kultural, materi kurikulum semakin luas.
Pada masa kejayaan Islam, mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah Al-Qur‟an dan
agama, membaca, menulis, dan berenang. Sedangkan untuk anak-anak amir dan penguasa, kurikulum
tingat rendah sedikit berbeda. Di istana-istana biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran ,ilmu sejarah,
cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti Al-Qur‟an, syair, dan fiqih.
Setelah usai menempuh pendidikan rendah, siswa bebas memilih bidang studi yang ingin ia dalami di
tingkat tinggi.
Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti
masjid, dengan Al-Qur‟an sebagai intinya. Ilmu-ilmu agama harus dikuasai agar dapat memahami dan
menjelaskan secara terperinci makna Al-Qur‟an yang berfungsi sebagai fokus pengajaran.
b) Metode Pengajaran
Dalam proses belajar mengajar, metode pengajaran merupakan salah satu aspek pengajaran yang
penting untuk mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada para pelajar. Metode
pengajaran yang dipakai dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam, yaitu lisan, hafalan, dan tulisan.
Metode lisan bisa berupa dikte, ceramah, dan diskusi. Metode menghafal merupakan ciri umum dalam
sistem pendidikan Islam pada masa ini. Untuk dapat menghafal suatu pelajaran, murid-murid harus
membaca berulang-ulang sehingga pelajaran melekat di benak mereka. Sedangkan metode tulisan adalah
pengkopian karya-karya ulama.
c) Rihlah Ilmiah
Salah satu ciri yang paling menarik dalam pendidikan Islam di masa itu adalah sistem Rihlah
Ilmiyah, yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu.
e. Pembagian Ilmu
a) Ilmu Naql
Ilmu Naql adalah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur`an, mencakup: ilmu qiraat, tafsir, ilmu
hadits, fiqh, ilmu kalam, nahwu, bahasa, bayan dan adab (kesusastraan).
1. Ilmu Qiraat
Ilmu qiraat dianggap fase awal dan cikal bakal tafsir Al-Qur`an. Penyebab terjadinya beragam
qiraat menjadi tujuh. Ahli qiraat yang terkenal:Yahya ibn Haris Az Zamari, Hamzah ibn Habib Az
Zayyat, Abu Abdurrahman Al Muqri dan Khalaf ibn Hisyam Al Bazzar.
2. Tafsir
Ahli tafsir dalam menafsirkan Al-Qur`an berorientasi pada dua arah yaitu: at tafsir bi al ma`sur
dan at tafsir bi ar ra`yi. Seiring berjalannya waktu at tafsir bi al ma`sur menerima pendapat ahli kitab yang
masuk Islam, yaitu pendapat dari Taurat dan Injil. Ahli tafsir yang terkenal adalah Abdullah ibn Abbas,
Muqatil ibn Sulaiman Al Azadi, Muhammad ibn Ishak, Jarir At Tabari. Pada masa ini muncul kelompok
Mu`tazilah (para pemikir bebas), mereka pendapatnya bersandar pada akal. Dalam memerangi kelompok
ini didirikan pendidikan yang berasaskan Al-Qur`an dan membuat dalil yang mematahkan dalil musuh
yang terambil dari Al-Qur`an melalui tafsir.
3. Hadits
Bangsa Arab baru membukukan hadits sejak abad kedua hijriyah. Sehingga lahir ulama hadits antara lain:
Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim, pengarang Sahih Bukhari-Muslim. Kemudian muncul Abu
Daud, pengarang kitab As Sunan, At Tirmizi, pengarang kitab Al Jami`, An Nasa`i dan Ibnu Majah
keduanya pengarang kitab As Sunan dengan nama Al Kutub As Sittah.
4. Fiqh
Diantara ahli fiqh masa ini adalah Imam Malik ibn Anas, mengarang kitab Al Muwata`, Al
Mudawwanah. Ahmad ibn Hambal, Imam Syafi`i, Abu Hanifah, Al Lais ibn Sa`d, Abu Yusuf, karyanya
berupa Kitab Al Kharraj (disusun atas permintaan Khalifah Harun Al-Rasyid). Kitab ini memuat urusan
keuangan negara yang hanya dikuasai oleh pejabat seperti Abu Yusuf dan berada dekat dari khalifah serta
menguasai fiqh.
5. Ilmu Kalam
Ilmu kalam dirangkai berdasarkan logika, terutama dalam hal yang berhubungan dengan akidah.
Orang yang fokus dalam ilmu ini disebut mutakallimun. Pada awalnya mutakallimun ditujukan kepada
orang yang fokus pada akidah keagamaaan, namun selanjutnya ditujukan kepada yang menyalahi
Mu`tazilah dan menjadi pengikut Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Ahli ilmu kalam terkemuka adalah Wasil ibn
Ata, Abu Huzail Al `Allaf, An Nizam, Abu Hasan Al Asy`arid an Hujjatul Islam Imam Gazali.
6. Ilmu Nahwu
Ahli ilmu nahwu Basrah disebut “ahli logika”. Diantara ilmuan itu adalah Al-Asma`i dan Abu
Ubaidah, Al-Mubarrad pengarang kitab Al Kamil.
7. Kesusastraan
a) Syair
Penyair Abbasiyah yang terkenal adalah Abu Nawas, dengan syairnya tentang arak, asrama,
berburu dan ragam obyek syair lainnya sejalan dengan kebudayaan dan kemewahan yang tersebar masa
itu. Kehidupan penyair tergantung kedekatan pada khalifah dan pembesar negara, oleh karena itu syair
sanjungan menjadi ciri utama syair masa ini.
b) Prosa
Abdullah ibn Al Muqaffa menerjemahkan buku Pahlevi (Persia Kuno). Diantaranya Kalilah Wa
Dimnah dalam bahasa sanskerta. Ini dianggap sebagai buku prosa tertua sastra Arab, tinggi.
susunan kalimat dan ungkapan. Pujangga masa ini, Abdul Hamid Al Katib, melakukan hal baru dalam
menulis surat di awal surat ada pujian, pembagian paragraf dan pasal, penutup surat, termasuk muatan
surat yang panjang lebar berkenaan dengan raja dan politik.
8. Tashawuf
Dalam bidang ilmu Tashawuf juga muncul ulama-ulama yang terkenal pada masa pemerintahan
Daulah Bani Abbasiyah. Imam Al-Ghazali sebagai seorang ulama sufi pada masa Daulah Bani Abbasiyah
meninggalkan karyanya yang masih beredar sampai sekarang yaitu buku Ihya' AlDin, yang terdiri dari
lima jilid. Al-Hallaj (858-922 M) menulis buku tentang Tashawuf yang berjudul Al-Thawasshin, Al-
Thusi menulis buku al-lam'u fi al-Tashawuf, Al-Qusyairi (W. 465 H) dengan bukunya al-risalat al-
Qusyairiyat fi il'm al-Tashawuf.
9. Bahasa
Diantara ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu
sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’ dan arudh. Bahasa arab di jadikan sebagai ilmu pengetahuan di samping
menjadi alat komunikasi antar bangsa. Di antara para ahli ilmu Bahasa adalah:
Imam Sibawaih (w. 183), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1000 halaman Al-Kiasi.
Abu Zakaria Al-Farra (w.208), kitab Nahwunya terdiridari 6000 halaman lebih.
b) Ilmu Aql
Ilmu aql adalah ilmu yang diambil orang Arab dari bangsa non Arab. Ilmu aql mencakup :
geografi, matematika, astronomi, kimia, filsafat, sihir, sejarah, teknik, ilmu astrologi, musik, kedokteran
dan seni arsitektur.
1. Geografi
Perluasan wilayah dagang mendorongnya menulis untuk menerangkan apa yang dialami.
Tokohnya Ibn Khurdadbih menulis Kitab al-Masalik. Buku ini merupakan petunjuk resmi dan hasil karya
geografi tertua dalam bahasa Arab. Ibn Khardazabah, mengarang Al Masalik Wa Al Mamalik.
2. Matematika
Pithagoras merupakan guru bangsa Arab dalam bidang matematika, menurutnya seseorang tidak
akan menjadi filosof dan dokter yang baik tanpa mempelajari matematika. Terjemahan dari bahasa asing
ke bahasa Arab menghasilkan karya dibidang matematika. Diantara ahli matematika islam yang terkenal
adalah Al-Khawarizmi, adalah seorang pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung) dan
penemu angka Nol. Tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad Bin Muhammad Bin Ismail Bin Al-
Abbas terkenal sebagi ahli ilmu matematika. Dalam ilmu hitung terkenal Imran ibn Al Wadhdhah dan
Shihab ibn Kasir
3. Astronomi
Ibn Ma`shar awalnya ahli hadits, kemudian mempelajari astronomi dan setelah 47 tahun berhasil
membuat karya.
4. Kimia
Jabir ibn Hayyan (ahli kimia), adalah orang Tarsus di Eropa terkenal dengan nama Gaber. Ia
banyak menulis buku kimia, pertambangan dan batu-batuan yang bermanfaat bagi Eropa.
5. Filsafat
Pada periode ini ide Yunani memasuki pemikiran Islam. Beberapa filsuf Islam karyanya
diterjemahkan dalam bahasa Latin. Tokoh pertama yang mengenalkan filsafat Yunani ke dalam dunia
Islam adalah Al-Kindi. Teologi Al-Kindi dekat dengan kaum Mu`tazilah sehingga disukai Khalifah Al-
Ma`mun, Al-Mu`tasim dan AlWatsiq. Setelah kebijakan di bawah Al-Mutawakkil ia mengalami
penderitaan, bahkan perpustakaannya pernah disita walaupun pada akhirnya dikembalikan.
6. Sejarah
Ibn Muqaffa menerjemahkan Kitab Khuday Nameh (Kitab Al Muluk) dari bahasa Pahlevi ke dalam
bahasa Arab, dan dinamai Siyar Muluk Al `Ajm. Buku ini dianggap contoh buku sejarah dikalangan
bangsa Arab. Hisyam ibn Muhammad Al Kalbi (wafat 204 H) dan ayahnya adalah orang pertama bangsa
Arab yang
menulis dalam ilmu sejarah.
7. Kedokteran
Pada mulanya Ilmu Kedokteran telah ada pada saat Bani Umayyah, ini terbukti dengan adannya
sekolah tinggi kedokteran Yundisapur dan Harran.. Dinasti Abbasiyah telah banyak melahirkan dokter
terkenal diantaranya sebagai berikut
Hunain Ibnu Ishaq (804-874 M) terkenal segai dokter yang ahli dibidang mata dan penerjema
buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
Ar-Razi (809-1036 M) terkenal sebagai dokter yang ahli dibidang penyakit cacar dan campak. Ia
adalah kepala dokter rumah sakit di Baghdad. Buku karangannya dbidang ilmu kedokteran adalah Al-
Ahwi.
Ibnu Sina (980-1036 M), yang karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun Fi At-Tibb dan dijadikan
sebagai buku pedoman bagi Universitas di Eropa dan negara-negara Islam.
Ibnu Rusyd (520-595 M) terkenal sebagai dokter perintis dibidang penelitian pembuluh darah dan
penyakit cacar. dll.
8. Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal
adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), jami' al-mufradat al-adawiyah (berisi tentang obat-obatan
dan makanan bergizi).
9. Seni Ukir
Beberapa seniman ukir terkenal: Badrdan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari, seni
pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
10. Astrologi
Astrologi sangat dibutuhkan, contohnya saat pembangunan kota Bagdad. Serta pemilihan waktu
untuk membai`at Ali Ar Rida. Ahlinya Al-Haris dan Ja`far ibn Umar Al Balkhi, penulis Isbat Al`Ulum
dan Haiah Al Falak.
11. Geometri
Perhatian cendekiawan muslim terhadap geometri dibuktikan oleh karyakarya matematika.
Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi telah menciptakan ilmu al-Jabar. Kata al-Jabar berasal dari judul
bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibah. Ahli geometri muslim lain abad itu ialah Kamaluddin ibn Yunus,
Abdul Malik asy-Syirazi yang telah menulis sebuah risalah tentang Conics karya Apollonius dan
Muhammad Ibnul Husain menulis sebuah risalah tentang “Kompas yang sempurna dengan memakai
semua bentuk kerucut yang dapat digambar”. Juga al-Hasan al-Marrakusy telah menulis tentang geometri
dan gromonics.
12. Trigonometri
Pengantar kepada risalah astronomi dari Jabir Ibnu Aflah dari Seville, ditulis oleh Islah al-Majisti
pada pertengahan abad, berisi tentang teori-teori trigonometrikal. Dalam bidang astronomi terkenal nama
al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani yang dikenal di
Eropa dengan nama al-Faragnus menulis ringkasan ilmu astronomi yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.
13. Antidote (penawar racun)
Ibnu Sarabi menulis sebuah risalah elemen kimia penangkal racun dalam versi Hebrew dan Latin.
Penerjemahan dalam bahasa Latin (mungkin suatu adaptasi atau pembesaran) terbukti menjadi lebih
populer dan lebih berpengaruh daripada karya aslinya dalam bahasa Arab.
14. Bidang Optikal
Abu Ali al-Hasan Ibn al-Haitami, yang di Eropa dikenal dengan nama al-Hazen. Dia terkenal
sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut
teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata.

B. Perkembangan di Bidang Seni


Perhatian para Khalifah Abbasiyah terhadap seni budaya sangat besar yaitu mencakup syair-syair,
seni musik, arsitektur, kaligrafi , dan penjilidan buku. Bidang syair yang terkenal di antaranya adalah Ibnu
Muqaffa’, Abu Nawas dan Bashahar ibn Bard. Pada bidang arsitektur Khalifah Abbasiyah membangun
istana-istana, masjid-masjid yang indah dan tempat peristirahatan. Bidang seni kaligrafi Abbasiyah
mencatat beberapa nama besar diantaranya Ibnu Muqlah ibn Bawwab dan Yaqut al-Musta’shim. Dan
Ibnu Muqlah merumuskan metode penulisan kaligrafi yang dipakai sampai sekarang.
Arsitetur Seni dekor mengalami kemajuan pesat, pada masa Abu Ja`far Al-Manshur. Dekorasi
kubah dari emas dan di atasnya terdapat patung yang bisa berputar jika tertiup angin dan Istana-istana
menjadi media menuangkan lukisan dan dekorasi. Dekorasi dari bahan gibs, ditutup dengan gordyn
berhiaskan lukisan khas Persia.
Masjid Jami’ Cordoba merupakan peradaban yang masih bertahan sampai sekarang, mesjid ini
merupakan mesjid yang termasyur di Andalusia, namun sekarang dijadikan sebagai katedral.
Abdurrahman ad-Dakhil mulai membangun mesjid ini tahun 170 H/786 M, lalu dilanjutkan oleh putranya
Hisyam dan khalifah-khalifah selanjutnya, mesjid ini merupakan mesjid yang paling indah di Cordoba
dan salah satu mesjid terbesar di dunia.
Peninggalan arsitektur bangunan lainnya adalah Alhambra, dibangun pada abad ke 13, terdiri dari
3 bagian yaitu Royal Palace, benteng Alcazaba, dan taman Generalife, ide untuk membentuk beberapa
bangunan di Alhambra ini adalah untuk menciptakan surga dunia.
Di Baghdad terdapat juga penyanyi, pemain lute, dan pencipta lagu terkenal. Ahli musik yang
terkenal pada adalah Ibrahim ibn al-Mahdi, Al-Watsiq adalah pemain instrumen lute. Al-Mu’tazz (866 –
869 M) dan al-Muntashir (861 – 862 M) yang merupakan ahli di bidang musik dan sastra (Harimurti,
2015).
Seni musik berkembang dengan pesat di era Abbasiyah, Perkembangan seni musik tidak lepas
dari kegencaran penerjemahan risalah musik dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab dan dukungan
para penguasa terhadap musisi dan penyair membuat seni musik, terlebih perkembangannya musik
dipandang sebagai cabang dari matematika dan filsafat, peradaban Islam melalui kitab yang ditulis al-
Kindi merupakan yang pertama kali memperkenalkan kata musiqi. Al-Isfahani (897 M-976 M) dalam
Kitab al-Aghani mencatat beragam pencapaian seni musik di dunia Islam.
Beberapa Pusat kegiatan ilmu dan kesenian pada masa Dinasti Abbasiyah diantaranya:
1. Hijaz, Makkah, dan Madinah yang menjadi pusat kegiatan ilmu Hadits dan Fiqh.
2. Iraq, Kota-kota Iraq sebagai pusat kegiatan segala macam ilmu seperti tafsir, hadits, fiqih,
bahasa, sejarah, ilmu kalam, falsafah, ilmu alam, ilmu pasti, dan musik.
3. Mesir Kota Fustat terjadi pengembangan ilmu pengetahuan di Masjid Amr ibn ‘Ash.
4. Masjid Damaskus sebagai pusat ilmu. Damaskus, Halab (Aleppo), dan Beirut
berkembang bermacam-macam ilmu seperti di Beirut dikaji hukum internasional
termasuk hukum Romawi.
5. Isfahan Istana Bani Buwaihi di Isfahan merupakan pusat para ulama, sarjana, dan
pujangga di sini ilmu dikembangkan hingga ke seluruh negeri. Kota Bukhari yang
menjadi Istana Bani Buwaihi, juga sebagai pusat ilmu.
6. Istana Amir Thabristan Qabus ibn Wasymakir yang terletak di tepi Laut Qazwin sebagai
pusat ilmu.
7. Ghaznah, Sultan Mahmud Ghaznah adalah raja yang sangat mementingkan ilmu
pengetahuan.
8. Hataib Saif al-Daulah menjadikan istana tempat pertemuan para ulama, sarjana, dan
pujangga.
9. Istana Ibnu Thulun, Zaman Ibnu Thulun di Mesir terkenal dengan sejumlah ulama
Muhadditsin (para ahli ilmu Hadits), ahli sejarah, pengarang, dan penya’ir, Masjid Amr
ibn ‘Ash dan Masjid Ibnu Thulun sebagai pusat ilmu.
C. Perkembangan di Bidang Ekonomi
a) Perdagangan dan industri
Segala usaha yang ditempuh untuk memajukan perdagangan dengan memudahkan jalan-jalannya,
seperti di bangun sumur dan tempat peristirahatan di jalan-jalan yang dilewati oleh kafilah dagang,
dibangun armada-armada dagang, dan dibangun armada-armada untuk melindungi pantai negara dari
serangan bajak laut. Serta membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi pasaran dagang,
mengatur ukuran timbangan, menentukan harga pasar (mengatur politik dagang) agar tidak terjadi
penyelewengan.
b) Pertanian dan perkebunan
Kota-kota administrasi seperti Basrah, Khufah, Mosul, dan al-Wasit pusat usaha-usaha
pengembangan pertanian dan rawa-rawa di sekitar Kuffah dikeringkan dan dikembangkan menjadi
kawasan pertanian yang subur, untuk menggarap daerah-daerah pertanian tersebut di datangkanlah
buruhtani dalam jumlah yang besar dari Asia Timur guna menciptakan ekonomi pertanian dan
perkebunan yang intensif. Di samping itu usaha untuk mendorong kaum tani agar lahir lebih intensif
dilakukan beberapa kebijakan antara lain:
1. Memperlakukan ahli zimmah dan nawaly denngan perlakuan yang baik dan adil,
serta menjamin hak milik dan jiwa mereka.
2. Mengambil tindakan yang keras terhadap pejabat yang berlaku kejam terhadap
petani.
3. Memperluas daerah pertanian dan membangun kanal-kanal dan bendungan baik
besar atau kecil, sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak ada irigasi.
c) Pendapatan negara
Selain dari sektor perdagangan, pertanian, dan penindustrian, sumber pendapatan negara juga
berasal dari pajak. Pada masa Harun al-Rasyid, pemasukan pada sektor ini mencapai 272 juta dirham dan
4,5 juta dina. Sementara pada masa al-Mu’tashim, pajak yang berhasil terkumpul meningkat sebesar
314.271.350 dirham dan 5.102.00 dirham. Kemudian zakat yang dibebankan atas tanah produktif, hewan
ternak, emas dan perak, barang dagangan, dan harta milik lainnya yang mampu berkembang baik secara
alami maupun setelah diusahakan.
d) Sistem moneter
Alat tukar yang digunakan adalah mata uang dinar (emas) dan Dirham (perak). Penggunaan mata
uang ini secara ekstensif mendorong tumbuhnya perbankan. Hal ini disebabkan para pelaku ekonomi
yang melakukan perjalanan jauh, sangat beresiko jika membawa kepingan-kepingan uang kredit.
Sehingga bagi para pedagang yang melakukan perjalanan digunakanlah sistem yang dalam
perbankan moderen disebut cek, yang waktu itu dinamakan shakk. Dengan adanya sistem ini pembiayaan
menjadi fleksibel. Artinya uang bisadidepositokan di satu bank di tempat tertentu, kemudian bisa ditarik
atau dicairkan lewat cek di bank lain. Dan cek hanya bisa dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yaitu
bank. Bank pada masa ini kejayaan islam juga sudah memberikan kredit bagi usaha-usaha perdagangan
dan industri. Selain itu juga bank sedah menjalankan fungsi sebagai currency exchange (pertukaran mata
uang).
D. Perkembangan di Bidang Sosial Budaya
Di antara kemajuan dalam bidang sosial budaya adalah terjadinya proses akulturasi danasimilasi
masyarakat.
E. Perkembangan di Bidang Administrasi
Pada masa Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) memindahkan ibukota negara yang awalnya Al-
Hasyimiyah menjadi ke kota yang baru dibangunnya Bagdad pada tahun 762 M.
Al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah
personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Pengangkatan wazir sebagai koordinator departemen,wazir pertama yang diangkat adalah Khalid
bin Barmak, berasal dari Balkh Persia, membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dewan
penyelidik keluhan, dan kepolisisan negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dan Muhammad
ibn Abdurrahman ditugaskan sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Selanjutnya Jawatan pos
yang telah ada sejak masa Dinasti Umaiyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Dulunya
hanya berfungsi untuk mengantar surat namun pada masa al-Manshur, jawatan pos diamanahkan untuk
menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar.
Terdapat perkembangan sistem pemerintahan dengan didirikannya :
(1) Kedinasan atau biro (diwan) diwan al-rasail yakni berkesanaan dengan kerja kearsipan atau
surat menyurat, (2) Diwan al-kharaj, yakni dinas yang menanangani pengumpulan pajak, (4)Diwan al-
jaysh, menangani pengeluaran militer khalifah, penanganan terhadap tugas-tugas pemerintahan dan
adanya tugas untuk melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah
F. Perkembangan di Bidang Politik
Wilayah kekuasaan Abbasiyah telah sudah Persia, Afganistan, sebagian India, Turkistan,
Balukhisran, sebagian Romawi Timur, Spanyol, dan lain-lain. Umat Islam telah mampu membentuk satu
imperium yang besar. Mampu menaklukkan negara-negara kaya sekaligus memiliki peradaban yang
tinggi, terutama Persia, Asia Kecil, Mesir, dan negerinegeri di Afrika Utara hingga Spanyol, dan
keseluruhannya merupakan pusat-pusat peradaban dunia pada masa itu.
Secara politisasi periode kekuasaan dinasti Abbasiyah dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pada Periode Ini Diawali Pemerintahan Abu Abbas Menjadi Khalifah-Khalifah Al-
Watsiq (232 H-847 M). Masa Ini Merupakan Masa Keemasan Dinasti Abbasiyah.
Terdapat Sepeluh Khalifah Yang Berkuasa Abul Abbas As-Saffah (132 H/750 M), Abu
Ja’far Almansur (136 H/754 M), Al-Mahdi (158 H/775 M), Al-Hadi (169 H/785 M),
Harun ArRasyid (170 H/786 M), Al-Amin (193 H/ 809 M), Al-Ma’mun (198 H/813 M),
Al-Ma’mun (198 H/813 M), Almu’tasim (218 H/ 833 M), Al-Watziq (227 H/ 842 M).
2. Periode lanjutan (tahun 847 M-945 M). periode ini di awali dengan meninggalnya
Khalifal Al-Watsiq dan berakhir ketika keluarga Buwaihi bangkit memerintah (847 M932
M). sepeninggal Al-Watsiq, Al-Mutawakil naik menjadi khalifah. Khalifah yang
berkuasa yang termasuk dalam periode ini ada 13 khalifah yakni: AlMutawakkil,
AlMuntasir, Al-Musta’in, Al-Mu’taz, Al-Muhtadi, AlMu’tamid, Al-Mu’tadhid, Al-
Muktafi, Al-Muqtadir, Al-Qahir, Arradhi, Al-Muttaqi, Al-Muktafi.
3. Periode Buwaihi (945 M-1055 M) Masa ini dimulai dengan bangkitnya Bani Buwaihi
hingga muncul Bani Saljuk. Kawasan Bani Buwaihi mencakup Irak dan Persia Barat.
Pada masa ini jabatan kekuasaan khalifah Abbasiyah secara de facto di pegang oleh bani
Buwaihi. Ada lima khalifah Abbasiyah: Al-Muktafi, Al-Muti, At-tai, Al-Qadir, Al-Qaim,.
Pada masa itu juga ada sebelas tokoh dinasti Buwaihi yang secara de facto menjadi
kepala pemerintahan: Ahmad Mu’izz Ad-Daulah (945 M), Bakhtiar Azz Ad-Daulah (967
M), Ad ad-Daulah (978 M), Syams Am ad-Daulah (983 M), Syraf ad-Daulah (987), Baha
ad-Daulah (989 M), Sultan ad-Daulah (1012 M), Musarrif a-Daulah (1021 M), Jalal ad-
daulah (1025 M) Imadudin Abu Kalijar (1044 M) dan Malik arRahim (1084 M) sampai
tahun (1055 M).
4. Periode Saljuk (1055-1258 M) Masa ini diawali ketika suku saljuk mengambil alih
pemerintahan dan mengontrol ke khalifahan Abbasiyah pada tahun 447 H / 1055 M.
Masa dinasti saljuk berakhir pada tahun 656 H / 1258 M. Pada masa ini ada dua belas
khalifah Abbasiyah, yakni: AlQaim, Al-Muqtadi, Al-Mustazir, Al-Mustarsyid, Ar-
Rasyid, Al-Muqtafi, Al-Mustanjid, Al-Mustadi, An-Nasir, Az-Zahir, AlMustansir, Al-
Musta’sim. Adapun para pemuka dinasti saljuk yang memerintah dibedakan antara
mereka yang berdomisili di bagdad, Ibukota Abbasiyah dan yang bertempat tinggal di
Iran adalah: mereka yang berdomisili di Bagdad; Tugrel Beiq (1038 M), Alp Arslan
(10631072 M), Maliksyah I (1072-1092 M), Mahmud I (1092 M), Barkiyaruk (1094 M-
1104 M), Maliksyah II (1105 M), Sanjar (1118 M), adapun yang berdomisili di Iran;
Mahd II (1118 M), Dawud (1131 M), Tugril II (1132 M), Mas’ud (1134 M) Maliksyah
III (1152 M), Sulai iman Syah (1160), Arslan (1161 M), dan Tugril III (11761194 M).
(Hakiki, 2012)
Pada masa pemerintahan Abbasiyah kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
1. Ibu kota negara dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad.
2. Menumpas semua keturunan Bani Umayyah yang membahayakan.
3. Dalam rangka politik, Dinasti Abbasiyah memperkuat diri dengan merangkul orang-
orang persia, Abbasiyah juga memberi peluang dan kesempatan kepad kaum mawali.
4. Menumpas pemberontakan-pemberontakan dalam kekuasaan pemerintahan
5. Menghapus politik kasta yang membahayakan pemerintahan. (Thohir, 2009: 53)
Terdapat Langkah-langkah lainnya yang digunakan dalam politik yaitu:
1. Para Khalifah tetap dari bangsa arab, sedangkan para menteri, gubernur, panglima perang
serta pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan mawali.
2. Kota Baghdad ditetapkan sebagai Ibukota Negara dan juga nenjadi pusat kegiatan Politik,
ekonomi, dan kebudayaan.
3. Kebebasan berfikir dan berpendapat mendapat bagian yang tinggi.Pada waktu
pemerintahan Abbasiyah II, kekuasaan dibidang politik berangsur mulai menurun,
terutama pada kekuasaan politik pusat disebabkan beberapa negara bagian sudah mulai
tidak memedulikan dan tunduk lagi pada pemerintahan pusat, kecuali pengakuan yang
dilakukan secara politis. Pada masa awal mula pemerintahan Abbasiyah, pertumbuhan
dalam bidang ekonomi dapat dikatakan stabil dan menunjukkan angka grafik vertikal.
Devisa yang didapatkan oleh negara penuh berlimpah-limpah. Khalifah al-Mansur adalah
tokoh ekonom Abbasiyah yang sanggup meletakkan kebijakan yang kuat pada bidang
ekonomi dan keungan negara.
G. Perkembangan di Bidang Militer
Al-Mu’tashim memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Umayyah,
Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang
sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Kekuatan militer
dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.
H. Faktor-faktor pendukung Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Pada masa dinasti Abbasiyah beberapa faktor-faktor kemajuan yang berhasil dicapai pada masa
keemasan peradaban Islam, di antaranya:
1. Pada masa ini perkembangan pemikiran secara intelektual maupun keagamaan
berkembang pesat, adanya kesiapan umat Islam untuk menyerap berbagai budaya dan
khazanah peradaban besar dan melakukan perkembangan secara inovatif. Pada masa ini
umat Islam atas dukungan dari khalifah yang berkuasa bersikap terbuka terhadap seluruh
umat non Arab (mawali).
2. Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari
pada perluasan wilayah seperti yang terjadi pada masa Dinasti Umayyah.
3. Adanya toleransi membentuk terjadi asimilasi antara bangsa Arab (Abbasiyah) dengan
bangsa lain non-Arab yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu
pengetahuan. Seperti pengaruh bangsa Persia dalam menata sistem pemerintahan dan
penguasaan dalam ilmu filsafat dan sastra
I. Teknologi Dinasti Abbasiyah
1. Bidang Kedokteran
Khalifah Abu Ja`far Al-Manshur saat sakit perut memanggil Ibn Bakhtisyu seorang kepala
rumahsakit Jundisyapur penganut Kristen Nestor. Pada masa Harun Al-Rasyid Ibn Bakhtisyu
mahir ilmu jiwa dalam menentukan penyakit neurotis serta pengobatannya. Pada masa Al-
Mu`tashim terkenal Yahya ibn Masuwaih sebagai dokter. Para khalifah Abbasiyah
bergantung pada dokter Irak, India dan Yunani. Pada masa Khlifah Al-Watsiq terkenal dokter
Ibn Bakhtisyu, Ibn Musawaih, Mikhail dan Hunyn ibn Ishaq. Khalifah Al-Watsiq (227-232
H/842-847 M), meminta seorang dokter yang beragama Nasrani Hunayn ibn Ishaq menyusun
sebuah buku, yang menerangkan tentang perbedaan makanan, obat, laktasit, anatomi tubuh,
racun dan obat pelunturnya. Hunayn menulis buku The Book of Physical Cases. Para dokter
masa ini menerangkan tentang mulut dan gigi, jenis, jumlah dan kegunaan masing-masing.
Koehen Al Attar Al Yahudi (ahli farmasi), menyusun buku Sinah`ah As Saidalah yang secara
rinci mengemukakan obat-obatan serta menjelaskan cara membuat obat yang diminum,
ditelan, berbentuk serbuk dan tablet.
2. Seni dan Arsitetur
Seni dekor mengalami kemajuan pesat, pada masa Abu Ja`far Al-Manshur. Dekorasi kubah
dari emas dan di atasnya terdapat patung yang bisa berputar jika tertiup angin. Al-Manshur
suka beristirahat, jika ingin melihat air ia duduk di kubah Pintu Gerbang Khurasan, bila ingin
melihat kawasan sekitar Bagdad ia duduk di Pintu Gerbang Syam. Bila ingin melihat Al
Kurkh ia duduk di Pintu Gerbang Basrah dan jika ingin melihat perkebunan dan pertanian ia
duduk di kubah Pintu Gerbang Kufah. Pada masa ini istana-istana menjadi media
menuangkan lukisan dan dekorasi, baik di bagian dalam maupun luar. Dekorasi dari bahan
gibs, ditutup dengan gordyn berhiaskan lukisan khas Persia. Ciri dekorasi masa ini adalah
dekorasi yang terbuat dari bahan gibs yang menutup bagian bawah dinding istana-istana,
seperti ditemukan oleh para penggali reruntuhan kota Samara. Gambar-gambar ditemukan
pada reruntuhan berupa binatang, burung dan manusia yang sedang berburu atau perempuan
yang sedang menari. Gaya Abbasiyah dalam seni dekor tekstil, benda-benda antik dari logam
dan keramik serta kayu telah menyebar di negara Islam pada waktu itu, hingga sampai Mesir,
Afrika dan Iran. Dalam teknik terkenal Al Hajjaj bin Ar Ta`ah yang membuat kaligrafi
Masjid Raya Bagdad pada masa Abu Ja`far Al Manshur. Bahkan Baqdad dijuluki sebagai
menara ilmu dan pengetahuan.

4. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyah


Menurut W. Montgomery, bahwa beberapa faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah
adalah :
1. Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan
daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya antara penguasa
dan pelaksana pemerintah sudah sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran
sangat besar. Pada saat iu kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup
memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M. A diantara hal yang menyebabkan kemunduran Daulah
Bani Abbasiayah Adalah :
1. Persaingan antar bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang
Persia, persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib pada saat pemerintahan
Bani Umayyah, keduanya sama-sama tertindas.Setelah dinasti Abbasiyah berdiri
Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.Pada masa ini persaingan antar
bangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa.Kecendrungan masing-masing bangsa
untuk berkusa telah dirasakan sejak awal pemerintahan Bani Abbas.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemerosotan Ekonomi bersamaan dengan
Kemunduran dibidang Politik.Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah
merupakan pemerintahan yang kaya, dan keuangan yang masuk lebih besar dari pada
yang keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan Harta. Setelah khalifah mengalami
periode kemunduran , pendapatan negara menurun, dengan demikian terjadi
kemerosotan ekonomi.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan masalah kebangsaan. Pada periode
Abbasiyah , konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga terjadi
perpecahan. Berbagai Aliran keagaam seperti Mu'tazillah, Syi'ah, Ahlus sunnah, dan
kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami
kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4. Perang Salib
Perang salib merupakan sebab dari eksternal ummat Islam.Pernag salib yang terjadi
beberapa gelombang banyak menelan korban.Konsentrasi dan perhatian Bani
Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salib sehingga memunculkan
kelemahan-kelemahan.
5. Serangan Bangsa Mongol
Serangan tentara mongol ke wilayah Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi
lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab
menyebabkan kekuasaan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah pada
kekuatan Mongol.

5. Masa Akhir Kekuasaan Bani Abbasiyah


Akhir dari kekuasaan Bani Abbasiyah adalah saat Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol
yang dipimpin oleh Hulagu Khan (656 H/1258 M). Ia adalah saudara dari Kubilay Khan yang berkuasa di
Cina sampai ke Asia Tenggara, dan saudaranya Mongke Khan yang menugaskannya untuk
mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina kepangkuannya. Baghdad dihancurkan dan
diratakan dengan tanah. Pada mulanya Hulagu Khan mengirim suatu tawaran kepada Khalifah Bani
Abbasiyah yang terakhir Al-Mu'tashim billah untuk bekerja sama menghancurkan gerakan Assassin.
Tawaran tersebut tidak dipenuhi oleh khalifah.Oleh karena itu timbullah kemarahan dari pihak Hulagu
Khan. Pada bulan september 1257 M, Khulagu Khan melakukan penjarahan terhadap daerah Khurasan,
dan mengadakan penyerangan didaerah itu. Khulagu Khan memberikan ultimatum kepada khalifah untuk
menyerah, namun khalifah tidak mau menyerah dan pada tanggal 17 Januari 1258 M tentara Mongol
melakukan penyerangan.
Pada waktu penghancuran kota Baghdad, khalifah dan keluarganya dibunuh disuatu daerah dekat
Baghdad sehingga berakhirlah Bani Abbasiyah. Penaklukan itu hanya membutuhkan beberapa hari saja,
tentara Mongol tidak hanya menghancurkan kota Baghdad tetapi mereka juga menghancurkan peradaban
ummat Islam yang berupa buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah hasil karya ummat Islam yang tak
ternilai harganya. Buku-buku itu dibakar dan dibuang ke sunagi Tigris sehingga berubah warna air sungai
tersebut, dari yang jernih menjadi hitam kelam karena lunturan air tinta dari buku-buku tersebut.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Daulay, Haidar, et.al. (2020). “Masa Keemasan Umayyah dan Dinasti Abbasiyah” Jurnal Kajian Islam
Kontemporer, 1(2). https://ejurnal.seminar-id.com/index.php/jurkam/article/view/612
Harimurti, Shubhi Mahmashony. (2015). “Seni pada Masa Pemerintahan Dinasti Abbasiyah Tahun 711-
950 M” Jurnal Kajian Seni, 1(2).
https://www.researchgate.net/profile/Shubhi-Harimurti/publication/
327595029_SENI_PADA_MASA_PEMERINTAHAN_DINASTI_ABBASIYAH_TAHUN_711-
950_MASEHI/links/5b99012792851c4ba81464d8/SENI-PADA-MASA-PEMERINTAHAN-DINASTI-
ABBASIYAH-TAHUN-711-950-MASEHI.pdf
Khairuddin & Muhammad Shaleh Assingkily. (2021). “Urgensitas Mendirikan Madrasah di Samping
Masjid (Studi Sejarah Pendidikan Islam Masa Pembaruan)” Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam,
10(01).
http://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/ei/article/view/1338
Maryamah. (2015). “Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah” Jurnal Tadrib, 1(1).
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Tadrib/article/view/1036
Oktaviyani, Vita Ery. (2018). “Ilmu dan Teknologi Dinasti Abbasiyah Periode Pertama” Jurnal Sejarah
Peradaban Islam, 2(1).
http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/juspi/article/view/1734

Anda mungkin juga menyukai