PENDAHULUAN
Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama seorang dari paman Nabi SAW
yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthallib ibn Hasyim. Ia seorang pribadi yang
tangguh dan memegang peranan penting dalam berdirinya Abbasiyah, sekaligus
menjadi kholifah pertama pada dinasti ini.
Meskipun pada awal berdirinya dinasti ini tampak jelas adanya berbagai
pembantaian yang mana guna memperkokoh dan menyetabilkan pemerintahan,
masa-masa keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya muncul berbagai
aliran dan mazhab dan lain sebagainya juga mendominasi dalam masa daulah ini.
Meskipun pada akkhirnya mengalami masa kehancuran juga seperti pada masa Bani
Umayyah.
1
Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang
sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah
kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171.
Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di
Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929,
sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
I.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: P.T. Jayamurti 1997), hlm. 44.
3
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan
yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang
antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti
Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan
jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama
dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa
bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari
itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan
kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut Crane
Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1. Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik
keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di
sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2. Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan
lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan
zaman.
3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang
berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4. Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh
orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa
oleh karena halhal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada .2
4
berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut
aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan
dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang
penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen
pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh
nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah
diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas
dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan
dan pertempuran (Hasjmy, 1993:211).
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia.
Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak,
terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada
mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad meninggal dan diganti
oleh anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas
bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabubg dalam gerakan rahasia ini. Semenjak
itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran.
Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh
di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.
Propaganda Abbasiyah ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi kholifah daulat
Bani Umaiyah. Umar memimpin dengan adil, ketentraman dan kestabilan negara
memberikan kesempatan kepada gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan
merencanakan gerakanya yang berpusat di al-Humaimah sebagai pusat perencanaan
dan organisasi. Kuffah sebagai pusat penghubung, dan Khurasan sebagai pusat
gerakan praktis. Muhammad meninggal pada tahun 125 H dan digantikan oleh
anaknya yang bernama Ibrahim al-Imam. Panglima perangnya dipilih seorang
panglima yang kuat. Asal nama Khurasan ini berasal dari nama Abu Muslim Al-
Khurasani. Abu Muslim berhasil merebut Khurasan dan kemudian menyusul
kemenangan demi kemenangan. Di awal tahun 132 H H Ibrahim al-Imam tertangkap
oleh pemerintah daulat Bani Umayyah dan dipenjara sampai meninggal. Dia
digantikan oleh saudaranya Abu al-Abbas. Tidak lama setelah itu balatentara
Abbasiyah dan Bani Umaiyyah bertemu di dekat sungai Zab bagian atas. Dalam
5
pertempuran itu Bani Abbas mendapat kemenangan, dan balatentaranya terus ke
negeri Syiria dan kota demi kota dapat dikuasainya, sehingga kemenangan dapat
dikatakan sempurna. Sejak itulah Daulat Abbasiyah berdiri dengan kholifahnya Abu
al-Abbas al-Asaffah. Daulat ini berlangsung hingga tahun 656 H/1258 M. Masa yang
panjang itu dilaluinya tidak dengan pola pemerintahan yang satu dan sama. Pola
pemerintahanya berubah sesuai dengan perubhan politik, budaya, sosial dan
penguasa.
6
politiknya, lebih dermawan, dan lebih berperan dalam pembelaan Islam. Periodenya
identik dengan negra yg aman dan kekayaan negara bertambah. Bahakan kelompok
mawali (non Islam) yang semula dari budak selanjutnya telah dimerdekan.
Abu Hanifah ialah seorang ahli di bidang hokum. Meski ia tidak terlibat
langsung dalam pembuatan keputusan-keputusan paradilan bahkan ia sendiri tidak
menulis karya-karya mengenai hokum. Tetapi ajarannya dilestarikan oleh para
pengikutnya terutama Abu Yusuf dan Asy Syaibani. Karena kecakapan
intelektualnya dan pendapat-pendapatnya yang masuk akal, ia memperoleh perhatian
istana khalifah dan ditunjuk sebagai qadhi di Baghdad. Bahkan Harun memberikan
gelar kepadanya “qadhil qudat” (hakim agung). Seperti Abu Hanifah, Imam Malik
juga seorang ahli hukum dan mendapat perlakuan dengan hormat oleh khalifah Al
Mahdi dan Harun. Bedanya, ia seorang fuqaha yang bergerak di Madinah, sedangkan
Hanifah di Kufah dan Baghdad. Karya utama yang dihasilkan oleh Imam Malik
adalah Al Muwatta’.
4
Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Op. cit., hlm. 149.
7
oleh Ma’mun. dari sinilah terdapat perubahan besar atau era baru dalam sejarah.
Khalifah baru tidak seperti pendhulunya yang suka berfoya-foya, hidup mewah,
pemalas. Ia sangat mencintai ilmu, ilmuwan dan kemajuannya seperti ayahnya,
Harun Al Rasyid. Dan ia menyerahkan tugas negara kepada wazir dan fadhal, sedang
ia pergi ke Merv dan di sana ia tenggelam dalam keasikan ilmu pengetahuan dengan
para cendekiawan dan filosof.
Di sisi lain dalam bidang ilmu pengetahuan, tidak lagi menjadi sesuatu yang
menonjol. Setelah Al Ma’mun wafat, Ahmad ibn Hanbal mendekam dipenjara
karena tidak mengakui Mu’tasim sebagai khalifah, di disiksa dan kemudian
dilepaskan. Mulai saat itu dan sampai berakhirnya pemerintahan Mu’tasim, beliau
beliau tidak memberikan kuliah, kadang-kadang karena dilarang dan kadang-kdang
karena dianggapnya tidak aman.5
5
Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Op. cit., hlm. 153
8
Pada pemerintahan harun ibn Mu’tasim (Wathiq bi Allah), mulai muncul
Amir Al Imarah. Jumalah mereka makin lama makin bertambah, menyebabkan
tahun-tahun ke depan sejarak Abbasiyah identik dengan sejarah tentara Turki.
Sampai pada khalifah Mutawakkil yang merupakan awal kemunduran politik Bani
Abbas. Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Mutawakkil wafat,
Turkilah yang memilih dan mengangkat khalifah dan terus sampai jajaran-jajaran
khalifah di bawahnya. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan
Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan khalifah.
Periode ini disebut juga sebagai periode pengaruh Persia yang pertama.
Periode ini disebut juga masa pengaruh Turki yang pertama. Pada periode ini
memang ada pemberontakan, seperti pemberontakan Zane di dataran rendah Irak
Selatan dan pemberontakan Qoramitha yang berpusat di Bahrain. Tetapi bukan itu
yang menybabkan gagalnya tewujudnya kesatuan politik daulat Abbasiyah.
Pada periode ini daulat bani Abbsaiyah di bawah pemerintahan bani Buwaih.
Keadaan kholifah lebih buruk dari pada masa sebelumnya, terutama karena bani
Buwaih merupakan penganut aliran syi’ah. Kholifah tidak lebih seperti pegawai
yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaanya kepada tiga
bersaudara. Ali wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan wilayah bagian utara,
dan Ahmad wilayah Al-ahwaz, Wasith dan baghdad. Dengan demikian Baghdad
pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahan Islam, yang mana pusat
pemerintahan Islam pindah di Syiriaz di tempat Ali Ibn Buwaih yang memiliki
kekuasaan umum daulat Bani Abbasiyah. Pada zaman bani Buwaih berkuasa di
9
Baghdad, telah terjadi beberapa kerusuhan antara aliran Ahl Al-Sunnah dan Syi’ah,
pemberontakan negara dan lainya.
Periode ini ditandai dengan kekuasaan bani Saljuk atas daulat Abbasiyah.
Kehadiran bani Saljuk ini adalah “undangan” kholifah untuk melumpuhkan kekuatan
bani Buwaih di Baghdad. Keadaan kholifah memang membaik, paling tidak
kewibawaanya dalam bidang agama kembali, setelah sempat beberapa lama
“dirampas” orang-orang Syi’ah. Pusat kekuasaan Islan pada periode ini tidak di
Bagdad. Mereka membagi wilayah kekuasaanya menjadi beberapa propinsi dengan
seorang Gubernur untuk masing-masing wilayah tersebut. Pada masa pusat
kekuasaanya melemah, setiap propinsinya memerdekakan diri, konflik dan
peperangan antar mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan kholifah
kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir di Irak di tangan
Khawariz Syah pada tahun 590 H/1199M.
Pada periode ini dinasti Abbasiyah tidak berada di bawah dinasti tertentu.
Bani Abbas kembali berkuasa, akan tetapi hanya di Bagdad. Wilayah kekuasaan
kholifah sangat kecil dan kekuatan politiknya sangat lemah. Pada masa inilah
kekuasaan Mongol dan Tatar di bawah pimpinan Hulahu Khan menghancur-
luluhkan daulat Abbasiyah dan tanpa ada perlawanan.6
6
Syafiq A Mughni Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 48.
10
1. Ilmu-ilmu Agama
Jika pada awal sejarahnya ilmu-ilmu keislaman seperti qiroat, tafsir hadits,
dan fiqih belum begitu matang, maka pada zaman ini telah mencapai kematanganya
yang diperlihatkan dengan lahirnya berbagi madzhab dan karya-karya tulis yang
disusun menurut sistematika penulisan buku seperti yang ada sekarang.
2. Ilmu-Ilmu Fisika
3. Ilmu-Ilmu Medis
Para peneliti Arab yakni Al-Yaqubi, jaihani, Ibnu Zubair, Abu Zin Balkhi,
Al-Astaqir, Masudi, Al-maqdisi, Al-Biruni, Yaqud dan lain-lainnya yang telah
mengeluarkan karya-karya hasil riset mereka mengajarkan ilmu baru kepada dunia
11
dan mengenai geografi dumia. Al-Idris membagi peta dunia dan mengenai geografi,
Ibnu Hikal menguraikan dunia dengan panjang lebar dan memperkenalkan provinsi-
provinsi di dunia melalui peta. Hasil-hasil Ibnu Batuta merupakan cerita perjalanan
terbaik yang pernah ditulis umat manusia. Selain itu terdapat nama Al-Khowarismi,
sebagai kartografer (pembuat peta) tertua di dunia.
6. Ilmu Mtematika
Al-Jabar, statistik dan semua cabang ilmu matematika terapan lainya adalah
hasil ciptaan orang-orang Islam, merekalah penemu ilmu ukur, bidang, lingkaran dan
bilangan-bilangan yang terdapat dalam matematika. Dalam perspektif Islam
matematika adalah suatu jalan yang menghubungkan antara yang dirasakan
(sensibel) dan yang dipikirkan (intelegible), antara alam yang selalu berubah dan
alam yang akan abadi. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal ialah Al-
Khawarizmi.
7. Astronomi
8. Ilmu Pertanian
12
Orang-orang Arab memberikan perhatiab besar terhadap agricultural
(pertanian). Mesir, Suriah, Irak, dan Hijas telah memperkenalkan alat-alat ukur yang
bermanfaat. Mereka juga terjun dalam riset bercocok tanam dan beternak.
9. Filsafat
10. Sejarah
Pada zaman Abbasiyah juga berkembang subur seni budaya, seperti seni
suara yang mana adanya penyair-penyair seperti Abu Nawas, Abu Atahiyah, Abu
Tamam, Da’bal Al-Khuza. Adapula seni drama yang sangat digemari oleh Abu Ala
Al-Mu’ary. Demikian pula seni musik yang mana pada zaman itu terkenalah nama
Yunus bin Sulaiman Al-Khatib sebagai pengarang musik yang pertama dalam Islam.
Adapun seni-seni yang lain seperti ; seni pahat, seni ukir, seni sulam, seni lukis, seni
bangunan dan lain-lain.7
13
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem
politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada
pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat
sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman
khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur
“Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “. Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah,
pola pemerintahan yang diterapkan berbedabeda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani
Abbasiyah I antara lain :
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima,
Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
b. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan
politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia .
d. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
e. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah
mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan
negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan
pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik saja . Panglima di daerah sudah
berkuasa di daerahnya ,dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan
sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; daulah Bani
Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah . Pada masa awal berdirinya
Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani
Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya
gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras terhadap
Bani Umayah . dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.8
Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu
dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan
wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz
8
Syafiq A Mughni, Ibid, Hlm. 57.
14
(sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan
bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya
berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai
lambang saja . Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti
lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180). Selain itu, untuk membantu
Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang
bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul
kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir
dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara
bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang,
amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial,
ekonomi dan budaya.9
Ketika rod pemerintahan dikuasai oleh bangsa Turki, karena tidak tahan
perbuatan-perbuatan kasar terhadap penduduk Baghdad, maka khalifah Al Mustakfi
bi Allah (944-946 M) terpaksa mengundang dan meminta bantuan kepada pemimpin
Buwayhia, Ahmad ibn Abu Shuza’ yang beraliran Syi’ah. Ahmad menyerang
Baghdad (945 M) dan berhasil mengusir tentara Turki. Hal ini merupakan peluang
bagi Ahmad yang menjadikan khalifah lemah dan bonekanya. Atas namanya, dinasti
ini di sebut Dinasti Buwayhia.10
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah
perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap
9
Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Cet. I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana
yogya, 1990), hlm. 126-127.
10
Montgomery Watt, ibid, hlm. 131.
15
dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan
yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan
di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-
dinasti kecil yang merdeka. Diantara Faktor lain yang menyebabkan peran politik
Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini
sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi,
apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi
sebelumnya.
Kehadiran Bani Buwaih berawal dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih,
pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk
keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang
ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka bergabung
dengan pasukan Makan Ibn Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam.
Setelah pamor Makan Ibn Kali memudar, mereka kemudian bergabung dengan
panglima Mardawij Ibn Zayyar al-Dailamy .Karena prestasi mereka, Mardawij
mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan
16
penting lainnya. Dari al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula.
Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan
Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang
bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti
Rayy, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari
khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk
perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia
melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.11
Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat
pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat
perebutan jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin
militer meminta bantuan kepada Ahmad Ibn Buwaih yang berkedudukan di Ahwaz.
Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal
Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat
menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah.
Saudaranya, Ali Ibn Buwaih, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan
pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan Ibn Buwaih yang
memerintah di bagian utara, Isfahan dan Rayy, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah.
Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para
khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini,
para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan
pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan
khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih
adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa
kekuasaan Bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan
Syi'ah, pemberontakan tentara, dan sebagainya.12
11
Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Op. cit., hlm. 149.
12
Badri Yatim, Op. cit, hlm. 59.
17
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan
dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota
dengan nama Dar al-Mamlakah. Meskipun demikian, kendali politik yang
sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali Ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta.
Dengan kekuatan militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya
memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak,
Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.
Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa Bani Buwaih
mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini
banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina
(980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w.
1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa
Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa
rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi
dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama
permadani.
Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama,
tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak
mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya,
pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-
Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan amir al-umara. Perebutan
kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu faktor
internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka. Faktor
internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang
berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara dijabat oleh
Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki
oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu
stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.
18
Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih, makin
banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran
dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah semakin gencarnya
serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti
kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Daulah-daulah itu,
antara lain dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang
jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan
lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan Dinasti Seljuk yang berhasil
merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih
2. Dinasti Saljuq
Tughril beg, cicit dari pendiri dinasti ini, bernama Saljuq mengaalahkan
kekuatan Turki cabang lain. Pada saat yang sama, para khalifah Abbasiyah sudah
gelisah atas perlakuan Amir Al Umara (Buwayhia). Dalam khutbah Jum’at
dibacakan nama khalifah Fatimiah dan Al Muntashir bi Allah (1035-1094 M),
menggantikan nama khalifah Abbasiyah tersebut. Dengan permintaan bantuan dari
khalifah Qa’im kepada Thughil, maka ia segera masuk Baghdad dan membebaskan
khalifah, maka dengan suka cita khalifah memberikan gelar “Sultan Al Masyariq wa
19
Al Maghrib” (penguasa Timur dan Barat) kepadanya.[10] Dari sinilah sultan-sultan
mulai menguasai politik Abbasiyah.13
3. Perang Salib
Pada masa Turki Saljuq, ketika dipimpin oleh Alp Arselan dan mengadakan
ekspansi yang terkenal dengan nama peristiwa Manzikart (1071 M0, tentara yang
hanya berkekuatan 15.000 prajurit mampu mengalahkan tentara Romawi yang
berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al Akraj, Al Hajr,
Perancis dan Rumania. Peristiwa ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian
orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang
Salib. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuq dapat merebut bait Al Maqdis
dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah.
13
A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (jakarta: P.T. Jayamurti 1973), hlm. 33.
20
II.5 Sebab -Sebab Hancurnya Dinasti Abbasiyah
21
Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu
sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-
orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu
pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah
khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan
itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang
Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk
melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas
ashabiyah tradisional.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas,
meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia,
Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu
itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam
tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga
fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.15
15
A Syalabi, Ibid. hlm. 55.
22
bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti
dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem
perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena
jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik
mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah
adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas
politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik
tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi
ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan
selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana
diuraikan terdahulu.
b. Kemerosotan Ekonomi
23
para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan
para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk
memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan
dan tak terpisahkan.
24
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara
muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran
dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah
oleh golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-
Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan
mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-
Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan
golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali (salaf) itu
terhadap Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah
menyempitkan horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha untuk
mengembalikan ajaran islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh
Rasulullah.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada
masa dinasti Seljuk yang menganut paham Sunni Salafy, penyingkiran golongan
Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran
Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung
aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut
mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas
intelektual Islam konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan: "Agama
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti juga agama Isa ‘alaihis
salaam, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan
pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam
suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih
besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal
yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia...
telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam ...Pendapat bahwa rakyat dan
kepala agama mustahil berbuat salah dan menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa
berharga".17
17
Imam As-Suyuthi, Ibid, hal. 57.
25
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
a. Faktor Internal
1. Persaingan antar Bangsa
2. Kemerosotan Ekonomi
26
3. Konflik Keagamaan
4. Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan
b. Faktor Eksternal
1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan
banyak korban.
2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.
27