Anda di halaman 1dari 40

http://latenrilawa-transendent.blogspot.

com/2009/06/sejarah-khilafah-fatimiyah-
mesir.html
A. PENDAHULUAN
Perjalanan sejarah peradaban Islam telah menuliskan bahwa dinasti Fatimiyah sebagai salah satu
dinasti Islam pada abad X telah membuat prestasi yang gemilang dalam sejarah peradaban di
dunia Islam. Dinasti Fathimiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi, cucu Ismail bin Jafar
al-Shidiq ini tergolong ke dalam pengikut Syiah Ismailiyah. Ismailiyah adalah salah satu sekte
Syiah yang mempercayai bahwa Ismail merupakan imam ketujuh, setelah Imam Jafar al-
Shadiq.[1]
Pusat pemerintahan semula berada di Tunisia dengan ibukota Qairuwan (909-971 M.), kemudian
pindah ke Kairo, Mesir (972-1171 M.). Dinasti ini merupakan dinasti Syiah Ismailiyah yang
pertama kali lahir, diiringi lahirnya Dinasti Bani Buwaih (932 M.) di Baghdad, dan belakangan
Kerajaan Safawi (1501 M.) di Persia.
Meskipun pada saat munculnya dinasti Fatimiyah menjadi rival Dinasti Bani Abbas di Baghdad
maupun Dinasti Bani Umayyah di Spanyol, Dinasti Fathimiyah membuktikan prestasinya yang
luar biasa kepada sejarah Islam di masa klasik. Hal ini juga menunjukkan bahwa pusat peradaban
Islam klasik, bukan saja di Baghdad, Spanyol, dan Samarkand, tetapi juga di Mesir di bawah
kepemimpinan Syiah.
Berangkat dari pemikiran itulah, makalah sederhana ini mencoba mengkaji lebih detail tentang
keberhasilan kelompok syiah dalam membentuk kepemerintahan dinasti Fatimiyah, pola
kebijakan politik yang dianutnya dan dampaknyan bagi pengembangan peradaban Muslim, dan
kajian akhir adalah kemunduran dan berakhirnya dinasti Fatimiyah ini.
1. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah.
Fatimiyah adalah dinasti Syiah yang dipimpin oleh 14 Khilafah atau Imam di Afrika Utara (909
1171). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syiah keturunan Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah (anak Nabi Muhammad saw). Kata fatimiyah dinisbatkan kepada Fatimah, karena
pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah Az Zahra binti Rasulullah. Dinasti
Fatimiyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu
Abu Muhammad Ubaidillah al Mahdi (297-322). Orang-orang Fatimy juga disebut juga kaum
Alawy, yang dihubungkan dengan keturunan Ali bin Abi Talib[2].
Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali Ibn Abu Thalib dan
Fathimah binti Rasulillah. Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini
merupakan cucu Ismail Ibn Jafar al Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syiah yang
ketujuh.
Setelah kematian Imam Jafah al-Shadiq, Syiah terpecah menjadi dua buah kelompok.
Kelompok pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Jafar,
sedang satu kelompok lainnya mempercayai Ismail Ibn Muhammad al-Maktum sebagai Imam
Syiah ketujuh. Kelompok Syiah kedua ini dinamakan Syiah Ismailiyyah. Syiah Ismailiyyah
tidak menampakkan gerakannya secara jelas[3] hingga muncullah Abdullah Ibn Maymun yang
membentuk Syiah Ismailiyyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Hal ini
merupakan ekses dari dari kekecewaan golongan Ismailiyah terhadap Bani Abbas atas
kerjasamanya merebut kekuasaan Bani Umayah. Seteleh perjuangan berhasil, dan Bani Abbas
berkuasa, sedikit demi sedikit mereka disingkirkan[4].
Melihat kenyataan politik yang tidak pernah menguntungkan, kelompok Syiah yang dipimpin
oleh abdullaah ibn Maymun merubah gerakannya sebagai sebuah system gerakan politik
keagamaan, dimana semula Ismailiyah tidak pernah menampakkan sebagai gerakan yang jelas.
Ia berjuang mengorganisir propaganda Syiah Ismailiyyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan
Fatimiyyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk
menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya dinasti
Fathimiyah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum kematian Abdullah Ibn Maymun pada tahun 874 M., ia menunjuk pengikutnya yang
paling bersemangat yakni Abu Abdullah al-Husayn sebagai pimpinan gerakan Syiah Ismailiyah.
la adalah orang Yaman dan sampai dengan abad kesembilan ia mengklaim sebagai gerakan wakil
al Mahdi. Ia menyebrang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya, ia berhasil menarik
simpatisan suku Barbar, khususnya dari kalangan suku Khitamah. Pada saat itu penguasa Afrika
Utara, Ibrahim ibn Muhammad, berusaha menekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-
sia. Ziyadatullah, putra dan sekaligus pengganti Ibrahim ibn Muhammad tidak berhasil menekan
gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-Husayn menulis
surat kepada Imam Ismailiyyah, Said Ibn Husayn al Salamah agar menggantikan kedudukannya
sebagai pemimpin tertinggi gerakan Ismailiyah. Said mengabulkan undangan tersebut, dan ia
memproklamirkan dirinya sebagai putra Muhammad al-Habib, seorang cucu Imam Ismail.
Setelah berhasil merebut kekuatan Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan
tertinggi gerakan Ismailiyyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat
pemerintahan dinasti Aghlabi, pada tahun 909 M., dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabi
yang terakhir, yakni Ziyadatullah. Said kemudian memproklamirkandiri sebagai imam dengan
gelar Ubaydullah al-Mahdi.[5]
Dengan demikian terbentuklah pemerintahan dinasti Fathimiyah di Afrika Utara dengan al-
Mahdi sebagai khalifah pertamanya.
1. 2. Khalifah-khalifah Dinasti Fatimiyah; Perkembangan Politik Dan Pemerintah.
Wilayah kekuasaan Fathimiyah meliputi Afrika Utara, Sicilia, dan Syria. Wilayah ini
sebelumnya merupakan wilayah dari Dinasti Bani Abbas, Dinasti Bani Umayyah di Spanyol, dan
Dinasti Aghlabiyah di Maroko. Dengan demikian, wilayah ini sangat luas, dari Yaman sampai
laut Atlantik, Asia Kecil dan Mosul. Untuk mengetahui upaya-upaya yang ditempuh para
khalifah dalam memperluas wilayah politik dan pemerintahanya. Berikut para khalifah dinasti
Fatimiyah disarikan dari tulisanya Moh. Nurhakim (Sejarah dan Peradaban Islam; 2003)[6]
Al-Mahdi (909-934 M.) memperluas wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika yang terbentang dari
perbatasan Mesir ke wilayah Fes di Maroko. Pada 910 M. ia menguasai Alexandria, kemudian
juga kota-kota lainnva seperti Malta, Syria, Sardina, Corsica, dll. Ia juga ingin menaklukkan
Spanyol dari kekuasaan Bani Umayyah. Karenanya, ia bekerjasama dengan Muhammad ibn
Hafsun, pimpinan oposisi di Spanyol. Namun, ambisi itu belum tercapai sampai ia meninggal
pada 934 M.
Al-Qaim (934-949 M), putra AI-Mahdi, mengadakan perluasan ke selatan Pantai Perancis pada
934 M. Di sana ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Saat itu
pula ia mengirim pasukan ke Mesir, tetapi gagal dan diusir oleh Dinasti Ikhsidiyah dari
Alexandaria. Ia dapat menghalau berbagai serangan dari `pemberontak Khawarij yang dipimpin
Abu Yazid, meskipun pada 946 M. meninggal dunia bertepatan dengan terjadinya
pemberontakan Abu Yazid di Susa. Anaknya, Al-Mansur menggantikanya dan mendirikan kota
Al-Mansuriyah yang megah di wilayah perbatasan Susa. Ia mampu mempertahankan prestasi
ayahnya dalam mengamankan seluruh wilayah Afrika di bawah kekuasaan Fatamiyyah,
meskipun berbagai serangan dari Khawarij terus dilancarkan.
Muiz (965-975 M.), putra Al-Mansur, adalah khalifah Fathimiyah yang paling besar. Ia berhasil
membawa rakyat damai dan makmur, di samping wilayahnya yang semakin dapat diperluas.
Setelah melakukan konsolidasi ke dalam, hingga mendapatkan pengakuan sukses dari rakyat, ia
baru melakukan perluasan wilayah. Tidak lama ia dapat menguasai Maroko dari Bani Umayyah
di Spanyol dengan pimpinan panglima Jauhar al-Shaqilli, selanjutnya ia mengutus Hasan ibn Ali
merebut wilayah pantai Spanyol, tetapi justru Abdurrahman III dari Spanyol menyerbu wilayah
Susa. Sementara Romawi memanfaatkan situasi dengan menyerbu Crete pada 967 M. yang
semula dikuasai oleh Islam sejak AI-Makmun. Namun, Fathimiyah berhasil nengambil Sicilia
dari kekuasaan Bizantine, kemudian membangun Universitas kedokteran yang sama besarnya
dengan universitas-universitas di maupun Cardova.
Prestasi politik muiz yang paling besar adalah penaklukkan Mesir. Penaklukkan kota Fusthat
tanpa perlawanan berarti pada 969 M. oleh panglima Jauhar al-Shaqili. Jauhar segera
membangun kota ini menjadi kota baru dengan nama Qahirah (Kairo). Sejak 973 kota ini
dijadikan ibukota Fathimiyah. Selanjutnya, Muiz mendirikan masjid Al-Azhar yang kemudian
beralih menjadi Universitas Al-Azhar yang berkembang hingga sekarang.[7] Universitas ini
dinilai sebagai universitas tertua di dunia dan paling berpengaruh di dunia Islam.
Al-Aziz (975-996 M.), putra Muiz, adalah khalifah yang paling bijaksana dan pemurah,
sehingga mampu membawa rakyat lebih makmur. la menekankan adanya perdamaian antara
pengikut agama, baik Islam maupun Kristen, sehingga salah satu wazirnya beragama Kristen,
yaitu Isa bin Nastur. Ia sberhasil membawa Fathimiyah pada puncak kemajuan yang
mengungguli Bani Abbas di Baghdad saat itu. Bangunan megah ia dirikan di Kairo seperti The
Golden Palace, The Pearl Pavillion, dan Masjid Karafa, serta Masjid Akademik Al-Azhar
diresmikan.
Salah-satu kebijakan al-Aziz yang membawa akibat yang cukup fatal adalah penarikan orang
Turki dan Negro sebagai basis pasukan militer. Hal ini dimaksudkan untuk menandingi kekuatan
Barbar. Ketika kelompok Barbar mulai menguasai jajaran militer, terjadilah persaingan antar ras
di tubuh militer Fatimiyyah yang pada gilirannya jadi salah salah satu factor kemunduran
Fatimiyyah. Pada masa-masa belakangan militer Turki semakin besar kekuatannya dan ketika
kekuatan Fatimiyyah mulai melemah, unsur-unsur militer mendirikan dinasti-dinasti yang mer-
deka.
Al-Aziz meninggal pada tahun 386 H/996 M. dan bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan
dinasti Fatimiyyah.
Al-Hakim (996-1021 M.), putra Al-Aziz, diangkat menjadi khalifah ketika berusia sebelas
tahun. Oleh karenanya, pemerintahan sangat dipengaruhi oleh gubernur Barjawan. Akhirnya,
pemerintahan tidak stabil, kekerasan berlangsung, dan tak dapat dihindarkan konflik dengan
umat Kristen dan Yahudi yang merasa hak-haknya dipersempit. Ia menyelesaikan
pembangunan Dar Al-Hikmah, sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan, sekaligus
dijadikan sebagai sarana penyebaran teologi Syiah.
Al-Zahir (1021-1036 M.), putra Al-Hakim, ia diangkat menjadi khalifah pada usia enam belas
tahun, sehingga pemerintahan disetir oleh bibinya, Sitt al-Mulk. Setelah sang bibi meninggal, ia
dijadikan boneka oleh para menterinya. Karena musibah banjir, rakyat menderita kekurangan
pangan, sedang harga barang tidak lagi terjangkau. Ia pernah mengusir sekelompok tokoh
mazhab Maliki dari Mesir karena persengketaan keagamaan di tahun 1025 M. Tetapi, pada
dasarnya Al-Zahir mempunyai toleransi terhadap Sunni dan Kristen.
Al-Mustanshir (1036-1095 M.), putra Al-Zahir, ia memerintah paling lama, 61 tahun. Masa
pemerintahannya yang pertama sepenuhnya di tangan ibunya, sebab sewaktu dinobatkan ia
masih berumur tujuh tahun. Padamasanya, pemerintahan Fathimiyah mengalami kemunduran
yang drastis. Demikian pula para khalifah setelahnya, Al-Mustali, Al-Amir, Al-Hafiz, Al-Zafl,
Al-Faiz dan Al Azid, tidak mampu lagi membawa pemerintahannya untuk kembali seperti
semula. Rata-rata mereka dinobatkan masih berusia sangat muda, sehingga pemerintahan disetir
oleh pihak lain. Khalifah terakhir Al-Azid berhasil diturunkan dari tahtanya oleh Shalahuddin al-
Ayyubi pada 1171 M. Maka, berdirilah kemudian Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Urutan Nasab Khalifah Dinasti Fatimiyah[8]
1. 3
. Pre
Dinasti Fatimiyah dalam Pengembangan Peradaban Islam.
1. Prestasi di bidang sains dan kebudayaan.
Dinasti Fatimiyyah di Mesir dapat dikatakan mengungguli prestasi BaniAbbas di Baghdad dan
Bani Umayyah di Spanyol pada saat yang sama, terutama prestasi dalam bidang ilmu
pengetahuan (sains). Pengembangan sains di sana bermula dari tradisi yang berhasil dirintis oleh
khalifah Al-Aziz. Ia adalah seorang sastrawan yang mempunyai perhatian besar dalam bidang
sains, seperti Al-Makmun di Bani Abbas. Tidak heran jika istana dijadikan sebagai pusat
kegiatan keilmuwan, tempat diskusi para ulama, fuqaha, qurra, nuhat, ahli hadis dan para pejabat
yang ikut juga terlibat di dalamnya. Sebagian para pejabat dan pegawai terdiri dari para ilmuwan
dalam berbagai disiplin i1mu.
Al-Aziz memberi gaji yang besar kepada para pengajar, sehingga banyak para ulama besar
pindah dari Baghdad ke Kairo. Al-Azhar dijadikan pusat studi ilmu-ilmu dari berbagai disiplin
ilmu. Di samping Al-Azhar, pada 1005 M. Al-Hakim mendirikan Dar al-Hikmah, sebagai pusat
studi pada tingkat tinggi, di dalamnya dilakukan diskusi, penelitian, penulisan dan penerjemahan,
serta pendidikan.
Pada masa ini muncul sejumlah ulama besar, diantaranya; Muhammad al-Tamimi (ahli fisika dan
kedokteran), Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat), al-Numan (ahli hokum dan menjabat sebagai
hakim), Ali Ibn Yunus (Ahli Astronomi), Ali al-hassan Ibn al-Khaitami (Ahli fisika dan
optik).[9]
Sektor pertanian sangat digalakkan, karena tanah negeri Mesir sangat subur berkat aliran sungai
Nil yang sangat melimpah. Karenanya, sistem pengairan melalui perbaikan irigasi dan kanal-
kanal dapat meningkatkan produktivitas pertanian: gandum, kurma, kapas, bawang putih dan
merah, serta kayu-kayu hutan untuk industri kapal-kapal dagang dan perang.

Dari sektor industri dan perdagangan, Mesir tekenal dengan hasil tenunan, kain sutra, wol dan
sebagainya yang diekspor ke Eropa. Selain textil, dibangun pula industri kristal, keramik,
kerajinan tangan, serta tambang besi, baja dan tembaga. Dengan dibangunnya armada laut yang
tangguh serta kapal-kapal dagang, maka sektor perdagangan pun sangat maju. Kota Fusthat,
Kairo, Qaus, dan Dimyati menjadi pusat perdagangan di Mesir. Iskandariyah adalah kota
pelabuhan internasional yang menjadi tulang punggung dan pusat pertemuan kapal-kapal dagang
Barat dan Timur. Pajak dari sektor perdagangan ini menjadi andalan utama bagi pemasukan dan
penunjang ekonomi negara.
Tradisi yang terbangun dalam dinasti Fatimiyah ini, doktrin Syiah begitu kental. Mereka
mengadakan hari-hari perayaan, termasuk hari perayaan kaum syiah seperti Maulud Nabi, hari
jadi sayyidina Hassan dan Husein serta hari jadi Siti Fatimah. Pada malam hari perayaan ini
semua masjid dinyalakan lampu dan tilawah turut diadakan di masjid-massjid.[10]
1. Kebijakan Politik dan Doktrin Keagamaan.
Ketika al-Muiz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab fikih;
Maliki, Hanafi, SyafiI, dan Hanbali. Sedangkan al-Muiz mmenganut faham Syiah. Oleh karena
itu, al-Muiz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan sunni dan
syiah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama syiah; dan sunni hanya
menduduki jabatan-jabatan penting rendah.
Pada tahun 379 M, semua jabatan diberbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh
Syiah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fatimiyah yang sunni beralih ke Syiah supaya
jabatannya meningkat.[11]
Doktrin Imamah bagi Syiah yang dikembangkan oleh pemerintahan syiah tidak hanya
berkonotasi theologi, tetapi juga berdimensi politis. Para pengikut Syiah berpendirian bahwa
jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan hanya Ahl al-Bait, yakni keturunan Ali
bin Abi Thalib dan Fatimah. Oleh karenanya, mereka tidak mau tunduk pada pemerintahan para
khalifah tersebut. Selain itu, mereka tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang mereka
anggap sebagai haknya itu melalui berbagai jalan termasuk pemberontakan dan peperangan.
Berdirinya Dinasti Bani Fathimiyah di Mesir ini juga antara lain dilatarbelakangi oleh doktrin di
atas.
Pemerintahan Fathimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat
keagamaan. Dalam arti bahwa hubungan-hubungan dengan agama sangatlah kuat, simbol-simbol
keagamaan, khususnya. Dalam hubunganya dengan keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam
mengurus pemerintahan. Seperti dinyatakan oleh Moh Nurhakim (2003;106-107)[12]bahwa
Fatimiyah membangun masjid-masjid., seperti Al Azhar dan Al Hakim, dengan menara serta
kubahnya vang menjulang bagaikan ketinggian para Imam, dan mengingatkan terhadap kota suci
Makkah dan Madinah Sebagai suatu cara memuliakan terhadap khalifah karena
kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan.
Selain itu, menurut Nur Hakim, memuliakan terhadap Imam yang hidup disejajarkan dengan
memuliakan terhadap kalangan Svuhada dari keluarga Nabi. Fatimiyah membangun sejumlah
makam keluarga Ali, seperti makam Husein di Mesir, dalam rangka meningkatkan peziarah serta
memberi kesan mendalam kepada masyarakat atas tempat-tempat suci dan keramat. Maka, pada
1153 M. kepala Husein, yang dipenggal dalam peperangan melawan Yazid bin Muawivah,
dipindahkan dari Ascalon ke Kairo, lalu di bangunlah makam Sayyaidina Husein yang sekarang
disebut perkampungan Husein.
Salah satu doktrin keimaman yang lain adalah bahwa Imam mesti dijaga oleh Allah dari
kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa. Selanjutnya, doktrin ini bisa
dimanfaatkan oleh para khalifah untuk membuat legitimasi keagamaan pada dirinva. MisaInva,
Ubaidillah Al Mahdi, pendiri Fatimiyah, adalah gelar dari Said bin Husain al-Salamiyah,
sekaligus dengan gelar ini dia menyatakan diri sebagai Imam dari Syiah Ismailiyah. Dengan
gelar ini, maka setidaknya akan menimbulkan kesan umum bahwa sang kholifah adalah seorang
imam yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal.
Imam dalam doktrin Syiah juga bersifat messianistik (Mahdiisme), yakni, ia dipahami sebagai
figur penyelamat di kala suatu bangsa yang mengalami keadaan konflik yang berkepanjangan
yang tak terselesaikan.
Sebagai akibat dari doktrin-doktrin Syiah, maka pemerintahan Fathimiyah mempunyai corak
yang militan, khususnya di masa awal kemunculannya. Usaha para pemimpin Syiah yang
kemudian diwakili oleh Ubaidillah untuk mewujudkan dinasti Fathimiyah dilakukan di bawah
tanah dalam waktu yang panjang dengan penuh militansi. Selanjutnya, pemerintahannya
bercorak keagamaan, dalam arti penggunaan simbol-simbol ritus maupun mitos dalam agama
sangatlah kental. Untuk memperoleh dukungan rakyat, make khalifah sering menggunakan
simbol-simbol keagamaan. Hal yang terakhir ini juga membawa pengaruh kepada corak
kebudayaannya yang religius.
1. Kemunduran dan akhir Dinasti Fatimiyah.
Melihat perjalanan dinasti Fatimiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran dinasti Fathimiyah
merupakan akumulasi dari masalah-masalah yang bermunculan khususnya di masa paruh kedua,
di mana suatu faktor dapat menyebabkan faktor-faktor yang lain. Secara ringkas, di antara
faktor-faktor yang paling menonjol adalah sebagai berikut[13]:
Pertama, melemahnya para khalifah, khususnya sejak Al Mustansir, ia adalah urutan khalifah
yang ketujuh. jika seluruh khalifah Fathimiyah berjumlah 14 orang, maka, dapatlah dikatakan
bahwa tujuh khalifah yang pertama kuat-kuat, sedang tujuh berikutnya rata-rata lemah.
Kelemahan ini disebabkan karena sewaktu dinobatkan menjadi khalifah usia mereka masih
sangat muda, seperti; Al-Hakim berusia sebelas tahun, Al Zahir berusia enam belas tahun, Al-
Amir disebut masih berusia hijau , Al-Zafir berusia tujuh belas tahun, AI-Faiz
dikatakanberusia balita, dan Al-Azid, khalifah terakhir, dinobatkan dalam usia Sembilan
tahun.
Lemahny para khalifah ini menyebabkan tampilnya orang-orang kuat dan berpengaruh
sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya, dan khalifah hanya sebagai boneka orang-
orang kuat misalnya, Barjawan, seorang gubernur Al Hakim, Sitt al-Mulk, bibi Al-Zahir, dan
Al-Azfal, perdana menteri Al-Amr. Tampilnya orang-orang kuat ini mengakibatkan
kecemburuan di pihak saudara-saudara para khalifah, dan membuat keadaan pemerintahan
diktator dan tidak stabil.
Di samping itu, lemahnya para khalifah disebabkan oleh intrik di sekitar istana sendiri yang
bersumber pada perasaan tidak adil jika terjadi pengangkatan khalifah berdasarkan kelompok
kepentingan yang kuat, dan bukan berdasarkan suatu sistem atau melalui wasiat.
Sebagai contoh, Nizar, kakak Al-Mustali, merasa kecewa berat karena al-Mustali, adiknya itu,
diangkat menjadi khalifah pengganti bapaknya Al-Mustanshir yang wafat. la merasa bahwa dia
adalah yang lebih berhak untuk jabatan itu dari pada adiknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk
menjadi gerakan oposisi terhadap adiknya yang dikenal dengan gerakan Assasin yang dipimpin
oleh Al-Hasan bin Al-Sabah. Gerakan ini belakangan berhasil membunuh dua orang khalifah,
Al-Mustali dan Al-Amir.
Kedua, perpecahan dalam tubuh militer. Dalam tubuh militer terdapat tiga unsur
kekuatan.Pertama, unsur bangsa Barbar yang sejak awal ikut berjuang mendirikan Dinasti
Fathimiyah.Kedua, unsur bangsa Turki yang berhasil masuk karena didatangkan oleh khalifah
Al-Aziz.Ketiga, unsur kekuatan bangsa Sudan yang didatangkan oleh khalifah Al-Mustanshir.
Tiga faksi ini selalu. bersaing dan sesekali terlibat dalam peperangan antar mereka. Peperangan
terbuka yang paling dahsyat adalah peperangan antara unsur Turki dan unsur Barbar. Sedang
khalifah yang lemah tidak mampu berbuat apa-apa. Hal ini menyebabkan kontrol milter terhadap
wilyah-wilayah menjadi lemah. Akhirnya, wilayah-wilayah dinasti yang demikian luas menjadi
berkurang secara berangsur-angsur karena melepaskan diri atau dikuasahi oleh dinasti yang lain.
Ketiga, bencana alam. Kekeringan yang melanda Mesir di samping menimbulkan penderitaan
rakyat karena kelaparan, wabah penyakit, perampokan dan lainnya, juga, bagi negara,
menyebabkan lumpuhnya perekonomian agraris yang hasilnya justru merupakan sumber devisa
utama Mesir. Kekurangan pangan yang melanda Mesir memaksa khalifah meminta bantuan
kepada Konstantin Monomachus untuk mengirim bahan-bahan makanan ke Mesir.
Kelemahan yang menyebabkan terjadinya kemunduran dalam dinasti Fathimiyah, pada
gilirannya memancing datangnya serangan dari pihak luar, yakni panglima Shalahuddin dari
dinasti Ayyubiyah. Karena prestasinya dalam Perang Salib, maka ia mudah mendapatkan simpati
masyarakat luas yang akhirnya dapat menaklukkan dinasti Fathimiyah dengan mudah pula.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pemaparan si atas dapat kami simpulkan bahwa Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan
Dinasti Ubaidillah, dengan pendirinya yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syria ke
Afrika Utara. Dinasti ini beraliran Syiah Islamiilah, pusat pemerintahannya di Cairo. Dinasti ini
mengalami kejayaannya pada masa khalifah Abu Mansur Nizar Al-Aziz (975 M 996 M). Dan
pada masa itulah, dengan prestasi gemilangnya dalam bidang pemerintahan, ekonomi sosial, di
bidang ilmu dan perkembangan intelektual islam, syiah Ismailiyah sebagai doktrin teologi dan
madzhab tata Negara Negara Fatimiyah mengalami masa keemasan.
Dinasti Fatimiyah dengan segala prestasi dan kemundduranya dalam tinta sejarah peradaban
dunia Islam telah menjadi perjalanan dinamika umat Islam di Mesir. Dalam rentang beberapa
periode dinasti ini telah mengukirkan nama harumnya bagi kemajuan dan kebesaran serta
kejayaan Islam.

Sejarah: Khilafah Fatimiyah Mesir
Transendent
KHILAFAH FATIMIYAH DI MESIR
(Pembentukan, Kemajuan dan Kemunduran)
by Abu Muslim

A. Latar Belakang
Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Islam Syiah untuk
mengembangkan konsep Islamnya melebihi isu hukum dan mistisme. Pada abad ke-VII dan ke-
VIII Masehi isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada
Khilafah Umayyah dan Abbasiyah yang direalisasikan dengan upaya keras untuk merebut
khilafah. Namun perjuangan mereka yang begitu lama dan berat untuk merebut kekuasaan
ternyata belum membuahkan hasil, justru secara politis kaum Muslim Syiah mengalami
penindasan dari Khilafah Umayyah dan Khilafah Abbasiyah.
Meski Khilafah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode
keemasannya hanya berlangsung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah
Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari
kekuasaan politik Khilafah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang
berasal dari golongan Syiah sekte Ismailiyah yakni sebuah aliran sekte di Syiah yang lahir
akibat perselisihan tentang pengganti imam Jafar al-Shadiq yang hidup antara tahun 700 756
M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang
tidak mengakui kekhalifaan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena
mereka menganggap bahwa merekalah ahlulbait sesungguhnya dari Bani Abbas.
Dalam perkembangannya Khilafah Fatimiyah mampu membangun sistem perpolitikan yang
begitu maju dan ilmu pengetahuan yang juga berkembang pesat, namun sebagaimana dinasti
kekhilafaan sebelumnya, Khilafah Fatimiyah juga mengalami zaman kemunduran dan
kehancuran. Untuk itu kajian lebih mendalam tentang eksistensi Khilafah Fatimiyah layak
dibahas untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya konstalasi pemerintahan dan peradaban
pada masa Khilafah Bani Fatimiyah.
B. Permasalahan
Dari paparan latar belakang tersebut di atas, maka yang jadi pokok permasalahan di sini adalah:
Bagaimana eksistensi Khilafah Fatimiyah di Mesir. Agar kajian ini lebih sistematis maka
masalah pokok tersebut akan dirinci ke dalam sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Proses Pembentukan Khilafah Fatimiyah?
2. Apa Kemajuan yang dicapai oleh Khilafah Fatimiyah?
3. Bagaimana pula Proses Kemunduran dan Kehanccuran Khilafah Fatimiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Pembentukan Khilafah Fatimiyah
Fatimiyah adalah dinasti syiah yang dipimpin oleh 14 khalifah atau imam di Afrika Utara (297-
567 H / 909-1171 M). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syiah, keturunan Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad). Kata Fatimiyah dinisbahkan kepada Fatimah,
karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah binti Rasulullah. Abbas Mahmud
al-Aqqad menyatakan bahwa setiap keturunan Fatimah Az-Zahra disebut orang-orang Fatimi.
Daulah Fatimiyah yang berarti suatu pemerintahan di bawah pimpinan/kekuasaan orang-orang
Fatimi (keturunan Fatimah). Daulah Fatimiyah disebut juga dengan Daulah Ubaydiyah yang
dinisbahkan kepada pendiri daulah ini yaitu Abu Muhammad Ubaidillah Al-Mahdi (297-332 H /
909-934 M). orang-orang Fatimiyah disebut juga kaum Alawi yang dihubungkan dengan
keturunan Ali bin Abi Thalib. Ubaidillah al-Mahdi sebagai pendiri daulah Fatimi mempunyai
silsilah keturunan yang berasal dari Ali bin Abi Thalib seperti halnya sisilah imam-imam Syiah.
Berdirinya Dinasti Fatimiyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10, bilamana
kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas
tidak terkoordinasikan lagi. Kondisi seperti ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-
dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri.
Kondisi Abbasiyah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari kelompok-kelompok
yang selama ini merasa tertindas serta mebuka kesempatan bagi kelompok Syiah, Khawarij dan
kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.
Munculnya gerakan fatimiyah, yang di Afrika Utara mencapai kekuasaannya di bawah pimpinan
Ubaidillah al-Mahdi, berakar pada sekte syiah ismailiyah yang doktrin-doktrinnya berdimensi
politik, agama, filsafat dan sosial dan para pengikutnya mengharapkan kamunculan al-Mahdi.
Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi saw melalui Ali dan Fatimah melalui garis Ismail,
putra Jafar as-Sadiq. Namun musuh-musuh mereka manolak bahwa asal-usul mereka tersebut
adalah dari Ali, menuduh mereka panipu dan sesuai dengan kebiasaan Arab kuno untuk memberi
asal-usul Yahudi pada orang-orang yang mereka benci; Ubaidillah dituduh sebagai keturunan
Yahudi. Sampai sekarang pun asal-usul mereka tersebut masih belum diketahui kepastiannya.
Di Afrika Utara, kelompok Syiah Ismailiah mengkonsolidasikan gerakannya, dan pada tahun 909
Ubaidillah al-Mahdi memproklamirkan berdirinya Khalifah Fatimiyah yang terlepas dari
kekuasaan Abbasiyah. Ia mulai memperkuat dan mangkonsolidasikan khilafahnya di Tunisia
dengan bantuan Abdullah asy-syii, seorang dai Ismailiyah yang sangat berperan dalam
mendirikan Daulah Fatimiyah di Tunis. Waktu itu muncul juga perlawanan-perlawanan terhadap
khilafah ini dari kelompok-kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke
Dinasti Umayyah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar.
Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khilafah Fatimiyah di bawah al-Muizz (Khalifah
keempat) dengan panglimanya Jauhar al-Katib as-Siqilli dapat menguasai Mesir pada tahun 969.
Ia mendirikan kota baru yang disebut al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota kemenangan dan
kemudian menjadi ibukota Khilafah Fatimiah pada masa-masa selanjutnya.
Mesir memasuki era baru di bawah pemerintahan Fatimiyah, Khalifah dengan gelar Muiz sistem
pemerintahan dibenahi dengan membagi-bagi wilayah propinsi menjadi sebuah distrik dan
mempercayakannya kepada pejabat-pejabat yang cakap, ia juga menertibkan bidang kemiliteran,
industri dan perdagangan mengalami kemajuan pesat dan melakukan gerakan pembaharuan.
Dinasti Fatimiyah merupakan Khilafah beraliran syiah yang berkuasa di Mesir tahun 297/909 M
sampai 567/1171 M selama kurang lebih 262 tahun. Para penguasa yang pernah berkuasa adalah:
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi bi'llah (909-934).
2. Abu l-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur bi-llah (946-953).
4. Abu Tamim Ma'add al-Mu'izz li-Dinillah (953-975).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975-996).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996-1021).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Tahir li-I'zaz Dinillah (1021-1036).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustanzir bi-llah (1036-1094)
9. al-Musta'li bi-llah (1094-1101).
10. al-Amir bi-Ahkamullah (1101-1130).
11. 'Abd al-Majid al-Zafir (1130-1149).
12. al-Zafir (1149-1154).
13. al-Fa'iz (1154-1160).
14. al-'Adid (1160-1171).
B. Kemajuan yang Dicapai oleh Khilafah Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah mencapai puncaknya pada periode Mesir, terutama pada masa kepemimpinan
al-Muizz, al-Aziz dan al-Hakim. Puncaknya adalah masa al-Aziz. Mesir senantiasa berada
dalam kedamaian dan kemakmuran rakyatnya karena keadilan dan kemurahhatian sang khalifah.
Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah Jumat di sepanjang wilayah
kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah. Al Aziz adalah khalifah
kelima yang berkuasa di dinasti Fatimiyah dan merupakan khalifah pertama di Mesir.
Pada masa ini terjadi perluasan wilayah dan pembangunan dalam kerajaan dan wilayah kerajaan,
istananya bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar,
dan keamanan terjamin. Perekonomian dibangun, baik dari sektor pertanian, perdagangan
maupun industri sesuai dengan perkembangan teknologi pada waktu itu.
Sumbangan dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam sistem
pemerintahan, kebudayaan, politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan, kemajuan yang
terlihat antara lain:
Di Bidang Pemerintahan, Fatimiyah berhasil mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan
peradaban yang berlainan yang jarang disaksikan di Timur. Hal ini sangat menarik perhatian
karena sistem administrasinya yang sangat baik sekali, aktifitas artistiknya, luasnya toleransi
religiusnya, efesiensi angkatan perang dan angkatan lautnya, kejujuran pengadilan-
pengadilannya, dan terutama perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Di Bidang Kebudayaan, dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat, terutama setelah didirikannya
Masjid al-Azhar yang sekarang dikenal dengan Jamiat al-Azhar (universitas al-Azhar), yang
berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan
selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok Syiah mahupun
Sunni.
Di Bidang Politik, dilakukan oleh Khilafah Fatimiyah dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan
yang bersifat politis yang dikeluarkan oleh khalifah, di antaranya:
1. Pemindahan pusat pemerintahan dari Qairawan (Tunisia) ke Kairo (Mesir) adalah merupakan
langkah strategis. Mesir akan dijadikan sebagai pusat koordinasi dengan berbagai Negara yang
tunduk padanya, karena lebih dekat dengan dunia Islam bagian Timur, sedangkan Qairawan jauh
di sebelah utara Benua Afrika.
2. Perluasan wilayah. Pada masa khalifah al-Azis telah menguasai daerah yang meliputi negeri
Arab sebelah timur sampai Laut Atlantik sebelah barat dan Asia kecil sebelah utara sampai
Naubah sebelah selatan.
3. Pembentukan Wazir Tanfiz yang bertanggung jawab mengenai pembagian kekuasaan pusat
dan daerah.
Namun Fatimiyah kurang berhasil di bidang politik dalam dan luar negeri, terutama ketika
menghadapi kelompok nasrani dan sunni yang sudah lebih dahulu mapan daripada Mesir.
Di Bidang Keilmuan dan Kesusastraan. Ilmuwan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah
adalah Yakub Ibnu Killis yang berhasil membangun akademi keilmuan dan melahirkan ahli
fisika bernama al-Tamimi dan juga seorang ahli sejarah yaitu Muhammad ibnu Yusuf al-Kindi
dan seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah al-AAzis yang berhasil
membangun masjid al-Azhar.
Kemajuan yang paling fundamental di bidang keilmuan adalah didirikannya lembaga keilmuan
yang bernama Darul Hikam, serta pengembangan ilmu astronomi oleh ahli ibnu Yunus dan Ali
al-Hasan dan Ibnu Hayam karyanya tentang tematik, astronomi, filsafat fan kedokteran telah
dihasilkan pada masa al-Mansur terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku
dan 2400 illumited al-Quran.
Di Bidang Ekonomi dan Sosial, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi yang mengungguli
daerah-daerah lainnya dan hubungan dagang dengan dunia non muslim dibina dengan baik, serta
di masa ini pula banyak dihasilkan produk islam yang terbaik. Dikisahkan pada suatu Festifal,
khalifah sangat cerah dan berpakaian indah, istana khalifah dihuni 30.000 orang terdiri 1200
pelayan dan pengawal, juga masjid dan perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah
yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru, pemandian umum yang dibangun
dengan baik, pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai
produk dari seluruh dunia.
Kemakmuran Mesir ini terjadi pada masa pemerintahan al-Azis yang memiliki sifat dermawan
dan tidak membedakan antara syiah dan sunni, Kristen dan agama lainnya, sehingga banyak dai
sunni yang belajar ke al-Azhar. Walaupun dinasti ini bersungguh-sungguh dalam mensyiahkan
orang Mesir tapi tidak ada pemaksaan, inilah salah satu bentuk kebijakan yang diambil oleh
khalifah Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial
masyarakat Mesir.
Dari pemaparan tersebut di atas dapatlah kiranya ditarik benang merah dari kemajuan yang
dicapai Dinasti Fatimiyah antara lain karena:
a. Pemimpinnya Bijaksana
b. Militernya kuat.
c. Administrasi pemerintahannya baik.
d. Ilmu pengetahuan berkembang dan ekonomi stabil.
e. Kehidupan bermasyarakat tentram dan damai.

C. Masa Kemunduran dan Kehancuran Khilafah Fatimiyah
Kemunduran Khilafah Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah berakhirnya masa pemerintahan al-
Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari
Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan
perselisihan yang terjadi diantara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku barber
menjadi salah satu sebab utama keruntuhan Dinasti ini.
Khalifah al-Azis meninggal pada tahun 386 H / 996 M lalu digantikan oleh putranya Abu Ali
Manshur al-Hakim yang baru berusia 11 tahun. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-
tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh bebrapa orang wazirnya, menghancurkan
beberapa gereja Kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009). Dia memaksa
umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, dan mereka hanya dibolehkan
menunggangi kedelai; setiap orang Kristen diharuskan menunjukkan salib yang dikalungkan di
leher ketika mandi, sedangkan orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala
berlonceng.
Al-Hakim adalah khalifah ketiga dalam Islam, setelah al-Mutawakkil dan Umar II yang
menetapkan aturan-aturan ketat kepada kalangan nonmuslim. Jika tidak, tentu saja keuasaan
Fatimiyah akan sangat nyaman bagi kalangan dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan kuburan
suci ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibnu Abdun, dan tindakan itu
merupakan sebab utama terjadinya perang salib.
Pamor Dinasti Fatimiah semakin menurun karena banyaknya khalifah yang diangkat pada usia
masih sangat belia, sehingga di samping mereka hanya menjadi boneka para wazir juga timbul
konflik kepentingan di kalangan militer antara unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan dan Sudan.
Terlebih lagi, para penguasa itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan adanya
pemaksaan ideology Syiah pada rakyat yang mayoritas Sunni.
Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara
pejabat dan militer dan ketidakpuasan rakyat atas kebijakan pemerintah, muncul bayang-bayang
serbuan tentara Salib. Merasa tidak sanggup menghadapi tentara Salib. Khalifah az-Zafir melalui
wazirnya Ibnu Salar minta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah
kekuasaan Baghdad. Nuruddin az-Zanki mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima
Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayyubi yang kemudian berhasil membendung invasi
tentara Salib ke Mesir.
Dalam perkembangan selanjutnya, dalam tubuh Dinasti Fatimiah masih juga terjadi persaingan
memperebutkan wazir. Dalam persaingan itu, bahkan ada yang mengundang kembali tentara
Perancis (Salib) untuk dijadikan backing. Maka pada tahun 1167 pasukan Nuruddin az-Zanki
kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali
ini tidak hanya untuk membantu melawan kaum Salib tetapi juga untuk menguasai Mesir.
Daripada Mesir dikuasai oleh tentara Salib lebih baik mereka sendiri yang menguasaninya.
Apalagi perdana menteri Mesir pada waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan.
Akhirnya mereka berhasil mengalahkan tentara Salib sekaligus juga menguasai Mesir.
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Ia mendapat dukungan dari
masyarakat setempat yang mayoritas Sunni. Kesempatan ini, juga bertepatan dengan sakitnya al-
Adid, oleh Nuruddin dipergunakan untuk menghidupkan kembali Khalifah Abbasiyah di Mesir.
Maka pada tahun 1171 berakhirlah riwayat Dinasti Fatimiah di Mesir yang telah bertahan selama
262 tahun.
1. Pendahuluan
Keruntuhan sedikit demi sedikit hegemoni Daulah Abbasiyah sebuah konsekwensi dari
lemahnya kepemimpinan dan dukungan politik dari berbagai daerah kekuasaan. Tuntutan
otonomi daerah bertopeng kepentingan agama demi kekuasaan juga memperlihatkan perannya.
Lebih dari itu, tuntutan perkembangan zaman dan kemajuan masyarakat serta merta mengubah
cara pandang yang tidak bisa tunduk dengan kezaliman selamanya. Di atas puing-puing
keruntuhan itu, ada banyak dinasti muncul dalam arti memerdekakan diri, yang berangkat dari
akar kepentingan politik kekuasaan dan perbedaan pemahaman agama, suku, ras dan bangsa.
Terutama aliran besar dalam Islam, Sunni dan Syiah yang selalu bergesekan dalam bidang
politik dan kekuasaan. Aliran ini pada dasarnya, merupakan alasan klasik yang selalu terjadi
dalam sejarah Islam.[1]
Salah satu dinasti yang muncul adalah dinasti Fathimiyah yang berasal dari golongan bani
Ubaidi. Bani Ubaidi berasal dari daerah magribi (Tunisia) mereka terus memperkuat diri dan
memperluas wilayah kekuasaaan. Kerajaan yang bernaung di bawah Bani Abbas semuanya
mereka kuasai, pertama yang ada di Maghribi dan kemudian terdapat di Afrika. Disaat Dinasti
Abbasiyah terus menuju kehancurannya, Dinasti Bani Ubaidi terus melebarkan kekuasannay
hingga Mesir, Syria, dan Hejaz.
Dinasti Fatimiyah mencapai puncaknya pada periode Mesir, terutama pada masa kepemimpinan
al-Muizz, al-Aziz dan al-Hakim. Puncaknya adalah masa al-Aziz. Mesir senantiasa berada
dalam kedamaian dan kemakmuran rakyatnya karena keadilan dan kemurahhatian sang khalifah.
Nama sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah Jumat di sepanjang wilayah
kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah. Al Aziz adalah khalifah
kelima yang berkuasa di dinasti Fatimiyah dan merupakan khalifah pertama di Mesir. Pada masa
ini terjadi perluasan wilayah dan pembangunan dalam kerajaan dan wilayah kerajaan, istananya
bisa menampung 30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar, dan
keamanan terjamin. Perekonomian dibangun, baik dari sektor pertanian, perdagangan maupun
industri sesuai dengan perkembangan teknologi pada waktu itu.[2]
Sumbangan dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam sistem
pemerintahan, kebudayaan, politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan, kemajuan yang
terlihat antara lain:[3]
1. Di Bidang Pemerintahan, Fatimiyah berhasil mendirikan sebuah Negara yang sangat luas dan
peradaban yang berlainan yang jarang disaksikan di Timur. Hal ini sangat menarik perhatian
karena sistem administrasinya yang sangat baik sekali, aktifitas artistiknya, luasnya toleransi
religiusnya, efesiensi angkatan perang dan angkatan lautnya, kejujuran pengadilan-
pengadilannya, dan terutama perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
2. Di Bidang Kebudayaan, dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat, terutama setelah didirikannya
Masjid al-Azhar yang sekarang dikenal dengan Jamiat al-Azhar (universitas al-Azhar), yang
berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan
selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok Syiah maupun
Sunni.
3. Di Bidang Politik, dilakukan oleh Khilafah Fatimiyah dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan
yang bersifat politis yang dikeluarkan oleh khalifah, di antaranya:
Pemindahan pusat pemerintahan dari Qairawan (Tunisia) ke Kairo (Mesir) adalah merupakan
langkah strategis. Mesir akan dijadikan sebagai pusat koordinasi dengan berbagai Negara yang
tunduk padanya, karena lebih dekat dengan dunia Islam bagian Timur, sedangkan Qairawan jauh
di sebelah utara Benua Afrika
Perluasan wilayah. Pada masa khalifah al-Azis telah menguasai daerah yang meliputi negeri
Arab sebelah timur sampai Laut Atlantik sebelah barat dan Asia kecil sebelah utara sampai
Naubah sebelah selatan.

Pembentukan Wazir Tanfiz yang bertanggung jawab mengenai pembagian kekuasaan pusat dan
daerah.
Namun Fatimiyah kurang berhasil di bidang politik dalam dan luar negeri, terutama ketika
menghadapi kelompok nasrani dan sunni yang sudah lebih dahulu mapan daripada Mesir.
4. Di Bidang Keilmuan dan Kesusastraan. Ilmuwan yang paling terkenal pada masa
Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis yang berhasil membangun akademi keilmuan dan
melahirkan ahli fisika bernama al-Tamimi dan juga seorang ahli sejarah yaitu Muhammad ibnu
Yusuf al-Kindi dan seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah al-AAzis yang
berhasil membangun masjid al-Azhar. Kemajuan yang paling fundamental di bidang keilmuan
adalah didirikannya lembaga keilmuan yang bernama Darul Hikam, serta pengembangan ilmu
astronomi oleh ahli ibnu Yunus dan Ali al-Hasan dan Ibnu Hayam karyanya tentang tematik,
astronomi, filsafat fan kedokteran telah dihasilkan pada masa al-Mansur terdapat perpustakaan
yang di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2400 illumited al-Quran.
5. Di Bidang Ekonomi dan Sosial, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi yang mengungguli
daerah-daerah lainnya dan hubungan dagang dengan dunia non muslim dibina dengan baik, serta
di masa ini pula banyak dihasilkan produk islam yang terbaik. Dikisahkan pada suatu Festifal,
khalifah sangat cerah dan berpakaian indah, istana khalifah dihuni 30.000 orang terdiri 1200
pelayan dan pengawal, juga masjid dan perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah
yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru, pemandian umum yang dibangun
dengan baik, pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai
produk dari seluruh dunia.
Kemakmuran Mesir ini terjadi pada masa pemerintahan al-Azis yang memiliki sifat dermawan
dan tidak membedakan antara syiah dan sunni, Kristen dan agama lainnya, sehingga banyak dai
sunni yang belajar ke al-Azhar. Walaupun dinasti ini bersungguh-sungguh dalam mensyiahkan
orang Mesir tapi tidak ada pemaksaan, inilah salah satu bentuk kebijakan yang diambil oleh
khalifah Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial
masyarakat Mesir.
Maka dalam penulisan makalah ini, penulis ingin mengetahui bagaimana tatanan sistem politik
pada masa kekuasaan Dinasti Fathimiyah.

1. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Fatimiyah berasal dari sutu tempat yang kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiya) namun setelah
penaklukan Mesir sekitar 971 M, ibukotanya dipindahkan ke Kairo. Di masa
Fatimiyah, Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut
Merah Afrika, Palestina, Suriah,Yaman, dan Hijaz. Di masa Fatimiyah, Mesir berkembang
menjadi pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia, yang menentukan
jalannya ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan Akhir yang saat itu dialami Eropa.[4]
Dinasti Fathimiyahberdiri pada tahun 909 hingga 1171 Masehi. Saat itu kondisi Dinasti
Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu lagi mengatur daerah kekuasaan yang luas.
Dalam keadaan seperti itu, sekelompok Syiah Islamiyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan
untuk memerdekakan diri. Gerakan yang membangkitkan negara baru ini merupakan gerakan
bahwa tanah yang tidak bisa ditelusuri secara jelas. Namun yang jelas, gerakan ini merupakan
cabang dari Syiah Islamiyah, yang mengakui enam Imam pertama Syiah Islamiyah, namun
berselisih mengenai Imam ketujuh. Bagi kaum Imamiyah, Musa al-Kazim putra Jafar al-Sahdiq
adalah imam yang ketujuh, sedangkan kaum Ismailiyah mengakui Ismail sebagai Imam Ketujuh.
Bagi golongan Ismailiyah, karena Ismail wafat lebih dahulu dari bapaknya, hak maka yang
dinobatkan adalah Musa al-Kazim. Sementara menurut pengikut Ismail, hak atas Ismail sebagai
imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah meninggal.[5]

Sejak pemimpin ketujuh mereka, Ismail meninggal, aktivitas aliran Ismailiyah dimulai karena
khalifah-khalifah Abbasiyah mengadakan penyelidikan, maka golongan yang setia kepada Ismail
bin Jafar terpaksa harus meninggalkan Salamiyah, kota kecil di wilayah Hammah, Syria,
menuju Afrika Utara. Di sini `mereka mulai melancarkan propaganda politik untuk memperoleh
dukungan rakyat. Gerakan ini dipimpin oleh seorang orator handal Ismailiyah bernama Abu
Abdullah, yang dikenal dengan sebutan al-Syii. Propaganda mereka meliputi: akan memperbaiki
kehidupan ekonomi dan sosial kemasyarakatan, munculnya al-Madi yang akan membebaskan
rakyat dari penindasan dan terror, menyatakan bahwa mereka akan lebih dekat kepada Nabi dari
pada Dinasti Ummayyah dan Abbasiyah. [6]
Menjelang tahun 909 gerakan ini sudah memperoleh banyak dukungan sehingga mampu
mengusir Dinasti Aghlabi dari Afrika Utara dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengundang
Ubaidillah yang mereka klaim sebagai al-Mahdi dan Januari 910 menjabat sebagai Amirul
Mukminin.[7]
Dengan dimikian resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bernama Dinasti Fathimiyah dengan
Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama, pendukung Ubaidillah adalah suku-suku Barbar
yang berpindah-pindah, yang juga telah menjadi pengikut Syiah Ismailiyah. Mereka bersikap
melawan kaum Aghlabiyah yang terdiri dari suku bangsa Arab aliran sunni dan terikat dengan
penguasa Abbasiyah. Suku Barbar ini berpotensi untuk memberontak terhadap penguasa di
Baghdad, karena masih satu keturunan dengan penguasa Bani Ummayyah yang digulingkan Bani
Abbasiyah di Baghdad. [8]

Itulah alasan mengapa Tunisia dijadikan basis untuk membangun kekuasaan dunia Islam baru,
guna menggeser kekuasaan Abbasiyah. Di Afrika Utara, kekuasaan mereka segera menjadi
besar. Tahun 909 mereka dapat menguasai Dinasti Rustamiyah dan menyerang Bani Idrisyiyah
yang sedang menguasai Maroko. Perang antar daerah kekuasaan Islam antar dinasti menjadi
fenomena yang tidak dapat diselesaikan oleh Abbasiyah sebagai rezim yang berkuasa.
Fokus Dinasti Fathimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan umat Islam bahwa
mereka adalah keturunan Fathimiyah puteri Rasulullah dan Isteri dari Ali bin Abi Thalib para
khalifah Fathimiyah merujuk asal-asal mereka kepada pasangan suami isteri ini. Sebagaimana
diketahui, dinasti ini berakar pada Syiah Ismailiyah, para pengikutnya mengharapkan
kemunculan Imam al-Mahdi. Mereka mengakui diri mereka adalah keturunan Nabi melalui Ali
dan Fathimah lewat garis Ismail putera Jafar al-Shadiq. Namun kalangan Sunni menolak asal-
usul tersebut dan biasanya mereka menyebut Dinasti Ubaidi yang keturunan Ubaidillah, khalifah
pertama Dinasti Fathimiyah, bahkan ada yang menuduh mereka keturunan Yahudi, sebagaimana
tuduhan kepada Ubaidillah secara pribadi.
Walaupun berambisi untuk mengalahkan kekuasaan Daulah Abbasiyah, namun Fathimiyah tidak
menyerang Baghdad, mereka malah terus meningkatkan propaganda dan berusaha untuk
menduduki Mesir. Ketika itu Dinasti Fathimiyah dipimpin oleh Khalifah al-Muiz, Mesir sedang
berada dalam kondisi kacau dan lemah ketika Jauhar panglima pasukan Fathimiyah sedang
menghadapi armada Bizantyum di laut tengah. Melihat hal tersebut, maka pada tahun 969,
Jauhar atas perintah khalifah menyerbu Fusfat, yang merupakan titik pertahanan paling lemah.
Segera setelah itu, dia menyatakan Mesir sebagai benteng kekuatan Ismailiyah.
Setelah Mesir dapat dikuasai, maka fokus politik Dinasti Fathimiyah selanjut adalah mendirikan
ibu kota baru yang terletak di Fusfat bagian Utara, yang mereka sebuta dengan al-Qahirah, yang
berarti sang penakluk. Sejak itu penampilan Fusfat semakin cemerlang dan mampu menjadi
pesaing Kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah.
Disamping itu, dinasti ini jga berupaya untuk menyebar luas ideologoi Fathimiyah ke Palestina,
Syiria dan Hijaz. [9]
Keberadaan Dinasti Fathimiyah berbeda dengan dinasti-dinasti kecil lainnya. Dinasti Fathimiyah
mengklaim diri sebagai kekhalifahan yang memegang pimpinan politik dan spritual tertinggi.
Mereka tidak mengaku bagian dari Abbasiyah, mereka melepaskan diri dari Baghdad, tidak
hanya dari segi politik, tetapi juga spritual. Sementara dinasti-dinasti kecil lainnya walaupun
secara politik melepas dari dinasti Abbasiyah, namun secara spiritual mereka tetap terikat. Inilah
yang membedakan Dinasti Fathimiyah dengan dinasti-dinasti lokal lainnya.
Khalifah-khalifah yang memimpin Dinasti Fathimiyah ada 14 orang yang itu:
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaidillah) al-Mahdi billah (910-934). Pendiri.
2. Abu Muhammad al-Qaim bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946)
3. Abh ?ahir Ismail al-Mansur bi-llah (946-953)
4. Abu Tamim Maadd al-Muizz li-Din Allah (953-975) Mesir ditaklukkan semasa
pemerintahannya.
5. Abu Mansur Nizar al-Aziz bi-llah (975-996)
6. Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996-1021)
7. Abu Hasan Ali al-Zahir li-Izaz Din Allah (1021-1036)
8. Abu Tamim Maadd al-Mustansir bi-llah (1036-1094)
9. Al-Mustali bi-llah (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
10. Al-Amir bi-Ahkam Allah (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai
Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
11. Abd al-Majid al-Hafiz (1130-1149)
12. Al-Zafir (1149-1154)
13. Al-Faiz (1154-1160)
14. Al-Adid (1160-1171)[10]
15. Sistem Politik Pemerintahan
1. Bentuk Pemerintahan;
Dari metode pergantian khalifah, dapat dikatakan bahwa bentuk pemerintahan pada masa dinasti
Fathimiyah adalah berbentuk monarki atau sistem kerajaan, yaitu sistem pergantian kepala
negara atau pemerintahan secara turun menurun.
Didalam perjalanan pemerintahannya, Daulah Fathimiyyah melalui dua fase, yaitu :[11]
a. Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan
kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan
sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota
pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi pemerintahan. Keadaan ini
berlangsung sampai masa pemerintahan Al Muizz li Dinillah. Sedangkan pada masa
pemerintahan Az Zahir dan Al Munthasir Khalifah lebih dekat dengan keturunan Turki.
Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar, sejak saat itulah Barbar
kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Untuk lebih mengenal keadaan dalam fase ini, baik
tentang pemimpin/Khalifah, roda pemerintahan, kebijakan pemerintah, dan situasi yang
dihadapinya, akan dijelaskan sebagai berikut :
1) AlMahdi (909-924 M)
Ubaidillah alMahdi adalah Khalifah pertama Dinasti Fathimiyyah. Ia datang dari Afrika Utara,
dimana propaganda Syii telah menciptakan kondisi yang baik bagi kedatangannya. Dengan
dukungan kaum Barbar Ketama, dan menumbangkan Gubernur- Gubernur Aghlabiyah di
Ifriqiyyah dan Rustamiyah Khariji di Tahari, dan menjadikan Idrisiyah Fez sebagai penguasa
bawahannya. Pada tahun 909 M, dialah yang memproklamasikan berdirinya khilafah
Fathimiyyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia dibantu oleh Abdullah Asy-Syafii
dalam mengkonsolidasikan khilafahannya di Tunisia. Dalam proses tersebut, pada tahun 920 M,
ia telah berhasil mendirikan sebuah kota yang baru dan dijadikan sebagai ibukota, yaitu Mahdiah
yang terletak di pesisir pantai Tunisia.
Selama menjalankan pemerintahannya, ia telah berhasil menghalau para pemberontak yang
dipimpin oleh Abu Abdullah al Husyain dan memperluas wilayahnya sampai propinsi Fez di
Maroko bahkan telah merebut Alexandria. Perlawanan juga dating dari kelompok pendukung
Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umaiyah di Andalusia maupun kelompok
Khawarij dan Barbar (Hoeve, 1994:10).
2) AlQaim ((924-946 M)
Setelah alMahdi meninggal, ia diganti oleh putranya yang bernama Abdul Qasim dan bergelar
AlQaim. Ia meneruskan kebijakan yang diambil ayahnya dengan mengirimkan armadanya dan
mampu menghancurkan pesisir selatan Perancis, Genoa dan sepanjang pesisir Calabria tahun 934
M. Akan Tetapi ia tidak berhasil dalam memadamkan pemberontakan oleh Abu Yazid yang
berlangsung selama tujuh tahun. Abu Yazid yang berulangkali menaklukan pasukan AlQaim
akhirnya berhasil mengepung Susa. Dengan wafatnya AlQaim pada tahun 946 M, maka
berakhirlah kekuasaannya dan dilanjutkan oleh putranya AlManshur
3) AlManshur (946-953 M)
Perjuangan yang dilakukan oleh ayahnya telah mencapai keberhasilan yang gemilang dibawah
kekuasaannya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdik dan energik hingga ia berhasil
menghentikan pemberontakan Abu Yazid yang terjadi di masa pemerintahan ayahnya. Ia berhasil
menundukkan Abu Yazid dan pasukannya. Bahkan mereka turut membantu ekspansi hingga ke
seluruh Afrika, disanalah ia membuat kota yang diberi nama alMashuriyah.
4) AlMuiz (953-975 M)
Keberhasilan yang telah dicapai AlManshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abu
Tamim Maad dengan gelar al Muiz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah,
dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
a. Pembaharuan dalam bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri) untuk
melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
b. Pembangunan ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana, dan
pejabat pemerintahan lainnya.
c. Toleransi beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di Mesir,
dua untuk madhab syiah dan untuk madhab sunni (Yatim,1993: 282).
Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khalifah Fathimiyyah dapat menguasai Mesir pada tahun
969 M. Penguasaan ini diawali dengan diutusnya panglima Jauhar alKatib as Siqili dengan
perlengkapan dan kekayaan yang diperoleh dari basis mereka di Ifriqiyah sebagai persiapan ke
arah Timur. Jauhar berhasil memasuki Fustat dan menyingkirkan Dinasti Ikhsidiyyah. Setelah
Mesir dapat dikuasai, ia membangun sebuah ibukota baru di Mesir yaitu Kairo Baru (al
Qahirah,artinya yang berjaya) (Bosworth, 1993: 71).
Kairo dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan
sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan (Lapidus, 1999:
536). Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah akademik dan pada
kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal dikalangan akademik.
Selama 23 tahun, masa kepemimpinan al-Muiz, pemerintahannya berjalan gemilang. Ia
meninggal pada tahun 975 M. Dialah Khalifah termashur dalam kekhalifahan Fathimiyyah di
Mesir. Ia mempunyai kelebihankelebihan baik di bidang seni, satra dan pengajaran ditambah
dengan pengetahuannya yang luas, maka tidak heran jika pada masa AlMuiz inilah awal
kemajuan Fathimiyyah.

5) AlAziz (975-996 M)
AlAziz putra AlMuiz dengan sifat pemberani, bijaksana, penyayang, ramah dan pendamai
membuatnya berhasil mengadakan ekspansi wilayah secara besar-besaran. Seluruh Syiria
sebagian Mesopotamia, dan dari pesisir Eupharates sampai Atlantik telah berhasil dikuasainya,
bahkan saat itu Fathimiyyah menjadi rival yang berat bagi Abbasiyah di Baghdad. Rupanya ia
mewarisi keahlian ayahnya dibidang seni. Ini tampak pada arsitektur Golde Pala terbuat dari
mutiara) dan masjid ayahnya di kuburan Karava. Pada masa inilah Dinasti Fathimiyyah
mencapai puncak kejayaannya.
6) Al-Hakim (996-1021 M)
AlHakim adalah seorang penguasa yang sangat kejam, ia membunuh sejumlah tokoh kerajaan
tanpa alasan. Ini disebabkan karena usianya yang masih muda (11 tahun) ketika menjadi
penguasa menggantikan ayahnya pada tahun 996 M, sehingga dengan mudah gubernurnya yang
tak bermoral yang bernama Barjawan dapat menguasainya dengan penuh.
Pada awal pemerintahannya, tidak ada kestabilan. Secara komparatif kaum KRISTEN dan
Yahudi diperlakukan dengan baik. Bahkan sebagian dari mereka menduduki jabatan yang tinggi
dalam negara. Selama pemerintahan AlHakimlah gerakan religius Syii yang ekstrem, yaitu
Druze muncul di Suriah Selatan dan Lebanon, karena AlHakim memberikan semangat pada
pendirinya, yaitu dai AlDarazi, maka Druze memandang Khalifah AlHakim sebagai titisan
Tuhan (Bosworth, 1993:72).
Meskipun kekejaman mewarnai kekhalifahannya, ia berhasil membangun banyak masjid, dan
bangunan yang paling terkenal sampai sekarang yaitu Dar al-Hikmah yang dibangun tahun 1306
M, tempat bertemunya berbagai pujangga dan mempromosikan pendidikan dan Syiah
b. Fase Parlementer
Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer.
Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahanpermasalahan yang rumit sebagai suatu
kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi. Masa ini disebut juga
dengan Ahdu Mufuzil Awzara atau masa pengaruh menteri-menteri mulai dari Az Zahir,
sampai dengan Al Adhid.
Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar
fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta yang dikuasai oleh pejabat-
pejabat-pejabat militer yang berpengaruh (Lapidus, 1999: 538). Sebuah peperangan telah terjadi
dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini
diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria
1. Distribusi Kekuasaan/Wewenang;
Distribusi kekuasaan dimasa dinasti Fatimiyah hanya dibagi kedalam dua bagian yaitu eksekutif
dan Yudikatif.
1. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang mempunyai kewengan pelaksana undang-undang
seperti pemimpin negara/pemerintah beserta jajarannya sampai pejabat-pejabat yang ada
dibawah. Lembaga eksekutif meliputi khalifah, menteri dan gubernur.
2. Lembaga Yudikatif, lembaga yang menngani peradilan dan kehakiman. Lembaga-lembaga
Yudikatif pada masa Dinasti Fatimiyah seperti pengadilan umum(qada), pengadilan privat
(mazalim), pengadilan publik (hisbah), dan polisi (shurta). Semua institusi ini berada di bawah
pengawasan Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab
atas seluruh lembaga-lembaga yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di bawah
kebijaksaan khalifah. Namun ada beberapa daerah yang dikuasai oleh kekuatan politik lain
seperti Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun tidak berada di bawah
pengawasan Hakim Agung Abi al-Awwam yang bermazhab Hanbali. Tentara juga tidak harus
tunduk kepada Hakim Agung, tetapi mereka menjadi pelindung yurisdiksi mazalim, jika
dianggap akuntabel. Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas sampai ke persoalan
agama seperti menjadi imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan juga tanggung jawab
lain seperti mengepalai kantor percetakan uang (dar al-darb), mengawasi standar timbangan
(miyar), dan mengurusi baitul mal. Penyatuan peran peradilan dan tanggung jawab keuangan ini
memberikan kesempatan kepada aparatur negara untuk menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas
yang dimiliki mazalim memperlihatkan hak pregoratif khalifah untuk menginvestigasi
pengaduan-pengaduan individual tentang ketidakadilan, kekeliruan administratif yang dilakukan
oleh pejabat negara dan menyelesaikan keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti
prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan dari seluruh departemen hadir pada saat pengadilan
mazalim, yang juga menjadi tempat yang tepat untuk menyortir dan mendistribusikan keluhan
kepada pejabat negara terkait.
Kepala polisi, sahib al-shurta, diharapkan untuk memperlakukan orang secara setara, menjaga
hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan menghadirkan
pihak-pihak yang terkait dengan kasus ke hadapan hakim jika diperlukan. Ia memegang fungsi-
fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana hukuman) dan pengelola penjara. Meskipun
kepala polisi seharusnya ada di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang
cukup besar antara pejabat negara yang berada di dua departemen yang berbeda itu menyangkut
batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan hukuman hudud.
Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi
ini muncul pada masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain.
Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang
dari masa pra-Islam, jelas bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi aturan hisbah)
telah mapan pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan
juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar maruf nahyi munkar. Seorang pelaksana
hukum hisbah menjadi figur sentral di mata publik karena ia memegang otoritas yang sangat
besar baik sebagai pegawai pemerintahan maupun sebagai otoritas keagamaan yang bertugas
menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yang menjadi wilayah kekuasaan
muhtasib, menurut manual hisbah yang dibuat oleh Ibnu Abdun, dianggap mewakili seluruh
kehidupan sosial.
Muhtasib merupakan bagian dari pegawai lembaga peradilan karena penunjukkannya merupakan
tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian, muhtasib juga merupakan
institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung di Kairo dan Fustat
untuk mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini memperlihatkan
penitngnya posisi muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini. Namun karena kekuasaan
muhtasib dianggap memiliki fungsi religius, maka orang yang ditunjuk sebagai muhtasib harus
memiliki kualitas moral yang tinggi. Ia berkewajiban dan diberi otoritas untuk menjatuhkan
hukuman tazir, meskipun hududtidak berada di bawah mandatnya secara langsung. Begitu
penting dan besarnya jabatan ini tercermin dari terpilihnya wazir atau imam itu sendiri untuk
menduduki posisi ini. al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Numan misalnya
pernah menduduki jabatan ini. Namun fakta ini juga mencerminkan bahwa otonomi dan
indepensi jabatan ini terbatas dan bahwa institusi ini mencoba menggabungkan otoritas
keagamaan dan politik.

1. Kedudukan dan Fungsi Pimpinan Negara
Pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah, kedudukan Khalifah sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerinthan. Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah menunjuk seorang
menteri untuk membantu menjalan pemerintahan. Namun demikian, ada dua fase mengenai
peran menteri dalam pemerintahan Dinasti Fathimiyah, yaitu fase konsolidasi yaitu dimana
khalifah memiliki kekuasaan penuh (absolut) dalam mengambil kebijakan dalam rangka
menjalankan pemerintahan. Fase kedua yaitu fase parlementer yaitu suatu fase dimana peran
menteri begitu dominan dalam mengambil kebijakan. Pada fase ini, suksesi kepemimpinan pun
sangat ditentukan oleh seorang menteri.
Misal proses suksesi kepemimpinan setelah khalifah Mustansir meninggal dunia. Sebelum
Khalifah Mustansir meninggal dunia pada tahun 487 H/1094 M, dia merasa bahwa ajalnya telah
dekat dan dia berfikir untuk memproklamirkan anaknya yang paling tua, Nizar untuk menjadi
Putera Mahkota. Namur demikian, menterinya Afdal putera Hadr Al Jamali, menunda
proklamasi ini dan mempercepat untuk menyatakan hormat lepada kemenakannya, Ahmad yang
bergelar Mustali. Pemimpin Gadhi (hakim) dan pejabat tinggi lanilla dan beberapa anggota
keluarga Fathimiyah mengikuti calon menteri. Bersama dengan beberapa sanak saudara dan
pendukung-pendukungnya, Nizar pergi ke Iskandariyah dimana dia mendapat bantuan militer
dari gubernur setempat, tetapi ia dikalahkan dengan segera dan dibunuh.
Hal tersebut diatas, sebagai falta betapa dominannya pengaruh seorang menteri dalam
pemerintahan pada Dinasti Fathimiya pada fase ini, oleh karenanya fase ini disebut fase
parlementer.

1. Struktur Negara
Struktur negara yang ada pada masa Dinasti Fathimiyah terdiri dari pemerintahan pusat yang
dipimpin oleh Khalifah dan jajarannya dan pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang
gubernur. Pemerintahan pusat berkantor di Cairo sedangkan pemerintahan daerah diantaranya
meliputi Siria, Turki, Palestina, Afrika Utara.

1. Asas Negara
Asas dasar negara pada masa Dinasti Fathimiyah, menurut penulis adalah berdasarkan hukum
Islam. Hal ini dapat dilihat adanya penerapan hukuman tazir dan hudud. Dalam hal ini,
Muhtasib yang berkewajiban dan diberi otoritas untuk menjatuhkan hukuman tazir,
meskipun hudud tidak berada di bawah mandatnya secara langsung.

1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk pemerintahan Dinasti Fathimiyah
adalah monarki, dengan distribusi kewenagan meliputi eksekutif dan Yudikatif serta memiliki
struktur kenegaraan terdiri dari pemerintah pusat yang dipegang oleh seorang Khalifah dan
pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang gubernur. Khalifah pada masa dinasti
Fathimiyah memegang peranan sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan
dimana dalam memerintah dibantu oleh seorang menteri
POLITIK PEMERINTAHAN DAULAH FATIMIYAH
POLITIK PEMERINTAHAN DAULAH FATIMIYAH

I. PENDAHULUAN
Silih bergantinya kepemimpinan dalam umat islam yang terjadi semenjak wafatnya Rasulullah
memberikan banyak gambaran yang jelas bahwa islam secara periodesasi memiliki beberapa
kedaulatan yang begitu gemilang. Berawal dari Khulafaur Rasyidin, yang kemudian digantikan
dengan kedaulatan Bani Umayyah, setelahnya diteruskan dengan kedaulatan Dinasti Abbasiyah,
yang akhirnya direbut oleh kedaulatan Fatimiyah.
Melemahnya kekuatan Dinasti Bani Abbasiyah pada abad ke-4 H karena pengaruh yang sangat
kuat dari penganut madzhab Syiah memberikan kesempatan bagi golongan Syiah untuk lebih
leluasa untuk mengembangkan madzhabnya. Salah satunya adalah Syiah Ismailiyah yang
dengan leluasanya menyebarkan dan mengembangkan madzhab Syiah Ismailiyah nya di daerah
Mesir pada tahun 296-527 H hingga berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar
disana dengan Kedaulatan Fatimiyah nya.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai sejarah awal berdirinya Daulah
Fatimiyah sampai beralihnya kedaulatan tersebut ke tangan Daulah Ayyubiyah di bawah
kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah.

II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana sistem pemerintahan Daulah Fatimiyah?
B. Siapa saja raja dari Daulah Fatimiyah?
C. Bagaimana dinamika sosial politik Daulah Fatimiyah?
D. Apa saja kemajuan yang dicapai pada masa Daulah Fatimiyah?
E. Bagaimana perluasan wilayah yang terjadi pada masa Daulah Fatimiyah?
F. Apa saja faktor yang melatarbelakangi kemunduran Daulah Fatimiyah?
G. Bagaimana analisis politik Daulah Fatimiyah?



III. PEMBAHASAN
A. Sistem Pemerintahan Daulah Bani Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah berkuasa pada tahun 297-567 H/ 909-1171 M di Afrika Utara tepatnya di
Mesir dan di Syiria. Awalnya kelompok ini di bentuk dengan sistem agama dan politik
olehAbdullah bin Maimun, namun mengalami perubahan menjadi gerakan kekuatan dengan
tokohnya Said bin Husain yang menyebar dan menjadi landasan munculnya dinasti ini.
Dinasti Fatimiyah pertama kali berdiri di Raqqodah daerah Al-Qairawan dengan khalifah
pertamanya Al-Mahdi. Konsep yang digunakan adalah syiah radikal ismailiyah yang pada
mulanya berbasis di Ifkriyah kemudian berpusat di Maroko dengan alasan keamanan maka
dipindahkan ke Mesir setelah dapat menaklukan Dinasti Ikhsyidiyah dan mendirikan ibukota
baru di Qahirah.
Sejak awal berdirinya daulah fatimiyah dapat membangun imperium yang kuat dan berbagai
penyokong (pembangunan fisik) yang menandakan bahwa Daulah Fatimiyah secara politis sudah
memiliki suatu konsep pemerintahan dan menunjukkan suatu kondisi politik yang cukup stabil.
Kestabilan itu cukup dinamis walaupun terjadi pergantian kepemimpinan di Daulah Fatimiyah.
Pergantian kepemimpinan ini berdasarkan keturunan, kekuasaan khalifah silih berganti secara
turun temurun kepada putra mahkotanya. Sekalipun pergantian dan pengangkatan khalifah yang
masih muda karena alasan keturunan kerajaan merupakan model pergantian khalifah secara garis
keturunan yang akhirnya menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya
didominasi oleh para wazir. Peranan wazir menjadi sangat penting dan kompetetif pada masa ini
sehingga perebutan kekuasaan antar wazir tak terhindarkan lagi demi ambisi terhadap jabatan
dan pengaruh di istana. Mereka saling menjatuhkan dengan berusaha mengangkat khalifah
padahal khalifah terakhir sudah menunjuk pengganti dirinya.
Para penguasa awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-
mata untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sistem pemerintahan Dinasti Fatimiah
dengan beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan pemerintahan dari segala
bidang. Selain ada beberapa kebijakan Daulah Fatimiyah yang sejalan dengan Daulah Umayyah
dan Abbasiyah terlihat dari pemerintahan dapat berjalan dengan baik hampir ke seluruh Afrika
Utara dan terhentinya gerakan yang membahayakan posisi khalifah.
Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan
seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syiah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model
kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syiah. Ini karena
penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang
beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan
menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat
yang beraliran Sunni. Dengan ini stabilitas politik dapat dipertahankan dan terjaga dengan baik.
Kekuasaan pemerintahan Fatimiyah bersifat sentralistis seperti pada bidang ekonomi,
perdagangan dan sektor industri yang dapat menopang ke eksistensian dinasti selama dua
setengah abad.

B. Daftar Raja Daulah Fatimiyah
NO NAMA TAHUN
1 Al-Mahdi 909-934 M
2 Al- Qaim 934-946 M
3 Al-Manshur 925-952 M
4 Muiz Lidinillah 952- 975 M
5 Al-Aziz 975-996 M
6 Al-Hakim 996-1021 M
7 Al-Dzahir 1021-1036 M
8 Al-Mustansir 1036-1095 M
9 Al-Mustali 1095-1101 M
10 Al-Amir 1101-1130 M
11 Al-Hafidz 1130-1149 M
12 Al-Zafir 1149-1154 M
13 Al-Faiz 1154-1160 M
14 Al-Azid 1160-1171 M

C. Dinamika Sosial dan Politik
1. Kondisi Sosial dan Politik (Masyarakat)
Secara politis Dinasti Fatimiyah sudah memiliki salah satu konsep pemerintahan. Kekuasaan
Fatimiyah yang demikian luas didukung oleh kondisi politik yang stabil dan perekonomian yang
bagus serta pembangunan sarana dan prasarana. Masjid Al-Azhar yang berkembang menjadi
Universitas Al-Azhar merupakan bukti bahwa mesir sebagai ibu kota pemerintahan Fatimiyah
dibangun dengan megah dan indah.
Para penguasa awal khilafah Fatimiyah menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-mata
untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sietem pemerintahan Dinasti Fatimiah dengan
beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan pemerintahan dari segala bidang.
Khilafah Al-Mahdi, hal yang pertama dalam usaha pemerintahannya adalah pembersihan figur-
figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang pemerintahannya termasuk tokoh-tokoh
penting meski sangat besar jasa dalam pembentukan khilafah fatimah.
Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan
seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syiah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model
kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syiah. Ini karena
penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang
beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan
menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat
yang beraliran Sunni. Dengan ini stabilitas politik dapat dipertahankan dan terjaga dengan baik.
Dalam masa pemerintahan Daulah Fatimiyyah terjadi konflik politik yang melebar menjadi
konflik aqidah antara kaum Syiah dan Non Syiah. Tak dan satu agama pun yang berkembang di
muka bumi ini yang dalam sejarahnya tak terbelah, sekali pun Islam sebagai agama samawi yang
terpecah belah menjadi Sunni dan Syiah. Pada dasarnya transendentalnya agama, pemahaman
dan penghayatanya tak lepas dari fitrah manusia dalam menerimanya. Dan keterbelahan Sunni-
Syiah adalah bukti gamblang tentang hal itu. Penganut dari satu belahan yang ekstrim akan
mengaku bahwa kelompoknya lah yang benar dan menganggap yang lain kafir. Kecurigaan
kalangan Sunni terhadap Syiah, dan sebaliknya tak berkurang dan mungkin tidak akan pernah
berkurang sampai ke masa depan karena dasar dari keterbelahan tersebut adalah emosional.
Kecintaan yang besar kalangan Syiah terhadap Ahlu Bait mempunyai pasangan berupa
kehormatan yang luar biasa di kalangan Sunni terhadap para sahabat Rasul, dan hal itu yang
mengakibatkan perbedaan sumber hukum islam. Kalau hanya karena perbedaan visi religius
sikisma Sunni-Syiah tidak akan meruncing menjadi suatu perpecahan. Malangnya sikisma
tersebut kemudian berhimpitan pada sikisma politis. Konsep imamah setelah wafatnya Ali bin
Abi Thalib adalah awal dimana umat islam terpecah belah dalam ranah politik sehingga muncul
Aqidah Syiah tentang Taqiyah dimana mereka memiliki kekuatan untuk menerapkan konsep
imamah di balik kedaulatan golongan Sunni. Hal ini sempat terjadi pada masa Dinasti Umayyaah
yang berlanjut pada Dinasti Abbasiyah dengan golongan Sunni nya mempunyai rival dari
golongan Syiah yaitu Daulah Fatimiyah. Hingga akhirnya salah satu golongan Syiah yaitu
Ismailiyah akhirnya berhasil membangun suatu imperium di Afrika Utara dengan Kedaulatan
Fatimiyah. Namun, dengan sistem underground nya golongan Sunni mencoba meruntuhkan
Dinasti Fatimiyah dengan perantara Shalahudin Al-Ayyubi yang kelak menjadi perdana menteri
di Mesir dengan di bawah kedaulatan Bani Abbasiyah.
Khalifah Al-Adhid dalam kemelut pemerintahannya mengambil kebijakna poltiknya dengan
meminta bantuan Shalahudin Al-Ayyubi untuk mempertahankan Mesir dari tentara salib yang
kemudian peperangan dimenangkan Shalahudin dan berakibat pada berpindah tanganya
kekuasaan ke tangan Bani Ayyubiyah.
Segi sosial kemasyarakatan Dinasti Fatimiyah dapat nersikap liberal dan memberikan kebebasan
agama untuk berkembang dan terjaganya toleransi agama. Menurut kaum Ismaili seseorang
harus dibujuk untuk dapat memeluk agama Islam dan karenanya sejarah telah memperlihatkan
bagaimana Al-Muizz telah secara terbuka memperbolehkan umat Kristen beradu pendapat
dengan para ahli Islam dan di luar dana yang tersedia beliau membangun kembali gereja St.
Mercurius yang rusak di Fustat yang sebelumnya hal ini tidak pernah terjadi.

2. Perundangan dan Hukum
Dalam bidang pemerintahan Kaum Fatimiah melakukan kebijakan seperti Bani Umayyah dari
Spanyol dan Bani Abbasiyah seperti penanggulangan kejahatan dan pelaksanaan sangsi. Para
Qadli menyelenggarakan bidang kehakiman menurut hukum-hukum agama. Khalifah Al-Muizz
menyelenggarakan pengadilan untuk menampung pengaduan terhadap para pejabat
pemerintahan. Al-Muizz mengeluarkan perintah-perintah kepada pengadilan untuk memutuskan
perkara menurut hukum Syii dan juga turut mengarahkan Muadzdzin untuk mengumandangkan
adzan di masjid-masjid menurut keyakian Ismaili. Kepala Qadli di Mesir mempunyai yurisdiksi
terhadap semua wilayah kekuasaan Fatimiah meskipun pengadilan tinggi reguler hingga masa
Nurudin Mahmud. Al-Muiz selalu berusaha memelihara keadilan yang terpisah dan merdeka
dari perangkat negara lainya serta bekerja bagi kesejahteraan masyarakat umum dan bebas dari
sifat penyelewengan. Guna pengembangan pemerintahanya beliau mengeluarkan perintah yang
mengarahkan para pejabat Bait al-Mal untuk membeli semua barang dan komoditi yang berguna
bagi pemerintah sesuai dengan harga pasar tanpa memperlihatkan bahwa semua itu dibeli oleh
pemerintah guna kepentingan sendiri.

3. Administrasi Negara
Dalam pemerintahannya seorang Khalifah di bantu oleh seorang Wazir yang secara administrasi
membantu dalam penyelesaian urusan strategis, militer, birokrasi, lembaga keuangan dan
lembaga peradilan. Kekuasaan pemerintahan Fatimiyah bersifat centralistis seperti pada bidang
ekonomi, perdagangan dan sektor industri yang dapat menopang ke eksistensian dinasti selama
dua setengah abad. Khalifah Al-Muiz dengan usaha peningkatan bidang pertanian dan hubungan
dagang dengan negara lain sampai pembuatan pelabuhan Iskandariah demi kemakmuran
rakyatnya.
Dan dalam bidang sistem ekonomi dan sosial terlihat dengan menghasilkan produk industri dan
seni Islam yang baik hingga ke India.

4. Peradilan
Dalam pemerintahan daulah fatimiyyah dapat diketahu mengenai peradilannya bahwa pranata
hukum berlaku seoerti dalam madzhab syiah pada umumnya dan ismailiyyah pad khususnya.
Sumber hukum ditentukan oleh Al Quran dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam-imam
dan dibantu oleh juresprodence yang pernah diberikan oleh imam dan orang yang mendapat izin
dari imam. Begitu pula halnya orang yang bertindak sebagi propogandis.

5. Hubungan Internasional
Dalam hungunan internasionalnya pada kekahalifahan ke-4 yaitu Al-Aziz memberi kebijakan
dengan merekrut orang-orang Turki dan Negro untuk mengimbangi kekuasaan para pengawal
istana yang telah terlanjur membesar dan sebagian besar berasal dari suku Barbar yang keras.
Sama halnya dengan konflik politik diatas, rekruitmen seperti ini menimbulkan kemelut dalam
tubuh militer dan secara terus-menerus menjadi perselisihan yang melemahkan kekuasaan
Fatimiah. Beliau juga merekruitmen orang non-muslim yang dipercaya untuk menjadi menteri,
petugas pajak, dan bahkan penasehat dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan serta
para dokter dan para pejabat yang mengendalikan kerja operasional kekhalifahan. Namun dengan
kebijakan ini menmbulkan keemburuan dimasyarakat yang ahirnya menimbulkan konflik dalam
pemerintahan.

D. Kemajuan yang dicapai:
1. Keilmuan
Pendidikan merupakan salah satu perhatian khusus yang tidak luput dari pemerintahan dinasti
Fatimiyah, terbukti dengan adanya universitas Al-Azar di Kairo yang awalnya hanyalah sebuah
masjid sebagai lembaga pendidikan tinggi yang masih eksis sampai sekarang. Perpustakaan
Darul Hikmah yang didirikan oleh Kholifah Al-Hakim (1004 M) yang ahirnya mengembangkan
beberapa bidang keilmuan seperti Bahasa dan Sastra, Filsafat, Matematika, Astronomi, Fisika,
Optika, Kedokteran yang diikuti dengan munculnya beberapa Ulama. Pada bidang filsafat
sendiri menggunakan filsafat yunani dan mengembangkanya dengan salah satu tokohnya Abu
hatim Al-Razi.
2. Ekonomi dan Perpajakan
Kekuasaan Fatimiyah yang demikian luas didukung oleh kondisi politik yang stabil dan
perekonomian yang bagus serta pembangunan sarana dan prasarana. Masjid Al-Azhar yang
berkembang menjadi Universitas Al-Azhar merupakan bukti bahwa mesir sebagai ibu kota
pemerintahan Fatimiyah dibangun dengan megah dan indah.

3. Perdagangan, Industri dan Pertanian
Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan
seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syiah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model
kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syiah. Ini karena
penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang
beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan
menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat
yang beraliran Sunni. Dengan ini stabilitas politik dapat dipertahankan dan terjaga dengan baik.
Dalam pemerintahannya seorang Khalifah di bantu oleh seorang Wazir yang secara administrasi
membantu dalam penyelesaian urusan strategis, militer, birokrasi, lembaga keuangan dan
lembaga peradilan. Kekuasaan pemerintahan Fatimiyah bersifat centralistis seperti pada bidang
ekonomi, perdagangan dan sektor industri yang dapat menopang ke eksistensian dinasti selama
dua setengah abad. Khalifah Al-Muiz dengan usaha peningkatan bidang pertanian dan hubungan
dagang dengan negara lain sampai pembuatan pelabuhan Iskandariah demi kemakmuran
rakyatnya.

4. Militer dan Pertahanan
Sejak awal berdirinya daulah fatimiyah dapat membangun imperium yang kuat dengan dukungan
militer yang tangguh di sekitar Laut Tengah membentang dari Samudra Atlantik di sebelah barat
dan Sungai Euphrat di sebelah Timur, Pulau Sisilia di sebelah utara dan Yaman di sebelah
selatan. Ini membuktikan secara politis Dinasti Fatimiyah sudah memiliki salah satu konsep
pemerintahan.
Para penguasa awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-kebijakan penting semata-
mata untuk memperlancar stabilitas politik diantaranya Sistem pemerintahan Dinasti Fatimiah
dengan beberapa pencapaian dari segi politis dan tata atur kebijakan pemerintahan dari segala
bidang. Khilafah Al-Mahdi, hal yang pertama dalam usaha pemerintahannya adalah pembersihan
figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang pemerintahannya termasuk tokoh-
tokoh penting meski sangat besar jasa dalam pembentukan khilafah fatimah. Selain kebijakan
tersebut dilkukan pula pengembangan militer sebagai tulang punggung pemerintahan.
Pemerintahan sipil dan militer ini meliputi urusan tentara, perang, pengawal khalifah dan
keamanan, Qadi (hakim), dakwah, inspektur pasar, bendahara, wakil kepala urusan rumah tangga
khalifah, Qari (pembaca Al-Quran), kebijakan penukaran duta (persahabatan) dengan Dinasti
Buwaihiyah, dan pembentukan wazir tanfiz (bertanggung jawab terhadap pembagian kekuasaan
pusat dan daerah).

E. Perluasan Wilayah Daulah Fatimiyah
Dalam kebijakan pemerintah dilkukan pengembangan militer sebagai tulang punggung
pemerintahan. Pemerintahan sipil dan militer ini meliputi urusan tentara, perang, pengawal
khalifah dan keamanan, Qadi (hakim), dakwah, inspektur pasar, bendahara, wakil kepala urusan
rumah tangga khalifah, Qari (pembaca Al-Quran), kebijakan penukaran duta (persahabatan)
dengan Dinasti Buwaihiyah, dan pembentukan wazir tanfiz (bertanggung jawab terhadap
pembagian kekuasaan pusat dan daerah). Hal lain dapat dilihat dari pembangunan kota
Mahdiyah yang terletak sebelah selatan kota Qoiruwan, dan menjadikan kota ini sebagai
pangkalan armada laut khilafah fatimah. Dan tidak terkecuali dalam usaha mengembangkan
wilayah kekuasaan, dan uasaha ini berkaiatan erat dengan kemiliteran. Dengan adanya perluasan
kekuasaan tersebut mengarahkan untuk dapat menguasai daerah-daerah strategis dan
mengantisipasi gerakan-gerakan yang dapat menbahayakan posisi khalifah. Maka dari itu
stabilitas politik Daulah Fatimiyah tetap terjaga dengan terlihatnya pemerintahan yang berjalan
dengan baik karena hampir seluruh Afrika Utara wilayah barat dapat dikuasai. Salah satu
wilayah yang dikuasai Khilafah Fatimiah adalah bekas kekuasaan Bani Aghlab yang berpusat di
Tunisia, Rustamiah Khariji di Tabart, Indrisiah di Fez dan Pulau Sisilia juga termasuk daerah
kekuasaan Daulah Fatimiah. Sedangkan pada puncak kejayaannya wilayah kekuasaanya
mencakup seluruh daerah-daerah Afrika Utara, Sisilia, Mesir, Syiria, dan Arabia Barat yang
tidak bisa dilepaskan dari penguasaan awal wilayah Mesir yang cukup strategis dalam
melakukan ekspansi-ekspansi selanjutnya.

F. Kemunduran Daulah Fatimiyah
1. Internal
Konflik politik Daulah Fatimiyah antara kaum syiah dan non syiah memiliki kesinambungan
dengan konflik aqidah antara Kum Syiah dan non-Syiah. Seperti pada pengangkatan khalifah
yang masih muda yang merupakan konsekuensi logis dari model pergantian khalifah secara garis
keturunan yang akhirnya menjadikan otoritas untuk menjalankan roda pemerintahan umumnya
didominasi oleh para wazir. Seperti pada masa Al-Hakim dengan sikap labilnya karena umurnya
masih 11 tahun. Dia dikenal sebagai khalifah sewenang-wenang, keras, sikapnya yang cenderung
dipengaruhi hawa nafsu, sikap bencinya terhadap orang-orang Mesir sendiri dengan bertindak
sewenag-wenang dan merendahkan mereka dan merampas harta dan nyawa. Sementara itu dia
memberikan tempat bagi orang-orang asing dan tidak jelas moralnya untuk mengurusi maslah-
masalah pemerintahan. Semua itu berakibat pada buruknya keamanan pemerintahan, menurunya
ketentraman di masyarakat, dan timbulnya sikap-sikap yang amoral.

2. Eksternal
Kecintaan yang besar kalangan Syiah terhadap Ahlu Bait mempunyai pasangan berupa
kehormatan yang luar biasa di kalangan Sunni terhadap para sahabat Rasul, dan hal itu yang
mengakibatkan perbedaan sumber hukum islam. Kalau hanya karena perbedaan visi religius
sikisma Sunni-Syiah tidak akan meruncing menjadi suatu perpecahan. Malangnya sikisma
tersebut kemudian berhimpitan pada sikisma politis. Konsep imamah setelah wafatnya Ali bin
Abi Thalib adalah awal dimana umat islam terpecah belah dalam ranah politik sehingga muncul
Aqidah Syiah tentang Taqiyah dimana mereka memiliki kekuatan untuk menerapkan konsep
imamah di balik kedaulatan golongan Sunni. Hal ini sempat terjadi pada masa Dinasti Umayyaah
yang berlanjut pada Dinasti Abbasiyah dengan golongan Sunni nya mempunyai rival dari
golongan Syiah yaitu Daulah Fatimiyah. Hingga akhirnya salah satu golongan Syiah yaitu
Ismailiyah akhirnya berhasil membangun suatu imperium di Afrika Utara dengan Kedaulatan
Fatimiyah. Namun, dengan sistem underground nya golongan Sunni mencoba meruntuhkan
Dinasti Fatimiyah dengan perantara Shalahudin Al-Ayyubi yang kelak menjadi perdana menteri
di Mesir dengan di bawah kedaulatan Bani Abbasiyah.

G. Analisis Politik Daulah Fatimiyah
1. Tabel Daftar Raja dan Kemajuan yang Dicapai
2. Kritik Kemajuan dan Kelemahan sistem Pemerintahan

IV. KESIMPULAN
Pemerintahan Dinasti Fatimiah dipimpin oleh seorang khalifah dimana struktur kepemimpinan
seperti ini tidak lazim di kalangan kaum Syiah terbukti dengan tidak dipopulerkannya model
kepemimpinan imamah pada dinasti Fatimiyah dengan mayoritas kaum Syiah. Ini karena
penguasa dinasti Fatimiyah sangat memahami basis wilayah kekuasaannya di Mesir yang
beraliran Sunni, jika penguasa Fatimiyah memaksakan model imamah secara politisi tidak akan
menguntungkan karena penggunaan jabatan Khalifah di pakai untuk menarik simpati masyarakat
yang beraliran Sunni. Para penguasa awal khilafah Fatimiyah dengan menempuh kebijakan-
kebijakan penting semata-mata untuk memperlancar stabilitas politik.
Konsep imamah setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib adalah awal dimana umat islam terpecah
belah dalam ranah politik sehingga muncul Aqidah Syiah tentang Taqiyah dimana mereka
memiliki kekuatan untuk menerapkan konsep imamah di balik kedaulatan golongan Sunni. Hal
ini sempat terjadi pada masa Dinasti Umayyaah yang berlanjut pada Dinasti Abbasiyah dengan
golongan Sunni nya mempunyai rival dari golongan Syiah yaitu Daulah Fatimiyah. Hingga
akhirnya salah satu golongan Syiah yaitu Ismailiyah akhirnya berhasil membangun suatu
imperium di Afrika Utara dengan Kedaulatan Fatimiyah.
id.wikipedia.org/wiki/Kekhalifahan_Fatimiyah
latenrilawa-transendent.blogspot.com
berlinang.wordpress.com/.../sistem-politik-pemerintah

Anda mungkin juga menyukai