Anda di halaman 1dari 6

MULUK AL-THAWAIF DI ANDALUSIA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setengah abad lebih sebelum runtuhnya Bani Umayah di Andalusia atau hampir lima puluh
tahun merupakan masa perpecahan politik. Tetapi, masa ini juga dianggap masa kejayaan peradaban
dan seni Islam.
Pada saat inilah banyak tumbuh dinasti-dinasti kecil yang berkuasa di seluruh penjuru Andalusia,
yang merupakan negara kota mauun yang menguasai wilayah yang lebih luas. Dinasti-dinasti ini
dipimpin oleh penguasa-penguasa yang berasal dari berbagai macam suku bangsa dan golongan. Hal
ini sekaligus mencerminkan heterogenitas anggota militer pada masa Bani Umayyah yang kemudian
melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Di samping itu, hal ini juga mencerminkan adanya
ketidakharmonisan etnik dan persaingan antar kelompok militer.
Ketika umat Islam terjadi perpecahan, umat kristen yang terpinggirkan kini mulai bangkit lagi dan
sedikit demi sedikit mulai merampas kekuasan Islam. Maka penguasa Islam di Spanyol meminta
bantuan kepada Yusuf bin Tasyfin (al-Murabbhitun). Pada perkembangan berikutanya murabbhitun
dapat mencengkramkan kekuasaannya di Spanyol.
Adapun batasan dan rumusan masalah dalam makalah Periode Muluk al-Thawaif adalah sebagai
berikut:
1. Apa saja faktor penyebab desintegrasi dan berdirinya daulah-daulah kecil di Spanyol pada periode
Muluk al-Thawaif?
2. Bagaimana perkembangan ilmu dan peradaban pada periode Muluk al-Thawaif?
3. Bagaimana perkembangan kerajaan Nasrani Spanyol dan invansi Murabithun pada periode Muluk alThawaif?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Desintegrasi dan Berdirinya Daulah-daulah Kecil


sebagaimana yang pernah berlangsung di Kekhalifahann Abasyiah, Kekhalifaan Umayah pun juga
mengalami, yaitu kerusuhan baik internal maupun eksternal yang rumit. Beberapa gerakan sosial
keagamaan melakukan pemberontakan. Mereka mengkritik pemerintahan karena praktik pemerintahan
yang kacau, eksploitasi keuangan, penggunaan militer asing, situasi ketidak amanan yang kronis.
Kalangan sufi mengepalai pemberontakan kelas masyarakat yang lebih rendah yang menetang
akumulasi eksploitasi kekayaan kepada kelas yang lebih tinggi.
Permusuhan antar elit propinsial dan elit pedagang perkotaan, antara warga kota dan tentara
Berber, antara non-Arab (yang baru masuk Islam) dengan bangsa Arab ikut andil dalam runtuhnya
Islam di Spanyol. Pada awal abad ke dua belas sejumlah propinsi melepaskan dari pemerintahan pusat,
dan sejumlah klan Arab melancarkan pemberontakan.

Dari pihak Kristen, sebagian menentang akulturasi antara Islam dan kristen (mozarab). Mereka
menginginkan umat Kristen yang murni yang melepaskan diri dari pengaru Arab. Mereka melakukan
pemberontakan di Kordova, di mana sejumlah warga kristen mengorbankan diri mereka sendiri
sebagai aksi protes terhadap pemerintahan Islam.[1]
Di atas puing-puing kehancuran Daulah Umayah muncullah kerajan-kerajaan kecil yang terus
bertikai. Pada paruh pertama abad ke-11, tidak kurang dari 20 negara berumur pendek banyak
bermunculan dikota-kota atau propinsi dibawah pimpinan kepala suku atau raja kecil. Periode ini
dikenal dengan Muluk al-Thawaif (dalam bahasa Arab), atau dalam bahasa Spanyol Reyes
DeTaifas (raja-raja kelompok) (antara 1030-1090).
Pada tahun 1086 di Cordova, keluarga Jahwariyah mengepalai sejenis republik, yang kemudian
diambil alih oleh keluarga Bnau Abbad di Seville. Granada merupakan pusat kekuasaan rezim
Ziriyah. Namanya rezim ini diambil dari nama pendirinya yang berkebangsaan Berber, Ibn Ziri (10121019), dan rezim ini dihancurkan oleh kelompok al-Murabbhitun Maroko pada 1090. Di Malaga, dan
distrik-distrik di sekitarnya, kekuasaan dinasti Hamudiyah, yang pendirinya dan dua penerusnya
menjadi khalifahKordova, berakhir sampai 1057. Setelah kekuasaan Ziriyah berakhir, Malaga akhirnya
berada di bawah cengkraman al-Murabbhitun.Tahta Toledo diduduki oleh Banu dzu al-Nun (10321085), sebuah keluarga Berber kuno yang sering memberontak hingga dhancurkan oleh Alfonso VI
dari Leon dan Castile. Di Saragossa, Banu Hud berkuasa dari 1039 sampai dikalahkan oleh orang
Kristen pada 1141. Di antara raja-raja kecil ini, pemerintahan Abbadiyah di Seville adalah yang paling
kuat.
Banu Abbad (1023-1091) yang mengaku sebagai keturunan raja Lakhmi kuno dari
Hirah. Leluhur Spanyol mereka dulunya adalah perwira yang bergabung dalam resimen Emessa pada
pasukan Suriah. Pelopor dinasti Abbad adalah seorang qadhi cerdik dari Seville.
Pada tahun 1042 ia menggantikan ayahnya sebagai pengurus rumah tangga kerajaan di bawah sang
khalifah palsu, yang mirip Hisyam, tetapi dia kemudian menyingkap topeng penipu itu dan mengambil
alih kekuasaan dengan gelar al-Mutadhid, dan mengakhiri drama komedi yang dipentaskan ayahnya.
Setelah al-Mutadhid wafat, dia digantikan anaknya al-Mutamid (1068-1091). Dia adalah khalifah
yang paling besar, terkenal dan paling kuat di antara semua raja itu. Dia berhasil menghancurkan rezim
Banu Jahwar dan memasukkan Kordova ke dalam kerajaannya.[2]
Ciri umum dari pemerintahan Muluk at-Tawaif adalah dinasti yang kuat selalu menyerang
tetangganya yang lemah diantaranya bahkan meminta bantuan kepada orang Kristen, seperti pendapat
P. D Gayangos yang dikutip dalam Islam Andalusia:[3]
....untuk sementara mereka menyatukan kekuatan mereka, dan bahkan mengundang orang-orang
dari negeri-negeri yang jauh untuk melakukan penyerangan. Para penguasa mislim andalusia sama
sekali tak peduli, atau munkin malah diam-diam merasa bahagia, melihat wilayah-wilayah kekuasaan
tetangga pesaingnya terbuka lebar bagi pengrusakan yang (akan) dilancarkan oleh musuh-musuh
kristen mereka.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Ada pun dinasti-dinasti yang penting pada periode Muluk al-Thawaif adalah sebagai berikut.[4]
Hammudiyah di Malaga dan Algeciras (400-409 H/1010-1057 M)
Abbadiyyah di Seville (414-484 H/1023-1091 M)
Ziriyyah di Granada (403-483 H/1012-1090 M)
Banu Yahya di Niebla (414-443 H/1023-1051 M)
Banu Muzayn di Silves, Algarve (419-445 H/1028-1053 M)
Banu Razin di Albarracin, La Sahla (402-500 H/1011-1107 M)
Banu Qasim di Alpuente (420-485 H/1029-1092 M)
Jahwariyyah di Cordova (442-461 M/1031-1069 M)
Afthasiyyah atau Banu Maslama di Badajoz (413-487 H/1022-1094 M)

10.
11.
12.
13.

Dzun Nunniyah di Toledo (sebelum 419-178 H/sebelum 1028-1085 M)


Amiriyyah di Valencia (412-489 H/1021-1096 M)
Banu Shumadihiyyah di Almeria (430-480 H/1039-1087 M)
Tujibiyyah dan Hudiyyah di Saragossa. Leride, Tudela, Calatayud, Denia dan Tortosa (410-536
H/1019-1142 M)
14. Banu Mujahid dan Banu Ghaniyah di Majorca (413-601 H/1022-1205 M)
Kemenangan Al-Murabbhitun di Spanyol Muslim tahun 483 H/1090 M.

B.

Perkembangan Ilmu dan Peradaban


Runtuhnya khilafah maka perlindungan terhadap seni dan kebudayaannya beralih kepada kalangan
penguasa proporsional dan kalangan elite pedagang. Beberapa istana pribadi, yang menggantikan
kedudukan masjid agung, menjadi lokasi yang karakteristik bagi peradaban Arab-Hispano.
Pada akhir abad sepuluh syair muwashshabat berkembang pesat. Digubahlah syair qasidah yang
berusaha melukiskan alam dan pertamanan, anggur, perang, dan cinta. Ibn Quzman, merupakan salah
satu tokoh yang mengembangkan syair zajal. Cinta dan Seni yang semata-mata untuk seni berkembang
menjadi tema yang umum.
Ibn Hazm (w. 1063) menjadikan cinta sebagai tema sentral dalam filsafatnya. Ia berpendapat
bahwa daya tarik antara dua orang terbentuk berdasarkan afinitas yang bersifat kekal, yakni pertalian
jiwa yang tidak berbatasan waktu. Berbeda dengan Ibn Arabi, ia menjelaskan bahwasannya seorang
laki-laki mencintai perempuan karena sang perempuan ibarat cermin yang mengungkapkan wujud
kebenaran kalbunya yang terdalam.[5]
Dalam bidang sastra muncul tokoh al-Mutadhid, raja Seville. Ia seorang penyair dan penggemar
sastra yang menggubah syair-syair elok bersama sahabat-sahabat baiknya, serta selalu bersenangsenang dengan hampir delapan ratus Harem. Seperti halnya ayahnya, Al-Mutamid (1068-1091), juga
memiliki jiwa yang puitis. Banyak anekdot yang mengisahkan gaya hidupnya yang mewah. Wazirnya,
Ibn Ammar, juga merupakan seorang panyair, dan Istri al-Mutamid, Itimad al-Rumaikiyah pun
memiliki kepintaran dalam bersyair, dikisahkan bahwa Itimad sangat terkesan dengan pertunjukan
yang jarang dia menontonnya, yaitu turunnya butir-butir salju di Cordova. Maka dia memohon kepada
al-Mutamid untuk membuat tiruannya, sehingga tak lama kemudian, pelataran istana diubahnya
menjadi sebuah kolam yang diisi rempah-rempah dan wewangian, dan terbentuklah rawa yang harum.
[6]
Sufisme berkembang menjadi fenomena yang penting. Dari Almeria tampillah Abu al-Abbas ibn
al-Arif (1088-1141) yang sejumlah karyanya menggambarkan tahap-tahap kenaikan mistikal untuk
mencapai kesadaran bahwasannya yang ada hanyalah Tuhan. Ibn Arabi, yang juga berasal dari
Spanyol, juga dipandang sebagai Sufi Metafisika Muslim terbesar. Dalam bidang kedokteran, muncul
tokoh Ibn Zuhr atau Avenzoar dari Seville (w. 1161), yang meskipun belajar di Spanyol, akhirnya
menjadi dokter istana Salah al-Din di Mesir. Lepas dari itu, berkembangnya ilmu pengetahun tidak
dapat dicapai tanpa peran dari Al-Murabbhitun
Pemikiran ilmiah dan filsafat ditransmisikan dari Spanyol ke Eropa lainya. Penaklukan Toledo
pada 1085, dan Saragossa pada 1118, kultur Islam Hispano menjadi sangat berpengaruh dalam
kehidupan Kristen. Mereka meniru motif-motif kultur Islam Hispano untuk keilmuan mereka.
Sejumlah kepustakaan bangsa Muslim dan Yahudi diterjemahkan dalam bahasa Latin dan Castilian.
Kisah miraj Nabi Muhammad saw. diterjemahkan ke dalam bahasa Castilian, kemudian ke dalam
bahasa Perancis, dan Latin.[7]
Lepas dari perkembangan keilmuan, tidak lupa bahwa hukum Muslim dan sebuah identitas
Muslim Arab tetap diterima secara universal. Masyarakat Muslim Spanyol juga tetap disatukan oleh
sebuah perdagangan regional dan internasional yang tengah berkembang pesat.Hubungan dagang
Andalusia dengan Maroko, yang mengimpor kayu, tawas, logam putih dan pakaian serta mengekspor

pakaian dan tembaga. Andalusia juga menjalin perdagangan dengan Tunisia dan Mesir, yang
mengimpor wol, rami, dan bahan-bahan celupan yang datang ke Mesir dari Iran, Arabia, India, dan
Cina. Muslim Spanyol juga berdagang dengan umat Kristen di wilayah Utara, yang kemakmurannya
tengah berkembang pengaruhnya terhadap negara-negara baru yang menciptakan pangsa pasar secara
lebih luas. Dengan kata lain, pada masa ini, rakyat atau masyarakat mengalami kemakmuran dan
sejahtera.

C. Perkembangan Kerajaan Nasrani Spanyol dan Invansi Murabbithun


Kemajuan Muslim di pusat telah melepaskan ikatan beberapa teritoria bagian utara di sepanjang
wilayah Pyrenees kepada kekuasaan umat Kristen. Disintegrasi muslim mengakibatkan semakin
gencarnya ekspansi kerajaan Kristen ke wilayah-wilayah kekuasaan Muslim. Semangat untuk
mempersatukan kerajaan Castile, Leon dan Galicia, pada tahun 1085 Alfonso VI menaklukkan
Toledo. Hal tersebut merupakan awalterjadinya peperangan antara Muslim dan Kristen, lantaran
sebuah pusat peradaban Muslim yang brilian, yang salah satunya menjadi ibukota kerajaan Visigothik
Spanyol, telah jatuh ke tangan umat Kristen. Kaum migran Kristen membanjiri Toledo, tetapi warga
Muslim dan mozarab tetap bertahan tinggal di Saragossa (1118 M) , Tortosa (1148 M), dan Lerida
(1149).
Paruh kedua abad dua belas gerakan reconquesta telah melembaga. Persaudaraan militerkeagamaan, seperti beberapa gerakan persaudaraan di Calatrava dan Santiago menaklukkan dan
menjarah sejumlah wilayah Muslim. Kemajuan pihak Kristen ini diimbangi oleh pihak Muslim. Untuk
mengahadapi situasi kritis dari serangan orang-orang Kristen,pada tahun 1082, raja-raja kecil serta
sebuah delegasi ulama di Spanyolmengundang pihak Al-Murabbhitun untuk terlibat demi membela
umat Islam Spanyol.[8]
al-Mutamid bin Abbas, salah seorang penguasa Muluk al-Thawaif di Andalusia dari Seville,
menyeberang ke kota al-Marakisy guna meminta bantuan kepada Yusuf bin Tasyfin. Yusuf segera
memenuhi permintaan tersebut. Pada tahun 1086, Yusufmenyeberang ke Spanyol dengan kekuatan 100
kapal laut, 7000 tentara berkuda, dan sejumlah besar pasukannya. Di sana ia disambut oleh alMutamid bin Abbas dan pembesar-pembesar lainnya seraya mempersilakan Ibn Tasyfin untuk
beristirahat dan melepaskan lelah di Seville. Tetapi, dia menolak dan memutuskan untuk langsung
pergi menuju benteng Alfonso VI, raja Leon, dan Castile (Castilla), yang telah siap dengan bala tentara
bersenjata.
Membawa pasukan sekitar 20.000 tentara ditambah pasukan sukarelawan muslim,Yusuf Ibn
Tasyfin bersiap melawan pasukan Kristen. Pasukan Kristen yang berjumlah 50.000 beranggapan
mereka akan memenangkan pertempuran. Peperangan terjadi dengan sangat dahsyat pada pada 12
Rajab 479/23 Oktober 1086 di Zallaka. Kekuatan gabungan dan kesatuan pasukan Maroko, tentara
Muslim berhasil mengalahkan pasukan Alfonso VI. Kemenangan ini merupakan salah satu peristiwa
penting yang menentukan dalam sejarah, karena dapat menjamin keberdaan Islam di Spanyol selama
empat abad kemudian. Kemenangan ini juga menjadikan awal perjalanan Yusuf Ibn Tasyfin untuk
duduk sebagai raja di Spanyol.[9]Semenjak itu, pasukan al-Murabbhitun menjadi lebih menguasai
medan pertempuran di Andausia, sehingga mereka datang menumbangkan musuhnya satu per satu, dan
akhirnya mendirikan dinasti yang kuat di Andalusia.
Kekalahan Alfonso VI menimbulkan kemarahan terhadap al-Mutamid bin Abbas dan Yusuf Ibn
Tasfin. Dia pun mengatur strategi untuk menyerang Seville. Mengetahui hal itu, Al-Mutamid meminta
bantuan kembali kepada Yusuf. Kedatangan Yusuf kali ini bermaksud untuk menyatukan kekuatan
Islam untuk menghadapi Kristen. Tetapi seruan itu tidak dihiraukan oleh raja-raja kecil di Spanyol,
kecuali al-Mutamid dan Ibnu Abdul Aziz, raja Murcia.Walaupun demikian, tentara Muslim menyerbu
daerah Kristen juga.Setelah itu terjadi perselisihan antara al-Mutamid dan Abdul Aziz, dan pucaknya,
Abdul Aziz ditahan oleh perintah Yusuf.

Granada dari penguasanya, Abdullah bin Bulakkin adalah wilayah yang pertama kali di kuasai
oleh Yusuf ibn Tasyfin. Setelah wilayahnya semakin lua, para ulama menyarankan agar meminta restu
dari khalifah di Baghdad dan ulama pun akan patuh kepadanya. Ia mendapatkan pengukuhan atas
kekuasaannya setelah mendapatkan restu dari al-Mutadi, dengan gelar Amir alMuslimin. Ia melakukan invasi ke Spanyol pada tahun 1090, dapat menaklukkan kota Murcia dan
berencana menuju ke Sevilla. Al-Mutadi, yang ingin mempertahankan kota Seville, terpaksa meminta
bantuan kepada Alfonso VI, untuk melawan al-Murabbhitun. Dalam peperangan tersebut, alMurabbhitun menang, dan al-Mutadi dipenjara di kota Agmat hingga meninggal pada 1095 M. AlMurabbhitun kemudian melakukan invasi sampai ke Badajoz pada 1096 M, dan akhirnya seluruh
Andalusia dapat dikuasainya dalam waktu tiga tahun, kecuali di wilayah Saragossa, dan La Sahla,
karena mereka mendapat perlindungan dari Eropa.[10]
BAB III
PENUTUP
Setelah kekuasaan umayah mengalami perpecahan maka berdirilah kerajan-kerajan kecil yang
merdeka. Mereka dipimpin oleh penguasa-penguasa dari berbagai macam golongan dan suku bangsa.
Selain itu kekuatan Kristen pun mulai bangkit dan mulai menggoyahkan kekuatan Islam dan
mencaplok kekuasaanya. Periode di namakanMuluk al-Thawaif. Pada periode ini lebih dari dua puluh
kerajaan kecil yang merdeka menjammur di Spanyol.
Pada masa ini kemajuan dalam berbagai bidang yang dipelopori oleh penguasa-penguasa kecil
mewarnai peradaban eropa. yang mengalami perkembangan yang pesat adalah kemajuan dalam bidang
sastra. Selain itu rakyat mengalami kemakmuran dan kesejahteraan, karena hubungan dagang, baik
regional maupun internasional, mengalami perkembangan yang pesat.
Dinasti kecil-kecil ini tidak lama berkuasa, mereka dikalahkan oleh kelompok al-Murabbhitun.
Mereka pada mulanya hanya dimintai bantuan untuk melawan kekuatan Kristen. Namun dengan
keynggulan militer ahirnya al-Murabbhitun dapat menguasi sebagian wilayah Andalusia.
DAFTAR PUSTAKA
Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam: Bagian Dua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hitti, Philip K. 2005. History Of the Arabs, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Dwi, Cahyani erika. 2012 makalah Sejarah Islam di Andalusia, Fakultas Adab UIN Sunan Kalija
Yogyakarta.
Suheb, Sonhaji Ahmad. 2012 Makalah Sejarah Islam di Andalusi , Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

[1] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam: Bagian Dua (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada),
hlm. 587-588.
[2] Philip K. Hitti, History Of the Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 683-685.
[3] Ahmad Suheb Sonhaji, Makalah Sejarah Islam di Andalusi (Fakultas Adab UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2003), hlm. 3.
[4] Erika Dwi cahyani, makalah Sejarah Islam di Andalusia (Fakultas Adab UIN Sunan Kalija
Yogyakarta, 2012), hlm 4-5.
[5] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, hlm. 591-592.
[6] Philip K. Hitti, History Of Arabs, hlm. 686.
[7] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, hlm. 592-593.
[8] Ibid, hlm. 589-590.
[9] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, hlm. 591-592.
[10] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam: Bagian Dua, hlm. 591.
Diposkan oleh muhammad muhaimin di 01.29

Anda mungkin juga menyukai