Anda di halaman 1dari 125

“BALIA TAMPILANGI”

UPACARA RITUAL ADAT TRADISI SUKU KAILI DI PALU

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana

Disusun Oleh :
Moh, Fauzan Chair
11140321000054

Pembimbing :
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok M.si

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2021 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

“BALIA TAMPILANGI”

UPACARA RITUAL ADAT TRADISI SUKU KAILI DI PALU

Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :
Moh. Fauzan Chair
NIM: 11140321000054

Pembimbing,

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si


NIP: 196511291994031002

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H/2021 M
LEMBAR PENYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Moh. Fauzan Chair

NIM : 11140321000054

Fakultas : Ushuluddin

Jurusan/Prodi : Studi Agama-Agama

Judul Skripsi : “Balia Tampilangi” Upacara Ritual Adat Tradisi Suku Kaili di
Palu

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatuallah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 Juni 2021

Moh. Fauzan Chair

ii
ABSTRAK

Moh. Fauzan Chair


“Balia Tampilangi” Upacara Ritual Adat Tradisi Suku Kaili di Palu

Balia Tampilangi adalah sebuah ritual adat yang menjadi tradisi


masyarakat Kaili yang dilakukan turun temurun dalam bentuk sebuah Upacara.
Balia dipercaya telah ada sejak zaman nenek moyang yang menjadi tradisi turun
temurun berkembang menjadi budaya dan adat istiadat bagi masyarakat suku
Kaili. Penamaan Balia sendiri tidak lepas dari literatur bahasa Kaili, kata Balia
Tampilangi terdiri empat suku kata, dua kata pertama yaitu “Bali” artinya
tentang/lawan dan “ia” yang artinya dia, jadi Balia maksudnya adalah melawan
setan yang membawa penyakit dalam tubuh manusia. Pengertian lain juga
menyebutkan bahwa “bali” diartikan sebagai kata ubah atau lawan, dan “ia”
yang diartikan sebagai dia. Sedangkan kata “Tampilangi” juga terdiri dari dua
suku kata yaitu “Tampi” yang artinya Tombak, dan “Langi” yang artinya langit
atau kekuasaan.
Balia Tampilangi diartikan sebagai pasukan Tombak sakti dari langit,
yang siap melawan atau melindungi. Sederhananya, Balia diartikan merubah
seseorang yang sakit menjadi sembuh, melawan roh jahat yang hinggap
membawa penyakit ke tubuh pasien. Secara religius, Balia Tampilangi
merupakan ritual kepercayaan lama suku Kaili yang bernilai sakral.
Kepercayaan ini bisa dibilang dulunya merupakan pemujaan terhadap dewa
(seuatu yang memiliki kekuatan gaib) yang dalam bahasa Kaili disebut
karampua/pue dan juga roh leluhur (nenek moyang yang biasa disebut anitu
ataupun viata..
Dalam penelitian penulis menguraikan sejarah masyarakat Kaili dan
juga Kota Palu sebagai tempat tinggal mayoritas masyarakat Kaili beserta
sejarah-sejarahnya di zaman dulu. Selain itu juga penulis menggambarkan
sejarah perkembangan Agama Islam, Kristen dan Hindu. Untuk mempermudah
penelitian penulis menggunakan pendekatan antropologis, historis dan
fenomenologis yang coba melihat masyarakat, sejarahnya serta gejala-gejala
keagamaan didalamnya.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Upacara Balia Tampilangi yang
memiliki banyak spektrum dimensi dan juga makna-makna yang
dikandungnya, baik di dalam peralatan dan perlengkapannya ataupun di dalam
prosesi Ritualnya. Selain sebagai media pengobatan adat, Balia juga dimaknai
sebagai bentuk silaturahmi antara alam dunia dan alam gaib yang dihuni oleh
roh-roh nenek moyang bagi masyarakat Kaili. Roh-roh nenek moyang (leluhur)
ini mempunyai kekuatan-kekuatan gaib yang dapat menolong keturunan-
keturunannya sehingga harus dilakukan ritual sebagai bentuk penghormatan,
agar diberikan keberkahan dan kekuatan Tuhan melalui perantara mereka.

iv
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan

kita Nabi Muhammad SAW, keluarga sahabat serta para pengikutnya yang setia

berkorban menyebarkan dakwah Islam kepada seluruh umat sampai hari akhir

kelak. Semoga setiap dari kita mendapatkan syafaatnya kelak aamiin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna sebab

menyusun skripsi bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan semangat, kesungguhan

dan kerja keras serta keikhlasan dalam setiap langkahnya. Tentu ini dapat selesai

karena adanya dukungan dari berbagai pihak yang sudah memberikan support,

motivasi, juga bimbingan dan doa kepada penulis. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini izinkan penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak

yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada yang

terhormat:

1. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

bersedia memberikan ilmunya, meluangkan waktu dan tenaganya, yang tidak

pernah bosan membimbing penulis dalam waktu yang cukup lama, dan

memberi semangat kepada penulis untuk bisa cepat dan tidak mengulur-ngulur

waktu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

v
3. Bapak Syaiful Azmi, MA ketua Jurusan Studi Agama-agama Fakultas

Ushuluddin dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA selaku sekertaris Jurusan Studi

Agama-agama. Serta seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Ushuluddin,

khususnya Jurusan Studi Agama-agama yang telah membagikan waktu, tenaga

dan ilmu pengetahuan juga pengalaman berharga kepada penulis.

4. Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer selaku dosen penguji yang sudah

memberikan banyak masukan dan arahan bagi skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Media Zainul Bahri, M.A selaku dosen penasehat akademik

yang sudah bersedia menyetujui tema yang penulis angkat tanpa memerlukan

waktu yang lama, sehingga memudahkan penulis kepada tahap-tahap

berikutnya.

6. Teristimewa penulis hantarkan beribu terima kasih kepada orang tua tercinta

ayahanda Drs. Abd Chair A. Mahmud dan Ibunda Kasturi Hafid, yang telah

bersusah payah mengasuh dan mendidik penulis dengan kasih sayang yang

tidak terhingga serta doa dari beliau yang selalu menyertai penulis. Kemudian

Fajriah Chair (Kak Ian) dan Kak Indra (Ayah Azzam), Farid Chair (Bang

Djarwo) dan Nadifa Abdun (Bibi Difa), yang sudah memotivasi penulis untuk

menjadi pribadi yang dewasa. Tidak lupa pada Azam la botak, Nisa Kelinci

madu dan Atika bu tentara yang sudah menjadi pelipur lara saat penulis sedang

gundah.

7. Penulis juga berterima kasih kepada keluarga besar Abbas Mahmud dan

keluarga besar H. Hafid yang sudah senantiasa memberi wejangan dan doa agar

penulis menyelesaikan studi di tanah rantau. Juga kepada Satuan Serigala

Terakhir Terutama Bang Dolley, Bang Toke, Bang Waiz, Bang Faiz, Bang

vi
Ibenk, Bang Oris, Rana Dewi, Yayu, Faras Caca, Rehan, Imam, Ghina, Puput

dan terkhusus Bung Avisena yang dikagumi dan di taksir oleh roh dua alam.

Terima kasih sudah rela menemani penulis pergi ke tempat penelitian hingga

membuat roh-roh halus terpana.

8. Kepada Insan Cendekia Indonesia yang sudah menjadi keluarga kedua penulis

di tanah rantau. Kepada Kanda-kanda yang terdahulu, juga Kanda Dullah sang

filosof wanita mending kalo dapat, Bang Aan (El Botuna), Kak Boy (Don

Bolong), Kak Adul (Don Ketum), Kak Iccank (Don Joki), Fadly (Don Om) yang

menjadi senior panutan. Rohim si pura-pura lugu, Yogi sang pecinta, Ulla si

ganteng pas-pasan, Chauqi yang tidak takut dara(h), Amar pa calla, Aco

lagendu. Juga Imma yang jenaka tapi berpura tegar, Anti yang murah senyum,

Fuah si hati lembut, Aulia yang rumit tapi baik, Putri yang tak tergapai. Al si

sangar, Danial Si arogan yang baik hati, Asman yang semakin mirip chiko, Rian

yang Rizki febian (cuek), Alma yang terlalu kalem, Aisyah pendiam, Balqis

yang pemalu, Nadya dan Nisa yang ucul. Juga Mangge-mangge Palu, Aji si

Bijak, Hayqal si penulis quotes yang baper sendiri, Bukhori si Pengkaji yang

tak pernah ngaji, Luqman yang hilang arah, Fandy yang malang, Shodiq dan

beat yang tak pantas tersakiti, Habib bli Amnan yang mulai nakal. Juga si Ina-

ina Palu, si artis Anisa, Ririn imut, Syarifah Aulia yang bersahaja, dan Anbiya

anak bawang serta semua teman-teman Ici yang terlalu banyak untuk

disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk warna yang sudah dilukis.

9. Teruntuk Harapan Pemuda Indonesia (HPI) yang juga menjadi rumah kedua

penulis. Teh Laila, Bang Faiz, Septi dan Dede Anin yang sudah seperti saudara

yang memberikan banyak hal dan berbagi kepada penulis.

vii
10. Teman-teman seperjuangan Studi Agama-Agama terkhusus Swandy, Towil,

Mamang, Malih, Qoyum, Ryan, Ibnu, Riky, Dodi, Wamus, Tika, Maya,

Shabrina, Layung yang sudah banyak berbagi dan membantu juga memberi

support kepada penulis.

11. Elemen SD-Alkhairat, SMP Al-Azhar dan Smansa Palu. Guru-guru beserta

Jajarannya. Pak polisi Aryan Hidayat Pakaya, Ndol, Bhektyo brewok, koko

Andres, Dhigo kulawi, Yusup bakery, Fajrin iting, Upik hijrah, Rahmat, Yuyun,

Marini, Eci, Amy, Lulu, Iki, Hero, Bujul, Aswink, Jihad, Oktarin, Kasrita, Leni,

Erni, Edi, Ade Heni yang lalu.

12. Seperangkat Keluarga Desa Tawaili dan Labuan. Kaka Edi Sekeluarga, Mangge

Hais, Mangge Dance, Mangge Samanudi, Mangge Abdillah, Ka Ridho, Aco,

Rizal, Sri, Rose, Moza dan Ana terima kasih untuk keluarga barunya.

13. Kawan-kawan organisasi HMI, PMII, IMM, GMI, IKAMI SUL-SEL,

PERMUDA SUL-TENG.

Demikianlah ucapan terima kasih yang penulis haturkan dengan penuh rasa

khidmat, dan juga kepada masih banyak lagi yang belum dapat tersebutkan satu

persatu. Terima kasih untuk semuanya, semoga Allah SWT membalas semua

kebaikan yang telah diberikan, Aamin.

Jakarta, 28 Juni 2021

Moh. Fauzan Chair

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................. i


LEMBAR PENYATAAN ................................................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH .................................................. iii
ABSTRAK .........................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................................... viii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan masalah .................................................................... 8
C. Tujuan dan kegunaan penelitian ......................................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 9
E. Metodologi Penelitian ......................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 14
BAB II .............................................................................................................................. 15
PROFIL KOTA PALU ................................................................................................... 15
A. Geografis Kota Palu ............................................................................................ 15
B. Sejarah Kota Palu ............................................................................................... 18
C. Penduduk Kota Palu ........................................................................................... 25
BAB III............................................................................................................................. 37
SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM, KRISTEN DAN HINDU DALAM
MASYARAKAT KAILI ................................................................................................. 37
A. Agama Masyarakat Suku Kaili ......................................................................... 37
B. Sejarah Upacara Balia ........................................................................................ 53
C. Macam-macam Upacara Balia .......................................................................... 60
BAB IV ............................................................................................................................. 65
MAKNA UPACARA BALIA......................................................................................... 65
A. Kepercayaan Masyarakat Suku Kaili ............................................................... 65
B. Pengertian Upacara Balia .................................................................................. 68
C. Proses Umum Pelaksanaan Upacara Balia Tampilangi .................................. 74
D. Makna Upacara Balia Tampilangi bagi Masyarakat Suku Kaili ................... 86
BAB V .............................................................................................................................. 96
PENUTUP ........................................................................................................................ 96

viii
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 96
B. Saran .................................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 101

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajemukan merupakan fakta sejarah yang harus diakui oleh bangsa

Indonesia. Kesadaran akan pluralitas tersebut hampir mencakup semua sendi

dalam konteks ke-Indonesiaan, baik ditinjau dari agama, suku dan budaya.

Barth mengemukakan, kemajemukan merupakan elemen penting dalam ciri

sosial dan menjadi pengakuan hubungan antar kelompok etnik dalam kehidupan

suatu bangsa dan negara kesatuan.1 Tidak hanya itu, kemajemukan dan tingkat

pluralitas yang tinggi tersebut terlihat dari banyaknya berbagai tradisi,

kebudayaan dan kepercayaan lokal yang masih kental dan masih saja dilakukan

hingga sekarang, turun menurun dan berkembang setiap tahunnya.2

Ditinjau dari embrio awalnya, manusia dicirikan sebagai makhluk sosial

yang memiliki rasa ingin tahu dan selalu mencari jawaban atas berbagai

pertanyaan yang muncul dalam kehidupan sehari-harinya. Karena itu

muncullah berbagai filsafat dan ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai

jawaban atau alternatif penafsiran kehidupannya. Penafsiran-penafsiran itu

yang kemudian menjadi perdebatan atas fenomena kehidupan sehari-hari yang

berujung pada keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Agunglah yang menjadi

sumber dari segala apa yang terjadi. Hal ini yang kemudian menjadi

kepercayaan atau keyakinan yang secara teologis berkembang menjadi lebih

1
Neng Darol Afia, ed., Tradisi Dan Kepercayaan Lokal Pada Beberapa Suku Di
Indonesia (Jakarta: Badan Litbang Agma Departemen Agama RI, 1999), h. 12.
2
Neng Darol Afia, ed., Tradisi Dan Kepercayaan Lokal Pada Beberapa Suku Di
Indonesia,h. 12.

1
2

sistematis pada gilirannya hal ini menciptakan suatu sistem aturan tertentu.3

Hakikat inilah yang menjadi alasan mengapa manusia melakukan kegiatan-

kegiatan atau kebiasaan-kebiasaan spiritual yang dilakukan turun-temurun.

Singkatnya, sudah menjadi naluri bahwa manusia adalah makhluk yang

spiritual atau Homo Religius, sebagaimana dikatakan oleh Pierre Teilhard de

Chardin: “Kita bukan manusia yang memiliki pengalaman spiritual. Tapi kita

adalah makhluk spiritual yang memiliki pengalaman sebagai manusia”.

Dengan demikian setiap manusia hakikatnya secara alamiah akan bisa

menyadari, merasakan dan merindukan jauh di dalam lubuk hatinya keberadaan

sang sumber kehidupan yang meliputi segalanya. Dan untuk bisa menemukan

makna dan nilai kehidupan di tengah pergulatan yang keras ini manusia

berusaha mencarinya melalui segala sesuatu termasuk seni, budaya, filsafat dan

agama.4

Dalam perkembangannya Agama5-lah yang akhirnya mencakup segala

entitas keteraturan dan mengandung serta merangkul berbagai aspek tersebut.

Entah itu aspek sains atau pengetahuan, sosial, politik, seni, budaya bahkan

aspek magis atau transendental sekalipun. Agama menjadi sistem nilai yang

dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Merujuk pendapat Talcott Parson,

menurutnya agama menjadi satu-satunya sistem acuan nilai (System referenced

values) bagi seluruh tindakan (System of action).6 Dalam konteksnya, agama

3
Mohammad Zazuli, Sejarah Agama Manusia, (Jakarta: Narasi 2018), h. iv.
4
Mohammad Zazuli, Sejarah Agama Manusia, (Jakarta: Narasi 2018) h. iv.
5
Agama dalam hal ini dipahami sebagaimana yang disimpulkan oleh Taylor, adalah
keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual. Menurutnya, semua agama, besar dan kecil, yang primitif
maupun modern, selalu mendasarkan keyakinan pada roh-roh yang berpikir, berprilaku, dan
berperasaan seperti manusia. Lihat, Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), h. 48.
6
Ismail, Sejarah Agama-Agama, (Bengkulu: Pustaka Pelajar 2017) h. vii.
3

ditempatkan sebagai satu-satunya referensi bagi para pemeluknya dalam

mengarahkan sikap dan menentukan orientasi tindakan. Artinya secara ideal

agama dijadikan semacam acuan jati diri yang dapat memberi makna bagi corak

interaksi sosial masyarakat.

Geertz dalam satu kesempatan lain ia mendefinisikan agama sebagai

sistem simbol. Sistem simbol adalah apa saja yang berupa gambaran, citra,

lukisan, barang atau tempat yang mempresentasikan nilai-nilai dan ajaran-

ajaran agama. Dalam hal ini Geertz memberi contoh Al-Qur’an umpamanya

dapat dipandang sebagai simbol wahyu Tuhan, Ka’bah sebagai simbol

persatuan umat Islam, dan masjid sebagai symbol kesucian Agama Islam.

Contoh lain Agama Kristen misalnya, salib dapat dipandang sebagai symbol

kebaikan hati Jesus Kristus, Gereja sebagai symbol kesatuan, dan persatuan

agama Kristen dan begitu seterusnya juga berlaku untuk agama-agama lainnya.7

Ungkapan Greetz yang tersohor adalah bahwa “agama merupakan

simbol kenyataan dan untuk kenyataan” (religion is a symbol of and for reality).

Statemen bahwa agama “merupakan symbol kenyataan” menandakan bahwa

dalam pandangan Geertz agama bersifat rasional karena sesuai dengan

kenyataan. Ini memenuhi syarat-prasyarat the science of religion yang

meniscayakan agar agama dipaparkan secara rasional dan ilmiah. Di sini

kenyataan (reality) berperan sebagai yang membentuk agama. Kemudian,

ungkapan bahwa agama adalah “simbol untuk kenyataan” menjelaskan

sebaliknya bahwa agama membentuk kenyataan. Secara fenomenologis agama

7
Abdul Kadir Riyadi, “Charles J. Adams’: Antara Reduksionisme dan Anti-
Reduksionisme Dalam kajian Agama”, dalam Jurnal Islamica, (Surabaya: Pascasarjana UIN Sunan
ampel Surabaya, September 2010, Vol. 5, No. 1), h. 22.
4

dapat didefinisikan sebagai sebuah kesadaran mengenai (a) adanya dunia yang

berlawanan yaitu gaib dan empiris. (b) bagaimana manusia sebagai bagian

dunia empiris. (c) dapat menjalin hubungan simbolik dengan dunia gaib

tersebut.8

Banyak aspek yang membuat manusia kemudian menjadikan agama

sebagai suatu sistem yang harus dianut. Itu tidak terlepas dari zaman agama

primitif dimana manusia mulai menciptakan suatu tatanan sistem keagamaan

yang baku. Ini tidak terlepas karena manusia adalah pokok dari kebudayaan.

Kebudayaan adalah keseluruhan dari ide-ide, tindakan dan hasil karya manusia

dalam rangka menjalani kehidupan masyarakat yang berhubungan antara

manusia dan manusia, manusia dan alam, serta hubungan manusia dan Tuhan.9

Diantaranya ialah aspek mitologi, dimana ada kecenderungan mempercayai

mitos-mitos dan cerita-cerita dari fenomena alam yang dihubungkan dengan hal

mistis. Gambaran mitologi tentang matahari, bulan, bintang yang menurut

kepercayaan di masa itu dikuasai oleh dewa-dewa. E. Bethe mengatakan dalam

bukunya “Mythus” bahwa mitos merupakan filasafat primitive, walaupun mitos

terdengar irrasional atau tidak masuk akal namun demikianlah dipercayai tanpa

keterangan yang ilmiah bahkan tanpa kritik seperti pemahaman anak kecil.

Penjelasan-penjelasan tentang kejadian alam dipahami dengan teori yang

berkembang di masa itu dengan praktis.10

8
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk
Memahami Agama”, dalam Jurnal Walisongo (Semarang: LP2M, UIN Walisongo, November 2012,
volume 20, nomor 2), h. 292.
9
Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan (Jakarta: CSIS, 1978), h. 3-4
10
Ismail, Sejarah Agama-Agama. (Bengkulu: Pustaka Pelajar 2017) h. 18.
5

Aspek selanjutnya adalah aspek ritual, yaitu kepercayaan pada

kesakralan terhadap sesuatu yang menuntut ia diperlakukan secara khusus. Ada

tata cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan seperti upacara ataupun

perlakuan khusus yang tidak dapat dipahami secara sains dan rasional. Tiap

agama mempunyai tata cara serta aturan yang berbeda dalam kegiatan

keagamaan yang mereka lakukan, baik itu cara-cara pemujaan terhadap Tuhan

maupun upacara keagamaan lainnya. Upacara keagamaan tersebut ada yang

bersifat ritual dan ada yang bersifat seremonial. Pola peribadatan atau ritual ini

pada dasarnya merupakan symbol dari dimensi keyakinan diri terhadap sesuatu

yang dianggap agung.11

Misalnya; upacara, sesajen, ibadah keagamaan dan sebagainya, ini

biasanya tidak semua aspeknya dapat dipahami secara rasional dan logis. Ia

dilakukan secara turun-temurun bahkan mengakar menjadi adat istiadat

setempat oleh masyarakat primitif dari dulu hingga sekarang, dan dipahami

secara pragmatis. Upacara yang tidak dipahami alasan konkretnya itu

dinamakan rites dalam bahasa Inggris berarti tindakan atau upacara keagamaan

seperti; upacara penguburan mayat, upacara pembaptisan, sakramen, jamuan

suci dan lain sebagainya. Ritual adalah kata sifat (adjective) dari rites dan ada

juga yang merupakan kata benda.

Sebagai kata sifat ritus adalah segala yang dihubungkan atau

disangkutkan dengan upacara keagamaan seperti ritual dance dan ritual laws.

Sedangkan sebagai kata benda, ritual adalah segala yang bersifat upacara

keagamaan.12 Dalam pandangan antropolog, upacara ritual dikenal dengan

11
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 33
12
Ismail, Sejarah Agama-Agama, (Bengkulu: Pustaka Pelajar 2017) h. 24.
6

istilah ritus. Ritus dilakukan ada yang tujuannya untuk mendapatkan berkah

atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan, seperti contohnya upacara sakral

ketika akan turun ke sawah ataupun saat panen, menolak bala atau bahaya,

mengobati penyakit (rites healing). Aspek aspek keagamaan Ritual (ritus)

inilah yang masih berkembang di berbagai wilayah di Indonesia. Tak terkecuali

di Palu Sulawesi Tengah tempat penulis tinggal. Jika di Toraja Sulawesi selatan

terdapat upacara yang sangat terkenal dengan menggantikan baju atau kain

jenazah orang tua atau nenek moyang yang sudah menjadi mayat puluhan atau

bahkan ratusan tahun lalu yang disebut dengan upacara Ma’nene. Maka di Palu

terdapat upacara “Balia” yaitu ritual penyembuhan orang sakit yang menurut

penulis cukup menarik untuk dikaji lebih dalam.

Upacara Balia sederhananya adalah bagian dari kepercayaan lokal suku

Kaili di Sulawesi Tengah. Kepercayaannya terbagi atas dua yaitu animisme dan

dinamisme, animisme atau pemujaan terhadap roh yang berhubungan dengan

kehidupan manusia. Artinya, roh yang dipercaya dapat membantu atau

memudahkan kepentingan manusia, bahkan roh itu dapat mengganggu dan

mencelakai seseorang.13 Masyarakat daerah ini juga mempercayai bahwa setiap

benda (di alam) memiliki kekuatan gaib yang dipercaya dapat memberi

kedamaian maupun ancaman, baik secara kolektif terhadap masyarakat maupun

Individu, baik di daerah agraris maupun maritim. Kepercayaan terhadap

kekuatan gaib tersebut mampu mengatur sikap, menjadi rambu-rambu tingkah

13
Lukman Nadjamuddin, Dari Animisme ke Monoteisme: Kristenisasi di Poso 1892-
1942 (Yogyakarta: YOI, 2002), h. 13-16.
7

laku (hukum adat) agar dapat menjalani kehidupan yang seimbang terhadap

lingkungan alam sekitar agar selalu terjaga dengan baik.14

Masyarakat Kaili mengenal atau percaya dengan keberadaan karampua

langi (penguasa langit) roh atau dewa yang mengatur iklim, cuaca, bulan, dan

matahari, serta benda-benda langit lainnya. Selain itu masyarakat juga percaya

akan adanya karampua ntana (penguasa tanah/bumi) yaitu roh atau dewa yang

mengatur kehidupan di bumi, gempa, banjir, angin ribut, dan lain-lain.

Masyarakat juga percaya pada kekuatan arwah yang dapat menyembuhkan

berbagai macam penyakit. Kekuatan menyembuhkan inilah yang kemudian

dikenal dengan ritual Balia.

Upacara (Magis) ini dilakukan untuk mengobati atau menolak penyakit

oleh seorang atau beberapa dukun atau biasa disebut sando sebagai mediator

antara penyebab atau sumber penyakit dengan si sakit tersebut. 15 Tujuan

pokoknya adalah penyembahan (persembahan), permohonan dan perlindungan

kepada kekuatan gaib sebagai sumber pemberi rezeki, keselamatan, sekaligus

malapetaka bagi manusia. Hingga kemudian dikenal empat macam balia, yaitu

balia to manuru, balia jinja dan balia tampilangi. Olehnya dapat dikatakan

bahwa balia merupakan salah satu ritus purba yang belum mendapat sentuhan

pemikiran monoteisme pada masanya. Hingga kini, upacara ritual ini masih

dilakukan oleh masyarakat Kaili dan masih diyakini keampuhannya dalam

menyembuhkan penyakit yang diderita oleh seorang pasien pesakit.16

14
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 4.
15
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), hal. 18.
16
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu. (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h. 4.
8

Atas dasar inilah kemudian penulis tertarik untuk meneliti makna serta

macam dan apa saja unsur-unsur dalam pelaksanaan upacara balia ini. Dengan

hal ini penulis ingin mengetahui lebih dalam makna ritual ini dengan melihat

secara langsung, menjelaskan fenomena keagamaan, serta menggambarkan

makna Balia secara objektif. Disamping itu penulis merasa kajian ini akan

menambah khazanah keilmuan dan memperkenalkan budaya serta kepercayaan

lokal dari daerah dimana penulis berasal. Penulis juga ingin lebih mendalami

dan memahami makna upacara ini yang menurut penulis cukup menarik

perhatian karna mengandung paham-paham animisme dan dinamisme bahkan

terdapat sinkretisme dengan Agama Islam di masa sekarang, Serta juga tradisi

ritual kepercayaan lokal didalamnya. Sesuai latar belakang inilah penulis

mengajukan judul skripsi yang berjudul “Balia Tampilangi” Upacara Ritual

Adat Tradisi Suku Kaili di Palu”

B. Pembatasan dan Rumusan masalah

Umumnya memang setiap karya tulis perlu dibuatkan pembatasan

masalah agar tujuan pembahasan tetap terarah dan tidak menyimpang dari target

yang diinginkan. Pembatasan masalah dalam skripsi sangat diperlukan karna

beragamnya kepercayaan yang ada di Sulawesi khususnya Sulawesi tengah

yang memiliki aspek-aspek yang cukup luas. Batasan dalam penelitian ini,

merujuk pada permaknaan upacara Balia di Palu sesuai yang dipersepsikan oleh

kesadaran masyarakat setempat. Dengan begitu, pengungkapan akan makna

tersebut merupakan substansi batasan dalam penelitian ini.


9

Berdasarkan Batasan masalah yang coba penulis uraikan di atas, maka

penelitian dalam skripsi ini akan dititik beratkan pada pokok permasalahan

sebagai berikut, yaitu:

1. Apa makna dari Upacara Balia Tampilangi menurut masyarakat suku Kaili

di Palu?

2. Apa saja unsur-unsur dilaksanakannya upacara Balia Tampilangi?

C. Tujuan dan kegunaan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan makna upacara Balia masyarakat

suku Kaili untuk memperkaya khazanah intelektual.

2. Menjelaskan apa saja unsur-unsur dilaksanakannya upacara Balia

Selain itu kegunaan lainnya adalah:

1. Secara akademik, penelitian ini kiranya mampu memperkaya dan

menambah wawasan pembaca akan kebudayaan dan kepercayaan lokal di

Indonesia.

2. Menjadi karya ilmiah untuk mendapatkan gelar S1 dalam bidang Ilmu

Perbandingan Agama.

D. Tinjauan Pustaka

Pada dasarnya penelitian tentang upacara Balia pernah dilakukan oleh

Shinta dalam bentuk skripsi dengan judul “Ritual Upacara Balia pada

Masyarakat Kaili di Kelurahan Tipo Kecamatan Ulujadi Kota Palu” pada

tahun 2009, fakultas Sastra Budaya Universitas Gorontalo. Namun, dalam


10

penelitian tersebut hanya membahas aspek budaya dan bagaimana cara atau

bentuk pelaksanaan upacara Balia.

Penelitian tentang upacara Balia ini juga pernah dilakukan oleh

Zaifullah dalam bentuk Thesis yang berjudul “Upacara penyembuhan penyakit

adat Balia etnis Kaili Kota Palu dalam Perspektif Hukum Islam. Penelitian ini

lebih bertujuan untuk menganalisis pandangan orang-orang muslim setempat

dalam memahami upacara Balia.

Adapun yang menjadi pembeda karya tulis atau penelitian ini dengan

karya tulis di atas adalah bahwa penulis ingin berusaha memahami dan

menggali makna religius yang terkandung dalam upacara Balia pada

masyarakat suku Kaili di Palu ini dengan objektif. Untuk kemudian dipahami

lebih mudah dengan perspektif yang juga objektif.

E. Metodologi Penelitian

Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan

dengan maksimal.17 Agar penelitian ini mendapatkan hasil yang dapat

dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode ini perlu dan berfungsi

sebagai cara dalam mendapatkan informasi dari apa yang ingin diketahui. Selain

itu juga metode membuat penelitian berjalan lebih terarah dan efektif sehingga

bisa mencapai hasil yang maksimal.

Disamping itu, metode merupakan cara bertindak agar penelitian

berjalan terarah dan efektif sehingga bisa mencapai hasil yang maksimal.

Penulis melakukan penulisan dengan pendekatan antropologis, dimana

17
Winarno Surachmad, Pengantar Metodologi Ilmiah Dasar Metode dan Teknik
(Bandung: Warsito, 1990), h. 30.
11

pendekatan ini dapat dipahami mendekati dan meneliti sesuatu yang

berhubungan dengan manusia (masyarakat) sebagai makhluk hidup atau

makhluk sosial budaya.18

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, menggunakan jenis

kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Strauss dan Corbin dalam Cresswell,

J. (1998:24), yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah jenis

penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat

dicapai atau diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik

atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif

secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan

masyarakat, sejarah tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktifitas sosial

dan lain-lain. Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah

pengalaman para peneliti dimana metode ini dapat digunakan untuk

menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang

kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara

memuaskan.19 Maka begitu, pemilihan jenis penelitian kualitatif ini sangat

relevan dengan substansi penelitian dalam skripsi ini, sebab memiliki fokus

pada mengungkap makna upacara Balia yang ada di Palu.

Sementara, ditinjau dari sifatnya, penelitian ini menggunakan

deskriptif-analitis. Penelitian bersifat deskriptif-analitis, yaitu suatu

penelitian yang berupaya menggambarkan sekaligus mengeksplorasi secara

18
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 34.
19
J. Cresswell, Research Desig: Qualitative & Quantitative Approaches, (CA: Sage
Publications, 1998), h. 24.
12

mendalam dan detail untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang

makna dan pengaruh upacara Balia bagi masyarakat suku Kaili Sulawesi

Tengah. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan historis-antropologis. Pendekatan historis merupakan

pendekatan yang dipakai untuk mempelajari, menyelidiki, dan meneliti

agama-agama. Dengan pendekatan historis, suatu studi berusaha menelusuri

asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan pranata keagamaan melalui periode-

periode perkembangan historis tertentu dan menilai peranan kekuatan-

kekuatan yang dimiliki agama untuk memperjuangkan (mempertahankan)

dirinya selama periode-periode itu.

Selain pendekatan historis, penelitian ini juga menggunakan pendekatan

Antopologis. Pendekatan antropologis mencoba memahami kebudayaan-

kebudayaan produk manusia yang berhubungan dengan agama, sejauh

mana agama memberi pengaruh terhadap budaya dan sebaliknya sejauh

mana kebudayaan suatu kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap

agama.20 Yang kedua adalah pendekatan Fenomenologis. Dimana

pendekatan ini sesuai dengan teori yang tersematkan oleh Edmund Husserl

yang bertujuan untuk memahami ide-ide, gejala-gejala, tingkah laku,

ataupun pranata-pranata dengan menangkap maksud yang terkandung

didalamnya. Dan yang terakhir pendekatan Historis yang mencoba melihat

dengan perspektif atau kaca mata sejarah.21

2. Sumber Data

20
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 48.
21
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 48
13

Sesuai dengan objek penelitian, maka yang digunakan adalah

pengkajian terhadap bahan pustaka (book survey). Untuk keperluan tersebut

digunakan sumber data, yang terbagi dua yaitu data primer dan sekunder.22

Data primer yang akan menjadi rujukan yaitu berupa hasil wawancara

pribadi dan observasi penelitian lapangan.

Adapun sumber data lainnya yang tidak secara khusus mengkaji tentang

tema terkait namun mengandung informasi yang dapat mendukung

penjelasan permasalahan dikelompokkan dalam data sekunder. Seperti

buku, teks, jurnal, makalah, media online seperti internet atau literatur buku-

buku yang membahas tentang tema yang terkait dengan objek penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian dengan

cara memanfaatkan buku-buku perpustakaan, jurnal, dan majalah yang

relevan dengan topik pembahasan sehingga dapat memperoleh data-data

yang jelas. Selain itu juga penulis menggunakan media internet sebagai

tambahan materi pada karya ini.

b. Penelitian lapangan (field Research), artinya penulis mendatangi dan

mengumpulkan data di lapangan. Kegiatan penelitian di lapangan

dilakukan dengan cara berikut:

1. Observasi, dengan teknik ini penulis akan mengamati bagaimana

cara upacara Balia di Palu.

2. Wawancara dengan pemerintah setempat.

3. Wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat setempat.

22
Koentjaraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997), h. 60.
14

4. Dokumentasi, pengambilan gambar di tempat penelitian.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulis dalam pembahasan, skripsi ini diuraikan

atau terbagi menjadi 5 (lima) bab yang terdiri dari sub-sub bab, sebagai berikut.

Bab I: Merupakan pendahuluan yang meliputi lima sub, yaitu: Latar

Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan kegunaan

Penulisan, metode penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.

Bab II: Membahas dan mengenalkan Masyarakat suku Kaili, yang

terbagi atas tiga bagian, yaitu: Letak Geografis kota Palu, Sejarah Kota Palu,

Penduduk Kota Palu, dan Kondisi sosial Kota Palu. Hal ini berfungsi untuk

memberi gambaran lebih jauh mengenai asal muasal daerah pelaksanaan

Upacara Balia tersebut.

Bab III: Membahas Tentang Sejarah Perkembangan Islam, Kristen dan

Hindu dalam Masyarakat Kaili yang terdiri dari: Agama masyarakat Suku Kaili,

Sejarah Upacara Balia, dan Macam-macam Upacara Balia

Bab IV: Membahas tentang Makna Upacara Balia Tampilangi

Masyarakat Suku Kaili yang terdiri dari: Kepercayaan Masyarakat Suku Kaili,

Prosesi Umum Upacara Balia Tampilangi, Makna Upacara Balia Tampilangi

bagi masyarakat suku Kaili.

Bab V: Adalah penutup, merupakan bab terakhir yang menguraikan

Tentang Kesimpulan dan Saran.


BAB II

PROFIL KOTA PALU

A. Geografis Kota Palu

Kota Palu merupakan sebuah kota yang berada di tengah Pulau Sulawesi

yang juga merupakan Ibukota provinsi, tepatnya Provinsi Sulawesi Tengah.

Secara geografis luas wilayah Kota Palu membentang sejauh 395,06 km2,

terletak dalam 0º,36” - 0º,56” Lintang Selatan (LS) 119º, 45” - 121º,1” Bujur

Timur (BT). Diapit oleh pegunungan di sisi timur dan barat, dan teluk yang

memanjang. Dan berada tepat di bawah lintang garis Khatulistiwa, dengan

ketinggian 0-700meter dari permukaan laut.23 Sekarang ini Kota Palu terdiri

dari 8 kecamatan yang mencakup 46 kelurahan dengan jumlah penduduk

berjumlah kurang lebih 368.867 jiwa dengan persebaran penduduk 932

jiwa/km2.24

Dahulu Kota Palu hanya terbagi 4 kecamatan sesuai arah mata angin

yaitu Kecamatan Palu Barat, Palu Timur, Palu Utara dan Palu Selatan. Empat

kecamatan baru mekar kemudian yaitu Kecamatan Tatanga, Kecamatan

Ulujadi, Kecamatan Mantikulore, dan Kecamatan Taweli. Ini sesuai dengan

peraturan daerah no. 4 Tahun 2012.25 Empat wilayah lain yang kemudian

bertetangga dengan kota Palu adalah Kabupaten Donggala di bagian barat,

Kabupaten Parigi Moutong dan juga Donggala di bagian Timur, Kabupaten Sigi

di bagian Selatan serta Donggala yang kembali berbatasan di bagian Utara.26

23
Profil Kota Palu, Kota di titik Nol (Pemerintah Kota Palu:2009), hal. 10.
24
Jurnal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Palu Tahun 2016-2020.
25
Kota Palu didalam Perda Kota Palu no. 4 Tahun 2012 terjadi perkembangan dimana
mekarnya 4 wilayah baru sebagai kecamatan. Lihat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum
Kota Palu.
26
Website Resmi Kota Palu PaluKota.go.id

15
16

Letak Kota Palu berbentuk memanjang dari timur ke barat terdiri dari

dataran rendah, dataran bergelombang dan dataran tinggi. Berdasarkan

topografinya, wilayah Kota Palu dapat dibagi menjadi 3 zona ketinggian yaitu;

Sebagian kawasan bagian barat sisi timur memanjang dari arah utara ke selatan,

bagian timur ke arah utara dan bagian utara sisi barat memanjang dari utara ke

selatan merupakan dataran rendah/pantai dengan ketinggian antara 0 – 100 m

di atas permukaan laut. Kawasan bagian barat sisi barat dan selatan, kawasan

bagian timur ke arah selatan dan bagian utara ke arah timur dengan ketinggian

antara 100 – 500 m di atas permukaan laut. Kawasan pegunungan dengan

ketinggian lebih dari 500 m di atas permukaan laut.

Kota Palu memiliki landskap yang khas dan unik, yaitu dibelah oleh

aliran sungai yang mengalir dari arah selatan. Sementara sisi barat dan timurnya

terdapat pegunungan cenderung lonjong ke arah utara membentuk garis pesisir

teluk yang cukup menawan dan bagi masyarakat setempat dijadikan kawasan-

kawasan wisata. Dimensi dari gunung, sungai, laut dan pesisir teluknya pun

mempunyai bentuk yang tidak begitu beraturan dan punya ciri khasnya

tersendiri.

Tipe iklim Kota Palu pun mempunyai iklim yang mirip dengan daerah-

daerah lain di Indonesia. Sebagaimana Indonesia yang beriklim tropis, terdapat

dua musim yang bisa ter-identifikasi dengan baik sering terjadi, yaitu musim

panas dan musim dingin. Musim panas terjadi diantara bulan April hingga

September, Sementara musim dingin biasanya terjadi diantara bulan Oktober

hingga Maret. Curah hujan di Kota Palu tertinggi biasanya terjadi di bulan

Agustus yaitu 199,00 mm, dan yang terendah pernah tercatat di bulan oktober
17

yaitu 12,80 mm, dengan kecepatan angin berada diantara 3-5 knot dengan posisi

arah dari utara. Dengan distribusi hujan yang hampir merata, serta komunikasi

antar wilayah yang baik membuat sumber air dan sungai serta pengalirannya

berada dalam kondisi yang cukup baik.

Suhu udara Kota Palu rata-rata diangka 26,60c. sedangkan suhu

terendah yang pernah tercatat yaitu diangka 25,70c biasanya terjadi dibulan

Agustus. Kelembaban udara juga rata-rata tertinggi terjadi dibulan agustus,

mencapai 83 persen, dan yang terendah yaitu 75 persen terjadi dibulan

Februari.27 Kota Palu memiliki jenis tanah Alluvial yang unsurnya terdiri atas

batuan gunung berapi dan batuan terobosan yang tidak membeku (Inncous

Intrusive Rocks), juga bebatuan metamorphosis dan sedimen. Diwilayah

dataran lembah kota Palu diperkirakan menjadi wilayah yang cocok untuk

pertanian yang intensif. Dari sinilah asal mula kemudian kenapa masyarakat

Palu khususnya Suku Kaili memilih bercocok tanam selain menjadi pedagang

dan nelayan.

Perlu diketahui bahwa Kota Palu merupakan titik pertemuan tiga

lempeng tektonik utama dunia yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik,

dan lempeng Eurasia. Sehingga Palu berada di zona benturan tiga lempeng

besar dunia yang membuat Palu kemudian menjadi daerah yang masuk dalam

zona rawan bencana zona 4, atau yang biasa dijuluki sesar Palu koro. Faktor

inilah yang kemudian membuat Palu tidak memiliki begitu banyak bangunan

yang berkonstruksi tinggi. Selain itu, konstruksi bangunanannya berbeda dari

27
Profil Kota Palu, Kota di titik Nol (Pemerintah Kota Palu:2009), hal. 12.
18

kota-kota pada umumnya dengan tingkat kepadatan bahan yang tinggi juga

diimbangi dengan posisi yang berjarak, namun tetap berkelompok.

Sumber: kebudayaan.kemendikbud.go

Jika ditanya mengenai arsitektur khas Kaili sebagai suku asli kota Palu

Sulawesi Tengah, maka dengan cepat jawabannya adalah Souraja. Souraja

merupakan perlambangan rumah adat Sulawesi tengah secara umum termasuk

Palu secara khususnya. Selain Souraja terdapat juga balai yang berbentuk

seperti rumah panggung yang cukup luas tanpa sekat atau yang biasa disebut

baruga. Baruga dan Souraja berfungsi sebagai balai, tempat berkumpulnya para

petinggi-petinggi untuk musyawarah atau rapat dalam memutuskan atau

menentukan berbagai kebijakan yang akan diambil pemerintah pada masa

kerajaan saat itu

B. Sejarah Kota Palu

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Palu merupakan sub wilayah

(onder afdeling) dari Donggala sebagai wilayah (afdeling) Sulawesi Tengah

(Midden Celebes). Onder Afdeling Palu saat itu membawahi 3 wilayah turunan

(Landschap) yang terdiri dari Landskap Palu meliputi Distrik Palu Timur, Palu

Tengah, dan Palu Barat. Landskap Kulawi, dan Landskap Sigi Dolo. Pengalihan
19

pusat pemerintahan dari Donnggala ke Palu terjadi pada tahun 1950, ketika

sebelumnya di tahun 1942 kota Donggala yang diduduki Jepang dihancurkan

oleh tentara sekutu dalam Perang Dunia II. Melalui undang- undang nomor 44

tahun 1950 wilayah Sulawesi Tengah kemudian berkedudukan di Poso, dan

Palu menjadi daerah tempat kedudukan kepala pemerintahan negeri (KPN)

setingkat wedana. Palu kemudian berubah status dan berkembang menjadi

Ibukota karesidenan pada tahun 1957.

Sumber: PaluKota.go.id

Perubahan ini sekaligus menandai tonggak sejarah eksistensi Kota Palu

di zaman Indonesia merdeka. Undang-undang nomor 13 tahun 1964 tentang

pembentukan Provinsi Daerah tingkat 1 Sulawesi Tengah membuat arti penting

bagi Palu sebagai Ibukota Provinsi. Kota Palu kemudian menjadi kota

Administratif melalui Peraturan pemerintah nomor 18 tahun 1978. Palu

berkembang dalam statusnya yang terakhir sebagai kotamadya pada tahun 1994

melalui undang-undang tahun 1994 dengan wilayah yang meliputi kota

administratif Palu dan Sebagian wilayah kecamatan tawaeli.28

28
Profil Kota Palu, Kota di titik Nol (Pemerintah Kota Palu:2009), hal.8-9.
20

Kita yakin bahwa setiap wilayah atau daerah administratif selalu

memiliki kisah sejarahnya masing-masing yang unik dan khas. Yakni proses

perjalanan alamaiah atas dasar kondisi sosial, budaya, dan politik warga

masyarakatnya. Demikian pula halnya dengan kota Palu. Keunikan Kota Palu

justru bersumber dari Riwayat-riwayat kemegahan tanah leluhurnya yang

dikenal sebagai Kota Kerajaan Tanah Kaili. Aktualitas nilai historis ini masih

tetap mengakar dalam benak masyarakat luas.

Berdasarkan penelitian Prof. Drs. Tjatjo Thaha, arti atau makna dari kata

“Palu” memiliki lima versi. Versi yang pertama menyebutkan, bahwa “Palu”

berasal dari Bahasa kaili, yakni dari kata “Buluvatumpalu” yang artinya sejenis

pohon yang tumbuh di daerah Lasoani.29 Lasoani merupakan derah dataran

tinggi di kecamatan Palu Timur. Kedua, sebagaimana dituturkan oleh Palisu

Dg. Marau, bahwa pohon besar itu sekarang sudah tidak ada lagi, namun pohon

tersebut telah mengukir sejarah gemilang. Yaitu lahirnya suatu kota yang diberi

nama “Palu”. Versi ketiga ialah seperti dituturkan oleh bapak Yondi Marauna,

bahwa kata “Palu” mempunya pengertian sebagai “penunjuk arah selatan”.

Menurut beliau, di jaman dahulu, Ketika orang-orang Tawaeli hendak pergi

kearah kota Palu, mereka selalu menyebut “hau ri Palu” sambal menunjukkan

arah ke selatan. Dengan demikian, kata “Palu” dalam versi ini kemudian orang-

orang tersebut ditujukan bagi mereka yang bukan asli Palu dalam

menggambarkan kata tempat yaitu “Palu”.

29
Buluvatumpalu diartikan sebagai sejenis pohon yang tumbuh didaerah Lasoani,
sebagaimana yang dituturkan oleh Palisu Dg. Marau. Lihat Darwis dkk Jejak wakil rakyat di tanah
kaili, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 5.
21

Versi keempat adalah penuturan dari Drs. Indra B. Wumbu, yakni bahwa

nama “Palu” berasal dari Bahasa Kaili, yaitu “PaloE” (huruf terakhir (E) adalah

hurufkapital – E). kemudian, mungkin dikarenakan adanya perubahaan ejaan

‘oe’ menjadi ‘u’, maka kata “PaloE” pun berubah menjadi kata “Palu”. Versi

terakhir adalah versi yang dituturkan oleh bapak H.D Garamusu, nama “Palu”

berasal dari kata “PaluE” yang berarti mengeluarkan Sebagian dari perahu

karena terlalu sarat. Kata tersebut, menurutnya, sering diucapkan oleh orang-

orang yang tinggal atau bermukim di lembah Palu, yang waktu itu bermata

pencaharian memancing ikan. Ketika ikan yang diperoleh terlalu banyak, maka

sambal mengatakan “PaluE” mereka membuang Sebagian muatan perahunya

yang sarat tadi. 30

Pada awalnya, wilayah Kota Palu disebut sebagai kerajaan tanah kaili,

dan Palu berfungsi sebagai ibu negeri. Menurut catatan sejarah, kerajaan tokaili

sebagai masyarakat asli kota Palu, sudah cukup lama mengenal struktur

pemerintahan dan mekanisme demokrasi kerajaan. Hal ini terbukti karena

masyarakat pada waktu itu sudah memberlakukan sistem pemerintahan adat

raja-raja, yang di dalamnya memiliki badan legislatif dan badan eksekutif

dengan tiga macam susunan:

1. Petanggota, yaitu Menteri pemegang kekuasaan berjumlah empat orang dan

berfungsi sebagai Lembaga legislatif.

2. Pitunggota, yaitu Menteri pemegang kekuasaan, berjumlah tujuh orang dan

berfungsi sebagai Lembaga legislatif.

30
Darwis dkk, jejak wakil rakyat di tanah kaili, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2005), hal.
6.
22

3. Walunggota, yaitu Menteri pemegang kekuasaan, berjumlah delapan orang.

Prof. mattulada dalam bukunya, sejarah kebudayaan to-kaili, secara

detail menjelaskan struktur dan sistem pemerintahan kerajaan Tokaili. Melalui

perspektif budaya (adat), prof. Mattulada menyebutkan bahwa tata

pemerintahan kerajaan tanah kaili dipimpin oleh Magau.31 Khususnya di dalam

menentukan aturan-aturan adat, Magau sebagai pemimpin tertinggi pemerintah

didampingi oleh pitunggota atau petanggota yang diketuai oleh Baligau.

Permusyawaratan di antara pemerintah dengan dewan adat dilakukan di Baruga

atau Bantaya (balai adat). Melalui musyawarah di Baruga ini ditetapkan “ada

nunggata atau kagau ringata” (peraturan adat negeri/kerajaan). Keputusan/hasil

permusyawaratan itu umumnya disebut sintuwu nungata (adat kesepakatan

dalam negeri). Keputusan itu dimaksudkan sebagai pedoman bagi jalannya roda

pemerintahan yang akan dilaksanakan oleh Magau bersama aparat

pemerintahan (eksekutif) lainnya.

Tata pemerintahan Kerajaan Tanah Kaili dipimpin oleh seorang raja.

Sang raja dianggap sebagai keturunan “To manuru” atau dewa Batara di

khayangan yang menikah dengan orang terkemuka di bumi. Orang terkemuka

tersebut dikenal dengan Tomalanggi. Raja-raja yang merupakan keturunan “To

manuru” dikenal dengan sebutan Madika atau Magau. Kerajaan Tanah Kaili,

yang juga meliputi wilayah kota Palu sekarang, dikenal pernah terdapat empat

kerajaan besar, yaitu:

1. Kerajaan Palu

31
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
hal. 48.
23

2. Kerajaan Taweli

3. Kerajaan Sigi

4. Kerajaan Banawa

Dari keempat kerajaan tersebut, kerajaan Sigi dan Banawa yang dikenal

sebagai kerajaan terbesar dan paling disegani sehingga sering disebut sebagai

kerajaan Sulawesi Tengah dengan pusat di Bora dan Donggala.32 Setelah

melalui proses penggabungan maupun perpecahan, kerajaan-kerajaan yang ada

di Lembah Palu semakin bertambah. Pertambahan juga diakibatkan oleh

beberapa sebab lain seperti peperangan, pewarisan, ataupun, perkawinan,

sehingga kemudian berkembang menjadi tujuh kerajaan, yaitu:

1. Kerajaan Palu

2. Kerajaan Sigi

3. Kerajaan Kulawi

4. Kerajaan Parigi

5. Kerajaan Banawa

6. Kerajaan Tawaeli

7. Kerajaan Moutong.

Dalam pola ataupun sistem pemerintahannya, Kerajaan Tanah Kaili

menerapkan struktur pemerintahan yang feodalistik, dengan susunan sebagai

berikut:

1. Magau - atau Raja yang dipilih dan dilantik oleh adat.

32
Darwis dkk, Jejak wakil rakyat di tanah kaili, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005),
hal. 8.
24

2. Madika Malolo – atau Raja Muda sebagai wakil Raja yang Persyaratannya

sama dengan Magau.

3. Madika Matua – atau Perdana Menteri merangkap urusan ekonomi dan Luar

Negeri, yang diangkat/diberhentikan oleh Magau atas persetujuan Baligau

atau Ketua Pitunggota.

4. Punggawa – atau Menteri Luar Negeri.

5. Tadulako – atau Menteri Dalam Negeri.

6. Galara – atau Menteri Kehakiman.

7. Pabicara – atau Menteri Penerangan.

8. Syahbandar – atau Menteri Perhubungan Laut.

Masuknya pengaruh Belanda yang didahului dengan perang di akhir

abad ke-19, mengakibatkan takluknya kerajaan-kerajaan di Lembah Palu.

Setelah takluk, kerajaan-kerajaan Tanah Kaili diikat dengan perjanjian berupa

perjanjian jangka Panjang (Lang contract) dan perjanjian jangka pendek (Korte

verklaring).33 Menurut keterangan dan manifestonya sebenarnya ketika

pengaruh Belanda mulai masuk, kerajaan-kerajaan di lembah Palu bukan tanpa

perlawanan atau menyerah dan takluk begitu saja. Akan tetapi terlebih dahulu

melalui perlawanan dan perjuangan yang begitu sengit dan demikian seru.

Munculnya perlawanan tersebut disebabkan karena kalangan Raja mempunyai

rasa merdeka dan tidak ingin dijajah oleh bangsa asing. Meskipun masing-

masing Raja melawan Belanda dengan taktik dan strategi sendiri-sendiri,

namun diantara mereka tetap kooperatif antara kerajaan satu dengan yang lain.

33
Darwis dkk Jejak wakil rakyat di tanah kaili, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal.
8.
25

Sedangkan terhadap Belanda, mereka bersikap nonkooperatif. Perlawanan raja-

raja tersebut dikenal sebagai berikut:

1. Perlawanan Kerajaan Moutong tahun 1897-1904

2. Perlawanan Kerajaan Banawa tahun 1902

3. Perlawanan Kerajaan Sigi tahun 1904

4. Perlawanan kerajaan Balaesang 1908.34

C. Penduduk Kota Palu

1. Asal Usul penduduk kota Palu

Penduduk Kota Palu merupakan penduduk yang heterogen, beragam

etnis maupun penganut berbagai agama dapat ditemukan. Selain Kaili yang

diakui sebagai suku asli terdapat banyak etnis lainnya yang hidup

berdampingan dengan cukup rukun. Etnis lain tersebut adalah Bugis

makassar, Mandar, Gorontalo, Manado, Toraja, Cina, Bima, Jawa dan

banyak lagi lain sebagainya dengan populasi yang tidak begitu banyak.

Kendati terdapat beragam etnik dan budaya, kerukunan dan integrasi sosial

di Kota Palu terjaga dengan cukup baik dan stabil. Kerukunan dan integrasi

ini menjadi modal penting sebagai potensi pembangunan Kota Palu dimasa

mendatang. Berbagai etnis di Kota Palu saling menjaga satu sama lain,

bersinergi dan merasa saling memiliki dan melengkapi. Bahkan sering

terjadi akulturasi antara satu dan lain.

Jika ditanya tentang suku asli kota Palu, maka akan mudah ditemukan

jawabannya ialah suku Kaili. Suku Kaili diyakini sudah menempati wilayah

34
Darwis dkk Jejak wakil rakyat di tanah kaili, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal.
9.
26

kota Palu sejak zaman prasejarah. Ini didukung dengan banyaknya

pendapat-pendapat para peneliti sejarah ataupun arkeolog yang mengamini

keterangan tersebut. Beberapa sarjana melakukan rekonstruksi tentang asal

mula persebaran penduduk, serta pertumbuhan kebudayaan yang mereka

miliki. Para penulis masa lampau seperti Albert C. Kruyt, N. Adriani dan R.

W. Kaudren pernah berkecimpung dan menyampaikan pendapatnya terkait

hal ini.

Rekonstruksi didasarkan pada hasil penelitian dan perbandingan dari

benda-benda peninggalan sejarah, bahasa dan dialek, mite, serta legenda

atau bahkan cerita mitos penduduk setempat. Menurut Albert C. Kruyt,

daerah yang didiami penduduk dengan sebutan Toraja-Sulawesi Tengah

waktu itu pada mulanya lebih dahulu didiami oleh suatu kelompok

penduduk yang belum jelas diketahui identitasnya. Akan tetapi Kleiweg de

Zwaan masih dapat menemukan sisa-sisa dari penduduk Loinang yang

berlokasi di jazirah Timur Sulawesi Tengah. Loinang merupakan sebutan

untuk orang-orang yang tinggal di pegunungan Sulawesi tengah bagian

timur, tepatnya disekitaran wilayah banggai.

Selanjutnya menurut Kruyt terjadilah dua tahap migrasi, baik ke

Sulawesi Tengah maupun ke Sulawesi Selatan. Akan tetapi tidak dijelaskan

secara rinci kapan berlangsungnya dua tahapan tersebut. Hanya dikatakan

bahwa migrasi pertama adalah kedatangan penduduk yang mendukung

kebudayaan Megalith, yang disebut oleh Kruyt dengan sebutan De

Steenhouwers (pemecah batu).35 Penduduk ini diperkirakan datang dari dua

Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
35

hal. 4.
27

arah, pertama dari arah utara, diduga berasal dari kepulauan Jepang. Mereka

masuk dari ke Sulawesi Tengah lewat Minahasa, Gorontalo, Teluk Tomini,

hingga akhirnya sampai Sulawesi Tengah. Migrasi kedua, datang dari arah

selatan, diperkirakan melalui Sungai Sa’dang, terus ke daerah jazirah utara

Sulawesi Selatan. Peninggalan-peninggalan penduduk yang diklasifikasi

oleh Kruyt Steenhouwers ini antara lain, berupa kuburan-kuburan batu

(kalamba), lesung-lesung batu, patung-patung dalam ukuran besar, menhir

dan Dolmen.

Migrasi kedua dinamakan oleh Kruyt sebagai De Pottenbakkers

(pembuat tembikar) dari tanah liat. Benda-benda itu berupa tempayan-

tempayan besar yang rupa-rupanya digunakan sebagai tempat

penyimpanan/penguburan mayat, dan periuk-periuk kecil, mungkin untuk

keperluan memasak. Diperkirakan penduduk dengan kebudayaan

Pottenbekkers ini masuk ke Sulawesi Tengah melalui teluk Bone, yaitu dari

arah suatu tempat diantara Maliki dan Wotu. Dari sini mereka menuju ke

arah utara, ke daerah Poso Sulawesi Tengah, terus ke daerah barat, yakni ke

daerah pegunungan Lore, hingga ke daerah aliran sungai koro. Dari arah

tersebut kemudian membelok kembali ke selatan dan berhenti di suatu

tempat yang bernama Waebunta, suatu tempat di daerah Galumpang yang

kini termasuk wilayah kabupaten Mamuju Sulawesi barat.

Menurut Kruyt Migran Pottenbekkers ini ada juga yang datang dari arah

laut selatan Makassar, memasuki daerah Palu dan menyebar ke Lembah

Palu. Mereka sebagai penduduk pendatang baru ini kemudian membawa

anasir kebudayaan baru ke dalam kehidupan penduduk pribumi Lembah


28

Palu seperti dalam lingkup sosial, ekonomi bahkan religi, antara lain: 1)

Dalam Lapangan ekonomi diperkenalkan teknik pertanian dan pengairan. 2)

Dalam sisi religi disumbangkan suatu sistem yang mengenal struktur dewa-

dewa yang bertingkat-tingkat. Disamping itu juga diperkenalkan upacara-

upacara keagamaan yang cukup rumit. 3) Dalam lapangan kehidupan sosial

diperkenalkan sejumlah peraturan baru, termasuk inovasi dari suatu lapisan

sosial baru, yakni lapisan atau strata bangsawan, yang berada diatas lapisan

sosial yang lainnya, yang telah ada lebih dahulu berlaku dalam masyarakat

yakni golongan orang merdeka dan golongan budak atau hamba sahaya.36

Eksistensi lapisan sosial bangsawan ini kemudian dihubungkan dengan

kaitan erat mite / legenda bahwa mereka bagian dari keturunan

Sawerigading dan Tomanuru. Unsur-unsur kebudayaan baru itu, menurut

Kruyt diperkirakan berasal dari unsur-unsur kebudayaan Hindu Jawa yang

berasal dari pulau Jawa. Selain itu mite atau cerita legenda Sawerigading

yang terdapat dalam epos Sureq Galigo atau La Galigo merupakan cerita

yang berasal dari Sulawesi Selatan turut mempengaruhi hal ini. Yaitu epik

mitos yang menciptakan terciptanya peradaban bugis. Bercerita tentang

tokoh Sawerigading sebagai tokoh orang bugis di Sulawesi selatan. Ia juga

dianggap sebagai tokoh legendaris yang diduga persebarannya atau ruang

lingkup jelajahnya begitu luas meliputi daerah pantai sebelah barat Selat

Makassar hingga ke Luwuk Banggai di teluk Tolo hingga ke Sulawesi

Tengah pada umumnya.

36
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
hal. 6.
29

Selain terjadi migrasi yang berasal dari luar Sulawesi, sepanjang

kehidupan penduduk Sulawesi Tengah, terjadi pula beberapa migrasi lokal.

Kaudern membahas mengenai migrasi yang berlangsung di Sulawesi

Tengah. Dalam bukunya dijelaskan bahwa perpindahan penduduk didaerah

ini terjadi karena berbagai sebab, diantaranya seperti bencana alam, epidemi

penyakit, dan peperangan adat antar desa. Suasana perang-perang antara

desa ini acap kali membuat penduduk desa mengungsi lebih jauh ke daerah

pedalaman yang sukar untuk dijangkau oleh musuh. Sebab serta akibat

peperangan ini timbullah beberapa kelompok-kelompok kecil yang berasal

dari tawanan perang, ataupun punahnya suatu kaum sebagai akibat dari

peperangan.37

Sumber-sumber dari catatan asing yang dipelajari secara luas dalam

dunia Ilmu pengetahuan, yang diantara lain dipopulerkan oleh N. Adriani,

Albert C. Kruyt, W Kaudern dan lain-lain merupakan karya-karya yang

telah membentuk pendapat atau opini yang baku tentang “Orang Toraja”,

mereka pada masa itu menamai atau menandai penduduk Sulawesi Tengah

dengan sebutan “Toraja” dan ini berlaku pada beberapa etnik yang tinggal

di pulau Sulawesi. Welter Kaudern pun demikian, ia bercerita tentang

penduduk Sulawesi Tengah juga dengan sebutan Toraja. Ia

mengelompokkannya kedalam empat kelompok besar. Yaitu, 1) Toraja

Palu, 2) Toraja Karo, 3) Toraja Poso dan 4) Toraja Sa’dan.

Pembagian ini seperti juga diakui oleh Kaudern, agak berbeda dengan

pengelompokan yang dikemukakan misionaris Injil berkebangsaan Belanda

37
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
hal. 7.
30

Dr. Adriani dan Dr. Albert C Kruyt. Dalam karya mereka De Bare’e

Sprekende Toradja’s Van Midden Celebes, mereka mengelompokkan

penduduk Sulawesi Tengah, berdasarkan cara pandang linguistik. Itu

terbagi kedalam kelompok-kelompok antara lain: 1) Toraja Timur, yang

terdiri atas orang-orang Toraja Poso. 2) Toraja Barat, yang terdiri atas orang

Kaili Parigi, dan yang ke 3) Toraja Sa’dan. Namun kemudian ketika Kruyt

membicarakan tentang kelompok-kelompok, ia tidak pernah lagi

menggunakan istilah pengelompokan Toraja Timur dan Toraja Barat.

Adriani dalam penelitiannya ketika menelusuri bahasa-bahasa di Sulawesi

Tengah, juga menggunakan klasifikasi yang sama dengan Kruyt. Selalu

menggunakan nama pengelompokan bahasa-bahasa Toraja Timur dan

Toraja Barat. Namun, menurut Kaudern lagi kemudian bahwa klasifikasi

yang nyata terhadap orang Toraja, tak dapat dilakukan semata-mata

berdasarkan kemiripan bahasa atau dialek yang dipergunakan oleh

kelompok etnik atau rumpun yang berbeda. Tetapi mesti juga melihat dan

menggunakan dasar-dasar kebudayaan dari rumpun-rumpun tersebut.38

Penulis-penulis barat pada masa lampau ini menamakan penduduk dari

sebagian wilayah di kabupaten Donggala sebagai kelompok Toraja Barat,

dan sebagian wilayah kabupaten Poso sebagai kelompok Toraja Timur.

Kemudian Palu diantara keduanya disebabkan belum berkembangnya Palu

pada saat itu, dan juga beberapa pendapat yang menyatakan Palu masih

berbentuk lembah, rawa hutan dan perairan. Sehingga wilayahnya belum

begitu terjamah dan ditinggali. Baik dari segi linguistik maupun kebudayaan

38
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
hal. 11.
31

rumpun-rumpun, pengelompokan ini pada umumnya semata-mata karena

makna kata “Toraja”. Kata Toraja berarti orang-orang yang berasal dari

pegunungan atau kelompok yang bermukim di dataran tinggi (Highlands)

atau “Highlanders”. Sebenarnya kata ini sudah popouler pada kalangan

bugis, kata “to” yang berarti orang dan “luwu” yang berarti laut. Dengan

demikian kebiasaan ini merujuk pada orang-orang yang bermukim di laut

dengan sebutan To-luwu , dan Raja atau riaja yang berarti daerah darat (atas)

yang bermakna bahwa To-raja atau To-riaja berarti orang-orang yang

berasal dari pegunungan.39

Hal ini ada benarnya jika yang dimaksud oleh mereka adalah Sulawesi

Tengah, karena secara geografis Sulawesi Tengah memang dikelilingi oleh

dataran-dataran tinggi. Mereka memang pada saat itu menamai penduduk

Sulawesi yang bermukim di dataran tinggi dan secara geografis termasuk

Sulawesi Tengah dengan sebutan Toraja saja, dan itu berlaku secara general.

Disamping hal ini, sebenarnya mereka pun menyadari atau mengetahui

bahwa yang mereka kelompokkan secara general tersebut masing-masing

memiliki sebutan sendiri-sendiri dalam kelompok-kelompok rumpun kecil

seperti To-Lindu atau kelompok yang tinggal didaerah Lindu dan

sekitarnya, To-sigi yang tinggal didaerah sigi, To-Kulawi, To-Biromaru dan

lain sebagainya. Mereka pun tahu bahwa kelompok-kelompok ini menyebut

diri mereka dengan sebutan To-Kaili atau Orang Kaili. Inilah kemudian

yang dikenal dengan Etnik atau suku Kaili.

39
Andi Fatmawati Umar, Toraja Dulu dan Kini, (Makassar: Pustaka Refleksi,2003)
hal. 5.
32

Menurut Andi fatmawati, nama Toraja biasa digunakan oleh orang luwu

untuk menunjuk sekelompok penduduk yang bermukim di daerah barat ke

arah pedalaman yang pada umumnya berada di daerah yang topografinya

tinggi. Namun kemudian Nama Toraja dalam perpektif Kruyt dkk

mempunyai makna dan cakupan yang lebih luas dan tidak membatasi hanya

pada wilayah yang secara administratif masuk dalam wilayah kabupaten

Toraja seperti saat ini. Pada saat itu nama Toraja dipergunakan sebagai

pengganti nama Alfuru yang mulanya sering dipergunakan sebagai nama

kolektif dari penduduk pedalaman Sulawesi Tengah.

Pada masa itu juga kawasan ini belum menganut agama Islam ataupun

Kristen. Sehingga selain karena kebutuhan yang tidak mengandung makna

negatif, kepentingan politis serta sebagai sekat antara penyebar agama Islam

dari kerajaan Luwu turut mempengaruhi hal ini. Setelah Indonesia merdeka

kemudian nama Toraja menjadi kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan.

Artinya Toraja yang kita kenal di masa sekarang hanya terbatas pada Toraja

selatan atau Toraja Sakdan saja, sementara etnis Toraja dalam keterangan

peneliti pada masa lampau yang secara administratif masuk dalam wilayah

Sulawesi Tengah tidak lagi menggunakan pengelompokan tersebut,

Melainkan diganti dengan penamaan Kaili dan Pamona.40

Kembali Dalam permulaan perkembangan wilayah Sulawesi Tengah

kemudian, perlu diketahui bahwa Sulawesi terbagi atas beberapa wilayah

yang didiami oleh kelompok-kelompok etnik sebagai berikut; Secara umum

dikatakan, Kelompok etnik (1) Kaili, (2) Tomini, (3) Kulawi, umumnya

40
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
hal. 12.
33

berdiam di kabupaten Donggala. Kelompok etnik (4) Pamona, (5) Lore, (6)

Mori, (7) Bungku, umumnya berdiam di Kabupaten Poso. Kelompok-

kelompok etnik (8) Saluan, (9) Balantak, (10) Banggai, umumnya

bermukim di kabupaten Luwuk Banggai. (11) Toli-Toli, (12) Buol,

umumnya bermukim di kabupaten Buol Toli-Toli. Dua belas buah

kelompok inilah yang umumnya menjadi pedoman pembagian kelompok

Etnik (suku bangsa) di Sulawesi Tengah.

Diantara kedua belas kelompok suku etnik yang menjadi suku asli

tersebut, maka kelompok etnik Kaili-lah yang terbesar jumlahnya. Dalam

kenyataannya, tentu kehidupan sosial membuat kelompok-kelompok tidak

terikat wilayah administratifnya masing-masing. Kehidupan sosial

membuat masing-masing etnik kemudian berbaur dan hidup berdampingan

antara satu dengan yang lain, dengan atau tanpa gesekan satu sama lain. Dari

kehidupan sosial inilah terjadi pengikisan sekat identifikasi antara satu

dengan yang lain, berupa adat dan budaya karena akulturasi atau pembauran

sosial tersebut. Hingga membuat Sulawesi Tengah pada umumnya dan kota

Palu khususnya menjadi masyarakat yang heterogen

2. Suku Kaili

Kaili merupakan sebutan kelompok Etnik yang terbesar jumlahnya

dalam persebaran wilayah di Sulawesi Tengah ini. Tidak hanya di kota Palu

tapi juga beberapa wilayah kabupaten di Provinsi ini. Tercatat selain Palu,

kabupaten Donggala menjadi salah satu tempat mayoritas suku Kaili

bermukim. Bahkan karna persebarannya yang masif, juga saling berbaur


34

satu sama lain, terdapat orang-orang suku Kaili tentu dengan predikat bukan

mayoritas di beberapa wilayah lain.

Orang kaili mempunyai mite atau ceritanya sendiri mengapa kemudian

menyebut diri mereka dengan sebutan tersebut. Ini diawali dengan pengikat

rasa solidaritas asal-usul To-Kaili yang berkembang antara turunan

sebelumnya hingga saat ini. Menurut cerita ini, pada zaman dahulu kala

Lembah Palu ini masih lautan, disebut laut Kaili atau Teluk Kaili. Nenek

moyang To-Kaili pada zaman dahulu itu mendiami lereng-lereng gunung

sekeliling Laut kaili. Konon, di sebelah Timur Laut Kaili, terdapat sebatang

pohon besar tumbuh kokoh tegak dengan kemegahan menjulang tinggi

sebagai tanda pengenal daratan bagi pelaut yang memasuki wilayah Teluk

Kaili. Pohon ini memiliki sebuah sifat kayu yang paling tinggi dan kokoh

dari pohon-pohon yang ada, dan tidak akan bercabang rantingnya apabila

tidak melewati ketinggian dari pohon-pohon sekelilingnya. Pohon ini

digunakan sebagai tanda pengenal bagi mereka yang sedang mengembara,

dimana mereka akan melihat suatu tempat yang ada pohon yang menjulang

ini sebagai petunjuk arah bahwa ada tanda kehidupan. Pohon ini kemudian

juga menjadi tanda pengenal daratan bagi pelaut dan perantau yang

memasuki teluk kaili. Pohon inilah yang lalu dinamai pohon Kaili yang

kemudian menjadi cikal bakal asal kata Kaili.41Asal usul manusia pertama

Suku Kaili diyakini berasal dari proses Tanah Sanggamu (tanah

segenggam), dari tanah segenggam itulah kemudian berasal atau terciptanya

dua Suami Isteri. Mereka merupakan manusia yang diturunkan dari

41
Badan Pengembangan Pariwisata Dati I, Mengenal Tanah Kaili, (Sulawesi Tengah:
Badan Pengembangan Pariwisata Dati I, 1975), h.123.
35

kayangan atau yang disebut “Tomanuru” yang kemudian diyakini menjadi

nenek moyang pertama Suku Kaili.42

3. Kondisi Sosial Kota Palu

Seperti yang sudah diketahui sebelumnya bahwa penduduk kota Palu

adalah penduduk yang heterogen, begitu pula dengan kondisi sosialnya.

Sebagai wilayah dengan beragam suku dan budaya yang turut dalam ruang

lingkupnya, terdapat banyak pula pola komunikasi dan bahasa yang

digunakan. Secara umum bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu yang

paling sering digunakan, akan tetapi terdapat pula bahasa Kaili sebagai

bahasa kedua mayoritas yang digunakan dalam berkomunikasi. Bahasa

bugis, Jawa, mandar dll juga kerap kali digunakan yang menandakan cukup

beragamnya etnis yang ada di Palu. Akulturasi antar budaya yang

disebutkan tadi juga kerap kali terjadi dan menjadi lumrah dikarenakan hal

ini.

Masyarakat Kota Palu mengandalkan pertanian sebagai sumber utama

mata pencaharian dengan Padi sebagai komoditasnya. Selain padi, kopi,

kelapa, kakao, cengkeh juga merupakan komoditas unggulan. Daerah Palu

juga terkenal dengan hasil hutan dan kayu-kayu seperti kayu agatis, ebony

meranti dan juga jenis rotan. Selain sektor pertanian, masyarakat kota Palu

juga menyelami laut sebagai mata pencaharian. Ini tidak lain karena kota

Palu memiliki wilayah pesisir pantai yang cukup luas. Disamping itu,

42
Syakir Mahid, Sejarah Sosial Sulawesi Tengah, (Palu: PPs Lemlit Untad, 2009), h.
35.
36

masyarakat Kota Palu juga menggantungkan hidupnya pada sektor jasa,

sosial, perdagangan serta hotel dan restoran.43

43
Profil Kota Palu, Kota di titik Nol (Pemerintah Kota Palu:2009), hal 19.
BAB III

SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM, KRISTEN DAN HINDU DALAM

MASYARAKAT KAILI

A. Agama Masyarakat Suku Kaili

Banyak para ahli yang sepakat bahwa manusia bukan saja makhluk

religius akan tetapi juga makhluk budaya, artinya kebudayaan dan agama

merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia44. Dalam Agama

unsur yang fundamental ialah keyakinan dan ritus yang terkait dengan

pandangan dan hal-hal yang berada di dalam refresentase tersebut. Agama akan

selalu bersifat sakral dan menyangkut keyakinan-keyakinan, mitos-mitos,

dogma-dogma dan masih banyak hal lainnya yang mengandung kesakralan.

Sedangkan dalam kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana manusia terhadap

dirinya, lingkungannya, masyarakat serta seperangkat nilai yang menjadi pokok

dalam menentukan sikap untuk dunia luarnya. Bahkan kebudayaan juga

mendasari setiap pola hidup, kegiatan serta tata cara kehidupan bermasyarakat.

Agama dan budaya membentuk suatu sistem sosial yang menyangkut

kepercayaan dan berbagai praktek kehidupan ritual yang berwujud dalam

tradisi. Dalam perkembangannya secara historis, masyarakat Kaili mengenal

beberapa Agama yang menjadi salah satu bagian dari identitas

perkembangannya. Mereka ialah Islam, Kristen, Hindu, dan Konghucu. Dan

agama yang paling dekat dan melekat dalam perkembangannya yang pertama

ialah Agama Islam. Hal ini didasarkan pada tulisan-tulisan, peninggalan-

peninggalan sejarah di kota Palu yang begitu banyak menceritakan bagaimana

44
Rohiman Notowigdagno, Ilmu budaya dasar, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,1997),
h. 22.

37
38

masuk dan berkembangnya Islam di lembah Palu. Bahkan terdapat sebuah

bandara Kota Palu yang kemudian dinamai Mutiara Sis Aljufri, yang tdk lain

nama Sis Aljufri diambil dari salah satu tokoh penyebar agama Islam di kota

Palu. Selain itu terdapat pula kampus IAIN palu yang diberi nama Datokarama

dibelakangnya (IAIN Datokarama). Hal ini membuktikan bahwa begitu

berkesannya ajaran Islam di Kota Palu yang dibawa oleh tokoh-tokohnya.

1. Islam

Perjalanan sejarah Islam di Sulawesi Tengah berbeda dengan daerah-

daerah lain di Indonesia. Memang di daerah ini tidak terdapat sebuah

kerajaan yang menjadi basis kerajaan Islam atau kesultanan yang kemudian

mampu mengembangkan kekuasaannya secara Islamik. Sehingga daerah ini

dalam prosesnya kurang terkenal walaupun cukup banyak peninggalan yang

mencatat hal ini, bahkan diperkirakan lebih tua dari yang pernah ada di

negeri ini.45 Namun sejarah perkembangan Islam mencatat bahwa Sulawesi

Tengah terdapat kenyataan perkembangan Islam yang spesial, sebagai

sebuah peran tersendiri dan berbeda dengan perkembangan Islam di daerah-

daerah lain di Indonesia. Perkembangan Islam yang berbeda disebabkan

adanya faktor geografis, dan keadaan alam yang turut bekerja dalam proses

penyebaran Islam. Sehingga terjadi kelangkaan sumber ataupun kekurangan

data sebagai bukti-bukti sejarah tertulis guna mendukung kebenaran suatu

berita mengenai Islam. Kebanyakan sumber kemudian di gali dan diperoleh

melalui sumber-sumber cerita dari lisan ke lisan.46

45
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016),
h. 4.
46
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016),
h. 4.
39

Sejatinya secara historis Islam masuk ke Palu khususnya dan Sulawesi

Tengah secara umum melalui tiga tahapan utama, yakni tahapan mitologis,

ideologis, dan tahapan Ilmu pengetahuan. Periode Islam mitologis di tanah

Kaili, Palu dan bahkan Sulawesi Tengah ditandai dengan cerita-cerita mitos

tentang Agama Islam. Mitos mempunyai sifat irasional sementara itu juga

berguna dan bermanfaat sebagai konsensus.47 Pemikirannya diarahkan pada

pemikiran reseptif artinya menerima segala kodrat. Manusia tidak mungkin

dan tidak perlu mengubahnya dan tetap berlaku untuk diterima apa adanya.

Selain masuk melalui tiga tahap, Islam masuk ke Tanah Kaili Lembah Palu

berasal dari tiga daerah yang telah menjadikan Islam sebagai agama

masyarakat. Berita ini diperkuat dalam buku “Sejarah Sulawesi Tengah”

yang menyatakan bahwa Islam masuk melalui beberapa tahap yaitu: Agama

Islam dari Ternate yang masuk melalui Gorontalo dan tiba di Lambunu

bagian Pantai Teluk Tomini. Kedua Islam yang berasal dari Minangkabau

yang dibawa oleh Abdullah Raqie dan dilanjutkan kemudian oleh orang-

orang Bugis dan Mandar sebagai suksesor. Ketiga, Islam yang

dikembangkan dan dilanjutkan oleh orang Arab dibawa langsung dari

Hadramaut oleh Sayid Idrus bin Salim Al Jufri.48

a. Islam tahap mitologis

Fase tahap pertama menurut Sofyan B.Kambay menyatakan bahwa

Islam masuk Tanah Kaili (Palu) sekitar abad ke-XVII masehi(1650)

yang dibawa oleh seorang Muballiq asal Sumatera Barat (Minangkabau)

47
Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 40.
48
Nurhayati Nainggolan, dkk, Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, (Jakarta: Depdikbud,
1997), h. 7.
40

bernama Abdullah Raqie atau lebih dikenal dengan nama Dato

Karama49. Dalam buku “Mengenal Tanah Kaili” juga dinyatakan bahwa

dalam abad XVII Agama Islam mulai masuk ke tanah Kaili dibawa oleh

Beliau dengan gelar Dato Karama50. Hal senada juga diutarakan dalam

buku Sejarah Sosial Sulawesi Tengah.51

Dalam sejarah itu diceritakan kedatangan sekelompok rombongan ke

Tanah kaili tepatnya di “Karampe” (Bahasa Kaili yang berarti

terdampar) yang terletak di muara Teluk Palu. Kelompok tersebut

berjumlah 50 orang. Pemimpinnya bernama Dato Karama atau

Abdullah Raqie yang diikuti oleh istrinya yang bernama Ince Jille,

iparnya bernama Ince Saharibanong, dan anaknya yang bernama Ince

Dingko. Mereka datang dengan alat-alat kebesarannya dari

Minangkabau seperti bendera kuning, panji orang-orangan, Puade, Jijiri,

Bulo, Gong dan Kakula (Kulintang) Diriwayatkan juga bahwa yang

menerima Islam pertama bernama Pue Bongo selaku pemimpin di

daerah Kabonena Palu waktu itu. Kedatangan Datu Karama ini telah

membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat

Palu, khususnya menyangkut kepercayaan yang dianut oleh masyarakat

Sulawesi Tengah. Dimana, masyarakat bersedia memeluk agama Islam

yang dibawa oleh Dato Karama. Peristiwa kedatanagannya pun diyakini

49
Sofyan Kambay, Perguruan Islam Alkhairaat: Dari Masa ke Masa, (Palu: Pengurus
Besar Yayasan Alkhairaat, 1991), h. 6.
50
M. J. Abdullah, Sejarah Tanah Kaili, (Palu: Stensilan, 1975), h. 20.
51
Pada abad ke XVII masehi datanglah sekelompok rombongan ke tanah kaili tepatnya
di karampe (dalam bahasa Kaili berarti terdampar). Kelompok tersebut berjumlah kurang lebih 50
orang yang dipimpin oleh Abdullah Raqie (Dato Karama). Lihat, Syakir Mahid, dkk., Sejarah Sosial
Sulawesi Tengah, (Yogyakarta: Pilar Media,2009), h. 106-107.
41

masyarakat sebagai kejadian keramat yang kemudian ia digelari Dato

(Datuk) Keramat (keramat).

Abdullah Raqie alias Dato Karama adalah ulama besar yang berasal dari

Minangkabau, ia hidup semasa dengan Datuk Bakajabian dan Datuk

Bakopiame. Ia lahir di Sumatera Barat Pesisir Selatan, yang

diperkirakan hidup hingga sekitar 98 tahun ketika wafat kemudian di

lembah Palu pada sekitaran tahun 1709. Pada usia 22 tahun, Abdullah

Raqie dibawa oleh ayahnya ke Mekkah untuk menimba ilmu

pengetahuan disana. Ia kemudian tumbuh menjadi seorang ulama yang

rendah hati, teguh dalam pendirian serta dikenal berhati lembut dan

memiliki perangai yang baik dan damai. Ia berpegang teguh pada

mazhab Syafii dalam fiqih dan penganut Ahlussunnah wal Jamaah, dan

merupakan murid dari Syekh Abdurrauf Aceh.52

Ketika Dato Karama tiba di daerah Lembah Palu pemimpin diwilayah

Palu belum memeluk Agama, dan nantinya dengan bantuan Dato

Karama beberapa pemimpin, bangsawan atau raja langsung memeluk

Agama Islam dengan kerelaan hatinya. Waktu Perahu Dato Karama

memasuki Teluk Kaili diceritakan ia diiringi dengan bunyi-bunyian

(kakula, gong, dan alat-alat kesenian tradisional). Menurut kepercayaan,

Dato Karama adalah seorang yang keramat, sehingga pada waktu

memasuki Teluk Palu, arus sedang deras-derasnya sehingga perahunya

terdampar di pantai, tetapi setelah terdampar, perahu tersebut berubah

menjadi tikar yang membentang dan layarnya menyerupai suatu

52
Mohammad Ali, Datuk Karama dan Islamisasi Masyarakat Kaili di Lembah Palu,
(Cirebon: Perwira, 2004), h. 47.
42

perkemahan. Dan sampai sekarang tempat terdamparnya Dato Karama

tersebut terkenal dengan wilayah atau kampung Karampe yang berarti

terdampar. Istri Dato Karama bernama Intje Djille dan putri beliau Intje

Dingko serta adiknya Sahari Banong menetap di Palu dan terjadilah

perkawinan dengan turunan raja-raja. Hal inilah yang menjadi salah satu

sebab cepatnya proses perkembangan Islam di Lembah Palu wilayah

Kaili hingga ke Sulawesi Tengah pada umumnya.53

Kedatangan Dato Karama atau Abdullah Raqie telah membawa

perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Palu,

khususnya menyangkut kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kaili

di kota Palu dan Sulawesi Tengah pada umumnya. Dimana masyarakat

pada saat itu bersedia memeluk agama Islam yang dibawa dan peristiwa

tersebut diyakini sebagai kejadian keramat sehingga beliau digelari

gelar tersebut. Pun begitu dengan cerita yang dikisahkan tentang

bagaimana Dato Karama terdampar di tepi pantai yang juga dianggap

sebagai kejadian keramat.

Ajaran yang pertama kali disampaikan oleh Dato Karama ketika

mengajarkan agama Islam di lembah Palu adalah cara berbusana karena

pada saat itu umumnya masyarakat berpakaian dari kulit kayu. Ajaran

ini ternyata mampu menarik perhatian dan simpati masyarakat sehingga

mau masuk Islam. Setelah itu barulah Dato Karama mengajarkan

akhlak, mengaji, sholat dan sebagainya. Ia juga kemudian menjadi guru

mengaji di daerah kampung baru, sebuah daerah yang berada di kota

53
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h.9.
43

Palu. Ajaran yang disambut baik oleh masyarakat ini pun berkembang

dengan pesat di semua kalangan bahkan kalangan bangsawan sekalipun.

Ini dibuktikan dengan masuk Islamnya salah satu Raja Palu yang

bernama Pue Njidi. Kemudian juga raja atau pemimpin-pemimpin yang

lain seperti Pue Nggari (Raja diwilayah Besusu) dan juga Pue Bongo

yang telah disebutkan diawal54. Beberapa peninggalan sejarah menjadi

saksi bisu bahwa beliau pernah menyebarkan agama Islam pada

masyarakat Kaili di kota Palu. Salah satunya adalah Masjid Jami’ yang

berada di kawasan kampung baru yang diakui sebagai bukti peninggalan

sejarah Dato Karama. Selain itu terdapat juga makam yang diceritakan

secara turun temurun sebagai makam seorang penyiar Islam yang

berasal dari minang ini, hal ini diperkuat dengan bentuk makam yang

menyerupai rumah gadang minang yang seolah memberi atau

memperjelas identitasnya.55

b. Islam Tahap Ideologis

Islam tahap ini dibawa oleh seorang ulama La Iboerahima Wartabone

yang bernama asli cukup sederhana, yaitu Ibrahim. Tambahan “La” di

depan namanya diberikan oleh orang-orang bugis sebagai orang yang

ditokohkan atau dituakan. Dia adalah Putra Mahkota Raja Wartabone di

Gorontalo yang memiliki 5 orang anak. Beliau adalah anak tertua dari

Raja Wartabone yang pernah bertakhta atau berkuasa di Kerajaan

Suwawa sekitar tahun 1830-1849. Ia merantau dari Gorontalo setelah

54
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h. 9.
55
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h. 10.
44

Gorontalo dikuasai oleh Kolonial Belanda. Ia memilih untuk tidak

melanjutkan tahta ayahnya, dan memilih merantau serta

mengembangkan Islam karena kekuatan kolonial yang mulai menguasai

daerahnya saat itu.56

Bekal Agama Islam yang ia diperoleh berasal dari Islam yang datang

dari kerajaan Ternate, karena kerajaan Ternate punya andil dalam

perkembangan Islam di Gorontalo sekitar tahun 1562. Perantauan awal

beliau dimulai di Pulau Una-Una yang merupakan salah satu kabupaten

di Sulawesi Tengah dan membina sebuah surau atau masjid yang

kemudian menjadi masjid tertua disana. Di sanalah dia kemudian

banyak bertemu orang-orang suku Kaili dan Bugis. Ia menjadi Imam

Musholla yang dirintis pada tahun 1812 di Una-Una sebelum menjadi

Masjid Jami Una-Una. Selanjutnya beliau merantau ke tanah leluhurnya

ditanah Bugis yakni di kerajaan Bone untuk kemudian mencari

keluarganya sekaligus memperdalam Ilmu Keislamannya. Dalam

prosesnya dia juga melewati Ampana, Banggai, Bungku, Bunta dan

Luwuk. Dalam persinggahan singkatnya tersebut diperkirakan ia juga

menyiarkan Islam di tempat yang ia singgahi.57

Setelah perantauan yang jauh tersebut, beliau kembali ke Makassar lalu

berlayar ke Bungku hingga kemudian singgah di daerah Batusuya, yaitu

sebuah desa yang berada dalam kawasan Kabupaten Donggala Sulawesi

Tengah. Disana ia bertemu seorang Magau atau pemimpin yang

56
Muhammad Islam Yusuf, 60 Tokoh Panutan Umat, (Gorontalo: UNG Press, 2012),
h. 77.
57
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h. 179.
45

bernama Pue Lasadindi atau juga Mangge Rante yang bernama Yandara

di Pantai Barat. Kemudian perjalannya berakhir dan menetap di Bone

Tatura, sebuah wilayah di Kota Palu Sulawesi Tengah. Bone Tatura

pada waktu itu masuk dalam bagian kerajaan Tatanga dibawah

pemerintahan Baligau Lasatumpugi (1821-1846). Lalu beliau meminta

izin untuk untuk mengembangkan Islam di tanah Tatura Palu dan juga

menetap dalam waktu yang lama bahkan meninggal. Beliau

menyesuaikan diri dengan cepat berkat pengalaman berdampingan

dengan orang-orang Kaili dan Bugis semasa di Una Una. Beberapa

ajarannya selain sembahyang dan mengaji adalah Ideologi bahwa zat

Allah SWT adalah segala asal kehidupan dan Muhammad adalah Nur

yang berasal dari Allah, Muhammad SAW adalah cahaya Allah yang

hidup dan menjadi pedoman Manusia. serta ajaran shalat yang

dihubungan dengan tubuh manusia. Selain itu juga ajaran akidah serta

Islam dengan ilmu tasawuf.58

c. Islam Tahap Ilmu Pengetahuan

Islam tahap ini ditandai dengan datangnya Sayyed Idrus bin Salim

Aljufri. Beliau lahir di Taris Hadramaut Yaman Selatan pada 15 Sya’ban

1309 hijriah, atau 15 Maret 1890 dari keluarga yang sangat menjunjung

tinggi agama Islam. Sang ayah Salim Aljufri lahir dari seorang mukti

Hadramaut dan dari ibu tercintanya bernama Nur. Sayyed Idrus pertama

kali mempelajari Islam melalui ajaran langsung sang ayah. Kemudian,

ia juga belajar dengan ulama setempat yang juga merupakan teman atau

58
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h. 181.
46

kawan dari ayahnya. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Sayid

Muhsin bin Alwi Al-Saggaf, Abd Al-Rahman bin Ali bin Umar Al-

Saggaf, Muhammad bin Ibrahim Balfaqih, Abd Allah bin Husain Saleh

Al-Bahra, dan Idrus bin Umar Al-Habsyi.59 Sayyed Idrus juga pernah

menuntut ilmu, belajar dan memperoleh banyak manfaat dari sejumlah

ulama di Mekkah ketika ayahnya membawanya kesana dalam rangka

menunaikan ibadah haji. Kita ketahui bersama pada saat itu waktu yang

di gunakan untuk ibadah haji bisa berbulan-bulan tidak seperti sekarang.

Dalam riwayat pendidikannya, Sayyed Idrus adalah lulusan Perguruan

Tinggi Arabithatul Alawiyah di Kota Tarim Yaman.

Di umur yang menginjak 17 tahun Sayyed Idrus menjadi sekretaris

mufti bersama ayahnya selama lima tahun dan setelah ayahnya wafat,

jabatan itu pun diberikan kepadanya. Ia kemudian memangku jabatan

mufti selama sekitar dua tahun saja, yang hal ini dikarenakan terjadi

pergolakan politik yang terjadi di Hadramaut. Beliau kemudian hijrah

ke Indonesia dikarenakan hal itu.60 Ia ingin menghindari hal itu

sekaligus juga mengembangkan Agama Islam di daerah Nusantara

sebagai wilayah pengembangan agama Islam yang baru. Beliau datang

ke Indonesia pada tahun 1925 meninggalkan Tarim menuju Batavia dan

tinggal di sebuah madrasah kemudian mengajar untuk beberapa lama.

Setelah itu Sayid Idrus kemudian pindah ke Pekalongan, salah satu

tempat bermukimnya orang Arab sejak akhir abad 19. Dari Pekalongan

59
Sofyan Kambay, Perguruan Islam Alkhairaat: Dari Masa ke Masa, (Palu: Pengurus
Besar Yayasan Alkhairaat, 1991), h. 23.
60
Azyumardi Azra, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan,
2002), h. 170.
47

beliau kemudian ke Jombang Jawa Timur, beliau sempat bertemu

dengan Hasyim Asy’ari yaitu salah seorang pendiri Nahdatul Ulama

(NU) dan tinggal di sana selama dua Tahun. Sayid Idrus kemudian

pindah ke salah satu pemukiman Arab lainnya yaitu di Kota Solo Jawa

Tengah. Di sana beliau diberi kepercayaan mengajar di Madrasah Al-

Rabith Al-Alawiyah. Beliau dilantik untuk mengetuai Madrasah yang

berubah menjadi Yayasan Islam Diponegoro. 61

Selepas dari Solo, Sayid Idrus menuju Ternate Maluku dan Sulawesi

Utara. Beliau yang mempunyai keluarga di kalangan pendatang dan

peniaga arab membuatnya kemudian punya banyak koneksi di wilayah-

wilayah ini. Selama di Indonesia Sayid Idrus fokus mengabdikan diri

dalam Ilmu pengetahuan dan dakwah. Dari Gorontalo Sulawesi Utara,

Sayid Idrus kemudian ke Palu Sulawesi Tengah dan tinggal menetap

dalam waktu yang lama. Sapaan akrab Guru Tua kemudian melekat

dengan beliau mulai saat itu yang dikenal berperan penting dalam

bidang pendidikan Agama Islam di Sulawesi Tengah.62 Di Palu

Sulawesi Tengah Guru Tua kemudian membuka Taman pengajian

sebagai bentuk perjuangan dakwah yang beliau lakukan. Dibuka dari

satu tempat kemudian pindah ke tempat lain, dikarenakan belum adanya

tempat atau kepemilikan permanen, yang kemudian berkembang

menjadi institusi pendidikan yang dinamai Alkhairat. Alkhairat inilah

yang oleh Guru Tua menjadi wadah Ilmu pengetahuan bagi warga

61
Sofyan B. Kambay, Perguruan Islam Alkhairat dari Masa ke Masa, (Palu: PB
Alkhairat, 1991) h. 24.
62
Azyumardi Azra, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan,
2002), h. 171.
48

Sulawesi Tengah khususnya di Palu yang ingin menimba Ilmu tentang

Islam lebih luas. Dalam perkembangannya kemudian Alkhairat

memiliki banyak madrasah-madrasah sekolah, kampus Unisa

(Universitas Alkhairat) bahkan Rumah sakit di beberapa daerah. Hal ini

menjadi bukti, buah dari perjuangan Guru Tua dalam peranannya

mengembangkan Islam tahap Ilmu pengetahuan di lembah Palu Tanah

Kaili ini.

Sampai sekarang, Islam menjadi Agama mayoritas yang dianut oleh

masyarakat di kota Palu dengan persentase 84,06% dari total keseluruhan

jumlah penduduk.63

2. Kristen

Selain Agama Islam sebagai Agama mayoritas di kota Palu, Agama

Kristen menjadi agama terbanyak kedua yang dianut oleh masyarakat suku

Kaili. Dalam persentasenya Kristen mencakup 8,16% dari total keseluruhan

penduduk kota Palu.64 Kristen dalam sisi historis mulai masuk di Kota Palu

tidak jauh setelah sebelumnya berkembang di Poso pada akhir abad XIX

melalui sebuah usaha yang direncanakan atau diorganisir oleh sebuah

lembaga penginjilan yang berasal dari Belanda. Upaya kristenisasi yang

cakupannya meliputi wilayah Sulawesi Tengah ini disandarkan pada

seorang tokoh penginjil yang bernama Albert Christian Kruyt. Kruyt lahir

63
Diakses dari https://palukota.bps.go.id/statictable/2016/10/05/464/persentase-
penduduk-menurut-agama-di-kota-palu-2011-2015.html pada tanggal 11 maret 2021
64
Diakses dari https://palukota.bps.go.id/statictable/2016/10/05/464/persentase-
penduduk-menurut-agama-di-kota-palu-2011-2015.html pada tanggal 11 maret 2021
49

di Mojowarno Jawa Timur pada tanggal 10 Oktober 1869.65 Dia merupakan

keturunan dari Johannes Kruyt yang juga adalah seorang penginjil yang

ditugaskan di wilayah Jawa Timur.

Dalam kurun waktu 1877-1889 A.C. Kruyt menempuh pendidikan

Teologi di benlanda, yang setelah itu langsung dilantik dan ditahbiskan

sebagai pendeta penginjil oleh Nederlansch Zendeling Genootschap (NZG)

pada tahun 1890. Pada bulan April 1891 A.C. Kruyt bersama istrinya

Johanna Moulijin diutus ke Manado untuk selanjutnya di dapuk sebagai

penginjil di Gorontalo. Selama kurang lebih satu tahun ia bekerja di

Gorontalo dengan hasil yang tidak begitu terlihat signifikan. Hal ini

disebabkan sudah begitu kuat dan mengakarnya Islam di tengah-tengah

masyarakat Gorontalo. Kruyt kemudian mengajukan permohonan kepada

lembaga NZG di Roterdam sekaligus juga atas usulan dari Pdt Th. Wielandt

di Manado agar tugasnya di alihkan dari Gorontalo ke daerah Poso.

Permohonan ini kemudian disetujui NZG dan juga residen Manado, yang

bertepatan pada tanggal 4 Februari 1892.66 Sejak saat itu, dimulailah

perjalanan Kruyt mengemban tugasnya di daerah Sulawesi Tengah.

a. Periode Persiapan

Dalam perkembangannya yang menjadi jalur kisah Kristen di Sulawesi

Tengah secara garis besar, Kristen Terbagi menjadi beberapa periode.

65
Tony Robert Christian Tampake, Skripsi: Redefinisi Tindakan Sosial dan
Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat Eli Salom
Kele'i di Poso, (Salatiga: UKSW, 2014), h. 109.
66
Tony Robert Christian Tampake, Skripsi: Redefinisi Tindakan Sosial dan
Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat Eli Salom
Kele'i di Poso, h. 109.
50

Periode yang pertama adalah periode persiapan yang dimulai pada tahun

1892, ketika pemohonannya telah disetujui oleh lembaga zending di

Belanda dan Pemerintah Hindia Belanda di Manado. Pada tahun yang

sama Kruyt kemudian mengunjungi Poso untuk pertama kalinya dan

berkenalan dengan penduduk sekitarnya di Poso. Saat itu beberapa

diantara mereka telah beragama Islam. Namun, hal ini tidak

menyurutkan semangat Kruyt sebab ia mendapat informasi bahwa di

daerah bagian pedalaman Poso terdapat penduduk asli yang masih

menganut kepercayaan lama suku mereka. Penduduk asli inilah yang

menjadi pusat perhatian Kruyt selama kurang lebih 40 tahun dan

menjadi penyulut api semangat Kruyt yang baru.

Pada periode atau masa persiapan ini, Kruyt tidak serta merta secara

langsung dan terus terang mengajak penduduk untuk mengimani Injil.

Yang dilakukannya ialah mempelajari budaya, adat dan bahasa orang

poso saat itu. Selain itu ia juga mulai bersahabat dan menjalin hubungan

baik dengan pemuka masyarakat dan ketua suku, memfasilitasi proses

perdamaian antar suku-suku yang rentan terlibat pertikaian, ikut dalam

kegiatan sosial seperti kesehatan, mengobati orang-orang yang sakit,

dalam sisi pendidikan ia merintis pembukaan sekolah, institusi non

formal dan lain sebagainya. Tentunya dengan bantuan pemerintah

Belanda, ikut membantu dalam menciptakan ketertiban pada

masyarakat. Dalam Periode ini Kruyt dibantu oleh seorang ahli

linguistik dan etnografi yang berasal dari tempat yang sama yaitu

Belanda. Beliau bernama N. Adriani yang juga kemudian banyak


51

menulis naskah-naskah tentang perkembangan masyarakat Sulawesi

Tengah secara umum.

Kehadiran Kruyt beserta keluarganya dan Adriani ternyata mendapat

sambutan yang baik dan hangat dari masyarakat. Mereka dengan cepat

diterima dalam pergaulan masyarakat dan mampu menyesuaikan

dengan teebukti mereka mampu menguasai bahasa daerah setempat juga

mengenal budaya serta adat istiadatnya. Kruyt kemudian menjalin

persahabatan dengan sub suku Pebato dari rumpun suku Pamona.

Dengan modal ini kemudian Kruyt berbaur lebih dalam sambil

memperlihatkan pola kehidupan Kristen dalam kesehariannya sebagai

contoh. Ia juga lebih tekun dalam misi keagamaannya kali ini walau

pada periode ini hingga 17 tahun kemudian di tahun 1909 belum ada

satu orangpun yang menyatakan diri bersedia di baptis menjadi seorang

Kristiani. Sementara, ia menunggu dengan sabar sembari menanti

apabila terdapat seorang yang cukup berpengaruh menyatakan diri

secara sukarela untuk dibaptis.

b. Periode pertumbuhan 1909-sekarang

Di tahun1905-1906 A.C. Kruyt melakukan perjalanan dan mengunjungi

Halmahera, Jawa, Kalimantan, Sumatra, serta Nias kemudian kembali

ke Belanda. Setelah itudi bulan Mei 1907 ia bertolak kembali lagi ke

Poso. Ketika itu orang-orang mulai tertarik menghadiri kebaktian hari

minggu di rumahnya. Apalagi sang kepala suku mereka yang juga

merupakan sahabat karib Kruyt yaitu Papa I Wunte menyatakan

keimanannya terhadap Kristen dan kesediaannya untuk di baptis. Di


52

tanggal 25 desember 1909 dilaksanakanlah pembaptisan pertama di

sungai Puna desa Kasiguncu. Sebanyak 100 orang dewasa menerima

pembaptisan dan selanjutnya 66 orang di hari berikutnya.67 Selanjutnya

dalam setiap ibadah yang dilakukan selalu saja ada orang yang

menerima pembaptisan, hingga kemudian membuat jemaat semakin hari

meningkat dan bertumbuh. Setelah jemaat awal Kasiguncu ini

terbentuk, maka penginjilan yang dipimpin oleh Kruyt ini semakin

mendapat perhatian lebih dari penduduk setempat. Inilah yang menjadi

titik baru sebagai awal perkembangan Kristen. Periode ini yang

kemudian menjadi penanda berkembangnya Kristen dan meluas ke Palu

hingga Sulawesi Tengah

3. Hindu

Tahun 1930 merupakan saat dimana Indonesia masih dalam penjajahan

Belanda. Bertepatan itu perjuangan Indonesia sedang gencar-gencarnya

dalam rangka kemerdekaan dan penyatuan bingkai NKRI. Dalam kurun

waktu tersebut Belanda mengusir serta membuang beberapa warga Bali

yang beragama Hindu karena dianggap telah melawan kolonial Belanda.

Mereka dibuang dan diasingkan ke daerah Sulawesi Tengah tepatnya ke

sebuah wilayah yang bernama Parigi. Belanda bertujuan agar mereka

terasingkan, kesulitan bertahan hidup, kemudian mati. Sebab pada saat itu

daerah Sulawesi Tengah masih begitu lebat dengan hutannya yang asri.

Namun kenyataan dan takdir tidak demikian. Mereka justru mampu

bertahan hidup dan kemudian lambat laun menemukan sisi yang baru di

67
J. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1977). h. 20.
53

daerah yang di tinggali oleh orang-orang suku Kaili. Mereka kemudian

hidup menyesuaikan dan berdampingan dengan orang-orang Kaili di daerah

tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari mereka juga bergantung hidup sebagai

petani, namun lambat laun bertahun-tahun kemudian keturunan-

keturunannya ikut berpartisipasi di ruang lingkup peran yang lebih luas lagi

dalam masyarakat. Di tahun 1977, berlanjutlah perkembangan agama hindu

di Palu. Jika di awal mulanya orang-orang hindu hanya melakukan ibadah

dirumahnya masing-masing, di tahun tersebut pula mulailah digagas

pembangunan pura sebagai tempat ibadah umat Hindu. Hingga sekarang

kemudian, Hindu menjadi salah satu Agama yang dianut bukan hanya oleh

orang-orang keturunan Bali, tapi juga bagi sebagian orang-orang Kaili

karena perubahan keyakinan ataupun karena ikatan perkawinan. Hingga

saat ini, terdapat 2% penganut Hindu di penjuru Kota Palu68

B. Sejarah Upacara Balia

Ternyata sejarah panjang kehidupan manusia telah mencatat bahwa

manusia mempunyai kecenderungan beragama dan mempunyai ketergantungan

pada kekuatan gaib. Menurut Clifford Geertz Hal ini sudah ada sejak zaman

purba kala dan berkembang hingga kini pada manusia modern menjadi sebuah

kepercayaan religius. Kepercayaan itu kemudian diakui kebenarannya dan

menjadi modal penting dalam menciptakan dan menjalankan serta menjaga

tradisi. Dalam budaya jawa misalnya menurut Geertz, banyak sekali

68
Diakses dari https://palukota.bps.go.id/statictable/2016/10/05/464/persentase-
penduduk-menurut-agama-di-kota-palu-2011-2015.html pada tanggal 11 maret 2021
54

sesembahan yang kemudian setiap kali mereka mempunyai hajat seperti

nikahan, lahiran ataupun kematian, mereka selalu mengadakan ritual-ritual

yang dikenal dengan “selametan”.69 Upacara selametan ini dalam istilah agama

dikenal dengan sebutan ibadah atau yang dalam antropologi agama dikenal

dengan istilah rites atau ritual. Yang maksudnya ditujukan untuk mendapatkan

kebaikan dan keberkahan daripada sesuatu yang gaib tersebut.

Bak pinang dibelah dua, begitupun dengan Balia. Balia dipercaya telah

ada sejak zaman nenek moyang yang menjadi tradisi turun temurun

berkembang menjadi budaya dan adat istiadat bagi masyarakat suku Kaili.

Walaupun jika dikaji secara historis, catatan sejarah tidak begitu signifikan

mencatat kapan pertama kali upacara Balia dilakukan. Menurut Mangge

Samanudi Balia berasal dari proses kejadian manusia awal sebanyak tujuh org

(org sakti) yang diturunkan ke bumi sebagai penghuni awal muka bumi yang

dianggap nabaraka (sakti). Kemudian mereka mengajarkan upacara ini yang

nantinya dilakukan secara turun temurun dan dijaga sebagai adat.70

Sedangkan menurut guru Abdillah Sejarah asal usulnya ialah diyakini

berasal dari nenek moyang, yang dahulu sering melakukannya yang kemudian

di ikuti oleh generasi selanjutnya sebagai tradis. Dahulu Balia tidak hanya

dilakukan untuk pengobatan saja, akan tetapi saat orang ingin bertani ataupun

berkebun, dibuatlah adat ini dengan harapan banyak berkah yang turun serta

membuat hasil panen meningkat. Disamping memang sudah menjadi tradisi, ini

69
Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan, Santri, Priyai dalam kebudayaan Jawa,
Terjemahan Aswab dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), Cet. II, h. 89.
70
Wawancara pribadi dengan Mangge Samanudi, Palu, Sulawesi Tengah, pada tangal
03 Februari 2021.
55

menjadi cara mengungkapkan atau mengucapkan rasa syukur kepada yang

maha kuasa.71

Disamping pendapat-pendapat tadi tentang bagaimana asal mula

dilaksanakan upacara Balia tadi, terdapat juga cerita mite atau legenda

bagaimana asal mula upacara ini dilakukan. Cerita ini bermula ketika awal

kunjungan sawerigading, yaitu tokoh paling sentral dan populer dalam kitab

mitologi I La Galigo yang ternyata tidak hanya melegenda di kalangan Bugis

dan Makassar saja tapi hampir di seluruh Sulawesi. Ia digambarkan sebagai

tokoh muda yang memiliki perangai yang halus dan selalu bertindak sebagai

nahkoda atau pemimpin bagi perahu-perahu layarnya. Ia diyakini hidup sekitar

12 Tahun Meladi, yakni tahun yang oleh masyarakat Kaili daerah Tawaili

diyakini sebelum masehi. Masa tahun meladi lamanya sekitar 12.000 tahun.72

Ia juga dikenal sebagai pengembara yang mengembara sampai ke

penjuru dunia. Menjelajah sepanjang pantai Sulawesi hingga Maluku bahkan

sampai ke dunia orang-orang yang sudah mati. Dari Luwu ia berangkat hingga

kembali lagi ke Luwu. Sawerigading digambarkan mampu pergi ke langit dan

turun lagi ke bumi. tak ayal dia sering disebut sebagai orang yang turun dari

kayangan.73

Pada suatu hari di satu cerita, Laut Kaili mendapat kunjungan sebuah

perahu layar yang amat besar dibawah pimpinan seorang pelaut yang namanya

sudah sangat terkenal, pelaut ini bernama Sawerigading. Ia singgah ke teluk

71
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
72
A. S Kombie, Akar kenabian Sawerigading, (Makassar: PARASUFIA, 2003), h.
22-23.
73
A. S Kombie, Akar kenabian Sawerigading, (Makassar: PARASUFIA, 2003), h. 13.
56

Kaili setelah perjalanan panjangnya ke laut China menemui dan mengawini

tunangannya yang bernama Wecudai. Dalam menelusuri teluk Kaili

Sawerigading ke arah selatan dan ia sampai ke pantai Negeri Sigimpu dalam

wilayah kerajaan Sigi. Perahu Sawerigading berlabuh di pelabuhan yang

sekarang bernama Raranomba. Saat itu Kerajaan Sigi dipimpin oleh seorang

raja yang bernama Nggilinayo, yaitu seorang raja perempuan yang memiliki

paras yang cantik dan belum menikah atau memiliki pasangan. Saat

Sawerigading bertemu dengan Nggilinayo yang amat cantik itu, ia langsung

jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia kemudian mengajukan pinangan untuk

menjadikannya permaisuri. Raja Nggilinayo pun bersedia menerima pinangan

Sawerigading dengan syarat ayam aduaannya yang bernama Calabai dapat

dikalahkan oleh ayam aduan Sawerigading yang bergelar Baka Cimpolong,

yaitu ayam yang berbulu kelabu kehijauan dan kepalanya berjambul. Syarat itu

pun disetujui oleh Sawerigading dan disepakati bahwa acara adu ayam akan

dilangsungkan sekembalinya Sawerigading dari perjalanannya ke pantai barat,

sambil arena adu ayam dipersiapkan.

Setibanya kembali di Sigi, arena untuk pertarungan ayam di atas sebuah

gelanggang sudah dipersiapkan, ayam Sawerigading dan Nggilinayo sudah siap

dipertarungkan. Undangan malam itu sudah diumumkan kepada seluruh lapisan

masyarakat bahwa besok akan ada pertarungan adu ayam tersebut. Namun, pada

malam sebelum pertarungan terjadi sesuatu yang luar biasa yang menyebabkan

pertarungan dibatalkan. Anjing Sawerigading yang bergelar La bolong (Si

hitam) terlepas dan turun dari perahu kemudian berkeliaran di sekitar dataran

lembah Sigi. Tanpa disadarinya ia terperangkap pada sebuah lubang yang besar
57

yang di diami oleh seekor belut (Lindu) yang amat besar. Karena merasa amat

terganggu akan kedatangan La bolong sehingga terjadilah pertarungan yang

sangat sengit antara keduanya. Pertarungan tersebut sangat dahsyat sehingga

seolah-olah telah terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat yang

menggemparkan bumi. Penduduk menjadi ketakutan, sementara La bolong

berhasil menyergap belut (lindu) sehingga keluar dari lubangnya. Lubang besar

tempat tinggal belut yang telah kosong dan runtuh tersebut kemudian menjadi

danau yang hingga kini disebut Danau Lindu.74

Anjing Sawerigading menyeret belut itu ke arah utara melewati dan

turut menyeret air Laut Kaili dengan deras seperti tumpah ke arah utara. Hal

inilah yang menjadi sebab keringnya Laut Kaili, maka terbentuklah Lembah

Palu dan terjamahlah Tanah Kaili. Karena peristiwa dahsyat ini kemudian

menjadi sebab pertarungan ayam antara Sawerigading dan Nggilinayo batal

diselenggarakan. Keduanya sama-sama berikrar untuk menjadi saudara

kandung yang saling menghormati dan saling bekerja sama serta membimbing

orang-orang Kaili yang mendiami Palu, bekas teluk Kaili yang telah menjadi

daratan dan sekitarnya.75

Sebuah versi lain menceritakan mengenai cerita persaudaraan raja

Nggilinayo dan Sawerigading. Saat akan diadakan pertarungan ayam, diadakan

terlebih dahulu sebuah sebuah pesta yang dikunjungi oleh sebagian besar

penduduk kerajaan pada waktu itu. Seperangkat alat kesenian dan bunyi-

bunyian berupa gong, tambur dan seruling didaratkan dari perahu Sawerigading

Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990),
74

h. 26.
75
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 14.
58

untuk meramaikan pesta kerajaan. Gong, tambur dan gendang di palu atau

dipukul bertalu-talu untuk memeriahkan pesta tersebut, dan mengundang

keramaian dan antusias yang luar biasa. Bahkan orang yang sakitpun, yang

tadinya terbaring lemah di pembaringannya masing-masing ikut bergabung ke

tempat acara karena rasa penasaran dan keingin-tahuannya. Masing-masing dari

mereka menikmati dan mendengarkan bunyi-bunyian yang mengiringi tari-

tarian yang kemudian membuat mereka lupa akan rasa sakitnya. Hal ini

kemudian dipercaya sebagai obat mujarab yang selanjutnya dianggap sebagai

media atau sarana pengobatan dan dinamai dengan “Balia”. Dari sinilah

muncullah dan dikenal-lah upacara pengobatan ini. Sementara puncak dari

acara keramaian ini ialah pengukuhan persaudaraan antara Sawerigading dan

Nggilinayo. Disamping itu diserahkan pula semua alat-alat bunyi-bunyian

kepada saudaranya yaitu raja Nggilinayo.76

Menurut Buku mitos rakyat Sulawesi Tengah, Sawerigading oleh

masyarakat Kaili dianggap penjelmaan dari kayangan sebagai pembawa contoh

kehidupan, dengan segala kesaktian yang ada padanya. Sawerigading juga

dianggap sebagai pembawa kebudayaan untuk manusia di Tanah Kaili, serta

sebagai pencetus salah satu adat yang bernilai kesenian yang masih dianut oleh

masyarakat di Lembah Kaili yaitu upacara adat Balia. Sejarawan juga

menegaskan bahwa dari cerita-cerita Sawerigading, ia merupakan sosok yang

dianggap sebagai pemandu budaya yang sangat tersohor dengan melakukan

tari-tarian, iringan bunyi-bunyian seperti gendang atau gong, seruling atau biasa

disebut lalove, rebana dan lain-lain.77

76
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 16.
77
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 16.
59

Merujuk keterangan diatas, diperjelas pula pada pendapat lain yang

menerangkan bahwa waktu melakukan pesta rakyat, masyarakat berbondong-

bondong untuk menghadirinya. Diantara mereka ada yang sakit bongkok datang

dengan cara digendong, orang yang buta datang dengan di pandu atau di papah,

orang sakit seperti meriang demam dan sakit atau nyeri badan lainnya juga

datang ke pesta tersebut. Pada saat menyaksikan tari yang di iringi oleh musik

tradisional ini, mereka pun bisa berdiri dengan baik bahkan ikut menari di pesta

tersebut seolah mereka dalam keadaan normal. Mereka kemudian sembuh dari

penyakit yang dideritanya. Saat itu pula terdapat istilah dalam bahasa Kaili

“Nabali ia dakoridua aga nanggita acara I Sawerigading” (Ia berubah/sembuh

dari sakitnya hanya karna melihat acara tarian Sawerigading).78 Sawerigading

juga dalam bahasa Kaili diartikan dalam ejaan yaitu Savi (lahir/timbul) dan

rigading (di bambu kuning) atau yang dalam Bahasa Kaili juga disebut “Tope

bete ri bolovatu”, yang artinya orang yang lahir atau muncul dari bambu kuning.

Dalam pertunjukan yang diadakan Sawerigading banyak para penonton yang

kembali ke rumahnya dalam keadaan yang sembuh dari penyakitnya dengan

acara ini sebagai sebabnya. Dari sini mulailah tarian dan upacara ini digunakan

untuk menyembuhkan orang sakit.79

Penamaan Balia sendiri pun tidak lepas dari literatur bahasa Kaili serta

keterkaitannya dengan cerita peristiwa ini. Menurut Pak Edi Balia terdiri dari

dua suku kata Balia (Lawan) atau (Ubah) ia (dia) yang maksudnya berbalas,

antara seorang dengan org yang lain dalam suatu upacara, sebab saat itu para

leluhur bersahut-sahutan saat acara tersebut, seperti berbalas syair dengan

78
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 17.
79
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 19.
60

nyanyian yang disandarkan pada leluhur.80 Terdapat pula pendapat lain yang

menjelaskan bahwa daerah Kaili terkenal dengan upacara yang disebut dengan

Balia, artinya Bali (tantang) dan iya (dia) yang secara terminologi adalah

tantang dia. Pengertiannya secara utuh yang disimpulkan yaitu melawan setan

yang membawa penyakit dalam tubuh manusia. Balia dipandang sebagai

prajurit kesehatan yang mampu memberantas penyakit, baik penyakit yang

berat maupun yang ringan.81

Balia hingga sekarang masih terus diyakini dan dilestarikan oleh

sebagian masyarakat Kaili walaupun tidak lagi secara masif oleh mayoritas

orang dan hanya sebagian saja. Hal ini disebabkan sudah tergerusnya zaman ke

dalam pengaruh modernitas. Dalam pengaruhnya bentuk pelaksanaan adat ini

merupakan sesuatu yang menjadi simbol atau hal yang bersifat sakral.

Merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat Kaili yang masih memegang

tradisi erat nenek moyang untuk terus melaksanakan tradisi ini. Balia menjadi

sebuah budaya yang berusaha dilestarikan dan dipelihara generasi berikutnya

yang menjadi keyakinan emosi kepercayaan bahwa hal ini sejalan dengan

keinginan para leluhur jika ingin mendapatkan sebuah keberkahan, kesuburan

bagi tanah dan petani, menolak bala bencana, wabah penyakit serta

mengandung sisi hiburan kesenian juga silaturahmi antar masyarakat sekitar.

C. Macam-macam Upacara Balia

80
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Pak Edi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 02 Februari 2021.
81
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), hal.17.
61

Dahulu terdapat beberapa macam jenis Balia yang cukup sering

dilakukan oleh masyarakat Suku Kaili, hal ini tidak terlepas dari tujuan atau

keinginan yang ingin dicapai dalam pelaksanaannya. Namun dalam

perkembangannya beberapa sudah mulai jarang dilakukan disebabkan karena

kebiasaan atau budaya orang Kaili itu sendiri. Pada bagian ini secara singkat

penulis akan menjabarkan secara singkat macam-macam Balia dalam garis

besarnya.

1. Balia Tampilangi

Tampilangi terdiri dari dua kata yaitu tampi yang artinya tombak dan

langi yang artinya langit atau kekuasaan. Tampilangi atau yang dimaknai

(tombak sakti dari langit) merupakan upacara pemulihan kesehatan yang

dilakukan oleh makhluk atau roh halus yang turun dari kayangan, maju terus

pantang mundur dan sanggup menghadapi tantangan penyakit ringan

maupun berat. Jenis balia ini dikategorikan jenis balia pemberani

dibandingkan dengan jenis-jenis balia lain pada suku kaili dan juga

merupakan jenis Balia yang paling sering dilakukan.

Dalam pelaksanaannya, tarian dilakukan dengan mengikuti instrumen

musik gong, gendang, dan seruling yang dibawakan oleh ibule (orang

dengan predikat yang mempunyai kemampuan khusus atau kesaktian dalam

peran alat musik adat). Tarian peserta balia dalam upacara ini gegap gempita

mengikuti instrumen musik yang ada, yang dibawakan oleh bule/ibule.

Dalam pelaksanaannya peserta melibatkan perasaannya dalam suasana

tarian. Instrumen dan irama musik yang dimainkan memiliki variasi yang

unik dan bermacam-macam yang berlangsung semalaman suntuk, juga


62

makin lama kian terasa membahana. Suasana ini membuat peserta hanyut

dalam ritual, melibatkan perasaannya hingga kesurupan dan mengakibatkan

segala perhatiannya hanya terkonsentrasi pada suasana ritual upacara adat.

Peserta merasakan adanya pembelaan balia terhadap dirinya. Mereka

seolah-olah menggambarkan perlawanan terhadap penyakitnya seperti

terjadi pertempuran yang sengit, disaksikan khalayak ramai yang

menghadiri upacara untuk mengusir setan yang membawa penyakit.

Demikianlah ritual balia yang berlangsung, dimana peserta (si pesakit)

tenggelam dalam kegembiraan hingga letih melaksanakan upacara,

sehingga mereka meminta makan dan minum kemudian tertidur nyenyak.

Setelah bangun, mereka merasa segar bugar dan berangsur-angsur merasa

pulih juga menjadi sehat kembali.82 Balia jenis ini merupakan balia yang

paling sering dilakukan hingga sekarang.

2. Balia Tomanuru

Upacara Tomanuru adalah jenis upacara balia yang lebih berorientasi

pada pemujaan kepada kekuatan-kekuatan gaib, komunikasi dan

penghormatan kepada roh-roh leluhur. Biasanya upacara ini juga

memperbaiki atau mengganti sebuah benda yang disebut “Palakka”, yakni

sebuah tempat berbentuk persegi seperti sebuah wadah. Palakka ini

berisikan barang-barang nenek serta leluhur yang masih ada, di simpan oleh

keluarga untuk di bersihkan. Selain itu pada zaman dahulu upacara ini juga

diorientasikan dalam rangka pelantikan dukun muda (Sando) yang nantinya

berhak memimpin upacara balia mewarisi dan melanjutkan tugas dukun-

82
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), h. 19.
63

dukun yang sudah tua.83 Secara garis besar balia ini mirip dengan balia

Tampilangi, bahkan tidak jarang kedua balia ini dilakukan bersamaan

berangsur bergantian.

3. Balia Bone Meloso

Balia Bone Meloso merupakan salah satu jenis balia yang sudah punah

dan jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan di masa sekarang. Sebab,

balia ini merupakan ritual yang aktif dilakukan pada masa-masa kerajaan di

masa lampau. Balia ini dilakukan disamping dengan tujuan pengobatan,

juga dilakukan dengan maksud hiburan bagi sang raja. Selain itu juga

dilakukan dalam pelaksanaan hukuman mati atau untuk mengumpulkan

hasil panen dari rakyat untuk menyimpan padi, persiapan panceklik

sehingga raja tidak kekurangan stok.84

4. Balia Jinja

Tata cara pelaksanaan Balia Jinja yang oleh masyarakat disebut pasukan

pengepung penyakit, yaitu dukun beserta anggota lainnya duduk

mengelilingi penderita, lengkap dengan alat pengobatan. Seperti biasa bule

bertugas sebagai pemain musik yang memainkan bunyi instrumennya.

Bunyi musik yang dimainkan lemah lembut diikuti alunan suara nyanyian

dari penderita, bahkan tak jarang penonton juga ikut bersahutan dan

bernyanyi bersama sehingga membuat suasana bertambah meriah. Setelah

acara berlangsung semakin larut, alat musik pun di tabuh dengan irama yang

semakin cepat. Bunyi ini merupakan isyarat agar para peserta berdiri dan

83
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), h. 23.
84
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h. 89.
64

menari dengan tarian khususnya. Sando beserta jajarannya juga penonton

mengelilingi penderita. Gerak mereka bertujuan untuk menghalau dan

memutuskan sumber penyakit yang datang mengganggu penderita.

Keadaan demikian berlangsung hingga menjelang pagi. Upacara ini

umumnya memberikan harapan kepada penderita untuk sembuh. Menjelang

pagi, suasana semakin ramai yang diliputi suasana gembira, sehingga

peserta yang sakit terlihat bertambah baik dan akan nampak sehat bila

upacara telah berakhir.85

85
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), hal. 22.
BAB IV

MAKNA UPACARA BALIA

A. Kepercayaan Masyarakat Suku Kaili

Rekonstruksi kemudian membedakan antara agama dan kepercayaan,

sebab beberapa hal mengenai kepercayaan tidak bisa disandarkan terhadap

Agama manapun (berdiri sendiri) dan berkembang di kalangan masyarakat

seperti pada masyarakat Suku Kaili. Hal ini tidak membatasi penganut agama

manapun dalam arti bahwa dari agama manapun dia, masih ada kepercayaan

terhadap hal-hal ghaib yang bertahan bahkan hingga saat ini. Kepercayaan ini

kadang juga di sebut mitos oleh beberapa kalangan, karena kadang bersifat

kurang logis. Namun demikian, hal ini tidak menyurutkan keyakinan atau

kepercayaan masyarakat akan hal-hal seperti ini. Sebab bagaimanapun,

kepercayaan ini berasal dari tempat yang sangat jauh sebelumnya yang

kemudian turun temurun diajarkan dan diyakini sejak zaman nenek moyang.

Sederhananya, dimasa lampau secara garis besar Masyarakat Kaili tidak

mempunyai nama yang jelas, resmi ataupun signifikan yang menandai

kepercayaan aslinya. Sebelum menganut agama konvensional, Masyarakat

Kaili hanya disandarkan mengenal atau menganut dasar kepercayaan leluhur.

Kepercayaanya ini masuk dalam kategori animisme dan dinamisme, yaitu

pemujaan terhadap adanya zat atau makhluk spiritual yang tidak dapat dilihat

oleh mata manusia. Makhluk ini sering digambarkan sebagai roh-roh makhluk

halus atau jiwa manusia yang telah melampaui lebih dulu (nenek moyang)

mendiami sebuah tempat tertentu seperti pohon, binatang terutama yang telah

mati, tumbuhan, batu, benda atau apapun yang dapat menyimpan kekuatan

65
66

magis.86 Roh-roh atau benda ini kemudian dianggap memiliki “mana” kekuatan

gaib yang dipercaya dapat memberi kedamaian bahkan ancaman sehingga harus

dihormati agar tidak membahayakan manusia. Mereka diyakini bisa

memberikan kebahagian dan lain-lain sehingga dibuatkan ritual sakral untuk

pemujaannya. Hal ini bisa dianggap mendatangkan rejeki dan menjauhkan bala

bencana, sebab manusia dianggap tidak lepas dengan lingkungan alamnya, dan

lingkungannya dihadiri dengan sesuatu yang mistis dan memiliki kekuatan gaib.

Masyarakat Kaili mengenal atau percaya dengan keberadaan penguasa

(Pue) seperti “Karampua Langi” atau Pue Langi (penguasa langit), roh atau

kekuatan gaib yang mengatur iklim, cuaca, bulan dan matahari, gerhana

matahari dan bulan, serta benda-benda langit lainnya. Selain itu, mereka juga

percaya adanya “Karampua Ntana” atau Pue Ntana (penguasa tanah/bumi).

Penguasa bumi ini dipercaya dapat mengatur atau penyebab kehidupan yang

ada di bumi seperti gempa, banjir, angin ribut dan lain sebagainya. Ada juga

yang bersemayam dalam sebuah tempat seperti Pue Ntasi (penguasa laut), Pue

Nggayu (penguasa hutan). Masyarakat Kaili juga percaya adanya roh leluhur

yang bisa memberikan petunjuk juga keberkahan, roh ini dikenal dengan

sebutan Anitu.87 jika masuk kedalam tubuh manusia saat adanya ritual ia kadang

disebut Nomparikaro.

Selain itu juga terdapat kepercayaan Spiritisme88, sebagian masayarakat

di Sulawesi Tengah khususnya di Palu, Mereka percaya akan adanya makhluk

86
Rahmat Fajri dkk, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Belukar,2012), h. 30.
87
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h. 107.
88
Spiritisme merupakan sebuah paham dimana percaya terhadap adanya makhluk
spiritual yang tidak dihubungkan dalam suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad dan objek-objek
tertentu. Lihat, Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),
h. 36.
67

halus. Makhlus halus yang dimaksudkan mempunyai sifat-sifat seperti manusia.

Mereka ada yang baik dan ada juga yang jahat, sehingga apabila masyarakat

akan melakukan sesuatu, akan terlebih dahulu memohon izin pada mereka.

Menurut kepercayaan tradisional asal usul makhluk tersebut dibedakan atas 3

yaitu:

1. Makhluk halus yang asal kejadiannya sudah gaib, seperti Tarapotika,

Topepa, Buntulovo, Touta, Viata dan lain sebagainya.

2. Makhluk halus yang berasal dari manusia yang lenyap tanpa melalui proses

kematian. Seperti Tauleru, dan Talivarani.

3. Makhluk halus dari roh manusia yang sudah meninggal tetapi dengan cara

yang tidak wajar, seperti dibunuh dan lainnya.89

Kepercayaan lain yang juga masih diyakini oleh masyarakat hingga saat

ini ialah kepercayaan terhadap manusia biasa yang karena salah menggunakan

ilmu hitamnya dapat membunuh atau mencelakakan orang lain dengan kekuatan

roh jahatnya. Orang yang demikian disebut Topeule, yang ditakuti masyarakat

karena ia salah belajar ilmu. Gangguan roh jahat (mbalasa) yang

dimanfaatkannya dapat membuat orang sakit atau bahkan meninggal.

Kepercayaan seperti inilah yang membuat upacara-upacara adat sering

dilakukan termasuk upacara Balia. Hal ini dilakukan dengan harapan bisa

menjadi media perantara dengan roh-roh jahat maupun baik serta Yang maha

Kuasa. Memohon agar diberikan kesehatan, kekuatan, rejeki serta menolak

segala macam bala bencana. Disamping beberapa hal tadi, masyarakat Kaili

juga dikenal percaya akan adanya benda-benda sakti yang dapat digunakan

89
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), h. 16.
68

sebagai penangkal diri, misalnya orang dapat kebal terhadap senjata tajam, anti

guna-guna, tidak diganggu hantu, dan lain sebagainya. Benda sakti ini dapat

berupa keris, cincin, parang, potongan kayu, dan lain sebagainya.90

B. Pengertian Upacara Balia

Masyarakat suku Kaili yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah ini

memiliki beragam budaya yang sarat dengan nilai-ritual yang bersifat unik dan

menarik untuk dikaji. Keberagaman budaya ini diwariskan dari nenek moyang

secara turun temurun dan selalu ditaati dan di junjung tinggi sehingga

pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara adat. Upacara ritual

tersebut dalam ilmu Antropologi dikenal dengan kelakuan keagamaan yang

merupakan perwujudan bentuk aktivitas atau kegiatan yang berusaha mencari

hubungan dunia gaib. Secara umum dunia gaib bisa dihadapi manusia dengan

berbagai macam perasaan seperti cinta, bakti, tapi juga rasa takut atau bahkan

bercampur dengan berbagai macam perasaan. Selain itu juga dalam sebuah

ritual, terdapat ide-ide, pranata nilai yang tampak (phainomenon) dalam sebuah

gejala keagamaan dalam pendekatan fenomenologis.91

Balia merupakan salah satu budaya masyarakat Kaili yang menjadi

lorong gerbang kebudayaan menuju sejarah masa lampau yang mengaitkan

Suku Kaili dan Suku Bugis, dengan Sawerigading sebagai perantaranya. Tokoh

purba ini adalah tokoh utama sejarah kemanusiaan di tanah Bugis khususnya di

Luwu, yang mempunyai daya jelajah ke berbagai penjuru dunia. Sawerigading

dianggap sebagai manusia pertama yang turun ke Bumi dan mendiami dunia

90
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h. 76.
91
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h. 23.
69

Tengah. Alur kisah Sawerigading yang populer adalah perjalanan ke tanah Cina

untuk menemui jodohnya I We Cudai seperti yang sudah penulis uraikan

sebelumnya. Dalam perjalanan cinta itu, acapkali Sawerigading singgah dan

membentuk sejarah di tanah yang disinggahinya. Ia juga dipandang sebagai

pembentuk tradisi kebudayaan yang salah satunya ialah tradisi Balia.

Masyarakat kota Palu sebagai bagian dari pemeran utama dalam adat

dan budaya suku Kaili. Terdapat begitu banyak pelaksanaan adat nilai luhur

yang dilakukan turun temurun sebagai bentuk tradisi. Masyarakat

mengembangkan sopan santun dalam tata cara pergaulan yang menentukan

bagaimana orang seharusnya bersikap terhadap sesamanya. Dalam kehidupan

bermasyarakat, adat menjadi rule (aturan) yang sangat membatasi, mengatur

pergaulan antar kehidupan bermasyarakat. Dalam aturan adat seorang muda-

mudi dilarang untuk berduaan tanpa didampingi oleh orang tua, karena itu

perkawinan diatur oleh orang tua dari kedua belah pihak. Jika adat ini dilanggar,

maka yang melanggar akan dikenai denda adat (nigivu) dengan memberikan

sejumlah hewan atau yang sekarang diganti dengan uang tergantung besar

kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan

seseorang yang dianggap dapat merugikan orang lain juga diatur oleh adat yang

berlaku. Misalnya mengganggu wanita dengan sengaja sampai melanggar

asusila, mengintip perempuan sedang mandi, tidak menerima tamu jika suami

tidak di rumah, membunuh dan lain sebagainya. Hal ini diatur dalam adat

dengan bermacam-macam sanksi, seperti di jadikan bahan ejekan, dikucilkan

dalam masyarakat, diusir, bahkan dibunuh oleh korban yang dianiaya. Dari hal-

hal ini boleh dibilang adat juga menjadi pengetahuan, pendidikan budi pekerti
70

dalam masayarakat khususnya Kaili. Bagaimana harus bersikap baik, sopan dan

teratur utamanya pada golongan yang lebih tua.92

Begitu pun Kepercayaan masyarakat dalam bentuk budaya dan adat

istiadat, merupakan perbuatan yang dilakukan sesuai aturan adat yang sudah

mendarah daging melekat pada kebiasaan orang Kaili seperti pada adat Upacara

Balia. Balia adalah refleksi dari sistem kepercayaan masyarakat Kaili kuno.

Bagi masyarakat Kaili, semua tempat memiliki kekuatan gaib yang bisa

memengaruhi kehidupan manusia. kekuatan yang menguasai alam, kekuatan

gaib berada di gunung, hutan, sungai, batu, dan tempat lainnya sangat

berhubungan dengan kehidupan manusia. Restu karampua/anitu atau biasa

disebut “pue” berimplikasi pada kebaikan dalam kehidupan manusia.93 Murka

pue berimbas pada kesulitan atau bala dalam kehidupan manusia. Berdasarkan

hal ini, masyarakat Kaili memahami bahwa penyakit bukan sebagai fenomena

fisik belaka, tetapi juga fenomena metafisik atau fenomena yang berhubungan

dengan alam gaib. Penyakit menjadi semacam penanda bahwa komunikasi

antara para penghuni alam gaib dengan manusia sedang dalam pola yang kurang

baik. Penyakit yang hinggap dalam tubuh seseorang dipahami sebagai bentuk

amarah, teguran, atau peringatan dari kekuatan spirit yang ada di alam

semesta.94

Pada zaman dahulu di masyarakat Kaili lahir suatu kepercayaan

terhadap kekuatan gaib berupa roh-roh leluhur yang dapat memberikan

92
Syakir Mahid, Sejarah Sosial Sulawesi Tengah, (Palu: PPS Lemlit Untad 2009), h.
35.
93
M. Yunus Melalotoa, Sekelumit Sejarah Kebudayaan Kaili dalam Antropologi
Indonesia, (Jakarta: Fisif UI, 1991), h. 133.
94
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h. 81.
71

kekuatan kepada manusia diluar dirinya. Kehidupan sehari-hari diikat oleh

norma-norma dan aturan-aturan adat yang dianggap keramat dan sakral.

Kepercayaan itulah kemudian disebut dengan tradisi Balia. Tradisi Balia

Tampilangi merupakan salah satu dari sekian banyak tradisi yang masih

melekat dalam diri masyarakat. Tradisi ini merupakan pencerminan daripada

kepribadian budaya dan adat istiadat masyarakat Kaili Kota Palu. Secara

terminologi “Balia” berasal dari bahasa Kaili “Nabali ia” artinya berubah ia.

Perubahan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang pelaku

balia telah dimasuki oleh roh halus sehingga segala bentuk perilaku, gerak

perbuatan hingga cara berbicara akan berubah mengikuti cara atau kebiasaan

roh yang masuk kedalam dirinya.95

Kata Balia Tampilangi pun demikian, berasal dari bahasa Kaili yang

terdiri dari dua kata yaitu “Bali” artinya tentang/lawan dan “ia” yang artinya

dia, jadi Balia maksudnya adalah melawan setan yang membawa penyakit

dalam tubuh manusia. Pengertian lain juga menyebutkan bahwa “bali”

diartikan sebagai kata ubah atau lawan, dan “ia” yang diartikan sebagai ia.

Dalam definisi ini sederhananya, Balia diartikan merubah seseorang yang sakit

menjadi sembuh, melawan roh jahat yang hinggap membawa penyakit ke tubuh

pasien. Oleh karena itu Balia dipandang sebagai prajurit kesehatan yang mampu

memberantas penyakit, baik berat maupun ringan dengan upacara ini.96

Sedangkan kata “Tampilangi” juga terdiri dari dua suku kata yaitu “Tampi”

yang artinya Tombak, dan “Langi” yang artinya langit atau kekuasaan. Di

95
Wawancara Pribadi dengan Ridho, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 09 Februari
2021.
96
Mattulada, Manusia dan kebudayaan Kaili di Sulawesi Tengah dalam Antropologi
di Indonesia, (Jakarta: FISIF UI, 1991), h. 38.
72

zaman dahulu disamping kerap kali dipakai berburu, tombak digunakan oleh

prajurit dibawah pimpinan Tadulako untuk melindungi rakyat. Sehingga secara

simbolis, Balia Tampilangi diartikan sebagai pasukan Tombak sakti dari langit,

yang siap melawan atau melindungi. Sebagai upacara pemulihan kesehatan

yang dilakukan makhluk halus yang diyakini masyarakat sebagai pasukan gerak

cepat, turun dari khayangan, terus maju pantang mundur dan sanggup

menghadapi tantangan berbagai penyakit ringan hingga penyakit berat.97

Balia ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat kaili sebab rasa

fanatik terhadap adat istiadat disebabkan faktor mereka masih menggunakan

nilai-nilai luhur yang di junjung tinggi.98 Balia merupakan ritual pengobatan

orang sakit secara tradisional yang telah ada sejak zaman dulu, sejak zaman

nenek moyang sebelum adanya agama yang di turunkan serta menjadi tradisi

ataupun budaya adat orang kaili yang berkembang hingga sekarang. Menurut

Pak Edi seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan Balia terdiri dari dua suku

kata Balia (Lawan) atau (Ubah) ia (dia) yang maksudnya berbalas, antara

seorang dengan orang yang lain dalam suatu upacara, sebab saat itu pada zaman

dulu, para leluhur bersahut-sahutan saat acara tersebut, seperti berbalas syair

dengan nyanyian yang disandarkan pada komunikasi sesama dan pada leluhur.99

Terdapat pula pendapat lain yang menjelaskan bahwa daerah Kaili terkenal

dengan upacara yang disebut dengan Balia, artinya Bali (tantang) dan iya (dia)

yang secara etimologi adalah tantang dia. Pengertiannya secara utuh yang

97
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), hal. 18.
98
Wawancara Pribadi dengan Tokoh adat Pak Edi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 02 Februari 2021.
99
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Pak Edi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 02 Februari 2021.
73

disimpulkan yaitu melawan setan yang membawa penyakit dalam tubuh

manusia. Balia dipandang sebagai prajurit kesehatan yang mampu memberantas

penyakit, baik penyakit yang berat maupun yang ringan.100

Balia hingga sekarang masih terus diyakini dan dilestarikan oleh

sebagian masyarakat Kaili walaupun tidak lagi secara masif oleh mayoritas

orang dan hanya sebagian saja. Hal ini disebabkan sudah tergerusnya zaman ke

dalam pengaruh modernitas. Selain itu semakin dalamnya pengaruh Islam juga

turut menjadi salah satu sumbangsih balia mulai ditinggalkan, sebab Balia kerap

kali dianggap sebagai budaya syirik dan atau menyekutukan Allah. Dalam

pengaruhnya bentuk pelaksanaan adat ini merupakan sesuatu yang menjadi

simbol atau hal yang bersifat sakral. Merupakan suatu kewajiban bagi

masyarakat Kaili yang masih memegang tradisi erat nenek moyang untuk terus

melaksanakan tradisi ini. Balia menjadi sebuah budaya yang berusaha

dilestarikan dan dipelihara generasi berikutnya yang menjadi keyakinan emosi

kepercayaan bahwa hal ini sejalan dengan keinginan para leluhur jika ingin

mendapatkan sebuah keberkahan, kesuburan bagi tanah dan petani, menolak

bala bencana, wabah penyakit serta mengandung sisi hiburan kesenian juga

silaturahmi antar masyarakat sekitar bahkan terhadap arwah nenek moyang

yang turut hadir.101

100
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), hal.17.
101
Wawancara Pribadi dengan Ridho, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 09 Februari
2021.
74

C. Proses Umum Pelaksanaan Upacara Balia Tampilangi

Proses Upacara Balia Tampilangi dimulai dengan perencanaan

pelaksanaan Upacara Balia yaitu nolibu. Libu adalah musyawarah adat bersama

keluarga dan aktor utama yang memimpin Balia yaitu Sando. Sando ialah

sebutan untuk pemimpin ritual adat (dukun) yang memiliki otoritas yang

menetapkan segala hal terkait dengan prosesi adat Balia. Mulai dari waktu,

tempat, serta berbagai macam peralatan dan instrumental yang dibutuhkan.

Sando juga dianggap sebagai orang yang punya kemampuan khusus atau

kesaktian yang dapat berkomunikasi langsung dengan roh alam ghaib. Dalam

tahapan ini keluarga membawa syarat adat untuk berkonsultasi atau yang biasa

disebut “petena”. Petena ini berisi rokok yang merupakan selera dari sando

beserta korek api kayu yang diletakkan di sebuah piring kecil kemudian

dibacakan baraka (berkah), doa-doa keberkahan oleh sando. Ada prosesi unik

dalam libu ini, kadangkala seorang sando membacakan syair vadi pada salah

seorang pasien dari kalangan keluarga. Setelah di bacakan mantra atau syair

tersebut, pasien akan dimasuki oleh roh yang akan menyampaikan seperti apa

Balia yang mereka inginkan untuk dilakukan dan apa saja yang disiapkan selain

hal-hal yang bersifat umum.102 Umumnya upacara ini dilaksanakan sekurang-

kurangnya dua hingga empat malam, tergantung kesepakatan dan arahan dari

sang sando. terkadang tidak menutup kemungkinan juga terjadi penggabungan

antara dua Balia yang berbeda jenis.

Karena Balia merupakan ritual yang kolosal, Balia dilaksanakan di

rumah yang memiliki ruangan cukup luas dan di halaman atau di tanah yang

102
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
75

cukup lapang. Jika acaranya dua hari, maka akan di bagi menjadi dua sesi, hari

pertama di dalam rumah dan hari kedua atau hari terakhir di halaman atau

lapangan tadi. Setelah ditentukan segala halnya, maka akan dipersiapkan segala

sesuatunya terkait peralatan, perlengkapan serta berbagai unsur

pelaksanaannya. Peralatannya meliputi:

Alat sebagai Instrumen atau pengiring:

1. Gimba (gendang).

2. Goo (gong).

3. Lalove (alat musik menyerupai seruling yang dimainkan dengan cara ditiup

untuk menimbulkan bunyi)

Tiga peralatan ini merupakan hal yang vital, sebab fungsinya yang

menjadi instrumen, alat musik yang mengiringi jalannya acara semalam suntuk.

Dari segi sejarahnya, alat musik ini yang menarik pusat perhatian masyarakat

Kaili, sebab digunakan sawerigading dalam meramaikan acara yang dibuatnya.

Dalam perkembangannya kemudian, alat yang dibawa sawerigading ini

menjadi instrumen musik dalam setiap adat kaili. Alat musik ini akan

mengiringi tarian-tarian yang gerakannya memang agak tidak beraturan, tidak

begitu tertib dan terbilang random mengikuti keinginan roh halus yang menari

dalam badan pasien (Nomparikaro), namun para pendamping sando

mengarahkan kemana arah mereka berputar saat menari. Yang bertindak

sebagai pemain alat musik disebut Bule, ia berperan serta mengatur ritme dari

alat musik yang dimainkan. Bule memainkan beberapa ritme dalam ritual ini.

alat musik yang ditabu secara pelan dan mendayu-dayu ritmenya disebut

sarontaede, ritme ini biasa digunakan sebagai ritme yang santai. Ritme
76

selanjutnya meningkat agak cepat disebut sarondaya hingga agak cepat menjadi

sarondaya naole, dan cepat sekali dengan sebutan kancara. Tujuannya dari

tingkatan musik ini adalah untuk mempercepat masuknya ataupun menjadi

pengatur ritme tarian pada peserta balia. Adakalanya alat musik di tabuh dengan

cepat dan adakalanya saat peserta mulai terlihat lelah maka akan ditabu secara

perlahan. Biasanya juga di tabuh sesuai irama yang diperlukan tergantung

langkah yang sedang dilakukan.103

Selanjutnya terdapat pula peralatan yang digunakan di dalam ritual

sebagai berikut:

1. Tampi (tombak). Tombak ini akan digunakan sebagai alat untuk menombak

korban/persembahan berupa ayam atau kambing jika ada. Ada perbedaan

penggunaan tombak di masa sekarang dengan di masa lalu. Tombak dimasa

lalu benar-benar digunakan untuk menombak korban hewan yang

disediakan hingga mati, namun di masa sekarang dengan pengaruh Islam,

tombak digunakan sebagai simbolis dan tidak betul-betul dipakai untuk

mematikan hewan persembahan (korban).

2. Guma (parang Kaili). Parang ini digunakan sebagai alat yang akan

menyembelih salah satu korban berupa ayam kecil. Selain itu digunakan

juga untuk memotong beberapa benda dalam adat

3. Kaliavo (perisai). Pada fungsinya, Perisai digunakan sebagai tatakan

persembahan diawal ritual. Namun setelahnya perisai juga berfungsi

sebagai alat yang dibawa dalam tarian. Makna yang terkandung didalamnya

103
Wawancara Pribadi dengan Mangge Samanudi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 03 Februari 2021.
77

ialah bahwa perisai merupakan pelindung yang akan melindungi siapapun

yang memegangnya.

4. Payung. Payung ini akan berfungsi sebagai pelengkap lolangi. Makna yang

ia kandung ialah sesuai fungsinya bahwa ia akan memberikan kesejukan dan

keteduhan bagi semua orang yang berada di dalam ritual.

5. Baki. Baki merupakan sebuah dulang atau nampan tidak berkaki yang

digunakan sebagai alat tatakan beberapa peralatan atau perlengkapan yang

menjadi syarat adat, selain itu juga baki digunakan sebagai wadah tatakan

makanan dan minuman untuk banyak orang.

6. Baskom. Baskom ini menjadi wadah bagi beberapa syarat dan perlengkapan

adat seperti beras, telur dan lain-lain

7. Dula. semacam sebuah wadah mirip seperti baki yang berbentuk seperti

loyang berkaki yang digunakan sebagai tempat peralatan adat dan juga

sebagai tempat beberapa syarat dan perlengkapan adat.

8. Sarung. Sarung yang dimaksud adalah sarung tradisional atau sarung adat,

seperti yang biasa dipunyai beberapa daerah, sarung ini berfungsi sebagai

syarat adat sehingga peserta balia semuanya harus menggunakan sarung ini.

9. Sepasang baju dan celana. Biasanya baju tersebut berupa baju kemeja dan

celana kain, ini merupakan syarat adat yang diperuntukkan untuk pemimpin

adat (sando)

10. Selendang. Selendang ini juga merupakan syarat adat yang melengkapi

Lolangi.

11. Songkok atau kopiah. Sama seperti baju dan celana tadi, songkok/kopiah ini

diperuntukkan untuk pemimpin adat.


78

12. Basende. Basende merupakan sebuah benda semacam topi atau penutup

kepala yang digunakan oleh pemimpin adat atau biasa disebut sando. Topi

ini terbuat khusus dari kulit kayu kemudian terdapat motif atau corak khusus

pada sisinya. Topi ini hanya digunakan oleh pemimpin adat dan merupakan

bagian yang harus ada padanya sebagai simbol kehormatan.

13. Piring gelas. Piring dan gelas digunakan sebagai alat makan dan minum.

Biasanya masih berbentuk klasik, belum menyerupai piring dan gelas pada

umumnya. Selain itu, juga digunakan sebagai alat yang digesek-gesekkan

yang kemudian menimbulkan bunyi. Bunyi ini dipakai untuk mempercepat

masuknya roh halus bagi peserta yang belum dimasuki roh.

14. Dupa. Dupa seperti yang kita ketahui, merupakan sebuah benda yang

biasanya terbuat dari kayu atau pelepah kulit kelapa yang mempunyai bau

yang khas. Dengan dibakarnya dupa yang mempunyai bau yang semerbak

ini menjadi penanda bahwa ritual sudah dimulai dan semua yang

“diundang” dipersilahkan datang

15. Daun Pisang. Daun pisang yang digunakan biasanya adalah daun yang

masih cukup muda, digunakan sebagai alas makanan atau tempat sajian-

sajian.

16. Kendi. Kendi menjadi salah satu syarat adat. Kendi nantinya akan

dihancurkan diatas kepala. Dengan dihancurkannya kendi diatas kepala,

orang Kaili percaya hal ini akan menghilangkan segala macam penyakit

yang bersarang di kepala104

104
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
79

Alat-alat ini yang nantinya akan digunakan, mempunyai peran dan

fungsinya masing-masing sebagai syarat unsur pelaksanaan Balia. Selain itu,

adapula kelengkapan yang menjadi syarat akan pelaksanaan Balia.

Kelengkapan ini meliputi:

1. Ayam kemerahan atau setidaknya yang memiliki corak sebagai syarat adat

bagi setiap pasien. Ayam ini nantinya akan ditombak secara simbolis dalam

ritual. Setelah itu kemudian disembelih dan dagingnya akan dimasak juga

dimakan bersama-sama. Terdapat pula perbedaan yang signifikan mengenai

korban ini. Dimasa lalu babi seringkali digunakan sebagai korban atau

persembahan, namun masuknya agama Islam kembali menjadi sebab

bergesernya budaya ini karena pengaruhnya.105

2. Telur masing-masing 2 bagi setiap pasien. Telur ini dinamai dengan nama

masing-masing pasien menggunakan penanda lalu dibacakan doa-doa oleh

sando. kemudian telur ini nantinya akan di masak dan di makan bersama-

sama dengan keluarga juga khalayak yang ikut menyaksikan acara.

3. Sambulugana. Sambulugana merupakan kumpulan dari serangkaian

tumbuh-tumbuhan. Ia diartikan atau dianggap sebagai lambang

kelengkapan, bahwa segala syarat dan segala sesuatunya sudah ada.

Sambulugana juga mempunyai derajat yang tinggi dalam kebudayaan Kaili,

sebab sambulugana menjadi perlambangan fisik utuh manusia. Isi

sambulugana ini meliputi: Kapur siri, buah pinang, Tagambe atau gambir,

tembakau yang di bungkus dalam sebuah kain.

105
Wawancara Pribadi dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pak Ansyar
Sutiadi, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 19 Mei 2021.
80

4. Beras pulut (ketan) warna-warni. Beras pada fungsinya akan di tabur atau

dilemparkan keatas peserta Balia. Beras ini merupakan bentuk simbol yang

mewakili perlambangan di dunia telah hadir. Beras-beras ini juga memiliki

makna sebagai permohonan petunjuk kepada Tomanuru dan atau juga

penguasa bumi dan langit. Warna beras ini meliputi:

a. Putih, sebagai perlambangan langit.

b. Kuning, yang mewakili atau melambangkan tempat Uventira (wentira).

Yaitu sebuah tempat di salah satu wilayah bagian dekat kota Palu yang

dianggap keramat yang diyakini sebagai salah satu negeri gaib para

leluhur.

c. Hitam, sebagai perlambangan unsur tanah.

d. Merah sebagai perlambangan Laut

e. Hijau, sebagai perlambangan Bulan dan Bintang

5. Siranindi, yaitu semacam sebuah tumbuhan yang menjalar. Siranindi

dianggap sebagai salah satu tumbuhan yang dapat mendinginkan karena

memang daunnya memiliki sifat dingin. Dalam siranindi terdapat sebuah

makna bahwa ia akan mendinginkan dan menghilangkan segala macam

bentuk penyakit panas seperti demam dll.

6. Uwe Vongi (air wangi), adalah air yang diracik oleh para sando dengan

berbagai macam komponen dan komposisi. Air ini berperan sebagai media

yang diusapkan di tubuh agar penyakit-penyakit dapat hilang dan si sakit

diberikan kekuatan serta mampu mengikuti seluruh prosesi acara, perannya

lebih seperti minyak dalam pijat refleksi konfensional. Air wangi ini berisi:

Kayu manis, sikuri (kencur), sale (buah kayu), bawang merah, kemiri, telur,
81

daun paku, Banja (pinang muda), sintamadia, kondo (daun asam), tolasi

(daun harum), daulolo (pucuk dedaunan), panda (pandan).

7. Lolangi. Lolangi merupakan bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dimana

ini akan menjadi tempat para pasien-pasien Balia mengitari dan menari.

Tumbuhannya ialah 7 macam daun, yaitu: Kayu bale (kayu ikan), Veluru

(umbut sejenis lontar), Balaroa (kayu waru), Kayu Taba, Kayu peliu,

Siranindi (cucur bebek), kadombuku, janur.

8. Pohon pisang dan batang tebu, masing-masing untuk setiap pasien. Pohon

pisang dan tebu nantinya akan di tebang dalam langkah nompaya. Orang

kaili percaya, dengan di tebangnya pohon pisang dan batang tebu maka

segala macam penyakit di dalam tubuh akan hilang atau sembuh.106

Setelah seluruh perlengkapan dan peralatan tersedia dengan lengkap,

para sando mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka meracik dan

mempersiapkan bahan-bahan yang ada sesuai tuntunan adat. Setelah semuanya

siap, di bakarlah dupa sebagai makna bahwa prosesi adat telah dimulai. Di hari

pertama, prosesinya adalah sebagai berikut:

1. Nopopandiu (dimandikan) dan atau berwudhu. Dalam prosesnya peserta

Balia akan dimandikan atau disarankan berwudhu, langkah ini didampingi

langsung oleh Sando. Nopopandiu akan menjadi tameng agar jangan ada jin

atau roh yang jahat masuk ke dalam tubuh. Nopandiu atau berwhudu ini

menggunakan uwe vongi (air wangi) yang sudah disiapkan oleh sando.

2. Nokangoa (duduk) & Nosove. Setelah Nopopandiu tadi pasien atau peserta

kemudian duduk dan berkumpul kemudian dilakukan langkah Nosove, yaitu

106
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
82

mereka dipercikkan air dengan kayu berubu dan kambalasa oleh sando dan

perangkatnya. Kambalasa merupakan daun yang biasanya menempel pada

kelapa. Kemudian diusapkan pula pada bagian tubuh.

3. Nolili 3 kali. Yaitu langkah dimana peserta mengitari Lolangi diarahkan

langsung oleh para sando dan perangkatnya, kemudian masuk kedalamnya.

Hal ini dimaknai bahwa masuk dalam lolangi berarti peserta sudah resmi

masuk dalam ritual acara atau juga mempersilahkan, mengundang roh-roh

kedalam proses acara adat yang dipanggil lewat syair Vadi.

4. No Vadi. Yaitu sando akan melantunkan syair, mirip seperti lagu atau

mantera untuk mengundang, memanggil roh untuk datang. Biasanya pada

saat novadi ini pasien mulai merasakan mual dan gemetar. Selain itu

berdebar berdegup kencang karna mulai merasa ada yang akan merasuki

mereka.107 Adapun syair vadi antara lain sebagai berikut:

“Tama Bunto tama jilaka ngoro, domo bunto yaku rabuntoina, domo

salavia montolinga, domo rayamburu rintosayona, dora rata nggalenta

mpolara, domabunto yaku mombarampe ntobaraka do’a, kurampeka

ntobaraka do’a raposarokami mantikavae, raposarokami noampanene

rijalampovia.

Artinya:

“Saya tidak durhaka, saya tidak durhaka lagi dengan telah dibuatnya acara

ini (adat Balia), saya tidak salah membuat kekhilafan agar tidak dihinggapi

penyakit di lain hari, saya tidak sakit lagi dengan menyebut orang barakah

(keramat), saya sampaikan kepada orang barakah, saya bersandar kepada

107
Wawancara Pribadi dengan Peserta Balia Moza dan Anna, Palu, Sulawesi Tengah,
pada tanggal 06 Februari 2021
83

orang barakah, kami semua disini berjejer dengan melantunkan nyanyian

dalam pekerjaan ini untuk kesembuhan penyakit.”108

5. Nontaro. Yaitu mulai menari dan kesurupannya para pasien atau peserta

balia, mereka bertingkah secara random dengan menari-nari mengikuti

iringan musik yang dimainkan. Prosesi ini ditandai dengan mulai dipukul

atau di tabuhnya gendang dan instrumen musik atau bunyian lainnya oleh

para bule. Jika ada peserta yang belum dirasuki roh, perangkat sando

biasanya mengambil gelas dan piring yang kemudian digesek-gesekkan.

Bunyi-bunyiannya akan memfokuskan peserta Balia dan membuat

masuknya roh lebih mudah. Prosesi ini berlangsung hingga larut malam,

berhenti sebentar untuk makan kemudian dilanjutkan kembali sesuai aba-

aba dari sando hingga selesai.109Tak jarang saat prosesi nontaro

berlangsung, peserta yang sudah dirasuki roh halus meminta rokok, telur

ayam kampung yang mentah, saguer (tuak) manis dan makanan seperti

daging ayam untuk dikonsumsi.

Di hari kedua, terdapat beberapa detail yang berbeda. Adapun

prosesinya sebagai berikut:

1. Peserta kembali melakukan Nolili sebanyak 3 kali dengan diarahkan

langsung oleh Sando beserta perangkatnya. Langkah ini dilakukan seperti

dihari pertama, peserta memutar mengitari lolangi dan dengan makna yang

sama, mengundang roh baik untuk masuk atau datang kembali.

108
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h. 85.
109
Menurut keterangan peserta balia, mereka melihat dan sadar tentang apa yang
terjadi, namun tidak bisa mengontrol gerakan dan apa mereka lakukan. Wawancara Pribadi dengan
Peserta Mangge Dance, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 06 Februari 2021
84

2. Nantambasi. Hal ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam ritual

balia ini. Yaitu memberikan persembahan (Ayam kecil, pisang, cucur, ketan

putih dan hitam, kelapa parut, jeroan kepala kaki serta darah ayam) pada roh

atau anitu yang diundang. Langkahnya ialah Sando akan menyembelih

ayam kecil yang masih hidup tadi kemudian dibiarkan begitu saja di dekat,

lalu sesembahan disiram dengan air oleh Sando. Maknanya ialah, dengan

nantambasi ini diyakini bahwa segala penyakit dan sesuatu yang negatif

akan terbawa hanyut bersamaan dengan air yang disiram tersebut. Selain

itu, isi sesembahan tersebut juga diperuntukkan bagi roh-roh yang hadir

dalam ritual ini.

3. Turun dari rumah menuju tempat kedua, yaitu ke sebuah tanah lapang dan

dilakukannya kembali nosove.

4. Nontaro, namun kali ini dengan memegang taba oleh setiap peserta sebagai

tanda bahwa keinginan atau pelaksanaan sudah sah atau sesuai adat

5. Noraro, yaitu kegiatan dimana ayam yang sudah disiapkan kemudian

ditombak dibagian kaki oleh peserta dengan dibimbing dan diarahkan oleh

sando, lalu langsung disembelih. Dengan langkah ini makna yang

terkandung adalah bersamaan dengan darah yang menetes ke tanah, maka

menjadi tanda bahwa sesuatunya berkenaan dengan adat telah ditunaikan

sesuai syarat.

6. Nompaya, yaitu memotong pohon pisang dan tebu. Peserta duduk

menunduk dibawah pohon pisang dan tebu yang kemudian pohon tersebut

di tebang oleh Sando di atas mereka, bersamaan dengan itu dihancurkan

pula kendi yang diletakkan di atas kepala. Dengan kegiatan nompaya


85

maknanya ialah diyakini kendi yang dihancurkan di atas kepala akan

menghilangkan penyakit, menghancurkan penyakit yang berada atau

bersarang disekitaran daerah kepala. Selain itu disertakan pula memotong

batang pisang dan tebu yang maknanya diartikan sebagai penghilang sakit

pada bagian-bagian tubuh yang lainnya.

7. Nontaro ri apu. Yaitu peserta akan menari dan menginjak bara api. Langkah

ini menjadi salah satu kegiatan yang bisa dibilang cukup ekstrim dan yang

paling menarik perhatian, sebab peserta selanjutnya akan menari diatas bara

api yang sedang menyala, menginjaknya hingga bara api padam dengan

sendirinya karena diinjak oleh kaki telanjang pasien tanpa merasakan panas

sedikitpun. Makna dari menginjak bara api ini ialah dengan menginjak api

tersebut dan membuatnya padam, maka segala penyakit utamanya demam

atau panas yang bersarang di badan si peserta sebagai penyakit akan hilang.

8. Njoro polama yaitu bentuk penyelesaian diakhir dan keselamatan. Disini

sando akan kembali melantunkan syair (novadi). Setelah ini berarti semua

sudah selesai dan mempersilahkan segala macam makhluk halus yang di

undang untuk pulang. Setelah itu semuanya pulang, kembali ke dalam

rumah masing-masing dan beristirahat. Dengan prosesi akhir dari ritual ini

diharapkan segala bentuk pengharapan dan doa perseta (si pesakit) serta

keluarga akan dijabah oleh Tuhan dan juga direstui dan dibantu oleh roh-

roh nenek moyang atau leluhur yang hadir.110

110
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
86

D. Makna Upacara Balia Tampilangi bagi Masyarakat Suku Kaili

Seperti yang kita tau pada umumnya, sebuah tradisi keagamaan atau

kepercayaan sebagaimana terlihat pada sebagian besar agama atau kepercayaan

dan tradisi di Indonesia, umumnya memiliki ritual tertentu dalam beberapa fase

kehidupan yang dianggap sakral seperti kelahiran, selamatan, pengobatan,

hingga meninggal dunia bahkan ada juga pasca meninggal hingga bertahun-

tahun lamanya. Hal ini sudah dilakukan sejak dahulu kala mengikuti tradisi

yang ada pada pendahulu yaitu para leluhur. Namun demikian, mereka

memaknai setiap ritual sakral keagamaan tersebut dengan filosofi yang berbeda

antara satu kepercayaan terhadap kepercayaan lainnya. Setiap ritual keagamaan

atau kepercayaan di setiap daerah memiliki makna tersendiri bagi para

penganutnya, baik makna secara sosial maupun religius.

Hal ini seperti Upacara Balia dari Suku Kaili yang merupakan suatu ritus

budaya di Palu yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang dalam

rangka penyembuhan orang sakit. Dimana ritual ini dianggap sakral, sebagai

bagian untuk menyembuhkan penyakit, menghindarkan diri dari marabahaya,

musibah, malapetaka, yang akan dialami manusia dengan perantara roh-roh

nenek moyang. Menurut Nurcholis Madjid bahwa penghayatan keagamaan

populer dikenal dengan adanya tindakan keagamaan yang disebut Religio-

Magisme. Tindakan didasari oleh keinginan seseorang tentang kejadian

supranatural seperti, kesembuhan, keamanan, kekayaan, berkah dan lain-lain.


87

Pangkal tindakan ini adalah tentang keyakinan bahwa adanya hal gaib

berkenaan dengan suatu mukjizat dan hal keramat.111

Disamping unsur penting seperti Sando dan perangkatnya, bule, serta

peserta yang sudah pasti harus ada sebagai pemeran utama. Dalam proses dan

pelaksanaannya terdapat begitu banyak mekanisme dengan berbagai macam

fungsi dan makna. Baik di dalam peralatan dan perlengkapan, maupun langkah-

langkah ritualnya. Untuk perlengkapan dan peralatan, beberapa makna yang

terkandung diantaranya ialah sebagai berikut:

1. Petena. Petena yang merupakan syarat adat dalam melakukan komunikasi

kepada sando di maknai sebagai imbalan atau rasa terima kasih bagi

keluarga kepada sang sando.112

2. Alat Instrumen (Gimba (gendang), Goo (gong), Lalove (seruling). Selain

karna memang menjadi alat yang sangat vital dengan fungsinya dan juga

karena dia merupakan syarat adat, terdapat pula makna bahwa alat musik

ini merupakan benda yang disukai oleh roh-roh nenek moyang. Roh roh

nenek moyang begitu senang dengan ditabuhnya gendang dan

dimainkannya alat-alat musik ini. Ini akan menjadi salah satu alasan mereka

untuk datang selain memang karena diundang, mereka akan bersuka cita

karena menganggap telah ditunaikan sesuatu yang mereka inginkan.

Sebagai sesuatu yang telah mereka wariskan sehingga melestarikan menjadi

bentuk penghargaan kepada mereka.

111
Nurcholish madjid, Penghayatan Keagamaan dan Masalah Religio Magisme,
Dalam Budi Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 492.
112
Wawancara Pribadi dengan Peserta Mangge Dance, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 06 Februari 2021.
88

3. Payung. Sebagai pelengkap Lolangi, terselip makna yang dikandung oleh

payung bahwa sebagaimana sifatnya, ia diyakini dapat memberikan

kesejukan dan keteduhan bagi semua orang yang berada didalam ritual.

4. Sarung. Sarung tradisional dalam ritual adat bermakna sebagai pembeda

antara peserta dan perangkat balia dengan orang biasa atau khalayak ramai

yang hanya datang menyaksikan.

5. Basende yang berfungsi sebagai topi atau aksesoris kepala ini bermakna

sebagai simbol kehormatan, sebab hanya pemimpin atau tokoh adat yang

menggunakannya

6. Dupa yang dibakar sejatinya difungsikan sebagai benda yang menghasilkan

bau semerbak atau wewangian, namun dupa juga mengandung makna

bahwa dibakarnya dupa menjadi pertanda bahwa upacara adat telah dimulai

dan juga sebagai tanda diundangnya roh-roh halus untuk datang, diyakini

bau wangi yang keluar dari dupa disenangi oleh roh-roh halus atau roh

nenek moyang.

7. Sambulugana merupakan salah satu dari sekian syarat adat dan menjadi

ornamen penting dalam Balia. Selain memang ditinjau dari sisi sejarah

selalu ada sebagai syarat adat Kaili. Sambulugana juga sesuai artinya

berasal dari kata nagana (cukup) terkandung makna bahwa ketika

sambulugana sudah ada maka artinya segala sesuatunya sudah lengkap.

Disamping itu sambulugana memiliki makna yang melambangkan tubuh

atau fisik manusia yang lengkap. Kapur sirih melambangkan urat nadi

manusia, buah pinang sebagai jantung manusia, Tagambe atau gambir


89

sebagai darah manusia, tembakau dimaknai sebagai rambut manusia.

Sambulugana disatukan dan di bungkus dalam sebuah kain.113

8. Beras dengan bermacam warna mengandung makna bahwa simbol

perlambangan di dunia telah hadir. Putih melambangkan langit, kuning

melambangkan uventira (wentira) yaitu sebuah tempat di salah satu wilayah

bagian dekat kota Palu yang dianggap keramat yang diyakini sebagai salah

satu negeri gaib para leluhur. Hitam yang melambangkan unsur tanah,

merah melambangkan laut dan hijau sebagai lambang bulan dan bintang.

Selain itu, terselip makna bahwa beras-beras yang ditabur ini sebagai

permohonan petunjuk kepada Tomanuru, roh-roh leluhur, juga penguasa

langit dan bumi (Tuhan).

9. Lolangi merupakan benda yang komposisinya merupakan tumbuhan-

tumbuhan. Maknanya ialah sebagai tempat yang disenangi oleh roh-roh

yang datang dalam ritual, dan salah satu gerbang penghubung antara alam

dunia dan alam gaib.114

Beberapa hal lainnya seperti alat dan perlengkapan ada pula yang tidak

mempunyai makna khusus secara spesifik namun merupakan bagian dari syarat

adat, sebab dalam perspektif sejarah sudah dari zaman nenek moyang

digunakan sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari adat. Selanjutnya selain

makna dari beberapa alat atau perlengkapan, terdapat pula makna dari proses

atau langkah ritual Balia sebagai berikut:

113
Yunida Nur, Sambulugana: Adat perkawinan Etnis Kaili di Palu Sulawesi Tengah,
(Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Tadulako, 2016), h. 42.
114
Wawancara Pribadi dengan Mangge Samanudi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 03 Februari 2021.
90

1. Nopopandiu (dimandikan) atau berwudhu. Pada fungsinya ia menjadi salah

satu pembersih tubuh peserta balia juga tuntunan dari Islam itu sendiri.

Makna yang terkandung didalamnya ialah dengan berwudhu, akan menjadi

tameng agar tidak ada jin atau roh jahat yang masuk ke dalam tubuh.

2. Nosove ialah dipercikkannya air wangi ke para peserta balia, maknanya

ialah memberikan keberkahan terhadap orang-orang yang dipercikkan.

Selain itu juga air wangi dianggap sebagai salah satu air obat yang dapat

menyembuhkan.

3. Nolili artinya memutari atau mengitari, dalam kegiatan Balia nolili adalah

sebuah langkah memutari lolangi sebanyak 3 kali kemudian masuk ke

dalamnya. Maknanya ialah dengan mengelilingi lolangi berarti peserta

sudah sah sebagai peserta balia, mereka sudah resmi masuk ke dalam ritual.

Dalam hal ini juga mengundang mempersilahkan roh-roh kedalam proses

acara adat.

4. Novadi yaitu menyanyikan atau melantunkan sebuah syair. Syair yang

dimaksud merupakan syair kebesaran bagi masyarakat adat Kaili yang

mampu menjadi penghubung antara alam dunia kita dan alam dunia gaib,

dengan dilantunkannya vadi akan menjadi tanda komunikasi antara kedua

alam.115

5. Nontaro merupakan langkah dimana peserta balia mulai dimasuki roh,

menari dan kesurupan, hal ini diyakini merupakan keinginan dari para roh-

roh yang nantinya akan memberikan kekuatan dan kesembuhan setelahnya.

115
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
91

6. Nantambasi adalah memberikan persembahan dengan beberapa komponen

yang sudah disebutkan. Nantambasi diperuntukkan sebagai sajian atau

persembahan bagi roh-roh yang hadir. Masyarakat Kaili percaya bahwa

dengan disiramnya sesembahan maka segala penyakit dan sesuatu yang

negatif akan terbawa hanyut bersamaan dengan air yang disiram tersebut.

7. Noraro ialah nama sebuah langkah diamana sebuah korban disiapkan

kemudian di tombak dibagian kaki seperti yang sudah disebutkan diatas.

Makna yang dikandung oleh noraro adalah dengan menetesnya darah ke

tanah menjadi tanda bahwa sesuatunya berkenaan dengan adat telah

ditunaikan sesuai syarat.

8. Nompaya merupakan langkah menebang pohon pohon pisang dan tebu

dimana peserta duduk menunduk dibawahnya lalu dihancurkan juga kendi

diatas kepalanya. Orang kaili percaya bahwa dengan di tebangnya batang

pisang dan tebu maka akan menghilangkan sakit pada bagian-bagian tubuh.

Selain itu tertanam pula makna dari dipecahkannya kendi diatas kepala akan

menghilangkan atau menghancurkan penyakit yang berada atau bersarang

diatas kepala.

9. Nontaro ri apu merupakan langkah ekstrim seperti yang sudah disebutkan,

dimana peserta Balia seperti yang disebutkan menari diatas bara api yang

menyala. Terselip pula makna bahwa menginjak api tersebut hingga padam

akan menghilangkan segala macam penyakit utamanya demam dan panas

yang bersarang di dalam tubuh.

10. Njoro polama merupakan langkah akhir dari upacara adat Balia. Makna

yang terkandung ialah hal ini menjadi penyelesaian adat dan pemberian
92

berkah serta keselamatan. Dengan prosesi akhir dari ritual ini diharapkan

segala bentuk pengharapan dan doa perseta (si pesakit) serta keluarga akan

dijabah oleh Tuhan dan juga direstui dan dibantu oleh roh-roh nenek

moyang atau leluhur yang hadir.116

Selain makna khusus yang telah dijabarkan diatas, terdapat pula makna

dalam sudut pandang general atau universal secara keseluruhan dari

pelaksanaan Upacara Balia. Secara sosial, sebagaimana terdapat dalam

beberapa tradisi keagamaan di Indonesia, dapat dipahami bahwa ritual-ritual

seperti ini memiliki nilai atau dampak yang positif bagi masyarakat sekitarnya

baik secara langsung maupun tak langsung juga tanpa melihat besar atau

kecilnya sebuah dampak tersebut. Masyarakat percaya bahwa ritual seperti ini

yang kadang-kadang juga menggunakan korban binatang maupun hal lainnya

akan memberikan dampak atau hal positif bagi keluarga dan yang menjalankan

ritual tradisi. Begitupun dengan masih dilaksanakannya upacara tradisi Balia

hingga sekarang menunjukkan bahwa sangat besar pengaruh kepercayaan Balia

terhadap masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa pola-pola nyata perilaku

yang berdasarkan dalam simbol yang memiliki makna yang tegas dari

kelompok masyarakat itu sendiri, dalam hal ini masyarakat Kaili yang masih

memegang teguh sistem adat leluhur. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman dan

bagian dari keyakinan-keyakinan yang dilandaskan atau didasarkan pada

perilaku leluhur jauh sebelumnya. Perilaku ini kemudian menjadi sistem nilai

116
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
93

dan bersifat normatif yang mengatur kehidupan bermasyarakat agar dalam

kehidupannya dapat meraih sikap harmonis.117

Kebudayaan menjadi dasar sebagai sistem nilai bagi masyarakat Kaili

sebagai makhluk sosial yang isinya merupakan perangkat-perangkat, model-

model pengetahuan yang digunakan untuk menginterpretasikan lingkungan

yang dihadapi untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang

diperlukan. Kebudayaan Balia bagi masyarakat Kaili, mengandung sistem

gagasan, pikiran, konsep, nilai dan norma terkait seperti apa seharusnya

menjalankan kehidupan bermasyarakat bahkan antara hubungan manusia

dengan hal gaib. Dalam pelaksanaanya terdapat nilai sosial yang cukup tinggi

dalam kehidupan bermasyarakat, diantaranya sikap nolunu (gotong royong) dan

saling tolong menolong. Sikap saling bantu atau gotong royong ini terlihat

ketika mereka saling bantu mempersiapkan tempat, peralatan, serta semua

perlengkapan yang dibutuhkan. Selain itu juga, terdapat suatu nilai kehidupan

yang berbunyi nilinggu mpo taboyo yang merupakan manifestasi keakraban

hubungan kekerabatan. sehingga kesenjangan sosial antara satu dan yang lain

memudar karena pembauran tersebut.118 Dalam pandangan sosial juga ini

menjadi hiburan bagi para keluarga dan si pesakit sehingga mendapatkan

penguatan juga support atau dukungan dari sisi psikologis dan kejiwaannya.

Secara religius, Balia merupakan ritual kepercayaan lama suku Kaili

yang bernilai sakral. Kepercayaan ini bisa dibilang dulunya merupakan

pemujaan terhadap dewa (seuatu yang memiliki kekuatan gaib) yang dalam

bahasa Kaili disebut karampua/pue dan juga roh leluhur (nenek moyang yang

117
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKIS, 2005). h. 13.
118
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h.77.
94

biasa disebut anitu ataupun viata. Kepercayaan nenek moyang ini masih sangat

kental bahkan bertahan saat Islam sudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat

Kaili sehingga terjadi sinkretisme antara keduanya. Balia mampu bertahan,

terus ada bahkan juga berkembang secara turun temurun sebagai salah satu

bentuk hubungan dengan kekuatan gaib yang dianggap suci tersebut.

Masyarakat Kaili percaya adanya keharusan menjaga hubungan baik dengan

kekuatan gaib yang masih menguasai alam tersebut, disamping Tuhan sebagai

yang maha kuasa tertinggi. Merupakan sebuah keharusan untuk menjaga

hubungan tersebut dimana penguasa alam ini dipersonifikasikan sebagai bentuk

roh-roh nenek moyang dan dewa-dewa (leluhur). Dengan memuja dan menjaga

hubungan baik dengan mereka, diyakini akan mendatangkan keberkahan dan

rejeki. Disamping itu hal ini akan menjauhkan dari marabahaya, mencegah

datangnya bala bencana, murka dan menjauhkan segala macam penyakit juga

sebagai sarana silaturahmi dan hiburan bagi masyarakat dan leluhur-leluhur.

Selain itu melestarikan budaya ini, akan menjadi tolak ukur bahwa mereka yang

melakukan adat berarti telah berbakti dan tidak durhaka terhadap leluhur. Hal

ini akan menjauhkan murka dari kekuatan gaib, sebab murkanya merupakan

bagian yang akan mendatangkan berbagai macam ujian dan kemalangan

tersebut. Mereka merupakan perantara antara manusia dan Tuhan, serta

kekuatan tersebut dianggap memiliki kedekatan yang lebih dari manusia

sehingga bisa menjadi perantara bagi manusia dan Tuhan di masa sekarang.

Sederhananya, Balia dimaknai sebagai salah satu upaya atau cara

penyembuhan orang sakit secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat

suku Kaili. Hal ini dilakukan jika sebelumnya sudah dilakukan upaya medis
95

untuk penyakit yang diderita namun tidak ada kesembuhan atau perubahan yang

signifikan dalam kesehatannya, sehingga dianggap penyakit tersebut akan

disembuhkan dan dikembalikan dengan cara-cara adat (tradisional). Sebab,

masyarakat Kaili percaya, beberapa penyakit berasal dari jin atau roh-roh jahat.

Sehingga dengan dilakukannya Balia, harapannya ialah segala macam penyakit

akan hilang (sembuh) melalui bantuan dan perantara kekuatan roh-roh baik

(leluhur). Selain itu juga di satu sisi Balia dimaknai sebagai bentuk silaturahmi

antara orang-orang yang masih hidup dimasa sekarang dengan leluhur dan

nenek moyang dimasa lalu yang sudah meninggal.119 Roh Mereka datang ke

dalam ritual, merasuki para peserta Balia berkomunikasi dan menyampaikan

keinginan serta wejangan-wejangannya. Selanjutnya mereka juga akan

memberikan kekuatan dan kesehatan terhadap si pesakit yang menjadi peserta

Balia sebagai perantara dari kesembuhan yang diberikan Tuhan. Hal ini

kemudian bagi masyarakat Kaili akan mendatangkan rejeki, menolak bala atau

menjauhkan mara bahaya dan malapetaka. Balia juga menjadi hiburan yang

bernilai seni dan budaya yang dipertahankan turun temurun berkat wejangan-

wejangan para nenek moyang.

119
Wawancara Pribadi dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pak Ansyar
Sutiadi, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 19 Mei 2021
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ini penulis berkesimpulan

bahwa Masyarakat Kaili merupakan salah satu suku yang secara umum masih

memegang prinsip patuh dan tunduk pada tradisi-tradisi nenek moyang. Hal-hal

yang demikian menjadi nilai luhur, norma serta sakral untuk dilakukan sebagai

bentuk penghormatan sesama dan juga pada leluhur yang telah mendahului di

kehidupan lampau. Aturan dan norma itu kemudian menjadi kebiasaan

dilakukan turun temurun, mendarah daging membentuk tradisi yang sakral dan

keramat. Salah satu yang menjadi hal yang sakral tersebut ialah upacara Balia

Tampilangi ini. Balia ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat kaili juga

sebab rasa fanatik terhadap adat istiadat yang masih tinggi, juga faktor mereka

masih menggunakan nilai-nilai luhur yang di junjung tinggi.

Masyarakat Kaili mengenal atau percaya dengan keberadaan penguasa

(Pue) seperti “Karampua Langi” atau Pue Langi (penguasa langit), roh atau

kekuatan gaib yang mengatur iklim, cuaca, bulan dan matahari, gerhana

matahari dan bulan, serta benda-benda langit lainnya. Selain itu, mereka juga

percaya adanya “Karampua Ntana” atau Pue Ntana (penguasa tanah/bumi).

Penguasa bumi ini dipercaya dapat mengatur atau penyebab kehidupan yang

ada di bumi seperti gempa, banjir, angin ribut dan lain sebagainya. Ada juga

yang bersemayam dalam sebuah tempat seperti Pue Ntasi (penguasa laut), Pue

Nggayu (penguasa hutan). Masyarakat Kaili juga percaya adanya roh leluhur

yang bisa memberikan petunjuk juga keberkahan, roh ini dikenal dengan

96
97

sebutan Anitu. jika masuk kedalam tubuh manusia saat adanya ritual ia kadang

disebut Nomparikaro. Balia merupakan salah satu budaya masyarakat Kaili

yang menjadi lorong gerbang kebudayaan menuju sejarah masa lampau yang

mengaitkan Suku Kaili dan Suku Bugis, dengan Sawerigading sebagai

perantaranya. Tokoh purba ini adalah tokoh utama sejarah kemanusiaan di tanah

Bugis khususnya di Luwu, yang mempunyai daya jelajah ke berbagai penjuru

dunia. Sawerigading dianggap sebagai manusia pertama yang turun ke Bumi

dan mendiami dunia Tengah. Alur kisah Sawerigading yang populer adalah

perjalanan ke tanah Cina untuk menemui jodohnya I We Cudai seperti yang

sudah penulis uraikan sebelumnya. Dalam perjalanan cinta itu, acapkali

Sawerigading singgah dan membentuk sejarah di tanah yang disinggahinya. Ia

juga dipandang sebagai pembentuk tradisi kebudayaan yang salah satunya ialah

tradisi Balia.

Upacara Balia Tampilangi dilakukan oleh keluarga yang salah seorang

anggota keluarganya atau lebih ada yang sakit, dan penyakitnya sudah tidak

menemui solusi. Sebab secara medis tidak ditemukan solusi penyembuhannya

atau bahkan penyakitnya tidak terdeteksi secara medis, akhirnya

penyembuhannya dikembalikan pada pengobatan tradisional atau adat. Secara

etimologi “Balia” berasal dari bahasa Kaili “Nabali ia” artinya berubah ia.

Perubahan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang pelaku

balia telah dimasuki oleh roh halus sehingga segala bentuk perilaku, gerak

perbuatan hingga cara berbicara akan berubah mengikuti cara atau kebiasaan

roh leluhur yang masuk kedalam dirinya. Ritual ini dipimpin oleh seorang

Sando atau sekelompok perangkat Sando, juga pemain alat musik yaitu bule.
98

Dalam ritual ini terdapat alat musik Gimba, Gong, dan Lalove sebagai

instrumen musik yang mengiringi jalannya ritual. Dengan alat seperti Tombak,

Guma (parang Kaili), Kaliavo (Perisai) dan lain sebagainya. Serta kelengkapan

seperti Lolangi, pohon pisang dan tebu, Sambulugana, telur dan beras sebagai

syarat. Selain itu juga menggunakan media ayam sebagai korban dan media

persembahan.

Adapun proses umum pelaksanaan Upacara Balia Tampilangi ini :

Nolibu (pertemuan keluarga dan sando atau pemimpin adat), Nopopandiu

(dimandikan), Nokangoa (duduk) & Nosove (di percikan air wangi), Nolili

(mengitari Lolangi) sebanyak 3 kali, Novadi (membacakan syair atau mantera),

Nontaro (menari dengan bantuan roh), Nantambasi (menyembelih anak ayam

dan memberikan persembahan), Noraro (menombak ayam sebagai korban),

Nompaya (memotong pohon pisang dan tebu serta menghancurkan kendi),

Nontaro ri apu (menginjak bara api), Njoro Palama (Penyelesaian dan

pemberian berkat keselamatan).

Dalam upacara ini terselip makna-makna sosial, bahwa dalam

kehidupan bermasyarakat, masyarakat masih menerapkan nilai dan norma adat.

Norma-norma ini mengandung nilai sosial gotong royong (nolulu) atau saling

tolong menolong. Nilai sosial lainnya adalah terciptanya hubungan keakraban,

kekerabatan dan kesetaraan, juga silaturahmi. Disamping itu, kegiatan ini juga

menjadi media yang menjaga tradisi leluhur sebagai bentuk penghormatan,

tunduk patuh serta tidak durhaka kepada mereka. Ketika mereka mulai lupa

pada adat dan budaya maka akan akan kesusahan yang menghampiri seperti

bencana dan rasa sakit.


99

Berikutnya secara religius Balia terhubung dan atau merupakan bagian

dari kebiasaan yang bernilai sakral yang kemudian menjadi budaya yang

dilestarikan oleh masyarakat Kaili secara turun temurun, sebagai bentuk

pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang. Roh-roh nenek moyang (leluhur) ini

menjadi sumber kekuatan-kekuatan gaib yang dapat menolong keturunan-

keturunannya sehingga harus dilakukan ritual sebagai bentuk penghormatan,

agar diberikan keberkahan dan kekuatan kepada mereka. Karena menurut orang

Kaili, budaya ini juga dimaknai sebagai bentuk silaturahmi selain kepada

sesama, juga kepada para roh-roh leluhur yang diyakini datang pada ritual dan

memberikan keberkahan. Dalam prakteknya juga ternyata ada sisi singkretisme

yang terkandung dalam antara Agama Islam dan Budaya Kaili

B. Saran

Upacara Balia ini memiliki banyak spektrum ataupun dimensi yang

menarik untuk dibahas sebagai objek penelitian sebagai penambah khasanah

intelektual. Bagi para intelektual yang ingin mengetahui atau mengobservasi

lebih dalam mengenai upacara Balia, bukan hanya Tampilangi tapi juga masih

banyak lagi jenis dan aspeknya, penulis merasa perlu merekomendasikannya.

Karena masih banyak hal-hal yang belum digali secara mendalam. Diantaranya

Jenis perbedaan dari masing masing upacara, langkah, tujuan serta berbagai

macam korban yang digunakan dalam budaya Suku Kaili. Dengan maksud agar

Masyarakat Kaili dapat mempertahankan keaslian adatnya yang dapat dipelajari

dan dipahami. Baik terhadap pemahaman nilai-nilai fundamental ataupun

bentuk originalitasnya. Hal lain yang juga bisa diperdalam untuk dikaji ialah

terjadinya pengaruh Islam didalam Upacara Balia di masa sekarang dalam


100

bentuk Sinkretisme yang menurut penulis menjadi sebuah hal yang menarik

perhatian.

Oleh karena itu, ini menjadi tanggung jawab para intelektual untuk

menambah wawasan khasanah intelektual agar perkembangan ilmu

pengetahuan di masa yang akan datang berikutnya menjadi lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdullah, M. J., Sejarah Tanah Kaili, Palu: Stensilan, 1975.

Afia, Neng Darol, ed., Tradisi Dan Kepercayaan Lokal Pada Beberapa Suku Di

Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agma Departemen Agama RI, 1999.

AhimsaPutra, Heddy Shri, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi

untuk Memahami Agama”, dalam Jurnal Walisongo, Semarang: LP2M,

UIN Walisongo, November 2012, volume 20, nomor 2.

Ali, Mohammad, Datuk Karama dan Islamisasi Masyarakat Kaili di Lembah Palu,

Cirebon: Perwira, 2004.

Ali, Mukti, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),

Azra, Azyumardi, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan,

2002.

Bahri, Media Zainul, Wajah Studi Agama-Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2015.

Christian, Tony Robert Tampake, Skripsi: Redefinisi Tindakan Sosial dan

Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap

Gerakan Jemaat Eli Salom Kele'i di Poso

Connolly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002.

Darwis dkk, jejak wakil rakyat di tanah kaili, Yogyakarta: Tiara wacana, 2005.

Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan, Santri, Priyai dalam kebudayaan Jawa,

Terjemahan Aswab dan Bur Rasuanto, Depok: Komunitas Bambu, 2014.

Ismail, M. Ag, Sejarah Agama-Agama, Bengkulu: Pustaka Pelajar 2017.

101
102

Kambay, Sofyan, Perguruan Islam Alkhairaat: Dari Masa ke Masa, Palu:

Pengurus Besar Yayasan Alkhairaat, 1991.

Koentjaraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1997.

Kombie, A. S, Akar kenabian Sawerigading, Makassar: PARASUFIA, 2003.

Kruyt, Johannes, Kabar Keselamatan di Poso, Jakarta: BPK Gunung Mulia 1977.

Madjid, Nurcholish, Penghayatan Keagamaan dan Masalah Religio Magisme,

Dalam Budi Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam

Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.

Mahid, Syakir, Sejarah Sosial Sulawesi Tengah, Palu: PPs Lemlit Untad, 2009.

Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili’, Palu: Tadulako university press 1990.

Melalotoa, M. Yunus, Sekelumit Sejarah Kebudayaan Kaili dalam Antropologi

Indonesia, Jakarta: Fisif UI, 1991.

Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010.

Moertopo, Ali, Strategi Kebudayaan, Jakarta: CSIS, 1978.

Nadjamuddin, Lukman, Dari Animisme ke Monoteisme: Kristenisasi di Poso 1892-

1942, Yogyakarta: YOI, 2002.

Nainggolan, Nurhayati, dkk, Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, Jakarta:

Depdikbud, 1997.

Nur, Yunida, Sambulugana: Adat perkawinan Etnis Kaili di Palu Sulawesi Tengah,

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas

Tadulako, 2016.

Notowigdagno, Rohiman, Ilmu budaya dasar, Jakarta: Rajagrafindo Persada,1997.

Rahmat Fajri dkk, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Belukar,2012.


103

Riyadi, Abdul Kadir, “Charles J. Adams’: Antara Reduksionisme dan Anti-

Reduksionisme Dalam kajian Agama”, dalam Jurnal Islamica, Surabaya:

Pascasarjana UIN Sunan ampel Surabaya, September 2010, Vol. 5, No. 1.

Sidik, Tradisi Balia, Palu: IAIN Palu press, 2018.

Suhartono, Suparlan, Dasar-Dasar Filsafat Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004.

Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, Departemen pendidikan nasional

bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000.

Surachmad, Winarno, Pengantar Metodologi Ilmiah Dasar Metode dan Teknik,

Bandung: Warsito, 1990.

Syam, Nur, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKIS, 2005.

Syamsuri, Haliadi sadi, Sejarah Islam di Lembah Palu, Yogyakarta: Qmedia 2016.

Umar, Andi Fatmawati, Toraja Dulu dan Kini, Makassar: Pustaka Refleksi, 2003.

Yusuf, Muhammad Islam, 60 Tokoh Panutan Umat, Gorontalo: UNG Press, 2012.

Zazuli, Mohammad, Sejarah Agama Manusia, Jakarta: Narasi 2018.

Jurnal

J. Cresswell, “Research Desig”: Qualitative & Quantitative Approaches, (CA:

Sage Publications, 1998)

Profil Kota Palu, Kota di titik Nol, Pemerintah Kota Palu:2009.

Jurnal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Palu Tahun 2016-2020.

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kota Palu.

Badan Pengembangan Pariwisata Dati I, Mengenal Tanah Kaili, Sulawesi

Tengah: Badan Pengembangan Pariwisata Dati I, 1975.

Website
104

Website Resmi Kota Palu PaluKota.go.id

Diakses dari https://palukota.bps.go.id/statictable/2016/10/05/464/persentase-

penduduk-menurut-agama-di-kota-palu-2011-2015.html pada tanggal 11

maret 2021

Wawancara

Wawancara pribadi dengan Mangge Samanudi, Palu, Sulawesi Tengah, pada

tangal 03 Februari 2021.

Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal

05 Februari 2021

Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Pak Edi, Palu, Sulawesi Tengah, pada

tanggal 02 Februari 2021

Wawancara Pribadi dengan Ridho, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 09

Februari 2021

Wawancara Pribadi dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pak

Ansyar Sutiadi, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 19 Mei 2021

Wawancara Pribadi dengan Peserta Balia Moza dan Anna, Palu, Sulawesi Tengah,

pada tanggal 06 Februari 2021

Wawancara Pribadi dengan Peserta Mangge Dance, Palu, Sulawesi Tengah, pada

tanggal 06 Februari 2021


Lampiran-lampiran
Transkip Wawancara
Nama : H. Ansyar Sutiadi, S.Sos., M.Si
Jabatan : Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Palu
Tanggal : 19 Mei 2021
Pertanyaan : Menurut Bapak, Apa yang dimaksud dengan Upacara Adat Balia?
Jawaban : Upacara Adat Balia merupakan media permohonan penyembuhan
penyakit kepada Tuhan sang pencipta dan juga perantara roh-roh
leluhur nenek moyang. Dengan begitu, masayarakat Kaili berharap
mendapatkan kekuatan dan kesembuhan.
Pertanyaan : Kenapa Masyarakat Kaili masih melakukan Upacara adat Balia
Tampilangi?
Jawaban : Dimasa terdahulu, Masyarakat Kaili Belum mengenal dunia
kesehatan, sehingga Balia merupakan salah satu yang menjadi
kepercayaan mereka dalam menyembuhkan. Ini merupakan media
penyembuhan tradisional yang kemudian menjadi warisan budaya
turun temurun dan masih dilakukan hingga sekarang sebagai
pengobatan alternatif.
Pertanyaan : Apa saja macam atau jenis adat Balia?
Jawaban : Dulu terdapat cukup banyak jenis Balia namun hingga sekarang
hanya beberapa yang masih eksis dan masih dilakukan.
Diantaranya Balia Tampilangi, Balia Tomanuru, Balia Bone
meloso, Balia jinja.
Pertanyaan : Apa saja perbedaan yang paling mencolok antara Balia dulu dan
sekarang?
Jawaban : Perbedaan yang paling signifikan antara Balia dulu dan sekarang
adalah bentuk korbannya. Dimasa lalu sebelum masuknya
pengaruh Islam, Babi seringkali digunakan sebagai korban karena
menjadi salah satu hewan buruan dan juga mudah didapatkan.
Selain itu tidak banyak perbedaan yang mencolok hanya ada
beberapa yang menyesuaikan dengan agama Islam.
Pertanyaan : Seperti Apa Makna secara umum Upacara Balia Tampilangi yang
dipahami oleh masyarakat Kaili?
Jawaban : Masyarakat Kaili memahami bahwa Balia merupakan salah satu
upaya atau cara menyembuhkan orang sakit, disamping itu juga
bentuk media silaturahmi antara kita yang masih hidup di masa
sekarang, juga dengan leluhur dan roh nenek moyang di masa lalu
yang sudah meninggal. Roh mereka datang dan berkomunikasi
dalam Upacara Balia.
Pertanyaan : Bagaimana respon Pemerintah terkait pelaksanaan Upacara Balia,
khususnya Balia Tampilangi
Jawaban : Pemerintah menghargai dan melihat hal ini sebagai bagian dari
budaya adat dan kearifan lokal. Sehingga segala sesuatunya di
kembalikan kepada individu masing-masing.
Transkip Wawancara
Nama : Bapak Edi
Jabatan : Tokoh Adat
Tanggal : 02 Februari 2021
Pertanyaan : Apa yang dimaksud dengan Balia Tampilangi?
Jawaban : Balia terdiri dari dua suku kata, Bali (Lawan) atau (Ubah) dan ia
(dia) yang maksudnya berbalas, antara seorang dengan orang yang
lain dalam suatu upacara seperti berbalas syair dengan nyanyian
yang disandarkan pada leluhur namun peristiwanya dianggap
berasal dari kekuatan ghaib. Sebab saat itu pada zaman dulu, para
leluhur bersahut-sahutan saat acara tersebut, seperti berbalas syair
dengan nyanyian yang disandarkan pada komunikasi sesama dan
pada leluhur. Kemudian ada kata Tampilangi yang juga berasal
dari dua suku kata, yaitu Tampi (Tombak), dan Langi (langit atau
kekuasaan). Di zaman dahulu disamping kerap kali dipakai
berburu, tombak digunakan oleh prajurit dibawah pimpinan
Tadulako untuk melindungi rakyat. Sehingga secara simbolis,
Balia Tampilangi diartikan sebagai pasukan Tombak sakti dari
langit, yang siap melawan atau melindungi.
Pertanyaan : Kenapa Balia masih dilakukan sampai sekarang?
Jawaban : Ada tiga sebab mengapa Balia ini masih dilakukan oleh sebagian
masyarakat kaili. Pertama disebabkan rasa fanatik terhadap adat
istiadat, disebabkan faktor mereka masih menggunakan nilai-nilai
luhur yang di junjung tinggi. Kedua, karena pengetahuan yang
masih terbatas atau sangat minim tentang kesehatan. Ketiga
Tempat tinggal yang masih terpencil sehingga kekurangan
fasilitas-fasilitas kesehatan.
Pertanyaan : Apa makna bagi orang Kaili tentang Balia?
Jawaban : Seacara keseluruhan Balia dimaknai sebagai bentuk permohonan
kepada makhluk ghaib seperti jin dan roh leluhur untuk
memberikan kesembuhan bagi yang mengalami sakit, kemudian
selain itu, diperuntukkan sebagai bentuk silaturahmi kepada
leluhur-leluhur yang sudah mendahului.
Transkip Wawancara
Nama : Mangge Abdillah
Jabatan : Sando Balia
Tanggal : 05 Februari 2021
Pertanyaan : Menurut Mangge, Apa yang dimaksud dengan adat Balia? dan
Apa maknanya bagi masyarakat kaili?
Jawaban : Balia merupakan ritual pengobatan orang sakit secara tradisional
yang telah ada sejak zaman dulu, sejak zaman nenek moyang
sebelum adanya agama yang di turunkan serta menjadi tradisi
ataupun budaya adat orang kaili. Maknanya adalah dengan ini
masyarakat kaili berharap dengan kembali ke pengobatan tradisi
adat, segala macam bentuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan
dengan medis bisa disembuhkan lewat balia, selain itu dengan balia
juga harapan agar tradisi ini sebagai rasa syukur terhadap leluhur,
membawa berkah serta rejeki, juga menjauhkan dari segala macam
gangguan roh halus dan mara bahaya serta juga menolak bala.
Karna balia sendiri dimaknai sebagai media untuk mengembalikan
penyakit ke asalnya atau maksudnya menghilangkan dan
mengembalikan
Pertanyaan : Apa saja peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam
upacara Balia Tampilangi?
Jawaban : Peralatan yang digunakan adalah: Tampi (Tombak), Guma
(Parang Kaili), Kaliavo (perisai), Payung, Baki, Baskom, Dula,
Sarung tradisional, selendang, songkok, basende (semacam topi
yang dipakai oleh sando), piring dan gelas, dupa, daun pisang,
kendi. Juga kelengkapan sebagai syarat adat seperti: Ayam yang
berwarna kemerahan atau setidaknya memiliki corak, Telur,
Sambulugana, Beras pulut (ketan) bermacam warna, Siranindi,
Uwe Vongi (air wangi), Lolangi, Pohon pisang dan batang tebu.
Pertanyaan : Bagaimana Prosesi pelaksanaan Balia Tampilangi?
Jawaban : Yang pertama melakukan Nolibu untuk bermusyawarah dengan
keluarga terkait apa-apa saja yang harus disiapkan dalam upacara.
Berikutnya, setelah segala hal telah disiapkan, prosesi yang
pertama adalah Nopopandiu (dimandikan), setelah nopopandiu
berikutnya nokangoa dan nosove. Kemudian Nolili sebanyak tiga
Kali, Novadi, lalu nontaro. Dihari kedua tidak jauh beda, pertama
Nolili sebanyak tiga kali, lalu Nantambasi sebagai persembahan.
Kemudian turun dari rumah dan kembali melakukan Nosove.
Kemudian Nontaro sebagai syarat. Nompaya, Nontaro ri apu dan
terakhir Njoro Polama.
Pertanyaan : Apa saja makna-makna yang terkandung dalam prosesi adat
Balia?
Jawaban : Nopandiu yang berfungsi sebagai sebuah hal yang
membersihkan juga bagian dari tuntutan kita sebagai umat Islam.
Makna yang dikandung adalah Nopandiu merupakan tameng dari
jin atau roh yang jahat agar tidak masuk ke dalam tubuh. Nosove
dimaknai sebagai pemberian keberkahan terhadap orang-orang
yang dipercikkan. Kemudian ada Nolili, dimaknai sebagai hal yang
menandakan peserta sudah sah sebagai peserta Balia dan secara
resmi masuk kedalam ritual, selain itu juga menjadi penanda yang
mengundang roh-roh leluhur masuk ke dalam proses adat yang
suci. Selanjutnya ada novadi yang dimaknai sebagai syair khusus
yang menjadi penghubung antara dunia kita dengan alam gaib,
yang juga menjadi tanda komunikasi. Berikutnya Nontaro, yang
diyakini akan memberikan kekuatan dan kesembuhan karena kita
sudah menjalankan keinginan leluhur. Selanjutnya ada juga
nantambasi yang kita yakini sebagai pemberian persembahan.
Maknanya yaitu segala macam penyakit akan hanyut bersamaan
dengan disiramnya persembahan. Kemudian ada noraro yang
maknanya adalah dengan menetesnya darah korban ayam ke tanah
maka adat telah ditunaikan sesuai syarat. Nompaya yang maknanya
ialah menghilangkan sakit pada kepala dan tubuh dengan
ditebangnya pohon pisang dan tebu, serta dihancurkannya kendi
diatas kepala. Nontaro ri apu yang kita yakini akan menghilangkan
segala macam penyakit utamanya seperti demam dan panas. Njoro
polama atau yang terakhir mengandung makna prosesi akhir
dimana terdapat berkah dan keselamatan didalamnya.

Transkip Wawancara
Nama : Mangge Samanudi
Jabatan : Sando Balia
Tanggal : 03 Februari 2021
Pertanyaan : Menurut Mangge, apa yang dimaksud dengan Balia dan apa
maknanya?
Jawaban : Balia merupakan bentuk kesyukuran terhadap alam semesta, dan
sebagai saran atau media pengobatan terhadap suatu penyakit yang
tidak dapat diobati secara medis. Balia dilaksanakan sebagai
bentuk makna penghormatan pada leluhur yang sudah lama telah
dilupakan sehingga dilakukan balia dalam bentuk nyanyian untuk
menghibur leluhur yang diundang dengan syair novadi
Pertanyaan : Apa saja instrumen atau alat musik yang digunakan dalam
Upacara Balia, dan bagaimana penggunaannya?
Jawaban : Ada tiga alat musik yang berfungsi sebagai alat musik yang
menghasilkan bunyi-bunyian. Yang pertama itu Goo (gong), kedua
Gimba (Gendang), kemudian Lalove (yang berbentuk seperti
seruling). Tiga alat musik ini dimainkan oleh seorang dengan
sebutan bule (orang yang punya keahlian khusus dalam alat
musik), dengan ritme yang bermacam-macam. Ritmenya adalah
sarontaode, sarondaya, sarondaya naole, dan terakhir Kancara.
Semakin kesini maka artinya semakin kencang.
Pertanyaan : Apa itu Lolangi, apa saja isinya, dan apa makna yang terkandung
dalam lolangi?
Jawaban : Lolangi merupakan benda yang komposisinya merupakan
tumbuhan-tumbuhan. Tumbuhannya ialah 7 macam daun, yaitu:
Kayu bale (kayu ikan), Veluru (umbut sejenis lontar), Balaroa
(kayu waru), Kayu Taba, Kayu peliu, Siranindi (cucur bebek),
kadombuku, janur. Maknanya ialah sebagai tempat yang disenangi
oleh roh-roh yang datang dalam ritual, dan salah satu gerbang
penghubung antara alam dunia dan alam gaib.
Transkip Wawancara
Nama : Anna dan Moza
Jabatan : Peserta Balia
Tanggal : 06 Februari 2021
Pertanyaan : Menurut kalian apa itu Upacara Balia Tampilangi?
Jawaban : Yang saya tau Balia itu semacam ritual adat yang bisa
menyembuhkan orang sakit, seperti sakit penyakit medis ataupun
penyakit adat dalam bentuk gatal-gatal, bengkak-bengkak, haid
yang tidak berhenti-henti, penyakit kesurupan, kerasukan, penyakit
yang tidak dapat disembuhkan secara medis. Jadi semua
dikembalikan secara pengobatan adat atau tradisi
Pertanyaan : Apa yang kalian rasakan saat Upacara Balia Tampilangi mulai
dilakukan?
Jawaban : Saya mulai merasakan mual dan gemetar, Selain itu berdebar
berdegup kencang. Saya mulai merasa ada yang akan merasuki
saya utamanya saat novadi mulai dilakukan. Dan saat sudah
nontaro saya merasakan tubuh saya dikontrol oleh selain saya dan
saya tidak bisa berbuat apa-apa. Dan juga masih merasakan
makanan yang roh leluhur minta seperti telur ayam kampung
mentah dan merokok.
Transkip Wawancara
Nama : Mangge Dance
Jabatan : Kepala Dusun/Peserta Balia
Tanggal : 06 Februari 2021
Pertanyaan : Coba Mangge jelaskan seperti apa rasanya saat nontaro dan
nontaro ri apu dilakukan?
Jawaban : Pertama saya merasa tidak enak badan seperti pusing dan mual.
Setelah itu saya mulai tidak dapat mengontrol tubuh dan gerakan
yang saya lakukan namun tetap sadar dan melihat apa yang terjadi.
Setelah saya sadar kadang merasa malu sendiri karna hal itu.
Waktu nontaro ri apu (menari diatas bara api) juga saya tidak
merasakan panas dan sakit apa-apa di kaki.
Pertanyaan : Apa itu Petena, dan apa maknanya bagi Orang Kaili?
Jawaban : Bagi orang Kaili, petena ini merupakan syarat bertamu atau
berkonsultasi kepada guru atau sando, biasanya petena adalah
rokok yang biasa di konsumsi oleh sando. Makna petena ini
sebagai rasa terima kasih kepada guru kita atau sando.
Transkip Wawancara
Nama : Ridho
Jabatan : Warga Setempat
Tanggal : 09 Februari 2021
Pertanyaan : Menurut Komiu (Anda) apa itu Balia?
Jawaban : Kalau kita pake istilah secara bahasa, maka Balia ini berasal dari
bahasa Kaili “Nabali ia” artinya berubah ia. Perubahan yang
dimaksud disitu pengertiannya adalah ketika peserta balia sudah
dimasuki roh halus sehingga bentuk perilaku, gerak dan
kebiasaannya mengikuti roh yang masuk dalam tubuhnya.
Pertanyaan : Bagaimana makna Balia dalam pandangan orang Kaili toaka
(bang)?
Jawaban : Sederhananya itu, Balia dimaknai sebagai bentuk perlawanan
setan yang menyebabkan atau membawa penyakit, baik penyakit
berat ataupun ringan. Selain itu, ini juga bentuk silaturahmi kita
kepada leluhur dan nenek moyang sebagai bakti kepada mereka.
Balia juga menjelma menjadi sebuah budaya yang berusaha
dilestarikan dan dipelihara dari generasi ke generasi, menjadi
keyakinan emosi kepercayaan bahwa hal ini sejalan dengan
keinginan para leluhur jika ingin mendapatkan sebuah keberkahan,
kesuburan bagi tanah dan petani, menolak bala bencana, wabah
penyakit serta mengandung sisi hiburan kesenian juga silaturahmi
antar masyarakat sekitar.
Foto-foto Kegiatan

Prosesi melantunkan syair berbahasa Kaili Prosesi Nontaro, dimana para peserta
(Novadi) mulai menari dan kesurupan

Prosesi Nentambasi yang menjadi Korban seekor ayam bagi tiap-tiap peserta
persembahan bagi roh leluhur

Prosesi Nompaya menebang pohon pisang, Nontaro ri apu, yaitu peserta akan menari
tebu dan menghancurkan kendi diatas bara api
Wawancara dengan Mangge Samanudi

Wawancara dengan Bpk Ansyar Sutiadi Seperangkat Sando dan Bule yang
memimpin pelaksanaan Balia Tampilangi

Wawancara dengan Mangge Dance dan Kak Wawancara dengan Moza dan Anna peserta
Ridho Balia

Anda mungkin juga menyukai