SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana
Disusun Oleh :
Moh, Fauzan Chair
11140321000054
Pembimbing :
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok M.si
“BALIA TAMPILANGI”
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Moh. Fauzan Chair
NIM: 11140321000054
Pembimbing,
NIM : 11140321000054
Fakultas : Ushuluddin
Judul Skripsi : “Balia Tampilangi” Upacara Ritual Adat Tradisi Suku Kaili di
Palu
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
Hidayatuallah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
ii
ABSTRAK
iv
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, keluarga sahabat serta para pengikutnya yang setia
berkorban menyebarkan dakwah Islam kepada seluruh umat sampai hari akhir
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna sebab
dan kerja keras serta keikhlasan dalam setiap langkahnya. Tentu ini dapat selesai
karena adanya dukungan dari berbagai pihak yang sudah memberikan support,
motivasi, juga bimbingan dan doa kepada penulis. Oleh karena itu, pada
yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada yang
terhormat:
1. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
pernah bosan membimbing penulis dalam waktu yang cukup lama, dan
memberi semangat kepada penulis untuk bisa cepat dan tidak mengulur-ngulur
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
v
3. Bapak Syaiful Azmi, MA ketua Jurusan Studi Agama-agama Fakultas
Ushuluddin dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA selaku sekertaris Jurusan Studi
4. Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer selaku dosen penguji yang sudah
5. Bapak Prof. Dr. Media Zainul Bahri, M.A selaku dosen penasehat akademik
yang sudah bersedia menyetujui tema yang penulis angkat tanpa memerlukan
berikutnya.
6. Teristimewa penulis hantarkan beribu terima kasih kepada orang tua tercinta
ayahanda Drs. Abd Chair A. Mahmud dan Ibunda Kasturi Hafid, yang telah
bersusah payah mengasuh dan mendidik penulis dengan kasih sayang yang
tidak terhingga serta doa dari beliau yang selalu menyertai penulis. Kemudian
Fajriah Chair (Kak Ian) dan Kak Indra (Ayah Azzam), Farid Chair (Bang
Djarwo) dan Nadifa Abdun (Bibi Difa), yang sudah memotivasi penulis untuk
menjadi pribadi yang dewasa. Tidak lupa pada Azam la botak, Nisa Kelinci
madu dan Atika bu tentara yang sudah menjadi pelipur lara saat penulis sedang
gundah.
7. Penulis juga berterima kasih kepada keluarga besar Abbas Mahmud dan
keluarga besar H. Hafid yang sudah senantiasa memberi wejangan dan doa agar
Terakhir Terutama Bang Dolley, Bang Toke, Bang Waiz, Bang Faiz, Bang
vi
Ibenk, Bang Oris, Rana Dewi, Yayu, Faras Caca, Rehan, Imam, Ghina, Puput
dan terkhusus Bung Avisena yang dikagumi dan di taksir oleh roh dua alam.
Terima kasih sudah rela menemani penulis pergi ke tempat penelitian hingga
8. Kepada Insan Cendekia Indonesia yang sudah menjadi keluarga kedua penulis
di tanah rantau. Kepada Kanda-kanda yang terdahulu, juga Kanda Dullah sang
filosof wanita mending kalo dapat, Bang Aan (El Botuna), Kak Boy (Don
Bolong), Kak Adul (Don Ketum), Kak Iccank (Don Joki), Fadly (Don Om) yang
menjadi senior panutan. Rohim si pura-pura lugu, Yogi sang pecinta, Ulla si
ganteng pas-pasan, Chauqi yang tidak takut dara(h), Amar pa calla, Aco
lagendu. Juga Imma yang jenaka tapi berpura tegar, Anti yang murah senyum,
Fuah si hati lembut, Aulia yang rumit tapi baik, Putri yang tak tergapai. Al si
sangar, Danial Si arogan yang baik hati, Asman yang semakin mirip chiko, Rian
yang Rizki febian (cuek), Alma yang terlalu kalem, Aisyah pendiam, Balqis
yang pemalu, Nadya dan Nisa yang ucul. Juga Mangge-mangge Palu, Aji si
Bijak, Hayqal si penulis quotes yang baper sendiri, Bukhori si Pengkaji yang
tak pernah ngaji, Luqman yang hilang arah, Fandy yang malang, Shodiq dan
beat yang tak pantas tersakiti, Habib bli Amnan yang mulai nakal. Juga si Ina-
ina Palu, si artis Anisa, Ririn imut, Syarifah Aulia yang bersahaja, dan Anbiya
anak bawang serta semua teman-teman Ici yang terlalu banyak untuk
disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk warna yang sudah dilukis.
9. Teruntuk Harapan Pemuda Indonesia (HPI) yang juga menjadi rumah kedua
penulis. Teh Laila, Bang Faiz, Septi dan Dede Anin yang sudah seperti saudara
vii
10. Teman-teman seperjuangan Studi Agama-Agama terkhusus Swandy, Towil,
Mamang, Malih, Qoyum, Ryan, Ibnu, Riky, Dodi, Wamus, Tika, Maya,
Shabrina, Layung yang sudah banyak berbagi dan membantu juga memberi
11. Elemen SD-Alkhairat, SMP Al-Azhar dan Smansa Palu. Guru-guru beserta
Jajarannya. Pak polisi Aryan Hidayat Pakaya, Ndol, Bhektyo brewok, koko
Andres, Dhigo kulawi, Yusup bakery, Fajrin iting, Upik hijrah, Rahmat, Yuyun,
Marini, Eci, Amy, Lulu, Iki, Hero, Bujul, Aswink, Jihad, Oktarin, Kasrita, Leni,
12. Seperangkat Keluarga Desa Tawaili dan Labuan. Kaka Edi Sekeluarga, Mangge
Rizal, Sri, Rose, Moza dan Ana terima kasih untuk keluarga barunya.
PERMUDA SUL-TENG.
Demikianlah ucapan terima kasih yang penulis haturkan dengan penuh rasa
khidmat, dan juga kepada masih banyak lagi yang belum dapat tersebutkan satu
persatu. Terima kasih untuk semuanya, semoga Allah SWT membalas semua
viii
DAFTAR ISI
viii
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 96
B. Saran .................................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 101
ix
BAB I
PENDAHULUAN
dalam konteks ke-Indonesiaan, baik ditinjau dari agama, suku dan budaya.
sosial dan menjadi pengakuan hubungan antar kelompok etnik dalam kehidupan
suatu bangsa dan negara kesatuan.1 Tidak hanya itu, kemajemukan dan tingkat
kebudayaan dan kepercayaan lokal yang masih kental dan masih saja dilakukan
yang memiliki rasa ingin tahu dan selalu mencari jawaban atas berbagai
berujung pada keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Agunglah yang menjadi
sumber dari segala apa yang terjadi. Hal ini yang kemudian menjadi
1
Neng Darol Afia, ed., Tradisi Dan Kepercayaan Lokal Pada Beberapa Suku Di
Indonesia (Jakarta: Badan Litbang Agma Departemen Agama RI, 1999), h. 12.
2
Neng Darol Afia, ed., Tradisi Dan Kepercayaan Lokal Pada Beberapa Suku Di
Indonesia,h. 12.
1
2
sistematis pada gilirannya hal ini menciptakan suatu sistem aturan tertentu.3
Chardin: “Kita bukan manusia yang memiliki pengalaman spiritual. Tapi kita
sang sumber kehidupan yang meliputi segalanya. Dan untuk bisa menemukan
makna dan nilai kehidupan di tengah pergulatan yang keras ini manusia
berusaha mencarinya melalui segala sesuatu termasuk seni, budaya, filsafat dan
agama.4
Entah itu aspek sains atau pengetahuan, sosial, politik, seni, budaya bahkan
aspek magis atau transendental sekalipun. Agama menjadi sistem nilai yang
3
Mohammad Zazuli, Sejarah Agama Manusia, (Jakarta: Narasi 2018), h. iv.
4
Mohammad Zazuli, Sejarah Agama Manusia, (Jakarta: Narasi 2018) h. iv.
5
Agama dalam hal ini dipahami sebagaimana yang disimpulkan oleh Taylor, adalah
keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual. Menurutnya, semua agama, besar dan kecil, yang primitif
maupun modern, selalu mendasarkan keyakinan pada roh-roh yang berpikir, berprilaku, dan
berperasaan seperti manusia. Lihat, Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), h. 48.
6
Ismail, Sejarah Agama-Agama, (Bengkulu: Pustaka Pelajar 2017) h. vii.
3
agama dijadikan semacam acuan jati diri yang dapat memberi makna bagi corak
sistem simbol. Sistem simbol adalah apa saja yang berupa gambaran, citra,
ajaran agama. Dalam hal ini Geertz memberi contoh Al-Qur’an umpamanya
persatuan umat Islam, dan masjid sebagai symbol kesucian Agama Islam.
Contoh lain Agama Kristen misalnya, salib dapat dipandang sebagai symbol
kebaikan hati Jesus Kristus, Gereja sebagai symbol kesatuan, dan persatuan
agama Kristen dan begitu seterusnya juga berlaku untuk agama-agama lainnya.7
simbol kenyataan dan untuk kenyataan” (religion is a symbol of and for reality).
7
Abdul Kadir Riyadi, “Charles J. Adams’: Antara Reduksionisme dan Anti-
Reduksionisme Dalam kajian Agama”, dalam Jurnal Islamica, (Surabaya: Pascasarjana UIN Sunan
ampel Surabaya, September 2010, Vol. 5, No. 1), h. 22.
4
dapat didefinisikan sebagai sebuah kesadaran mengenai (a) adanya dunia yang
berlawanan yaitu gaib dan empiris. (b) bagaimana manusia sebagai bagian
dunia empiris. (c) dapat menjalin hubungan simbolik dengan dunia gaib
tersebut.8
sebagai suatu sistem yang harus dianut. Itu tidak terlepas dari zaman agama
yang baku. Ini tidak terlepas karena manusia adalah pokok dari kebudayaan.
Kebudayaan adalah keseluruhan dari ide-ide, tindakan dan hasil karya manusia
manusia dan manusia, manusia dan alam, serta hubungan manusia dan Tuhan.9
mitos-mitos dan cerita-cerita dari fenomena alam yang dihubungkan dengan hal
terdengar irrasional atau tidak masuk akal namun demikianlah dipercayai tanpa
keterangan yang ilmiah bahkan tanpa kritik seperti pemahaman anak kecil.
8
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk
Memahami Agama”, dalam Jurnal Walisongo (Semarang: LP2M, UIN Walisongo, November 2012,
volume 20, nomor 2), h. 292.
9
Ali Moertopo, Strategi Kebudayaan (Jakarta: CSIS, 1978), h. 3-4
10
Ismail, Sejarah Agama-Agama. (Bengkulu: Pustaka Pelajar 2017) h. 18.
5
tata cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan seperti upacara ataupun
perlakuan khusus yang tidak dapat dipahami secara sains dan rasional. Tiap
agama mempunyai tata cara serta aturan yang berbeda dalam kegiatan
keagamaan yang mereka lakukan, baik itu cara-cara pemujaan terhadap Tuhan
bersifat ritual dan ada yang bersifat seremonial. Pola peribadatan atau ritual ini
pada dasarnya merupakan symbol dari dimensi keyakinan diri terhadap sesuatu
biasanya tidak semua aspeknya dapat dipahami secara rasional dan logis. Ia
setempat oleh masyarakat primitif dari dulu hingga sekarang, dan dipahami
dinamakan rites dalam bahasa Inggris berarti tindakan atau upacara keagamaan
suci dan lain sebagainya. Ritual adalah kata sifat (adjective) dari rites dan ada
disangkutkan dengan upacara keagamaan seperti ritual dance dan ritual laws.
Sedangkan sebagai kata benda, ritual adalah segala yang bersifat upacara
11
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 33
12
Ismail, Sejarah Agama-Agama, (Bengkulu: Pustaka Pelajar 2017) h. 24.
6
istilah ritus. Ritus dilakukan ada yang tujuannya untuk mendapatkan berkah
atau rezeki yang banyak dari suatu pekerjaan, seperti contohnya upacara sakral
ketika akan turun ke sawah ataupun saat panen, menolak bala atau bahaya,
di Palu Sulawesi Tengah tempat penulis tinggal. Jika di Toraja Sulawesi selatan
terdapat upacara yang sangat terkenal dengan menggantikan baju atau kain
jenazah orang tua atau nenek moyang yang sudah menjadi mayat puluhan atau
bahkan ratusan tahun lalu yang disebut dengan upacara Ma’nene. Maka di Palu
terdapat upacara “Balia” yaitu ritual penyembuhan orang sakit yang menurut
Kaili di Sulawesi Tengah. Kepercayaannya terbagi atas dua yaitu animisme dan
benda (di alam) memiliki kekuatan gaib yang dipercaya dapat memberi
13
Lukman Nadjamuddin, Dari Animisme ke Monoteisme: Kristenisasi di Poso 1892-
1942 (Yogyakarta: YOI, 2002), h. 13-16.
7
laku (hukum adat) agar dapat menjalani kehidupan yang seimbang terhadap
langi (penguasa langit) roh atau dewa yang mengatur iklim, cuaca, bulan, dan
matahari, serta benda-benda langit lainnya. Selain itu masyarakat juga percaya
akan adanya karampua ntana (penguasa tanah/bumi) yaitu roh atau dewa yang
oleh seorang atau beberapa dukun atau biasa disebut sando sebagai mediator
malapetaka bagi manusia. Hingga kemudian dikenal empat macam balia, yaitu
balia to manuru, balia jinja dan balia tampilangi. Olehnya dapat dikatakan
bahwa balia merupakan salah satu ritus purba yang belum mendapat sentuhan
pemikiran monoteisme pada masanya. Hingga kini, upacara ritual ini masih
14
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 4.
15
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), hal. 18.
16
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu. (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h. 4.
8
Atas dasar inilah kemudian penulis tertarik untuk meneliti makna serta
macam dan apa saja unsur-unsur dalam pelaksanaan upacara balia ini. Dengan
hal ini penulis ingin mengetahui lebih dalam makna ritual ini dengan melihat
makna Balia secara objektif. Disamping itu penulis merasa kajian ini akan
lokal dari daerah dimana penulis berasal. Penulis juga ingin lebih mendalami
dan memahami makna upacara ini yang menurut penulis cukup menarik
terdapat sinkretisme dengan Agama Islam di masa sekarang, Serta juga tradisi
masalah agar tujuan pembahasan tetap terarah dan tidak menyimpang dari target
yang memiliki aspek-aspek yang cukup luas. Batasan dalam penelitian ini,
merujuk pada permaknaan upacara Balia di Palu sesuai yang dipersepsikan oleh
penelitian dalam skripsi ini akan dititik beratkan pada pokok permasalahan
1. Apa makna dari Upacara Balia Tampilangi menurut masyarakat suku Kaili
di Palu?
Indonesia.
Perbandingan Agama.
D. Tinjauan Pustaka
Shinta dalam bentuk skripsi dengan judul “Ritual Upacara Balia pada
penelitian tersebut hanya membahas aspek budaya dan bagaimana cara atau
adat Balia etnis Kaili Kota Palu dalam Perspektif Hukum Islam. Penelitian ini
Adapun yang menjadi pembeda karya tulis atau penelitian ini dengan
karya tulis di atas adalah bahwa penulis ingin berusaha memahami dan
masyarakat suku Kaili di Palu ini dengan objektif. Untuk kemudian dipahami
E. Metodologi Penelitian
dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode ini perlu dan berfungsi
sebagai cara dalam mendapatkan informasi dari apa yang ingin diketahui. Selain
itu juga metode membuat penelitian berjalan lebih terarah dan efektif sehingga
berjalan terarah dan efektif sehingga bisa mencapai hasil yang maksimal.
17
Winarno Surachmad, Pengantar Metodologi Ilmiah Dasar Metode dan Teknik
(Bandung: Warsito, 1990), h. 30.
11
relevan dengan substansi penelitian dalam skripsi ini, sebab memiliki fokus
18
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 34.
19
J. Cresswell, Research Desig: Qualitative & Quantitative Approaches, (CA: Sage
Publications, 1998), h. 24.
12
makna dan pengaruh upacara Balia bagi masyarakat suku Kaili Sulawesi
pendekatan ini sesuai dengan teori yang tersematkan oleh Edmund Husserl
2. Sumber Data
20
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 48.
21
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 48
13
digunakan sumber data, yang terbagi dua yaitu data primer dan sekunder.22
Data primer yang akan menjadi rujukan yaitu berupa hasil wawancara
Adapun sumber data lainnya yang tidak secara khusus mengkaji tentang
buku, teks, jurnal, makalah, media online seperti internet atau literatur buku-
buku yang membahas tentang tema yang terkait dengan objek penelitian.
yang jelas. Selain itu juga penulis menggunakan media internet sebagai
22
Koentjaraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997), h. 60.
14
F. Sistematika Penulisan
atau terbagi menjadi 5 (lima) bab yang terdiri dari sub-sub bab, sebagai berikut.
terbagi atas tiga bagian, yaitu: Letak Geografis kota Palu, Sejarah Kota Palu,
Penduduk Kota Palu, dan Kondisi sosial Kota Palu. Hal ini berfungsi untuk
Hindu dalam Masyarakat Kaili yang terdiri dari: Agama masyarakat Suku Kaili,
Masyarakat Suku Kaili yang terdiri dari: Kepercayaan Masyarakat Suku Kaili,
Kota Palu merupakan sebuah kota yang berada di tengah Pulau Sulawesi
Secara geografis luas wilayah Kota Palu membentang sejauh 395,06 km2,
terletak dalam 0º,36” - 0º,56” Lintang Selatan (LS) 119º, 45” - 121º,1” Bujur
Timur (BT). Diapit oleh pegunungan di sisi timur dan barat, dan teluk yang
ketinggian 0-700meter dari permukaan laut.23 Sekarang ini Kota Palu terdiri
jiwa/km2.24
Dahulu Kota Palu hanya terbagi 4 kecamatan sesuai arah mata angin
yaitu Kecamatan Palu Barat, Palu Timur, Palu Utara dan Palu Selatan. Empat
peraturan daerah no. 4 Tahun 2012.25 Empat wilayah lain yang kemudian
Kabupaten Parigi Moutong dan juga Donggala di bagian Timur, Kabupaten Sigi
23
Profil Kota Palu, Kota di titik Nol (Pemerintah Kota Palu:2009), hal. 10.
24
Jurnal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Palu Tahun 2016-2020.
25
Kota Palu didalam Perda Kota Palu no. 4 Tahun 2012 terjadi perkembangan dimana
mekarnya 4 wilayah baru sebagai kecamatan. Lihat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum
Kota Palu.
26
Website Resmi Kota Palu PaluKota.go.id
15
16
Letak Kota Palu berbentuk memanjang dari timur ke barat terdiri dari
topografinya, wilayah Kota Palu dapat dibagi menjadi 3 zona ketinggian yaitu;
Sebagian kawasan bagian barat sisi timur memanjang dari arah utara ke selatan,
bagian timur ke arah utara dan bagian utara sisi barat memanjang dari utara ke
di atas permukaan laut. Kawasan bagian barat sisi barat dan selatan, kawasan
bagian timur ke arah selatan dan bagian utara ke arah timur dengan ketinggian
Kota Palu memiliki landskap yang khas dan unik, yaitu dibelah oleh
aliran sungai yang mengalir dari arah selatan. Sementara sisi barat dan timurnya
teluk yang cukup menawan dan bagi masyarakat setempat dijadikan kawasan-
kawasan wisata. Dimensi dari gunung, sungai, laut dan pesisir teluknya pun
mempunyai bentuk yang tidak begitu beraturan dan punya ciri khasnya
tersendiri.
Tipe iklim Kota Palu pun mempunyai iklim yang mirip dengan daerah-
dua musim yang bisa ter-identifikasi dengan baik sering terjadi, yaitu musim
panas dan musim dingin. Musim panas terjadi diantara bulan April hingga
hingga Maret. Curah hujan di Kota Palu tertinggi biasanya terjadi di bulan
Agustus yaitu 199,00 mm, dan yang terendah pernah tercatat di bulan oktober
17
yaitu 12,80 mm, dengan kecepatan angin berada diantara 3-5 knot dengan posisi
arah dari utara. Dengan distribusi hujan yang hampir merata, serta komunikasi
antar wilayah yang baik membuat sumber air dan sungai serta pengalirannya
terendah yang pernah tercatat yaitu diangka 25,70c biasanya terjadi dibulan
Februari.27 Kota Palu memiliki jenis tanah Alluvial yang unsurnya terdiri atas
batuan gunung berapi dan batuan terobosan yang tidak membeku (Inncous
dataran lembah kota Palu diperkirakan menjadi wilayah yang cocok untuk
pertanian yang intensif. Dari sinilah asal mula kemudian kenapa masyarakat
Palu khususnya Suku Kaili memilih bercocok tanam selain menjadi pedagang
dan nelayan.
dan lempeng Eurasia. Sehingga Palu berada di zona benturan tiga lempeng
besar dunia yang membuat Palu kemudian menjadi daerah yang masuk dalam
zona rawan bencana zona 4, atau yang biasa dijuluki sesar Palu koro. Faktor
inilah yang kemudian membuat Palu tidak memiliki begitu banyak bangunan
27
Profil Kota Palu, Kota di titik Nol (Pemerintah Kota Palu:2009), hal. 12.
18
kota-kota pada umumnya dengan tingkat kepadatan bahan yang tinggi juga
Sumber: kebudayaan.kemendikbud.go
Jika ditanya mengenai arsitektur khas Kaili sebagai suku asli kota Palu
Palu secara khususnya. Selain Souraja terdapat juga balai yang berbentuk
seperti rumah panggung yang cukup luas tanpa sekat atau yang biasa disebut
baruga. Baruga dan Souraja berfungsi sebagai balai, tempat berkumpulnya para
(Midden Celebes). Onder Afdeling Palu saat itu membawahi 3 wilayah turunan
(Landschap) yang terdiri dari Landskap Palu meliputi Distrik Palu Timur, Palu
Tengah, dan Palu Barat. Landskap Kulawi, dan Landskap Sigi Dolo. Pengalihan
19
pusat pemerintahan dari Donnggala ke Palu terjadi pada tahun 1950, ketika
oleh tentara sekutu dalam Perang Dunia II. Melalui undang- undang nomor 44
Sumber: PaluKota.go.id
bagi Palu sebagai Ibukota Provinsi. Kota Palu kemudian menjadi kota
berkembang dalam statusnya yang terakhir sebagai kotamadya pada tahun 1994
28
Profil Kota Palu, Kota di titik Nol (Pemerintah Kota Palu:2009), hal.8-9.
20
memiliki kisah sejarahnya masing-masing yang unik dan khas. Yakni proses
perjalanan alamaiah atas dasar kondisi sosial, budaya, dan politik warga
masyarakatnya. Demikian pula halnya dengan kota Palu. Keunikan Kota Palu
dikenal sebagai Kota Kerajaan Tanah Kaili. Aktualitas nilai historis ini masih
Berdasarkan penelitian Prof. Drs. Tjatjo Thaha, arti atau makna dari kata
“Palu” memiliki lima versi. Versi yang pertama menyebutkan, bahwa “Palu”
berasal dari Bahasa kaili, yakni dari kata “Buluvatumpalu” yang artinya sejenis
Dg. Marau, bahwa pohon besar itu sekarang sudah tidak ada lagi, namun pohon
tersebut telah mengukir sejarah gemilang. Yaitu lahirnya suatu kota yang diberi
nama “Palu”. Versi ketiga ialah seperti dituturkan oleh bapak Yondi Marauna,
kearah kota Palu, mereka selalu menyebut “hau ri Palu” sambal menunjukkan
arah ke selatan. Dengan demikian, kata “Palu” dalam versi ini kemudian orang-
orang tersebut ditujukan bagi mereka yang bukan asli Palu dalam
29
Buluvatumpalu diartikan sebagai sejenis pohon yang tumbuh didaerah Lasoani,
sebagaimana yang dituturkan oleh Palisu Dg. Marau. Lihat Darwis dkk Jejak wakil rakyat di tanah
kaili, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 5.
21
Versi keempat adalah penuturan dari Drs. Indra B. Wumbu, yakni bahwa
nama “Palu” berasal dari Bahasa Kaili, yaitu “PaloE” (huruf terakhir (E) adalah
‘oe’ menjadi ‘u’, maka kata “PaloE” pun berubah menjadi kata “Palu”. Versi
terakhir adalah versi yang dituturkan oleh bapak H.D Garamusu, nama “Palu”
berasal dari kata “PaluE” yang berarti mengeluarkan Sebagian dari perahu
karena terlalu sarat. Kata tersebut, menurutnya, sering diucapkan oleh orang-
orang yang tinggal atau bermukim di lembah Palu, yang waktu itu bermata
pencaharian memancing ikan. Ketika ikan yang diperoleh terlalu banyak, maka
Pada awalnya, wilayah Kota Palu disebut sebagai kerajaan tanah kaili,
dan Palu berfungsi sebagai ibu negeri. Menurut catatan sejarah, kerajaan tokaili
sebagai masyarakat asli kota Palu, sudah cukup lama mengenal struktur
30
Darwis dkk, jejak wakil rakyat di tanah kaili, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2005), hal.
6.
22
atau Bantaya (balai adat). Melalui musyawarah di Baruga ini ditetapkan “ada
dalam negeri). Keputusan itu dimaksudkan sebagai pedoman bagi jalannya roda
Sang raja dianggap sebagai keturunan “To manuru” atau dewa Batara di
manuru” dikenal dengan sebutan Madika atau Magau. Kerajaan Tanah Kaili,
yang juga meliputi wilayah kota Palu sekarang, dikenal pernah terdapat empat
1. Kerajaan Palu
31
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
hal. 48.
23
2. Kerajaan Taweli
3. Kerajaan Sigi
4. Kerajaan Banawa
Dari keempat kerajaan tersebut, kerajaan Sigi dan Banawa yang dikenal
sebagai kerajaan terbesar dan paling disegani sehingga sering disebut sebagai
1. Kerajaan Palu
2. Kerajaan Sigi
3. Kerajaan Kulawi
4. Kerajaan Parigi
5. Kerajaan Banawa
6. Kerajaan Tawaeli
7. Kerajaan Moutong.
berikut:
32
Darwis dkk, Jejak wakil rakyat di tanah kaili, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005),
hal. 8.
24
2. Madika Malolo – atau Raja Muda sebagai wakil Raja yang Persyaratannya
3. Madika Matua – atau Perdana Menteri merangkap urusan ekonomi dan Luar
perjanjian jangka Panjang (Lang contract) dan perjanjian jangka pendek (Korte
perlawanan atau menyerah dan takluk begitu saja. Akan tetapi terlebih dahulu
melalui perlawanan dan perjuangan yang begitu sengit dan demikian seru.
rasa merdeka dan tidak ingin dijajah oleh bangsa asing. Meskipun masing-
namun diantara mereka tetap kooperatif antara kerajaan satu dengan yang lain.
33
Darwis dkk Jejak wakil rakyat di tanah kaili, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal.
8.
25
etnis maupun penganut berbagai agama dapat ditemukan. Selain Kaili yang
diakui sebagai suku asli terdapat banyak etnis lainnya yang hidup
banyak lagi lain sebagainya dengan populasi yang tidak begitu banyak.
Kendati terdapat beragam etnik dan budaya, kerukunan dan integrasi sosial
di Kota Palu terjaga dengan cukup baik dan stabil. Kerukunan dan integrasi
ini menjadi modal penting sebagai potensi pembangunan Kota Palu dimasa
mendatang. Berbagai etnis di Kota Palu saling menjaga satu sama lain,
Jika ditanya tentang suku asli kota Palu, maka akan mudah ditemukan
jawabannya ialah suku Kaili. Suku Kaili diyakini sudah menempati wilayah
34
Darwis dkk Jejak wakil rakyat di tanah kaili, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal.
9.
26
miliki. Para penulis masa lampau seperti Albert C. Kruyt, N. Adriani dan R.
hal ini.
waktu itu pada mulanya lebih dahulu didiami oleh suatu kelompok
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
35
hal. 4.
27
arah, pertama dari arah utara, diduga berasal dari kepulauan Jepang. Mereka
hingga akhirnya sampai Sulawesi Tengah. Migrasi kedua, datang dari arah
dan Dolmen.
Pottenbekkers ini masuk ke Sulawesi Tengah melalui teluk Bone, yaitu dari
arah suatu tempat diantara Maliki dan Wotu. Dari sini mereka menuju ke
arah utara, ke daerah Poso Sulawesi Tengah, terus ke daerah barat, yakni ke
daerah pegunungan Lore, hingga ke daerah aliran sungai koro. Dari arah
Menurut Kruyt Migran Pottenbekkers ini ada juga yang datang dari arah
Palu seperti dalam lingkup sosial, ekonomi bahkan religi, antara lain: 1)
Dalam sisi religi disumbangkan suatu sistem yang mengenal struktur dewa-
sosial baru, yakni lapisan atau strata bangsawan, yang berada diatas lapisan
sosial yang lainnya, yang telah ada lebih dahulu berlaku dalam masyarakat
yakni golongan orang merdeka dan golongan budak atau hamba sahaya.36
berasal dari pulau Jawa. Selain itu mite atau cerita legenda Sawerigading
yang terdapat dalam epos Sureq Galigo atau La Galigo merupakan cerita
yang berasal dari Sulawesi Selatan turut mempengaruhi hal ini. Yaitu epik
lingkup jelajahnya begitu luas meliputi daerah pantai sebelah barat Selat
36
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
hal. 6.
29
ini terjadi karena berbagai sebab, diantaranya seperti bencana alam, epidemi
desa ini acap kali membuat penduduk desa mengungsi lebih jauh ke daerah
pedalaman yang sukar untuk dijangkau oleh musuh. Sebab serta akibat
dari tawanan perang, ataupun punahnya suatu kaum sebagai akibat dari
peperangan.37
telah membentuk pendapat atau opini yang baku tentang “Orang Toraja”,
mereka pada masa itu menamai atau menandai penduduk Sulawesi Tengah
dengan sebutan “Toraja” dan ini berlaku pada beberapa etnik yang tinggal
Pembagian ini seperti juga diakui oleh Kaudern, agak berbeda dengan
37
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
hal. 7.
30
Dr. Adriani dan Dr. Albert C Kruyt. Dalam karya mereka De Bare’e
terdiri atas orang-orang Toraja Poso. 2) Toraja Barat, yang terdiri atas orang
Kaili Parigi, dan yang ke 3) Toraja Sa’dan. Namun kemudian ketika Kruyt
kelompok etnik atau rumpun yang berbeda. Tetapi mesti juga melihat dan
pada saat itu, dan juga beberapa pendapat yang menyatakan Palu masih
begitu terjamah dan ditinggali. Baik dari segi linguistik maupun kebudayaan
38
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
hal. 11.
31
makna kata “Toraja”. Kata Toraja berarti orang-orang yang berasal dari
bugis, kata “to” yang berarti orang dan “luwu” yang berarti laut. Dengan
dengan sebutan To-luwu , dan Raja atau riaja yang berarti daerah darat (atas)
Hal ini ada benarnya jika yang dimaksud oleh mereka adalah Sulawesi
Sulawesi Tengah dengan sebutan Toraja saja, dan itu berlaku secara general.
diri mereka dengan sebutan To-Kaili atau Orang Kaili. Inilah kemudian
39
Andi Fatmawati Umar, Toraja Dulu dan Kini, (Makassar: Pustaka Refleksi,2003)
hal. 5.
32
Menurut Andi fatmawati, nama Toraja biasa digunakan oleh orang luwu
mempunyai makna dan cakupan yang lebih luas dan tidak membatasi hanya
Toraja seperti saat ini. Pada saat itu nama Toraja dipergunakan sebagai
Pada masa itu juga kawasan ini belum menganut agama Islam ataupun
negatif, kepentingan politis serta sebagai sekat antara penyebar agama Islam
dari kerajaan Luwu turut mempengaruhi hal ini. Setelah Indonesia merdeka
Artinya Toraja yang kita kenal di masa sekarang hanya terbatas pada Toraja
selatan atau Toraja Sakdan saja, sementara etnis Toraja dalam keterangan
peneliti pada masa lampau yang secara administratif masuk dalam wilayah
dikatakan, Kelompok etnik (1) Kaili, (2) Tomini, (3) Kulawi, umumnya
40
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990)
hal. 12.
33
berdiam di kabupaten Donggala. Kelompok etnik (4) Pamona, (5) Lore, (6)
Diantara kedua belas kelompok suku etnik yang menjadi suku asli
antara satu dengan yang lain, dengan atau tanpa gesekan satu sama lain. Dari
dengan yang lain, berupa adat dan budaya karena akulturasi atau pembauran
sosial tersebut. Hingga membuat Sulawesi Tengah pada umumnya dan kota
2. Suku Kaili
dalam persebaran wilayah di Sulawesi Tengah ini. Tidak hanya di kota Palu
tapi juga beberapa wilayah kabupaten di Provinsi ini. Tercatat selain Palu,
satu sama lain, terdapat orang-orang suku Kaili tentu dengan predikat bukan
menyebut diri mereka dengan sebutan tersebut. Ini diawali dengan pengikat
sebelumnya hingga saat ini. Menurut cerita ini, pada zaman dahulu kala
Lembah Palu ini masih lautan, disebut laut Kaili atau Teluk Kaili. Nenek
sekeliling Laut kaili. Konon, di sebelah Timur Laut Kaili, terdapat sebatang
sebagai tanda pengenal daratan bagi pelaut yang memasuki wilayah Teluk
Kaili. Pohon ini memiliki sebuah sifat kayu yang paling tinggi dan kokoh
dari pohon-pohon yang ada, dan tidak akan bercabang rantingnya apabila
dimana mereka akan melihat suatu tempat yang ada pohon yang menjulang
ini sebagai petunjuk arah bahwa ada tanda kehidupan. Pohon ini kemudian
juga menjadi tanda pengenal daratan bagi pelaut dan perantau yang
memasuki teluk kaili. Pohon inilah yang lalu dinamai pohon Kaili yang
kemudian menjadi cikal bakal asal kata Kaili.41Asal usul manusia pertama
41
Badan Pengembangan Pariwisata Dati I, Mengenal Tanah Kaili, (Sulawesi Tengah:
Badan Pengembangan Pariwisata Dati I, 1975), h.123.
35
Sebagai wilayah dengan beragam suku dan budaya yang turut dalam ruang
paling sering digunakan, akan tetapi terdapat pula bahasa Kaili sebagai
bugis, Jawa, mandar dll juga kerap kali digunakan yang menandakan cukup
disebutkan tadi juga kerap kali terjadi dan menjadi lumrah dikarenakan hal
ini.
juga terkenal dengan hasil hutan dan kayu-kayu seperti kayu agatis, ebony
meranti dan juga jenis rotan. Selain sektor pertanian, masyarakat kota Palu
juga menyelami laut sebagai mata pencaharian. Ini tidak lain karena kota
Palu memiliki wilayah pesisir pantai yang cukup luas. Disamping itu,
42
Syakir Mahid, Sejarah Sosial Sulawesi Tengah, (Palu: PPs Lemlit Untad, 2009), h.
35.
36
43
Profil Kota Palu, Kota di titik Nol (Pemerintah Kota Palu:2009), hal 19.
BAB III
MASYARAKAT KAILI
Banyak para ahli yang sepakat bahwa manusia bukan saja makhluk
religius akan tetapi juga makhluk budaya, artinya kebudayaan dan agama
merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia44. Dalam Agama
unsur yang fundamental ialah keyakinan dan ritus yang terkait dengan
pandangan dan hal-hal yang berada di dalam refresentase tersebut. Agama akan
mendasari setiap pola hidup, kegiatan serta tata cara kehidupan bermasyarakat.
agama yang paling dekat dan melekat dalam perkembangannya yang pertama
44
Rohiman Notowigdagno, Ilmu budaya dasar, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,1997),
h. 22.
37
38
bandara Kota Palu yang kemudian dinamai Mutiara Sis Aljufri, yang tdk lain
nama Sis Aljufri diambil dari salah satu tokoh penyebar agama Islam di kota
Palu. Selain itu terdapat pula kampus IAIN palu yang diberi nama Datokarama
1. Islam
kerajaan yang menjadi basis kerajaan Islam atau kesultanan yang kemudian
mencatat hal ini, bahkan diperkirakan lebih tua dari yang pernah ada di
adanya faktor geografis, dan keadaan alam yang turut bekerja dalam proses
45
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016),
h. 4.
46
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016),
h. 4.
39
Tengah secara umum melalui tiga tahapan utama, yakni tahapan mitologis,
Kaili, Palu dan bahkan Sulawesi Tengah ditandai dengan cerita-cerita mitos
tentang Agama Islam. Mitos mempunyai sifat irasional sementara itu juga
dan tidak perlu mengubahnya dan tetap berlaku untuk diterima apa adanya.
Selain masuk melalui tiga tahap, Islam masuk ke Tanah Kaili Lembah Palu
berasal dari tiga daerah yang telah menjadikan Islam sebagai agama
yang menyatakan bahwa Islam masuk melalui beberapa tahap yaitu: Agama
Islam dari Ternate yang masuk melalui Gorontalo dan tiba di Lambunu
bagian Pantai Teluk Tomini. Kedua Islam yang berasal dari Minangkabau
yang dibawa oleh Abdullah Raqie dan dilanjutkan kemudian oleh orang-
47
Suparlan Suhartono, Dasar-Dasar Filsafat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 40.
48
Nurhayati Nainggolan, dkk, Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, (Jakarta: Depdikbud,
1997), h. 7.
40
dalam abad XVII Agama Islam mulai masuk ke tanah Kaili dibawa oleh
Beliau dengan gelar Dato Karama50. Hal senada juga diutarakan dalam
Abdullah Raqie yang diikuti oleh istrinya yang bernama Ince Jille,
daerah Kabonena Palu waktu itu. Kedatangan Datu Karama ini telah
49
Sofyan Kambay, Perguruan Islam Alkhairaat: Dari Masa ke Masa, (Palu: Pengurus
Besar Yayasan Alkhairaat, 1991), h. 6.
50
M. J. Abdullah, Sejarah Tanah Kaili, (Palu: Stensilan, 1975), h. 20.
51
Pada abad ke XVII masehi datanglah sekelompok rombongan ke tanah kaili tepatnya
di karampe (dalam bahasa Kaili berarti terdampar). Kelompok tersebut berjumlah kurang lebih 50
orang yang dipimpin oleh Abdullah Raqie (Dato Karama). Lihat, Syakir Mahid, dkk., Sejarah Sosial
Sulawesi Tengah, (Yogyakarta: Pilar Media,2009), h. 106-107.
41
Abdullah Raqie alias Dato Karama adalah ulama besar yang berasal dari
lembah Palu pada sekitaran tahun 1709. Pada usia 22 tahun, Abdullah
rendah hati, teguh dalam pendirian serta dikenal berhati lembut dan
mazhab Syafii dalam fiqih dan penganut Ahlussunnah wal Jamaah, dan
52
Mohammad Ali, Datuk Karama dan Islamisasi Masyarakat Kaili di Lembah Palu,
(Cirebon: Perwira, 2004), h. 47.
42
terdampar. Istri Dato Karama bernama Intje Djille dan putri beliau Intje
perkawinan dengan turunan raja-raja. Hal inilah yang menjadi salah satu
pada saat itu bersedia memeluk agama Islam yang dibawa dan peristiwa
pada saat itu umumnya masyarakat berpakaian dari kulit kayu. Ajaran
53
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h.9.
43
Palu. Ajaran yang disambut baik oleh masyarakat ini pun berkembang
Ini dibuktikan dengan masuk Islamnya salah satu Raja Palu yang
lain seperti Pue Nggari (Raja diwilayah Besusu) dan juga Pue Bongo
masyarakat Kaili di kota Palu. Salah satunya adalah Masjid Jami’ yang
sejarah Dato Karama. Selain itu terdapat juga makam yang diceritakan
berasal dari minang ini, hal ini diperkuat dengan bentuk makam yang
memperjelas identitasnya.55
Gorontalo yang memiliki 5 orang anak. Beliau adalah anak tertua dari
54
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h. 9.
55
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h. 10.
44
Bekal Agama Islam yang ia diperoleh berasal dari Islam yang datang
56
Muhammad Islam Yusuf, 60 Tokoh Panutan Umat, (Gorontalo: UNG Press, 2012),
h. 77.
57
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h. 179.
45
bernama Pue Lasadindi atau juga Mangge Rante yang bernama Yandara
izin untuk untuk mengembangkan Islam di tanah Tatura Palu dan juga
Allah SWT adalah segala asal kehidupan dan Muhammad adalah Nur
yang berasal dari Allah, Muhammad SAW adalah cahaya Allah yang
dihubungan dengan tubuh manusia. Selain itu juga ajaran akidah serta
Islam tahap ini ditandai dengan datangnya Sayyed Idrus bin Salim
1309 hijriah, atau 15 Maret 1890 dari keluarga yang sangat menjunjung
tinggi agama Islam. Sang ayah Salim Aljufri lahir dari seorang mukti
Hadramaut dan dari ibu tercintanya bernama Nur. Sayyed Idrus pertama
ia juga belajar dengan ulama setempat yang juga merupakan teman atau
58
Haliadi sadi, Syamsuri, Sejarah Islam di Lembah Palu, (Yogyakarta: Qmedia 2016)
h. 181.
46
Muhsin bin Alwi Al-Saggaf, Abd Al-Rahman bin Ali bin Umar Al-
Saggaf, Muhammad bin Ibrahim Balfaqih, Abd Allah bin Husain Saleh
Al-Bahra, dan Idrus bin Umar Al-Habsyi.59 Sayyed Idrus juga pernah
menunaikan ibadah haji. Kita ketahui bersama pada saat itu waktu yang
mufti bersama ayahnya selama lima tahun dan setelah ayahnya wafat,
mufti selama sekitar dua tahun saja, yang hal ini dikarenakan terjadi
tempat bermukimnya orang Arab sejak akhir abad 19. Dari Pekalongan
59
Sofyan Kambay, Perguruan Islam Alkhairaat: Dari Masa ke Masa, (Palu: Pengurus
Besar Yayasan Alkhairaat, 1991), h. 23.
60
Azyumardi Azra, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan,
2002), h. 170.
47
(NU) dan tinggal di sana selama dua Tahun. Sayid Idrus kemudian
pindah ke salah satu pemukiman Arab lainnya yaitu di Kota Solo Jawa
Selepas dari Solo, Sayid Idrus menuju Ternate Maluku dan Sulawesi
dalam waktu yang lama. Sapaan akrab Guru Tua kemudian melekat
dengan beliau mulai saat itu yang dikenal berperan penting dalam
yang oleh Guru Tua menjadi wadah Ilmu pengetahuan bagi warga
61
Sofyan B. Kambay, Perguruan Islam Alkhairat dari Masa ke Masa, (Palu: PB
Alkhairat, 1991) h. 24.
62
Azyumardi Azra, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan,
2002), h. 171.
48
Kaili ini.
jumlah penduduk.63
2. Kristen
Kristen menjadi agama terbanyak kedua yang dianut oleh masyarakat suku
penduduk kota Palu.64 Kristen dalam sisi historis mulai masuk di Kota Palu
tidak jauh setelah sebelumnya berkembang di Poso pada akhir abad XIX
seorang tokoh penginjil yang bernama Albert Christian Kruyt. Kruyt lahir
63
Diakses dari https://palukota.bps.go.id/statictable/2016/10/05/464/persentase-
penduduk-menurut-agama-di-kota-palu-2011-2015.html pada tanggal 11 maret 2021
64
Diakses dari https://palukota.bps.go.id/statictable/2016/10/05/464/persentase-
penduduk-menurut-agama-di-kota-palu-2011-2015.html pada tanggal 11 maret 2021
49
keturunan dari Johannes Kruyt yang juga adalah seorang penginjil yang
pada tahun 1890. Pada bulan April 1891 A.C. Kruyt bersama istrinya
Gorontalo dengan hasil yang tidak begitu terlihat signifikan. Hal ini
lembaga NZG di Roterdam sekaligus juga atas usulan dari Pdt Th. Wielandt
Permohonan ini kemudian disetujui NZG dan juga residen Manado, yang
a. Periode Persiapan
65
Tony Robert Christian Tampake, Skripsi: Redefinisi Tindakan Sosial dan
Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat Eli Salom
Kele'i di Poso, (Salatiga: UKSW, 2014), h. 109.
66
Tony Robert Christian Tampake, Skripsi: Redefinisi Tindakan Sosial dan
Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat Eli Salom
Kele'i di Poso, h. 109.
50
Periode yang pertama adalah periode persiapan yang dimulai pada tahun
Pada periode atau masa persiapan ini, Kruyt tidak serta merta secara
poso saat itu. Selain itu ia juga mulai bersahabat dan menjalin hubungan
linguistik dan etnografi yang berasal dari tempat yang sama yaitu
sambutan yang baik dan hangat dari masyarakat. Mereka dengan cepat
contoh. Ia juga lebih tekun dalam misi keagamaannya kali ini walau
pada periode ini hingga 17 tahun kemudian di tahun 1909 belum ada
dalam setiap ibadah yang dilakukan selalu saja ada orang yang
3. Hindu
terasingkan, kesulitan bertahan hidup, kemudian mati. Sebab pada saat itu
daerah Sulawesi Tengah masih begitu lebat dengan hutannya yang asri.
bertahan hidup dan kemudian lambat laun menemukan sisi yang baru di
67
J. Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1977). h. 20.
53
tersebut.
keturunannya ikut berpartisipasi di ruang lingkup peran yang lebih luas lagi
kemudian, Hindu menjadi salah satu Agama yang dianut bukan hanya oleh
pada kekuatan gaib. Menurut Clifford Geertz Hal ini sudah ada sejak zaman
purba kala dan berkembang hingga kini pada manusia modern menjadi sebuah
68
Diakses dari https://palukota.bps.go.id/statictable/2016/10/05/464/persentase-
penduduk-menurut-agama-di-kota-palu-2011-2015.html pada tanggal 11 maret 2021
54
yang dikenal dengan “selametan”.69 Upacara selametan ini dalam istilah agama
dikenal dengan sebutan ibadah atau yang dalam antropologi agama dikenal
dengan istilah rites atau ritual. Yang maksudnya ditujukan untuk mendapatkan
Bak pinang dibelah dua, begitupun dengan Balia. Balia dipercaya telah
ada sejak zaman nenek moyang yang menjadi tradisi turun temurun
berkembang menjadi budaya dan adat istiadat bagi masyarakat suku Kaili.
Walaupun jika dikaji secara historis, catatan sejarah tidak begitu signifikan
Samanudi Balia berasal dari proses kejadian manusia awal sebanyak tujuh org
(org sakti) yang diturunkan ke bumi sebagai penghuni awal muka bumi yang
berasal dari nenek moyang, yang dahulu sering melakukannya yang kemudian
di ikuti oleh generasi selanjutnya sebagai tradis. Dahulu Balia tidak hanya
dilakukan untuk pengobatan saja, akan tetapi saat orang ingin bertani ataupun
berkebun, dibuatlah adat ini dengan harapan banyak berkah yang turun serta
membuat hasil panen meningkat. Disamping memang sudah menjadi tradisi, ini
69
Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan, Santri, Priyai dalam kebudayaan Jawa,
Terjemahan Aswab dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), Cet. II, h. 89.
70
Wawancara pribadi dengan Mangge Samanudi, Palu, Sulawesi Tengah, pada tangal
03 Februari 2021.
55
maha kuasa.71
dilaksanakan upacara Balia tadi, terdapat juga cerita mite atau legenda
bagaimana asal mula upacara ini dilakukan. Cerita ini bermula ketika awal
kunjungan sawerigading, yaitu tokoh paling sentral dan populer dalam kitab
tokoh muda yang memiliki perangai yang halus dan selalu bertindak sebagai
12 Tahun Meladi, yakni tahun yang oleh masyarakat Kaili daerah Tawaili
diyakini sebelum masehi. Masa tahun meladi lamanya sekitar 12.000 tahun.72
sampai ke dunia orang-orang yang sudah mati. Dari Luwu ia berangkat hingga
turun lagi ke bumi. tak ayal dia sering disebut sebagai orang yang turun dari
kayangan.73
Pada suatu hari di satu cerita, Laut Kaili mendapat kunjungan sebuah
perahu layar yang amat besar dibawah pimpinan seorang pelaut yang namanya
71
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
72
A. S Kombie, Akar kenabian Sawerigading, (Makassar: PARASUFIA, 2003), h.
22-23.
73
A. S Kombie, Akar kenabian Sawerigading, (Makassar: PARASUFIA, 2003), h. 13.
56
sekarang bernama Raranomba. Saat itu Kerajaan Sigi dipimpin oleh seorang
raja yang bernama Nggilinayo, yaitu seorang raja perempuan yang memiliki
paras yang cantik dan belum menikah atau memiliki pasangan. Saat
yaitu ayam yang berbulu kelabu kehijauan dan kepalanya berjambul. Syarat itu
pun disetujui oleh Sawerigading dan disepakati bahwa acara adu ayam akan
masyarakat bahwa besok akan ada pertarungan adu ayam tersebut. Namun, pada
malam sebelum pertarungan terjadi sesuatu yang luar biasa yang menyebabkan
hitam) terlepas dan turun dari perahu kemudian berkeliaran di sekitar dataran
lembah Sigi. Tanpa disadarinya ia terperangkap pada sebuah lubang yang besar
57
yang di diami oleh seekor belut (Lindu) yang amat besar. Karena merasa amat
berhasil menyergap belut (lindu) sehingga keluar dari lubangnya. Lubang besar
tempat tinggal belut yang telah kosong dan runtuh tersebut kemudian menjadi
turut menyeret air Laut Kaili dengan deras seperti tumpah ke arah utara. Hal
inilah yang menjadi sebab keringnya Laut Kaili, maka terbentuklah Lembah
Palu dan terjamahlah Tanah Kaili. Karena peristiwa dahsyat ini kemudian
kandung yang saling menghormati dan saling bekerja sama serta membimbing
orang-orang Kaili yang mendiami Palu, bekas teluk Kaili yang telah menjadi
terlebih dahulu sebuah sebuah pesta yang dikunjungi oleh sebagian besar
penduduk kerajaan pada waktu itu. Seperangkat alat kesenian dan bunyi-
bunyian berupa gong, tambur dan seruling didaratkan dari perahu Sawerigading
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili”, (Palu: Tadulako university press 1990),
74
h. 26.
75
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 14.
58
untuk meramaikan pesta kerajaan. Gong, tambur dan gendang di palu atau
keramaian dan antusias yang luar biasa. Bahkan orang yang sakitpun, yang
tarian yang kemudian membuat mereka lupa akan rasa sakitnya. Hal ini
media atau sarana pengobatan dan dinamai dengan “Balia”. Dari sinilah
sebagai pencetus salah satu adat yang bernilai kesenian yang masih dianut oleh
tari-tarian, iringan bunyi-bunyian seperti gendang atau gong, seruling atau biasa
76
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 16.
77
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 16.
59
bondong untuk menghadirinya. Diantara mereka ada yang sakit bongkok datang
dengan cara digendong, orang yang buta datang dengan di pandu atau di papah,
orang sakit seperti meriang demam dan sakit atau nyeri badan lainnya juga
datang ke pesta tersebut. Pada saat menyaksikan tari yang di iringi oleh musik
tradisional ini, mereka pun bisa berdiri dengan baik bahkan ikut menari di pesta
tersebut seolah mereka dalam keadaan normal. Mereka kemudian sembuh dari
penyakit yang dideritanya. Saat itu pula terdapat istilah dalam bahasa Kaili
juga dalam bahasa Kaili diartikan dalam ejaan yaitu Savi (lahir/timbul) dan
rigading (di bambu kuning) atau yang dalam Bahasa Kaili juga disebut “Tope
bete ri bolovatu”, yang artinya orang yang lahir atau muncul dari bambu kuning.
acara ini sebagai sebabnya. Dari sini mulailah tarian dan upacara ini digunakan
Penamaan Balia sendiri pun tidak lepas dari literatur bahasa Kaili serta
keterkaitannya dengan cerita peristiwa ini. Menurut Pak Edi Balia terdiri dari
dua suku kata Balia (Lawan) atau (Ubah) ia (dia) yang maksudnya berbalas,
antara seorang dengan org yang lain dalam suatu upacara, sebab saat itu para
78
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 17.
79
Misnah, Mengenal kebudayaan Balia, (Sulawesi Tengah: Quanta Press, 2010), h. 19.
60
nyanyian yang disandarkan pada leluhur.80 Terdapat pula pendapat lain yang
menjelaskan bahwa daerah Kaili terkenal dengan upacara yang disebut dengan
Balia, artinya Bali (tantang) dan iya (dia) yang secara terminologi adalah
tantang dia. Pengertiannya secara utuh yang disimpulkan yaitu melawan setan
sebagian masyarakat Kaili walaupun tidak lagi secara masif oleh mayoritas
orang dan hanya sebagian saja. Hal ini disebabkan sudah tergerusnya zaman ke
merupakan sesuatu yang menjadi simbol atau hal yang bersifat sakral.
tradisi erat nenek moyang untuk terus melaksanakan tradisi ini. Balia menjadi
yang menjadi keyakinan emosi kepercayaan bahwa hal ini sejalan dengan
bagi tanah dan petani, menolak bala bencana, wabah penyakit serta
80
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Pak Edi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 02 Februari 2021.
81
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), hal.17.
61
dilakukan oleh masyarakat Suku Kaili, hal ini tidak terlepas dari tujuan atau
kebiasaan atau budaya orang Kaili itu sendiri. Pada bagian ini secara singkat
besarnya.
1. Balia Tampilangi
Tampilangi terdiri dari dua kata yaitu tampi yang artinya tombak dan
langi yang artinya langit atau kekuasaan. Tampilangi atau yang dimaknai
dilakukan oleh makhluk atau roh halus yang turun dari kayangan, maju terus
dibandingkan dengan jenis-jenis balia lain pada suku kaili dan juga
musik gong, gendang, dan seruling yang dibawakan oleh ibule (orang
peran alat musik adat). Tarian peserta balia dalam upacara ini gegap gempita
tarian. Instrumen dan irama musik yang dimainkan memiliki variasi yang
makin lama kian terasa membahana. Suasana ini membuat peserta hanyut
pulih juga menjadi sehat kembali.82 Balia jenis ini merupakan balia yang
2. Balia Tomanuru
berisikan barang-barang nenek serta leluhur yang masih ada, di simpan oleh
keluarga untuk di bersihkan. Selain itu pada zaman dahulu upacara ini juga
82
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), h. 19.
63
dukun yang sudah tua.83 Secara garis besar balia ini mirip dengan balia
berangsur bergantian.
Balia Bone Meloso merupakan salah satu jenis balia yang sudah punah
dan jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan di masa sekarang. Sebab,
balia ini merupakan ritual yang aktif dilakukan pada masa-masa kerajaan di
juga dilakukan dengan maksud hiburan bagi sang raja. Selain itu juga
4. Balia Jinja
Tata cara pelaksanaan Balia Jinja yang oleh masyarakat disebut pasukan
Bunyi musik yang dimainkan lemah lembut diikuti alunan suara nyanyian
dari penderita, bahkan tak jarang penonton juga ikut bersahutan dan
acara berlangsung semakin larut, alat musik pun di tabuh dengan irama yang
semakin cepat. Bunyi ini merupakan isyarat agar para peserta berdiri dan
83
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), h. 23.
84
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h. 89.
64
peserta yang sakit terlihat bertambah baik dan akan nampak sehat bila
85
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), hal. 22.
BAB IV
seperti pada masyarakat Suku Kaili. Hal ini tidak membatasi penganut agama
manapun dalam arti bahwa dari agama manapun dia, masih ada kepercayaan
terhadap hal-hal ghaib yang bertahan bahkan hingga saat ini. Kepercayaan ini
kadang juga di sebut mitos oleh beberapa kalangan, karena kadang bersifat
kurang logis. Namun demikian, hal ini tidak menyurutkan keyakinan atau
kepercayaan ini berasal dari tempat yang sangat jauh sebelumnya yang
kemudian turun temurun diajarkan dan diyakini sejak zaman nenek moyang.
pemujaan terhadap adanya zat atau makhluk spiritual yang tidak dapat dilihat
oleh mata manusia. Makhluk ini sering digambarkan sebagai roh-roh makhluk
halus atau jiwa manusia yang telah melampaui lebih dulu (nenek moyang)
mendiami sebuah tempat tertentu seperti pohon, binatang terutama yang telah
mati, tumbuhan, batu, benda atau apapun yang dapat menyimpan kekuatan
65
66
magis.86 Roh-roh atau benda ini kemudian dianggap memiliki “mana” kekuatan
gaib yang dipercaya dapat memberi kedamaian bahkan ancaman sehingga harus
pemujaannya. Hal ini bisa dianggap mendatangkan rejeki dan menjauhkan bala
bencana, sebab manusia dianggap tidak lepas dengan lingkungan alamnya, dan
lingkungannya dihadiri dengan sesuatu yang mistis dan memiliki kekuatan gaib.
(Pue) seperti “Karampua Langi” atau Pue Langi (penguasa langit), roh atau
kekuatan gaib yang mengatur iklim, cuaca, bulan dan matahari, gerhana
matahari dan bulan, serta benda-benda langit lainnya. Selain itu, mereka juga
Penguasa bumi ini dipercaya dapat mengatur atau penyebab kehidupan yang
ada di bumi seperti gempa, banjir, angin ribut dan lain sebagainya. Ada juga
yang bersemayam dalam sebuah tempat seperti Pue Ntasi (penguasa laut), Pue
Nggayu (penguasa hutan). Masyarakat Kaili juga percaya adanya roh leluhur
yang bisa memberikan petunjuk juga keberkahan, roh ini dikenal dengan
sebutan Anitu.87 jika masuk kedalam tubuh manusia saat adanya ritual ia kadang
disebut Nomparikaro.
86
Rahmat Fajri dkk, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: Belukar,2012), h. 30.
87
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h. 107.
88
Spiritisme merupakan sebuah paham dimana percaya terhadap adanya makhluk
spiritual yang tidak dihubungkan dalam suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad dan objek-objek
tertentu. Lihat, Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),
h. 36.
67
Mereka ada yang baik dan ada juga yang jahat, sehingga apabila masyarakat
akan melakukan sesuatu, akan terlebih dahulu memohon izin pada mereka.
yaitu:
2. Makhluk halus yang berasal dari manusia yang lenyap tanpa melalui proses
3. Makhluk halus dari roh manusia yang sudah meninggal tetapi dengan cara
Kepercayaan lain yang juga masih diyakini oleh masyarakat hingga saat
ini ialah kepercayaan terhadap manusia biasa yang karena salah menggunakan
ilmu hitamnya dapat membunuh atau mencelakakan orang lain dengan kekuatan
roh jahatnya. Orang yang demikian disebut Topeule, yang ditakuti masyarakat
dilakukan termasuk upacara Balia. Hal ini dilakukan dengan harapan bisa
menjadi media perantara dengan roh-roh jahat maupun baik serta Yang maha
segala macam bala bencana. Disamping beberapa hal tadi, masyarakat Kaili
juga dikenal percaya akan adanya benda-benda sakti yang dapat digunakan
89
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), h. 16.
68
sebagai penangkal diri, misalnya orang dapat kebal terhadap senjata tajam, anti
guna-guna, tidak diganggu hantu, dan lain sebagainya. Benda sakti ini dapat
memiliki beragam budaya yang sarat dengan nilai-ritual yang bersifat unik dan
menarik untuk dikaji. Keberagaman budaya ini diwariskan dari nenek moyang
secara turun temurun dan selalu ditaati dan di junjung tinggi sehingga
hubungan dunia gaib. Secara umum dunia gaib bisa dihadapi manusia dengan
berbagai macam perasaan seperti cinta, bakti, tapi juga rasa takut atau bahkan
bercampur dengan berbagai macam perasaan. Selain itu juga dalam sebuah
ritual, terdapat ide-ide, pranata nilai yang tampak (phainomenon) dalam sebuah
Suku Kaili dan Suku Bugis, dengan Sawerigading sebagai perantaranya. Tokoh
purba ini adalah tokoh utama sejarah kemanusiaan di tanah Bugis khususnya di
dianggap sebagai manusia pertama yang turun ke Bumi dan mendiami dunia
90
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h. 76.
91
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h. 23.
69
Tengah. Alur kisah Sawerigading yang populer adalah perjalanan ke tanah Cina
Masyarakat kota Palu sebagai bagian dari pemeran utama dalam adat
dan budaya suku Kaili. Terdapat begitu banyak pelaksanaan adat nilai luhur
mudi dilarang untuk berduaan tanpa didampingi oleh orang tua, karena itu
perkawinan diatur oleh orang tua dari kedua belah pihak. Jika adat ini dilanggar,
maka yang melanggar akan dikenai denda adat (nigivu) dengan memberikan
sejumlah hewan atau yang sekarang diganti dengan uang tergantung besar
seseorang yang dianggap dapat merugikan orang lain juga diatur oleh adat yang
asusila, mengintip perempuan sedang mandi, tidak menerima tamu jika suami
tidak di rumah, membunuh dan lain sebagainya. Hal ini diatur dalam adat
dalam masyarakat, diusir, bahkan dibunuh oleh korban yang dianiaya. Dari hal-
hal ini boleh dibilang adat juga menjadi pengetahuan, pendidikan budi pekerti
70
dalam masayarakat khususnya Kaili. Bagaimana harus bersikap baik, sopan dan
istiadat, merupakan perbuatan yang dilakukan sesuai aturan adat yang sudah
mendarah daging melekat pada kebiasaan orang Kaili seperti pada adat Upacara
Balia. Balia adalah refleksi dari sistem kepercayaan masyarakat Kaili kuno.
Bagi masyarakat Kaili, semua tempat memiliki kekuatan gaib yang bisa
gaib berada di gunung, hutan, sungai, batu, dan tempat lainnya sangat
pue berimbas pada kesulitan atau bala dalam kehidupan manusia. Berdasarkan
hal ini, masyarakat Kaili memahami bahwa penyakit bukan sebagai fenomena
fisik belaka, tetapi juga fenomena metafisik atau fenomena yang berhubungan
antara para penghuni alam gaib dengan manusia sedang dalam pola yang kurang
baik. Penyakit yang hinggap dalam tubuh seseorang dipahami sebagai bentuk
amarah, teguran, atau peringatan dari kekuatan spirit yang ada di alam
semesta.94
92
Syakir Mahid, Sejarah Sosial Sulawesi Tengah, (Palu: PPS Lemlit Untad 2009), h.
35.
93
M. Yunus Melalotoa, Sekelumit Sejarah Kebudayaan Kaili dalam Antropologi
Indonesia, (Jakarta: Fisif UI, 1991), h. 133.
94
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h. 81.
71
Tampilangi merupakan salah satu dari sekian banyak tradisi yang masih
kepribadian budaya dan adat istiadat masyarakat Kaili Kota Palu. Secara
terminologi “Balia” berasal dari bahasa Kaili “Nabali ia” artinya berubah ia.
Perubahan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang pelaku
balia telah dimasuki oleh roh halus sehingga segala bentuk perilaku, gerak
perbuatan hingga cara berbicara akan berubah mengikuti cara atau kebiasaan
Kata Balia Tampilangi pun demikian, berasal dari bahasa Kaili yang
terdiri dari dua kata yaitu “Bali” artinya tentang/lawan dan “ia” yang artinya
dia, jadi Balia maksudnya adalah melawan setan yang membawa penyakit
diartikan sebagai kata ubah atau lawan, dan “ia” yang diartikan sebagai ia.
Dalam definisi ini sederhananya, Balia diartikan merubah seseorang yang sakit
menjadi sembuh, melawan roh jahat yang hinggap membawa penyakit ke tubuh
pasien. Oleh karena itu Balia dipandang sebagai prajurit kesehatan yang mampu
Sedangkan kata “Tampilangi” juga terdiri dari dua suku kata yaitu “Tampi”
yang artinya Tombak, dan “Langi” yang artinya langit atau kekuasaan. Di
95
Wawancara Pribadi dengan Ridho, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 09 Februari
2021.
96
Mattulada, Manusia dan kebudayaan Kaili di Sulawesi Tengah dalam Antropologi
di Indonesia, (Jakarta: FISIF UI, 1991), h. 38.
72
zaman dahulu disamping kerap kali dipakai berburu, tombak digunakan oleh
simbolis, Balia Tampilangi diartikan sebagai pasukan Tombak sakti dari langit,
yang dilakukan makhluk halus yang diyakini masyarakat sebagai pasukan gerak
cepat, turun dari khayangan, terus maju pantang mundur dan sanggup
Balia ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat kaili sebab rasa
orang sakit secara tradisional yang telah ada sejak zaman dulu, sejak zaman
nenek moyang sebelum adanya agama yang di turunkan serta menjadi tradisi
ataupun budaya adat orang kaili yang berkembang hingga sekarang. Menurut
Pak Edi seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan Balia terdiri dari dua suku
kata Balia (Lawan) atau (Ubah) ia (dia) yang maksudnya berbalas, antara
seorang dengan orang yang lain dalam suatu upacara, sebab saat itu pada zaman
dulu, para leluhur bersahut-sahutan saat acara tersebut, seperti berbalas syair
dengan nyanyian yang disandarkan pada komunikasi sesama dan pada leluhur.99
Terdapat pula pendapat lain yang menjelaskan bahwa daerah Kaili terkenal
dengan upacara yang disebut dengan Balia, artinya Bali (tantang) dan iya (dia)
yang secara etimologi adalah tantang dia. Pengertiannya secara utuh yang
97
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), hal. 18.
98
Wawancara Pribadi dengan Tokoh adat Pak Edi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 02 Februari 2021.
99
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Pak Edi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 02 Februari 2021.
73
sebagian masyarakat Kaili walaupun tidak lagi secara masif oleh mayoritas
orang dan hanya sebagian saja. Hal ini disebabkan sudah tergerusnya zaman ke
dalam pengaruh modernitas. Selain itu semakin dalamnya pengaruh Islam juga
turut menjadi salah satu sumbangsih balia mulai ditinggalkan, sebab Balia kerap
kali dianggap sebagai budaya syirik dan atau menyekutukan Allah. Dalam
simbol atau hal yang bersifat sakral. Merupakan suatu kewajiban bagi
masyarakat Kaili yang masih memegang tradisi erat nenek moyang untuk terus
kepercayaan bahwa hal ini sejalan dengan keinginan para leluhur jika ingin
bala bencana, wabah penyakit serta mengandung sisi hiburan kesenian juga
100
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, (Departemen pendidikan nasional
bagian proyek pembinaan permuseuman Sulawesi Tengah,2000), hal.17.
101
Wawancara Pribadi dengan Ridho, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 09 Februari
2021.
74
pelaksanaan Upacara Balia yaitu nolibu. Libu adalah musyawarah adat bersama
keluarga dan aktor utama yang memimpin Balia yaitu Sando. Sando ialah
sebutan untuk pemimpin ritual adat (dukun) yang memiliki otoritas yang
menetapkan segala hal terkait dengan prosesi adat Balia. Mulai dari waktu,
Sando juga dianggap sebagai orang yang punya kemampuan khusus atau
kesaktian yang dapat berkomunikasi langsung dengan roh alam ghaib. Dalam
tahapan ini keluarga membawa syarat adat untuk berkonsultasi atau yang biasa
disebut “petena”. Petena ini berisi rokok yang merupakan selera dari sando
beserta korek api kayu yang diletakkan di sebuah piring kecil kemudian
dibacakan baraka (berkah), doa-doa keberkahan oleh sando. Ada prosesi unik
dalam libu ini, kadangkala seorang sando membacakan syair vadi pada salah
seorang pasien dari kalangan keluarga. Setelah di bacakan mantra atau syair
tersebut, pasien akan dimasuki oleh roh yang akan menyampaikan seperti apa
Balia yang mereka inginkan untuk dilakukan dan apa saja yang disiapkan selain
kurangnya dua hingga empat malam, tergantung kesepakatan dan arahan dari
rumah yang memiliki ruangan cukup luas dan di halaman atau di tanah yang
102
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
75
cukup lapang. Jika acaranya dua hari, maka akan di bagi menjadi dua sesi, hari
pertama di dalam rumah dan hari kedua atau hari terakhir di halaman atau
lapangan tadi. Setelah ditentukan segala halnya, maka akan dipersiapkan segala
1. Gimba (gendang).
2. Goo (gong).
3. Lalove (alat musik menyerupai seruling yang dimainkan dengan cara ditiup
Tiga peralatan ini merupakan hal yang vital, sebab fungsinya yang
menjadi instrumen, alat musik yang mengiringi jalannya acara semalam suntuk.
Dari segi sejarahnya, alat musik ini yang menarik pusat perhatian masyarakat
menjadi instrumen musik dalam setiap adat kaili. Alat musik ini akan
begitu tertib dan terbilang random mengikuti keinginan roh halus yang menari
sebagai pemain alat musik disebut Bule, ia berperan serta mengatur ritme dari
alat musik yang dimainkan. Bule memainkan beberapa ritme dalam ritual ini.
alat musik yang ditabu secara pelan dan mendayu-dayu ritmenya disebut
sarontaede, ritme ini biasa digunakan sebagai ritme yang santai. Ritme
76
selanjutnya meningkat agak cepat disebut sarondaya hingga agak cepat menjadi
sarondaya naole, dan cepat sekali dengan sebutan kancara. Tujuannya dari
pengatur ritme tarian pada peserta balia. Adakalanya alat musik di tabuh dengan
cepat dan adakalanya saat peserta mulai terlihat lelah maka akan ditabu secara
sebagai berikut:
1. Tampi (tombak). Tombak ini akan digunakan sebagai alat untuk menombak
2. Guma (parang Kaili). Parang ini digunakan sebagai alat yang akan
menyembelih salah satu korban berupa ayam kecil. Selain itu digunakan
sebagai alat yang dibawa dalam tarian. Makna yang terkandung didalamnya
103
Wawancara Pribadi dengan Mangge Samanudi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 03 Februari 2021.
77
yang memegangnya.
4. Payung. Payung ini akan berfungsi sebagai pelengkap lolangi. Makna yang
5. Baki. Baki merupakan sebuah dulang atau nampan tidak berkaki yang
menjadi syarat adat, selain itu juga baki digunakan sebagai wadah tatakan
6. Baskom. Baskom ini menjadi wadah bagi beberapa syarat dan perlengkapan
7. Dula. semacam sebuah wadah mirip seperti baki yang berbentuk seperti
loyang berkaki yang digunakan sebagai tempat peralatan adat dan juga
8. Sarung. Sarung yang dimaksud adalah sarung tradisional atau sarung adat,
seperti yang biasa dipunyai beberapa daerah, sarung ini berfungsi sebagai
syarat adat sehingga peserta balia semuanya harus menggunakan sarung ini.
9. Sepasang baju dan celana. Biasanya baju tersebut berupa baju kemeja dan
celana kain, ini merupakan syarat adat yang diperuntukkan untuk pemimpin
adat (sando)
10. Selendang. Selendang ini juga merupakan syarat adat yang melengkapi
Lolangi.
11. Songkok atau kopiah. Sama seperti baju dan celana tadi, songkok/kopiah ini
12. Basende. Basende merupakan sebuah benda semacam topi atau penutup
kepala yang digunakan oleh pemimpin adat atau biasa disebut sando. Topi
ini terbuat khusus dari kulit kayu kemudian terdapat motif atau corak khusus
pada sisinya. Topi ini hanya digunakan oleh pemimpin adat dan merupakan
13. Piring gelas. Piring dan gelas digunakan sebagai alat makan dan minum.
Biasanya masih berbentuk klasik, belum menyerupai piring dan gelas pada
14. Dupa. Dupa seperti yang kita ketahui, merupakan sebuah benda yang
biasanya terbuat dari kayu atau pelepah kulit kelapa yang mempunyai bau
yang khas. Dengan dibakarnya dupa yang mempunyai bau yang semerbak
ini menjadi penanda bahwa ritual sudah dimulai dan semua yang
15. Daun Pisang. Daun pisang yang digunakan biasanya adalah daun yang
masih cukup muda, digunakan sebagai alas makanan atau tempat sajian-
sajian.
16. Kendi. Kendi menjadi salah satu syarat adat. Kendi nantinya akan
orang Kaili percaya hal ini akan menghilangkan segala macam penyakit
104
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
79
1. Ayam kemerahan atau setidaknya yang memiliki corak sebagai syarat adat
bagi setiap pasien. Ayam ini nantinya akan ditombak secara simbolis dalam
ritual. Setelah itu kemudian disembelih dan dagingnya akan dimasak juga
korban ini. Dimasa lalu babi seringkali digunakan sebagai korban atau
2. Telur masing-masing 2 bagi setiap pasien. Telur ini dinamai dengan nama
sando. kemudian telur ini nantinya akan di masak dan di makan bersama-
sambulugana ini meliputi: Kapur siri, buah pinang, Tagambe atau gambir,
105
Wawancara Pribadi dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pak Ansyar
Sutiadi, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 19 Mei 2021.
80
4. Beras pulut (ketan) warna-warni. Beras pada fungsinya akan di tabur atau
dilemparkan keatas peserta Balia. Beras ini merupakan bentuk simbol yang
Yaitu sebuah tempat di salah satu wilayah bagian dekat kota Palu yang
dianggap keramat yang diyakini sebagai salah satu negeri gaib para
leluhur.
6. Uwe Vongi (air wangi), adalah air yang diracik oleh para sando dengan
berbagai macam komponen dan komposisi. Air ini berperan sebagai media
lebih seperti minyak dalam pijat refleksi konfensional. Air wangi ini berisi:
Kayu manis, sikuri (kencur), sale (buah kayu), bawang merah, kemiri, telur,
81
daun paku, Banja (pinang muda), sintamadia, kondo (daun asam), tolasi
ini akan menjadi tempat para pasien-pasien Balia mengitari dan menari.
Tumbuhannya ialah 7 macam daun, yaitu: Kayu bale (kayu ikan), Veluru
(umbut sejenis lontar), Balaroa (kayu waru), Kayu Taba, Kayu peliu,
8. Pohon pisang dan batang tebu, masing-masing untuk setiap pasien. Pohon
pisang dan tebu nantinya akan di tebang dalam langkah nompaya. Orang
kaili percaya, dengan di tebangnya pohon pisang dan batang tebu maka
siap, di bakarlah dupa sebagai makna bahwa prosesi adat telah dimulai. Di hari
langsung oleh Sando. Nopopandiu akan menjadi tameng agar jangan ada jin
atau roh yang jahat masuk ke dalam tubuh. Nopandiu atau berwhudu ini
menggunakan uwe vongi (air wangi) yang sudah disiapkan oleh sando.
2. Nokangoa (duduk) & Nosove. Setelah Nopopandiu tadi pasien atau peserta
106
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
82
mereka dipercikkan air dengan kayu berubu dan kambalasa oleh sando dan
Hal ini dimaknai bahwa masuk dalam lolangi berarti peserta sudah resmi
4. No Vadi. Yaitu sando akan melantunkan syair, mirip seperti lagu atau
saat novadi ini pasien mulai merasakan mual dan gemetar. Selain itu
berdebar berdegup kencang karna mulai merasa ada yang akan merasuki
“Tama Bunto tama jilaka ngoro, domo bunto yaku rabuntoina, domo
rijalampovia.
Artinya:
“Saya tidak durhaka, saya tidak durhaka lagi dengan telah dibuatnya acara
ini (adat Balia), saya tidak salah membuat kekhilafan agar tidak dihinggapi
penyakit di lain hari, saya tidak sakit lagi dengan menyebut orang barakah
107
Wawancara Pribadi dengan Peserta Balia Moza dan Anna, Palu, Sulawesi Tengah,
pada tanggal 06 Februari 2021
83
5. Nontaro. Yaitu mulai menari dan kesurupannya para pasien atau peserta
iringan musik yang dimainkan. Prosesi ini ditandai dengan mulai dipukul
atau di tabuhnya gendang dan instrumen musik atau bunyian lainnya oleh
para bule. Jika ada peserta yang belum dirasuki roh, perangkat sando
masuknya roh lebih mudah. Prosesi ini berlangsung hingga larut malam,
berlangsung, peserta yang sudah dirasuki roh halus meminta rokok, telur
ayam kampung yang mentah, saguer (tuak) manis dan makanan seperti
dihari pertama, peserta memutar mengitari lolangi dan dengan makna yang
108
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h. 85.
109
Menurut keterangan peserta balia, mereka melihat dan sadar tentang apa yang
terjadi, namun tidak bisa mengontrol gerakan dan apa mereka lakukan. Wawancara Pribadi dengan
Peserta Mangge Dance, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 06 Februari 2021
84
2. Nantambasi. Hal ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam ritual
balia ini. Yaitu memberikan persembahan (Ayam kecil, pisang, cucur, ketan
putih dan hitam, kelapa parut, jeroan kepala kaki serta darah ayam) pada roh
ayam kecil yang masih hidup tadi kemudian dibiarkan begitu saja di dekat,
lalu sesembahan disiram dengan air oleh Sando. Maknanya ialah, dengan
nantambasi ini diyakini bahwa segala penyakit dan sesuatu yang negatif
akan terbawa hanyut bersamaan dengan air yang disiram tersebut. Selain
itu, isi sesembahan tersebut juga diperuntukkan bagi roh-roh yang hadir
3. Turun dari rumah menuju tempat kedua, yaitu ke sebuah tanah lapang dan
4. Nontaro, namun kali ini dengan memegang taba oleh setiap peserta sebagai
tanda bahwa keinginan atau pelaksanaan sudah sah atau sesuai adat
ditombak dibagian kaki oleh peserta dengan dibimbing dan diarahkan oleh
sesuai syarat.
menunduk dibawah pohon pisang dan tebu yang kemudian pohon tersebut
batang pisang dan tebu yang maknanya diartikan sebagai penghilang sakit
7. Nontaro ri apu. Yaitu peserta akan menari dan menginjak bara api. Langkah
ini menjadi salah satu kegiatan yang bisa dibilang cukup ekstrim dan yang
paling menarik perhatian, sebab peserta selanjutnya akan menari diatas bara
api yang sedang menyala, menginjaknya hingga bara api padam dengan
sendirinya karena diinjak oleh kaki telanjang pasien tanpa merasakan panas
sedikitpun. Makna dari menginjak bara api ini ialah dengan menginjak api
atau panas yang bersarang di badan si peserta sebagai penyakit akan hilang.
sando akan kembali melantunkan syair (novadi). Setelah ini berarti semua
rumah masing-masing dan beristirahat. Dengan prosesi akhir dari ritual ini
diharapkan segala bentuk pengharapan dan doa perseta (si pesakit) serta
keluarga akan dijabah oleh Tuhan dan juga direstui dan dibantu oleh roh-
110
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
86
Seperti yang kita tau pada umumnya, sebuah tradisi keagamaan atau
dan tradisi di Indonesia, umumnya memiliki ritual tertentu dalam beberapa fase
hingga meninggal dunia bahkan ada juga pasca meninggal hingga bertahun-
tahun lamanya. Hal ini sudah dilakukan sejak dahulu kala mengikuti tradisi
yang ada pada pendahulu yaitu para leluhur. Namun demikian, mereka
memaknai setiap ritual sakral keagamaan tersebut dengan filosofi yang berbeda
Hal ini seperti Upacara Balia dari Suku Kaili yang merupakan suatu ritus
budaya di Palu yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang dalam
rangka penyembuhan orang sakit. Dimana ritual ini dianggap sakral, sebagai
Pangkal tindakan ini adalah tentang keyakinan bahwa adanya hal gaib
peserta yang sudah pasti harus ada sebagai pemeran utama. Dalam proses dan
fungsi dan makna. Baik di dalam peralatan dan perlengkapan, maupun langkah-
kepada sando di maknai sebagai imbalan atau rasa terima kasih bagi
karna memang menjadi alat yang sangat vital dengan fungsinya dan juga
karena dia merupakan syarat adat, terdapat pula makna bahwa alat musik
ini merupakan benda yang disukai oleh roh-roh nenek moyang. Roh roh
dimainkannya alat-alat musik ini. Ini akan menjadi salah satu alasan mereka
untuk datang selain memang karena diundang, mereka akan bersuka cita
111
Nurcholish madjid, Penghayatan Keagamaan dan Masalah Religio Magisme,
Dalam Budi Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 492.
112
Wawancara Pribadi dengan Peserta Mangge Dance, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 06 Februari 2021.
88
kesejukan dan keteduhan bagi semua orang yang berada didalam ritual.
antara peserta dan perangkat balia dengan orang biasa atau khalayak ramai
5. Basende yang berfungsi sebagai topi atau aksesoris kepala ini bermakna
sebagai simbol kehormatan, sebab hanya pemimpin atau tokoh adat yang
menggunakannya
bahwa dibakarnya dupa menjadi pertanda bahwa upacara adat telah dimulai
dan juga sebagai tanda diundangnya roh-roh halus untuk datang, diyakini
bau wangi yang keluar dari dupa disenangi oleh roh-roh halus atau roh
nenek moyang.
7. Sambulugana merupakan salah satu dari sekian syarat adat dan menjadi
ornamen penting dalam Balia. Selain memang ditinjau dari sisi sejarah
selalu ada sebagai syarat adat Kaili. Sambulugana juga sesuai artinya
atau fisik manusia yang lengkap. Kapur sirih melambangkan urat nadi
bagian dekat kota Palu yang dianggap keramat yang diyakini sebagai salah
satu negeri gaib para leluhur. Hitam yang melambangkan unsur tanah,
merah melambangkan laut dan hijau sebagai lambang bulan dan bintang.
Selain itu, terselip makna bahwa beras-beras yang ditabur ini sebagai
yang datang dalam ritual, dan salah satu gerbang penghubung antara alam
Beberapa hal lainnya seperti alat dan perlengkapan ada pula yang tidak
mempunyai makna khusus secara spesifik namun merupakan bagian dari syarat
adat, sebab dalam perspektif sejarah sudah dari zaman nenek moyang
digunakan sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari adat. Selanjutnya selain
makna dari beberapa alat atau perlengkapan, terdapat pula makna dari proses
113
Yunida Nur, Sambulugana: Adat perkawinan Etnis Kaili di Palu Sulawesi Tengah,
(Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Tadulako, 2016), h. 42.
114
Wawancara Pribadi dengan Mangge Samanudi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
tanggal 03 Februari 2021.
90
satu pembersih tubuh peserta balia juga tuntunan dari Islam itu sendiri.
tameng agar tidak ada jin atau roh jahat yang masuk ke dalam tubuh.
Selain itu juga air wangi dianggap sebagai salah satu air obat yang dapat
menyembuhkan.
3. Nolili artinya memutari atau mengitari, dalam kegiatan Balia nolili adalah
sudah sah sebagai peserta balia, mereka sudah resmi masuk ke dalam ritual.
acara adat.
mampu menjadi penghubung antara alam dunia kita dan alam dunia gaib,
alam.115
menari dan kesurupan, hal ini diyakini merupakan keinginan dari para roh-
115
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
91
negatif akan terbawa hanyut bersamaan dengan air yang disiram tersebut.
pisang dan tebu maka akan menghilangkan sakit pada bagian-bagian tubuh.
Selain itu tertanam pula makna dari dipecahkannya kendi diatas kepala akan
diatas kepala.
dimana peserta Balia seperti yang disebutkan menari diatas bara api yang
menyala. Terselip pula makna bahwa menginjak api tersebut hingga padam
10. Njoro polama merupakan langkah akhir dari upacara adat Balia. Makna
yang terkandung ialah hal ini menjadi penyelesaian adat dan pemberian
92
berkah serta keselamatan. Dengan prosesi akhir dari ritual ini diharapkan
segala bentuk pengharapan dan doa perseta (si pesakit) serta keluarga akan
dijabah oleh Tuhan dan juga direstui dan dibantu oleh roh-roh nenek
Selain makna khusus yang telah dijabarkan diatas, terdapat pula makna
seperti ini memiliki nilai atau dampak yang positif bagi masyarakat sekitarnya
baik secara langsung maupun tak langsung juga tanpa melihat besar atau
kecilnya sebuah dampak tersebut. Masyarakat percaya bahwa ritual seperti ini
akan memberikan dampak atau hal positif bagi keluarga dan yang menjalankan
yang berdasarkan dalam simbol yang memiliki makna yang tegas dari
kelompok masyarakat itu sendiri, dalam hal ini masyarakat Kaili yang masih
memegang teguh sistem adat leluhur. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman dan
perilaku leluhur jauh sebelumnya. Perilaku ini kemudian menjadi sistem nilai
116
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 05
Februari 2021.
93
gagasan, pikiran, konsep, nilai dan norma terkait seperti apa seharusnya
dengan hal gaib. Dalam pelaksanaanya terdapat nilai sosial yang cukup tinggi
saling tolong menolong. Sikap saling bantu atau gotong royong ini terlihat
perlengkapan yang dibutuhkan. Selain itu juga, terdapat suatu nilai kehidupan
hubungan kekerabatan. sehingga kesenjangan sosial antara satu dan yang lain
penguatan juga support atau dukungan dari sisi psikologis dan kejiwaannya.
pemujaan terhadap dewa (seuatu yang memiliki kekuatan gaib) yang dalam
bahasa Kaili disebut karampua/pue dan juga roh leluhur (nenek moyang yang
117
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKIS, 2005). h. 13.
118
H. Sidik, Tradisi Balia, (Palu: IAIN Palu press, 2018) h.77.
94
biasa disebut anitu ataupun viata. Kepercayaan nenek moyang ini masih sangat
kental bahkan bertahan saat Islam sudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat
terus ada bahkan juga berkembang secara turun temurun sebagai salah satu
kekuatan gaib yang masih menguasai alam tersebut, disamping Tuhan sebagai
roh-roh nenek moyang dan dewa-dewa (leluhur). Dengan memuja dan menjaga
rejeki. Disamping itu hal ini akan menjauhkan dari marabahaya, mencegah
datangnya bala bencana, murka dan menjauhkan segala macam penyakit juga
Selain itu melestarikan budaya ini, akan menjadi tolak ukur bahwa mereka yang
melakukan adat berarti telah berbakti dan tidak durhaka terhadap leluhur. Hal
ini akan menjauhkan murka dari kekuatan gaib, sebab murkanya merupakan
sehingga bisa menjadi perantara bagi manusia dan Tuhan di masa sekarang.
suku Kaili. Hal ini dilakukan jika sebelumnya sudah dilakukan upaya medis
95
untuk penyakit yang diderita namun tidak ada kesembuhan atau perubahan yang
masyarakat Kaili percaya, beberapa penyakit berasal dari jin atau roh-roh jahat.
akan hilang (sembuh) melalui bantuan dan perantara kekuatan roh-roh baik
(leluhur). Selain itu juga di satu sisi Balia dimaknai sebagai bentuk silaturahmi
antara orang-orang yang masih hidup dimasa sekarang dengan leluhur dan
nenek moyang dimasa lalu yang sudah meninggal.119 Roh Mereka datang ke
Balia sebagai perantara dari kesembuhan yang diberikan Tuhan. Hal ini
kemudian bagi masyarakat Kaili akan mendatangkan rejeki, menolak bala atau
menjauhkan mara bahaya dan malapetaka. Balia juga menjadi hiburan yang
bernilai seni dan budaya yang dipertahankan turun temurun berkat wejangan-
119
Wawancara Pribadi dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pak Ansyar
Sutiadi, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal 19 Mei 2021
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
bahwa Masyarakat Kaili merupakan salah satu suku yang secara umum masih
memegang prinsip patuh dan tunduk pada tradisi-tradisi nenek moyang. Hal-hal
yang demikian menjadi nilai luhur, norma serta sakral untuk dilakukan sebagai
bentuk penghormatan sesama dan juga pada leluhur yang telah mendahului di
dilakukan turun temurun, mendarah daging membentuk tradisi yang sakral dan
keramat. Salah satu yang menjadi hal yang sakral tersebut ialah upacara Balia
Tampilangi ini. Balia ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat kaili juga
sebab rasa fanatik terhadap adat istiadat yang masih tinggi, juga faktor mereka
(Pue) seperti “Karampua Langi” atau Pue Langi (penguasa langit), roh atau
kekuatan gaib yang mengatur iklim, cuaca, bulan dan matahari, gerhana
matahari dan bulan, serta benda-benda langit lainnya. Selain itu, mereka juga
Penguasa bumi ini dipercaya dapat mengatur atau penyebab kehidupan yang
ada di bumi seperti gempa, banjir, angin ribut dan lain sebagainya. Ada juga
yang bersemayam dalam sebuah tempat seperti Pue Ntasi (penguasa laut), Pue
Nggayu (penguasa hutan). Masyarakat Kaili juga percaya adanya roh leluhur
yang bisa memberikan petunjuk juga keberkahan, roh ini dikenal dengan
96
97
sebutan Anitu. jika masuk kedalam tubuh manusia saat adanya ritual ia kadang
yang menjadi lorong gerbang kebudayaan menuju sejarah masa lampau yang
perantaranya. Tokoh purba ini adalah tokoh utama sejarah kemanusiaan di tanah
dan mendiami dunia Tengah. Alur kisah Sawerigading yang populer adalah
juga dipandang sebagai pembentuk tradisi kebudayaan yang salah satunya ialah
tradisi Balia.
anggota keluarganya atau lebih ada yang sakit, dan penyakitnya sudah tidak
etimologi “Balia” berasal dari bahasa Kaili “Nabali ia” artinya berubah ia.
Perubahan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang pelaku
balia telah dimasuki oleh roh halus sehingga segala bentuk perilaku, gerak
perbuatan hingga cara berbicara akan berubah mengikuti cara atau kebiasaan
roh leluhur yang masuk kedalam dirinya. Ritual ini dipimpin oleh seorang
Sando atau sekelompok perangkat Sando, juga pemain alat musik yaitu bule.
98
Dalam ritual ini terdapat alat musik Gimba, Gong, dan Lalove sebagai
instrumen musik yang mengiringi jalannya ritual. Dengan alat seperti Tombak,
Guma (parang Kaili), Kaliavo (Perisai) dan lain sebagainya. Serta kelengkapan
seperti Lolangi, pohon pisang dan tebu, Sambulugana, telur dan beras sebagai
syarat. Selain itu juga menggunakan media ayam sebagai korban dan media
persembahan.
(dimandikan), Nokangoa (duduk) & Nosove (di percikan air wangi), Nolili
Norma-norma ini mengandung nilai sosial gotong royong (nolulu) atau saling
kekerabatan dan kesetaraan, juga silaturahmi. Disamping itu, kegiatan ini juga
tunduk patuh serta tidak durhaka kepada mereka. Ketika mereka mulai lupa
pada adat dan budaya maka akan akan kesusahan yang menghampiri seperti
dari kebiasaan yang bernilai sakral yang kemudian menjadi budaya yang
pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang. Roh-roh nenek moyang (leluhur) ini
agar diberikan keberkahan dan kekuatan kepada mereka. Karena menurut orang
Kaili, budaya ini juga dimaknai sebagai bentuk silaturahmi selain kepada
sesama, juga kepada para roh-roh leluhur yang diyakini datang pada ritual dan
B. Saran
lebih dalam mengenai upacara Balia, bukan hanya Tampilangi tapi juga masih
Karena masih banyak hal-hal yang belum digali secara mendalam. Diantaranya
Jenis perbedaan dari masing masing upacara, langkah, tujuan serta berbagai
macam korban yang digunakan dalam budaya Suku Kaili. Dengan maksud agar
bentuk originalitasnya. Hal lain yang juga bisa diperdalam untuk dikaji ialah
bentuk Sinkretisme yang menurut penulis menjadi sebuah hal yang menarik
perhatian.
Oleh karena itu, ini menjadi tanggung jawab para intelektual untuk
Buku
Afia, Neng Darol, ed., Tradisi Dan Kepercayaan Lokal Pada Beberapa Suku Di
Ali, Mohammad, Datuk Karama dan Islamisasi Masyarakat Kaili di Lembah Palu,
Ali, Mukti, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),
Azra, Azyumardi, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan,
2002.
2015.
Darwis dkk, jejak wakil rakyat di tanah kaili, Yogyakarta: Tiara wacana, 2005.
Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan, Santri, Priyai dalam kebudayaan Jawa,
101
102
Utama, 1997.
Kruyt, Johannes, Kabar Keselamatan di Poso, Jakarta: BPK Gunung Mulia 1977.
Mahid, Syakir, Sejarah Sosial Sulawesi Tengah, Palu: PPs Lemlit Untad, 2009.
Mattulada, sejarah kebudayaan “To Kaili’, Palu: Tadulako university press 1990.
Depdikbud, 1997.
Nur, Yunida, Sambulugana: Adat perkawinan Etnis Kaili di Palu Sulawesi Tengah,
Tadulako, 2016.
Sulastri, dkk., Upacara adat Balia suku Kaili, Departemen pendidikan nasional
Syamsuri, Haliadi sadi, Sejarah Islam di Lembah Palu, Yogyakarta: Qmedia 2016.
Umar, Andi Fatmawati, Toraja Dulu dan Kini, Makassar: Pustaka Refleksi, 2003.
Yusuf, Muhammad Islam, 60 Tokoh Panutan Umat, Gorontalo: UNG Press, 2012.
Jurnal
Website
104
maret 2021
Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Guru Abdillah, Palu, Sulawesi Tengah, pada tanggal
05 Februari 2021
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Pak Edi, Palu, Sulawesi Tengah, pada
Februari 2021
Wawancara Pribadi dengan Peserta Balia Moza dan Anna, Palu, Sulawesi Tengah,
Wawancara Pribadi dengan Peserta Mangge Dance, Palu, Sulawesi Tengah, pada
Transkip Wawancara
Nama : Mangge Samanudi
Jabatan : Sando Balia
Tanggal : 03 Februari 2021
Pertanyaan : Menurut Mangge, apa yang dimaksud dengan Balia dan apa
maknanya?
Jawaban : Balia merupakan bentuk kesyukuran terhadap alam semesta, dan
sebagai saran atau media pengobatan terhadap suatu penyakit yang
tidak dapat diobati secara medis. Balia dilaksanakan sebagai
bentuk makna penghormatan pada leluhur yang sudah lama telah
dilupakan sehingga dilakukan balia dalam bentuk nyanyian untuk
menghibur leluhur yang diundang dengan syair novadi
Pertanyaan : Apa saja instrumen atau alat musik yang digunakan dalam
Upacara Balia, dan bagaimana penggunaannya?
Jawaban : Ada tiga alat musik yang berfungsi sebagai alat musik yang
menghasilkan bunyi-bunyian. Yang pertama itu Goo (gong), kedua
Gimba (Gendang), kemudian Lalove (yang berbentuk seperti
seruling). Tiga alat musik ini dimainkan oleh seorang dengan
sebutan bule (orang yang punya keahlian khusus dalam alat
musik), dengan ritme yang bermacam-macam. Ritmenya adalah
sarontaode, sarondaya, sarondaya naole, dan terakhir Kancara.
Semakin kesini maka artinya semakin kencang.
Pertanyaan : Apa itu Lolangi, apa saja isinya, dan apa makna yang terkandung
dalam lolangi?
Jawaban : Lolangi merupakan benda yang komposisinya merupakan
tumbuhan-tumbuhan. Tumbuhannya ialah 7 macam daun, yaitu:
Kayu bale (kayu ikan), Veluru (umbut sejenis lontar), Balaroa
(kayu waru), Kayu Taba, Kayu peliu, Siranindi (cucur bebek),
kadombuku, janur. Maknanya ialah sebagai tempat yang disenangi
oleh roh-roh yang datang dalam ritual, dan salah satu gerbang
penghubung antara alam dunia dan alam gaib.
Transkip Wawancara
Nama : Anna dan Moza
Jabatan : Peserta Balia
Tanggal : 06 Februari 2021
Pertanyaan : Menurut kalian apa itu Upacara Balia Tampilangi?
Jawaban : Yang saya tau Balia itu semacam ritual adat yang bisa
menyembuhkan orang sakit, seperti sakit penyakit medis ataupun
penyakit adat dalam bentuk gatal-gatal, bengkak-bengkak, haid
yang tidak berhenti-henti, penyakit kesurupan, kerasukan, penyakit
yang tidak dapat disembuhkan secara medis. Jadi semua
dikembalikan secara pengobatan adat atau tradisi
Pertanyaan : Apa yang kalian rasakan saat Upacara Balia Tampilangi mulai
dilakukan?
Jawaban : Saya mulai merasakan mual dan gemetar, Selain itu berdebar
berdegup kencang. Saya mulai merasa ada yang akan merasuki
saya utamanya saat novadi mulai dilakukan. Dan saat sudah
nontaro saya merasakan tubuh saya dikontrol oleh selain saya dan
saya tidak bisa berbuat apa-apa. Dan juga masih merasakan
makanan yang roh leluhur minta seperti telur ayam kampung
mentah dan merokok.
Transkip Wawancara
Nama : Mangge Dance
Jabatan : Kepala Dusun/Peserta Balia
Tanggal : 06 Februari 2021
Pertanyaan : Coba Mangge jelaskan seperti apa rasanya saat nontaro dan
nontaro ri apu dilakukan?
Jawaban : Pertama saya merasa tidak enak badan seperti pusing dan mual.
Setelah itu saya mulai tidak dapat mengontrol tubuh dan gerakan
yang saya lakukan namun tetap sadar dan melihat apa yang terjadi.
Setelah saya sadar kadang merasa malu sendiri karna hal itu.
Waktu nontaro ri apu (menari diatas bara api) juga saya tidak
merasakan panas dan sakit apa-apa di kaki.
Pertanyaan : Apa itu Petena, dan apa maknanya bagi Orang Kaili?
Jawaban : Bagi orang Kaili, petena ini merupakan syarat bertamu atau
berkonsultasi kepada guru atau sando, biasanya petena adalah
rokok yang biasa di konsumsi oleh sando. Makna petena ini
sebagai rasa terima kasih kepada guru kita atau sando.
Transkip Wawancara
Nama : Ridho
Jabatan : Warga Setempat
Tanggal : 09 Februari 2021
Pertanyaan : Menurut Komiu (Anda) apa itu Balia?
Jawaban : Kalau kita pake istilah secara bahasa, maka Balia ini berasal dari
bahasa Kaili “Nabali ia” artinya berubah ia. Perubahan yang
dimaksud disitu pengertiannya adalah ketika peserta balia sudah
dimasuki roh halus sehingga bentuk perilaku, gerak dan
kebiasaannya mengikuti roh yang masuk dalam tubuhnya.
Pertanyaan : Bagaimana makna Balia dalam pandangan orang Kaili toaka
(bang)?
Jawaban : Sederhananya itu, Balia dimaknai sebagai bentuk perlawanan
setan yang menyebabkan atau membawa penyakit, baik penyakit
berat ataupun ringan. Selain itu, ini juga bentuk silaturahmi kita
kepada leluhur dan nenek moyang sebagai bakti kepada mereka.
Balia juga menjelma menjadi sebuah budaya yang berusaha
dilestarikan dan dipelihara dari generasi ke generasi, menjadi
keyakinan emosi kepercayaan bahwa hal ini sejalan dengan
keinginan para leluhur jika ingin mendapatkan sebuah keberkahan,
kesuburan bagi tanah dan petani, menolak bala bencana, wabah
penyakit serta mengandung sisi hiburan kesenian juga silaturahmi
antar masyarakat sekitar.
Foto-foto Kegiatan
Prosesi melantunkan syair berbahasa Kaili Prosesi Nontaro, dimana para peserta
(Novadi) mulai menari dan kesurupan
Prosesi Nentambasi yang menjadi Korban seekor ayam bagi tiap-tiap peserta
persembahan bagi roh leluhur
Prosesi Nompaya menebang pohon pisang, Nontaro ri apu, yaitu peserta akan menari
tebu dan menghancurkan kendi diatas bara api
Wawancara dengan Mangge Samanudi
Wawancara dengan Bpk Ansyar Sutiadi Seperangkat Sando dan Bule yang
memimpin pelaksanaan Balia Tampilangi
Wawancara dengan Mangge Dance dan Kak Wawancara dengan Moza dan Anna peserta
Ridho Balia