Anda di halaman 1dari 16

TAFSIR FEMINIS

MAKALAH
Tafsir Feminis
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir Kontekstual

Dosen Pembimbing :
Hibbi Farihin, M.S.I

Disusun Oleh :

Baru Muhamad Yusuf


NIM: 283112305

Fakultas : Ushuludin Adab dan Dakwah


Jurusan : Ilmu Al Quran dan Tafsir
Semester : VI (Enam)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


(IAIN) TULUNGAGUNG
APRIL 2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT


yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan
para pengikut beliau yang telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan
mempertahankannya sampai akhir hayat dan kita berharap semoga diakui
umatnya dan tergolong orang-orang yang mendapat syafaat beliau min
yaumina hadza ila yaumil qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul TAFSIR FEMINIS dapat saya
selesaikan sesuai dengan waktu yang telah di tentukan .Oleh karena itu,
penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bpk Hibbi Farihin. Sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan
materi serta pengarahan sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2. Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan dapat
menjadi amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT
teriring doa:
Jazakumulloh khoirol jaza jazakumulloh ahsanal jaza.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak
kekhilafan dan kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Semoga
makalah ini dapat berguna, bermanfaat, barokah di dunia dan di akhirat
amin.
Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dinamika penafsiran Al Quran tidak pernah mengalami
kemandekan atau staknanisasi sejak awal mula Al Quran diturunkan
kepada Nabi Muhamad SAW. Berbagai corak penafsiran telah ditawarkan
oleh para Mufasir baik Mufasir klasik maupun para Mufasir modern guna
menguak sisi rahasia yang tersimpan dalam Al Quran, yang kita yakini
salah satu Mujizat terbesar Tuhan yang diberikan kepada Nabi Muhamad
guna memberi petunjuk kepada semua umat setelah Al Quran
diturunkan.[1] Bahkan penafsiran akan terus berkembang, akan terus
menjadi pembicaraan hangat ketika akal manusia masih ada. Artinya
pemahaman Al Quran akan terus berkembang, tidak lagi memakai
pemahaman masa klasik yang dianggap sudah tidak relevan terhadap
masalah modern yang begitu rumit, dan permasalahan atau keadaan
yang begitu berbanding terbalik dibandingkan masa dahulu. Ketidak
puasan terhadap prinsip, pendekatan dan hasil penafsiran merupakan
bukti atas hal tersebut.
Salah satu pemikir Islam Indonesia yang memiliki kesadaran
memberikan kenuansaan berbeda yang menganghat martabat
perempuan, karena merasa perempuan masih berada dibawah staf laki-
laki adalah Dr H. Abdul Mustaqim, M.A. beliau menafsirkan ayat-ayat Al
Quran yang bernuansakan perempuan dengan optik perempuan juga,
den metode ini menurutnya sangat objektif tatkala kita memahami ayat-
ayat yang bernuansakan perempuan. Apakah penahsiran beliau dapat kita
jadikan salah satu kajian yang menarik dalam era sekarang?, Untuk lebih
jelasnya, marilah kita lanjutkan pembahasan yang lebih mendalam pada
makalah yang sangat ringkas dibawah ini.

B. Rumusan Masalah

Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi meliputi:


1. Bagaimana biografi Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A?
2. Bagaimana Pemikiran Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A yang tercurahkan
dalam buku Tafsir Feminis?
3. Bagaimana gambaran buku tentang Tafsir Feminis?

C. Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan
memahami:
1. Biografi Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A
2. Pemikiran Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A yang tercurahkan dalam buku Tafsir
Feminis
3. Gambaran buku tentang Tafsir Feminis

BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Dr. H Abdul Mustaqim, M.A
Nama lengkap Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A, ia lahir di Desa
panggungrejo, Bayan, Purworejo pada tanggal 4 Desember 1972 dari
pasangan H. Moh Bardan dan Hj. Soewarti, yang mana keduanya seorang
petani dan guru ngaji di Desa. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang
religius. Setelah menyelasaikan pendidikan MTs Al Islam Jono Bayan
Purworejo (1989-1991), ia kemudian melanjutkan kemadrasah aliyah Ali
Maksum PP Al Munawir Krapyak Yogjakarta. Disana ia mengambil jurusan
Agama, di situ ia ngangsu kaweruh dengan beberaa kyai di Krapyak,
seperti KH Ali Maksum (Ahli Fiqih, Tafsir), KH. Warson Munawir (Ahli
Bahasa), KH. Zainal Abidin (Ahli Tasawuf), KH. Hasbulloh (Ahli Tafsir), KH.
Humam Bajuri (Ahli Ushul Fiqh) dll, Rahimahumulloh. Kemudian setelah
menyelesaikan studi di tingkat Aliyah, ia melanjutkan di IAIN Sunan
Kalijogo dengan jurusan Ushuludin dan fakultas Tafsir Hadits. Setelah
berhasil menyelelesaikan studi di jenjang S1 dengan predikat Cumlude, ia
ia melanjutkan S2 untuk mengambil progam studi Filsafat Islam di
pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1998, ia menikah dengan seorang gadis pujaanya,
yang disaat itu si cewek sebagai Mahasiswanya atau santrinya sendiri
yakni Jujuk Najibah Ardianingsih S.Psi dari daerah Probolinggo Jawa Timur.
Dan sampai saat ini mereka dikaruniai empat orang anak (Muhamad Zakir
Hikam, Muhamad Baston Abqori, Atiya Hilwa, dan Nabil Mammada). Dan
setahun sebelum mereka menikah, sejak tahun 1997 Abdul Mustakim
diangkat menjadi dosen tetap di fakultas Ushuludin IAIN Sunan Kalijogo
untuk mata kuliah Al Quran dan Tafsir. Pada tahun 2007, ia mendapatkan
gelar Doktor dalam bidang Tafsir, setelah pulang dari Short Course di
Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), dan dari Mesir (Arab Academy) ia
diberi amanah untuk menjadi sekretaris Progam Studi Agama dan Filsafat
di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga.[2]
Selain sibuk dengan mengajar sebagai dosen di Fakultas
Ushuludin di IAIN Sunan Kalijaga, menulis di Jurnal berbagai Ilmiah dan
dakwah di Masyarakat, ia juga mengajar Mahad Ali PP Krapyak, STIQ PP
An Nur Ngrukem Bantul, PP. Al Muhsin Krapyak Wetan Yogjakarta. Serta
mendirikan lembaga bernama LSQ (Lingkaran Studi Al Quran) di rumah
untuk kajian Al Quran dan studi Islam.
Disisi kesibukannya itu, ia masih sempat menulis banyak karya
ilmiah yang telah banyak diterbitkan antara lain:
1. Ibadah-ibadah yang paling mudah, (Yogjakarta: Mitra Pustaka, 2000).
2. Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadits Nabi pendekatan sosio-Historis,
(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
3. Tantangan Generasi dan Tugas Muda Islam, (Yogjakarta: Tiara Wacana,
2002).
4. Menejemen Qalbu: resep sufi menghentikan kemaksiatan, (Yogjakarta:
Mitra Pustaka, 2002).
5. Studi Al Quran Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metode Tafsir,
(Yogjakarta: Tiara Wacana, 2002).
6. Aliran-Aliran Tafsir:peta penafsiran Al Quran dari klasik hingga
modern,(Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2006).
7. Ahlaq Taawuf: jalan menuju revolusi spiritual, (Yogjakarta: Kreasi
Wacana, 2006), dll

B. Pemikiran Dr. Abdul Mustaqim Dalam Buku Paradigma Tafsir


Feminis
Sebelum kita membahas tentang pemikiran beliau yang
tercurahkan dalam karyanya, mari terlebih dahulu kita memahami latar
belakang dari beliau mengapa ia menulis buku ini.
Karena melihat sejarah yang pernah ada dalam kehidupan
manusia, dimana tercatat bahwa perempuan pernah dinomor duakan oleh
kaum laki-laki, dan setelah itu Islam datang untuk menghapus semua
perilaku jahiliyah yang dianggap tidak berkelakuan selayaknya
memberikan penghormatan terhadap kaum perempuan, dengan dasar
dari
" selain itu, dalam surat Al Ahzab ayat 33:




Dan sebetulnya masih banyak ayat Al Quran yang menyetarakan
kesaman antara laki-laki dan perempuan dihadapan Allah SWT QS Al
Hujurat: 3, QS Al Baqoroh 187, QS An Nisa 124, Qs Ali Imran 195, dll.
Namun pada realitanya setelah Islam muncul sebagai agama yang
memberi solusi terhadap adat jahiliyah masih dinalia belum mempunyai
tren kesadaran yang dimiliki oleh para pemeluk Agama Islam khususnya
oleh para Mufasir dalam menyikapi bagaimana kita bisa menyetarakan
antara derajat laki-laki dan perempuan. Bahkan Mufasir klasik masih
cenderung memahami atau menafsirkan ayat Al Quran secara tekstual.
Karena milihat negara Indonesia adalah negara yang mayoritas
penduduknya memeluk Agama Islam, sudah menjadi barang tentu bahwa
seharusnya penindasan terhadap wanita harus dihapuskan. Namun
ironisnya, masih banyak banyak perempuan yang dianiaya, di lecehkan
dan sampai saat ini perempuan masih dianggap berada dibawah derajat
oleh laki-laki. Padahal, jikalau orang Muslim memahami ayat Al Quran
dengan benar, pasti hal ini tidak akan pernah terjadi.
Dan kemungkinan hal-hal yang menjadikan penyebab dari
adanya diskriminasi terhadap perempuan ada empat faktor: budaya
patriarki, politik, ekonomi dan faktor interpretasi teks Agama yang bias
gender. Dan sampai detik ini, kita memungkiri atau tidak, bahwa
mayoritas atau bahkan keseluruhan dari Mufasir, mulai dari klasik sampai
modern adalah dimonopoli oleh laki-laki, dan ini sangat berpengaruh
besar terhadap apa yang dihasilkandalam sebuah interpretasi. Oleh sebab
itu, perlu ada dekontruksi penafsiran dari kacamata perempuan, agar
dapat menambah wawasan keilmuan dalam Agama Islam.
Maka dari itu, muncul beberapa corak tafsir feminis yang
diusung seperti pemikiran Riffat Hasan, Amina Wadud, Fatima Mernisi,
Ashghar Ali Enginer. Mereka muncul karena ingin mengangkat derajat
Agama Islam dihadapan Agama lain. Sehingga penulis mencurahkan
pemikirannya untuk umat Islam yang ada di Indonesia khususnya, agar
memahami konsep kesetaraan gender yang ada dalam Al Quran.
Walaupun nanti konsekuensinya banyak dari kalangan kiyai ataupun
ulama yang kurang setuju dengan pendapat yang tertera dalam buku ini.
Namun, penulis merasa bahwa karya seperti ini adalah karya kritis dan
perlu dikaji secara mendalam agar lebih menghasilkan pemahaman yang
utuh.

Pemikiran Dr. Abdul Mustaqim Dalam Buku Paradigma Tafsir


Feminis
Dalam buku ini, beliau membagi beberapa bab agar lebih mudah
memetakan pembahasan, diantaranya:

1. Prolog: Paradigma Tafsir Feminismembaca Al Quran dengan


optik perempuan
Dalam bab ini, penulis mengawali dengan pendahuluan,
mengapa karya ditulis, seperti apa yang saya utarakan dalam latar
belakang penulisan buku ini.
2. Pergeseran paradigma tafsir: sebuah keniscayaan
Dengan melihat karya-karya ulama terdahulu yang bisa dikatakan
lebih dimonopoli oleh kaum laki-laki, maka hal itu akan dianggap sebuah
pola penafsiran yang mendiskriminasi kaum perempuan. Karena melihat
pesan moral dari Al Quran adalah Adalah, (keadilan), al Musawa
(kesetaraan), al maruf (kepantasan) dll. Sehingga sebuah kewajaran jika
sebuah pergeseran paradigma (Taghayur Manhaj Al Fikr) dari corak
penafsiran klasik menuju penafsiran yang lebih bisa menjawab
permasalahan kontemporer. Dan salah satu dari permasalahan tersebut
adalah Gender. Walaupun secara normatif kebenaran Al Quran bersifat
mutlak, namun jika sudah jatuh ditangan Mufasir hal ini tidak bisa menjadi
sebuah pertanggung jawaban atas kebenaran tersebut. Karena banyak
kita lihat bahwa hasil penafsiran klasik yang dipengaruhi oleh faktor
ekstern.
Al Quran diyakini mengandung banyak kemungkinan penafsiran,
sehingga tafsir itu sebetulnya tidak tunggal, melainkan plural. Tidaklah

berlebihan jika Muhamad Arkound sering mengatakan:

" , walaupun ini bukan


pernyataan dari Nabi, melainkan dari pernyataan Ibnu Abbas yang
diriwayatkan oleh Abu Darda,[3] namun paling tidak hal itu akan
menyadarkan kita bahwa interpretasi Al Quran itu sangat luas.
Pernyataan itu semakin kuat meyakinkan bahwa Al Quran memang

"( " mengandung banyak kemungkinan makna),


sehingga membatasi penafsiran ayat dengan satu pengertian, atau satu
model paradigma saja merupakan bentuk reduksi dan distorsi terhadap
keluasan kandungan interpretasi Al Quran itu sendiri.[4]
Maka dari itu, penafsiran terhadap ayat-ayat relasi gender yang
sangat tekstual harus dirubah menjadi lebih kontekstual yang sejalan
dengan nilai-nilai ideal moral Al Quran. Contoh populer ayat relasi gender
adalah ayat tentang kepemimpinan perempuan, waris, persaksian, dll.
Penafsiran ayat tersebut bisa dikontekstualisasikan sesuai dengan nilai
etik Al Quran. Bagi Abdul Mustaqim sendiri, kategori ayat Qoti ataupun
Dzanni semua bersifat Dzanni dan relatif, karena selama itu semua adalah
hasil dari pemikiran ulama adalah dzanni.
Misalkan saja dalam masalah waris, laki-laki mendapat dua bagian
perempuan, padahal situasi dan kondisinya jelas sangat berbeda dengan
awal mula Al Quran diturunkan. Jika pada masa kahiliyah dulu wanita
tidak mendapat warisan sama sekali bahkan malah menjadi harta yang
diwariskan. Maka Islam datang untuk menghapus itu, Dengan memberi
bagian separoh dari laki-laki. Namun jika kita sepakat bahwa Islam adalah
Agama pengayom dari seluruh umat, maka bisa jadi ada perubahan
bahwa wanita sama bagiannya dengan laki-laki. Hal ini bisa dibenarkan,
mengingat dahulu wanita hanya duduk di rumah, dan ekonomi mereka
ditanggung oleh laki-laki, namun hal itu tidak berlaku di era sekarang, Kita
banyak menjumpai wanita yang lebih lihai dalam urusan mencari ekonomi
untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Jadi jika kita memahami mengapa
laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan karena dari sisi sosiologis
dan historis mereka sebagai tulang punggung keluarga, maka pembagian
warisan itu dapat berubah.
3. Penyebab bias-bias patriarkhi dalam tafsir
Menurut Abdul Mustaqim, adabeberapa faktor penyebab terjadinya
bias patriarkhi: Pertama, faktor internal Al Quran, karena Tuhan
munurunkan Al Quran dilam bahasa Arab, dan syarat dengan budaya
bahasa arab yang terjadi saat itu, maka maniscayakan sebuah gender
didalamnya. Contoh, sudah menjadi adat Arab bahwa dhamir antum,
maka perempuan sudah masuk didalamnya, lain halnya dengan Antunna,
yang mana laki-laki belum masuk didalamnya. Maka jika kita memahami
secara tekstual, ayat-ayat tersebut akan menguntungkan laki-laki, namun
perlu diingan bahwa ayat itu disamping mempunyai makna, ia juga
mempunyai signifikansi. Kedua faktor metodologi penafsiran, hal ini
sangat menentukan produk penafsiran. Jadi dalam hal ini, kita harus
melakukan pendekatan terhadap kontekstual sebuah ayat. Karena ide
atau gagasan itu debungkus dengan bahasa, sedangkan bahasa memiliki
keterbatasan. Atau dengan kata lain, ide atau gagasan Tuhan lebih luas
dibandung bahasa yang membungkus ide tersebut.
4. Rekontruksi Metodologi Tafsir Menuju Keadilan Gender
Dengan maraknya isu Gender yang dikumandangkan oleh aktivis
pembela kaum perempuan, maka soal rekontruksi penafsiran menjadi
keniscayaan. Berawal dari gagasan Amina Wadud yang menawarkan tafsir
holistik, yakni penafsiran dengan mempertimbangkan dari berbagai
persoalan sosial, moral, politik bahkan termasuk isu-isu perempuan yang
muncul di era modernis. Dengan metode holistik ini, maka ayat-ayat yang
secara tekstual bias Gender, seperti ayat waris, persaksian, dll dapat
dinilai lebih bisa bersifat kontekstual.
Misalnya dalam urusan waris, pada dasarnya pesan dari teks
adalah sisi keadilan, bukan satu atau duanya. Karena pada saat itu
pembagian satu banding dua dililai sudah adil, karena sebelum Islam
datang perempuan tidak mendapat bagian apa-apa. Misalkan lagi dalam
urusan persaksian, mengapa dalam teks persaksian dua perempuan sama
dengan persaksian satu laki-laki?, kalau diruntut asbabun Nuzul dari ayat
ini, bahwa ayat ini turut tatkala dalam urusan perniagaan, yang mana
saat itu masih sedikit perempuan yang berkecimpung dalam urusan
perniagaan, dan lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Sehingga
dapat diasumsikan, bahwa persaksian perempuan kurang valid, oleh
karenanya diperluakan teman lain untuk menyaksikannya. Dan jika
sekarang sudah banyak kaum perempuan yang berkecimpung dalam
urusan perniagaan, maka seharusnya perempuan disejajarkan dengan
laki-laki, dalam urusan persaksian.
Kerena sifat Al Quran yang dipakai oleh Abdul Mustaqim adalah
Shalihun likulli zaman wa makan, maka, mau tidak mau ia harus di
pahami seiring berkembangnya zaman itu sendiri, sebagaimana pendapat
Arkoun bahwa sebetulnya Masyarakat lebih suka mengonsumsi teks Al
Quran dibandingkan dengan pesan moral dari Al Quran itu sendiri.[5]
5. Perlu Hermeneutik dalam mengkaji Al Quran
Kontekstualisasi metode ini, lebih rumit dari pada metode klasik
yang dipakai oleh ulama klasik seperti, nahwu sharaf, balagoh, ushul fiqh
dll, dalam model hermeneutik selain ilmu-ilmu itu, diperlukan ilmu-ilmu
lain seperti: sosiologis, antropologi, filsafat, gender , HAM, dll. Karena
kritik yang dilontarkan oleh kaum feminis bahwa, tafsir dahulu dinilai
kurang objektik. Kerena susengguhnya penafsiran itu tidak hanya
mereproduksi makna teks, tetapi juga harus memproduksi makna teks.
Hal ini diusung oleh Abdul Mustaqim dari teori Gadamer, karena ia
mengatakan bahwa kita tidak mungkin membaca teks tanpa ada
prasangka, dan kita tidak mungkin memahami teks tanpa ada
penambahan atau pengurangan pemanahan makna didalamnya. Oleh
sebab itu, wajar jika satu teks tatkala dibaca oleh banyak pembaca akan
menghasilkan banyak penafsiran atau pemahaman pula.
6. Klasifikasi Produk Tafsir
Dalam buku ini, ia mengklasifikasikan tafsir menjadi tiga model:
Tafsir tradisional, yakni model penafsiran yang menggunakan pokok
bahasan tertentu sesuai minat dan kemampuan penafsirnya. Tafsir seperti
ini terkesan ekslusif, dan mayoritas oleh ditulis laki-laki maka tidak heran
jika hanya dimonopoli pendapat sosiologis mufasir laki-laki.
Tafsir reaktif, yakni tafsir yang dihasilkan dari reaksi pemahaman klasik
yang dinilai kurang bisa menjawab permasalahan saat itu, seperti
masalah perempuan. Walaupun terkesan pembahasan, namun tidak
terlalu mengikat dengan sumber ideologi dan teologi.
Tafsir holistik, tafsir yang menggunakan seluruh model penafsiran, dari
masalah klasik atau pedoman mufasir klasik sampai metode modern. Jadi
jangan sampai penafsiran trjebak dalam teks, namun harus
mengedepankan pesan moral didalamnya. Karena teks selamanya akan
tetap atau abadi, dan konteks akan selalu berubah-ubah.
7. Aplikasi penafsiran dalam ayat-ayat relasi Gender
Relasi kesetaraan laki-laki dan perempuan
Menurut Abdul Mustaqim, kesetaraan laki-laki dan perempuan berakar
pada ayat:



(1: (

(21: (
Dalam paradigma tafsir feminis, ayat tersebut menceritakan kisah awal penciptan
manusia (laki-laki dan perempuan), menurut mayoritas Mufasir bahwa nafsin wahidin, yakni
Nabi Adam, demikian pula dengan kata Zauj, sesungguhnya bersifat netral karena secara
konseptual kebahasaan tidak menunjukan muanats, namaun mengapa para mufasir klasik
menafsirkannya dengan kata istrinya? hal ini, karena para ulama klasik memakai Hadits
sebagai penopang bahwa yang dimasud nafs adalah Adam, berarti secara akal Istrinya lah
yang dimagsud dalam kata Zauj. Selain dari pada itu, kabar yang terlanjur menggelinding
dalam benak masyarakat bahwa proses awal penurunan Adam dan Hawa adalah karena
kesalahan Hawa karena godaan syetan, padahal kalau kita jeli membaca Ayat disana tegas
bahwa yang membuat kesalahan adalah mereka berdua, namun para mufasir klasik cenderung
menafsirkan bahwa Hawa lah yang melakukan kesalahan.[6]
Selain itu, dalam surat An Nisa: 1 jelas, Allah memberi keistimewaan terhadap
para perempuan, karena dengan jelas kita disuruh untuk menghormati mereka, bukan
dinomorduakan setelah laki-laki.
Konsep Nusyus: Gangguan keharmonisan rumah tangga
Biasanya, tatkala membicarakan nusyus, para Mufasir akan merujuk pada QS An
Nisa: 34






secara umum, ayat tersebut adalah legitimasi kepemimpinan laki-laki atas
perempuan, bahkan jika perempuan membangkang, seakan-akan disuruh untuk memukul
perempuan. Inilah dampak dari penafsiran yang kurang objektif, padahal, jika kita mau
membaca ayat lain, QS An Nisa ayat: 19[7], dan 128[8], maka kejadian pemukulan akan
tidak pernah terjadi. Bahkan dalam surat An Nisa 128, memberi solusi paling jitu, bahwa
tatkala ada masalah dengan pasangan, kita hendak untuk berdamai, dan konsep ini juga
senada dengan konsep musyawarah yang ada dalam ayat lain.
Kemudian, berkaitan dengan kata Wadribuhunna, disini Abdul Mustaqim
menjelaskan bahwa kata dharaba adalah salah satu kata yang mempunyai arti banyak (Dzu
wujuh), ia memberi solusi bahwa kata ini lebis cocok dimaknai aradha anhu wa sharafa
(berpalinglah dang meninggalkan untuk pergi), atau manaa anhu watasaruf bi malihi
(mencegahnya untuk tidak memberikan harta kepadanya).[9] Jadi, jika kita memahami ayat
tersebut dengan model seperti ini insyaAllah kekerasan dalam keluarga tidak akan terjadi.
Pembagain Warisan dan Saksi
Seperti pemahaman lama, bahwa laki-laki mempunyai bagian dua adr perempuan,
bahkan dalam urusan persaksian masih juga laki-laki mempunyai andil lebih banyak
dibanding perempuan. QS An Nisa[10] 11, QS Al Baqoroh 282[11], nampaknya konsep
ini sudah tidak sejalan lagi dengan permasalahan sekarang. Terinspirasi dari pendapatnya
Amina Wadud, Abdul Mustaqim memberi solusi bahwa konsep dasar dari pembagian harta
waris adalah keadilan, baik kelamin laki-laki maupun perempuan tidak mengikat dalam hal
ini. Karena melihat awal mula turun ayat ini.
Lalu, bagaimana dengan masalah persaksian, yang dalam teks ayat menyatakan
bahwa persaksian laki-laki satu, sama dengan persaksian dua perempuan?, nampaknya tatkala
ini dihadapkan dengan permasalahan sekarang, kita harus melihat ulang proses awal turun
dari ayat ini, jadi tatkala itu, masih banyak laki-laki yang berkecimpung dalam urusan
perniagaan, selain itu saat itu perempuan sangat mudah dipaksa. Jadi jika kondisi sosiologis
seperti itu sekarang sudah tidak ada lagi, dan sudah banyak perempuan yang bergelut dalam
bisnis maka bisa saja persaksian perempuan sama dengan laki-laki. Karena menitik beratkan
pada kredibilitas dan kapabilitas pada saat diserahi menjadi saksi.
8. Prinsip pengembangan Tafsir Feminis
Menurut Abdul Mustaqim, dengan beberapa gagasan yang ditawarkan diatas, ia
memberi rambu-rambu bahwa agar terhindar dari penafsiran yang liar, maka
pengembangan tafsir Feminis harus menjaga prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Menjaga hal-hal yang substantif dan konstan ihtiram al Tsabit, yang menjadi kesepakatan
yang secara rasional antara academic comunity of interpreters, sehingga akan menghasilkan
tafsir yang otoritatif dan tetep mencerminkan pandangan pluralistik, bukan pandangan
monolitik.
b. Untuk menghindari pemaksaan gagasan ekstra Qurani, maka Al Quran jangan diposisika
sebagai justifikasi gender, melainkan cukup mendalami pesan moral sebagai teori
pengembangan sosial, karena Al Quran bukan menjustifikasi masalah satu gender saja,
malainkan kitab hidayah.
c. Perlu pengembangan nalar kritis, terhadap karya-karya tafsir klasik.
d. Tidak boleh menyalahkan kajian tafsir klasik, karena memang yang namanya kajian akan
terus berkembang, bisa saja tafsir klasik sudah sangat luar biasa tatkala waktu itu, dan belum
tentu tafsir feminis juga bisa menjawab permasalahan duaratus tahun akan datang. Hal ini
menunjukkan bahwa kajian Al Quran sangat luas, tergantung siapa yang memahami
didalamnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nama lengkap Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A, ia lahir di Desa
panggungrejo, Bayan, Purworejo pada tanggal 4 Desember 1972 dari
pasangan H. Moh Bardan dan Hj. Soewarti, yang mana keduanya seorang
petani dan guru ngaji di Desa. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang
religius. Setelah menyelasaikan pendidikan MTs Al Islam Jono Bayan
Purworejo (1989-1991), ia kemudian melanjutkan kemadrasah aliyah Ali
Maksum PP Al Munawir Krapyak Yogjakarta. Disana ia mengambil jurusan
Agama, di situ ia ngangsu kaweruh dengan beberaa kyai di Krapyak,
seperti KH Ali Maksum (Ahli Fiqih, Tafsir), KH. Warson Munawir (Ahli
Bahasa), KH. Zainal Abidin (Ahli Tasawuf), KH. Hasbulloh (Ahli Tafsir), KH.
Humam Bajuri (Ahli Ushul Fiqh) dll, Rahimahumulloh. Kemudian setelah
menyelesaikan studi di tingkat Aliyah, ia melanjutkan di IAIN Sunan
Kalijogo dengan jurusan Ushuludin dan fakultas Tafsir Hadits. Setelah
berhasil menyelelesaikan studi di jenjang S1 dengan predikat Cumlude, ia
ia melanjutkan S2 untuk mengambil progam studi Filsafat Islam di
pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga.
Konsep yang ditawarkan Abdul Mustaqim sebetulnya bukan
masalah baru dalam hajian Islam, sudah banyak tokoh sebelumnya yang
membahas hal ini. Namun, pembahasan itu masih terwacana dalam
negara-negara maju saja. Dan Indonesia yang notabennya negara Islam
terbesar di dunia kurang bisa menjalankan pesan moral yang digagas oleh
Al Quran, karena masih menganggap wanita di bawah laki-laki. Dengan
memunculkan karya seperti ini, Abdul Mustaqim berharap bahwa kajian
Islam tentang kekinian bisa menjadi tren pemikiran positif bagi kaum
Islam khususnya yang berada di Indonesia.
][1 baca: M Husain al Dzahabi, Al Tafsir wa al Mufasirun, (Beirut: dar al kutub al
)hafitzah, 1961
)[2] Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogjakarta: Logung Pustaka, tt
[3] Pernyataan atau Hadits ini diambil oleh Abdul Mustaqim dari Muhamad Husain Ad
Dzahabi, Al Tafsir wa Al Mufasirun, jilid 2, hlm. 354
[4] Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogjakarta: Logung Pustaka, tt), hlm. 19
[5] Pernyataan ini, oleh Abdul Mustaqim diambil dari, Muhamad Arkoun, Rethinking Islam,
terj Yudian Wasmin, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm 65
[6] Baca: QS Al Araf ayat: 19
] [7

] [8


[9] Pemahaman seperti ini oleh Abdu Mustaqim diambil dari: Louis Maluf, Al Munjit fi
Lughah Al Arabiyah, (Beirut:tt), hlm. 436
] [10



] [11

Anda mungkin juga menyukai