Anda di halaman 1dari 36

Dr. Munawar Rahmat, M.Pd.

PP
Editor:
Dr. Fahrudin, M.Ag

Mengkaji Ontologi Akhlak Mulia


dengan Epistimologi Qurani

Pengantar Buku:
Prof. Dr. H. Karim Suryadi, M.Si.
(Dekan FPIPS UPI)

Diterbitkan oleh Celtics Press


bekerja sama dengan
Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Rahmat, Munawar
FILSAFAT AKHLAK
Oleh Munawar Rahmat
Editor: Fahrudin
Bandung: Celtics Press & Prodi IPAI UPI, 2016
viii + 261 hlm; 25,7 cm
ISBN 978-602-7889-15-6 (Celtics Press, 2013)
Cetakan I, 19 Oktober 2012
Edisi Revisi: 19 Oktober 2016
Dilarang memproduksi buku ini dalam bentuk apa pun
tanpa izin tertulis dari penulis atau penerbit
Email: munawarrahmat.pai@upi.edu
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
All rights reserved

Gambar sampul depan QS. 2/Al-Baqarah ayat 216, artinya:


Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal
ia amat buruk bagimu. Allâh Mengetahui (yang baik
dan yang buruk) sedang kamu tidak mengetahui.

Buku ini sah jika ada tanda tangan asli penulis warna biru
Scan Tanda Tangan Tanda Tangan asli

Diterbitkan oleh Celtics Press


bekerja sama dengan
Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
PENGANTAR PENULIS
(Edisi Revisi)

Alhamdulillah, revisi buku FILSAFAT AKHLAK – Mengkaji Ontologi Akhlak


Mulia dengan Epistimologi Qurani, telah bisa dihadirkan di hadapan para pembaca yang
budiman. Buku ini diangkat dari penelitian dan pengalaman penulis sebagai dosen dalam
berdiskusi dengan teman-teman dosen, dengan mahasiswa S2 Program Studi Pendidikan
Agama Islam dan Pendidikan Umum/Nilai Sekolah Pascasarjana UPI, dengan mahasiswa
S1 Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam UPI dan mahasiswa UPI pada
umumnya, juga dengan warga Syaththariah dan para pengamal tasawuf-akhlaqi pada
umumnya. Masalah utama yang didiskusikan dalam buku edisi revisi ini tetap sama
dengan edisi pertama. Bedanya dalam edisi revisi ini, pada setiap akhir bab ada renungan
dan kesimpulan. Renungan terutama berisi kisah yang berkaitan dengan tema bab. Mohon
ayat-ayat al-Quran dalam buku ini dibaca dengan sebaik-baiknya (jangan dibaca selewat),
direnungkan maknanya, dan diusahakan untuk dijadikan sikap dan tindakan.
Kepada rekan-rekan dosen dan pengamal tasawuf-akhlaqi yang telah memberikan
kritik membangun kepada buku ini diucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang khusus ditujukan kepada Bapak Dr. Fahrudin,
M.Ag. yang telah bersedia mengedit buku ini sehingga isi dan uraiannya sebagaimana
dalam buku edisi revisi ini. Jazâkumullâhu khoeron katsîron.
Kepada istri tercinta, Dra. Siti Rokhyati, dan putera-putri tersayang: Fansuri
Munawar, SE, MM (yang kebetulan berulang tahun yang ke-34, semoga kuliah S3-nya
segera selesai), Ghifari Munawar, S.Kom, MT (semoga meningkatkan karirnya sebagai
dosen/peneliti IT), Raniri Munawar, S.Par. (semoga rencana kuliah S2-nya segera
terwujud), Muhammad Nadzeri Munawar, S.IT (semoga meningkatkan karirnya sebagai
programer IT), dan Fethima Sabardila Munawar (yang sedang giat-giatnya belajar karena
ingin diterima di SMA bereputasi, semoga berhasil, tapi santai saja), juga mantu (Ully
Rahmawati dan Dewi Fatimah Ritensih), ketiga cucu (Abdul Majid Alfaiz, Dzulhanif
Abdurrahman, dan Dzulfaqih Abdurrahman), dan ponakan yang dirasakan sebagai anak-
anak, semoga semuanya (kita semua) selalu merasa memiliki jiwa alfaqir (merasa paling
banyak dosa dan salahnya, sehingga selalu bertaubat; merasa paling jelek, bahkan
dibanding dengan manusia yang paling kafir, sehingga selalu bersungguh-sungguh
bermujahadah). Mudah-mudahan selalu memperoleh berberan, shawab, berkah dan
pangestunya Al-Hadi yang selalu berada di tengah-tengah umat. Âmîn yâ Robb.
Billâhi fī sabilil haq.
Bandung, 19 Oktober 2016
Penulis,

Dr. Munawar Rahmat, M.Pd.

i
PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillah, buku FILSAFAT AKHLAK telah bisa dihadirkan di hadapan para


pembaca yang budiman. Buku ini diangkat dari penelitian dan pengalaman penulis
sebagai dosen dalam berdiskusi dengan teman-teman dosen, dengan mahasiswa S2 Prodi
PAI dan PU/Nilai Sekolah Pascasarjana UPI, dengan mahasiswa S1 Prodi Ilmu PAI dan
mahasiswa UPI peserta kuliah PAI & Seminar PAI, juga dengan para pengamal tasawuf.
Masalah utama yang sering didiskusikan menyangkut hal-hal berikut:
o Apa makna sabda Nabi “Aku diutus untuk ‘menyempurnakan’ akhlak mulia?” Apa
ciri-ciri akhlak mulia itu?
o Bagaimanakah cara mengetahui bahwa suatu perbuatan itu baik atau buruk?
o Bagaimanakah akhlak mulia dalam beribadah dan bertakwa?
o Bagaimanakah menyikapi ujian hidup berupa susah dan senang?
o Bagaimanakah profil Insân Kâmil sebagai hambaNya yang telah mencapai
kesempurnaan akhlak mulia?
o Apa saja karakter-karakter ‘inti’ sufistik untuk mencapai martabat Insân Kâmil?
o Manakah yang lebih mulia, menegakkan keadilan atau berbuat ihsan?
o Bagaimanakah membangun syare`at Islam dengan akhlak mulia?
Buku ini berusaha menguraikan ontologi akhlak mulia dengan fokus utamanya
mengantarkan hamba-hamba Allah untuk mencapai martabat Insân Kâmil. Kemudian
secara epistimologis, buku ini mengkaji akhlak mulia berdasarkan Al-Quran dengan
pendekatan maudhu`i, terutama metode tematiknya Al-Qarafi. Kelebihan metode ini,
untuk memahani makna sebuah term (misal term îmân) dalam Al-Quran harus meneliti
seluruh term yang sama dengan segala derivatnya (îmân, yu`minu, âmanu, dan
seterusnya) dari seluruh ayat Al-Quran; juga harus meneliti pula lawan katanya, yakni
kâfir, musyrik, munâfiq, fâsiq, dan dzâlim (dengan segala derivatnya: kâfir, kufur,
takfurûn; musyrik, syirkun; munâfiq, nifâq; fâsiq, fusûq; dan seterusnya). Perlu diingat,
Al-Quran ini terdiri dari 6.236 ayat. Dengan menggunakan metode tematik maka makna-
makna setiap term (terutama term-term ‘inti’) akan lebih mudah dan lebih cepat
dipahami. Saya kira metode tematik ini mutlak diperlukan, terlebih-lebih lagi bagi para
peneliti pemula.
Perlu diketahui, bahasa Al-Quran (bahasa Arab) adalah bahasa yang sudah
‘sempurna’, sudah ‘baku’. Oleh karena itu menurut Al-Qarafi ada 3 standar untuk
menafsirkan term yang dipakai dalam Al-Quran, yakni: (1) sesuai dengan pengertian
bahasa dari tradisi masyarakat zaman Nabi Saw (konteks sosio-kultural); (2) sesuai
semantik bahasa (wadh`i, yakni sesuai arah dan tujuan yang dikandung); dan (3) upaya
menemukan arti yang diyakini sesuai dengan Kehendak Tuhan.

ii
Selain itu buku ini pun menggunakan metode Tafsir Wasithah. Setiap tarekat
dipimpin oleh Guru Mursyid. Adapun Tarekat atau Sufisme Syaththariah dipimpin oleh
Guru Wasithah. Ilmu Syaththariah bukan sekedar sebuah sufisme, melainkan juga sebagai
sebuah epistimologi. Sebagai sebuah sufisme, Tarekat Syaththariah mungkin hanya
diterima oleh warganya. Tetapi sebagai sebuah epistimologi, metode Tafsir Wasithah
dapat digunakan oleh siapa pun dan dari mazhab mana pun. Perspektif Sufisme
Syaththariah Al-Quran adalah Kalamullah yang hanya dipahami oleh al-muthohharûn
(orang yang disucikan oleh Tuhan, yakni para Rasul dan Ulama Pewaris Nabi). Oleh
karena itu Al-Quran ‘ini’ (Al-Quran yang biasa kita baca) merupakan pengantar untuk
memahami ajaran Islam yang sebenarnya. Syukur-syukur kalau Allah kemudian
menarikNya dengan fadhl (karunia) dan rahmatNya, ditarik menjadi ahlu bait Nabi
(=keluarga Nabi, sehingga darah yang mengalir dalam dirinya adalah darah kenabian,
bukan darah nafsu. Ahlul bait Nabi bukanlah anak-cucu dan turunan darah-daging Nabi,
melainkan orang yang sangat taat kepada Nabi) sehingga dipahamkan dengan Al-Quran
dan beramal dengan meneladani Rasul/Ulil Amri/Ulama Pewaris Nabi.
Metode Tafsir Wasithah yang paling elementer adalah: Pertama, semua Firman
Allah berhubungan dengan keagamaan dan berorientasi akhirat (iman, ibadah, akhlak
mulia, dan terutama petunjuk untuk dapat mati – yang hanya 1 x terjadi – dengan mati-
selamat (husnul khotimah), karena menurut QS. 34/Saba` ayat 51-54 kebanyakan manusia
matinya sesat (sû`ul khōtimah); kedua, Allah hanyalah Nama (salah satu Nama) Tuhan,
sedangkan Zat-Nya (Zat Tuhan) adalah Al-Ghaibi (Yang Al-Ghaib), yang wajib dikenali
dengan cara bertanya kepada Rasul atau Ulama Pewaris Nabi sebagai Ahli Zikir; ketiga,
term-term dalam Al-Quran harus diterjemahkan apa adanya, artinya jangan diubah-ubah.
Misal: dzâlika =’itu’, jangan diartikan ‘ini’! keempat, perhatikan struktur bahasa, misal:
isim atau fi`il? mufrod atau jama`? ma`rifat atau nakirah? kelima, pelajari terlebih dahulu
ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan fi`il amar dan nahi (perintah dan larangan) karena
bersifat istimror (berlaku terus sepanjang masa; harus kita amalkan). Dan lain-lain.
Kritik dan saran dari para pembaca yang budiman sangat diharapkan. Terlebih-lebih
buku ini menguraikan sebuah ontologi akhlak mulia dengan pendekatan epistimologi
Qurani hanya dalam buku yang kecil ini. Kepada Bapak Prof. Dr. H. Karim Suryadi,
M.Si. (Dekan FPIPS UPI) yang telah memberikan pengantar kepada buku ini diucapkan
terima kasih dan penghargaan yang tulus.
Billâhi fī sabilil haq.
Bandung, 19 Oktober 2012
Penulis,

Dr. Munawar Rahmat, M.Pd.


iii
PENGANTAR BUKU
Prof. Dr. H. Karim Suryadi, M.Si.
Dekan FPIPS UPI

Penerbitan buku Filsafat Akhlak karya Dr. Munawar Rahmat, M.Pd. amat
penting dan strategis karena beberapa alasan berikut. Kesatu, pendidikan akhlak
adalah misi kenabian yang menjadi landasan teologis bagi para ulama untuk
mengimplementasikannya dalam berbagai konteks. Tidak ada orang yang paling saleh
secara sosial kecuali mereka yang mampu mempersuasi dan menginspirasi orang lain
untuk berbuat baik. Kehadiran buku Filsafat Akhlak adalah usaha nyata Pak Munawar
Rahmat dalam menunaikan tugas kenabian dengan menginspirasi orang lain agar
berakhlak baik.
Kedua, akhlak adalah cara (means) sekaligus tujuan (ends). Sebagai cara
akhlak menuntun orang memilih jalan kebaikan dalam hidupnya, dan mengabaikan
jalan-jalan yang menyesatkan. Akhlak adalah peta moral yang membimbing orang
menemukan dan mendaki jalan kebenaran. Lebih dari itu, akhlak adalah lakmus
pembeda kebenaran sejati dari kepalsuan yang diperlakukan sebagai kebenaran.
Sebagai tujuan, pembentukan akhlak adalah terminal sementara yang diyakini
dapat menghantarkan orang pada terminal keabadian yang baik. Ajengan
membimbing santrinya, dosen membelajarkan mahasiswanya, dan orang tua
mendidik anak-anaknya dalam kerangka membangun akhlak yang baik. Dalam
terminologi yang berbeda, pemerintah pun menegaskan pentingnya pendidikan
akhlak melalui pengarusutamaan pendidikan karakter.
Ketiga, sebagai sesuatu yang diyakini baik dan benar materi akhlak sering
diajarkan secara dogmatik. Buku ini menawarkan berbagai jalan epistemologis dalam
menuntun mahasiswa menemukan akhlak yang baik melalui beragam creative
dialogue. Tawaran epistemologis ini amat penting dalam melatih mahasiswa
membedakan antara cara dan tujuan, sekaligus melatih mereka keluar dari perdebatan
menyangkut hal-hal yang sumir demi meraih tujuan yang genuine.
Meletakkan proses pendidikan sebagai upaya pembentukan akhlak yang baik
adalah kerangka fundamental pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, sekaligus

iv
langkah penyelamatan misi kemanusiaan itu sendiri. Peradaban umat manusia akan
punah bila akhlak yang baik telah tercerabut dari kehidupan. Pendidikan pun akan
kehilangan unsur paling esensial bila bab akhlak telah diabaikan.
Selamat menikmati sajian buku ini, semoga kehadirannya menjadi amal baik
bagi penulisnya, sekaligus obor yang menerangi pembacanya dalam meraih derajat
insan kamil.

Bandung, 30 Oktober 2012

Prof. Dr. H. Karim Suryadi, M.Si.


NIP. 19700814.199402.1.002.

v
DAFTAR ISI

Halaman
PENGANTAR PENULIS (Edisi Revisi) …….…..................................................... i
PENGANTAR PENULIS .……………………………………….…....................... ii
PENGANTAR DEKAN FPIPS UPI ……………………………............................. iv
DAFTAR ISI ………………………………...…...................................................... vi
DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR TABEL ..................................................... viii
I. MAKNA AKHLAK ………………………................................................. 1
A. Fenomena Akhlak Bangsa …………….................................................. 1
B. Makna dan Istilah-istilah Akhlak ……................................................... 8
C. Ruang Lingkup Ilmu Akhlak …….......................................................... 12
D. Nisbah Ilmu Akhlak dengan Ilmu Islam lainnya ................................... 14
E. Renungan ……….................................................................................... 21
F. Kesimpulan …….................................................................................... 24
II. CIRI-CIRI AKHLAK MULIA ……….......................................................... 25
A. Ciri-ciri Umum Akhlak Mulia ………................................................... 25
B. Ciri-ciri Khusus Akhlak Mulia ……….................................................. 29
C. Faktor-faktor Yang Memperkuat Akhlak Mulia ................................... 37
D. Faktor-faktor Yang Memperlemah Akhlak Mulia ................................ 47
E. Renungan .……..................................................................................... 54
F. Kesimpulan ……................................................................................... 56
III. MANUSIA MENURUT AL-QURAN BERKARAKTER BURUK …....... 57
A. Sekilas Metode Memahami Al-Quran ................................................. 57
B. Makna Manusia dalam Al-Quran ......................................................... 61
C. Manusia Cenderung Berkarakter Buruk ............................................... 83
D. Renungan .……..................................................................................... 84
E. Kesimpulan ……................................................................................... 86
IV. PERSOALAN BAIK DAN BURUK ……................................................... 87
A. Sumber, Instrumen, dan Ukuran ………................................................ 87
B. Manusia Tidak Tahu Baik-Buruk ………............................................. 96
C. Baik-Buruk Hanya Diketahui oleh RasulNya ....................................... 100
D. Renungan ……...................................................................................... 104
E. Kesimpulan ……................................................................................... 106
V. PERSOALAN SUSAH DAN SENANG ..................................................... 107
A. Susah-Senang sebagai Ujian ………..................................................... 107
B. Iman kepada Taqdir dengan Akhlak Mulia .......................................... 111
C. Jihad Akbar ………............................................................................... 117
D. Renungan ……...................................................................................... 121
E. Kesimpulan ……................................................................................... 122
VI. AKHLAK MULIA DALAM IBADAH ....................................................... 123
A. Ibadah Harus Dilakukan dengan Baik .................................................. 123
B. Ibadah Harus Dilakukan dengan dengan Benar dan Ikhlas ................. 124

vi
Halaman
C. Hindari Ibadah Palsu ………................................................................. 131
D. Renungan ……...................................................................................... 134
E. Kesimpulan ……................................................................................... 136
VII. MENJALANKAN RUKUN ISLAM DENGAN AKHLAK MULIA ......... 137
A. Menjalankan Islam secara Kâffah ....................................................... 137
B. Menjalankan Rukun Islam dengan Akhlak Mulia ........................... .... 141
C. Renungan ……..................................................................................... 155
D. Kesimpulan …….................................................................................. 156
VIII. MENJALANKAN TAKWA DENGAN AKHLAK MULIA .................... 157
A. Makna Takwa dan Nilai Tinggi Ketakwaan ........................................ 157
B. Ciri-ciri Takwa Sarat dengan Akhlak Mulia ....................................... 162
C. Renungan ……..................................................................................... 173
D. Kesimpulan …….................................................................................. 174
IX. KONSEP INSÂN KÂMIL ............................................................................. 175
A. Manusia dan Unsur-unsurnya .............................................................. 175
B. Profil Insân Kâmil ............................................................................... 179
C. Profil Manusia Sesat dan Manusia in between ..................................... 185
D. Tujuh Tangga Nafsu Menuju Insân Kâmil .......................................... 189
E. Renungan ……...................................................................................... 192
F. Kesimpulan ……................................................................................... 194
X. KARAKTER ‘INTI’ SUFISTIK .................................................................. 195
A. Karakter-karakter Sufistik .................................................................... 195
B. Taubat sebagai Maqom Pertama dan Utama ........................................ 198
C. Tujuh Karakter ‘Inti’ dan Insân Kâmil ................................................ 209
D. Renungan ……...................................................................................... 214
E. Kesimpulan …….................................................................................... 217
XI. PERSOALAN ADIL DAN IHSAN .............................................................. 219
A. Makna Adil dan Ihsan ............................................................................ 219
B. Nilai Tinggi Adil dan Ihsan .................................................................... 225
C. Renungan ……........................................................................................ 228
D. Kesimpulan …….................................................................................... 230
XII. MEMBANGUN SYARE`AT ISLAM DENGAN AKHLAK MULIA ........ 231
A. Memelihara Agama dengan Akhlak Mulia ........................................... 231
B. Memelihara Jiwa dengan Akhlak Mulia ............................................... 240
C. Memelihara Akal dengan Akhlak Mulia ............................................... 243
D. Memelihara Harta dengan Akhlak Mulia ............................................. 246
E. Memelihara Nashab dengan Akhlak Mulia ........................................... 250
F. Renungan ……....................................................................................... 253
G. Kesimpulan …….................................................................................... 256
DAFTAR PUSTAKA …………………...…........................................................... 257

vii
DAFTAR GAMBAR & TABEL

Halaman
Gambar:
1.1 Kaitan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf, Ilmu 19
Aqidah, dan Ilmu Ibadah
1.2 Segi-tiga dimensi Iman, Ibadah, dan Akhlak Mulia 20
1.3 Dimensi Iman melandasi dimensi Ibadah dan dimensi Akhlak 20
Mulia, Dimensi Ibadah berbasis Iman melandasi dimensi
Akhlak Mulia
5.1 Jaran Nafas Angin = Lambang Nafsu yang telah ditundukkan 118
9.1 Empat Unsur Manusia 178
9.2 Profil Insân Kâmil 185
9.3 Profil Manusia Sesat 186
9.4 Profil Manusia in between 189
10.1 Tahap-tahap penanaman 7 karakter ‘inti’ sufistik untuk 212
menundukkan nafsu

Tabel:
1.1 Kaitan antara Dimensi, Ilmu, dan Amal 18
1.2 Kualitas Akhlak Mahasiswa 21

viii
I
MAKNA AKHLAK

Sesungguhnya aku (Nabi/Rasul) diutus (ke dunia) ini untuk


‘menyempurnakan’ akhlak yang mulia (Al-Hadits)

A. FENOMENA AKHLAQ BANGSA


Kata akhlak, karakter, nilai, moral, etika, dan makna-makna lainnya begitu
mudah diucapkan tapi susah diamalkan. Di saat Presiden Susilo Bambang
Yudoyono menggulirkan perlunya ‘Pendidikan Karakter Bangsa’, seabreg makalah,
buku, dan seminar tentang tema ini bagai jamur di musim penghujan, bermunculan
di mana-mana. Ini sangat bagus. Tapi ada juga yang sepertinya tanpa mengaca diri
apakah dirinya orang yang berkarakter, bernilai, dan berakhlak (yang baik) serta
memiliki ilmu yang mumpuni dalam bidang ini, tiba-tiba seperti pejuang dan
penggagas pendidikan karakter, nilai, dan akhlak. Oleh karena itulah marilah kita
buat bersama konsep pendidikan akhlak, karakter, atau nilai secara benar serta
mengimplementasikannya dengan benar pula dan dengan penuh kesungguhan, tidak
setengah-setengah terlebih-lebih asal-asalan.
Terlebih-lebih dalam Islam. Akhlak dalam Islam bukanlah sekedar moralitas
biasa. Akhlak dalam Islam adalah ‘sesuatu’ banget. Para Nabi dan Rasul diutus ke
dunia ini justru untuk ‘menyempurnakan’ akhlak mulia. Artinya berakhlak mulia
saja tidaklah cukup melainkan harus akhlak mulia yang sempurna. Insya Allah
kajian akhlak dalam buku ini adalah akhlak mulia yang sempurna.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (No. 20 Tahun 2003) telah
berhasil merumuskan tujuan pendidikan yang kaya dengan dimensi agama dan
moralitas. Dalam Bab II pasal 3 disebutkan: Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pada bidang keagamaan, tujuan pendidikan pun lebih dikembangkan.
Perubahan keempat UUD 1945 pasal 31 ayat (3) disebutkan, pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang

FILSAFAT AKHLAK - 1
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Pada UUD
1945 yang belum diamendemen, ungkapan demikian tidak ada. Kata-kata iman dan
takwa (tanpa akhlak mulia) hanya tertuang dalam GBHN sejak Repelita pertama.
Hal ini menunjukkan bahwa kalangan elit – dalam hal ini MPR – sebenarnya merasa
resah dengan kondisi pendidikan bangsanya sendiri, sekaligus menghendaki jatidiri
bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Dilihat dari segi tujuannya, bangsa Indonesia menghendaki kaum
terpelajarnya bukan sekedar berilmu, cakap, dan kreatif (dimensi intelektualitas),
tapi juga beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (dimensi
religiusitas), berakhlak mulia (dimensi karakter dan moral), dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung-jawab (dimensi kebangsaan).
Tetapi dalam pelaksanaanya belum sebaik dengan apa yang tertuang di dalam
perundang-undangan itu. Aspek religi dan nilai-nilai masih terpinggirkan. Unsur
pendidikannya terlepas dari unsur pengajaran. Jumlah jam mata pelajaran agama dan
moralitas sangat minim. Tilaar (1999: 99) menyebut pendidikan agama dalam
kurikulum nasional Indonesia hanya sebagai penggembira saja, sekedar tidak
dikritik sekuler oleh kalangan Ulama.
Praktek pendidikan di Indonesia menurut sejumlah pakar lainnya sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan praktek pendidikan di Barat di mana manusia mengejar
ilmu pengetahuan dengan asumsi bahwa ilmu itu bebas nilai (value free). Jujun S.
Suriasoemantri (1982: 12-13) mengatakan bahwa tadinya ilmu pengetahuan hanya
mempelajari alam apa adanya tanpa ada keterkaitan dengan nilai moral. Ilmu hanya
untuk ilmu, tanpa dikaitkan dengan agama, ideologi dan nilai-nilai luhur.
Keberhasilan pendidikan seseorang hanya dilihat dari pencapaian akademis semata.
Sejalan dengan Suriasoemantri, Ahmad Sanusi (dalam perkuliahan di S3 UPI,
September 2004) mengatakan bahwa pendidikan yang dewasa ini sedang
berlangsung sangat dipengaruhi oleh logika positivisme; yakni logika yang hanya
berorientasi pada keadaan dunia here and nowyang dapat diindera oleh manusia.
Pandangan ini mengakibatkan manusia menjadi sekuler dan hanya memikirkan
masalah-masalah yang sifatnya dapat dijelaskan secara empiris dan melupakan
masalah-masalah yang berkaitan dengan nilai luhur. Inilah awal dari didewakannya
kemampuan nalar. Demikian juga Muhammad Nu`man Soemantri (2001: 4)
mengemukakan bahwa keadaan di mana manusia menjauhkan diri dari agama
merupakan sebagai hasil dari pengaruh budaya Hellenisme. Pengaruh budaya ini
akal mengalahkan agama (intellectus quaerrens fidem). Dikatakannya bahwa budaya

FILSAFAT AKHLAK - 2
Hellenismemerupakan budaya yang mendorong berkembangnya rasionalitas,
individualisme, dan melepaskan diri dari agama/teologi. Padahal Zohar dan
Marshall (2000: 11) menyatakan bahwa diskusi tentang intelegensi manusia tidak
akan lengkap tanpa menyertakan spiritual Intelligence –SQ. Kecerdasan ini (SQ)
bisa menjawab masalah-masalah tentang makna dan nilai; dengan intelegensi ketiga
ini kita bisa menempatkan tindak-tanduk dan hidup kita dalam konteks pemaknaan
yang lebih luas dan lebih kaya; bisa menilai apakah suatu kejadian atau pengalaman
hidup itu lebih berharga atau tidak dari yang lainnya. SQ merupakan fondasi yang
diperlukan bagi keefektifan kedua fungsi IQ dan EQ. Selanjutnya Soemantri (2001:
4) mengatakan bahwa budaya hellenisme ini mempengaruhi dunia pendidikan
sampai sekarang ini, termasuk pada ilmuwan, pendidik, penulis buku teks yang
membanjiri perpustakaan, khususnya perpustakaan-perpustakaan yang terdapat di
universitas.
Jika mengacu kepada UUD 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, pendidikan nasional Indonesia seharusnya sarat dengan pembelajaran
yang berdimensi agama dan moralitas. Tetapi realitasnya masih jauh dari yang
diharapkan. Fasih membaca Al-Quran, mengerjakan shalat lima waktu, dan
berakhlak mulia merupakan tujuan pendidikan (khususnya pendidikan agama) dalam
berbagai kurikulum nasional (Kurikulum 1985, 1994, 2004, 2006, dan 2013), yang
sebagiannya dapat terukur. Misalnya, mahir membaca Al-Quran diharapkan dapat
dicapai oleh siswa SD, walau kenyataannya di SMA pun masih menjadi bagian dari
kurikulum PAI. Tetapi bagaimanakah kemampuan peserta didik dalam keterampilan
dasar ini? Berdasarkan survey Tim PPBQ YBHI Bandung (2001, 2004, 2011) di
beberapa sekolah dan universitas di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan
Kabupaten Tasikmalaya hanya sekitar 10% siswa SD, 25% siswa SMP, 35% siswa
SMA, dan 40% mahasiswa yang bisa membaca Al-Quran (Rahmat, 2015: 4-5).
Bila substansi keberagamaan adalah beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia,
kita amati hal-hal yang bersebrangan dengan kriteria keberagamaan dan akhlak
mulia. Korupsi dengan kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi melanda hampir
seluruh lapisan masyarakat. Bukan hanya dilakukan oleh para birokrat, para pejabat,
anggota DPR-DPRD, dan pengusaha saja tapi dilakukan juga oleh para PNS muda.
Partai Islam, tokoh agama, dan pejabat yang merasa taat beragama pun ada
(banyak?) yang melakukan korupsi. Hampir setiap hari televisi menayangkan para
koruptor yang sebagiannya adalah para pemimpin partai Islam dan berbasis Islam,
para Kyai, dan tokoh-tokoh agama yang disegani di masyarakat.

FILSAFAT AKHLAK - 3
Sikap tidak hormat anak muda bukan hanya ditunjukkan kepada sembarang
orang, bahkan juga terhadap guru-gurunya. Penghormatan dan bakti pada kedua
orang tua pun memudar. Vandalisme sudah merupakan ciri pelajar kita; dan
premanisme tumbuh subur hingga di lingkungan persekolahan. Kejujuran yang
sangat didambakan sudah hilang dari kamus persekolahan. Fenomena menyontek
dan joki sepertinya fenomena biasa yang disalahkan sekaligus dilanggar oleh semua
pihak. Salah untuk orang lain, tetapi boleh untuk saya; salah untuk sekolah lain,
tetapi boleh untuk sekolah saya. Sepertinya kamus ini yang dipakai sekarang.
Masyarakat biasanya memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan a-
moral, pelanggaran etis, dan penyimpangan beragama yang hanya dilakukan oleh
orang-orang yang tidak taat beragama, walau perbuatan tersebut dilakukan secara
komunal oleh orang-orang yang mengaku beragama; bahkan sering dianggap
sebagai fenomena biasa. Padahal yang lebih penting lagi adalah perlunya dicari
solusi bagaimanakah mendekatkan praktek pendidikan dengan perundang-undangan,
jangan sampai praktek pendidikan itu mengkhianati amanat perundang-undangan.
Hasil-hasil penelitian, antara lain penelitian Rahmat (2015) menunjukkan
adanya pengaruh pendidikan keagamaan dan suasana keagamaan terhadap ketaatan
beragama dan akhlaqul karimah (akhlak mulia) peserta didik. Direktorat Pembinaan
SMP (2010: 5) mengutip hasil penelitian di Harvard University Amerika Serikat,
bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis (hard skill) semata, melainkan lebih ditentukan oleh kemampuan
mereka dalam mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan ditentukan hanya sekitar 20 persen oleh hard skill dan
sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa
berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard
skill. Soft skill merupakan bagian keterampilan dari seseorang yang lebih bersifat
pada kehalusan atau sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di
sekitarnya. Mengingat soft skill lebih mengarah kepada keterampilan psikologis
maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata namun tetap bisa dirasakan.
Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan, disiplin, keteguhan hati,
kemampuan kerja sama, membantu orang lain, dan lainnya. Soft skill sangat
berkaitan dengan karakter seseorang.
Adelina Hasyim melalui Tesis Magisternya di IKIP Bandung/UPI (1988)
tentang tindakan pelanggaran etis menemukan, bahwa sekolah-sekolah yang kaya
dengan nuansa dan pembelajaran agama berpengaruh positif terhadap perilaku moral
para siswanya. Dengan mengambil sampel 5 Madrasah Aliyah (MA) dan 5 SMA di

FILSAFAT AKHLAK - 4
Sumatera Selatan ia menyimpulkan bahwa responden siswa SMA lebih banyak
melakukan pelanggaran etis ketimbang responden siswa MA.
Na-Ayudya (2008), Director of the Institute of Sathya Sai Education,
Thailand, melalui disertasi dan riser-riset pasca disertasi mengembangkan model
pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan terpadu. Makna terpadu perspektif Na-Ayudya
adalah pengintegrasian 5 nilai (kebajikan, kebenaran, kedamaian, kasih sayang, dan
tanpa kekerasan) ke dalam seluruh mata pelajaran melalui sikap dan tindakan guru
yang damai dan pengasih, latihan pengembangan indera ke-6 (intuisi) dan pikiran
super sadar melalui meditasi dan perenungan lainnya serta penataan lingkungan
(sekolah, keluarga dan institusi masyarakat) yang sama-sama mengembangkan ke-5
nilai tersebut. Untuk membudayakan pendidikan nilai ini dilakukan pelatihan
intensif selama 10 minggu. Disebutkannya, bahwa sekolah-sekolah yang
menerapkan model pendidikan nilai ini (di sekolah-sekolah Satya Sai) berhasil
menciptakan siswa yang memiliki budi pekerti yang baik (damai, cinta kasih, dan
tidak ada kekerasan).
Belum dilakukan penelitin jika dalam keadaan hidup tidak normal (misal:
ketika ditimpa musibah, sakit, kehilangan harta, ditinggal mati oleh orang yang
dicintainya) apa akhlak/karakternya tetap istiqomah/konsisten? Sebabnya,
akhlak/karakter yang telah benar-benar menjadi akhlak/karakter haruslah tetap dan
otomatis dalam situasi apa pun karena telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari
dirinya, sudah mempribadi (Miskawaih, 1994: 3). Kalau tidak demikian maka
bukanlah akhlak/karakter.
Sofyan Sauri dan Nurdin dalam penelitian multy years melalui Hibah Pasca
Sarjana (2008, 2009, dan 2010) telah mengadakan studi tentang pengembangan
model pendidikan nilai berbasis sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penelitian
menghasilkan hal-hal berikut:
Pertama, secara ontologis, nilai yang dikembangkannya adalah nilai-nilai
yang sesuai dengan religi, moral, etik, dan sosial yang memang sudah ada di
sekolah, di keluarga, dan di masyarakat, tapi belum dikembangkan secara maksimal.
Nilai-nilai yang dimaksud adalah: shalat, mengaji, tanggung jawab, cinta kasih,
kepemimpinan, kemandirian, sikap sopan, bahasa santun, dan nilai-nilai yang
diintegrasikan ke dalam pelajaran dan kegiatan harian.
Kedua, secara epistimologis, model pengembangan nilai yang dimaksud
menyangkut pemaknaan nilai-nilai tersebut (shalat, mengaji, sopan, dll) ke dalam
aspek-aspek pendidikan, yakni: (1) aspek tujuan dimaknai dengan nilai “soleh” dan
“cerdas”; (2) aspek pendidik dimaknai sebagai teladan, penyampai ajaran, dan

FILSAFAT AKHLAK - 5
pendukung siswa dalam pengembangan kepribadian; (3) aspek peserta didik
dimaknai sebagai peserta didik yang butuh teladan, butuh materi ajar yang menarik
hati, dan butuh dukungan guru dalam membangun akhlak/karakter dan
kepribadiannya; (4) aspek materi dimaknai sebagai integrasi nilai-nilai (religi,
moral, etik, dan sosial) ke dalam kurikulum sekolah; (5) aspek metode dimaknai
sebagai digunakannya beragam metode pendidikan nilai; (6) aspek media dimaknai
sebagai digunakannya alat, bahan, dan sumber belajar berupa makhluk hidup (guru,
orang tua, siswa, dll) dan benda mati (buku, film, foto, computer, dll); dan (7) aspek
evaluasi dimaknai sebagai pengukuran proses dan hasil belajar nilai-nilai (berupa
ujian lisan, tes tertulis, dan pengamatan unjuk kerja siswa).
Rahmat (2015: 309) dalam penelitian disertasi dan pasca disertasi
mengadakan studi kualitatif dan kuantitatif tentang pendidikan insan kamil
(manusia sempurna). Hasilnya, secara filosofis-antropologis baik konsep maupun
implementasi pendidikan di Indonesia selama ini memiliki kelemahan mendasar
karena tidak mungkin terlaksananya pendidikan secara utuh. Pendidikan yang utuh
(untuk mencapai insan kamil) seharusnya mengembangkan seluruh unsur manusia,
yakni raga, hati, roh, dan rasa (sirr). Saat ini unsur manusia yang dikembangkan
dalam pendidikan di Indonesia hanyalah raga (jasmani) dan akal (intelek)-nya,
padahal akal hanyalah “alat” hati atau tentaranya hati (bukannya unsur manusia).
Jika hatinya baik, maka akal pun akan memikirkan hal-hal yang baik; tapi jika
hatinya buruk, maka akal pun akan memikirkan hal-hal yang buruk (sesuai perintah
hati). Oleh karena itu pendidikan akhlak/karakter seharusnya berangkat dari
pendidikan “hati” bukan akal. Tapi hati pun ada dua, yakni hati nurani (hati yang
baik, karena mendapat Cahaya Ilahi) dan hati sanubari (hati yang buruk, atau nafsu).
Pendidikan akhlak seharusnya mengembangkan hati nurani dan mengeliminasi atau
sekurang-kurangnya mengurangi peran hati sanubari.
Penelitian sufistik yang dilakukan Rahmat di Pondok Sufi dan lembaga
pendidikan (SMA dan STT) Pondok Sufi tersebut menemukan sebanyak 7-karakter
“inti” positif yang perlu dibekalkan dan dipersonifikasikan kepada peserta didik dan
4 karakter “inti” negatif yang harus dieliminasi atau minimal diperkecil perannya.
Adapun metode pendidikannya lebih menonjolkan penyadaran menyangkut tujuan
hidup, tempat kembali manusia setelah mati, hidup di dunia berupa susah dan
senang sebagai ujian, hingga internalisasi dan personalisasi karakter-karakter “inti”
yang positif maupun yang negatif. Hasilnya, ternyata siswa dan mahasiswa yang
sudah belajar lebih dari satu tahun pada lembaga pendidikan ini memiliki ketaatan
beragama dan karakter yang tinggi, baik pada responden yang menjadi komunitas

FILSAFAT AKHLAK - 6
maupun tidak menjadi komunitas tasawuf. Hasil penelitian ini diperkuat dengan
penelitian Rahmat dan Fahrudin (2014: 74) bahwa perkuliahan pendidikan agama
berbasis karakter inti sufistik terbukti dapat meningkatkan kualitas akhlak mulia
mahasiswa UPI.
Menyadari betapa pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut
peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga
pendidikan formal. Sekolah-sekolah sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda
diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian
peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Agama diyakini dapat mengantarkan peserta didik kepada keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia. Tapi pendidikan agama dalam kurikulum nasional kita
sangat sulit untuk dapat mengantarkan ke arah tujuan yang luhur dan mulia itu.
Sebabnya, antara lain karena jam pendidikan agama sangat minim (hanya 2 jam
perminggu, bahkan di PTN hanya 2-4 SKS dari total perkuliahan program S-1).
Bandingkan dengan di negeri-negeri mayoritas muslim lainnya. Jam pelajaran
Pendidikan Agama di Pakistan 4 (empat) kali lipat jumlah jam pendidikan agama di
Indonesia. Selain itu, mata pelajaran Ilmu Sosial bermuatan ajaran Islam, dan mata
pelajaran bahasa digunakan sebagai media memperkaya Pendidikan Agama. (Asian
Centre of Educational Innovation for Development, 1977). Malah di Iran separoh
kurikulum pendidikan dasarnya adalah agama (Bureau of Research on International
Educational Sistems, 1984).
Pendidikan karakter sebenarnya telah dilakukan sejak lama di sekolah-sekolah
kita, antara lain melalui program IMTAQ, P4 (Pedoman Penghayatan, dan
Pengamalan Pancasila), Pendidikan Budi Pekerti, dan program-program lainnya.
Namun demikian pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada
tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum secara optimal pada
tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Malah sejak 20 tahun yang lalu telah ada upaya-upaya sekolah dan universitas
untuk memperkaya pendidikan agama dan karakter, baik melalui penambahan jam
pelajaran agamaatau melalui kegiatan ekstra kurikuler wajib dan pilihan. Tentu saja
kegiatan-kegiatan keagamaan seperti itu di satu sisi cukup menggembirakan, karena
label sekolah dan kampus sekuler dapat terhapuskan. Sivitas akademika, khususnya
siswa dan mahasiswa, yang mencari dan bergairah belajar agama pun dapat
terpuaskan. Tetapi di sisi lain, kegiatan-kegiatan ekstra demikian biasanya hanya
diikuti oleh para siswa dan mahasiswa yang memang memiliki gairah beragama,
tidak menyentuh mereka yang tidak memiliki gairah beragama. Selain itu, substansi

FILSAFAT AKHLAK - 7
materi atau core curriculum pendidikan agama dan akhlak mulia dalam kurikulum
persekolahan masih perlu didiskusikan. Tampaknya, tema-tema keagamaan dan
karakter yang ‘inti’ justru tidak dijadikan bahan pembelajaran utama. Jika substansi
materi agama dan karakter yang dibahas hanya merupakan materi-materi pinggiran,
tidak menyentuh tema-tema agama dan karakter yang ‘inti’, maka model pendidikan
karakter seperti itu tidak mungkin dapat mengantarkan peserta didik untuk mencapai
martabat insan kamil.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang terdiri atas sejumlah
nilai, moral dan norma yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang,
berpikir, bersikap dan bertindak. (Kemdiknas, 2010). Dengan demikian, kata
Baedhowi (2010: 3-4), pada hakekatnya karakter sama dengan akhlak. Karakter
merupakan suatu moral excellence atau akhlak yang dibangun di atas kebajikan
(virtues), yang hanya akan memiliki makna apabila dilandasi dengan nilai-nilai yang
berlaku dalam suatu bangsa. Adapun karakter bangsa yang perlu dikembangkan dan
dibina melalui pendidikan nasional haruslah sejalan dengan Undang-undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 tentang tujuan pendidikan
nasional, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara demokratis dan
bertanggung-jawab.
Artinya, pendidikan nilai dan karakter atau pendidikan akhlak bangsa yang
sejalan dengan perundang-undangan (sebenarnya) haruslah berlandaskan keimanan
dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, atau harus berlandaskan agama,
selain harus sejalan pula dengan kebudayaan Indonesia yang religius. Ada dua
persoalan mendasar yang akan diungkap dalam buku ini, pertama, nilai-nilai atau
karakter apa saja yang perlu dikembangkan di sekolah? Dan kedua, bagaimanakah
cara mengembangkan pendidikan karakter di sekolah? Masalah pertama
menyangkut ontologi pendidikan akhlak/karakter, sedangkan masalah kedua
berhubungan dengan pendekatan dan metodologi pendidikan akhlak/karakter.

B. MAKNA DAN ISTILAH-ISTILAH AKHLAK


Akhlak bukanlah sekedar sebuah wacana, melainkan merupakan amal-nyata;
bukan sekedar teori dan konsepsi, melainkan merupakan sebuah praktek dan amal-
nyata; bukan juga sekedar praktek dan amal sesaat, melainkan sebuah praktek dan

FILSAFAT AKHLAK - 8
amaliah permanen yang mendarah-daging dalam sikap, perilaku, dan kehidupan
sehari-hari.

1. Makna Akhlak
Kata akhlak berasal dari kata al-akhlâqu (Bahasa Arab), bentuk jama’ dari
kata al-khuluqu atau khulûqun, yang berarti tabi’at, kelakuan, perangai, tingkah
laku, karakter, budi pekerti, dan adat kebiasaan. Kata akhlak digunakan Al-Quran
untuk memuji ketinggian akhlak Rasulullah: Wa innaka la`allâ khuluqin `azhim
=Sesungguhnya kamu mempunyai akhlak yang tinggi (QS. 68/Al-Qalam: 4).
Kemudian dalam QS. 33/Al-Ahzab ayat 21 ditegaskan bahwa Rasulullah sebagai
figur teladan: Laqod kâna fi rasûlillâhi uswatun hasanatun =Sungguh pribadi
Rasulullah itu merupakan suri teladan, yakni bagi orang yang berkehendak kembali
kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan banyak berzikir. Nabi Muhammad SAW
pun menegaskan misi kenabiannya: Innamâ bu`itstu li`utammima makârimal
akhlâqi =Sesungguhnya aku diutus (ke dunia ini) untuk menyempurnakan akhlak
yang ‘mulia’ (HR Al-Bazzar, dalam Almath, TT). Hal ini menegaskan bahwa
perilaku akhlaqi merupakan puncak keberagamaan. Oleh karena itu Ibn Miskawaih
(1994: 3) menegaskan, akhlak adalah sifat yang tertanam di dalam diri seseorang
yang dapat mengeluarkan sesuatu perbuatan dengan senang dan mudah tanpa
pemikiran, penelitian dan paksaan. Artinya, suatu perbuatan disebut akhlak jika
perbuatan itu dilakukan oleh seseorang secara otomatis dan permanen, tanpa
pemikiran, penelitian, atau paksanaan dari orang-orang yang memiliki otoritas,
karena sudah menjadi karakter, watak, dan kebiasaannya; yakni suatu sikap dan
perbuatan yang sudah mendarah-daging dalam kehidupan sehari-harinya (Rahmat,
2010; Sauri, 2011). Muthahhari (1995) mengingatkan bahwa perbuatan akhlaqi
merupakan perilaku ikhtiari dan patut dipuji di atas kewajiban. Sebagai contoh,
orang yang mendirikan shalat malam dan shalat-shalat sunat setelah mendirikan
shalat wajib yang 5 waktu; atau seorang kaya-raya yang mengeluarkan infaq dan
shodaqoh (yang sunat-sunat) setelah membayarkan seluruh kewajiban ibadah harta
(zakat, khumus, shodaqoh, dan kewajiban ibadah harta lainnya).
Misi kenabian untuk menyempurnakan akhlak ‘mulia’ merupakan Kasih-
Sayang Allah bagi manusia yang telah memiliki akhlak mulia, agar akhlak mulianya
itu dapat sejalan dengan Kehendak Allah sebagaimana diajarkan dan diteladankan
oleh RasulNya, yakni akhlak mulia yang benar dan dilakukan secara ikhlas. Akhlak
mulia disebut benar jika akhlak mulia itu dipribadikan sebagai ketaatan kepada
Allah dan RasulNya, bukan akhlak mulia yang didasarkan atas nafsu dan

FILSAFAT AKHLAK - 9
syahwatnya. Kemudian akhlak mulia yang benar itu harus dilakukan secara
ikhlas,yakni dengan niat lillâh (karena Allâh). ilallâh (menuju Allâh), minallâh
(dari Allâh), dan fî sabîlillâh (di jalan Allâh); bukan karena pamrih dunia (seperti:
ingin disebut-sebut sebagai orang yang berakhlak mulia, mencari keuntungan-
keuntungan duniawi, dan lain-lain), dan bukan pula karena pamrih akhirat (ingin
memperoleh pahala, ingin masuk surga, atau takut masuk neraka).

2. Istilah-istilah Yang Mirip dengan Akhlak


Karakter, nilai, moral, etika, budi luhur, sopan santun merupakan istilah-
istilah yang sering dimaknai sama atau mirip dengan akhlak.
Kata “karakter” menurut Pusat Bahasa Depdiknas (Martianto, 2008) adalah
“bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah
seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME,
dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai
dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Sementara menurut Wynne (Martianto, 2008), karakter berasal dari kata to
mark (Bahasa Yunani) yang berarti menandai dan memfokuskan pada bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu seseorang
yang berperilaku positif (seperti jujur, adil, suka menolong) dikatakan sebagai orang
yang berkarakter mulia; sementara orang yang berperilaku negatif seperti tidak jujur,
kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek. Adapun dalam
Kemdiknas (2010), “karakter” adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang terdiri
atas sejumlah nilai, moral dan norma yang diyakini dan digunakan sebagai landasan
cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.
Dengan demikian, kata Baedhowi (2010: 3-4), pada hakekatnya karakter sama
dengan akhlak. Karakter merupakan suatu moral excellence atau akhlak yang
dibangun di atas kebajikan (virtues), yang hanya akan memiliki makna apabila
dilandasi dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu bangsa.
Karakter bangsa yang perlu dikembangkan dan dibina melalui pendidikan
nasional haruslah sejalan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 tentang tujuan pendidikan nasional, yakni
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

FILSAFAT AKHLAK - 10
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara demokratis dan bertanggung-jawab.
Jadi karakter bangsa yang perlu dikembangkan berdasarkan Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional tersebut ada 10 karakter, yakni: (1) beriman kepada
Tuhan Yang Maha Esa, (2) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (3) berakhlak
mulia, (4) sehat, (5) berilmu, (6) cakap, (7) kreatif, (8) mandiri, (9) warga negara
yang demokratis, dan (10) warga negara yang bertanggung-jawab.
Adapun dari 10 karakter tersebut yang berhubungan dengan akhlak mulia
adalah 4 karakter, yakni: (1) beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, (3) berakhlak mulia, dan (4) warga negara yang
bertanggung-jawab. Ke-6 karakter lainnya tidak berhubungan langsung dengan
akhlak mulia karena lebih merupakan dimensi kecerdasan dan aspek-aspek
kepribadian yang netral nilai. Contohnya, sehat tidak berhubungan dengan akhlak
mulia. Tidak bisa dikatakan, orang yang sehat adalah berakhlak mulia sedangkan
orang yang sakit adalah berakhlak tercela.
Istilah lain yang bisa dimaknai akhlak adalah nilai. Jack R. Fraenkel (Sauri,
2011a: 2) mengungkapkan, value is an idea – a concep - about what some one think
is important in life (Nilai adalah sebuah idea, sebuah konsep, yang dipandang
penting oleh seseorang dalam hidupnya). Tentu saja apa yang dipandang penting
dalam kehidupan sangat bergantung kepada filsafat hidup seseorang. Jika filsafat
hidupnya kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat maka orang itu akan memandang
penting agama yang benar-benar agama, agama yang benar-benar diridhoi oleh
Tuhan sebagaimana diajarkan dan diteladankan oleh Utusan Tuhan. Tapi jika filsafat
hidupnya kebahagiaan dunia maka orang itu akan mengejar segala reputasi dan
kebanggaan duniawi. Orang yang terakhir ini kalaupun beragama hanyalah agama
yang dapat memperkokoh reputasi duniawinya.
Sementara Kosasih Djahiri (1992: 36) memaknai nilai secara sederhana yakni
sebagai tuntunan mengenai apa yang baik, benar, dan adil. Makna nilai yang ini pun
ssama sebagaimana yang diungkapkan Fraenkel di atas, yakni bahwa baik, benar,
dan adil sangat bergantung kepada filsafat hidup seseorang. Standar yang paling
penting bagi seseorang dalam menentukan jenis tindakan apa yang patut dan
berguna dan jenis tindakan mana yang tidak berguna, sehingga ia dapat
mempertimbangkan suatu perilaku tertentu adalah nilai nilai moral, yaknimoral
values represent guides to what is right and just=Nilai moral yang menuntun
perbuatan yang benar dan adil (Fraenkel dalam Sauri, 2011a: 3). Orang yang
memiliki filsafat hidup mencari kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat maka orang

FILSAFAT AKHLAK - 11
itu akan memandang baik segala yang berasal dari Tuhan dan Utusan Tuhan, akan
memandang baik apa saja yang berasal dari Allah dan Rasulullah. Bahwa sesuatu itu
dipandang baik jika sesuatu itu disebut baik oleh Allah dan RasulNya. Tapi jika
filsafat hidupnya kebahagiaan dunia maka orang itu akan memandang baik segala
reputasi dan kebanggaan duniawi. Orang yang terakhir ini kalaupun beragama
hanyalah agama yang dapat memperkokoh reputasi duniawinya.
Contohnya kaya-raya dan memegang jabatan basah. Perspektif duniawi kaya
dan jabatan merupakan kebaikan. Manusia-manusia yang berorientasi duniawi akan
mengejar harta dan jabatan. Setiap harinya ia akan selalu memikirkan dan
mengusahakan bagaimanakah agar kekayaan dan jabatan itu dapat segera diraih.
Tapi perspektif Ilahiyah harta dan jabatan merupakan ujian yang sangat berat. Harta
dan jabatan dapat menjadi hijab (dinding tebal) yang dapat menghalangi orang
kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia (masuk surgaNya). Sebabnya
orang tidak akan kuat dengan amanat harta dan jabatan. Al-Quran menderetkan
sekian perintah yang berhubungan dengan harta: zakat, shodaqoh, infaq, kifarat,
khumus, fay, dan lain-lain. Tapi orang cenderung mamandang harta yang
diamanatkan Allah itu sebagai harta yang diraih dengan segala jerih payahnya. Amat
sangat langka orang yang meraih kekayaan menyadari bahwa harta yang diraihnya
itu hanyalah titipan Allah.
Demikian juga kemiskinan, kehilangan harta, dan sakit dalam perspektif
duniawi adalah sesuatu yang buruk. Malah tidak sedikit orang yang diamanati
kekayaan memandang sinis terhadap orang-orang yang diuji Tuhan dengan sedikit
harta sebagai orang yang pemalas, tidak pandai bisnis, dan doa-doanya tidak
didengar oleh Tuhan (sehingga mereka tetap miskin).Sebaliknya orang yang
memiliki filsafat hidup Ilahiyah. Dia akan memandang baik-buruk itu dari sudut
pandang Ilahiyah, yakni dengan mentaati Allah dan RasulNya.
Artinya, pendidikan akhlak, pendidikan karakter, dan pendidikan nilai yang
sejalan dengan perundang-undangan (sebenarnya) haruslah berlandaskan keimanan
dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi masyarakat Indonesia yang
beragama Islam, pendidikan akhlak, pendidikan karakter, dan pendidikan nilai itu
haruslah berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

C. RUANG LINGKUP ILMU AKHLAK


Ruang lingkup akhlak berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang masing-
masing penulis. Muhammad Abdullah Dzar dalam Dustur Akhlaq fil Islam membagi
ruang lingkup akhlak sebanyak lima macam:

FILSAFAT AKHLAK - 12
1. ‫( األخالق الفردية‬Akhlak individual), yakni al-awamir ( yang diperintahkan), an-
nahawi (yang dilarang), al-munahat (yang diperbolehkan), dan al-mukhalafah
bidh dhoruri (yang darurat).
2. ‫( األخالق األسرية‬Akhlak berkeluarga), yakni wajibat nahwa ushul wal furu
(kewajiban timbal balik antara orang tua dan anak), wajibat bainalazwaj
(kewajiban suami dan isteri), dan wajibat nahw al-aqarib (kewajiban terhadap
karib kerabat).
3. ‫( األخالق اإلجتماعية‬Akhlak bermasyarakat), yakni al-awamir (hal-hal yang
diperintahkan), al-makhdzurat (hal-hal yang dilarang), dan qawa’idul adab
(kaidah-kaidah adab).
4. ‫( األخالق الدّولة‬Akhlak bernegara), meliputi al-‘alaqoh baenar rois wasy-syab
(hubungan antara pemimpin dengan rakyat) dan al-‘alaqah al-kharijiyyah
(hubungan dengan Negara lain).
5. ‫( األخالق الدّينية‬Akhlak beragama), yakni kewajiban manusia terhadap Allah. (Sauri,
2011: 10)
Ilyas (2001) mengungkapkan ruang lingkup akhlak sebagaimana diungkapkan
Abdullah Dzar di atas. Tapi ruang lingkup akhlak ke-5 (akhlak beragama) dibagi
dua, yakni akhlak terhadap Allah dan Rasulullah, sebagai berikut:
1. Akhlak terhadap Allah swt., antara lain: taqwa, cinta dan ridho, ikhlas, khauf dan
roja’, tawakkal, syukur, muroqobah, taubat, husnu zhon, dan lain-lain. Sofyan
Sauri (2011) menegaskan bahwa akhlaq kepada Allah harus berdasarkan kepada
rukun agama, yakni ihsan. Makna ihsan adalah:
‫أن تعبد هللا كأنك تراه وإن لم تكن تراه فإنه يراك‬
Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kamu tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.
2. Akhlak terhadap Rasulullah saw.,antara lain: mencintai, memuliakan, mentaati,
bersholawat, dan menteladani beliau SAW.
3. Akhlak pribadi, antara lain: shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), ‘iffah
(menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik), mujahadah (mencurahkan segala
kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan
diri terhadap Allah SWT. baik hambatan yang bersifat internal atau eksternal).
4. Akhlak kepada orang tua, antara lain: birrul walidain (bakti kepada orang tua),
hak, kewajiban dan kasih sayang suami isteri, kasih sayang dan tanggung jawab
orang tua terhadap anak, silaturrahim kepada karib kerabat,dan lain-lain.

FILSAFAT AKHLAK - 13
5. Akhlak bermasyarakat; antara lain: bertamu dan menerima tamu, berhubungan
baik dengan tetangga, berhubungan baik dengan masyarakat, pergaulan muda-
mudi, ukhuwah Islamiyah,dan lain-lain.
6. Akhlak bernegara, antara lain: musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma’ruf
nahyi munkar, hubungan pemimpin dan yang dipimpin,dan lain-lain.

Sebenarnya ruang lingkup akhlak harus dilihat dari segi hubungan diri sendiri
dengan Allah, Rasulullah, dan orang lain, termasuk karakter dirinya. Jika ukurannya
ini maka ruang lingkup akhlak dapat dibagi menjadi 5 (lima) aspek, sebagai berikut:
1. Akhlak terhadap Allah, setelah ma`rifat (mengenal Zat Tuhan Yang Al-Ghaib)
yakni: meng-“ingat-ingatNya” (men-zikiri-Nya) siang-malam baik ketika sedang
berdiri, sedang duduk, ataupun sedang berbaring (QS. 3/Ali Imran: 190-191) ;
hanya bersandar kepadaNya (QS. 112/Al-Ikhlash: 2), menyembahNya secara
benar dan ikhlas; dan selalu memohon pengampunan-Nya atas segala dosa dan
salah yang selalu dikerjakan oleh manusia.
2. Akhlak terhadap Rasulullah, yakni: mentaatinya, meneladaninya, dan berguru
kepadanya. Ke dalam aspek ini termasuk akhlak terhadap Ulil Amri (Imam yang
mewakili Nabi/Rasul) atau Ulama Pewaris Nabi.
3. Akhlak terhadap diri sendiri (karakter diri), terutama: taubat, zuhud, `uzlah,
qona`ah, tawakkal `alallah, mulazimatu dzikr, dan sabar, serta menghindari
takabur (sombong), ujub (bangga diri), riya, dan sum`ah (kebaikan dirinya ingin
terdengar orang lain).
4. Akhlak terhadap orang tua, berkeluarga, dan saudara.
5. Akhlak terhadap teman, tetangga, dan masyarakat.
Adapun dilihat dari baik-buruknya akhlak terbagi dua, yaitu akhlak mulia
(akhlaqul karimah atau mahmudah) dan akhlak tercela (akhlaqul madzmumah).
Akhlak mulia adalah akhlak yang harus kita amalkan, sedang akhlak tercela harus
kita jauhi dan tinggalkan.

D. NISBAH ILMU AKHLAK DENGAN ILMU ISLAM LAINNYA


Mahmud Syaltut (1990), Syaikh Al-Azhar Mesir, dalam Aqidah wa Syari’ah
menyebutkan bahwa Islam terdiri dari aqidah dan syari`ah. Tapi umat Islam
Indonesia menyebutkan tiga dimensi ajaran Islam: aqidah, syari`ah, dan akhlak.
Adapun Syaltut memasukkan akhlak ke dalam syari`ah. Aqidah merupakan dimensi
Islam tentang keimanan, sedangkan syari`ah dimensi Islam tentang peribadatan
(yang mahdhoh maupun ghoer mahdhoh); sementara akhlak merupakan dimensi

FILSAFAT AKHLAK - 14
Islam tentang perbuatan baik dan buruk. Bagi Ulama Sufi, syari`ah dan akhlak
adalah dimensi lahir ajaran Islam, sedangkan dimensi batinnya adalah tasawuf.
Aqidah bagi kaum Sufi hanyalah membicarakan Shifat (Sifat), Asma (Nama), dan
Af`al (Perbuatan) Tuhan, yang tidak mungkin mencapai ma`rifat (mengenal Tuhan);
padahal Tuhan tidak bisa dikenali lewat Sifat, Asma, dan Af`al-Nya. Artinya,
dengan aqidah saja orang Islam tidak akan mencapai keimanan kepada Allah.
Beriman kepada Allah haruslah mencapai ma`rifat bi Dzatillah =mengenal Zat Allah
(Rahmat, 2015). Oleh karena itu elit Guru Besar di UIN/IAIN menambahkannya
dengan tasawuf, sehingga Ilmu-ilmu Islam itu terdiri dari aqidah, syari`ah, akhlak,
dan tasawuf.

1. Nisbah Ilmu Akhlak dengan Ilmu Aqidah


Pokok kajian aqidah adalah mentauhidkan Allah dengan semurni-murninya
tauhid serta memberantas syirik. Dalam aqidah Islam dikaji rukun iman, Sifat-sifat
Allah, Asma-asma Allah, dan perbuatan-perbuatan Allah. Bersamaan dengan itu
dikaji pula masalah syirik dan kemusyrikan, terdiri dari 3 tingkatan: (1) syirik akbar
(syirik besar) yakni menyekutukan Tuhan atau menduakan Tuhan. Maksudnya,
bertuhankan Allah sekaligus bertuhankan selain Allah – terutama menuhankan
(mementingkan) hawa-nafsu dan meminta bantuan bangsa Jin. Dalam QS. Luqman
ayat 12 disebutkan bahwa syirik merupakan dosa yang paling besar dan tidak ada
ampunanNya sama sekali; (2) syirik ashghor (syirik kecil), terutama takabur
(sombong), ujub (bangga diri), riya (pamer dengan amal saleh, atau ketinggian
derajatnya ingin diakui oleh orang lain), dan sum`ah (ingin kehebatan dirinya
terdengar oleh orang lain). Disebut syirik kecil karena tidak secara langsung
menyekutukan Tuhan. Tapi tetap saja musyrik yang sangat berbahaya. Sabda Nabi
SAW: takabur, ujub, riya, dan sum`ah bagaikan api yang membakar habis kayu
kering, yakni menghapuskan seluruh amal-amal saleh (sehingga pelakunya tidak
punya amal saleh sedikit pun); dan (3) syirik khofy (syirik tersamar), yakni
perbuatan syirik tapi tidak dirasakan syirik. Ini tentu sangat berbahaya. Nabi
Muhammad SAW bersabda: kamu melihat syirik itu seperti kamu melihat semut
hitam-kecil berjalan di atas batu-hitam di malam hari yang gelap gulita. Maksudnya,
jika kita ingin bisa melihat perbuatan syirik harus menggunakan senter yang terang
benderang. Senternya adalah selalu bersandar kepada sabda dan teladan Rasulullah.
Contoh syirik khofy adalah merasa punya daya dan kekuatan (merasa bisa, merasa
pintar, merasa berprestasi, dan merasa hebat);padahal yang punya Daya dan
Kekuatan hanyalah Allah. La haula wala quwwata illa billahil `aliyyil `azhim=Tidak

FILSAFAT AKHLAK - 15
ada daya dan kekuatan kecuali Daya dan Kekuatan Allah Yang Maha Tinggi dan
Maha Besar.
Ilmu Akhlak mengkaji pula dimensi-dimensi keimanan dan keyakinan. Dalam
mengimani Allah, Ilmu Akhlak mendorong orang-orang beriman untuk selalu
memohon pengampunan kepada Allah (ber-taubat), selalu memohon hidayah-Nya,
selalu memohon fadhl (karunia) dan rahmat-Nya, selalu berorientasi akhirat (zuhud),
selalu mewakilkan urusan kita kepada Allah (tawakkal `alallah), dan terutama lagi
selalu mengingat Allah (dzikir).

2. Nisbah Ilmu Akhlak dengan Ilmu Syari`ah


Pokok kajian syari`ah adalah ibadah, baik ibadah mahdhoh ataupun ibadah
ghoer mahdhoh. Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang pokok-pokoknya ataupun
rincian-rinciannya ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Contohnya: syahadatain,
shalat, puasa, zakat, dan hajji. Adapun ibadah ghoer mahdhoh adalah ibadah yang
pokok-pokoknya ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW, sedangkan bentuknya
mengikuti perkembangan zaman. Misalnya berdagang. Pokok-pokok yang
ditetapkan oleh Nabi adalah: halal, jujur, dan tidak ada penipuan. Bentuknya bisa
barter (tukar menukar barang dengan barang, seperti membeli beras dengan ayam)
atau uang koin mas dan perak, atau bisa juga dengan uang kertas, uang plastik,
billyet, dan cek seperti di zaman sekarang.
Ilmu Akhlak mengkaji juga bidang-bidang ibadah. Contohnya, ibadah shalat.
Jika syari`ah (Ilmu Fiqih), mengkaji sisi lahir peribadatan (syarat, rukun, bacaan dan
gerakan shalat), maka Ilmu Akhlak mengkaji sisi batinnya (yakni shalat yang
khusyu`, shalat untuk mengingat Allah, shalat daim (di luar shalat pun tetap seperti
ketika meakukan shalat, yakni selalu mengingat-ingat Allah), dampak shalat
(tercegahnya perbuatan fakhisyah dan kemunkaran), menghindari shalat sahun
(menyimpang dari tujuan shalat, shalatnya lalai =tidak mengingat Tuhan),
menghadirkan Tuhan Allah dalam shalat, dan ikhlas dalam beribadah. Orang yang
shalatnya ikhlas, dia mendirikan shalat dengan niat lillah dan demi Allah semata,
tanpa pamrih dunia (seperti mengharapkan pahala harta, jabatan, popularitas, dll)
maupun pamrih akhirat (seperti mengharapkan pahala akhirat, ingin dimasukkan ke
surga, atau ingin dihindarkan dari neraka). Ibarat orang yang ingin diterima oleh
sang Raja, ingin didekatkan kepada sang Raja oleh sang Raja. Ia tidak akan meminta
jabatan atau hadiah harta dari sang Raja, tidak juga takut dengan hukuman sang
Raja. Ia akan berbuat sesuai kehendak sang Raja. Ia hanya menghendaki diterima
oleh sang Raja dengan sepenuh hati. Tentu saja jika sang Raja senang pada orang

FILSAFAT AKHLAK - 16
itu, maka apa yang ada pada sang Raja akan diberikannya, dan apa yang tidak
disenanginya akan dijauhkannya.

3. Nisbah Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf


Diskusi dan perdebatan pro-kontra tentang tasawuf cukup menguras energi
kaum muslimin. Ujung-ujungnya terbelahnya kaum muslimin ke dalam kelompok
yang ‘anti’ dan ‘pro’ tasawuf dan kehidupan sufistik.
Ibrahim Hilal (2002: 19-20) menyebutkan bahwa ia telah mengambil esensi
dari beberapa buku tasawuf. Ia mendefinisikan tasawuf sebagai menempuh
kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan duniawi, rela hidup dalam
keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan ibadah, melaparkan diri,
mengerjakan shalat malam, dan melantunkan berbagai jenis wirid sampai fisik atau
dimensi jasmani seseorang menjadi lemah dan dimensi jiwa atau Ruhani menjadi
kuat. Jadi, lanjut Hilal, tasawuf adalah usaha menaklukkan dimensi jasmani manusia
agar tunduk kepada dimensi Ruhani (nafs), dengan berbagai cara, sambil bergerak
menuju kesempurnaan akhlak, seperti dinyatakan kaum sufi; dan meraih
pengetahuan atau ma`rifat tentang Zat Ilâhi dan kesempurnaanNya. Konsep ma`rifat
dikritik secara panjang lebar oleh Hilal dan dituduhkan sebagai pengaruh proses
gnosis Yunani (Hilal, 2002: 34-47).
Dengan mengutip Nicholson, Hilal mengatakan bahwa proses ma`rifat seperti
ini berasal dari bahasa Yunani, gnosis, yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh
tanpa perantara. Orang yang sudah mencapai ma`rifat demikian di dunia tasawuf
dikenal dengan `arif. Dan gelaran ini pun bukan berasal dari Islam. Pandangan Hilal
ini ada benarnya, karena memang dalam realitasnya kaum Sufi untuk mencapai
ma`rifat bi dzâtillâh dengan cara kasyf atau gnosis.
Berbeda dengan Hilal, Khozin Afandi (2001: 9) mengungkapkan, bahwa
tasawuf mengkaji bagaimanakah hakekat manusia bertemu dengan hakekat Tuhan
melalui seorang ahli (Ahli Zikir, yakni Rasulullah atau Ulama Pewaris Nabi, atau
dalam tasawuf dan tarekat dikenal dengan Guru Mursyid atau Guru Wasithah)dalam
ilmu hakekat. Di sini Afandi lebih menekankan peranan seorang Ahli Zikir. Jadi,
berdasarkan definisi tasawuf ini, ma`rifat tidaklah sama dengan gnosis. Ketika
membahas talqin zikir, Khozin Afandi (2009: 35-38) menyebutkan bahwa ma`rifat
bi Dzâtillâh diperoleh melalui talqin (pembisikan atau metode tunjuk) dari seorang
Ahli Zikir, bukan melalui kasyf.
Memang ada suara-suara minor memandang tasawuf berasal dari luar Islam.
Ada yang mengatakan tasawuf berasal dari pengaruh agama Hindu, Budha, Kristen,

FILSAFAT AKHLAK - 17
dan lainnya; ada juga yang mengatakan berasal dari pengaruh falsafah Yunani
(antara lain Hilal, yang telah disebutkan tadi). Ibrahim Hilal (2002: 83-100) pun
membuat satu judul dalam Tasawuf dan Pengaruh Asing, yang pada pokoknya
bahwa kehidupan sufi bukanlah berasal dari Islam. Kemudian Anwar (2002: 3-8)
malah mempertanyakan tasawuf, dengan membuat satu judul dalam bukunya
“Kenapa harus tasawuf, bukankah ada akhlak?” Dan ia pun membuat tiga judul
lainnya dalam payung “tasawuf tanpa tarekat”. Pada pokoknya Anwar menegaskan,
bahwa kalaupun mau bertasawuf bukanlah seperti yang ditunjukkan para sufi,
melainkan ya berakhlak itu.
Tetapi pandangan minor terhadap tasawuf dan tarekat banyak penyanggahnya,
terlebih-lebih oleh kaum praktisi tarekat. Hingga kini praktek tarekat tumbuh subur
di dunia Islam (antara lain ditunjukkan oleh penelitian Bruinnessen (1999), dalam
Kitab Kuning. Di Indonesia saja terdapat lebih dari 40 organisasi tarekat). Harun
Nasution (1990: 1-12) secara keras membantah bahwa tasawuf dan kehidupan sufi
berasal dari luar Islam. Pandangan beliau dapat diringkaskan sebagai berikut: (1)
Nabi SAW menjalani hidupnya sebagai sufi, (2) Khulafaur Rôsyidîn – Abu Bakar
Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib – dan sahabat
senior meneladani kehidupan Nabi SAW sebagai sufi, (3) ketika kekhalifahan di
tangan Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah yang korup dan nepotis, banyak ulama
yang menjalani hidup sebagai sufi, dan (4) ajaran tasawuf memiliki akar-akar yang
kokoh dalam Al-Quran dan Hadits.
Memang ada kesamaan antara tasawuf dengan akhlak, yakni sama-sama
menempuh perjalanan ruhani menuju Tuhan dengan membaguskan sikap dan
perilaku akhlaqi. Bedanya, tasawuf menekankan peranan Ahli Zikir untuk
membimbing kehidupan religius murid-murid sufi agar sampai kepada Tuhan,
sementara akhlak sama sekali tidak membicarakan peran Ahli Zikir. Di sinilah titik-
temu sekaligus titik-pisah antara Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Akhlak.
TABEL 1.1
KAITAN ANTARA DIMENSI, ILMU, DAN AMAL
No. Dimensi Ilmu Sikap & Amal
1. Sufistik Ilmu Tasawuf Ma`rifat bi Dzatillah
2. Keimanan Ilmu Aqidah Beriman dengan Rukun Iman
Beribadah dengan benar & ikhlas
3. Ibadah Ilmu Syari`ah
(terutama Rukun Islam)
4. Akhlak Ilmu Akhlak Berakhlaqul karimah

FILSAFAT AKHLAK - 18
Dengan mencermati nisbah di antara ke-4 Ilmu Islam tersebut, sebenarnya
kehidupan religius yang dijalani oleh seorang saleh terdiri dari 3 dimensi, yakni:
dimensi aqidah, dimensi ibadah, dan dimensi akhlak, dengan fondasinya dimensi
sufistik. Hubungan di antara ke-4 Ilmu Islam dan dimensi-dimensi religius dapat
digambarkan sbb:

Gambar 1.1
Kaitan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf,
Ilmu Aqidah, dan Ilmu Ibadah

Ilmu Tasawuf mengkaji bagaimanakah fithrah manusia (hakekat manusia)


bertemu dengan Fithrah Tuhan (hakekat Tuhan) dalam Ilmu Hakekat melalui
seorang Ahli Zikir, yakni Rasulullah atau Ulama Pewaris Nabi (atau dalam Ilmu
Tasawuf dan Tarekat dikenal dengan Guru Mursyid, dan khusus dalam Tasawuf atau
Tarekat Syaththariah dikenal dengan Guru Wasithah). Perjumpaan manusia dengan
Tuhan merupakan ‘inti’ beragama, karena manusia berasal dari Tuhan dan
seharusnya kembali kepada Tuhan (inna lillahi wa inna ilaihi roji`un). Jika fondasi
agama sudah benar dan kokoh, maka Ilmu Aqidah dapat mengantarkan manusia
untuk beriman secara benar, yakni imannya yang ma`rifatun wa tashdiqun; yakni
imannya dengan mengenal Tuhan Yang AsmaNya Allah dan membenarkan bahwa
orang yang mengenalkan Tuhan itu adalah Rasulullah atau Ulama yang mewarisi
Ilmu Kenabian (Ulama Pewaris Nabi). Dengan demikian, maka ibadahnya juga akan
benar, karena benar-benar menyembah Tuhan yang sudah dikenalinya (memeuhi
perintah Allah: wa`bud robbaka hatta ya`tiyakal yaqin =Sembahlah Tuhanmu
sampai kamu yakin Tuhan yang kamu sembah itu hadir). Kemudian Ilmu Ibadahnya
mengantarkan orang-orang beriman untuk dapat beribadah secara benar dan ikhlas.
Beribadah dapat dikatakan benar jika peribadatannya itu dilakukan atas dasar
memenuhi perintah Allah dan RasulNya, bukannya memenuhi kehendak nafsu dan

FILSAFAT AKHLAK - 19
syahwatnya. Lalu, ibadahnya itu dilakukan secara ikhlas, tanpa pamrih dunia
ataupun pamrih akhirat. Puncaknya, Ilmu Akhlaknya dapat mengantarkan orang-
orang yang beriman mencapai kesempurnaan akhlak mulia.
Adapun dalam sikap dan pengamalan dapat dibedakan antara dimensi iman,
dimensi ibadah, dan dimensi akhlak mulia. Ketiga dimensi ini merupakan satu
kesatuan yang utuh, tidak dapat dipisah-pisah. Hubungan ketiga dimensi iman,
dimensi ibadah, dan dimensi akhlak mulia dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.2
Segi-tiga dimensi Iman, Ibadah, dan Akhlak Mulia
Dimensi iman melandasi dimensi ibadah dan akhlak mulia; dimensi ibadah
yang berbasis iman melandasi dimensi akhlak mulia. Makna lainnya, dimensi ibadah
merupakan perwujudan dimensi iman; dimensi akhlak mulia merupakan perwujudan
dimensi ibadah yang dilandasi dimensi iman. Makna lainnya lagi, dimensi iman
tidaklah bermakna tanpa diwujudkan dalam dimensi ibadah; dan dimensi ibadah
tidaklah bermakna tanpa diwujudkan dalam dimensi akhlak mulia.
Atau seperti gambar berikut:

Gambar 1.3
Dimensi Iman melandasi dimensi Ibadah dan dimensi Akhlak Mulia,
Dimensi Ibadah berbasis Iman melandasi dimensi Akhlak Mulia

FILSAFAT AKHLAK - 20
Implementasinya bagi seorang pendidik agama (mulai orang tua di rumah,
guru di sekolah, dan ustad di masjid), jika melihat anak-anak menunjukkan akhlak
yang tidak mulia maka periksalah ibadahnya. Jika ibadahnya bagus maka tinggal
memperbaiki akhlaknya. Tapi jika ibadahnya kurang bagus maka perbaiki dulu
ibadahnya. Setelah ibadahnya bagus, baru kemudian perbaiki akhlaknya. Adapun
jika ternyata ibadahnya juga kurang bagus, maka periksa dulu keimanannya. Jika
keimanannya sudah bagus, perbaiki ibadahnya; dan ini relatif mudah. Tapi jika
keimanannya masih bermasalah, maka bereskan dulu keimanannya, kemudian
perkokoh keimanannya.
Demikian juga upaya memperbaiki akhlak mulia diri kita sendiri (dan ini
justru yang paling utama).Urutannya, pertama bereskan dulu keimanan kita,
perkokoh keimanan kita. Kemudian, benarkanperibadatan kita agar ibadah yang kita
lakukan benar-benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Jika sudah benar
pun masih harus dibereskan, yakni ibadah yang kita lakukan harus dilakukan dengan
ikhlas seikhlas-ikhlasnya, jangan sampai ada pamrih dunia (ingin memperoleh
nikmat-nikmat dunia: harta, kedudukan, popularitas, dan lain-lain) maupun pamrih
akhirat (mencari pahala, ingin masuk surga, dan takut masuk neraka). Ibadah yang
kita lakukan harus benar-benar lillah (karena Allah). Pokoknya yang dituju dengan
ibadah kita hanyalah Allah, bukan ciptaan Allah. Ingat, dunia, surga, dan neraka
bukanlah Allah melainkan ciptaan Allah.

E. RENUNGAN
Coba simak hasil penelitian Rahmat & Fahrudin (2014) tentang kualitas
akhlak mahasiswa. Jumlah mahasiswa yang menjadi sampel penelitian sebanyak
208 orang mahasiswa UPI peserta kuliah Pendidikan Agama Islam. Rerata skor ideal
tertinggi = 3,0 dan rerata skor ideal terendah = 1,0. Perhatikan tabel berikut.
TABEL 1.2
KUALITAS AKHLAK MAHASISWA
Rerata Rerata
No. PERILAKU ANDA
Pre-test Post-test
DP01 Dalam keadaan bagaimana pun saya berkata benar, 2,3 2,3
tidak berdusta.
DB02 Saya akan menjadi saksi yang benar, sekalipun dengan 2,1 2,5
kesaksian saya ini membuat ayah sendiri atau orang
yang saya cintai dipenjara.
DJ03 Saya termasuk orang yang mudah memberikan janji- 2,2 2,3
janji

FILSAFAT AKHLAK - 21
DN04 Dalam keadaan khilaf, saya berdusta 2,0 1,9
DP05 Seorang koruptor harus dihukum seberat-beratnya, 2,3 2,6
sekalipun pelakunya adalah ayah dan ibu kandung
saya.
DJ06 Janji terhadap orang yang suka ingkar janji tidak harus 2,5 2,6
dipenuhi
DP07 Saya pikir bahwa saya merupakan tipe manusia yang 2,2 2,3
bertanggung-jawab
DJ08 Jika berbuat salah saya cenderung menghindari 2,5 2,5
tanggung-jawab
DB09 Saya merasa bahwa ibadah dan amal saya masih sangat 2,6 2,8
kurang
DP10 Saya merasa bahwa saya bukanlah orang yang hebat 2,5 2,7
DJ11 Adakalanya saya menonjolkan kehebatan saya agar 2,0 2,0
orang tidak merendahkan saya
DN12 Wajar jika saya marah terhadap orang yang menghina 1,5 1,7
atau memaki-maki saya
DP13 Saya tetap tenang (tidak marah-marah) terhadap orang 1,7 1,8
yang memfitnah atau menjelek-jelekan saya/orang tua
saya
DJ14 Saya mencari waktu yang tepat untuk membalas 2,8 2,7
kejahatan orang kepada saya/orang tua saya
DB15 Saya berjanji akan menghindari berdua-duaan dengan 2,3 2,3
lain jenis yang menarik hati saya
DN16 Adakalanya saya berdua-duaan (berkeinginan berdua- 2,2 2,2
duaan) dengan lain jenis yang menarik hati saya
DP17 Selama ini saya memilih pola hidup sederhana dan 2,3 2,4
sering sedekah
DJ18 Jika punya harta banyak apa salahnya saya memilih 2,3 2,3
hidup mewah
TP19 Saya dinilai anak yang berbakti kepada orangtua oleh 2,3 2,3
ibu dan bapak saya
TJ20 Adakalanya saya durhaka kepada orang tua saya 2,1 2,2
TB21 Jika ibu dan ayah menyuruh secara bersamaan, saya 2,5 2,5
lebih mendahulukan perintah ibu, baru kemudian ayah
TN22 Jika ibu dan ayah menyuruh sesuatu yang waktunya 1,4 1,8
bersamaan, saya dahulukan perintah orang tua yang
lebih mudah saya lakukan
TB23 Saya berusaha mencari keyakinan Islam yang 2,2 2,2
diajarkan Rasul walau bertentangan dengan keyakinan
Islam orangtua saya

FILSAFAT AKHLAK - 22
TN24 Saya lebih nyaman menjalankan ibadah yang 1,4 1,6
sekeyakinan dengan peribadatan orangtua saya
TP25 Saya berusaha mendamaikan saudara yang saling 2,6 2,6
berselisih
TJ26 Saya lebih peduli dengan sebagian kerabat saya, 2,1 2,4
sedangkan dengan sebagian kerabat lainnya kurang
peduli
TP27 Saya berusaha membantu menyelesaikan masalah 2,1 2,3
saudara saya, walaupun saudara saya itu tidak meminta
bantuan kepada saya
TN28 Saya cuek dengan permasalahan yang dihadapi saudara 2,5 2,5
saya
KB29 Saya tetap membantu kawan walau ia berperilaku 2,4 2,5
buruk kepada saya
KN30 Saya menghentikan bantuan kepada kawan yang 2,2 2,4
curang kepada saya
KP31 Jika diberi kepercayaan untuk memutuskan sebuah 2,4 2,6
perkara, saya akan berlaku adil walau merugikan ayah
dan ibu kandung saya
KJ32 Jika menduduki jabatan penting saya akan 2,5 2,6
mengutamakan staf yang dekat hubungannya dengan
saya
KP33 Saya biasa meminta maaf, kepada orang yang lebih 2,7 2,8
muda sekali pun
KJ34 Saya sulit memaafkan orang yang keterlaluan 1,8 2,0
memfitnah atau berbuat jahat kepada saya dan ibu-
bapak saya
KP35 Saya mendo`akan kebaikan dan mengucapkan terima 3,0 2,9
kasih dengan tulus kepada orang yang berbuat baik
kepada saya/orang tua saya
KN36 Saya suka menimbang-nimbang kebaikan orang, 2,2 2,1
apakah ia tulus ataukah ada udang di balik batu
KB37 Saya biasa merahasiakan keburukan seseorang 2,4 2,5
KJ38 Adakalanya saya mempermalukan orang lain 2,4 2,5
KP39 Saya gembira jika teman saya lebih maju daripada saya 2,3 2,4
KN40 Adakalanya saya iri kepada teman-teman yang lebih 1,8 2,0
sukses

Tabel di atas menunjukkan bahwa kualitas akhlak mahasiswa secara umum


berada pada kualifikasi “sedang” atau “biasa-biasa” saja (tidak “tinggi” dan tidak
juga “rendah”). Bahkan ada 10 item yang memperoleh skor relatif rendah, dapat
diurutkan sebagai berikut:

FILSAFAT AKHLAK - 23
(a) Saya lebih nyaman menjalankan ibadah yang sekeyakinan dengan peribadatan
orangtua saya (1,6)
(b) Wajar jika saya marah terhadap orang yang menghina atau memaki-maki saya
(1,7)
(c) Saya tetap tenang (tidak marah-marah) terhadap orang yang memfitnah atau
menjelek-jelekan saya/orang tua saya (1,8)
(d) Jika ibu dan ayah menyuruh sesuatu yang waktunya bersamaan, saya dahulukan
perintah orang tua yang lebih mudah saya lakukan (1,8)
(e) Dalam keadaan khilaf, saya berdusta (1,9)
(f) Adakalanya saya menonjolkan kehebatan saya agar orang tidak merendahkan
saya (2,0)
(g) Saya sulit memaafkan orang yang keterlaluan memfitnah atau berbuat jahat
kepada saya dan ibu-bapak saya (2,0)
(h) Adakalanya saya iri kepada teman-teman yang lebih sukses (2,0)
(i) Saya suka menimbang-nimbang kebaikan orang, apakah ia tulus ataukah ada
udang di balik batu (2,1)
(j) Saya berusaha mencari keyakinan Islam yang diajarkan Rasul walau
bertentangan dengan keyakinan Islam orangtua saya (2,2)
Ke-10 item tersebut justru merupakan sikap religius dan akhlak yang paling
mendasar. Mahasiswa ternyata lebih nyaman beragama dan beribadah dengan
keyakinan religius yang sama dengan orang tuanya; padahal seharusnya beragama
dengan mengikuti petunjuk Rasul.

F. KESIMPULAN
Akhlak bukanlah moralitas biasa terlebih-lebih moralitas hasil rekayasa
sesaat. Akhlak juga bukan perilaku yang baik menurut anggapan umum. Akhlak
adalah perilaku yang baik dan bersifat ikhtiari yang dilakukan seseorang secara
spontanitas karena kesadarannya dalam menjalankan perintah Allah dan RasulNya;
dan perilaku yang baiknya itu dilakukan secara berkualitas dan istiqomah (ajeg,
tetap, terus-menerus). Seseorang yang ber-akhlaqul karimah bukan hanya tampak
dari penampilan lahiriyahnya yang memang menampilkan perilaku yang baik.
Perilaku baik yang ditampilkannya itu karena didorong oleh hati nuraninya yang
selalu condong kepada kebaikan sebagai ikhtiar menjalankan ketaatan kepada Allah
atas dasar ketaatan kepada RasulNya dan meneladani RasulNya. Dengan demikian
akhlak mulia yang “sempurna” haruslah berdasarkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Zat Yang Maha Ghaib, Allah AsmaNya.

FILSAFAT AKHLAK - 24

Anda mungkin juga menyukai