Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Eksistensi kajian terhadap ilmu-ilmu keislaman dalam pandangan tertentu
masih dianggap berjalan lambat. Beberapa ilmu keislaman bahkan dipandang sebagai
disiplin yang belum cukup mapan dan mampu berdiri sendiri. John Meuleman
sebagaimana dikutip U. Maman, dkk, menyebutkan kondisi ini disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain: pertama, keteraturan logosentrime sangat menonjol di
kalangan umat Islam; kedua, faktor pertama ini kemudian mengakibatkan penelitian
terpusat pada teks-teks dengan mengabaikan unsur yang tidak tertulis dari agama dan
kebudayaan Islam; ketiga, interpretasi yang tertutup dan terbatas sebagai suatu teks
yang membicarakan fakta dan peraturan; keempat, anggapan teks-teks klasik
mewakili agama dan bahkan anggapan sebagai agama itu sendiri; kelima, sikap
apologetis terhadap aliran lain; dan, keenam, sikap tradisional.1
Selain argumentasi di atas, Fazlurrahman dalam buku Islam and Modernity
membangun sebuah pandangan historis yang relatif sama, bahwa ilmu-ilmu
keislaman sepanjang sejarah masih berjalan statis. Pandangan ini ditunjukkan dengan
identifikasi dan karakteristik yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu keislaman,
sehingga kemudian ia menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu keislaman sebagai disiplin
ilmu bersifat repetitif, berulang-ulang, nuansa literatur yang bersifat komentar,
penjelasan karya yang ada, dan sedikit membuahkan pikiran-pikiran baru.
Dalam pandangannya, intelektual Islam―pada waktu-waktu
sebelumnya―tidak diarahkan untuk mencapai gagasan yang baru,
sebaliknya hanya dimanfaatkan untuk mempertahankan
1
pengetahuan yang telah ada.2

1 U. Maman, Kh, et.al (editor), Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik. (Jakarta:
Rajawal Press, 2006), h. 5.
2 Lihat Fazlurrahman, Islam and Modernity: Transformation of An Intelectual Tradition
Dimensi ilmu-ilmu keislaman jika dilihat berdasarkan klasifikasi beberapa
pihak juga menunjukkan terjadinya problem serius dalam pengklasifikasiannya.
Harun Nasution misalnya, membagi ilmu-ilmu keislaman pada beberapa kelompok,
yaitu: 3
Pertama, kelompok dasar, yang terdiri dari tafsir, hadis, akidah/ilmu kalam
(teologi), filsafat Islam, tasawuf, tarekat, perbandingan agama, serta perkembangan
modern dalam ilmu-ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, dan filsafat. Kedua, kelompok
cabang, teridiri dari: ajaran yang mengatur masyarakat: ushul fikih, fikih muamalah,
fikih ibadah, peradilan dan perkembangan modern; Peradaban Islam: sejarah Islam,
sejarah pemikiran Islam, sains Islam, budaya Islam, dan studi kewilayahan Islam.
Ketiga, bahasa dan sastra Islam. Keempat, pelajaran Islam kepada anak didik,
mencakup: ilmu pendidiikan Islam, falsafah pendidikan Islam, sejarah pendidikan
Islam, lembaga pendidikan Islam, dan perkembangan modern dalam pendidikan
Islam. Kelima, penyiaran Islam, mencakup: sejarah dakwah, metode dakwah, dan
sebagainya.
Problem menarik yang dapat diamati berdasarkan klasifikasi ilmu keislaman
yang dirumuskan Harun Nasution adalah pengklasifikasian yang sedikit berbeda
dengan klasifikasi ilmu-ilmu keislaman berdasarkan Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia Tahun 1985. Sebagaimana dikutip Abuddin Nata, beberapa
bidang yang termasuk disiplin ilmu keislaman adalah: al-Qurân/Tafsir, Hadis/Ilmu
Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam (Fikih), Sejarah dan
Kebudayaan Islam, serta Pendidikan Islam.4 Merujuk peraturan ini, tampak bahwa
bidang penyiaran Islam yang mencakup sejarah dakwah, metode dakwah, dan
sebagainya, tidak termasuk ke dalam bagian dari disiplin ilmu-ilmu keislaman
sebagaimana tertuang pada peraturan dimaksud.

(Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982).


3 Harun Nasution, "Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: Sebuah Perpektif", dalam:
Mastuhu dan Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu.
(Bandung: Pusjarlit dan Nuansa, 1998), h. 7-8.
4 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam [cetakan ke enam]. (Jakarta: Rajawali Perss, 2001),
h. 93.
Pendahuluan 3

Hampir sejalan dengan klasifikasi di atas, Murtadha Muthahhari juga tidak


memasukkan bidang penyiaran Islam sebagai bagian dari disiplin ilmu-ilmu
keislaman. Dalam kerangka yang dibangunnya, Murtadha Muthahhari hanya
memasukkan bidang-bidang, seperti: Ushul Fikih, Hikmah Amaliah, Fikih, Logika,
Kalam, dan Filsafat, sebagai bagian dari ilmu-ilmu keislaman.5
Jika ditelaah lebih jauh, tidak dimasukkannya penyiaran Islam yang
mencakup unsur-unsur kegiatan dakwah ditinjau dari aspek akademis, dapat
dimaklumi mengingat ilmu dakwah itu sendiri masih menjadi perdebatan di kalangan
para ahli. Perdebatan secara umum berkisar pada persoalan epistemologi ilmu
dakwah yang belakangan melahirkan tiga pandangan dalam melihat ilmu dakwah ini,
yaitu: Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa ilmu dakwah yang
pembenarannya normatif doktrin mengambil arti ayat Al-Qur’ân dan Hadits sudah
memadai sebagai ilmu walaupun bukan ilmu pengetahuan. Kedua, kelompok yang
berpendapat bahwa ilmu dakwah yang ada saat ini belum bisa diterima sebagai suatu
disiplin ilmu, masih merupakan pengetahuan non-sains, alasan yang dikemukakan
adalah bahwa ia belum dibangun atas metode keilmuan (logico-hypotetico-
verifikatif). Ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa ilmu dakwah tidak lain adalah
ilmu komunikasi, mengingat yang berbeda hanya mengenai materi messagenya. 6
Berdasarkan pandangan di atas, tampak bahwa eksistensi ilmu dakwah masih
menuai berbagai problem. Pandangan yang pertama terkesan kurang berani
mengklaim bahwa dakwah bukan merupakan ilmu pengetahuan, atau dengan kata
lain, menegaskan secara halus eksistensi dakwah sebagai bukan ilmu pengetahuan.
Pandangan kedua lebih tegas menyebutkan bahwa dakwah bukan merupakan ilmu
pengetahuan (science) oleh karena belum ditemukan basis epistemologi yang jelas
mengenai ilmu dakwah itu sendiri. Sementara itu, pandangan yang ketiga lebih unik
kerana berupaya menyamakan antara ilmu dakwah dengan ilmu komunikasi, tapi jika
pandangan ini dapat diterima, tentu dengan sendirinya akan menempatkan ilmu
5 Lihat Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, [Penerjemah: Ibrahim Husain al
Habsyi, dkk], (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003).
6 Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah. (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 196-7
dakwah sebagai ilmu yang belum mampu berdiri sendiri.
Disamakannya ilmu dakwah dengan ilmu komunikasi jelas membuktikan
bahwa ilmu dakwah masih menjadi problem dalam kontelasi ilmu pengetahuan.
Problem ini pun dapat dimaklumi oleh karena pengkajian dakwah secara akademis
masih tergolong baru dan hanya mempertimbangkan aspek praktisnya saja.7 Akan
tetapi, penting pula dicatat bahwa, optimisme para ahli untuk menjadikan dakwah
sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang bersifat mandiri semakin menunjukkan
dakwah tengah menuju ke arah tersebut. Hal ini setidaknya ditandai dengan semakin
banyaknya kajian-kajian yang dituangkan melalui buku dan berbagai karya ilmiah
tentang sistem keilmuan dakwah. Secara historis, dapat disebutkan Toha Yahya Omar
sebagai orang pertama menulis buku berbahasa Indonesia yang menegaskan dakwah
sebagai sebuah disiplin ilmu.8 Sepuluh tahun berikutnya, terbit dua buku yang
mendandakan lahirnya cabang baru disiplin ilmu dakwah, yaitu: Manajemen Dakwah
yang ditulis Abd. Rosyad Saleh (1977), dan buku Psikologi Dakwah yang ditulis H.M
Arifin (1977). Sistem keilmuan dakwah semaikin menemukan bentuknya ketika pada
waktu-waktu berikutnya semakin banyak kajian-kajian dituangkan melalui buku-buku
yang secara spesifik membahas konsep keilmuan dakwah. Beberapa buku dapat
disebut, di antaranya: pertama, Abdullah (2001), Wawasan Dakwah: Kajian
Epistemologi, Konsepsi, dan Aplikasi Dakwah, diterbitkan oleh IAIN Perss Medan;

7 Abdullah dalam bukunya menuliskan: “Secara jujur harus diakui bahwa kajian dakwah
sebagai suatu disiplin ilmu hingga saat ini belum banyak dibicarakan, terutama menyangkut apa yang
dikaji (ontology)?, bagaimana cara memperolehnya (epistemology)? dan untuk apa ilmu itu
dipergunakan (aksiologi)?. Hal ini sungguh dapat dipahami karena latar belakang
berdirinya Fakultas Dakwah pada awalnya lebih mempertimbangkan aspek
praktisnya. Karena pada waktu itu―tahun 60-an―umat Islam sangat
membutuhkan tenaga dai yang memiliki kualifikasi akademik, agar kegiatan dakwah
Islam mampu mengantisipasi berbagai problem umat Islam di Indonesia. Kemudian baru muncul
pemikiran, ketika para sarjana dakwah mempertanyakan spesifikasi keahlian dan bidang pembangunan
yang mana harus diisi oleh sarjana dakwah. Maka timbullah rumusan atau batasan istilah tentang ilmu
dakwah”. Lihat Abdullah, Wawasan Dakwah: Kajian Epistemologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah,
(Medan: IAIN Perss, 2001), h. 16.
8 Pada dasarnya, buku yang ditulis Toha Jahja Omar ini belum secara tegas merumuskan
kriteria ilmu dakwah dengan struktur Filsafat Ilmu. Akan tetapi, ada lebih dari lima belas halaman
pada bagian buku tersebut mengulas dakwah secara ontologis, dengan pembahasan epistemologis yang
kurang mendalam. Lihat Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah. (Jakarta: Wijaya, 1967).
Pendahuluan 5

Kedua, Moh. Ali Aziz (2004), Ilmu Dakwah, diterbitkan oleh Prenada Media Jakarta;
ketiga, Ahmad Anas (2006), Paradigma Dakwah Kontemporer: Aplikasi Teoretis
dan Praktis sebagai Solusi Problematika Kekinian, diterbitkan oleh Rizki Putera
Semarang; dan, keempat, Syamsul Munir Amin (2008), Rekonstruksi Pemikiran
Dakwah Islam, diterbitkan oleh penerbit Amzah Jakarta.
Selain buku-buku yang disebutkan sebelumnya, salah satu penelitian ilmiah
yang dilakukan oleh Hasan Sazali (2002) berjudul Epistemologi Dakwah: Analisa
Landasan Keilmuan Dakwah, sebagai tesis di Program Pascasarjana IAIN Sumatera
Utara, agaknya semakin mempertegas eksistensi dakwah sebagai sebuah disiplin ilmu
mandiri. Selain landasan keilmuan yang dikonstruknya melalui penelitian tersebut,
beberapa indikator lain yang menunjukkan bahwa dakwah telah masuk sebagai
sebuah disiplin ilmu dalam ilmu-ilmu keislaman ditandai dengan Seminar
Epistemologi pada tahun 1977, dan Konsorsium Ilmu Dakwah pada tahun 1982.9
Belum selesai ilmu dakwah diperdebatkan dalam kontelasi ilmu pengetahuan,
dalam waktu-waktu berukutnya kembali muncul disiplin baru yang disebut
“Komunikasi Islam”, yang secara khusus dikaji pada program studi Komunikasi
Islam Pascasarnaja IAIN. Dilihat dari aspek hirarkinya, program studi ini dapat
dikatakan sebagai program yang memiliki hubungan langsaung dengan Fakultas
Dakwah IAIN, setidaknya dilihat dari aspek akademis. Sungguhpun pada jenjang S.1,
Komunikasi Islam tidak dipelajari sebagai mata kuliah tersendiri pada program studi
Komunikasi Penyiaran Islam Fakutas Dakwah, namun pada jenjang Pascasarjana
program studi Komunikasi Islam, tema ini menjadi mata kuliah komponen jurusan.
Asumsi ini sekaligus menunjukkan bahwa, membincang komunikasi Islam sebagai
sebuah bangunan ilmu pengetahuan secara historis tidak dapat dilepaskan dengan
pembicaraan mengenai sistem keilmuan dakwah, sebab keduanya memiliki kaitan
yang cukup erat.
Adanya benang merah antara ilmu dakwah dan komunikasi Islam dalam

9 Lihat Hasan Sazali, “Epistemologi Dakwah: Analisa Landasan Keilmuan Dakwah”. Tesis,
tidak diterbitkan. (Medan: PPS IAIN Sumut, 2002), h. 2-3.
konteks sejarah kelahirannya belakangan memunculkan pandangan sebagian
kalangan terhadap adannya kesamaan antara ilmu dakwah dengan komunikasi Islam.
Bahkan lebih tajam dari pandangan tersebut, ilmu dakwah tidak saja memiliki
kesamaan dengan komunikasi Islam, akan tetapi komunikasi Islam merupakan ilmu
dakwah itu sendiri. Pandangan ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya karena
dalam faktanya, berbagai hasil kajian pada ruang lingkup komunikasi Islam yang ada
selama ini seringkali menunjukkan wujudnya sebagai dakwah. Akan tetapi, menurut
asumsi penulis, keduanya harus dibedakan dan memang pada kenyataannya berbeda.
Secara sederhana perbedaan tersebut dapat dilihat dari wilayah kajiannya masing-
masing, meski kerap mengerucut pada kesimpulan yang relatif sama, ilmu dakwah
dan komunikasi Islam tidak pernah dikonsepsikan sebagai kajian yang sama.
Pandangan yang penulis bangun di atas menjadi asumsi awal perlunya
dilakukan pengkajian ulang terhadap komunikasi Islam. Aspek yang cukup efektif
disoroti dalam kajian yang penulis maksudkan adalah aspek epistemologinya, karena
dengan begitu akan ditemukan kejelasan tentang cara-cara ilmiah yang dipergunakan
oleh kajian komunikasi Islam yang dapat membedakannya dengan ilmu dakwah.
Selain itu, antara dakwah dan komunikasi Islam sebenarnya sudah dapat dibedakan
sejak awal, ketika kedua kajian ini menggunakan terminologinya masing-masing. Jika
ilmu dakwah dan komunikasi Islam merupakan disiplin yang sama, tentu keduanya
harus konsisten untuk menggunakan istilah, apakah ilmu dakwah atau komunikasi
Islam?.
Dilihat dari aspek historis dan filosofis, komunikasi Islam sebagai sebuah
kajian baru, ditengarai muncul beberapa dekade terakhir. Alasan yang mendasari
lahirnya ilmu komunikasi Islam adalah basis falsafah, pendekatan teoretis, dan
penerapan ilmu komunikasi yang dilahirkan barat tidak sepenuhnya sesuai dengan
nilai-nilai agama dan budaya Islam.10 Mhd. Rafiq menambahkan, paradigma
komunikasi Barat lebih mengedapankan nilai-nilai pragmatis, materialistis, dan

10 Lihat Syukur Kholil, “Komunikasi dalam Perspektif Islam”, dalam Hasan Asari dan
Amroendi Drajat (ed). Antologi Kajian Islam. (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2004), h. 251.
Pendahuluan 7

penggunaan media secara kapitalis.11 Alasan kegagalan inilah yang kemudian


menarik perhatian sebagian akademisi muslim di berbagai perguruan tinggi untuk
melahirkan komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif.
Kebudayaan Barat sendiri dalam faktanya seringkali dibenturkan secara serius
dengan kebudayaan Islam. Apa pun alasan yang mendasarinya, stigma umum yang
cukup kuat terbangun adalah, bahwa budaya Barat merupakan rivalitas dari
kebudayaan Islam, sehingga apapun yang dilahirkan Barat, termasuk ilmu
pengetahuan, seringkali mengalami bias yang cukup kontras dengan nilai-nilai dan
budaya Islam. Tentu tidak berlebihan jika disebutkan bahwa pardigma ini menjadi
salah satu indikator penting munculnya berbagai macam wacana keilmuan Islam yang
justru basis ontologi dan epistemologinya telah terlebih dahulu dibangun oleh sistem
keilmuan Barat. Komunikasi Islam dapat dikatakan menjadi bagian yang termasuk di
dalamnya.
Bukan tanpa alasan jika diasumsikan bahwa paradigma ini memiliki andil
besar dalam menciptakan kemandegan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia
Islam, selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Kemandegan tersebut
setidaknya ditunjukkan dengan perhatian ilmuan dan akademisi muslim yang terfokus
pada permasalahan bagaimana sebuah objek kajian ilmu yang biasanya lahir dari
Barat dapat sesuai dengan nilai-nilai Islam, namun di sisi lain mereka mengabaikan
rekonstruksi epistemologinya. Dengan kata lain, paradigma ini lebih melahirkan
upaya Islamisasi ilmu, atau “mengislamkan” ilmu yang dilahirkan Barat, dari pada
upaya membangun sistem keilmuan mandiri sebagai ilmu alternatif dari ilmu yang
dilahirkan Barat.
Memang Islamisasi ilmu sendiri dimaknai secara berbeda sesuai dengan latar
belakang para penggagas ide Islamisasi tersebut. Sayed Husein Nashr memaknai
Islamisasi ilmu sebagai upaya menerjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa
yang bisa dipahami masyarakat muslim di mana mereka tinggal. pandangan ini

11 Mohd. Rofiq. “Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam pada Era Globalisasi Informasi”,
dalam Analytica Islamica. Vol. 5, No. 2 Tahun 2003, h: 149-168.
berbeda dengan Islamisasi ilmu yang dimaksudkan oleh Naquib al Attas, yang
menganggap Islamisasi ilmu sebagai upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari
makna, ideologi, dan prinsip-prinsip sekuler untuk membentuk ilmu pengetahuan
baru sesuai dengan fitrah Islam. Sementara itu, Ismail Razi al Faruqi memaknai
Islamisasi ilmu sebagai upaya mengislamkan disiplin-disiplin ilmu hingga
menghasilkan buku pegangan di perguruan tinggi dengan menggunakan kembali
disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam, setelah dilakukan terlebih
dahulu kajian kritis terhadap kedua sistem pengetahuan tersebut (Islam dan Barat).12
Terlepas dari perbedaan para tokoh dalam memaknai Islamisasi ilmu, secara
epistemologi penulis melihat bahwa basis keilmuan komunikasi Islam masih rapuh
dan belum mampu menjadikan komunikasi Islam sebagai disiplin ilmu mandiri
terlepas dari ilmu komunikasi pada umumnya. Jika ditelaah lebih jauh, belum
ditemukannya basis epistemologi yang jelas terhadap sistematika keilmuan
komunikasi Islam salah satunya diakibatkan oleh kurangnya perhatian para akdemisi
muslim untuk mengkonstruk epistemologi kajian tersebut, dan bukan tidak mungkin
jika hal ini juga mengakibatkan sulitnya membedakan antara ilmu dakwah dengan
komunikasi Islam. Mahasiswa yang secara khusus menempuh pendidikannya pada
program studi Komunikasi Islam bahkan jarang sekali yang tergerak untuk
melakukan rekonstruksi epistemologi melalui penelitiannya guna menjadikan ilmu
komunikasi Islam dapat diterima sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri di satu sisi,
dan memberikan titik terang tentang perbedaannya dengan ilmu dakwah di sisi yang
lainnya.
Dalam tahap perkembangannya, memang ditemukan beberapa kajian tentang
ilmu komunikasi Islam, namun jika dilakukan pembacaan lebih jauh, agaknya kajian-
kajian tersebut kurang memiliki konsentrasi dalam membangun basis keilmuan
komunikasi Islam. Kajian-kajian tersebut hanya terarah pada upaya membedakan
paradigma komunikasi Islam dengan komunikasi yang dikembangkan Barat. Lihat

12 A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.
239-240.
Pendahuluan 9

misalnya beberapa kajian tentang komunikasi Islam, seperti: tulisan Mohd Rafiq yang
dipublikasikan pada Jurnal Analytica Islamica,13; maupun kajian yang dituangkan
dalam tulisan Muhammad Husni Ritonga, tentang eksistensi Ilmu Komunikasi
Islam.14 Prof.Dr. Syukur Kholil, MA juga telah menerbitkan buku dengan judul
Komunikasi Islami, akan tetapi jika ditelaah secara mendalam, kajian pada buku
tersebut belum terfokus pada pembangunan epistemologi ilmu komunikasi Islam.15
Selain itu, Hasnun Jauhari, pernah melakukan kajian tentang landasan keilmuan
komunikasi Islam melalui tesis yang ditulisnya, dan kajian tersebut juga belum
menunjukkan adanya perkembangan yang berarti dalam upaya membangun basis
epistemologi komunikasi Islam, bahkan dari aspek teori dan metodologinya masih
ditemukan banyak kesamaan dengan tesis Epistemologi Dakwah yang ditulis Hasan
Sadzali.
Ilmu pengetahuan (science) sendiri dapat dipahami sebagai pengetahuan yang
bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu yang diperoleh
melalui pendekatan, metode dan sistem tertentu.16 Pengetahuan secara umum
merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia. C. A. Van Peursen memberikan
pengertian pengetahuan secara sederhana dengan menyebutkan pengetahuan sebagai
kesadaran manusia akan barang-barang di sekitarnya.17 Jika proses “sadar” manusia
dianggap sebagai pengetahuan umum/biasa (common sense) yang tidak
mempersoalkan seluk beluk pengetahuan tersebut, ilmu melalui metodologi tertentu
mencoba untuk menguji pengetahuan manusia secara lebih luas dan mendalam.
Karenanya, ilmu akan berbicara pada tiga hal, yaitu: hakikat objek keilmuan
(ontologi); bagaimana pengetahuan diproses menjadi ilmu (epistemologi); dan, nilai

13 Mohd. Rofiq, “Tantangan dan Peluang,…”, h. 149-168.


14 Lihat Muhammad Husni Ritonga, “Eksistensi Ilmu Komunikasi Islam: Suatu Tinjauan
Filsafat Ilmu”, dalam Amroeni Drajat (ed). Komunikasi Islam dan Tantangan Modernitas. (Bandung:
Cipta Pustaka Media, 2008).
15 Lihat Syukur Kholil, Komunikasi Islami. (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2008)
16 Soetriono dan SRDm Hanief, Epistemologi dan Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta: Andi, 2007), h. 12.
17 C. A Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat (Penerjemah: Dick Hartoko), (Jakarta:
Gramedia Media Utama, 1983), h.19.
apa yang dapat dilahirkan dari ilmu bersangkutan (aksiologi).
Berbicara mengenai tiga aspek yang menjadi ruang lingkup ilmu pengetahuan
yang secara khusus dikaji pada disiplin filasafat ilmu, aspek yang paling krusial dan
seringkali menuai berbagai problem adalah aspek epistemologi. Sebagaimana dikutip
Dani Vardiansyah melalui Poedjawijatna (1993), ilmu tidak terlalu menghiraukan
keguanaan (aspek aksiologi), melainkan hanya semata ingin tahu. Kalau pengetahuan
yang disebut ilmu menghasilkan manfaat, kegunaan yang positif, tentu akan lebih
baik lagi. Akan tetapi, tujuan utama ilmu adalah untuk mengetahui lebih mendalam.18
Pandangan di atas boleh dikatakan merupakan penekanan terhadap
pentingnya aspek epistemologi dalam mengkonstruksi bangunan keilmuan, akan
tetapi pernyataan tersebut sekaligus memperlihatkan aspek aksiologis (nilai guna)
ilmu pengetahuan yang terabaikan di dalamnya. Salah satu tujuan aksiologi ilmu
adalah mempersoalkan apakah ilmu pengetahuan bebas, atau justru terikat nilai.
Boleh jadi paradigma di atas yang dianggap telah mengabaikan aspek aksiologis
ilmu, merupakan paradigma yang dikhawatirkan oleh ilmuan muslim sehingga
melahirkan keinginan untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya
Islamisasi ilmu ini pun dinilai wajar, sebab menganggap ilmu pengetahuan sebagai
sesuatu yang bebas nilai akan melahirkan dampak buruk yang cukup besar bagi
kelangsungan hidup umat manusia. Namun demikian, mengklaim ilmu pengetahuan
yang telah mengalami proses Islamisasi sebagai ilmu keislaman juga merupakan
tindakan yang terburu-buru, sebab sebuah objek pengetahuan baru dapat disebut
sebagai ilmu pengetahuan ketika memiliki struktur dan metodologi yang jelas dalam
proses pencapaiannya. Dengan demikian, sebuah objek pengetahuan baru dapat
diakui sebagai ilmu keislaman ketika basis epistemologinya benar-benar dibangun di
atas dasar-dasar epistemologi Islam.
Dalam kasus ilmu komunikasi Islam, nilai-nilai keislaman tampaknya hanya
dibangun pada aspek aksiologisnya saja. Hal ini setidaknya ditunjukkan melalui buku
yang ditulis Prof.Dr. Syukur Kholil berjudul Komunikasi Islami, yang menekankan
18 Lihat Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT. Index. 2008), h. 7.
Pendahuluan 11

komunikasi Islam sebagai komuniksi yang berdasarkan kepada Al Qur’ân dan Hadis
yang menjunjung tinggi kebenaran.19 Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami
aspek yang membedakan antara komunikasi Islam dengan komunikasi umum yang
cenderung menekankan keuntungan politik dan material. Jika kerangka pikir ini
digunakan untuk melihat eksistensi komunikasi Islam sebagai disiplin keilmuan,
maka harus diakui bahwa komunikasi Islam hanya memberikan kontribusi pada ilmu
komunikasi umum pada aspek aksiologinya saja, namun belum terlihat adanya
kontribusi pada basis epistemologi berupa metodologi untuk membangun ilmu
komunikasi Islam itu sendiri.
Berangkat dari kerangka pikir di atas, maka sangat wajar jika kemudian
Syukur Kholil menyebutkan bahwa komunikasi Islam merupakan cabang dari ilmu-
ilmu sosial,20 bukan cabang dari ilmu-ilmu keislaman. Terlepas dari tepat atau
tidaknya menempatkan komunikasi Islam sebagai bagian dari ilmu sosial, ilmu
komunikasi dalam ranah kajiannya sendiri masih menyisakan sejumlah problem
keilmuan yang belum terjawab. Ilmu komunikasi misalnya, merupakan bagian dari
ilmu-ilmu sosial, sementara pada saat yang sama ilmu-ilmu eksakta yang lebih
cenderung memiliki hubungan dengan natural science, menjadikan komunikasi
sebagai salah satu aspek penting yang dikajinya. Beberapa contoh yang dapat
disebutkan, antara lain: kajian tentang teknologi komunikasi dan informasi,
komunikasi pertanian, dan atau, komunikasi kedokteran.
Komunikasi Islam sebagai paradigma baru yang lahir beberapa dekade
terakhir, meskipun secara akademis pengkajiannya baru ditemukan pada perguruan
tinggi Islam, boleh jadi merupakan aspek lain yang lahir akibat kelonggaran ilmu
komunikasi itu sendiri. Namun demikian, meskipun kajian komunikasi Islam secara
akademis masih dikaji di perguruan tinggi Islam, seluruh hasil pengkajian yang
dilakukan tersebut menunjukkan disiplin ini belum mampu melepaskan diri dari
sumber awalnya, ilmu komunikasi sebagai cabang ilmu sosial. Pertanyaan yang

19 Syukur Kholil, “Komunikasi Islami,…”, h. 2.


20 Lihat Syukur Kholil, “Komunikasi Islami,…”, h. 22.
selanjutnya dapat diajukan adalah, apakah ilmu komunikasi Islam masih dapat
diletakkan sebagai bagian dari ilmu sosial ketika variabel Islam melekat padanya?;
dan, apakah jika komunikasi Islam dalam peta keilmuan merupakan bagian dari ilmu
sosial, dengan sendirinya bersifat statis sehingga tidak dapat ditempatkan struktur dan
hierarkinya pada ilmu-ilmu keislaman?. Pertanyaan ini dikemukakan berdasarkan
asumsi bahwa paradigma keilmuan dalam dunia Islam seringkali dianggap sebagai
alternatif dari keilmuan Barat yang cenderung sekuler dan meninggalkan nilai-nilai
ilahiah. Murtadha Muthahari misalnya, menyebutkan bahwa epistemologi Barat
merupakan epistemologi yang rapuh sementara epistemologi Islam merupakan
epistemologi yang kokoh.21 Hal senada juga diungkapkan oleh Mulyadi Kertanegara,
menurutnya agama (Islam) pada prinsipnya memiliki sumbangan yang besar dalam
ilmu pengetahuan, sebab akal dan indera saja belum memadai untuk dapat menembus
jantung realitas di mana neumena (hakikat) terletak.22
Berbagai problem yang dimunculkan melalui pertanyaan di atas cukup
terjawab dengan hipotesa yang dikembangkan Amin Abdullah, bahwa belum
ditemukan satu pun dari generasi pemikir-pemikir Islam saat ini yang mencoba
menjelaskan relevansi penerapan teori-teori dan metodologi-metodologi ilmiah
sebagai intisari filsafat ilmu pada wacana ilmu-ilmu keislaman. Amin Abdullah
menambahkan, “Selagi ilmu-ilmu keislaman dan studi-studi keislaman dapat disebut
sebagai “science”, maka usaha untuk mempertemukan teori-teori dan metodologi
ilmiah dengan bangunan ilmu-ilmu keislaman merupakan suatu langkah yang valid
dilakukan,…”.23
Meminjam pandangan Amin Abdullah di atas, maka untuk menjadikan
komunikasi Islam sebagai sebuah ilmu pengetahuan berdimensi ilmiah yang kokoh,
kajian konstruktif untuk pengambangannya menjadi penting dilakukan. Dalam

21 Lihat Murthada Muthahari, Mengenal Epistemologi: Sebuah Pembuktian Terhadap


Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, (Jakarta, Lentera, 2001).
22 Lihat: Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. (Jakarta:
Arasy Mizan, 2005), h. 53.
23 M. Amin Abdullah, Islamic Studies,… h. 37.
Pendahuluan 13

pengamatan penulis, kajian komunikasi Islam yang ada selama ini belum berbeda
sama sekali dengan apa yang dikaji pada ranah keilmuan dakwah. Untuk
mendapatkan kejelasan perbedaan antara ilmu dakwah dengan ilmu komunikasi Islam
tersebut, salah satu objek kajian yang belum tersentuh adalah bangunan epistemologi
pada aspek metodologi yang lebih spesifik. Oleh karenanya cukup absah dilakukan
sebuah kajian mendalam tentang basis epistemologi guna menemukan metode
pengembangan Ilmu komunikasi Islam dengan menyandarkannya pada kajian-kajian
terdahulu. Pandangan ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa beberapa kajian
tentang komunikasi Islam yang telah dilakukan sebelumnya, setidaknya telah memuat
beberapa aspek yang dapat dikonstruk sebagai basis epistemologi untuk
mengembangkan Ilmu komunikasi Islam, kajian-kajian tersebut dapat dijadikan
sebagai kerangka acuan untuk melihat metodologi dan struktur ilmu komunikasi
Islam dalam peta pengetahuan ilmiah.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka
permasalahan pokok yang kemudian akan dikaji pada penelitian ini secara umum
dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan: “bagaimana bangunan metodologi
pengembangan Ilmu Komunikasi Islam?. Rumusan masalah ini mencakup beberapa
aspek yang dapat diperinci dengan pertanyaan:
1) Apa hakikat ilmu komunikasi Islam?
2) Bagaimana eksistensi ilmu komunikasi Islam dalam
peta keilmuan?
3) Bagaimana merekonstruksi metodologi untuk
pengembangan ilmu komunikasi Islam?

C. Batasan Istilah
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan hakikat dan
ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasar, serta
pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.24
Epistemologi karenanya dapat dikatakan sebagai filsafat pengetahuan yang berbicara
tentang landasan keilmuan. Landasan keilmuan sendiri merupakan disiplin ilmu dari
aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara etimologis, epistemologi
didefenisikan sebagai theory of knowledge.25. Dengan demikian, epistemologi
merupakan pembahasan mengenai apa yang dapat diketahui yang terkait dengan teori
dan substansi keilmuan.
Sementara itu, komunikasi Islam merupakan rangkaian dari dua kata,
komunikasi dan Islam. Karenanya, komunikasi Islam dapat dimaknai sebagai proses
komunikasi yang dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok orang yang syarat
dengan nilai-nilai keislaman. Islam sendiri lebih tepat disebut sebagai etika
kemanusiaan dan ilmu sosial sebagaimana ditegaskan Hasan Hanafi.26
Sedangkan metode keilmuan, dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang
menghasilkan pengetahuan yang bersifat logis dan teruji dengan jembatan berupa
pengajuan hipotesis disebut juga sebagai metode logico-hipotetico-verifikatif, yang
menuntun cara berpikir untuk mendapatkan hasil pengetahuan ilmiah.27 Metode
ilmiah ini dicerminkan melalui penelitian ilmiah yang merupakan gabungan dari cara
berpikir rasional dan empiris. Kerangka berpikir ilmiah yang bertolak pada logico-
hipotetico-verifikatif, dijelaskan Jujun pada bukunya Filsafat Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer, sebagai berikut:28
Pertama, perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek
empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait
di dalamnya.

24 Amsal Bahtiar, Filasata Ilmu, (Jakarta: Rajawali Perss, 2005), h. 148.


25 Dagobert. D. Runers, Dictionary of Philosophy, (New Jeresey: Adams & Co, 1971), p. 94.
26 Hasan Hanafi, “Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan”, dalam Abu Hatsin (ed), Islam
dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 1.
27 Jujun S. Suryasumantri [Penerjemah], Ilmu dalam Perpektif Moral, Sosial, dan Politik.
(Jakarta: Gramedia, 1986), h. 19.
28 Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan,
1985), h. 128.
Pendahuluan 15

Kedua, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, merupakan


argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengkait dan membentuk kontelasi permasalahan. Kerangka
berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah
teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan
dengan permasalahan.
Ketiga, perumusan hipotesis, merupakan jawaban sementara antara dugaan
terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari
kerangka berpikir yang dikembangkan.
Keempat, pengajuan hipotesis, merupakan pengumpulan fakta-fakta yang
relevan denangan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat
fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
Kelima, kesimpulan, sebagai penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan
itu ditolak atau diterima.
Berdasarkan batasan istilah yang dikemukakan di atas, maka ruang lingkup
penelitian ini akan dibatasi pada upaya melakukan analisa bangunan epistemologi
terhadap metodologi pengembangan ilmu komunikasi Islam. Beberapa aspek yang
melingkupi kajian pada penelitian ini adalah: melihat dan mengkonstruksi kembali
hakikat ilmu komunikasi Islam, mengidentifikasi eksistensi komunikasi Islam dalam
peta pengetahuan ilmiah, dan melakukan analisa dalam upaya rekonstruksi
metodologi pengembangan ilmu komunikasi Islam.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menjawab permasalahan yang
telah dirumuskan, yaitu mendapatkan hasil analisa bangunan metodologi
pengebangan Ilmu Komunikasi Islam. Tujuan ini mencakup beberapa aspek bahasan,
yaitu:
1) Hakikat ilmu komunikasi Islam.
2) Eksistensi ilmu komunikasi Islam dalam peta
pengetahuan ilmiah.
3) Rekonstruksi metodologi untuk pengembangan
ilmu komunikasi Islam.

E. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat berguna bagi kalangan
akademis yang berkonsentrasi pada program studi komunikasi Islam, khususnya
dalam rangka membangun basis epistemologi guna mengembangkan studi tentang
komunikasi Islam. Selain itu, secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan acuan bagi peneliti dan praktisi komunikasi Islam, baik dalam kajian
akademis maupun penerapannya di tengah masyarakat luas.

F. Kajian Terdahulu
Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, khususnya pada berbagai
perpusatakaan di Kota Medan, pembahasan tentang komunikasi Islam masih belum
mampu melahirkan basis epistemologi yang jelas sebagai landasan keilmuan
komunikasi Islam. Meski demikian, pembahasan tentang komunikasi Islam dari
berbagai dimensi kajian cukup banyak dibicarakan. Di antara kajian-kajian yang
dapat disebutkan, adalah:
1) Islam, Komunikasi dan Teknologi Maklumat, yang ditulis Zulkipli
Ghani, telah diterbitkan di Selangor oleh Utusan Publications &
Distributors SDN BHD pada tahun 2001. Secara umum, buku ini
membahas dasar-dasr komunikasi Islam; pemahaman terhadap
komunikasi Islam, teori dan model komunikasi Islam, serta etika
komunikasi Islam.
2) Komunikasi Islam, yang ditulis A. Mu’is. Diterbitkan Remadja
Rosdakarya Bandung pada tahun 2001. Buku ini
antara lain membahas tentang paradigma
komunikasi Islam berdasarkan al-Qurān.
Pendahuluan 17

3) Komunikasi dalam Perspektif Islam, ditulis oleh Syukur Kholil


yang menjadi salah satu topik pada buku Antologi Kajian Islam,
telah diterbitkan oleh Cipta Pustaka Media, Bandung pada tahun
2004. Tulisannya di arahkan pada apresiasi terhadap jurnal Media,
Culture and Society yang diterbitkan di London.
4) Analisa Landasan Keilmuan Komunikasi Islam, sebuah tesis yang
ditulis Hasnun Jauhari Ritonga yang mencoba melakukan analisa
terhadap basis epistemologi komunikasi Islam.

G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dikelompokkan ke dalam jenis penelitian literatur/studi
kepustakaan (Library Research), karena objek yang dipilih adalah hasil kajian tertulis
yang dilakukan beberapa peneliti terdahulu tentang komunikasi Islam, baik ditinjau
dari aspek landasan keilmuan maupun aspek praktis terhadap penerapannya di
lapangan. Titik tekan yang ingin dilakukan adalah melihat sejauh mana basis
epistemologi terbangun pada kajian-kajian tersebut, untuk selanjutnya melakukan
analisa terhadap metodologi pengembangannya. Kajian-kajian yang dipilih bersifat
terbuka dan dapat berkembang pada waktu penelitian, mengingat penelitian ini
mengambil paradigma kualitatif, di mana data dapat berkembang ketika penelitian
dilakukan. Akan tetapi, secara umum kajian-kajian yang telah dipilih untuk dianalisis,
adalah:
1) Tesis berjudul: Analisa Landasan Keilmuan Komunikasi Islam,
yang ditulis Hasnun Jauhari Ritonga pada tahun 2008;
2) Buku berjudul: Komunikasi Islami, yang ditulis Syukur Kholil
pada Tahun 2009;
3) Kajian berjudul: Komunikasi dalam Perspektif Islam, yang ditulis
Syukur Kholil pada tahun 2008;
4) Tulisan berjudul: Eksistensi Ilmu Komunikasi Islam: Suatu
Tinjauan Filsafat Ilmu, yang ditulis Muhammad Husni Ritonga
pada tahun 2008;
5) Tulisan berjudul: Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam pada
Era Globalisasi Informasi, yang ditulis Mohd. Rofiq pada tahun
2003.
Sumber data pada penelitian ini dibagi ke dalam dua sumber, primer dan
skunder. Sumber data primer seluruhnya diperoleh dari berbagai kajian yang dipilih
dalam penelitian ini, sedangkan sumber data skunder merupakan data pendukung
yang diperoleh dari berbagai lieteratur-literatur yang terkait dengan masalah
penelitian.
Sebagai penelitian literatur, hal pertama yang akan dilakukan untuk
menganalisis data adalah menentukan kajian-kajian terpilih, selain kajian-kajian yang
telah disebutkan sebelumnya, kajian-kajian berhubungan lainnya yang berkembang
dalam penelitian juga tidak luput dari proses analisis yang akan dilakukan. Pemilihan
literatur ini disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Sesudah menentukan judul
literatur penelitian, maka langkah berikutnya adalah: inventarisasi literatur; deskripsi
literatur; kritik teks; dan analisis isi.
Syukur Kholil mengutip beberapa ahli, menyimpulkan pengertian analisis isi
dengan beberapa pemahaman: pertama; bersifat sistematis sesuai dengan prosedur
yang benar; kedua, bersifat objektif dengan perolehan hasil yang sama jika diuji oleh
penelitian lain dengan menggunakan kategori yang sama; ketiga, bersifat kuantitatif
namun tidak menutup kemungkinan dikaji dengan menggunakan cara yang lain.29
Sementara itu, Jalaluddin Rakhmat menyebutkan analisis isi sebagai prosedur yang
digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi yang disampaikan
dalam bentuk lambang. Penelitian ini umumnya dilalui dengan beberapa tahap, yaitu:
merumuskan masalah; merumuskan hipotesis; memilih sampel; pembuatan alat ukur;
pengumpulan data; dan analisis data.30

29 Syukur Kholil, Metodologi Penelitian Komunikasi. (Bandung: Ciptapustaka Media, 2005),


h. 51.
30 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Dilengkapi Contoh Analisis Statistik.
(Bandung: Remaadja Rosdakarya, 2004), h. 89.
Pendahuluan 19

Pengertian analisis isi yang dikemukakan di atas cenderung diarahkan pada


penelitian kuantitatif yang bersifat menguji teori karena menggunakan hipotesis,31
padahal analisis isi sebagai salah satu penelitian dari tradisi ilmu komunikasi lebih
tepat dikaji dengan pendekatan kualitatif. Sebagaimana disebutkan Klaus Kripendorf,
penelitian bidang komunikasi semestinya bersifat kualitatif, dengan mengutip Jenis
selanjutnya ia mengemukakan beberapa klasifikasinya, yaitu:32
1. Analisis isi pragmatis, prosedur yang mengklasifikasi tanda menurut sebab
atau akibat yang mungkin;
2. Analisis isi semantik, prosedur yang mengklasifikasi tanda menurut
maknanya;
3. Analisis sarana tanda (sign-vehicle), prosedur yang mengklasifikasi isi
menurut sifat psiko-fisik dari tanda.
Berangkat dari beberapa prosedur yang dipaparkan di atas, penelitian ini
diarahkan pada penelitian kualitatif dengan cara memaparkan data secara deskriptif.
Data dikumpulkan dengan terlebih dahulu membuat kategori-kategori tertentu dan
memilih data sesuai dengan tema-tema yang tepat. Sebagai langkah akhir dari proses
penelitian ini, data selanjutnya dianalisis dengan prosedur kualitatif yang dapat
dimulai dengan terlebih dahulu menelaah seluruh data yang tersedia, selanjutnya data
direduksi dengan melakukan abstraksi, yaitu membuat rangkuman yang inti, proses
dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.
Langkah selanjutnya disusun ke dalam satuan-satuan untuk dikategorikan.33
Sementara itu, Syukur kholil34 menyebutkan penelitian kualitatif secara umum
bersifat grounded research, di mana teori berfungsi sebagai mempertajam kepekaan
peneliti dalam melihat data, serta merumuskan teori atas dasar data yang diperoleh.

31 Lihat Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remadja Rosdakarya,


2006), h. 132.
32 Klaus Kripendorf, Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. (Jakarta: Rajawali Perss,
1993), h. 35-6.
33 J. Lexy Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remadja Rosdakarya,
2006), h. 247.
34 Syukur Kholil, Metodologi Penelitian,... h. 132.
Dengan demikian, teori-teori yang dapat mempertajam pengamatan penelitian ini,
khususnya teori-teori yang berhubungan dengan ilmu komunikasi dan filsafat ilmu
menjadi titik tekan yang penting sebagai alat analisis untuk menarik sebuah
kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.

H. Garis-garis Besar Isi Tesis


Hasil penelitian yang dituangkan dalam penulisan tesis ini disusun ke dalam
lima bab secara sistematis, yaitu:
Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang mencakup beberapa pasal,
yaitu: latar belakang masalah; rumusan masalah; batasan istilah; tujuan penelitian;
kegunaan penelitian; kajian terdahulu; metodologi penelitian; dan garis-garis besar isi
tesis.
Bab kedua, memaparkan beberapa konsep dasar landasan keilmuan, yang
mencakup pasal-pasal tentang: beberapa jenis pengetahuan; sumber dan cara
memperoleh pengetahuan; landasan keilmuan (epistemologi); metodologi dan
struktur pengetahuan ilmiah; serta integrasi ilmu.
Bab ketiga, memaparkan paradigma ilmu komunikasi Islam, yang mencakup
pasal-pasal tentang: sejarah dan tokoh komunikasi Islam; ruang lingkup ilmu
komunikasi Islam; dan wacana masa depan komunikasi Islam.
Bab ke empat, merupakan hasil penelitian yang mencakup pasal-pasal
tentang: hakikat ilmu komunikasi Islam; komunikasi Islam dalam peta pengetahuan
ilmiah; dan, rekonstruksi metodologi pengembangan ilmu komunikasi Islam.
Bab kelima merupakan bagian penutup yang memaparkan kesimpulan hasil
penelitian dan beberapa saran.

Anda mungkin juga menyukai